• Tidak ada hasil yang ditemukan

1 NALAR LA MADZHABIYYAH MAJELIS TAFSIR AL-QUR’AN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "1 NALAR LA MADZHABIYYAH MAJELIS TAFSIR AL-QUR’AN"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

1

NALAR LA MADZHABIYYAH MAJELIS TAFSIR AL-QUR’AN1

Sulhani Hermawan sulhanihermawan@yahoo.com

Aminuddin Ihsan Ahmad Hafidh

Mibtadin

Dosen Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Surakarta

Abstrak: Majelis Tafsir al-Qur’an yang berpusat di Surakarta memiliki klaim tidak mengikuti madzhab apapun (la madzhabiyyah). Dari penelitian terhadap kajian rutin ahad pagi dengan menggunakan teori la madzhabiyyah dalam kajian ushul fiqh, peneliti menemukan beberapa hal. Pertama, doktrin ajaran MTA adalah mengembalikan masyarakat kepada teks Alquran dan Sunnah. Kedua, Klaim fiqh yang dibangun oleh MTA adalah tidak mengikuti salah satu madzhab fiqh apapun, baik Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Ketiga, Pola dan konstruksi bermadzhab MTA didasarkan pada pemahaman yang skriptural, tanpa ”metode dan pendekatan” ijtihad yang jelas, mengikuti pimpinan MTA yang cenderung dekat kepada kelompok salafi wahhabi. Keempat, implikasi pola tanpa madzhab MTA yang disebutkan dalam pandangan tentang halalnya daging anjing, bolehnya wanita haid masuk masjid, serta berbagai persoalan furu’, ternyata pernah menjadi hasil ijtihad beberapa tokoh fiqh madzhab.

Kata Kunci: MTA, Nalar, Fiqh, La Madzhabiyyah

A. Pendahuluan

Pasca reformasi di Indonesia tahun 1998, banyak bermunculan gerakan keagamaan baik tingkat nasional maupun lokal. Surakarta merupakan salah satu kota penting dalam gerakan soaial keagamaan di Indonesia, sebab sejak lama kota ini menjadi basis dari gerakan radikal maupun gerakan yang moderat. Salah satu gerakan lokal di Surakarta yang perkembangannya sangat pesat pasca reformasi adalah Yayasan Majelis Tafsir Alquran (MTA). Yayasan MTA merupakan salah satu gerakan keagamaan yang berbasis di kota Solo dengan memfokuskan kajian pada tafsir Alquran. Tercatat sampai tahun 2010 MTA telah memiliki 38 perwakilan setingkat kabupaten dan 190 cabang setingkat kecamatan. Di samping itu, saat ini MTA juga telah memiliki daya dukung kelembagaan yang cukup kuat seperti keberadaan kantor

1 Ini adalah artikel hasil penelitian yang dilakukan oleh Sulhani Hermawan, Mibtadin,

(2)

2

kesekretariatan yang representatif, rumah sakit, lembaga pendidikan, berbagai unit usaha, jaringan yang kuat dan media seperti TV MTA, Radio MTA, website, buletin dan pengajian yang diadakan secara rutin.2

MTA memfokuskan kajian pada tafsir Alquran, dengan slogan: ”ngaji Alquran sak manknane.” Doktrin utama MTA adalah pemurnian dengan jalan mengembalikan perilaku masyarakat yang selama ini dianggap telah ”keluar” dari ajaran Islam pada Alquran dan Sunnah, serta menjalin ukhuwah Islamiyah.3 Pola dakwah dan ideologi yang dikembangkan oleh MTA sudah dianggap sudah keluar dari batas kewajaran, misalnya dengan melakukan tuduhan-tuduhan terhadap berbagai amaliyah dari gerakan keagamaan lain, seperti NU yang mengusung tahlilan, yasinan, adzan dua kali, dan persoalan furu’ lainnya dinilai MTA merupakan perbuatan syirik, bid’ah, dan menyesatkan.4 Selain itu, MTA selama ini mendeklarasikan tidak mengikuti salah satu empat madzhab yang ada, karena mereka hanya ingin semua amaliah fiqh praktisnya dikembalikan serta dirujuk langsung dari Alquran dan Hadits. Artinya, MTA dinilai tidak mengikuti pola madzhab (al-lamadzhabiyyah) tertentu dalam hal mengikuti konstruksi fiqh. Fiqh sebagai panduan praktis (fiqh al-’amaly) dalam beribadah, menurut MTA sudah jadi satu dengan tuntunan yang ada dalam Alquran dan Sunnah, maka tidak perlu adanya imam madzhab, dan mengikuti madzhab merupakan perbuatan yang taqlid buta, tidak ada usaha untuk ijtihad, dan tidak belajar langsung pada sumbernya, yaitu Alquran dan Sunnah, karena: ”hanya Alquran dan Sunnah yang benar.”5 Pada titik ini, MTA telah ”menodai” citra ulama yang telah berjasa dalam melakukan ijtihad dan istinbath hukum sampai kita bisa memahami Islam seperti dewasa ini.

