• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN RESPONS PSIKOLOGIS PENDERITA STROKE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "GAMBARAN RESPONS PSIKOLOGIS PENDERITA STROKE"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN RESPONS PSIKOLOGIS PENDERITA STROKE

Adhiguno Sumbogo1, Madya Sulisno2, Lestari Eko Darwati1 1

Program Studi Ilmu Keperawatan, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal

2

Program Studi ilmu Keperawatan, Universitas Diponegoro Semarang

Email: lestari.ners@gmail.com

ABSTRAK

Pendahuluan: Stroke dapat menimbulkan kelemahan, gangguan keseimbangan, gangguan berbicara atau berkomunikasi, gangguan menelan dan gangguan memori yang berdampak pada kemampuannya dalam melakukan kegiatan kesehariannya. Ketergantungan individu dengan stroke terhadap orang lain dalam melakukan aktifitas sehari-hari berdampak terhadap kondisi psikologiss pasien stroke.Metode: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran respon psikologis penderita stroke. Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif dengan metode pendekatan cross sectional. Sampel dalam penelitian ini diambil secara accidental sampling sebanyak 46 pasien stroke. Alat penelitian menggunakan kuesioner Karakteristik Pasien, Penerimaan Diri,Zung Self-RatingDepression Scale (ZSRDS), dan HRS-A (Hamilton Rating Scale for Anciety), yang dianalisa secara univariat. Hasil: Hasil penelitian ini menunjukan penderita stroke sebagian besar kurang menerima dirinya (54,3%), tidak mengalami depresi (47,8%), mengalami kecemasan sedang (39,1%). Diskusi: Diharapkan ada penelitian lanjutan dengan desain yang lebih bisa melihat secara tepat dukungan dan beban keluarga yang cukup sulit untuk diukur mengingat setiap keluarga bervariasi.

Kata kunci:Stroke, Penerimaan Diri, Depresi, Kecemasan.

ABSTRACT

Introduction: Stroke can cause weakness, impaired balance, impaired speech or communication, swallowing disorders and memory disorders that affect the ability to perform daily activities. The dependence of individuals with stroke against others in doing daily activities affect the psychological condition of stroke patients. Methods: The purpose of this study is to describe the psychological responses in stroke patients. This research uses descriptive research design with cross sectional method. The sample in this study were taken by accidental sampling 46 stroke patients. Research tool questionnaire Patient Characteristics, Self-Acceptance, Zung Self-Rating Depression Scale (ZSRDS), and HRS-A (Hamilton Rating Scale for Anciety), were analyzed by univariate.Results:These results indicate stroke patients mostly less accept themselves (54.3%), not depressed (47.8%), experienced moderate anxiety (39.1%).Discussion:Expected no further research with more design can see exactly support and family burden is quite difficult to measure given each family varies.

Keywords:Stroke , Self-Acceptance , Depression , Anxiety.

PENDAHULUAN

Seseorang dengan stroke mengalami gangguan fungsional otak berupa kelumpuhan saraf (deficit neurologic) akibat terhambatnya aliran darah ke otak. Strok secara sederhana dapat didefinisikan sebagai penyakit otak akibat terhentinya suplai darah ke otak karena sumbatan (stroke iskemik) ataupun perdarahan (stroke hemoragik) (Junaidi, 2011). Di Amerika, lebih dari 700.000 orang terserang stroke, dari jumlah tersebut 500.000 orang mengalami stroke serangan pertama dan 200.000 orang mengalami stroke berulang

(Setyopranoto, 2012).Yayasan Stroke Indonesia (Yastroki) menyatakan jumlah penderita stroke di Indonesia menempati posisi ketiga setelah penyakit jantung dan kanker. Indonesia juga sebagai negara dengan jumlah stroke terbesar di Asia (Yastroki, 2012).

(2)

menelan, dan hilangnya sebagian penglihatan di salah satu sisi (Feigin, 2007). Penderita stroke diperkirakan 500.000 dari jumlah tersebut sepertiganya bisa pulih kembali, sepertiga lainnya mengalami gangguan fungsional ringan sampai sedang dan sepertiga sisanya mengalami gangguan fungsional berat (Yastroki, 2012).

