• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prolog Menyoal Teori dalam Ilmu Hubungan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Prolog Menyoal Teori dalam Ilmu Hubungan"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Pendahuluan

Merujuk karya Imre Lakatos “Falsification and the Methodology of Scientific Research Programmes”, ada tiga landasan epistemologi yang dijadikan pijakan oleh Mohtar Mas’oed ketika membuat buku pe-gangan Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi, yaitu “Apa yang kita ketahui?” (yang disimpan dalam bentuk teori); “Bagaimana kita tahu itu?” (pembahasan tentang metodologi); dan “Dengan cara apa kita tahu itu?” (teknik atau metode).1

Meski tulisan ini tidak hendak mengulas landasan Epistemologi Lakatosian secara keseluruhan, namun landasan yang pertama yaitu “Apa yang kita ketahui?” (yang disimpan dalam bentuk teori), akan dibahas secara rinci pada bagian pra isu metodologi buku ini.

Sebelum masuk kepada isu yang menjadi bahasan utama buku ini yaitu metodologi, penulis ingin menyegarkan para akademisi HI untuk mengingat kembali perjalanan pengembangan teori dalam ilmu HI. Untuk mempermudah pemahaman, penulis akan membagi siste-matika tulisan ini menjadi lima bagian yang saling terkait: 1. Mengenal Teori; 2. Mendebat Teori: Masalah Asumsi Dasar; 3. Mendebat Teori: Observasi Fenomena; 4. Mendebat Teori: Evaluasi Pentingnya Teori; 5. Mendebat Teori: Kemampuan Prediksi.

Mengenal Teori

Teori merupakan tahapan terpenting dalam metodologi ilmu pe-ngetahuan. Karl Popper dalam mahakaryanya, The Logic of Scientific

1 Lihat Mohtar Mas’oed, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi, (Jakarta: LP3ES,

1990), h. 2-3.

Pra Isu

Metodologi

Menyoal Teori dalam Ilmu Hubungan

Internasional

(2)

Discovery menyatakan bahwa logika ilmu pengetahuan adalah teori tentang teori dan perkembangan ilmu pengetahuan di bidang apapun. Perdebatan tentang teorilah yang menyebabkan teori itu berkembang sekaligus mendorong perkembangan ilmu pengetahuan.2

Perdebatan selanjutnya adalah pentingnya teori bagi ilmu penge-tahuan, karena pada dasarnya dalam perdebatan ilmu pengetahuan itu terdapat ilmuwan yang mencoba menginterpretasikan fakta dan hubungan dengan fakta-fakta lain yang mungkin atau tidak ber-sangkutan, dan hubungan yang dibuat bisa secara umum diterapkan untuk menjelaskan hal-hal yang terjadi di tempat lain.

Semua perdebatan itu selalu dilakukan dengan menggunakan teori. Teori sebagaimana didefinisikan Stephen van Evera, adalah “General statements that describe and explain the causes or effects of classes of

phenomena.”– kalimat-kalimat umum yang menggambarkan dan

men-jelaskan penyebab atau dampak dari fenomena.3

Dengan kata lain, teori menggambarkan hubungan antar dua variabel atau lebih dan dampak dari hubungan tersebut untuk menje-laskan sebuah fenomena secara umum. Sebagai contoh, teori perim-bangan kekuatan (Balance of Power) yang populer di bidang Ilmu Hu-bungan Internasional. Teori ini digunakan untuk menjelaskan me-ngapa dua negara secara terus menerus meningkatkan kekuatan mi-liter mereka.

Ada dua variabel yang penting dalam teori ini. Variabel pertama adalah peningkatan kekuatan negara A. Variabel kedua adalah pe-ningkatan negara B. Setelah dilakukan observasi dan analisis secara metodologis (seperti tertuang di Bagian 1 buku ini), kita bisa men-coba memproposisikan sebuah teori adalah:

Peningkatan kekuatan A menyebabkan terjadinya peningkatan kekuatan B untuk mengimbangi A. Semakin tinggi peningkatan kekuatan negara A, maka semakin tinggi juga peningkatan kekuatan negara B.