Bermadzhab adalah bentuk taqlid buta yang dilarang dalam ajaran MTA. MTA hendak menegaskan ijtihadnya sendiri, yang tidak terikat dengan ijtihad para penganut sistem bermadzhab yang telah ada. Madzhab yang dianut oleh MTA adalah Alquran dan Sunnah dalam versi pemahaman mereka sendiri, dan bukan madzhab fiqh yang ada, baik Hanafi, Hambali, Maliki, maupun Syafi’i. Persoalannya adalah jika MTA menggunakan madzhab Alqur’an yang tidak mengajarkan secara teknis aspek peribadatan yang ada, selama ini MTA dalam menjalankan fiqh praktis dalam beribadah menggunakan tuntunan fiqh yang mana? Apapun yang berkaitan dengan ibadah dan kehidupan sosial lainnya, warga MTA harus berpegang pada

2 www.mta online .com/profile diakses pada tanggal 20 September 2013 3 Sekretariat MTA, Sekilas Mengenai MTA, (Surakarta: Sekretariat MTA, tt).

4 Anas Aijudin, Transformasi Sosial Gerakan Islam di Surakarta (Laporan Penelitian

Puslitbang Depag RI Tahun 2008), hlm.79.

5 Nur Hidayat Muhammad, Meluruskan Doktrin MTA: Kritik Atas Dakwah Majelis Tafsir

(3)

3

Alquran dan Sunnah. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana pola bermadzhab ”ala” MTA, bagaimana konstruksi nalar fiqh yang dikembangkan MTA, dan seperti apa implikasinya terhadap pemahaman keagamaan pengikut MTA?.

Tujuan dari penelitian ini adalah: pertama, untuk mendeskripsikan pola bermadzhab dan konstruksi nalar fiqh yang dikembangkan oleh MTA. Kedua, untuk mengetahui paham keagamaan MTA dari pola tidak bermadzhab model MTA. Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah: pertama, mampu memberikan deskripsi kepada berbagai pihak yang memiliki perhatian pada gerakan keagamaan kontemporer dan pemurnian di tingkatan lokal Surakarta, dalam hal ini adalah gerakan yang dilakukan oleh MTA, terutama wacana tentang gerakan anti madzhab. Kedua, Untuk memotret dinamika hukum dalam masyarakat muslim modern di Indonesia kontemporer, terutama rumusan dan pola ijtihad MTA.

Penelitian ini menggunakan strategi kualitatif–deskriptif, artinya peneliti akan mencari deskripsi yang menyeluruh, mendalam dan cermat tentang pola ”tidak bermadzhab” dan konstruksi nalar fiqh dari MTA, dan merupakan penelitian kepustakaan (library research) yang dipadu dengan penelitian lapangan (field research).6 Metode kualitatif, diharapkan dapat memahami makna (meaning), baik dari pemikiran maupun tindakan dari objek penelitian.7 Penelitian ini difokuskan pada brosur-brosur mingguan yang dihasilkan oleh MTA selama kurun waktu tertentu.8 Teknik pengumpulan data dilakukan melalui dua cara:9 pertama, observasi langsung (direct observation), yaitu pengamatan langsung pada kegiatan, aktifitas keseharian, pola bermadzhab, model istinbath hukum, serta konstruksi nalar fiqh yang dibangun oleh MTA. Kedua, dokumentasi dan arsip, data-data yang berkaitan dengan tema penelitian ini. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis interaktif (interactive model of analysis) yang meliputi tiga tahapan yaitu reduksi data (data reduction), penyampaian data (data display), dan penarikan kesimpulan (conclusion drawing).10

6 Anselm Strauss dan Juliet Corbin, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif: Tata Langkah

dan Teknik-Teknik Teoritisasi Data (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 5.

