• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendidikan Gender di Keluarga Perkotaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pendidikan Gender di Keluarga Perkotaan"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

PENDIDIKAN GENDER

DI KELUARGA PERKOTAAN KELAS MENENGAH ATAS

(Studi Terhadap Pendidikan Gender di Keluarga Kelas Sosial Menengah Atas di Surabaya)

Gloria Dessy, Mawaddah Aswik Utari, Reny Aprilia, Taufiq Madya Aditama, Devina Margareth Limantara, Dwiki Yuniarti, dan M. Hilmi Rizki Romadhi 1

Abstract – Gender is a result of social constructions which are handed to sons and daughters thru family education. Since gender itself is a result of social constructions, then

social class definitely plays an important role in shaping the building. In a high class urban

family, which one of the parameter was measured by the educations that their children

received, practically gender education is not a hassle. But, in reality, parents had only

minimal understanding regarding gender identity. This study intends to prove the phenomena

by studying small amount of high class urban subjects in Surabaya city, Indonesia, to acts as

a basis of further studies.

Keywords: Gender education, Gender identity.

PENDAHULUAN

Lingkungan keluarga dapat dikatakan sebagai tempat pertama seseorang dapat mengenali pembentukan identitas. Peran orang tua selain melaksanakan tugas dan

fungsi sebagai pengasuh serta pembimbing adalah sebagai panutan terhadap identitas gender bagi seorang anak. Akan tetapi, sayangnya dalam memberikan pola asuh, seringkali orang tua mencampuradukkan

(2)

antara gender dan jenis kelamin. Padahal kedua kata tersebut memiliki makna yang berbeda. Jenis kelamin adalah perbedaan fisik yang secara kodrat membedakan laki-laki dan perempuan, sedangkan konsep gender adalah perbedaan peran yang terbentuk dari hasil konstruksi pada lingkungan masyarakat. Identitas gender adalah sejumlah aspek penampilan dan perilaku personal yang secara budaya diatributkan menjadi maskulin dan feminin 2.

Gender adalah hasil dari konstruksi sosial yang diberikan kepada anak laki-laki dan perempuan melalui pola pendidikan keluarga, bukan didasari atas perbedaan jenis kelamin. Persepsi atas gender dipengaruhi oleh sosialisasi sejak kecil melalui peran yang dimainkan orang tua. Setiap individu, sejak masa anak-anak, meniru dan mengambil peran dari orang-orang yang ada di sekitarnya, yaitu mulai dari keluarga inti (yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak), keluarga besar (keluarga luas, sistem

2 Encyclopedia of Children Health. 2008. Gender Identity.

http://www.healthofchildren.com/G-H/Gender-Identity.html. Diakses 12 April 2016.

kekerabatan), hingga kemudian dalam lingkungan masyarakat dimana dia menjadi dewasa.

Orang tua adalah kunci pertama yang mengenalkan mengenai identitas gender bagi anak-anak mereka. Maka dari itu, orang tua perlu memiliki pemahaman yang baik tentang perbedaan konsep gender dengan jenis kelamin. Terutama untuk menghindari terjadinya perbedaan perlakuan atau mengistimewakan salah satu jenis kelamin. Karena pemahaman orang tua akan terlihat pada sikap dan perilaku bagaimana cara mereka memberikan pemahaman nilai kepada anak laki-laki dan perempuan berkaitan dengan tugas dan fungsinya dalam keluarga maupun masyarakat. Pemahaman yang baik mengenai identitas gender akan menuntun pada bentuk pendidikan gender yang tepat.

(3)

lapisan-lapisan tertentu. Menurut etimologi bahasa, stratifikasi berasal dari bahasa Yunani yakni stratum, yang berarti lapisan. Pitirim A. Sorokin (Soekanto, 2010:198) 3

mendefinisikan stratifikasi sosial sebagai perbedaan penduduk atau masyarakat ke dalam lapisan kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis) dengan perwujudannya adalah kelas tinggi dan kelas yang lebih rendah. Ukuran yang biasa dipakai untuk menggolong-golongkan anggota masyarakat ke dalam suatu lapisan adalah sebagai berikut:

 Ukuran kekayaan. Barangsiapa yang memiliki kekayaan paling banyak, termasuk ke dalam lapisan atas. Kekayaan tersebut, misalnya, dapat dilihat pada bentuk rumah yang bersangkutan, kendaraan, cara-cara menggunakan pakaian serta bahan pakaian yang dipakai, kebiasaan untuk berbelanja barang-barang mahal dan seterusnya.