Teori ini kemudian bisa digunakan untuk membuat prediksi ke-mungkinan yang akan terjadi di tempat lain atau di masa depan bah-wa dimanapun jika ada peningkatan kekuatan sebuah negara maka akan diimbangi dengan peningkatan kekuatan oleh negara lain sebagai cara untuk mengimbanginya.

2 Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery, (London: Routledge, 2002), h. 37 & 120. 3 Stephen Van Evera, Guide to Methods for Students of Political Science, (Ithaca: Cornell University

(3)

Walaupun pada dasarnya teori memang penting, namun teori bukanlah sebuah pakem atau kebenaran yang tak bisa digugat. Tak ada sebuah teori yang 100% akurat, karena teori sendiri pada dasarnya adalah sebuah simplifikasi terhadap realitas berdasarkan asumsi-asumsi pembuat teori itu sendiri. Seperti kata Popper, teori adalah cara untuk merasionalkan, menjelaskan, dan “menguasai” dunia.4

Teori yang baik adalah teori yang dianggap singkat, sederhana, namun jelas; menggunakan sedikit variabel, namun memiliki ke-mampuan yang tinggi untuk menjelaskan fenomena yang terjadi di dunia.5

Intinya, teori digunakan untuk menyederhanakan fenomena-fenomena yang terjadi di dunia agar bisa dimengerti dengan mudah. Untuk itu, teori harus memiliki logika yang konsisten dan valid secara empiris dengan jelas menggambarkan hubungan antara variabel dan mampu memberikan penjelasan yang berguna tentang fenomena yang penting serta dijabarkan dengan jelas.6

Faktor simplifikasi teori ini menyebabkan banyak perdebatan di dunia ilmu pengetahuan yang selalu terpusat dalam pembuatan asumsi, penggunaan teori, evaluasi tentang relevansi teori, dan ke-mampuan teori untuk memberikan prediksi secara ilmiah. Perdebatan itu sendiri ujungnya bisa berdampak positif bagi ilmu pengetahuan karena teori yang ada disempurnakan atau diganti dengan teori baru yang lebih akurat, atau minimal menciptakan perkembangan ilmu melalui diskusi tentang teori itu sendiri dengan munculnya teori-teori baru.

Mendebat Teori: Masalah Asumsi Dasar

Implikasi dari sederhananya sebuah teori adalah adanya asumsi yang terpendam dalam pembuatan teori tersebut. Sewaktu kita mem-buat sebuah teori yang sederhana, secara sadar ataupun tidak, kita sudah memasukkan asumsi-asumsi yang sangat mendasar sebagai logika dasar bagi teori tersebut (underlying logic). Seperti dinyatakan Waltz, “Sebuah teori memiliki minimal satu asumsi teoritis.”7 Asumsi teoritis tersebut menjadi fondasi dari teori tersebut.

4 Karl Popper (2002), h. 37-38.

5 Gary King, Robert O. Keohane, & Sidney Verba, Designing Social Inquiry: Scientific Inference

in Qualitative Research, (Princeton: Princeton University Press, 1994), h. 20; Stephen Van Evera (1997), h. 19.

6 Stephen M. Walt, “The Relationship Between Theory and Policy in International Relations,”

dalam Annual Review of Political Science, Vol. 8 (2005), h. 26-28.

7 Kenneth N. Waltz, Theory of International Politics, (New York: McGraw-Hill, Inc., 1979), h.

(4)

Berdasarkan pernyataan tersebut, muncul pertanyaan penting mengenai ketepatan asumsi dasar dari teori tersebut. Asumsi ini be-lum tentu disetujui oleh analis-analis lain yang melihat bahwa asumsi dasar dari sebuah teori mungkin terlalu simplistik atau tidak sesuai dengan kenyataan di dunia.