7 Anas Saidi, Makalah pada Workshop Pengembangan Penelitian Non-Positivistik Bagi

Dosen-Dosen PTAI Se-Indonesia, Wisma Haji Armina Donohudan Boyolali, P3M STAIN Surakarta-Ditjen Binbaga Islam Depag RI, 2004..

8 www.mta online.com/profile, diakses pada tanggal 20 September 2013.

9 Harbertus Sutopo, Pengantar Penelitian Kualitatif: Dasar-Dasar Teoretis dan Praktis

(Surakarta: Pusat Penelitian UNS, 1988).

10 Anas Saidi, Makalah Pada Workshop Pengembangan Penelitian Non-Positivistik Bagi

(4)

4

B. Pembahasan

1. MTA dan Madzhab Fiqh

Madzhab dalam bahasa Arab berarti tempat pergi, yaitu jalan (ath-thariq).11 Menurut Rawass Qal’ah Jie, madzhab merupakan sebuah metode tertentu dalam menggali hukum syariah yang bersifat praktis dari dalil-dalil yang bersifat kasuistik.12 Sedangkan menurut Al-Buthiy, madzhab adalah jalan pikiran (way of thinking) atau pendapat yang ditempuh oleh mujtahid dalam menetapkan suatu hukum Islam dari Alquran dan Hadits.13 Dalam pandangan Abdurrahman, madzhab dipahami sebagai pendapat seseorang yang digelari imam seperti madzhab Hanbali, Maliki, Syafi’i, dan Hanafi. Sedangkan A. Hassan, menyatakan bahwa madzhab merupakan sejumlah fatwa dalam urusan agama, baik masalah maupun urusan yang lainnya.14 Dalam term ushul al-fiqh, madzhab adalah kumpulan pendapat mujtahid yang berupa hukum-hukum Islam, yang digali dari dalil-dalil syariat (nass) yang rinci serta dengan menggunakan berbagai kaidah (qawa’id) dan landasan (ushul) yang mendasari pendapat tersebut, yang saling terkait satu dengan yang lainnya, sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh. Dalam pandangan Taqiyudin An Nabhani disebutkan bahwa madzhab mempunyai dua pemahaman, yaitu metode penggalian (thariqah al-istinbath), dan pendapat tertentu dalam hukum-hukum syariat.15

Di Indonesia sendiri, urgensi bermadzhab dalam kaifiyatu akhdu al-hukm masih menjadi perdebatan yang keras antara kalangan tradisionalis, modernis, dan fundamentalis. Madzhab merupakan jalan pikiran (way of thinking) atau metode yang ditempuh oleh sejumlah mujtahid dalam menetapkan hukum syara’ atas suatu peristiwa berdasarkan Alquran dan Hadits. Dalam kajian hukum Islam, ada beberapa madzhab, seperti Hanafi (dengan teori Istihsan), Maliki (’urf ahli Madinah), Syafi’i (dengan teori qiyas), dan Imam Ahmad yang cenderung menggunakan Hadits dan atsar sebagai rujukan sumber hukum, sedangkan Hanbal, lebih condong kembali kepada makna tekstual dan dua sumber utama syariah. Dalam perkembangannya, kelompok-kelompok dari gerakan Islam dapat diklasifikasi ke dalam tiga macam: pertama, kelompok yang sejak semula menganut sistem madzhab secara mapan, dengan keyakinan, bahwa sistem

11 Muslim Ibrahim, Pengantar Fiqh Muqaranah (Jakarta: Erlangga, 1990), hlm. 47. 12 Rawass Qal’ah Jie, Mu’jam Lughah al-Fuqaha Beirut, 1996, hlm. 348.

