TINJAUAN PUSTAKA
Kondisi Penutupan Lahan Indonesia
Indonesia adalah salah satu Negara Mega Biodiversity yang terletak dalam
lintasan distribusi keanekaragaman hayati benua Asia (Pulau Jawa, Sumatera dan
Kalimantan) dan Benua Australia (Pulau Papua) serta sebaran wilayah peralihan
Wallacea (Pulau Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara). Indonesia memiliki
hutan tropis ketiga terluas di dunia setelah Brasil dan Zaire, sehingga sangat
penting peranannya sebagai bagian dari paru-paru dunia serta penyeimbang iklim
global. Untuk mewujudkan pengelolaan hutan lestari melalui optimalisasi manfaat
hutan pemerintah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan
hutan secara proporsional dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai
dan atau pulau, yaitu minimal 30%, seperti dituangkan pada pasal 18 UU No. 41
tahun 1999. Kawasan hutan dimaksud kemudian dideliniasi sesuai dengan
fungsinya, yaitu sebagai hutan konservasi, lindung dan produksi (Dephut, 2008).
Lahan dan Pengunaan Lahan
Penggunaan lahan (land use) diartikan sebagai setiap bentuk interaksi
manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik
material maupun spiritual. Penggunaan lahan dapat ke dalam dua golongan besar
yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan bukan pertanian.
Penggunaan lahan pertanian dibedakan atas penyediaan air dan komoditi yang
diusahakan dan dimanfaaatkan atau atas jenis tumbuhan yang terdapat atas lahan
tersebut. Penggunaan lahan bukan pertanian dapat dibedakan ke dalam lahan kota
Penggunaan lahan termasuk dalam komponen sosial budaya karena
penggunaan lahan mencerminkan hasil kegiatan manusia atas lahan serta
statusnya (Bakosurtanal, 2007). Adanya aktifitas manusia dalam menjalankan
kehidupan ekonomi, sosial dan budaya sehari-hari berdampak pada perubahan
penutup/penggunaan lahan. Diperkotaan, perubahan umumnya mempunyai pola
yang relatif sama, yaitu bergantinya penggunaan lahan lain menjadi lahan urban.
Perubahan penggunaan lahan yang pesat terjadi apabila adanya investasi di bidang
pertanian atau perkebunan. Dalam kondisi ini akan terjadi perubahan lahan hutan,
semak, ataupun alang-alang menjadi lahan perkebunan. Perubahan yang dilakukan
oleh masyarakat terjadi dalam skala kecil (Sitorus, dkk., 2006).
Penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan
tertentu. Informasi penutupan lahan dapat dikenali secara langsung dengan
menggunakan penginderaan jauh yang tepat. Sedangkan informasi tentang
kegiatan manusia pada lahan (penggunaan lahan) tidak selalu dapat di tafsir secara
langsung dari penutupan lahannya. Perubahan penutupan lahan merupakan
keadaan suatu lahan yang karena manusia mengalami kondisi yang berubah pada
waktu yang berbeda (Lillesand dan Kiefer, 1993).
Deteksi perubahan mencakup penggunaan fotografi udara berurutan diatas
wilayah tertentu dari fotografi tersebut peta penggunaan lahan untuk setiap waktu
dapat dipetakan dan dibandingkan (Lo, 1995). Sulistyo (2004) menambahkan
bahwa salah satu data penginderaan jauh merupakan data digital sehingga
memerlukan pengolahannya untuk memperoleh informasi yang disajikan dalam
Pemetaan penggunaan lahan dan penutupan lahan sangat berhubungan
dengan studi vegetasi, tanaman pertanian dan tanah dari biosfer. Karena data
penggunaan lahan dan tutupan lahan paling penting untuk planner yang harus
membuat keputusan yang berhubungan dengan pengelolaan sumber daya lahan,
maka data ini bersifat ekonomi (Lo, 1995).