Misalnya dalam contoh Balance of Power teori di atas: pada dasar-nya teori itumemiliki asumsi bahwa hubungan antara negara-negara di dunia dilandasi oleh ketidakpercayaan yang sulit bagi satu negara untuk memercayai iktikad dari negara-negara lain. Hal ini disebabkan negara-negara tersebut berada dalam kondisi self help, hanya diri sen-diri yang bisa menolong sen-diri sensen-diri karena tak ada negara atau badan lain yang akan memberikan bantuan.8

Akhirnya, karena tidak adanya rasa saling percaya tersebut, negara-negara akan berusaha mengimbangi negara-negara terkuat dalam sistem in-ternasional sebagai cara untuk mencegah terjadinya dominasi satu negara tersebut kepada seluruh sistem. [Ilustrasinya adalah masyara-kat yang tak memiliki perlindungan lembaga hukum, sehingga orang terkuat di masyarakat tersebut bisa saja bertindak sewenang-wenang tanpa kuatir akan ditangkap dan diseret ke pengadilan.]

Sementara itu, kaum neoliberal-institusionalis melihat teori Balance

of Power terlalu bernuansa realis yang menekankan bahwa pada

dasar-nya pertarungan di dunia internasional adalah pertarungan demi ke-kuasaan. Kaum neoliberal menekankan bahwa pada dasarnya asumsi tersebut dilandasi rasa ketidakpercayaan yang sebetulnya bisa dikikis secara perlahan melalui interaksi antar negara-negara yang bersaing. Maka dari itu, belum tentu negara-negara lain ditakdirkan akan saling bersaing karena banyak sekali potensi kerjasama antara kedua negara yang bisa digali,9 sehingga dua negara mungkin bersama-sama memutuskan untuk tidak membeli senjata tapi lebih memperkuat hubungan ekonomi antar kedua negara dan menciptakan kawasan perdamaian.

Kemungkinan lainnya adalah memakai konsep game theory dengan membuat argumen bahwa mungkin awalnya kedua negara tersebut bisa terlibat dalam konflik, namun pada jangka panjang melalui inte-raksi yang terus menerus seperti lewat hubungan perdagangan yang saling menguntungkan dan pertukaran budaya, lama kelamaan hu-bungan antagonisme antar kedua negara semakin berkurang dan ak-hirnya kedua negara memutuskan untuk berhenti bersaing karena

8 Ibid, h. 118.

9 Robert Jervis, “Realism, Neoliberalism, and Cooperation: Understanding the Debate,”

(5)

mereka menyadari bahwa perdamaian dan kerjasama bernilai positif dan jauh lebih menguntungkan kedua belah pihak daripada persaingan bersenjata.10 Ujungnya adalah terbentuknya tatanan dunia interna-sional baru yang dilandasi rasa saling ketergantungan dan keperca-yaan.

Kaum realis sendiri memberikan pertanyaan mengenai tahap ke-cukupan asumsi dasar teori Balance of Power ini. Bagaimana negara-negara bisa tahu secara objektif distribusi kekuasaan dalam sistem tersebut? Mungkinkah ada asumsi tambahan untuk memperkuat teori tersebut? Randall L. Schweller memberikan jawaban yang sangat baik dengan menyatakan bahwa mispersepsi tentang distribusi kekua-saan berperan penting dalam kebijakan negara untuk mengimbangi negara lain. Schweller mencontohkan, menjelang Perang Dunia II, Rusia melakukan kesalahan dengan menganggap Jerman lebih lemah dari Prancis sehingga tidak melakukan apa-apa untuk mengimbangi kekuatan Jerman dan pada akhirnya dikejutkan bahwa Jerman bisa menaklukkan Prancis dalam waktu yang sangat singkat.11

Di sisi lain, kaum konstruktivis justru mempersoalkan seluruh asumsi Balance of Power dengan mempertimbangkan norma-norma in-ternasional yang berlaku dan identitas negara-negara tersebut. Karena setiap tindakan yang dilakukan sebuah negara selalu didasari oleh iden-titas negara tersebut dan ideniden-titas itulah yang menentukan tindakan yang akan diambil oleh sebuah negara.12 Belum tentu sebuah negara akan melakukan perimbangan kekuatan yang disebabkan oleh iden-titas negara tersebut, misalnya pasifis (pencinta damai). Oleh sebab itu, dua negara bisa saja memutuskan untuk tidak melakukan kompetisi bersenjata dari awal karena memang identitas negara-negara tersebut adalah seperti itu.

