• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kasus Lumpur Lapindo dari Persp

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Analisis Kasus Lumpur Lapindo dari Persp"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Peristiwa Lumpur Lapindo merupakan peristiwa menyemburnya lumpur panas yang terjadi di lokasi pengeboran Lapindo Brantas tepatnya di Dusun Balongnongo, Desa Renokenongo, Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Peristiwa Lumpur Lapindo ini sudah terjadi sejak tanggal 29 Mei 2006 dan sudah mengakibatkan berbagai kerugian fisik, seperti tergenangnya kawasan pemukiman sekitar lokasi pengeboran yang semakin lama semakin luas, selain itu kawasan pertanian dan perindustrian juga tergenang lumpur. Kerusakan itu meliputi wilayah di tiga kecamatan di sekitar Lumpur Lapindo dan telah mengganggu segala aktivitas kehidupan masyarakat di sekitar porong pada khususnya dan masyarakat di Jawa Timur pada umumnya.

PT Lapindo melaui PT Minarak Lapindo Jaya sampai pada bulan Mei 2009 telah melakukan berbagai upaya penyelesaian masalah ini, seperti memberikan uang sebagai ganti tanah untuk masyarakat, juga untuk membuat tanggul dengan biaya sebesar enam triliun.

Pada tahun 2007 WALHI (Wahana Lingkungan Hidup) sebagai sebuah organisasi lingkungan hidup mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas kasus Lumpur Lapindo ini. Makalah ini akan membahas mengenai gugatan perdata yang diajukan leh WALHI kepada Lapindo apakah sudah tepat dalam hal dalil-dalil yang diungkapkannya.

(2)

tepatnya pada tanggal 28 Januari 2003 dan telah menimbulkan kerugian bagi masyarakat sekitar.

Makalah ini akan membahas mengenai gugatan perdata yang diajukan oleh para para penggugat, dengan menitikberatkan apakah dalil-dalil yang diungkapkan oleh penggugat ini sudah sesuai dengan teori dan peraturan perundang-undangan yang ada ataukah belum sesuai.

B. Perumusan Masalah

1. Sudah tepatkah penafsiran penggugat, tergugat, dan hakim terkait precautionary principle ?

2. Sudah tepatkah penggugat menggunakan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dan Strict Liability dalam kasus tersebut?

3. Sudah tepatkah dalil dan pembuktian yang diajukan oleh penggugat ketika menggunakan PMH dan strict liability?

4. Sudah tepatkah hakim menafsirkan PMH dan strict liability?

5. Bagaimana penafsiran dan pertimbangan hakimterkait penggunaan dalih bencana alam dalam kasus Mandalawangi?

6. Bagaiamana penafsiran dan pertimbangan hakim terkait penggunaan dalih bencana alam dalam kasus Walhi vs. Lapindo?

7. Penafsiran dan pertimbangan hakim dalam kasus apa yang lebih tepat/baik? 8. Jika dalam kasus Walhi vs. Lapindo hakim menggunakan ketentuan mengenai

pertanggungjawaban perdata menurut UU No. 23 tahun 2009, bagaimana kemungkinan putusannya?

BAB II ISI A. Kasus Posisi

Putusan Kasus Lapindo Brantas.

(3)

Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, sejak tanggal 29 Mei 2006. Semburan lumpur panas menggenang dan merusak permukiman, pertanian, dan perindustrian di beberapa kecamatan di sekitarnya, serta memengaruhi aktivitas perekonomian di Jawa Timur.

Pihak Penggugat merupakan sebuah yayasan yang bernama Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) yang dalam hal ini sangat berkepentingan terkait para Tergugat telah mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan di daerah sekitar pengeboran.

Pihak tergugat yang digugat oleh penggugat berjumlah 12 tergugat, yaitu: PT. Lapindo Brantas, PT. Energi Mega Persada Tbk., Kalila Energi Limited, PAN Asia Enterprise Ltd., PT. Medco Energi Tbk., Santos Brantas Pty. Ltd., Pemerintah Republik Indonesia Cq. Preseden RI., Pemerintah Republik Indonesia Cq. Menteri Energi Sumber Daya Mineral RI., Pemerintah Republik Indonesia, Cq. Badan Pelaksanaan Kegiatan Usaha hulu Minyak dan gas Bumi, Pemerintah Republik Indonesia Cq. Menteri Negara Lingkungan Hidup RI, Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur, Republik Indonesia Cq. Gubernur Provinsi Jawa Timur, Pemerintah Daerah Kabupaten Sidoarjo Provinsi Jawa Timur Republik Indonesia Cq. Bupati Kabupaten Sidoarjo.

Pihak penggugat mengajukan gugatan dalam sengketa dengan nomor perkara 79/PDT/6/2012/PN.DPK, para penggugat mendalilkan bahwa tergugat telah melakukan serangkaian tindakan yang mengakibatkan rusaknya beberapa bagian dari rumah-rumah mereka. Berikut penjelasan mengenai gugatan penggugat: a) Penggugat mengajukan gugatan dengan dasar Perbuatan Melawan Hukum dan doktrin pertanggungjawaban mutlak (strict liability) atas kegiatan yang dilakukan oleh pihak tergugat I.

b) Tergugat I dianggap sebagai pihak yang seharusnya bertanggung jawab atas kegiatan usahanya mengeksplorasi minyak dan dan gas bumi.

c) Dan tergugat I, II, III, dan IV merupakan sebuah kelompok perusahaan yang satu sama lain memiliki keterikatan kepentingan.

(4)

e) Tergugat XI dan XII yang merupakan pemerintah daerah adalah pihak yang seharusnya sebagai penanggung jawab Administrasi pemerintah daerah di daerahnya.

Kemudian pihak tergugat melakukan perlawanan dalam Eksepsi. Dalam eksepsinya dijelaskan bahwa:

a) Terdapat ketidaksesuaian dalam hak gugat yang dimiliki oleh penggugat. Penggugat merupakan sebuah yayasan tetapi belum mendapatkan persetujuan menteri sehingga pihak penggugat belum mendapatkan status sebagai badan hukum.

b) Dalam gugatan yang diajukan oleh penggugat terdapat kesalahan diamana antara posita dan petitum gugatan berbeda.

c) Gugatan yang diajukan oleh penggugat dianggap tidak jelas atau kabur (Obscure Libell),

d) Tergugat menyatakan bahwa gugatan yang diajukan oleh penggugat kurang pihak.

e) Gugatan yang diajukan oleh penggugat error in persona. Penggugat menyebutkan bahwa pihak tergugat adalah sebuah badan hukum milik pemerintah, tetapi pihak yang melakukan pengeboran adalah sebuah badan usaha milik Amerika.

f) Gugatan yang diajukan oleh penggugat salah alamat. Dimana tempat kedudukan yang dicantumkan dalam gugatan terdapat kesalahan.

g) Gugatan yang diajukan terdapat perubahan dan gugatannya premature.

Kasus Mandalawangi

(5)

Jawa Barat, dan Pemerintah Republik Indonesia Cq. Presiden republik Indonesia Cq. Menteri kehutanan Republik Indonesia.

Penggugat mengajukan gugatan kepada tergugat dengan gugatan sebagai berikut:

a) Tergugat I merupakan pihak yang bertanggung jawab untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan perencanaan, penanaman, pemeliharaan, pemungutan hasil, pengolahan dan pemasaran serta perlindungan dan pengamanan hutan tetapi justru melalaikan kewajibannya dalam mengelola dan memelihara kelestarian hutan. Tergugat I tidak melakukan reboisasasi seperti yang seharusnya dilakukan setelah melakukan penebangan atau mengubah hutan primair menjadi sekunder. b) Tergugat II juga ikut bertanggung jawab karena rusaknya hutan tersebut tidak

akan terjadi apabila tergugat II malaksanakan tugasnya dengan benar, sesuai dengan UU No.41 Tahun 1999, yaitu melakukan pengurusan, pengelolaan dan perlindungan hutan.

c) Tergugat III yang merupakan Menteri Kehutanan Republik Indonesia, dimana dengan wewenangnya, tergugat III membuat kegiatan yang dilakukan oleh tergugat I menjadi perusakan atas Hutan Mandalawangi. Hal tersebut terjadi karena Tergugat III mengeluarkan SK yang merubah hutan Mandalawangi yang memiliki status sebagai hutan lindung menjadi hutan produksi.

d) Karena perubahan fisik yang dilakukan tergugat I yang terjadi di hutan Mandalawangi, lahan tersebut menjadi miring dan tidak mampu lagi menahan curah hujan. Sehingga pada tanggal 28 Januari 2003 pada pukul 20.30 WIB terjadi longsor kemudian menghancurkan Pemukiman Penduduk.

e) Dan tergugat I telah mengetahui kondisi tanah yang disebabkan oleh perubahan fisik tanah pada area hutan Mandalawangi, dan mengetahui bahwa area tersebut terdapat 3 area rawan longsor, namun pihak tergugat I tidak memberitahukan atau mengumumkan kepada masyarakat sekitar area rawan longsor.