Kecacatan berat pada pasien paska stroke misalnya keadaan kehilangan fungsi motorik (hemiplegi), kehilangan komunikasi atau kesulitan berbicara (disatria), gangguan persepsi, kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologik, atau disfungsi kandung kemih, bahkan pasien mengalami keadaan bedrest total. Karena itu, perawatan yang diberikan kepada pasien stroke harus dilakukan secara terus menerus (Pinzon et.al, 2010).

Kondisi sakit tidak dapat dipisahkan dari peristiwa kehidupan, seperti halnya kondisi stroke. Penderita harus menghadapi berbagai perubahan yang terjadi akibat kondisi sakit dan pengobatan yang dilaksanakan. Penderita umumnya akan mengalami perubahan perilaku dan emosional, setiap orang mempunyai reaksi yang berbeda beda terhadap kondisi yang dialami. Penyakit yang berat, terutama yang dapat mengancam kehidupan, dapat menimbulkan perubahan perilaku yang lebih luas, ansietas, syok, penolakan, marah, stres, depresi. Hal tersebut merupakan respon psikologis yang terganggu (Potter, 2005).

Stroke memiliki konsekuensi yang besar terhadap kehidupan seseorang secarapribadi, sosial, vokasional dan fisikal. Mereka yang mengalami kerusakan minimal setelah strokedapat kembali ke pekerjaannya semula, namun banyak yang tidak dapat kembali bekerja walaupununtuk paruh waktu. Stroke membuat seseorang mengalami ketergantungan dengan orang lain,setidaknya untuk sementara, dan sebagai konsekuensi hubungan keluarga atau sosial lainnyaakan sangat terpengaruh langsung. Penderita stroke biasanya terjadi kesulitan motorik, gangguanfungsi kognitif dan emosi, tergantung daerah otak yang mendapatkan serangan (Hasan, 2008).

Berbagai masalah yang mungkin dialami oleh pasien pasca stroke diantaranya kelumpuhan atau kelemahan, gangguan keseimbangan, gangguan berbicara atau berkomunikasi,

gangguan menelan dan gangguan memori (Mulyatsih, 2008). Kelumpuhan ataupun kelemahan yang dialami individu stroke akan berdampak pada kemampuannya dalam melakukan kegiatan kesehariannya bahkan kebutuhan yang sangat dasar sekalipun, seperti: makan, berpakaian, berkemih, kebersihan diri, dan lainnya. Ketergantungan individu dengan stroke terhadap orang lain dalam melakukan aktifitas sehari-hari berdampak terhadap kondisi psikologis pasien stroke.

Penelitian yang dilakukan oleh Masyithah (2012) menunjukkan bahwa rata-rata penderita stroke tidak menerima keadaannya. Penelitian oleh Herawati (2014) secara kualitatif juga menunjukkan bahwa penderita stroke mengalami konflik emosi akibat penurunan fungsi dan perubahan tubuh, bahkan penderita dapat berisiko melakukan perilaku maladaptif. Kustiawan (2013) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa pasien stroke mengalami tingkat kecemasan yang bervariatif, sebanyak 71,8% pasien mengalami kecemasan sedang, 17,9% mengalami kecemasan berat, hanya 10,3% yang mengalami kecemasan ringan.

Studi pendahuluan didapatkan data pasien dengan diagnose stroke pada bulan Januari sampai Oktober 2015 sebanyak 46 penderita. Hasil wawancara dengan penderita stroke di rumah, penderita mengatakan bahwa menderita stroke seperti hidup tidak matipun tidak, penderita mengatakan sedih yang tak berujung, penderita mengatakan ingin sembuh tapi tidak tahu apakah bisa sembuh, penderita merasa membebani keluarga, penderita tampak sering murung.

METODE

(3)

ini menggunakan accidental sampling. Alat penelitian menggunakan kuesioner penerimaan diri, kuesioner Zung Self-RatingDepression Scale (ZSRDS), kuesioner HRS-A (Hamilton

menggunakan analisa univariat statistk deskriptif.