3 Soekanto, S. 2010. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Grafindo.

 Ukuran kekuasaan. Barangsiapa yang memiliki kekuasaan atau yang mempunyai wewenang terbesar, menempati lapisan atas.

 Ukuran kehormatan. Ukuran kehormatan tersebut mungkin terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan dan/atau kekuasaan. Orang yang paling disegani dan dihormati, mendapat tempat yang teratas. Ukuran semacam ini, masih banyak dijumpai pada masyarakat-masyarakat tradisional. Biasanya mereka adalah golongan tua atau mereka yang pernah berjasa.

(4)

Maka, masyarakat dengan kelas menengah tinggi atau menengah atas dapat digolongkan menurut ukuran kekayaan atau

asset yang mereka miliki. Tak hanya melalui pendapatan atau gaji yang mereka peroleh, hal lain seperti bentuk rumah, kendaraan, profesi, barang-barang mahal yang mereka miliki. Aset tersebut menjadi simbol dalam penggolongan lapisan kelas-kelas dalam masyarakat. Sama halnya yang terjadi dalam keluarga menengah ke atas, mereka memiliki ukuran kekayaan yang dilihat dari seberapa besar rumah mereka, kendaraan mewah yang mereka miliki, serta pendidikan yang pendidikan gender? Berdasarkan dari pertanyaan ini, peneliti ingin menemukan corak pembentukan identitas gender pada masyarakat perkotaan keluarga menengah atas. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

mengetahui tingkat pengetahuan masyarakat kelas menengah atas seputar identitas gender, sekaligus bentuk pendidikan gender seperti apa yang diterapkan dalam keluarga kelas menengah atas di perkotaan.

Berdasarkan dari pedoman penggolongan masyarakat kelas menengah atas, peneliti memilih 14 narasumber acak dari masyarakat kelas menengah atas di Surabaya yang

n 49 Perempuan Perawat Mobil, Rumah,Tanah.

2.

Christi an Wellan

da 19 Laki-Laki Pelajar Mengikuti orang tua.

3. Dwi Indah

Pratiwi 22 Perempuan Mahasiswi Mengikuti orang tua. 4. Rosyida 43 Perempuan Guru swasta Mobil, Rumah.

5. 6. Eny Nuraini 45 Perempuan Wirausaha Perusahaan, Rumah.

7. Andy 33 Laki-Laki

Pebisni s

startup Apartemen, Mobil 8. Riza 17 Perempuan Pelajar Mengikuti orang tua.

9.

a 13 Perempuan Pelajar Mengikuti orang tua. 1

1.

Inellas ari Puspit

a Dewi 31 Perempuan Pebisnis Perusahaan, Mobil, Rumah. 1

2. Trias Rizki 20 Perempuan Mahasiswa Mengikuti orang tua. 1

3. Khamim 45 Laki-Laki

Tidak diketah

(5)

1

4. Tyara Dewi 18 Perempuan Pelajar Mengikuti orang tua.

Tabel 1. Daftar narasumber penelitian

IDENTITAS GENDER MASYARAKAT KOTA KELAS MENENGAH ATAS

Identitas gender adalah bagaimana kita mengenali peran diri kita di luar jenis kelamin yang kita miliki saat ini. Siapa diri kita dan bagaimana kita mempersepsikan diri sendiri dan orang lain dapat dijelaskan melalui Jendela Johari (Tubbs, 1996:13) 4

yang dibagi menjadi empat daerah kuadran pokok:

 Daerah terbuka (open self), berisikan semua informasi, perilaku, sikap, perasaan, keinginan, motivasi, gagasan, dan sebagainya yang diketahui oleh diri sendiri dan oleh orang lain. Besarnya daerah terbuka juga berbeda-beda dari satu orang ke orang lain. Sebagian orang cenderung mengungkapkan keinginan dan perasaan mereka yang paling dalam.

4 Tubbs, Stewart dan Moss, Sylvia. 1996. Human Communication; Konteks-Konteks Komunikasi. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya.

Lainnya lebih suka berdiam diri baik dalam hal yang penting maupun tidak penting.