B. Pembahasan

1. Penafsiran penggugat, tergugat, dan hakim atas precautionary principle

(6)

mencegah risiko yang timbul dari pencemaran lingkungan hidup. Kemudian, precautionary principle kembali ditegaskan pada Prinsip 15 Rio Declaration (1992), yang menyatakan bahwa apabila terdapat kemungkinan timbulnya kerusakan yang serius dan besar, maka kelangkaan atau kurangnya data ilmiah tidak dapat dijadikan alsan untuk menunda upaya-upaya pencegahan kerusakan lingkungan.

Berdasarkan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, prinsip kehati-hatian pada kebijakan lingkungan hidup di Indonesia diterapkan dengan adanya Amdal atau UKL-UPL sebagai syarat wajib untuk mendapatkan izin lingkungan yang mana izin lingkungan tersebut merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan izin usaha. Sehingga untuk mendapatkan izin usaha, setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup haruslah mempunyai Amdal atau UKL-UPL.

Apabila dilihat dari tujuannya, yaitu untuk menganalisa/mengidentifikasi risiko lingkungan, dapat dikatakan bahwa ERA adalah kegiatan lanjut atau tindakan nyata pelaksanaan dari Amdal.1 Sehingga untuk membuat ERA haruslah dengan adanya Amdal terlebih dahulu, karena ERA berpedoman pada Amdal itu sendiri. Karena itulah prinsip kehati-hatian dengan Amdal dan ERA saling berkaitan satu sama lain.

Prinsip kehati-hatian baru diakui di Indonesia melalui putusan pengadilan, pada tahun 2005, melalui PP No. 21 tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetika (PRG). Pasal 3 PP No. 21 tahun 2005 menyatakan bahwa ketentuan-kententuan yang diterapkan dalam PP ini menggunakan pendekatan kehati-hatian guna mencapai keamanan lingkungan. Lebih jauh lagi, Penjelasan dari Pasal 3 ini menyatakan bahwa prinsip kehati-hatian diterapkan dalam bentuk adanya kewajiban melakukan penilaian resiko (risk assessment) dan pengelolaan resiko (risk management) sebelum diizinkannya penggunaan atau pemanfaatan PRG.

Penggugat

Dalam gugatannya, penggugat menyatakan bahwa tindakan perusakan hutan yang dilakukan oleh tergugat I seharusnya tidak terjadi jika tergugat II

(7)

melaksanakan kewajibannya dalam pengurusan hutan (vide pasal 10 ayat 2 UU No. 41 Tahun 1999), pengelolaan hutan (vide pasal 21 UU No. 41 Tahun 1999), dan perlindungan hutan (vide pasal 48 ayat 2 UU No. 41 Tahun 1999).

Dasar hukum yang didalilkan oleh penggugat dalam gugatannya mencerminkan bahwa penggugat menyatakan seharusnya tergugat melakukan pencegahan kerusakan hutan sebelum melakukan kegiatan usahanya. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa penggugat menfasirkan pencegahan yang dimaksudnya adalah salah satu bentuk precautionary principle yang harus dilakukan oleh tergugat sebelumnya.

Menurut penulis Penggugat telah tepat dalam memahami prinsip kehati-hatian ini, karena pada dasarnya memang Perum Perhutani seharusnya sudah dapat memprediksi bahwa apabila lahan yang miring tersebut tidak segera ditanami (reboisasi) setelah dilakukan penebangan maka akan terjadi kelongsoran akibat tidak mampu menahan curah hujan yang tinggi. Berdasarkan akibat yang sudah jelas dapat diperkirakan tersebut maka dari itu pihak Perum Perhutani sudah selayaknya melakukan pencegahan atas dampak yang mungkin terjadi, yakni dengan melakukan reboisasi terhadap lahan gundul pasca peralihan dari hutan perimer menjadi hutan sekunder.

Tergugat

Dalam salah satu eksepsinya Perum Perhutani menolak dalil korban longsor Mandalawangi yang mengatakan bahwa luas hutan di Jawa Barat tinggal 8% dari 20%. Hal ini karena terdapat pembedaan antara Hutan dan Kawasan Hutan. Dan Kawasan Hutan yang masuk dalam pengelolaan hutan oleh Perum Perhutani hanya seluas 791.886 Ha sedangkan luas daratan Propinsi Jawa Barat adalah hanya kurang lebih 3,5 juta Ha. Dan Perum Perhutani meminta pihak korban longsor Mandalawangi untuk membuktikan bahwa luas hutan di Jawa Barat 53 juta Ha dan sekarang hanya ada 4,24 juta Ha.

(8)

melakukan reboisasi dan menambah hutan primer menjadi hutan sekunder. Sebelum dan setelah ada SK Menhut tersebut di lokasi Gunung Mandalawangi Perum Perhutani tidak pernah melakukan penebangan pohon, yang ada adalah tindakan perbaikan kondisi hutan yang rusak atau gundul akibat perambahan kemudian direboisasi dengan tanaman hutan.

Bahwa berdasarkan gugatan halaman 4 angka 9 tentang Penjelasan Sumpena, Perum Perhutani tidak pernah menyewakan tanah kawasan hutan kepada penduduk dengan alasan maupun tujuan apapun. Juga menurut Perum Perhutani tidak benar yang dinyatakan korban longsor Mandalawangi dalam gugatannya halaman 4 angka 10 karena Perum Perhutani telah melakukan kegiatan reboisasi dan rehabilitasi pada areal in casu sejak tahun 1980 sampai dengan tahun 1999 dengan jenis tanaman Pinus, sedangkan terciptanya lahan kosong bukan dilakukan Perum Perhutani, tetapi dilakukan oleh masyarakat perambah hutan sehingga mengakibatkan adanya kerusakan hutan.

Perum Perhutani juga berpendapat bahwa bencana tanah longsor yang terjadi di Kecamatan Kadungora merupakan bencana banjir bandang yang diikuti dengan tanah longsor yang merupakan kombinasi antara curah hujan sangat deras, kemiringan lereng curam dan jebolnya tanggul-tanggul penahan air hujan yang terbentuk oleh aliran air disertai batu, lumpur dan bahan perintang aliran air lainnya.

Bahwa sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, Perum Perhutani tidak pernah melakukan perubahan fungsi tata guna tanah, melainkan menyelenggarakan pengelolaan hutan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yaitu dengan mereboisasi tanaman hutan dalam rangka rehabilitasi. Jadi bukan seperti halnya pernyataan korban longsor Mandalawangi tersebut pada angka 14.

(9)

Bahwa dari pernyataan gugatan korban longsor Mandalawangi angka 16 justru sebaliknya sama sekali tidak ada data-data dan fakta-fakta yang menunjukan bahwa Perum Perhutani telah melakukan perbuatan baik secara langsung maupun tidak langsung yang mengakibatkan lingkungan tidak berfungsi sebagaimana mestinya karena kejadian bencana alam di Gunung Mandalawangi adalah murni bencana alam.

Akibat bencana tersebut yang menimbulkan korban jiwa dan harta benda adalah dikarenakan area hutan tersebut hanya ditanami jenis perdu sebagaimana gugatan para korban longsor Mandalawangi angka 20 adalah tidak masuk akal dan tidak berdasar karena Perum Perhutani tidak melakukan penebangan pohon besar maupun penanaman pohon jenis perdu.

Bahwa karena kejadian longsor itu adalah murni bencana alam, maka Perum Perhutani tidak seharusnya dibebani tanggung jawab materiil dan imateriil, tidak perlu mengadakan mekanisme pendistribusian ganti rugi, tidak perlu melakukan strict liability, karena kerugian yang diderita oleh korban longsor Mandalawangi bukan karena diakibatkan oleh kegiatan yang dilakukan oleh Perum Perhutani.

Jadi menurut penulis pihak Tergugat ini sudah melakukan prinsip kehati-hatian mengingat kejadian longsor tersebut disebabkan murni oleh bencana alam bukan karena kesalahan akibat peralihan fungsi hutan ataupun tidak adanya pengelolaan hutan dengan baik.

Hakim

(10)

Mandalawangi dari kawasan hutan lindung menjadi kawasan hutan produksi yang didasarkan pada perubahan kebijakan kehutanan sebagaimana tercermin dalam SK Menteri Kehutanan Nomor 419/KPTS/II/1999 telah menyebabkan banjir dan longsor.

Majelis Hakim dalam pertimbangannya merujuk pada prinsip kehati-hatian (precautionary principle) yaitu prinsip ke-15 dalam Deklarasi Rio sebagai dasar untuk pemecahan masalah tentang “kurangnya ilmu pengetahuan” yang diperlihatkan dengan keterangan-keterangan para saksi ahli dari kedua belah pihak yang saling bertentangan sehingga keterangan mereka tidak dapat dijadikan alat bukti untuk menyimpulkan penyebab fakta telah terjadinya banjir dan longsor di Gunung Mandalawangi. Meskipun prinsip kehati-hatian belum masuk ke dalam perundang-undangan Indonesia, tetapi karena Indonesia adalah sebagai salah satu negara peserta Deklarasi Rio 1992, maka prinsip ini dapat dipedomani dan diperkuat untuk mengisi kekosongan hukum dalam praktik.

2. Dalam perbadingan kedua kasus di atas, sudah tepatkah penggugat menggunakan PMH dan strict liability?

Salah satu instrumen hukum yang digunakan dalam konteks penegakan hukum lingkungan adalah instrumen hukum perdata. Instrumen ini digunakan untuk mengetahui unsur pertanggungjawaban guna mendapatkan ganti kerugian dan biaya pemulihan lingkungan akibat pencemaran dan atau pengrusakan lingkungan.