Berdasarkan penjelasan yang demikian, maka analisis asumsi dasar sebuah teori menjadi sangatlah penting. Sering kali kita cenderung menerima sebuah teori apa adanya tanpa melihat lebih jauh asumsi-asumsi yang terkandung dalam teori tersebut yang mungkin kurang tepat atau masih bisa disempurnakan. Padahal asumsi-asumsi

ter-10 Robert Axelrod, The Evolution of Cooperation, (New York: Basic Books, 1984); Lihat juga

Robert Jervis, “Cooperation Under Security Dilemma,” dalam World Politics, Vol. 30, No. 2 (January, 1978), h. 167-214; dan Robert O. Keohane, After Hegemony: Cooperation and Discord in the World Political Economy, (Princeton: Princeton University Press, 1984).

11 Randall L Schweller, Deadly Imbalances: Tripolarity and Hitler’s Strategy of World Conquest, (New

York: Columbia University Press, 1998),h. 168.

12 Ted Hopf, “Promise of Constructivism in International Relations Theory,” dalam

(6)

sebut perlu dilihat secara kritis dan dipertanyakan ketepatannya. Jika asumsi tersebut kurang tepat maka perlu dibuat teori tandingan atau mungkin teori tambahan yang bisa membuat penjelasan ilmiah dan prediksi yang lebih akurat.

Mendebat Teori: Observasi Fenomena

Selain dari asumsi, teori pun perlu dievaluasi mengenai keguna-annya: kemampuan menjelaskan sesuatu yang diklaim bisa dijelaskan oleh teori tersebut.13 Klaim bahwa teori bisa menjelaskan fenomena secara umum harus diuji terlebih dahulu melalui aplikasi teori dan ob-servasi cara kerja teori tersebut di dunia nyata.

Faktanya sering kali teori belum bisa menjelaskan beberapa feno-mena yang terjadi sehingga diperlukan penyempurnaan atau pengem-bangan teori tersebut. Kemungkinan lainnya, jika memang teori selalu bertentangan dengan hasil observasi mungkin sudah saatnya teori ter-sebut ditinggalkan.

Namun tak selamanya teori yang tak bisa menjelaskan semua fenomena berarti gagal karena pada dasarnya teori mencoba men-jelaskan sesuatu hanya secara umum. Sering kali yang menjadi ma-salah adalah framing dari teori tersebut.14 Framing adalah bagaimana teori dikontekstualisasikan dan diinterpretasikan dalam kondisi apa teori tersebut bisa berlaku dan bagaimana dampaknya.15 Dalam kasus-kasus secara umum, teori tersebut masih bisa digunakan untuk mem-berikan penjelasan tentang fenomena yang terjadi. Namun dalam be-berapa kasus spesifik, penjelasan tersebut belum tentu benar.

Misalnya dalam konteks teori Balance of Power, Stephen Walt mempertanyakan kebenaran tentang negara-negara yang selalu men-coba mengimbangi kekuatan negara terkuat di kawasan tersebut. Da-lam analisisnya mengenai perpolitikan dan pembentukan aliansi mi-liter, ia menemukan bahwa negara-negara tidak berusaha mengimba-ngi kekuatan negara yang dianggap sebagai negara terkuat. Namun usaha pengimbangan ini selalu dilakukan kepada negara yang diang-gap merupakan ancaman terbesar. Dari sini, Stephen Walt berusaha membuat teori baru yang bisa dianggap sebagai penyempurnaan teori

Balance of Power, yakni teori Balance of Threat.16

13Kenneth Waltz (1979), h. 118. 14 Ibid.