13 Said Ramadhaniy Al Buthiy, ‘Ala Madzhabiyah Aktsaruhu Bid’ah Tuhaddidu as

Syari’ah al-Islamiyah (Surabaya: Bina Ilmu, 1994), hlm. 171.

14 Husaimah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab (Jakarta: Logos, 1997),

hlm. 72.

15 Taqiyuddin An-Nabhani, As-Syakhsiyah wa al-Islamiyah (Beirut: Darul Umah, 1994),

(5)

5

inilah yang menjamin satu-satunya jalan untuk menemukan hukum Islam yang benar sesuai dengan Alquran dan Hadits. Kedua, kelompok yang secara serius ingin menghapuskan madzhab-madzhab (inkar al-madzhab) serta secara langsung mengajak umat Islam untuk memahami ke sumber hukum Islam, Alquran dan Hadits tanpa melalui perantara madzhab. Ketiga, kelompok yang menghargai dan memperhitungkan madzhab sebagai mata rantai pewarisan ajaran atau hukum Islam yang tidak dapat diabaikan apalagi dihapuskan.16

Dengan mengakar dan melembaganya doktrin pemikiran hukum, di mana antara mereka antara satu dengan yang lainnya, terdapat perbedaan yang khas. Maka ia muncul sebagai sebuah madzhab yang dijadikan sebagai patokan oleh masing-masing pengikut madzhab tersebut dalam melakukan istinbath hukum, tentu saja polemik dan terjadinya produk hasil ketetapan penduduk dalam banyak hal merupakan sesuatu hal yang tidak dapat dielakan, masing-masing madzhab atau kelompok keagamaan saling mempertahankan metodologi dan teori yang dipeganginya dalam merumuskan konstruksi nalar fiqh. Menurut Al-Jabiri, perkembangan pemikiran fiqh terbagi dalam dua karakter, yaitu: pertama, al-fiqh al ’amaly―di mana hukum Islam dipandang sebagai norma-norma, keyakinan, kehidupan dan peribadatan yang bersifat praktis yang berlangsung sebelum masa fiqh menjadi ilmu dengan sistematika dan teori tersendiri. Kedua, al-fiqh al nazary—hukum Islam telah berkembang menjadi kajian yang teoritik, debatable dan terbuka kemungkinan ikhtilaf (perbedaan) yang berlipat, apalagi setelah munculnya metodologi fiqh, yaitu ushul al fiqh.17 Teori inilah yang akan digunakan oleh peniliti untuk membaca pola bermadzhab versi gerakan kegamaan MTA, seberapa jauh ia menggunakan nalar-nalar madzhab dalam istinbath hukum Islam, dan konstruksi nalar fiqh yang dibangun oleh MTA.

2. Latar Belakang dan Ajaran MTA

Yayasan Majelis Tafsir Alqur'an (MTA) ini didirikan di Surakarta pada tanggal 19 September 1972 oleh Abdullah Tufail Saputra, seorang keturunan Pakistan yang menjadi pedagang batik di Solo. Tujuan didirikannya MTA adalah mengajak umat Islam kembali kepada Alquran dengan tekanan pada pemahaman, penghayatan, dan pengamalan Alquran. Sebab dalam kenyataannya banyak, umat Islam memahami Al-Qur'an namun tidak melaksanakannya dalam kehidupan kesehariannya. Hal ini

16 J. Schacht, An Instroduction to Islamic Law (Oxford: Clarendom, 1994), hlm. 47. 17 Muhammad ‘Abid al Jabiri, Takwin al ‘Aql al-‘Arabi (Beirut: Markaz Dirosat al-

(6)

6

menjadikan umat Islam lemah dan tidak memiliki kemampuan bersaing dengan kelompok masyarakat yang lain. Sebagai sebuah organisasi keagamaan, Yayasan MTA secara resmi memiliki badan hukum sebagai yayasan pada tanggal 23 Januari 1974 dengan Akte Notaris R. Soegondo Notodireorjo. Sekarang MTA bersekratriat di Jl. Serayu No. 12, Semanggi 06/15, Pasar Kliwon, Solo kode pos 57117. 18