Pertanggung jawaban perdata tersebut diantaranya:

1) Pertanggung jawaban yang mensyaratkan adanya unsur kesalahan (fault based liability).

Konsep ini dikenal dalam ketentuan pasal 1365 KUHPerdata yaitu perbuatan melawan hukum (PMH). PMH menurut pasal 1365 mensyaratkan Penggugat membuktikan adanya unsur kesalahan.

2) Pertanggung jawaban mutlak (strict liability) suatu pertanggung jawaban tanpa harus dibuktikan adanya unsur kesalahan.

(11)

bukti bahwa ia tidak bersalah atas perbuatan tersebut tetapi ia tetap bertanggung jawab atas perbuatan tersebut2.

Munir Fuady mendefinisikan Strict Liability sebagai suatu tanggung jawab hukum yang dibebankan kepada pelaku perbuatan melawan hukum tanpa melihat apakah yang bersangkutan dalam melakukan perbuatannya itu mempunyai unsur kesalahan atau tidak, dalam hal ini pelakunya dapat dimintakan tanggung jawab secara hukum, meskipun dalam melakukan perbuatannya itu dia tidak melakukannya dengan sengaja dan tidak pula mengandung unsur kelalaian, kekuranghati-hatian, atau ketidakpatutan. Jadi, menurut Munir Fuady, Strict Liability adalah tanggung jawab secara hukum pada pelaku perbuatan melawan hukum tanpa mempedulikan unsur kesalahan, bahkan tanpa unsur kesengajaan, kelalaian, kekuranghati-hatian atau ketidakpatutan sekalipun.

Sedikit berbeda dari pendapat tersebut, Strict Liability juga didefinisikan dalam Restatement (Second) of Torts Article 519 (1) yang berbunyi, “One who carries on an abnormally dangerous activity is subject to liability for harm to the person, land or chattels of another resulting from the activity, although he has excercised the utmost care to prevent the harm.” Jadi, pelaku kegiatan yang berbahaya secara abnormal (abnormally dangerous activity) bertanggungjawab atas kerugian yang timbul dari kegiatan tersebut, meskipun ia telah melakukan usaha paling maksimal untuk mencegah timbulnya kerugian (excercised the utmost care to prevent the harm).

Kesimpulan dari definisi tersebut adalah bahwa ada tiga hal yang harus dibuktikan oleh Penggugat untuk memperoleh kebenaran atas gugatannya yang berdasar pada Strict Liability, yakni:

a) Membuktikan terjadinya Abnormally Dangerous Activity yang dilakukan oleh Tergugat

Article 520 Restatement (Second) of Torts menentukan enam parameter kegiatan yang tergolong sebagai Abnormally Dangerous Activity, yaitu:

1) Existence of a high degree of risk;

2) Likelihood that the harm that results from it will be great; 3) Inability to eliminate the risk;

2 Dikutip dari tulisan Prof.Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, SH.ML. Kumpulan Karya Tulis

(12)

4) Extent to which the activity is not a matter of common usage;

5) Inappropriateness of the activity to the place where it is carried on; and.

6) Extent to which its value to the community is outweighed by its dangerous attributes.

b) Membuktikan adanya Kerugian.

c) Membuktikan adanya Kausalitas antara kegiatan seseorang dengan kerugian yang ditimbulkannya.

Strict liability diatur dalam pasal 35 Undang-undang no. 23 tahun 1997, yang berbunyi:

1) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa pencemaran dan/atau perusakan lingkungna hidup disebabkan salah satu alasan di bawah ini:

a) adanya bencana alam atau peperangan; atau

b) adanya keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia; atau

c) Adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

3) Dalam hal terjadi kerugian yang disebabkan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, pihak ketiga bertanggung jawab membayar ganti rugi.

Penafsiran dari pasal (1) adalah para korban dilepaskan dari beban berat untuk membuktikan adanya hubungan kausal antara kerugiannya dengan tindakan individual Tergugat. Pasal (2) berarti para pihak pencemar akan memperhatikan baik-baik kehati-hatiannya, maupun tingkat kegiatannya.

(13)

Prinsip tanggung jawab mutlak mutlak (strict liability) merupakan gagasan yang disampaikan dalam UU No. 23 tahun 1997 Tentang Lingkungan Hidup kemudian dipertegas di UU No. 32 Tahun 2009. Pasal 88, yang berbunyi:

“Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.”

Kasus Lapindo

Berdasarkan berbagai teori mengenai PMH dan Strict Liability di atas, kita dapat memahami bahwa sebenarnya tak perlulah dilakukan gugatan PMH terhadap peristiwa kerusakan yang ditimbulkan akibat kegiatan pengeboran yang dilakukan oleh PT. Lapindo Brantas di Sidoarjo tersebut. Jadi dalam kasus Lapindo lebih tepat digunakan gugatan pertanggungjawaban mutlak saja sesuai dengan Pasal 35 UU No. 23 Tahun 1997. Gugatan pertanggungjawaban mutlak ini perlu digunakan dalam kasus Lapindo karena menurut penulis kegiatan pengeboran gas tersebut merupakan suatu kegiatan/usaha yang berdampak besar dan penting. Kegiatan tersebut menjadi berdampak penting karena pemilik usaha seharusnya sudah mengetahui secara jelas dampak yang akan terjadi jika pengeboran dilakukan di daerah yang rawan gempa, sementara pada pipa pengeboran tidak dipasang cashing pengaman.

Selain itu pertanggungjawaban mutlak yang harus dipenuhi oleh PT. Lapindo sudah memenuhi unsurnya, yakni kerugian yang besar akibat semburan lumpur di lokasi pengeboran yang semakin meluas ke area pemukiman, pertanian, dan perindustrian. Unsur kausalitas juga sudah terbukti karena meskipun meluapnya lumpur itu dipicu oleh adanya gempa bumi, akan tetapi tetap ada hubungannya dengan sistem pengeboran yang dilakukan oleh PT. Lapindo.

(14)

PMH dan strict liability diajukan bersamaan, karena di satu sisi Penggugat harus membuktikan unsur kesalahan (melawan hukum) di sisi lain ia juga harus membuktikan unsur kerugian, dan hal tersebut merupakan upaya yang sangat sulit. Kasus Mandalawangi

Dalam kasus Mandalawangi tampak jelas bahwa seharusnya yang dipakai adalah tuntutan PMH, karena pihak Tergugat ini tidak melakukan hal yang seharusnya ia lakukan agar tidak terjadi dampak buruk atas penertiban kawasan hutan atau pengalihan fungsi hutan dari hutan lindung menjadi hutan produksi terbatas. Di sini Perum Perhutani seharusnya melakukan reboisasi dengan segera mengingat lahan terkait merupakan lahan yang miring dan rawan longsor, sehingga sudah dapat diperkirakan apabila langkah-langkah pencegahan berupa reboisasi dan pengelolaan hutan lainnya tidak segera dilakukan maka kemungkinan akan menimbulkan bencana seperti longsor. Tindakan tersebut sudah bisa dilihat sebagai suatu tindakan yang melawan hukum, karena tidak dilakukannya reboisasi pasca pengalihan fungsi hutan merupakan tindakan yang melanggar hukum, kepatutan, dan kehati-hatian. Kemudian akibat tindakannya tersebut lahan yang bersangkutan menjadi semakin miring dan tidak mampu lagi menahan curah hujan sehingga menimbulkan kelongsoran.

Selain tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh Perum Perhutani tampak pula perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Menteri Kehutanan yang bersangkutan karena lalai melakukan pembinaan kepada Perum Perhutani untuk melakukan pengelolaan hutan di kawasan Mandalawangi dengan baik dan tepat.

Karena unsur melawan hukum sudah terpenuhi, maka tidak perlu dilakukan tuntutan pertanggungjawaban mutlak agar Perum Perhutani ini melakukan penggantian kerygian kepada para korban. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa tuntutan PMH dan pertanggungjawaban mutlak (strict liability) agar tidak dimintakan secara bersamaan karena dalam hal pembuktian akan rumit dan banyak terdapat kesulitan.

3. Dalam perbadingan kedua kasus di atas sudah tepatkah dalil dan pembuktian yang diajukan oleh penggugat ketika menggunakan PMH dan

(15)

Kasus Mandalawangi

Jika yang dituntut adalah PMH, maka Penggugat telah tepat menggunakan PMH dalam dalil dan pembuktian yang diajukannya. Hal ini dapat dianalisa bahwa Perum Perhutani tidak melakukan pengelolaan dan pemeliharaan, sehingga dapat disimpulkan bahwa Perum Perhutani telah melanggar Pasal 7 butir b PP No. 53 Tahun 1999 jo Pasal 6 UUPLH ayat 1, dikarenakan pihak Perum Perhutani tidak memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan mnenanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Kelestarian lingkungan telah diabaikan oleh pihak Perum Perhutani, hal tersebut terlihat dari diabaikannya pengelolaan hutan dan telah menyimpangnya dari maksud dan tujuan perusahaan , yang mana mengakibatkan hutan di Jawa Barat menjadi tinggal 8% dari sebelumnya 20% sebelum dikelola oleh Tergugat I, hal itulah yang menyebabkan banjir dan longsornya tanah di kawasan Gunung Mandalawangi. Hal ini merupakan celah yang dilakukan oleh pihak Perum Perhutani, dikarenakan berdasarkan SK Menhut No. 419/KPTS.II/1999 mengubah status hutan lindung Mandalawangi menjadi hutan produksi terbatas serta memberi kewenangan pengelolaannya kepada Perum Perhutani, yang pada kenyatannya memberikan peluang kepada Perum Perhutani untuk melakukan perbuatan yang menyimpang dari maksud dan tujuan perusahaan. Perbuatan tersebut seperti tidak melakukan reboisasi setelah penebangan atau merubah hutan primer menjadi hutan sekunder.