HASIL

Tabel 1. Respon psikologi penderita stroke

Variabel Frekuensi Persentase (%)

Penerimaan Diri

Menerima 15 32.6

Kurang Menerima 25 54.3

Tidak Menerima 6 13.0

Depresi

Tidak Depresi 22 47.8

Depresi Ringan 11 23.9

Depresi Sedang 7 15.2

Depresi Berat 6 13.1

Kecemasan

Kecemasan Ringan 17 37.0

Kecemasan Sedang 18 39.1

Kecemasan Berat 11 23.9

Total 46 100.0

PEMBAHASAN

Respons Psikologi: Penerimaan Diri pada Penderita Stroke

Respon penerimaan diripada penderita stroke berdasarkan hasil penelitian menunjukkan penderita yang menerima kondisinya sebanyak 15 (32,6%), penderita yang kurang menerima kondisinya sebanyak25 (54,3%), dan penderita yang tidak menerima kondisinya sebanyak6 (13,0%). Hal ini menunjukkan bahwa respon psikologi penerimaan diri penderita stroke rendah. Penderita stroke kebanyakan kurang menerima kondisi pada dirinya. Dilihat dari hasil penelitian bahkan sampai ada yang tidak menerima kondisinya. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Masyitah (2012) yang menghasilkan sebagian besar 63% penderita stroke kurang meneria kondisinya.

Makna penerimaan diri dalam penelitian ini mengacu pada pendapat Hartono (2010), yaitu suatu sikap penerimaan terhadap gambaran mengenai kenyataan diri dengan cara merefleksikan perasaan senang sehubungan dengan kenyataan diri sendiri. Penerimaan diri diwujudkan dalam bentuk memiliki perasaan

sederajat dengan yang lain, percaya pada kemampuan diri, bertanggungjawab, orientasi diri positif, berpendirian, menyadari keterbatasan, menerima sifat kemanusiaan (Sheerer & Ryff, 1995 dalam Asiyah, 2013). Berdasarkan hal tersebut, penderita stroke dalam penelitian ini menunjukkan merasa kurang sederajat dengan yang lain, tidak percaya pada kemampuan diri, merasa tidak bisa bertanggungjawab, memiliki orientasi diri yang negatif, mempunyai penilaian yang tidak realistis terhadap dirinya, dan mempunyai perasaan bersalah karena kondisinya.

(4)

mengabaikan saran dari keluarga, dan senang mengkritik orang lain.

Seseorang yang menderita stroke dapat mengalami gangguan fungsional (Junaidi, 2011). Gangguan-gangguan tersebut seperti paralisis, kelemahan, kesulitan berbicara atau memahami, kesulitan menelan, dan hilangnya sebagian penglihatan di salah satu sisi (Feigin, 2007). Kondisi tersebut tentunya akan menjadikan penerimaan diri penderita menjadi rendah. Penderita merasa tidak berharga karena kelemahannya, penderita tidak mampu menyelesaikan masalah sendiri karena kognitifnya, penderita tidak percaya diri menghadapi hidup karena lemah dan membutuhkan bantuan, penderita diselimuti ketakutan akan sesuatu yang buruk terjadi seperti kelumpuhan total dan kematian, penderita merasa tidak bisa berpendapat karena menganggap dirinya memiliki kekurangan, lebih suka menyendiri karena tidak bisa kemana-mana, malu ketika bertemu dengan orang lain, ataupun merasa kondisinya menghambat dalam bekerja ataupun membantu menafkahi keluarga.

Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Herawati (2014) secara kualitatif juga menghasilkan penderita stoke mengalami konflik emosi. Penelitian tersebut menjelaskan, adanya penurunan fungsi dan perubahan kemampuan tubuh menjadikan konflik emosi dan citra tubuh yang negatif pada penderita stroke. Penderita merasa dirinya memiliki kekurangan yang menjadikan dirinya lebih rendah dibandingkan dengan orang lain, dan tidak seutuhnya menerima kondisi yang dialami.

Rendahnya penerimaan diri pada penderita menandakan bahwa penderita masih dalam kondisi yang depresi. Seperti yang dijelaskan oleh Kubbler Rose (1970) dalam Tomb (2007) mendefinisikan sikap penerimaan (acceptance) terjadi bila seseorang mampu menghadapi kenyataan dari pada hanya menyerah pada pengunduran diri atau tidak ada harapan. Menurut Kubler Ross (dalam teori kehilangan/berduka), sebelum mencapai pada tahap acceptance (penerimaan) individu akan melalui beberapa tahapan, diantaranya adalah tahap denial, anger, bargainning, depression, danacceptance(Tomb, 2007).