15 Stephen Van Evera (1997), h. 19.

16 Stephen M. Walt, “Alliance Formation and the Balance of World Power,” dalam International

(7)

Teori Walt ini tak menggantikan teori Balance of Power karena pada dasarnya teori itusecara umum masih berlaku, yakni dalam arti negara-negara masih bereaksi kepada peningkatan kekuatan negara lain. Namun teori Walt ini bisa dianggap sebagai penambahan varia-bel yang bisa memperjelas dan menambah ketepatan teori Balance of Power.

Meski begitu, secara negatif, hal ini bisa berpotensi menciptakan sebuah fenomena yang biasa disebut sebagai “teori karet,” dalam arti teori tersebut bisa digunakan untuk menjelaskan semua hal yang ter-jadi, namun di sisi lain tak bisa menjelaskan apapun karena memang pada dasarnya teori tersebut tak bisa dibuat salah (falsifiable). Ada satu variabel yang tak terdefinisikan dengan baik, yang bisa dengan mudah diadaptasi untuk menjelaskan seluruh fenomena yang terjadi di dunia tanpa bisa dibuktikan benar atau salah.17

Ambil contoh teori psikoanalisis, sebuah teori dalam psikologi yang menekankan bahwa semua masalah psikologis bisa dijelaskan melalui episode masa kecil yang traumatis dan tak bisa diingat.18 Ma-salah teori ini terjadi jika semua fenomena psikologis bisa dijelaskan melalui trauma psikologis di masa kecil, bagaimana teori ini bisa mem-bantu untuk mengerti perbedaan-perbedaan masalah psikologis dan dampak lingkungan yang bisa berpengaruh kepada masalah psiko-logis tersebut? Apalagi, variabel “trauma psikopsiko-logis di masa kecil” ini sangat kabur. Apa definisi trauma psikologis? Apa yang bisa dianggap sebagai trauma? Apakah dipukul orang tua bisa menjadi trauma yang berkepanjangan? Hal ini menjadi sangat tidak jelas meski telah men-ciptakan teori yang kebenarannya tak bisa dibantah namun tetap ti-dak bisa menjelaskan apapun.

Itulah alasan teori yang baik pada dasarnya mendeskripsikan dengan jelas variabel-variabel yang penting sekaligus efek dan dam-pak dari variabel tersebut dalam teori — dan juga falsifiable,19 bisa diuji melalui observasi fenomena kebenaran teori untuk mengetahui ke-lebihan atau kekurangan teori tersebut.20

Mendebat Teori: Evaluasi Pentingnya Teori

Pada 13 Maret 2013 dunia Ilmu Politik Amerika Serikat (AS) di-kejutkan dengan usulan Senator Tom Coburn agar pendanaan untuk riset ilmu politik di AS dihentikan kecuali untuk riset yang

menyang-17 Karl Popper (2002), h. 48-49.

18 Schacter,Gilbert,Wegner, “Psychology”, (New York: Worth Publishers, 2011), h. 12. 19 Stephen Van Evera (1997), h. 20.

(8)

kut “keamanan negara atau kepentingan ekonomi AS”.21 Hal ini sebabkan oleh beberapa pandangan bahwa banyak riset-riset yang di-lakukan akademisi dianggap tak berguna dan tak memiliki dampak langsung bagi dunia nyata.22 Hal ini pun diakui beberapa akademisi, bahwa mereka harus lebih aktif untuk membuat teori mereka lebih relevan ke masyarakat.23

Sembilah hari kemudian (22 Maret 2013), Senat AS menyetujui usulan Coburn dan keputusan ini langsung menuai banyak sekali ke-caman. Syukurnya, kecaman itu membuat pemotongan dana bagi ilmu politik tersebut dibatalkan.24