Oleh karena itu, Menteri Kehutanan telah lalai dalam melakukan kewajibannya yaitu melakukan pembinaan kepada Perum Perhutani berdasarkan Pasal 16 ayat 1 dan 4 PP No. 53/1999. Di samping itu, Perum Perhutani juga telah menyewakan lahan kepada penduduk di sekitarnya dengan alasan dan tujuan yang vtidaj jelas di atas area yang seharusnya direboisasi. Maka dapat kita simpulkan bahwa Perum Perhutani telah melanggar Pasal 1365 KUHPerdata yang berisi: “Tiap Perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada Seorang lain, mewajibkan orang yang salah karena menerbitkan Kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”

(16)

Perum Perhutani juga telah melakukan perusakan hutan berdasarkan Pasal 50 ayat 2 UU No. 41 Tahun 1999, hal ini muncul dikarenakan Perum Perhutani tidak melakukan reboisasi, mengubah hutan primer menjadi hutan sekunder, menciptakan lahan kosong dan lahan garapan pertanian di sekitar area hutan. Perum Perhutani juga lalai ketika tidak memberikan informasi kepada masyarakat dan pihak-pihak terkait termasuk Pemda Kabupaten Garut. Sebelum terjadinya longsor, Perum Perhutani sudah mengetahui dan mengakui bahwa sejak 6 bulan silam, petak V yang berarea 102 ha terdapat 3 titik rawan longsor dan VI yang berarea 195 ha terdapat 4 titik rawan longsor, namun Perum Perhutani tidak menanganinya dan mengumumkannya maka hal ini telah melanggar Pasal 6 UU No. 23 Tahun 1997.

Maka dapat kita simpulkan pihak yang menanggung atas semua kerugian dan kesalahan ini adalah pihak Perum Perhutani sebagai pihak utama yang harus di salahkan, pihak Gubernur Propinsi Jawa Barat dan pihak Menteri Kehutanan. Semua pihak ini harus bertanggung jawab atas kesalahan mereka baik dengan sengaja atau dengan lalai.

Kasus Lapindo

Dasar hukum diajukannya gugatan:

a. Bahwa penggugat mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terkait dengan kerusakan yang memiliki dampak yang besar dan penting terhadap lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup akibat dari semburan lumpur panas yang terjadi di area lokasi sumur pengeboran Tergugat I, Sumur Banjar Panji 1 kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur.

b. Dasar hukum diajukannya gugatan perbuatan melawan hukum atas kerusakan lingkungan adalah pasal 34 ayat 1 jo. pasal 35 ayat 1 Undang- Undang No. 23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup jo. Pasal 1365, pasal 1367 KUHPerdata. Pasal 34 ayat 1 Undang- undang No. 23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup:

(17)

Pasal 35 ayat 1 Undang- undang No. 23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup:

“ Penanggungjawab usaha dan/ atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/ atau perusakan lingkungan hidup”.

Uraian perbuatan melawan hukum:

a. Bahwa setiap perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/ atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup, mewajibkan penanggung usaha dan/ atau kegiatan untuk membayar ganti rugi dan/ atau melakukan tindakan tertentu ( pasal 34 ayat 1 UU No. 23 tahun 1997).

b. Bahwa tergugat I dalam melakukan eksplorasi di Sumur BJP 1 tersebut, telah menjadi penyebab atau pemicu semburan lumpur panas dan mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup.

c. Bahwa tergugat I dalam hal ini diketegorikan sebagai Penanggung Jawab Usaha menurut pasal 34 ayat 1 UU No. 23 tahun 1997 harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Berdasarkan uraian tentang perbuatan melawan hukum dan dasar hukum diajukannya gugatan, maka unsur yang harus dipenuhi dari perbuatan melawan hukum berdasarkan pasal 1365 KUHPerdata adalah:

“ Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.

Unsur- unsurnya terdiri dari:

1. Pelanggaran menimbulkan kerugian kepada orang lain.

Dalam kasus lumpur lapindo, perbuatan yang dilakukan yaitu melakukan eksplorasi dengan penggeboran yang menyebabkan adanya luapan lumpur tentu merugikan orang- orang disekitarnya. Hal ini terbukti dengan:

(18)

dapat dihuni lagi pemukiman tersebut, dan sebanyak 8.200 jiwa diungsikan;

b. Rusaknya lahan pertanian dan perkebunan milik masyarakat; c. Rusaknya sarana prasarana dan infrastruktur;

d. Matinya ribuan hewan ternak;

e. Terhentinya aktivitas pabrik- pabrik, tidak dapat berfungsi lagi, dikarenakan tergenang lumpur dan terpaksa menghentikan proses produksinya dan merumahkan tenaga kerja.

2. Kesalahan

Dalam Hukum Perdata, terdapat suatu aturan bahwa siapa yang menggugat dialah yang harus membuktikan (pasal 1865 KUHPerdata), maka dalam kasus Lumpur Lapindo, penggugat mengungkapkan fakta- fakta yang merupakan perbuatan kesalahan dari Tergugat I yaitu:

Bahwa Tergugat I ketika memulai kegiatan eksplorasi di sumur BJP 1 tidak mempunyai dokumen AMDAL.

3. Hubungan kausalitas antara kerugian yang timbul dengan kesalahan

Terjadinya semburan lumpur adalah akibat dari eksplorasi yang dilakukan oleh Tergugat I.

Dalam proses persidangan, Tergugat dapat membuktikan tidak adanya unsur kesalahan sehingga unsur kausalitas (sebab-akibat) antara perbuatan Tergugat melakukan eksplorasi di sumur BJP 1 dengan kerugian yang timbul akibat semburan lumpur panas juga tidak terbukti. Tergugat menghadirkan alat bukti berupa surat dan keterangan empat orang saksi ahli yang meringankan Tergugat. Keempat saksi ahli menerangkan di persidangan bahwa semburan lumpur panas yang terjadi bukanlah akibat suatu kesalahan yang dilakukan oleh Tergugat, melainkan merupakan akibat dari bencana alam berupa gempa bumi yang terjadi beberapa hari sebelum munculnya semburan lumpur tersebut. Disamping itu, Tergugat juga dianggap telah melakukan segala tindakan yang perlu untuk mencegah terjadinya semburan lumpur panas.

Sedangkan dari pihak Penggugat tidak dapat menghadirkan alat bukti yang dapat meyakinkan Hakim mengenai unsur kesalahan Tergugat terkait dalil PMH yang diajukan dalam gugatan. Karena itu, menurut kami wajar jika Hakim, berdasarkan alat bukti yang dihadirkan di persidangan, memutuskan bahwa unsur-unsur PMH dalam kasus ini tidak terbukti.

(19)

Penggugat juga mendasarkan gugatan menggunakan doktrin strict liability atau pertanggungjawaban mutlak. Berdasarkan konsep ini, penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang usahanya menimbulkan dampak besar bagi lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya atau beracun bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan. Konsekuensinya, perusahaan harus membayar ganti rugi secara langsung dan seketika terjadinya pencemaran.

Perlu dibedakan antara strict liability dan pembuktian terbalik karena sering sekali kedua hal ini dipersamakan. Pada pembuktian terbalik, pihak yang lebih kuat kedudukannya dibebani kewajiban untuk membuktikan bahwa akibat hukum dari suatu perbuatan bukanlah kesalahannya tetapi pada strict liability, ada atau tidak adanya pembuktian dari pihak tergugat, ia tetap bertanggung jawab atas akibat hukum dari suatu peristiwa yang terjadi dengan berdasarkan kriteria-kriteria yang telah dipenuhi.

Konsep strict liability atau liability without fault dalam hukum lingkungan di Indonesia diatur dalam Pasal 35 UU Lingkungan Hidup. Pengertian bertanggung jawab secara mutlak atau strict liability dalam Penjelasan Pasal 35 tersebut, yakni unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti kerugian. Terjemahan Strict Liability menjadi Tanggung Jawab Mutlak agak riskan, sebab terdapat satu istilah lagi yang berbeda maknanya dengan Strict Liability, yaitu Absolute Liability. Pada Absolut Liability, bahkan kerugian pun tidak perlu dibuktikan. Jadi, hanya dengan melakukan suatu perbuatan yang tergolong dalam ketentuan Absolute Liability tersebut, maka pelaku sudah harus bertanggung jawab, sehingga hal yang harus dibuktikan oleh Penggugat terhadap perbuatan Tergugat hanya satu, yaitu membuktikan bahwa Tergugat memang melakukan sesuatu hal yang dilarang tersebut. Tentu pengertian Absolute Liability berbeda dengan Strict Liability, sehingga perlu diperhatikan bahwa Tanggung Jawab Mutlak yang diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 1997 maupun UU Nomor 32 Tahun 2009 adalah Strict Liability, bukan Absolute Liability.