Hurlock (2010) mengatakan bahwa individu yang menerima dirinya memiliki penilaian yang realistik tentang sumber daya yang dimilikinya, yang dikombinasikan dengan apresiasi atas dirinya secara keseluruhan. Artinya, individu itu memiliki kepastian akan standar dan teguh pada pendirian, serta mempunyai penilaian yang realistik terhadap keterbatasannya tanpa mencela diri. Jadi, orang yang memiliki penerimaandiri yang baik tahu asset yang dimiliki dirinya dan bisa mengatasi cara mengelolanya.

Ahli lain yaitu Stuart (2013) berpendapat bahwa penerimaan diri adalah sikap yang merupakan rasa puas pada kualitas dan bakat, serta pengakuan akan keterbatasan diri. Pengakuan akan keterbatasan diri ini tidak diikuti dengan perasaan malu ataupun bersalah. Individu ini akan menerima kodrat mereka apa adanya. Dapat dikatakan bahwa pada dasarnya penerimaan diri merupakan asset pribadi yang sangat berharga. Calhoun dan Acocella (dalam Novvida, 2007) mengatakan penerimaan diri akan membantu individu dalam menyesuaikan diri sehingga sifat-sifat dalam dirinya seimbang dan terintegrasi.

Respons Psikologi: Depresi pada Penderita Stroke

Respon psikologi depresi pada penderita stroke menunjukkan penderita yang mempunyai depresi ringan sebanyak11 (23,9%), penderita yang mempunyai depresi sedang sebanyak7 (15,2%), dan penderita yang mempunyai depresi berat sebanyak 6 (13,0%). Hal ini menunjukkan bahwa penderita stroke pada umumnya 52,2% mengalami masalah psikologi depresi dari tingkatan ringan sampai berat.

Depresi pada penderita stroke dilihat dari jawaban respoden terlihat seperti sering tidak bersemangat dan sedih, sering merasa ingin menangis, sering mengalami sulit tidur, tidak bergairah, pikiran tidak jernih, sulit melakukan hal-hal seperti biasa, sering gelisah, mudah marah, kurang merasa berguna bagi orang lain, bahkan merasa bahwaorang lainakan lebih baikjika dirinyamati. Gejala-gejala tersebut menunjukkan bahwa penderita stroke mengalami masalah psikologi depresi.

(5)

kesedihan yang mendalam dan berkelanjutan sehingga hilangnya kegairahan hidup, tidak mengalami gangguan dalam menilai realitas (Reality Testing Ability atau RTA, masih baik), perilaku dapat terganggu tetapi masih dalam batas-batas normal.

Dilihat dari karakteristik penderita, depresi cenderung didominasi oleh perempuan yaitu sebanyak 60% mempunyai depresi dari tingkat ringan sampai berat. Sedangkan pada laki-laki sebanyak 46,3% mempunyai depresi dari tingkat ringan sampai berat. Hal ini sesusai dengan pendapat Kaplan & Saddock (2010) menambahkan bahwa ada beberapa faktor risiko yang telah dipelajari yang mungkin bisa menjelaskan perbedaan gender dalam prevalensi depresi. Diantaranya adanya perbedaan hormone seks, perbedaan sosialisasi, perbedaan dalam menghadapi masalah, perbedaan frekuensi dan reaksi terhadap stres dalam kehidupan, perbedaan peran sosial dan pengaruh budaya. Wanita memiliki kecenderungan hampir dua kali lipat lebih besar dari pada pria untuk megalami depresi.

Namun hasil penelitian juga menunjukkan sebagian besar perempuan maupun laiki-laki penderita stroke secara detail mayoritas tidak depresi. Bahkan prevalensi depresinya cenderung menunjukkan perbedaan yang minim. Sesuai dengan pendapat Kaplan & Saddock (2010), meski terdapat perbedaan gender pada prevalensinya, wacana depresi adalah sama untuk keduanya. Pria dan wanita untuk gangguan tersebut tidak berbeda secara signifikan dalam hal kecenderungan untuk kambuh kembali, frekuensi kambuh, keparahan atau durasi kambuh atau jarak waktu untuk kambuh yang pertama kalinya (Ibrahim, 2006).