Klasifikasi penutup lahan/penggunaan lahan adalah upaya pengelompokan
berbagai jenis penutup lahan/penggunaan lahan ke dalam suatu kesamaan sesuai
dengan sistem tertentu. Klasifikasi penutup lahan/penggunaan lahan digunakan
sebagai pedoman atau acuan dalam proses interpretasi citra penginderaan jauh
untuk tujuan pemetaan penutup lahan/penggunaan lahan. Banyak sistem
klasifikasi penutup/penggunaan lahan yang telah dikembangkan, yang
dilatarbelakangi oleh kepentingan tertentu atau pada waktu tertentu
(Sitorus, dkk., 2006).
Keadaan Geografis/Demografi
Jaring Halus merupakan sebuah desa yang terletak di pinggir lautan lepas
(dikelilingi oleh lautan). Desa ini merupakan desa pesisir yang penduduknya
mayoritas adalah Melayu dan sebagian kecil adalah suku Banjar. Untuk mencapai
desa ini transportasi yang digunakan adalah kapal boat dari Secanggang. Menurut
cerita masyarakat setempat, dulunya desa ini merupakan sebuah tempat di mana
masyarakat Melayu di desa ini berasal dari negeri Malaysia yang oleh karena
suatu hal mereka bertransmigrasi ke desa ini. Dan dulunya desa ini masih kosong
sama sekali dan lama kelamaan berkembang akibat perubahan zaman. Dulunya
oleh orang Malaysia di sebut jari halus, tetapi kemudian akibat para pendatang
Banten akhirnya berubah nama menjadi Desa Jaring Halus. Secara geografis
terletak pada 3°51'30” – 3°59'45” LU dan 98°30' – 98°42' BT dengan ketinggian
lebih kurang 1 m dpl. Desa ini merupakan desa pesisir yang berbatasan dengan
Selat Malaka di sebelah utara dan timur, sebelah selatan dengan Desa Selotong,
dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Tapal Kuda (BB BKSDA, 2006).
Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian
Penyebab Kerusakan Hutan Mangrove
Lillesand dan Kiefer (1993) menyatakan bahwa perubahan lahan terjadi
karena manusia yang mengubah lahan pada waktu yang berbeda. Pola-pola
perubahan lahan terjadi akibat responnya terhadap pasar, teknologi, pertumbuhan
populasi, kebijakan pemerintah, degradasi lahan, dan faktor sosial ekonomi
lainnya (Basyuni, 2003). Menurut Darmawan (2003), salah satu faktor yang
masyarakat yang berhubungan dengan kebutuhan hidup manusia terutama
masyarakat sekitar kawasan.
Menurut Pasaribu (2004) permasalahan-permasalahan utama yang
melatarbelakangi terjadinya degradasi hutan mangrove di Sumatera Utara tidak
terlepas dari beberapa hal, antara lain:
1. Tingkat pendapatan masyarakat yang relatif rendah
Kebanyakan masyarakat di kawasan pesisir bekerja sebagai nelayan
tradisional. Meskipun cukup potensial namun tingkat kesejahteraan masyarakat
pesisir relatif masih rendah jika dibandingkan dengan kelompok masyarakat lain.
Hal ini disebabkan terbatasnya peralatan yang dimiliki nelayan tradisional yang
mengakibatkan penurunan hasil tangkap dan penghasilan nelayan. Dalam satu
bulan nelayan tradisional hanya efektif bekerja 20 hari. Untuk mengisi waktu saat
tidak melaut nelayan melakukan pekerjaan sampingan untuk menambah
pendapatan seperti beternak kepiting, ikan kerapu dan mencari kayu bakar.
Pencarian kayu bakar dilakukan di hutan mangrove di sekitar mereka dengan
penebangan yang tidak memenuhi aturan mengakibatkan percepatan kerusakan.
2. Penebangan liar (illegal logging)
Kayu mangrove termasuk bahan baku terbaik dalam pembuatan arang,
yang bernilai ekonomi untuk dipasarkan di dalam negeri dan di ekspor ke luar
negeri terutama Jepang. Dampak dari tingginya nilai arang bakau di pasaran
mengakibatkan masyarakat mendirikan dapur arang yang beroperasi secara liar.