Hampir setahun kemudian, Nicholas D. Kristof, salah satu ko-lumnis New York Times menulis bahwa kelihatannya sangat sedikit sumbangsih dari akademisi di dunia nyata.25 Pernyataan Kristof ini pun kembali mengundang reaksi baik yang setuju maupun yang tidak dengan pernyataannya.26

Insiden-insiden ini meninggalkan pertanyaan penting: sejauh ma-na teori ilmu politik, terutama teori-teori hubungan interma-nasioma-nal perlu

21 “Political-Science Research: Singled Out,” dalam The Economist (21 Maret, 2013) http://

www.economist.com/blogs/democracyinamerica/2013/03/political-science-research (Diakses pada 2 Februai 2014).

22 Patricia Cohen, “Field Study: Just How Relevant is Political Science?,” dalam The New

York Times (9 Oktober 2009), http://www.nytimes.com/2009/10/20/books/20poli.html (Diakses pada 2 Februari 2014); Greg Ferenstein, “Former Political Scientist to Congress: Please Defund Political Science,” dalam The Atlantic (12 Februari 2013), http://www.theatlantic.com/politics/ archive /2013/02/former-political-scientist-t o-congress-p lease-defund -political-science/ 273060/ (Diakses pada 2 Februari 2014), Charles Lane, “Congress Should Cut Funding for Political Science Research,” The Washington Post (5 Juni 2012) http://www.washingtonpost.com/ o p i n i o n s/ c o n g re ss-sh o ul d - c ut -f un d i n g -f o r-p o l i t i c al -sc i e n c e -re se a rc h / 2012/ 0 6/ 04/ gJQAuAJMEV_story.html (Dikases pada 2 Februari 2014).

23 Abby Rapoport, “Take That, Political Science!,” dalam The American Prospect (22 Maret

2013), http://prospect.org/article/take-political-science (Diakses pada 2 Februari 2014); Sarah Kendzior, “Academic Funding and the Public Interest: the Death of Political Science,” dalam

Al Jaz eera ( 2 Apri l 2013), h ttp :// www.al jazeera.c om/ ind ept h/op ini on/ 2013/04/ 20134265610113939.html (Diakses pada 3 Februari 2014); Untuk kritik yang terjadi jauh sebelum peristiwa ini, lihat juga David Newsom, “Foreign Policy and Academia,” dalam Foreign Policy

(Winter, 1995-1996) dan Stephen Walt (2005).

24 Sandra Yan, “Restriction on NSF-Funded political science research repealed,” dalam The

Brow n Daily Herald (5 Februari 2014), h ttp:/ /www.b rowndailyhe rald.c om/2014/02/ 05/ restrictions-nsf-funded-political-science-research-repealed/ (Diakses pada 2 Februari 2014).

25 Nicholas D. Kristof, “Professors, We need You!,” dalam The New York Times (15 Februari

2014), http://www.nytimes.com/2014/02/16/opinion/sunday/kristof-professors-we-need-you.html (Diakses pada 18 Februari 2014).

26 Adam J. Copeland, “Why Nicholas Kristof ’s Latest Column Stings So Much and Why

(9)

memiliki relevansi bagi dunia nyata dan memberikan kontribusi bagi para pembuat keputusan. Memang salah satu faktor terpenting dalam teori adalah penting dan bergunanya sebuah teori untuk menjelaskan sesuatu yang menarik secara keilmuan dan menjawab pertanyaan yang penting di dunia nyata.27

Pada dasarnya, kaum akademisi memang harus berperan penting bagi pembuat keputusan dan masyarakat melalui penelitian-penelitian mereka. Namun ada juga penelitian-penelitian yang sangat berguna tetapi tak memiliki aplikasi secara langsung untuk masyarakat, seperti penelitian di bidang ilmu pengetahuan murni (matematika atau fisika), namun bagi akademisi di bidang ilmu sosial, terutama di bidang ilmu HI diharapkan agar teori yang dibuat bisa menarik dan sekaligus ber-guna untuk membantu para pembuat keputusan di negeri ini. Mung-kin saja tidak secara eksplisit, tapi minimal bisa bernilai tambah dengan memberikan pengertian yang lebih mendalam kepada fenomena yang terjadi di dunia ini.