(20)

a. Menggunakan bahan berbahaya dan beracun; dan/atau b. Menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun.

Kewajiban membayar ganti rugi timbul bagi penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang ditentukan diatas yakni secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Namun, Pasal 35 ayat (2) UU Nomor 23 Tahun 1997 memuat ketentuan bagi penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk dapat dibebaskan dari kewajiban ganti rugi tersebut yakni bila dapat membuktikan bahwa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup disebabkan oleh:

a. Bencana alam atau peperangan; atau

b. Keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia; atau

c. Tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

Berdasarkan berbagai penjelasan di atas, menurut penulis memang Penggugat dalam Kasus Lapindo ini lebih tepat jika menggunakan dalil tuntutan pertanggugjawaban mutlak (strict liability) karena pada kenyatannya Penggugat ini sulit untuk membuktikan kesalahan yang dilakukan oleh pihak Tergugat. Selain itu juga berdasarkan kerugian yang ditimbulkan akibat semburan lumpur tersebut lebih nyata dan mudah dibuktikan. Konsekuensinya karena Penggugat tidak bisa membuktikan kesalahan yang ia tuduhkan kepada Tergugat berdasarkan dalil PMH maka di sini hakim hanya membuktikan dari sisi bukti-bukti yang diajukan oleh Tergugat, maka dari itu justru Penggugat sendiri yang rugi akibat tidak dikabulkannya gugatan PMH yang diajukan.

(21)

dan pembuktian yang diajukan oleh Penggugat menjadi kurang tepat karena PMH dan strict liability diajukan bersamaan.

Sehingga dapat disimpulkan dari penjelasan mengenai kasus Lapindo bahwa tidak cukupnya alat bukti yang sah dari pihak Penggugat dalam pembuktian unsur kesalahan pada perbuatan melawan hukum membuat Majelis Hakim hanya mempertimbangkan dalil-dalil pihak Tergugat yang membuktikan bahwa keluarnya lumpur panas adalah akibat bencana alam, bukan akibat kesalahan dari pihak Tergugat. Sehingga, unsur kesalahan yang merupakan salah satu unsur-unsur kumulatif dari Perbuatan Melawan Hukum tidak terbukti.

4. Sudah tepatkah hakim menafsirkan PMH dan Strict Liability?

Perbuatan melawan hukum (PMH), membicarakan mengenai hal tersebut membuat kita kembali merujuk pada ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata, yang isinya ”tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”

Awalnya, perbuatan melawan hukum yang terdapat dalam Pasal 1365 mengandung perngertian yang sempit, hanya mencakup perbuatan yang melawan undang-undang saja, yaitu perbuatan yang bertentangan dengan hak dan kewajiban hukum menurut undang-undang3. Namun seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan kebutuhan zaman, pengertian perbuatan melawan hukum ini kemudian menjadi lebih luas, yaitu tidak hanya perbuatan yang melanggar kaidah-kaidah tertulis, yaitu perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku dan melanggar hak subjektif orang lain saja, tetapi juga perbuatan yang melanggar kaidah-kaidah tak tertulis seperti kaidah yang mengatur tata susila, kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian yang seharusnya dimiliki oleh seseorang dalam pergaulan hidup dalam masyarakat atau terhadap harta benda masyarakat.

Mengenai unsur-unsur yang ada dalam suatu Perbuatan Melawan Hukum (PMH), menurut L.C. Hofmann untuk adanya suatu perbuatan melawan hukum harus dipenuhi empat unsur, yaitu:

1) Er moet een daad zijn verricht (harus ada yang melakukan perbuatan);

2) Die daad moet onrechtmatig zijn (perbuatan tersebut harus melawan hukum);

(22)

3) De daad moet aan een ander schade heb bentoege bracht (perbuatan itu harus menimbulkan kerugian pada orang lain);

4) De daad moet aan schuld zijn te wijten (perbuatan itu karena kesalahan yang dapat dicelakakan padanya).

Sejalan dengan Hofmann, Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa syarat-syarat yang harus ada untuk menentukan suatu perbuatan sebagai perbuatan melawan hukum adalah:

1) harus ada perbuatan, yang dimaksud dengan perbuatan ini baik bersifat positif maupun yang bersifat negatif, artinya setiap tingkah laku berbuat atau tidak berbuat.

2) perbuatan itu harus melawan hukum. 3) ada kerugian.

4) ada hubungan sebab-akibat antara perbuatan melawan hukum itu dengan kerugian.

5) ada kesalahan (schuld)4

Konsep atau syarat Kesalahan dalam PMH yang dicantumkan dalam Pasal 1365 KUH Perdata, menghendaki untuk menekankan bahwa pelaku PMH hanya bertanggungjawab atas kerugian yang ditimbulkannya apabila perbuatan tersebut dapat dipersalahkan padanya,5 yang mana mengenai kesalahan itu mencakup dua pengertian, secara luas (terdapat kealpaan dan kesengajaan) maupun secara sempit (kesengajaan).

Seiring dengan perkembangan zaman, sekarang konsep tanggungjawab kesalahan yang berdasarkan kesalahan (liability based on fault) mulai bergeser dari konsep risiko yang melahirkankonsep strict liabiity yaitu pertanggungjawaban mutlak. Hal ini khususnya terlihat dari masalah perlindungan lingkungan hidup. Seperti yang diungkapkan oleh Rudiger Lummert:6

“The traditional law of Torts is, at least in the legal system of Continental Europe, closely linked to the concept of fault. In the Anglo-American system the concept of fault also plays a significant role; for example, in negligence

4 Mariam Darus Badroelzaman, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasan,

(Bandung: Alumni, 1996) hal.147-148

5 Rosa Agustina, Opcit., hal 64

(23)

actions and in the requirement of negligent or reckless conduct for liability in other actions.formerly in Continental legal systems, the view prevailed that fault was the constitutiveelement for liability-where there was no fault, there could be no damage. With industrialization producing new and greater risks and complicated causal relationships, legal theory has moved away from the concept of risk. Liability based on fault has not been abandoned, came into play-have been withdrawn. Environmental law is, as will be pointed aou later, strongly affected by this.”

Hal serupa juga menjadi pandangan yang dikemukakan oleh James E. Krier7 mengenai adanya tanggung jawab mutlak atau strict liability ini.

Pertanggungjawaban mutlak (strict liability) diartikan terutama sebagai kewajiban mutlak yang dihubungkan dengan kewajiban kerusakan yang ditimbulkan. Salah satu ciri utama tanggungjawab mutlak adalah tidak ada persyaratan tentang perlu adanya kesalahan. Prinsip tanggung jawab mutlak (stricy liability) dianut oleh UU No. 4 tahun 1982 tentang Pengelolaan Lingkugan Hidup, dalam Pasal 21 yang intinya menyatakan bahwa prinsip tanggung jawab mutak tidak diterapkan secara umum untuk semua pencemaran melainkan untuk kegiatan yang menyangkut jenis sumber daya tertentu saja.

Undang-Undang No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan lingkungan hidup memuat ketentuan pertanggungjawaban atas pencemaran/kerusakan lingkungan hidup dalam pasal 34 dan 35 yang dapat dibedakan sifatnya :

a. Dasar pertanggungjawaban yang bersifat biasa (Pasal 34) b. Dasar pertanggungjawaban yang bersifat khusus (Pasal 35)8

Pertanggungjawaban yang bersifat khusus ini berkembang dalam Hukum Lingkungan dengan nama Strict Liability. Jenis Liability tersebut, diklasifikasi sebagai pertanggungjawaban yang bersifat khusus karena dalam konsepnya, pertanggungjawaban tersebut mensyaratkan dipenuhinya kondisi tertentu agar dapat diterapkan untuk sengketa pencemaran/kerusakan lingkungan hidup.

7 Suparto Wijoyo, Penyelesaian Sengketa Lingkungan. Surabaya: Airlangga University Press,

2003

(24)

Kekhususan Strict Liability ini memberikan kemudahan bagi korban dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dalam proses pembuktian kesalahan, yang dalam konteks lingkungan hidup, sangat sulit untuk dibuktikan sebagaimana dipaparkan oleh N.H.T. Siahaan. Peniadaan pembuktian unsur kesalahan dampaknya pada akhirnya hanya berupa kesimpulan bahwa, penanggung jawab usaha tidak boleh tidak bertanggung jawab atas kerusakan dan/atau pencemaran terlepas apakah pada saat itu penanggung jawab usaha sengaja atau lalai, mengingat Schuld berbicara mengenai Mens Rea. Namun penerapan pertanggungjawaban tersebut harus tetap mensyaratkan adanya kausalitas antara pencemaran/kerusakan lingkungan yang terjadi dengan usaha/kegiatan penanggung jawab usaha. Pemenuhan syarat tersebut semata-mata untuk memberikan kepastian hukum atas persona dari Tergugat; agar kondisi dimana penentuan tergugat dalam perkara tidak sembarangan dan merugikan pihak yang seharusnya tidak ikut bertanggung jawab. Disampaing itu, klasula “pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup” memberikan alasan bahwa kerusakan lingkungan yang terjadi harus merupakan akibat dari usaha/kegiatan penanggung jawab usaha.