 Daerah buta (blind self), berisikan informasi tentang diri kita yang diketahui orang lain tetapi kita sendiri tidak mengetahuinya. Sebagian orang mempunyai daerah buta yang luas dan tampaknya tidak menyadari berbagai kekeliruan yang dibuatnya.

 Daerah gelap (unknown self), adalah bagian dari diri kita yang tidak diketahui baik oleh kita sendiri maupun oleh orang lain. Ini adalah informasi yang tenggelam di alam bawah sadar atau sesuatu yang luput dari perhatian.

(6)

Identitas gender seorang individu dewasa bisa berada di dalam satu dari keempat area tersebut. Akan tetapi, pada awalnya akan selalu dimulai dari daerah gelap (unknown self). Karena manusia terlahir tanpa pengetahuan apapun. Hanya dengan belajar dari orang lain dan lingkungan sekitar, kita bisa mengenali diri dengan lebih baik. Identitas gender dari daerah gelap kemudian dibawa ke dalam daerah buta dengan cara konstruksi sosial yang dibangun oleh budaya di sekitar kita melalui pelaziman-pelaziman. Kita didikte mengenai apa yang benar dan apa yang salah oleh lingkungan. Baru kemudian kita bisa membawa identitas tersebut ke daerah terbuka, atau justru menguburnya di daerah tertutup.

Setiap individu memiliki kuasa (power) untuk mempengaruhi orang lain, membantu maupun menjerumuskan orang lain ke dalam pemahaman mengenai diri mereka sendiri. Maka, untuk menuntun pada pemahaman identitas gender yang tepat, perlu adanya pemahaman dan pengetahuan yang baik tentang identitas gender di dalam diri sendiri.

Pada masyarakat perkotaan kelas menengah atas, pemahaman mengenai konsep identitas gender masih sangat minim dengan 14 narasumber yang diwawancara, hanya 9 orang memiliki pemahaman yang cukup mengenai identitas gender.

PENDIDIKAN GENDER

MASYARAKAT KOTA KELAS MENENGAH ATAS

Pendidikan adalah sebuah proses yang berlangsung secara kontinyu. Di dalamnya perlu adanya jalinan komunikasi yang berlangsung secara intensif dan efisien. Dalam memahami pendidikan gender di keluarga, kita perlu memahami pola hubungan komunikasi yang lazim berada dalam sebuah keluarga, yaitu komunikasi interpersonal.

(7)

hubungan yang terjalin akan terbina melalui lima tahap (Devito, 1997: 233-235) 5 yaitu:

 Kontak. Pada tahap pertama kita membuat kontak. Ada beberapa macam persepsi alat indra yang terlibat (melihat, mendengar, dan membaui seseorang). Pada tahap ini penampilan fisik begitu penting karena dimensi fisik paling terbuka untuk diamati secara mudah. Namun demikian, kualitas-kualitas lain seperti sikap bersahabat, kehangatan, keterbukaan dan dinamisme juga terungkap pada tahap ini.

 Keterlibatan. Adalah tahap pengenalan lebih jauh, ketika kita mengikatkan diri kita untuk mengenal orang lain dan juga mengungkapkan diri kita.

 Keakraban. Pada tahap keakraban, kita mengikat diri lebih jauh dengan orang lain. Hubungan dalam keakraban disebut sebagai hubungan primer (primary relationship),

5 Devito, Joseph A. 1997. Komunikasi Antar Manusia. Jakarta: Professional Books.

keluarga biasanya akan berada pada tahap ini.

 Perusakan. Dua tahap berikutnya merupakan penurunan hubungan, ketika ikatan di antara kedua pihak melemah. Pada tahap perusakan mulai merasa bahwa hubungan ini mungkin tidaklah sepenting apa yang dipikirkan sebelumnya. Hubungan akan semakin jauh. Makin sedikit waktu senggang yang dilalui bersama dan bila bertemu maka akan berdiam diri, tidak lagi banyak mengungkapkan diri.

 Pemutusan, tahap pemutusan adalah

pemutusan ikatan yang

mempertalikan kedua pihak. Jika bentuk ikatan itu adalah perkawinan, pemutusan hubungan dilambangkan dengan perceraian, walaupun pemutusan hubungan aktual dapat berupa hidup berpisah.