Pendidikan juga dapat mempengaruhi tingkat depresi penderita. Hasil penelitian menunjukkan depresi lebih berat pada penderita dengan pendidikan rendah. Pendidikan merupakan faktor penting dalam memahami penyakit, dan perawatan diri. Pendidikan terkait dengan pengetahuan, penderita dengan pendidikan tinggi akan dapat mengembangkan mekanisme koping yang konstruktif dalam menghadapi stressor. Hal ini disebabkan karena pemahaman yang baik terhadap suatu informasi, sehingga individu tersebut akan menyikapi dengan positif serta akan mengambil

dirinya (Stuart, 2013).Hasil penelitian juga menunjukkan penderita stroke yang tidak depresi sebanyak22 (47,8%). Hal ini menandakan bahwa penderita stroke memiliki mekanisme koping yang baik.

Respons Psikologi: Kecemasan pada Penderita Stroke

Respon psikologi kecemasan penderita stroke menunjukkan kecemasan yang dialami oleh penderita stroke sebanyak 17 (37,0%) dalam kategori kecemasan ringan, sebanyak 18 (39,1%) dalam kategori kecemasan sedang, sebanyak 11 (23,9%) dalam kategori berat. Hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya penderita stroke mengalami gangguan psikologi kecemasan dari tingkat ringan sampai berat.

Hawari (2013), mengemukakan bahwa gangguan aktivitas/ mobilitas yang dialami penderita stroke dalam waktu lama dapat mengakibatkan dampak psikologis kecemasan yang meningkat. Kondisi kecemasan tentunya bisa dipahami karena keterbatasan kemampuan yang dimiliki penderita menjadi terganggu dan tidak sedikit akibat menderita sakit yang terlalu lama klien akan mengalami kecemasan bahkan sampai panik sebagai respon terhadap kebutuhan dasar yang terganggu.

Pernyataan di atas dibantah oleh Tiningsih (2012), bahwa persoalan hidup setiap orang pada pasien stroke berbeda demikian juga dengan responnya, sehingga ada yang mengalami kecemasan ada juga yang tidak. Menurut penelitian Anggraen ( 2013) bahwa pasien stroke memiliki tingkat kecemasan sedang dalam melakukan aktivitas secara mandiri sehingga akan menurunkan kemampuan fungsionalnya.

(6)

Kecemasan dari setiap individu pada hakikatnya itu berbeda.

Dilihat dari usia penderita, usia yang berada dalam kategori lansia sebagian besar 45,5% memiliki kecemasan sedang, sedangkan usia yang berada dalam kategori dewasa akhir sebagian besar 41,7% memiliki kecemasan ringan. Sejalan dengan penelitian Purba (2011), bahwa masalah fisik dan psikologis sering ditemukan pada lanjut usia, masalah psikologis diantaranya perasaan cemas. Berbeda dengan pendapat Kaplan dan Sadock (2010), menyebutkan bahwa gangguan kecemasan dapat terjadi pada semua usia, lebih sering pada usia dewasa muda, yaitu pada umur 21-45 tahun. Hal ini bertolak belakang dengan apa yang ditemukan peneliti, bahwa usia yang mengalami kecemasan terbanyak adalah pada usia dewasa tua. Menurut analisa peneliti usia dewasa tua lebih sering mengalami masalah psikologis, karena semakin tinggi usia, maka semakin sering perasaan seseorang itu berubah-ubah. Selain itu, saat dilakukan penelitian pasien yang mengalami stroke lebih banyak pada usia dewasa akhir sehingga pada akhirnya kecemasan yang dirasakan oleh pasien stroke lebih banyak pada rentang usia dewasa akhir.