Adapun melihat putusan dalam Kasus Lapindo, isi pertimbangan Majelis Hakim adalah sebagai berikut:

“Bahwa yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang melanggar hak orang lain dan bertentangan dengan kewajiban hukum si Pembuat, bertentangan dengan kesusilaan dan bertentangan dengan kepatutan”.

“Bahwa yang dimaksud dengan kesalahan dapat diukur secara objektif dan subyektif, yaitu secara objektif harus dibuktikan bahwa dalam keadaan seperti itu manusia normal dapat menduga kemungkinan timbulnya akibat dan kemungkinan ini akan mencegah manusia untuk berbuat atau tidak berbuat. Secara subyektif harus diteliti apakah Si Pembuat berdasarkan keahlian yang dimiliki dapat menduga perbuatannya”.

(25)

keuntungan yang seharusnya diperoleh. Kerugian idiil berupa ketakutan, sakit dan kehilangan kesenangan hidup”.

Dalam putusannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa Tergugat tidak melakukan perbuatan Melawan Hukum dengan alasan sebagai berikut

“Bahwa semburan lumpur sidoarjo merupakan fenomena alam yang bersumber dari suatu lapisan batu lempung di bawah permukaan yang berada dalam kondisi plastis, mudah bergerak berada pada temperature dan tekanan tinggi. Disinyalir juga dengan adanya gempa tektonik di Yogyakarta”.

Selain itu, Majelis Hakim juga memutuskan bahwa Tergugat I bertanggungjawab terhadap penanggulangan semburan lumpur tersebut serta untuk pengembalian lingkungan hidup yang rusak. Di akhirnya. Hakim memutuskan bahwa gugatan Penggugat ditolak sehingga Penggugat mendapat hukuman berupa membayar biaya perkara sebesar Rp 1.184.000,00.

Terlihat jelas bahwa putusan Majelis Hakim tersebut terlihat tidak konsiten, sebab di satu sisi menyatakan bahwa Tergugat tidak bersalah namun disisi lain menyatakan bahwa Tergugat bertanggung jawab terhadap kasus semburan lumpur tersebut.

Majelis hakim menyatakan, bahwa para Tergugat terbukti tidak bersalah melakukan perbuatan melawan hukum. Akan tetapi majelis juga menyatakan bahwa Tergugat harus bertanggungjawab terhadap semburan lumpur panas Lapindo. Hal ini menunjukkan inkonsistensi Majelis dalam melihat fenomena lumpur panas Lapindo, dan itu disebabkan oleh tidak utuhnya melihat fenomena tersebut dari berbagai sudut pandang. Secara normatif, pihak yang dinyatakan tidak bersalah tidak harus mempertanggungjawabkan sesuatu. Tetapi hal itu terjadi pada putusan Majelis, bahwa Tergugat memiliki kewajiban bertanggungjawab terhadap semburan lumpur panas Lapindo.

(26)

Selain itu, Majelis Hakim tidak mendasarkan putusannya atas dasar sosiologis, hanya berdasarkan faktor yuridis saja sehingga petanggungjawaban Tergugat I dengan latar belakang keputusan yang menyatakan bahwa Tergugat I tidak bersalah mengakibatkan tidak adanya tindakan yang cepat dan tepat dalam penganggulangangannya. Dalam putusan ini, pihak Tergugat yang dikenai pertanggung jawaban adalah Tergugat I (PT LAPINDO BRANTAS). Dalam gugatannya, Penggugat menyatakan bahwa Tergugat dikategorikan sebagai Penanggung Jawab Usaha, dan menurut pasal 34 ayat 1 Undang-Undang No 23 tahun 1997 Tergugat harus mempertanggugjawabkan perbuatannya.

Jenis pertanggungjawaban yang dibebankan kepada Tergugat sesuai dengan pasal 34 UU no. 23 tahun 1997 adalah Pertanggungjawaban Mutlak (Strict Liability). Penggugat menyatakan dalam gugatannya, point D no. 5, bahwa doktrin Pertanggugjawaban secara mutlak ini berlaku bagi permasalahan pencemaran lingkungan hidup yang terjadi akibat semburan lumpur panas di daerah Sidoarjo. Sebab secara nyata semburan lumpur panas dengan jumlah yang besar dan penting bagi lingkunagn hidup dan masyarakat yang dirugikan. Dampak yang besar ini telah jelas-jelas mengancam kehidupan manusia dan keberlangsungan lingkungan hidup.

Kemudian untuk memperkuat argumennya, disebutkan lagi dalam point D no. 8 bahwa menurut pasal 15 Undang-undang nomor 23 tahun 1997 yang mengatur mengenai AMDAL:

(1) Setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup.

(2) Ketentuan tentang rencana usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), serta tata cara penyusunan dan penilaian analisis mengenai dampak lingkungan hidup ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

(27)

yang terdapat dalam Pasal 3 ayat (1) PP Nomor 27k Tahun 1999 : Usaha dan/atau kegiatan yang memungkinkan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup adalah:

a. Pengubahan bentuk lahan dan bentang alam.

b. Eksploitasi Sumber Daya Alam baik yang terbaharui maupun yang tak terbaharui.

c. Proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pemborosan, pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, serta kemerosotan sumber daya alam, dalam pemanfaatannya.

d. Proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan serta lingkungan sosial dan budaya.

e. Proses dan kegiatan yang hasilnya akan dapat mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumber daya dan/atau perlindungan cagar budaya. f. Introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, jenis hewan dan jenis jasad renik. g. Pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan non hayati.

h. Penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk mempengaruhi lingkungan hidup.

i. Kegiatan yang mempunyai resiko tinggi, dan/atau mempengaruhi pertahanan negara.

Bahwa merujuk pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup N0. 17 Tahun 2001 huruf J poin C, bahwa jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang WAJIB dilengkapi AMDAL adalah apabila kegiatan yang dilakukan Tergugat 1 sudah masuk ke dalam tahap Eksploitasi. Sedangkan kegiatan yang dilakukan oleh Tergugat 1 masih dalam taham Eksplorasi, jadi tidak wajib AMDAL. Sehingga sesuai dengan definisi pasal 35 UULH no. 23 tahun 1997 tentang strict liability, Tergugat 1 tidak masuk ke dalam criteria tersebut.

Kemudian Penggugat menyatakan dalam poin D no. 9 mengenai dampak yang terjadi akibat kegiatan usaha Tergugat I, serta menyatakan bahwa atas dampak tersebut, maka sudah jelas Tergugat I sebagai pihak penanggung jawab atau pelaksana dikenai Pasal 35 UU no 23/ 1997 mengenai strict liability, dan wajib membayar ganti rugi atas segala kerugian yang terjadi.

(28)

pertanggungjawaban mutlak dalam kasus Lapindo, dan juga tuntutan perbuatan melawan hukum dalam kasus Mandalawangi.

5. Penafsiran dan pertimbangan hakim terkait penggunaan dalih bencana alam dalam kasus Mandalawangi

Bencana Alam (Act Of God) dalam Konteks Strict Liability9

Istilah ‘force majeur’ seringkali dikemukakan untuk mengurangi atau menghilangkan tanggung jawab seseorang ketika ia tidak dapat melakukan kewajibannya karena sebab-sebab di luar kendalinya, seperti kuasa Tuhan (act of God).

Act of God didefinisikan oleh Congress (badan legislatif di Amerika Serikat) sebagai suatu hal yang yang disebabkan oleh bencana alam yang serius ( grave natural disaster ). Akan tetapi tidak semua bencana alam dapat dikategorikan sebagai act of God. Yang dapat dikategorikan adalah bencana yang tidak biasa (unusual) dan luar biasa (extraordinary) secara alamiah, serta tidak dapat diantisipasi atau diprediksi dalam keadaan normal. Jadi apabila suatu bencana alam merupakan sesuatu yang lumrah terjadi di di daerah tersebut, peristiwa tersebut bukanlah grave natural disaster dan bukanlah akibat dari act of God.

Badai merupakan salah satu kejadian yang didefinisikan sebagai contoh dari act of God. Hal tersebut dikarenakan usaha untuk menentukan jalur, kecepatan, dan dampaknya merupakan hal yang menantang dan sulit untuk diprediksi secara akurat oleh badan meteorologi. Kesimpulan dari kejadian alam yang sulit diantisipasi dan diprediksi tersebut dapat diklasifikasikan sebagai salah satu contoh dari act of God. Akan tetapi tidak semua badai dapat diklasifikasikan sebagai act of God karena beberapa sebab terkait dengan peringatan yang cukup sebelum peristiwa terjadi.

Act of God juga didefinisikan sebagai tindakan yang diakibatkan oleh alam tanpa adanya campur tangan dari manusia. Bila ada intervensi dari manusia sekecil apapun yang menyebabkan timbulnya bencana, maka biasanya pengadilan akan menolak defense act of God yang dikemukakan oleh pihak tersebut.