Untuk memenuhi bahan bakar tidak jarang masyarakat melakukan penebangan
liar di kawasan lindung dan sempadan pantai yang seharusnya terlarang bagi
3. Pembukaan tambak udang secara liar
Peningkatan harga udang di pasaran nasional sejak tahun delapan puluhan,
menyebabkan banyak masyarakat membuka lahan tambak di daerah pantai yang
menimbulkan konversi lahan. Kawasan mangrove berubah menjadi hamparan
tambak dan kerusakan mangrove di perparah oleh kurangnya kesadaran
pengusaha dan masyarakat dalam melakukan pelestarian di daerah lindung dan
sempadan. Pembukaan tambak tidak hanya dilakukan di kawasan hutan produksi
yang secara umum diperkenankan, juga dijumpai oknum-oknum tertentu
melakukan ekstensifikasi tambak sampai ke hutan lindung.
4. Persepsi yang keliru tentang mangrove
Banyak masyarakat maupun birokrat yang berhubungan dengan bidang
kesehatan mempunyai pandangan yang keliru tentang mangrove. Mangrove
dianggap sebagai tempat kotor untuk tempat bersarang dan berkembang biak
nyamuk malaria, lalat dan berbagai jenis serangga lainnya. Hal ini telah
mendorong terjadinya pembabatan mangrove yang berlebihan untuk mengatasi
timbulnya wabah penyakit.
5. Lemahnya penegakan hukum
Pada dasarnya telah banyak peraturan perundangan yang bertujuan untuk
mengatur dan melindungi sumberdaya mengrove melalui cara-cara pengelolaan
yang didasarkan pada prinsip-prinsip kelestarian namun demikian belum
dibarengi dengan pelaksanaan penegakan hukum yang memadai. Sehingga dari
waktu ke waktu semakin banyak pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan tanpa
Sistem Informasi Geografis (SIG)
Sistem informasi geografis merupakan suatu sistem berdasarkan komputer
yang mempunyai kemampuan untuk menangani data yang bereferensi geografi
(georeference) dalam hal pemasukan, manajemen data, memanipulasi dan
menganalisis serta pengembangan produk dan percetakan (Aronoff, 1989).
Sedangkan Prahasta (2005) mengemukakan bahwa sistem informasi geografis
merupakan sistem komputer yang digunakan untuk memanipulasi data geografi.
Sistem ini diimplementasikan dengan perangkat keras dan perangkat lunak
komputer untuk
1. Akusisi dan verifikasi data,
2. Kompilasi data
3. Penyimpanan data
4. Perubahan dan updating data
5. Manajemen dan pertukaran data
6. Manipulasi data
7. Pemanggilan dan presentasi data
8. Analisa data
Penginderaan Jauh
Penginderaan jauh merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh informasi
suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan
suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji
(Lillesand dan Kiefer, 1993). Tujuan utama dari penginderaan jauh adalah
Satelit Landsat merupakan salah satu satelit sumber daya bumi yang
dikembangkan oleh NASA dan Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat.
Satelit ini terbagi dalam dua generasi yaitu generasi pertama dan generasi kedua.
Generasi pertama adalah satelit Landsat 1 sampai Landsat 3. Satelit generasi
kedua adalah satelit membawa dua jenis sensor yaitu sensor MSS dan sensor
Thematic Mapper (TM) (Budiyanto, 2002).
Menurut Prabowo et al. (2005) menyatakan bahwa sistem informasi
geografis merupakan sekumpulan perangkat keras komputer (hardware),
perangkat lunak (software), data-data geografis, dan sumberdaya manusia yang
terorganisir, yang secara efisien mengumpulkan, menyimpan, meng-update,
memanipulasi, menganalisa, dan menampilkan semua bentuk data yang
bereferensi geografis.
Pemetaan habitat mangrove berperan penting dalam manajemen
pengelolaan hutan mangrove mencakup inventarisasi sumberdaya spesies, deteksi
perubahan lahan yang terjadi dan perencanaan tata ruang ekosistem yang
berkelanjutan (Satriya, 2010)
Penentuan tingkat kekritisan lahan mangrove dapat dilakukan dengan dua
cara, yaitu:
1) Penilaian dengan menggunakan teknologi GIS (geographic information system)
dan inderaja (citra satelit), dan
2) Penilaian secara langsung di lapangan (teristris)