Dilihat dari jenis kelamin penderita, laki-laki sebagian besar mempunyai kecemasan ringan sebanyak 46,2%, sedangkan perempuan sebagian besar mempunyai kecemasan sedang sebanyak 45%. Sejalan dengan pendapat Stuart (2013), bahwa jenis kelamin perempuan akan mengalami gangguan yang lebih sering daripada laki-laki. Laki-laki lebih banyak menggunakan logika, sedangkan perempuan menggunakan perasaannya. Dikarenakan perempuan lebih peka terhadap emosinya, yang pada akhirnya peka juga terhadap perasaan cemasnya.

Berbeda dengan pendapat Acharya (2013), menyatakan bahwa laki- laki mengalami tingkat kecemasan yang lebih tinggi dibandingkan perempuan karena khawatir terhadap tanggungjawab finansial. Menurut analisa peneliti, ketika dilakukan penelitian proporsi responden yang ada lebih banyak laki- laki daripada perempuan, sehingga akan mempengaruhi hasil. Dikaitkan dengan hal di atas, karena proporsi pasien stroke lebih banyak pada laki- laki saat penelitian dilakukan,

otomatis jenis kelamin laki-laki banyak mengalami kecemasan. Selain itu tanggungjawab sebagai kepala keluarga juga menjadi beban fikiran yang akhirnya meningkatkan kecemasan. Tugas utama sebagai pencari nafkah kini tidak bisa dilakukan kembali, karena keadaan sakit tidak memungkinkan untuk bekerja dan menghasilkan uang. Sehingga timbulah konflik fikir di dalam dirinya yang mengakibatkan dampak psikologis berupa kecemasan.

Dilihat dari pendidikan penderita, semakin tinggi tingkat pendidikan penderita stroke semakin tinggi pula tingkat kecemasannya. Sejalan dengan pendapat Gass dan Curiel dalam (Tiningsih, 2012) bahwa tingkat pendidikan berhubungan dengan tingkat kecemasan. Semakin tinggi tingkat pendidikan semakin tinggi pula tingkat kecemasannya. Namun bertolak belakang dengan pendapat Notoatmodjo (2012), pengetahuan seseorang dapat dipengaruhi oleh pendidikan. Tingkat pendidikan seseorang akan berpengaruh pada kemampuan berpikir, semakin tinggi tingkat pendidikan akan semakin mudah berpikir rasional. Tingkat pendidikan yang kurang juga, akan mempengaruhi seseorang terhadap pengetahuan. Salah satunya pengetahuan akan penyakit yang sedang diderita, sehingga akan menimbulkan respon berupa respon kecemasan.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Karakteristik penderita stroke sebagian besar (52,20%) dewasa akhir, (56,5%) perempuan, (50,0%) berpendidikan SD, (82,6%) tidak bekerja. Respons psikologi penerimaan diri pada penderita stroke sebagian besar kurang menerima (54.3%). Respons psikologi depresi pada penderita stroke sebagian besar tidak depresi (47.8%). Respons psikologi kecemasan pada penderita stroke sebagian besar kecemasannya sedang (39.1%). Penderita stroke diharapkan dapat menyikapi dengan positif kondisinya.

Saran

(7)

metode yang berbeda seperti metode kualitatif melalui pendekatan fnomenologis, meneliti faktor-faktor yang berhubungan dengan psikologis pasien stroke, meneliti dengan memberikan perlakuan terapi keperawatan.

DAFTAR PUSTAKA

Acharya. (2013). Beberapa Faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Ansiety pada Pasien Diabetes Mellitus di RSU Tidar Magelang. Skripsi STIKES Ngudi Waluyo Ungaran diakses melalui perpusnwu.web.id/karyailmiah/

documents/3471.doc pada tanggal 10 Maret 2016.

Always, D. & Core, J.W. (2011). Esensial Stroke untuk Layanan Primer. Jakarta: EGC.

Anggakara. (2014). Pengungkapan Kemarahan Pada Penderita Hipertensi. Jurnal Respository UMS. Diakses melalui:http://eprints.ums.ac.id/26730/pa da tanggal 5 Oktober 2015.

Anggraen, N. (2013). Hubungan Tingkat Kecemasan dengan Kemampuan fungsional pada Pasien Stroke Iskemik di RSAD Brawijaya Surabaya. Surabaya. Pada http://www. share.stikesyarsis.ac.id/ diakses pada 18 Maret 2016

Asiyah. (2013). Psychological Well Being Penyandang Gagal Ginjal. Jurnal Penelitian Psikologi 2013, Vol. 04, No. 01, 35-45.Surabaya: IAIN Sunan Ampel Surabaya.