(29)

ada campur tangan manusia. Kejadian itu harus tidak dapat dihindari, diprediksi, maupun ditangani dengan amat hati-hati.

Pihak yang secara potensial harus bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan (Potentially Responsible Parties/PRPs) biasanya menggunakan act of God sebagai alasan untuk mengurangi tanggung jawab. Akan tetapi tidak cukup hanya dengan mengemukakan alasan tersebut lantas ia dapat lepas dari tanggung jawab; ia juga harus menyertakan bukti-bukti yang cukup dan mendukung bahwa peristiwa tersebut tidak mungkin diprediksi atau dihindari dan act of God adalah satu-satunya penyebabnya (sole cause).

Kesimpulannya, supaya para pihak dapat menggunakan dalih act of God sebagai penyebab suatu peristiwa, ia harus membuktikan 4 unsur berikut di hadapan pengadilan : (1) act of God itu tidak dapat diantisipasi; (2) act of God haruslah bencana alam yang serius (grave) atau fenomena alam lainnya yang luar biasa (exceptional), tidak terhindarkan (inevitable), dan tidak tertahankan (irresistible); (3) act of God haruslah merupakan satu-satunya penyebab (sole cause); (4) kerusakan yang disebabkan act of God tersebut tidak dapat dihindari meskipun sudah ada tindakan pencegahan (due care) atau prediksi masa depan (foresight). Elemen-Elemen Dari Defense Act Of God Dalam Statuta Terkait Lingkungan Hidup Tingkat Federal Amerika Serikat

a. Suatu act of God harus tidak dapat diantisipasi.

Dalam kasus Sabine Towing and Transportation Company melawan pemerintah Amerika Serikat, Sabine menggugat pemerintah Amerika Serikat untuk membayarkan kompensasi pembersihan sungai Hudson atas peristiwa tumpahnya minyak dari kapalnya yang retak karena menghantam suatu objek yang tidak diketahui di bawah air, yang belakangan diketahui sebagai freshet alias aliran salju yang mencair. Sabine mendalilkan bahwa freshet tersebut tak dapat diantisipasi, sehingga tumpahnya minyak tersebut merupakan act of God.

(30)

terjadi secara berkala (regular) dan dapat diantisipasi. Selain itu pengadilan juga menyebutkan bahwa cuaca yang buruk dan tidak biasa terjadi di daerah tersebut tidak termasuk dalam daftar penyebab act of God.

Sama halnya dengan kasus Liberian Poplar Transports. Inc. melawan pemerintah Amerika Serikat. Liberian menuntut kompensasi pembersihan tumpahan minyak kepada pemerintah akibat petir yang merusak kapal berisi muatan minyak. Liberian berpendapat bahwa pusat cuaca nasional tidak menyampaikan Severe Thunderstorm Watch (peringatan terhadap ancaman petir dan kilat) dengan baik dan ancaman tersebut tidak dapat diprediksi oleh awak kapal, oleh karena itu peristiwa itu merupakan act of God.

Faktanya, awak kapal Liberian sendiri yang lalai karena tidak mengabaikan peringatan petir dari pusat cuaca nasional beberapa jam sebelumnya. Liberian dianggap telah menerima sufficient warning, sehingga seharusnya sudah dapat memprediksikan petir. Oleh karena itu pengadilan menolak permohonan kompensasi dari pihak Liberian.

Contoh lainnya adalah badai. Badai dapat dianggap bukan oleh act of God dengan alasan bahwa peringatan badai sering disiarkan, sehingga seharusnya dapat diantisipasi.

b. Suatu act of God haruslah bencana alam yang serius (grave natural disaster). Tiga elemen yang harus dibuktikan bahwa suatu kejadian adalah fenomena alam yang luar biasa, yaitu: kejadian tersebut harus luar biasa (exceptional), tak terelakkan (inevitable), dan tak tertahankan (irresistible). Sebagai contoh, badai. Umumnya badai adalah bencana alam, namun ketika suatu badai dapat diprediksi sebelumnya maka badai tersebut bukanlah act of God. Untuk memenuhi klasifikasi bencana alam yang serius, tidak hanya harus membuktikan ketiga elemen di atas, tapi juga harus membuktikan bahwa memang bencananya bersifat grave (sangat serius).

(31)

bahwa hujan bukanlah fenomena alam yang luar biasa. Hal ini sama halnya dengan pendapat pengadilan pada kasus ARCO. Oleh karena itu, alasan salju yang mencair ataupun hujan yang diajukan penggugat biasanya ditolak oleh pengadilan Amerika.

c. Suatu act of God harus menjadi satu-satunya penyebab (sole cause) dari bencana.

Dalam kasus Apex, penggugat menggugat pemerintah Amerika Serikat yang menolak membayarkan kompensasi atas pembersihan tumpahan minyak. Apex yang menarik kapal dari Sungai Mississippi ke Chicago dengan mengetahui curah hujan yang terjadi saat itu, aliran sungai yang kuat dan deras, dan efek yang mungkin timbul. Kapal Apex bertabrakan dengan jembatan sehingga rusak dan menyebabkan muatan minyaknya tumpah, kemudian ia berargumen bahwa banjir dan aliran air yang kuat tersebut adalah act of God yang menyebabkan tumpahnya minyak.

Akan tetapi pengadilan menolak alasan ini karena ada penyebab lainnya yang turut mempengaruhi, yakni kemauan Apec untuk tetap menjalankan kapal meskipun sudah tahu ada risiko-risiko yang mungkin terjadi serta awareness dari kapten kapal akan bahaya yang mungkin muncul tetapi ia berani mengambil risiko. Jelas di sini act of God bukanlah satu-satunya penyebab (sole cause) dari rusaknya kapal Apex.

Demikian pula dalam kasus Alcan Aluminium yang menuduh badai dan hujan lebat sebagai act of God yang menyebabkan terlepasnya bahan beracun ke lingkungan. Pengadilan menolak defense act of God karena sebelumnya Alcan juga sudah pernah melakukan pembuangan limbah ke sungai secara ilegal. d. Lack of negligence (ketiadaan kelalaian) tidak cukup membuktikan dalil act of

God.

(32)

tidak mempunyai pengetahuan soal pengisian, akan tetapi ia tetap diwajibkan membayar ganti rugi.

e. Bencana tidak dapat dicegah meskipun sudah ada tindakan pencegahan atau prediksi sebelumnya.

Dalam menangani kasus-kasus lingkungan terkait act of God, pengadilan federal menghasilkan satu prinsip penting, yaitu apabila Tergugat telah mendapat peringatan yang cukup dan alat yang memadai untuk melakukan usaha perlindungan, pencegahan, maupun mitigasi dampak atas act of God tetapi gagal melakukannya, maka ia tetap bertanggung jawab. Sebaliknya bila Tergugat tidak mendapat peringatan yang cukup serta tidak ada alat yang memadai, maka ia tidak bertanggung jawab. Contohnya ada pada kasus Apex di mana kapten kapalnya tidak menghiraukan peringatan dalam usaha menghindarkan kapalnya dari tabrakan, sehingga ia dianggap tetap bertanggung jawab.

f. Liability is strict (tanggung jawab ketat).

Statuta-statuta lingkungan pemerintah federal menerapkan prinsip tanggung jawab ketat (strict liability), sehingga seseorang tetap bertanggungjawab atas kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya, kecuali ia dapat membuktikan bahwa kerusakan itu terjadi karena salah satu pengecualian dari tanggung jawabnya itu, yang salah satunya termasuk act of God. Bagaimanapun seseorang tetap bertanggung jawab karena tanggung jawab act of God adalah berdasarkan atas akibat (causation based), bukan berdasarkan kesalahan (fault based).

(33)

Pertimbangan Hakim

Dalam kasus ini Pihak tergugat berdalih bahwa longsor dan banjir bandang yang tersadi diakibatkan bencana alam.

Majelis hakim menolak Penggunaan dalih bencana alam oleh Para tergugat. Berikut ini beberapa pertimbangan hukum Majelis Hakim:

1) Majelis Hakim Tingkat pertama menyatakan dalam putusannya bahwa “…. Banjir dan longsor di sekitar Gunung Mandalawangi tersebut disebabkan antara lain :

a. Kerusakan /pencemaran lingkungan.

Yang oleh majelis hakim disimpulkan sebagai penyebab terjadinya bencana alam banjir bandang dan tanah longsor.

Dalam hal ini tergugat menyatakan Banjir Bandang dan tanah longsor tersebut merupakan bencana alam bukan akibat kelalaian tergugat I dalam melakukan pengelolaan kawasan hutan Gunung Mandalawangi, sehingga tidak terdapat hubungan hukum anatara kejadian bencana alam dengan pengelolaan areal kawasan hutan oleh Tergugat I. Dengan demikian maka terbukti bahwa tergugat I tidak melakukan perbuatan melawan hukum.

b. Pemanfaatan Tanah tidak sesuai dengan fungsi dan peruntukannya sebagai kawasan hutan lindung. Hal ini terlihat dari tindakan Tergugat III dengan mengeluarkan SK No . 419/Kpts-II/1999 yang amarnya merubah status hutan lindung Mandalawangi sebagai hutan produksi terbatas. Dan salah satu penyebab longsornya gunung Mandalawangi adalah adanya perubahan tata guna lahan bagian atas bukit dari tanaman keras/hutan ke tanaman musiman.