Terkait hal itu, dengan merujuk Van Evera maka teori yang baik adalah teori yang bisa memuaskan dan menjawab keingintahuan kita terhadap fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat dan negara. Namun di sisi lain, jawabannya pun harus sesuatu yang bisa memberi-kan analisis mengenai penyebab jawaban tersebut.28

Ambil contoh misalnya pertanyaan, “mengapa TNI-AL tak mem-beli kapal induk?” Jawaban yang memberikan analisis “mengapa TNI-AL tak memiliki dana yang cukup untuk membeli kapal induk” adalah dengan memberikan analisa kebijakan birokratis dalam TNI-AL akan jauh lebih memuaskan dan memberikan kontribusi bernilai lebih kepada masyarakat dan pemerintah daripada jawaban yang ha-nya meha-nyatakan “karena tidak puha-nya dana.”

Jawaban yang kedua hanya memberikan sebuah fakta, sedangkan jawaban yang pertama, selain memberikan fakta juga memberikan ana-lisis (dan mungkin teori) tentang mengapa fakta tersebut bisa terjadi dan variabel-variabel mana yang penting yang mungkin bisa diubah agar pada akhirnya TNI-AL bisa membeli sebuah kapal induk.

Jadi teori yang baik adalah teori yang menarik dan memiliki ke-gunaan untuk memperkuat pemahaman kita tentang fenomena-fenomena yang terjadi dan mengerti bagaimana fenomena-fenomena tersebut bisa terjadi.

(10)

Mendebat Teori: Kemampuan Prediksi

Terakhir, teori pun harus memiliki kemampuan untuk membuat prediksi tentang apa yang akan terjadi jika teori tersebut diaplikasikan ke situasi yang berbeda. Dengan memberikan identifikasi yang jelas antara hubungan tiap variabel, maka teori bisa memberikan kontri-busi yang berharga baik bagi analis maupun bagi pembuat keputusan tentang apa yang bisa terjadi jika misalnya pemerintah mengambil se-buah kebijakan tertentu.

Ini bukan berarti bahwa teori bisa meramalkan dengan kebenaran 100%. Suka atau tidak, seperti sudah dijabarkan di atas pada dasarnya teori adalah simplifikasi dunia yang begitu kacau dan membingung-kan. Teori tak akan bisa memberikan prediksi yang pasti akurat. Na-mun, teori yang baik bisa memberikan prediksi yang jauh lebih akurat daripada lemparan sebuah koin dan memberikan masukan yang sangat berharga bagi para pembuat keputusan. Teori yang baik bisa mem-bantu meramalkan perkembangan situasi regional di masa depan, apa yang bisa menjadi kesempatan dan tantangan bagi para pembuat ke-putusan.

Sebagai contoh, dengan menggunakan teori Balance of Power dan

Balance of Threat untuk menganalisis perkembangan situasi di Laut China Selatan, kita bisa membuat analisis sederhana bahwa semakin agresif China dalam menegakkan klaimnya di Laut China Selatan akan menyebabkan negara-negara tetangganya seperti Filipina dan Vietnam semakin khawatir, dan akan mengambil keputusan untuk mengimba-ngi kekuatan China.

Namun, mengingat kedua negara tersebut tak mungkin bisa me-lawan China sendiri, maka mereka akan berusaha membawa masuk negara-negara lain yang dianggap memiliki kredibilitas dan kemam-puan untuk mengimbangi China, namun tak akan memberi ancaman kepada wilayah negara-negara tersebut, seperti AS.