(8)

dimulai dengan mengenalkan identitas gender melalui media mainan. Narasumber 12 mengaku bahwa pendidikan gender di dalam keluarganya dimulai dengan pengenalan mainan sejak bayi, dimana terjalin pada tahap kontak:

“Kalau bayi sih emang lebih suka ke boneka-boneka gitu. Emang dulu, dari dulu orang tuaku ngasihnya mesti yang boneka-boneka terus mainan-mainan yang lebih kecewek-cewekkan. Yaa masak-masakkan, gitu gitu. Terus kalau yang cowok yang lebih ke mobil-mobilan. Terus kayak karakter-karakter animasi.”

Selain mainan, pakaian merupakan media pendidikan gender yang disukai oleh orang tua di keluarga perkotaan kelas sosial menengah ke atas. Narasumber 11 menerapkan pendidikan melalui media pakaian:

“Cara berpakaian. Yaa kita kasih tahu dari dini yah, maksudnya yang dilakukan laki-laki itu seperti ini. Terus yang dilakukan perempuan itu seperti ini. Laki-laki gaboleh pake baju perempuan, terus gaboleh pake make up, gaboleh pakai jilbab dan segala macemnya. Kemudian yang cewek juga harus didandani sefeminim mungkin...”

Pendidikan gender oleh orang tua di keluarga perkotaan kelas sosial menengah atas juga dilakukan dengan cara mengenalkan tugas,

peran, dan tanggungjawab sesuai dengan jenis kelamin anak-anak mereka. Narasumber 4 mengaku memberikan peranan yang jelas mengenai tugas sesuai dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan untuk anak-anaknya:

“Kalau laki-laki mungkin, kalau dalam hal tanggung jawab di rumah itu mungkin hubungannya dengan pekerjaan yang berat-berat, seperti mengisi air dalam bak, terus ya pekerjaan yang hubungannya dengan anak laki-laki misalnya pasang listrik, itu lebih angkat-angkat apa namanya perabot rumah tangga, itu laki-laki. Sedangkan perempuan lebih yang ke simpel aja masalah mencuci piring, menggoreng-goreng, nah itu tugasnya anak perempuan seperti itu.”

Pendidikan gender oleh orang tua di keluarga perkotaan kelas sosial menengah atas juga dilakukan dengan cara mengenalkan nilai-nilai moral sesuai dengan jenis kelamin. Seperti pengakuan oleh Narasumber 7:

“Hal-hal sederhana seperti laki-laki harus ngalah dengan perempuan.”

(9)

narasumber terpecah mengenai perlunya kontrol dalam pendidikan gender di keluarga perkotaan kelas sosial menengah atas. Narasumber 6 mengaku memberi kebebasan bagi anak-anaknya untuk pulang malam kendati kedua anaknya adalah perempuan, dimana dalam konstruksi sosial budaya Jawa, perempuan untuk pulang malam adalah hal yang tabu:

“Saya bebaskan mbak, karena mereka tahu batasannya karena sudah besar-besar. Dua anak saya yang kuliah sering pulang malam karena tugas yang satunya bekerja...”

Narasumber 9 mengaku memberi kebebasan bagi anak-anaknya untuk mengembangkan diri dengan mengesampingkan jenis kelamin anaknya:

“Pada umumnya, kalau saya membebaskan ya mereka, untuk karena itu kan sebagai sisi lain atau hobi dari mereka. Kalau mereka hobinya, anak perempuan saya misalnya, hobinya berolahraga ya tentunya ya saya perbolehkan.”

Meskipun kemudian Narasumber 9 juga menyebutkan mengenai batasan dan kewajaran yang diukur dari konstruksi sosial mengenai gender:

“...Selama itu masih dalam batas-batas kewajaran yang masih bisa dilakukan oleh anak-anak perempuan. Begitu juga sebaliknya laki-laki, anak saya laki-laki kalau pakai aksesories batas itu jam tangan, atau gelang cowok ya nggak ada masalah sih sebenarnya.”

Namun ada pula orang tua di keluarga perkotaan kelas sosial menengah atas yang mengontrol anak mereka dengan ketat. Seperti dilakukan oleh Narasumber 12:

“Terus dilingkungan itu juga apa yaa, kita harus mengawasi juga kan. Biasanya kan itu juga dari lingkungannya. Yaa... pokoknya dari dini itu kita lihat lingkungannya gimana.. temen mainnya gimana.. yaa itu, kita harus apa yaa, sering-sering meneliti si anaknya itu. Sering berkomunikasi lah. Seperti itu..”