Menurut Para Tergugat penafsiran ini sama sekali tidak berdasar karena Penunjukan kawasan hutan Mandalawangi sebagai hutan lindung dan Hutan Produksi terbatas adalah berdasarkan criteria sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1999 tentang rencana Tata Ruang Wilayah nasional.

c. Adanya kebakaran hutan di kawasan tersebut pada tahun 1997. d. Terjadinya perambahan hutan tersebut.

(34)

2) Majelis Hakim Tingkat pertama menyatakan dalam putusannya bahwa “ … fakta hukum mandalawangi statusnya ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung..dst “

Tetapi berdasarkan penafsiran para tergugat bahwa secara de yure maupun de facto di kawasan hutan gunung Mandalawangi sama sekali tidak pernah ada perubahan fungsi hutan dari Hutan lindung menjadi hutan produksi terbatas maupun perubahan dari hutan primer menajdi hutan sekunder.

3) Majelis Hakim Tingkat pertama menyatakan dalam putusannya bahwa “kondisi gunung Mandalawangi saat ini terdapat kerusakan ekosistem lingkungan dst”.

4) Majelis Hakim Tingkat pertama dalam putusannya juga menyatakan bahwa “Tergugat I telah mengetahui sejak 6 bulan silam ( Juli-Agustus 2002) terdapat 8 titik rawan longsor… (P5,P6,dan P7).

5) Pertimbangan Majelis Hakim Tingkat Pertama menyatakan: bencana alam dapat terjadi disebabkan oleh perbuatan manusia dan bukan kehendak manusia/perkiraan manusia atau force Majeur”

6) Pertimbangan Majelis Hakim Tingkat pertama menyatakan: dapat disimpulkan sesuai kondisi kemiringan lereng yang curam antara 100% -150% (Vide bukti P2) , maka seharusnya Gunung mndalawangi seharusnya tetap berstatus hutan lindung.

7) Pertimbangan Majelis Hakim Tingkat pertama yang menyatakan “ dalam keadaan kurangnya ilmu pengetahuan termasuk adanya pertentangan pendapat yang saling mengecualikan sementara keadaan lingkungan sudah sangat rusak, maka keadilan dalam kasus ini harus memilih dan berpedoman kepada prinsip hukum lingkungan yang dikenal dengan “Precautionary Principle” Prinsip ke- 15 yang terkandung dalam asas Pembangunan berkelanjutan pada konferensi Rio tanggal 12 Juni 1992 walaupun prinsip ini belum masuk ke dalam perundang-undangan Indonesia, tetapi karena Indonesia sebagai anggota dalam konvensi tersebut maka semangat dari prinsip ini dapat dijadikan pedoman dan di perkuat dalam mengisi kekosongan hukum dalam praktik.

(35)

9) Fundamentum para Penggugat dalam perkara ini adalah tentang “Perbuatan Melawan Hukum” dengan menuntut agar pengadilan menghukum para penggugat untuk membayar ganti rugi, sedangkan pertimbangan majelis Hakim menyatakan:

“………pembuktian unsur kesalahan (liability base on fault) seperti dalil gugatan Penggugat agar supaya para Penggugat dinyatakan telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum ….”

10) Pertimbangan Majelis Hakim Tingkat pertama yang menyatakan “menimbang, bahwa sebelumnya telah disimpulkan bahwa pengelolaan lingkungan merupakan tanggung jawab bersama/semua pihak Pemerintah, Masyarakat dan penanggung jawab usaha serta pemangku kepentingan lainnya, akan tetapi tanggung jawab tersebut tidaklah adil apabila kepada masyarakat (termasuk masyarakat korban) pada umumnya secara sosial politik dan ekonomi lemah harus diberikan beban seimbang dengan Pemerintah dan Penanggung-jawab usaha”.

11) Pertimbangan Majelis Hakim Tingkat pertama yang menyatakan :” bahwa adalah sudah menjadi fakta notoir dimana longsornya gunung Mandalawangi telah menimbulkan kerugian….., kerugian mana ternyata sulit sekali dihitung secara riil tentang jumlahnya….dst”

Penulis sangat membenarkan penafsiran dan pertimbangan Majelis Hakim Tingkat pertama tersebut diatas karena judex Facti telah benar menerapkan hukum. Judex Facti juga banyak membuat pertimbangan berdasarkan hasil pengamatan langsung dengan menyangkutkan rasa keadilan dan kepatutan dimana peristiwa tersebut telah mengakibatkan korban jiwa dan harta benda penduduk. Dari hasil penelitian yang tertulis dalam putusan ini dinyatakan bahwa kejadian longsor tersebut adalah disebabkan antara lain kerusakan/pencemaran lingkungan karena pemanfaatan tanah tidak sesuai dengan fungsi dan peruntukannya sebagai kawasan hutan lindung. Fakta ini mempunyai hubungan kasual dengan terjadinya tanah longsor yang mengakibatkan korban jiwa dan harta benda.

(36)

pengelolaan hutan yang dilakukan oleh Perum Perhutani dan juga Tergugat lainnya sesuai kewenangan masing-masing. Adanya hubungan kausalitas antara tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh Perum Perhutani dan Tergugat lainnya dengan terjadinya longsor di kawasan Mandalawangi ini jika dihubungkan dengan teori Act of God memang benar. Dalam kasus Mandalawangi tidak menunjukkan bahwa bencana (longsor) merupakan bencana yang sangat sulit diprediksi, karena logikanya bahwa sesbuah lahan dengan kemiringan tertentu jika kondisinya gundul maka kemungkinan besar akan terjadi kelongsoran, kemudian di sini juga jelas adanya campur tangan manusia yakni terjadinya perpindahan status hutan dari hutan primer menjadi hutan sekunder yang tidak disertai dengan penanaman hutan kembali (reboisasi), kemudian di sini tidak tampak bahwa act of God merupakan satu-satunya penyebab longsor karena telah dapat diantisipasi akan terjadinya kelongsoran tersebut seharusnya dengan diadakan pengelolaan hutan dengan baik, selanjutnya bahwa di sini Tergugat tidak bisa membuktikan secara kuat bahwa longsor tersebut murni akibat act of God.

6. Penafsiran dan pertimbangan hakim terkait penggunaan dalih bencana alam dalam kasus Walhi v. Lapindo

Penggugat dalam surat gugatannya menyatakan bahwa Tergugat I sebagai penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan bertanggungjawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) UU No. 23 tahun1997. Penggugat mendalilkan bahwa doktrin pertanggungjawaban mutlak berlaku bagi permasalahan pencearan lingkungan hidup yang terjadi akibat semburan lumpur panas dengan jumlah luar biasa besar dan enting bagi lingkungan hidup dan masyarakat yang dirugikan, Dampak yang besar ini telah jelas-jelas mengancam kehidupan manusia dan kebeelangsungan lingkungan hidup.

(37)

dampak semburan lumpur panas. Penggugat mendalilkan kerugian tersebut dipicu oleh kegiatan eksplorasi pengeboran yang dilakukan oleh Tergugat I. Tetapi Para Tergugat menyatakan bahwa semburan lumpur itu terjadi karena adanya bencana alam berupa Tektonik.

Dalam pertimbangannya hakim merasa bahwa Penggugat gagal membuktikan bahwa Tergugat I telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum, karena keterangan ahli yang menyatakan semburan lumpur adalah akibat dari kesalahan pengeboran hanya dilontarkan oleh satu orang ahli yakni saksi ahli Dr.Ir. Rudi Rubiandini R.S. ahli di bidang teknik perminyakan dengan tegas di pengadilan berpendapat bahwa penyebab semburan lumpur itu adalah pada awalnya pada lubang sumur yang sedang di bor oleh PT. Lapindo Brantas, karena pada pengeboran kedalaman 9270 feet belum dipasang casing, dan itupun tidak dikuatkan oleh alat bukti lain. Di sisi lain, Tergugat berhasil mendatangkan 4 (empat) orang ahli yang menyatakan bahwa semburan lumpur adalah diakibatkan oleh aktifitas mud volcano (gunung lumpur) yang meningkat akibat gempa tektonik di Yogyakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Peran Ninik Mamak di Kenagorian Gunung Malelo dalam ketentuan adat di Nagori tersebut memiliki fungsi masing-masing yang mana dalam penelitian ini jumlah Ninik Mamak

Metode penelitian yang dilakukan untuk merancang dan membuat sistem informasi Toko Online KPRI UNS Surakrata ini adalah dengan menggunakan metode penelitian

menengahkan pada lereng yang lebih landai (di bawah 40%) pembebanan dapat berperan menambah gaya penahan gerakan pada lereng. 2) Sebagai tindakan preventif, beban

Diperlukan penelitian penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel murid yang lebih banyak dan juga mengenai faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi adanya

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa kreativitas pada intinya merujuk kepada kemampuan seseorang untuk melakukan sesuatu yang baru baik berupa gagasan maupun karya nyata,

Promosi penjualan yang dilakukan oleh “Coffee House Ulee Kareng”.. menggunakan media baru

Dalam melaksanakan tugas akhir ini, penulis sebagai mahasiswa Program Studi Teknik Informatika, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Atma Jaya Yogyakarta