Karena itulah, meski Vietnam pernah mengusir AS dari negara-nya pada tahun 1975 dan Filipina pernah memaksa AS keluar dari Pangkalan Subic dan Clark tahun 1991, namun pada akhirnya kedua negara itu harus mengambil keputusan untuk mendekatkan diri ke-pada AS. Bahkan ke-pada tahun 2012, Filipina sempat meminta AS kembali ke Pangkalan Subic dan Clark.29

29 Jean Magdaraog Cordero, “Subic Bay and Clark Bases open to Philippines allies,” dalam

(11)

Tentu saja seperti sudah dijelaskan di atas, bahwa bisa saja pre-diksi teori Balance of Power ini salah. Misalnya, kaum neoliberal insti-tutionalis bisa saja membuat prediksi bahwa pada akhirnya tak akan terjadi persaingan kekuatan di Laut China Selatan karena semakin dekatnya hubungan antara negara-negara di Asia Tenggara dan China, karena diuntungkan oleh China-ASEAN Free Trade Area (CAFTA) dan China tak mungkin mau merusak hubungan dagang yang sangat menguntungkan ini.

Kaum konstruktivis bisa saja membuat argumen bahwa pada da-sarnya China tak memiliki identitas sebagai negara ekspansionis dan lebih memfokuskan kepada diplomasi soft power-nya, sehingga pada akhirnya, China tak akan melakukan tindakan agresif yang bisa me-rusak tatanan internasional.

Inilah yang menyebabkan mengapa teori itu begitu penting: keka-yaan teoretis ilmu HI akan terus menciptakan perdebatan keilmuan yang progresif dan kaya yang akan berdampak positif bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan masyarakat secara umum.

Penutup

Dalam uraian singkat ini, penulis telah berusaha membuat argu-men dengan argu-menyebut teori merupakan tahapan terpenting dalam ilmu pengetahuan. Dan perkembangan ilmu pengetahuan yang di-dorong oleh perkembangan teori ini, selalu terjadi melalui perdebatan dari banyak aspek teoretis seperti asumsi, observasi fenomena, eva-luasi pentingnya teori, dan analisa kemampuan teori dalam melaku-kan prediksi.

Untuk itu, mengingat umur ilmu HI yang masih belia (lahir tahun 1919) dan keajegan masih terus dalam proses pencarian, maka per-debatan-perdebatan teoretis harus terus diupayakan. Hal ini penting dilakukan agar mendapatkan keuntungan dari semua perdebatan ter-sebut dan ke depan teori HI semakin prediktif dalam membaca isu-isu hubungan internasional.

Referensi

Dokumen terkait

bertugas di Polsek wilayah Polres Purbalingga yang berusia madya akan. banyak menentukan terhadap kualitas perilaku yang

dalam hal ini tidak semua Ponpes memiliki club sepak bola yang mempuni untuk.. mengikuti event LSN, tapi setidaknya seperti yang sarankan oleh Mugni, Sn,

Pada penelitian ini peneliti mengelompokkan data-data yang telah diperoleh dari hasil wawancara, observasi dan dokumentasi ke dalam rumusan jawaban sementara dan

PENGARUH PENDEKATAN BERMAIN TERHADAP KETERAMPILAN BERMAIN FUTSAL PADA SISWA KELAS 7 SMPN 1 LEMBANG. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Ini akan menguntungkan karena biasanya anak tak bisa meludah, hingga lendir yang menyumbat saluran pernapasan sulit dikeluarkan.Khusus pada bayi atau anak di bawah usia 2

Ahmad Yani dalam mengelola dan mengembangkan usaha penggilingan padi Cahaya Bakti memberikan dampak yang baik pula pada pendidikan keluarga, terlihat dari

KEPEMILIKAN MANAJERIAL, KEPEMILIKAN INSTITUSIONAL, KEBIJAKAN HUTANG, PROFITABILITAS DAN UKURAN PERUSAHAAN TERHADAP KEBIJAKAN DIVIDEN” (Studi pada Perusahaan Manufaktur

Publikasi ilmiah juga harus diperhatikan oleh dosen dan peneliti agar karya ilmiah mereka tidak terjerumus ke dalam jurnal predator dan benar-benar terindeks oleh pangkalan