Astuti. (2010). Hubungan Antara Dukungan Keluarga Dengan Kestabilan Emosi Pada Penderita Pasca Stroke di RSUD Undata. Skripsi Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Black S E, Herrmann N, Leibovitch F S, Ebert PL, Lawrence J, et all. (2002). Functional and neuroanatomic correlations in poststroke depression. Stroke 2002 ; 31 : 637 – 44.

Blake, J.M., & Hawk, J.H. (2009). Medical Surgical Nursing: Clinical Management for Positive Outcomes (8th ed). Elsevier. Inc.

Brugnolo A, Nobili F, Barbieri MP, et al. (2008). The Factorial Stucture of MiniMental State Examination (MMSE) in Alzheimer’s Disease.Arch Gerontology Geriatrics, 2008; 49(1): 180 -185.

Mengusir Stres. Jogjakarta: DIVA Press. Friedman. (2013). Buku Ajar Keperawatan

Keluarga “riset, teori dan praktik. Jakarta : EGC.

Guyton, Arthur C & John E. Hall. (2007).Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Alih Bahasa oleh Irawati. Jakarta. EGC

Hartono. (2010).Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.

Hasan, A.B.P. (2008). Pengantar Psikologi Kesehatan Islam. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada

Hawari. (2013). Manajemen Stres, Cemas, Depresi.Jakarta: Balai Penerbit FKUI Herawati. (2014). Studi Fenomenologi

Pengalaman Perubahan Citra Tubuh Pada Klien Kelemahan Pasca Stroke Di RS Dr M Djamil Kota Padang. Jurnal Keperawatan Jiwa . Volume 2, No. 1, Mei 2014; 31-40. Diakses melalui:

http://ppnijateng.org/wp-content/uploads/2014/09/5pada tanggal 5 Oktober 2015.

Hurlock. (2010). Psikologi Perkembangan. Jakarta: EGC.

Ibrahim, A.S. (2006). Gangguan Alam Perasaan: Depresi. Jakarta: Dua As-As Dua

Junaidi. (2011).Stroke Waspadai Ancamannya. Yogyakarta: Andi

Knight et al.,. (2011). Some Norms Reliability Data For The State-Trait-AnxietyInventory and The Zung Self-Rating Depression scale. British Journal of Clinical Psychology. http://onlinelibrary.wiley.com

Kustiawan. (2013). Gambaran Tingkat Kecemasan Pada Pasien Stroke Iskemik Di Ruang V Rumah Sakit Umum Kota Tasikmalaya. Jurnal Kesehatan Bakti Tunas Husada Volume 12 No 1 Agustus 2014. Diakses melalui:

http://ejurnal.stikes-bth.ac.id/index.php/P3M/article/view/61/ 61pada tanggal 5 Oktober 2015.

Kusumaningrum. (2012). Regulasi Emosi Istri yang Memiliki Suami Stroke. Jurnal EMPATHY Vol.I No.1 Desember 2012.

Diakses melalui:

http://www.jogjapress.com/index.php/E MPATHY/article/viewFile/1421/805 pada tanggal 5 Oktober 2015.

(8)

Masyithah. (2012).Hubungan Dukungan Sosial Dan Penerimaan Diri Pada Penderita Pasca Stroke. Skripsi Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Muhaimin. (2011). Keperawatan Keluarga.

Yogyakarta: Graha Ilmu.

Mulyatsih, E. (2008). Petunjuk perawatan pasien pasca stroke di rumah. Jakarta:Balai penerbit FKUI

Notoatmodjo, S. (2012). Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan.. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta

Novvida. (2007). Gangguan Psikiatrik pada Penderita Stroke. Jogjakarta: Graha Ilmu. Nursalam & Ferry, E. (2008). Pendidikan dalam Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika

Pepy. (2010).Gambaran Tingkat Pengetahuan Tentang Hipertensi pada Masyarakat yang Merokok di RW 01 Kelurahan Pondok Cina, Beji, Depok. Skripsi FIK Depok. From: http://lib.ui.ac.id/file?file= digital/20311960-S43434 diakses pada tanggal 18 Maret 2016

Permana, A.M. (2010). Hubungan Dukungan Keluarga dengan Tingkat Kecemasan Klien Penderita Stroke. Diakses melalui:http://eprints.ums.ac.id/26777/pa da tanggal 15 Maret 2016.