Kontrol terhadap pendidikan gender juga dilakukan dalam membangun pandangan anak-anak mereka terhadap beberapa konstruksi gender yang lazim di masyarakat yang dipercayai oleh orang tua masing-masing, seperti pria seharusnya tidak mengenakan aksesoris seperti Narasumber 7:

Peneliti : “Bolehkah anak cowok pake aksesoris?”

Narasumber : “Nggak setuju.”

Peneliti : “Kenapa?”

(10)

Begitu pula dengan pandangan bahwa wanita seharusnya tidak merokok seperti dianut oleh Narasumber 3:

Peneliti : “Dibolehin gak kalo merokok?”

Narasumber : “Gak bolehlah kalo cewek”

Dari percakapan di atas bisa kita petik bahwa konstruksi gender di masyarakat perkotaan kelas menengah atas begitu kuat dan berkuasa dibandingkan dengan alasan yang ilmiah, seperti merokok mengganggu kesehatan.

SIMPULAN

Identitas gender dibentuk melalui pendidikan gender. Pendidikan gender yang tepat hanya akan didapatkan melalui pemahaman yang baik terhadap identitas gender diri sendiri. Sayangnya, pada keluarga perkotaan kelas menengah atas, pemahaman mengenai konsep identitas gender masih sangat minim.

Pembentukan identitas gender pada keluarga perkotaan kelas menengah atas mengacu

pada konstruksi gender yang lazim di masyarakat sekitar mereka. Orang tua keluarga perkotaan kelas menengah atas akan terlebih dahulu melirik pada lingkungan dan budaya di sekitar mereka untuk membangun nilai-nilai kelaziman dan ketidaklaziman terhadap gender. Kemudian barulah mereka menurunkan kepercayaan itu terhadap anak-anak mereka melalui pendidikan gender. Artinya, anak-anak di keluarga perkotaan kelas menengah atas adalah produk dari pendidikan gender orang tua mereka yang mana secara tidak langsung adalah produk dari konstruksi sosial yang dianut oleh orang tua mereka.

DAFTAR PUSTAKA

1 Encyclopedia of Children Health. 2008. Gender

Identity. http://www.healthofchildren.com/G-H/Gender-Identity.html. Diakses 12 April 2016.

2 Soekanto, S. 2010. Sosiologi Suatu Pengantar.

Jakarta: Grafindo.

3 Tubbs, Stewart dan Moss, Sylvia. 1996. Human

Communication; Konteks-Konteks Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

4 Devito, Joseph A. 1997. Komunikasi Antar

(11)

Referensi

Dokumen terkait

Titi Purwandari dan Yuyun Hidayat – Universitas Padjadjaran …ST 57-62 PENDEKATAN TRUNCATED REGRESSION PADA TINGKAT. PENGANGGURAN TERBUKA PEREMPUAN Defi Yusti Faidah, Resa

Struktur Organisasi PDAM Kota Denpasar telah sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Organ dan Kepegawaian Perusahaan Daerah Air

Jaksa Pengacara Negara agar selalu menjalin komunikasi dengan pihak- pihak yang terkait baik dengan debitor, kreditor, kurator ataupun hakim pengawas agar Jaksa

Bahwa perbuatan Tergugat V dan Tergugat VI dan terus melakukan kegiatan diatas tanah milik Penggugat adalah suatu perbuatan melawan hukum atas hak orang lain yang menimbulkan

selama 5 tahun pertama kehidupan, maka menyebabkan anak menjadi individu yang dingin, kurang menyayangi, tidak berperasaan dan cenderung menjadi remaja delinkuen

[---] tavallaa jotenki tuntuu siltä ett ku se käsitys yleensä on sillee ett no maahanmuuttajat tulee tänne ja sit niitä hyysätään ja niinku tää kadunmiehen käsitys

〔最高裁民訴事例研究四六四〕

Jika pemberi materi dengan pembuat soal adalah dosen yang sama, maka pola baca mahasiswa memiliki keterkaitan signifikan dengan prestasi akademik, atau dapat