Purba, T.S. (2011). Gambaran Tingkat Kecemasan Pasien Pre Operasi. Tasikmalaya.

Rosida. (2012). Pengalaman Keluarga dalam Merawat Pasien Paska Stroke saat di Rumah di Wilayah Kerja Puskesmas Kedungwuni II. Skripsi STIKES Muhammadiyah Pekajangan. Diakses melalui:

www.e-skripsi.stikesmuh-pkj.ac.id/e-skripsi pada tanggal 5 Oktober 2015.

Setyopranoto, T. (2012). Odem Otak pada pasien Stroke Iskemik Akut. Yogyakarta: Bada Penerbit FK Universitsa Gadjah Mada

Stuart dan Sundeen. (2013).Keperawatan Jiwa, Edisi 3. Jakarta: EGC

Stuart, G.W. (2013).Principles and Practice of Psychiatric Nursing. 9th ed. Missouri: Mosby Elsevier

Tiningsih, D. (2012). Hubungan Dukungan Keluarga dengan Tingkat Kecemasan Klien Penderita Stroke.Jakarta

Wurtiningsih. (2012). Dukungan Keluarga pada Pasien Stroke di Ruang Saraf RSUP Dr. Kariadi Semarang. Jurnal Medica Hospitalia 2012 Vol.1 (1) : 57-59.

Diakses melalui:

http://medicahospitalia.rskariadi.co.id/ind ex.php/ mh/article/view/42/34pada tanggal 5 Oktober 2015.

Yastroki. (2012). Indonesia Tempati Urutan Pertama Didunia Dalam Jumlah Terbanyak Penderita Stroke. Yayasan Stroke Indonesia Edisi Januari 2012.

Diakses melalui:

http://www.yastroki.or.id/read.php?id=34 1 pada tanggal 5 Oktober 2015.

Yastroki. (2012). Setiap Tahun 500.000 Penduduk Indonesia Terkena Stroke. Yayasan Stroke Indonesia Edisi Januari 2012. Diakses melalui: http://www.yastroki.or.id/read.php?id=25 0 pada tanggal 5 Oktober 2015.

Gambar

Tabel 1. Respon psikologi  penderita stroke

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian yang peneliti dapatkan setelah mengadakan kegiatan penelitian di lapangan antara lain: (1) Upaya guru matematika dalam menciptakan suasana belajar peserta

 Dengan mengamati contoh sikap perilaku patuh pada aturan/kebiasaan yang berlaku dalam kehidupan sehari hari di rumah, siswa dapat berperilaku patuh di sekolah.  Contoh

Maka dilakukan kajian perhitungan analisis agar limbah cair dapat memberikan keuntungan bagi pabrik dari segi keekonomian, dengan cara menganalisis produksi gas

Beban Pajak Tangguhan dan Beban Pajak Kini Terhadap Manajemen Laba pada Perusahaan Manufaktur Sub Sektor Otomotif dan Komponen yang Terdaftar di Bursa Efek

Si: Pola Asuh Orang Tua Dalam Menanamkan Religiusitas Pada Anak (Studi Kasus di RT 03 RW 05 Desa Juwet Kecamatan Ngronggot Nganjuk), Pendidikan Agama Islam, Tarbiyah,

Proses surface preparation menggunakan material abrasif yang disemprotkan ke permukaan material yang akan diberi lapisan coating biasa disebut sebagai proses blasting.. Proses

Sehubungan dengan telah dilakukannya Evaluasi Dokumen Kualifikasi Pengawasan Pembangunan Asrama 2 Tingkat (Kode Lelang 4339041) maka dengan ini Pokja BLP Provinsi Papua

Gray terhadap Perkecambahan Gulma Bayam Duri ( Amaranthus spinosus L.) dan Tanaman Kacang Hijau ( Phaseolus radiatus L.), telah dilaksanakan di Laboratorium