Latar belakang didirikannya MTA ini adalah adanya keterbelakangan pendidikan dan kesejahteraan yang dialami oleh umat Islam. Keterbelakangan ini menjadikan umat Islam tidak mampu untuk berkompetisi dengan masyarakat lainnya. Di samping itu, masyarakat Islam masih mempraktikan berbagai ritual peribadatan yang berbau bidah. Masyarakat belum menjalankan ajaran Islam secara murni sesuai dengan tutunan Alquran dan Hadist. Jauhnya masyarakat dari Alquran dan Hadist ini menjadikan mereka sulit untuk maju dan berkembang. Oleh sebab itu, Ustadz Abdullah Thufail Saputra yakin bahwa umat Islam Indonesia hanya akan dapat melakukan emansipasi apabila umat Islam mau kembali ke Alquran. 19

Paham keislaman MTA adalah pemurnian Islam dengan kredo "Kembali pada Alquran dan Hadist". Paham ini kemudian diturunkan dalam doktrin MTA yaitu: pertama, berupaya mengembalikan kehidupan masyarakat pada kehidupan yang Islami dengan jalan mengajak kembali masyarakat kepada Alquran dan Sunnah dan meninggalkan segala praktik ibadah yang dipandang sebagai bid'ah. Dengan kembali kepada Alquran dan Sunnah bagi MTA akan menyelamatkan kehidupan manusia dunia dan akhirat. 20

Kedua, MTA tidak bermadzhab. Fiqh sebagai panduan praktis dalam beribadah dalam pandangan MTA sudah jadi satu dengan tuntunan yang ada dalam Al-Qur'an dan Sunnah. MTA menegaskan ijtihadnya sendiri dan tidak terikat dengan ijtihad para penganut sistem bermadzhab yang telah ada. Madzhab yang dianut oleh MTA adalah Alquran dan Sunnah. Sedangkan dengan madzhab yang ada mereka harus hati-hati dengan madzhab yang ada sebab hal tersebut dikhawatirkan tidak sesuai dengan Alquran dan Hadist. 21

Ketiga, penolakan praktik Islam bercampur unsur budaya lokal. MTA menolak segala praktik ibadah yang bercampur dengan budaya lokal seperti yasinan, tahlilan, manaqiban dan selamatan. Masyarakat ideal dalam

18 www.mta online .com/profile diakses pada tanggal 20 September 2013 19www.mta online .com diakses pada tanggal 20 September 2013

(7)

7

pandangan MTA adalah masyarakat yang dalam kehidupannya selalu dibimbing oleh pemahaman, penghayatan, dan pengamalan Alquran secara benar. Untuk mencapai cita-citanya tersebut gerakan yang dilaksanakan oleh MTA antara lain melalui program dakwah, ekonomi, pendidikan, gerakan sosial, pembukaan rumah sakit, serta kursus secara berkala dengan bekerjasama dengan Balai Latihan Kerja Surakarta (BLK). Gerakan Dakwah melalui pengjian khusus dan pengajian umum. Pengjian umum yang dilaksanakan setiap hari minggu pagi diselenggarakan oleh MTA pusat, saat ini bertempat di halaman gedung MTA pusat di Mangkunegaran. Materi yang disampaikan dalam pengajian ini adalah pengalaman beragama sehari-hari, yaitu bagaimana masyarakat bisa memahami Alquran dan Sunnah sehingga menjadi muslim yang benar. Sedangkan pengajian khusus adalah pengajian yang khsusus diikuti oleh jamaah MTA yang biasa disebut siswa MTA. Pengajian ini merupakan sarana kaderisasi di dalam organisasi MTA. Pengajian ini diselenggarakan seminggu sekali baik di pusat maupun di cabang-cabang. 22

Kegiatan sosial MTA dilakukan atas dasar bahwa kehidupan bersama yang dijalin di MTA tidak hanya bermanfaat untuk warga MTA saja, melainkan juga untuk masyarakat umum. Dengan kebersamaan yang kokoh, berbagai amal sosial dapat dilakukan. Kegiatan sosial yang dijalankan MTA tersebut antara lain adalah donor darah, kerja bakti bersama dengan Pemda dan TNI, pemberian santunan berupa sembako, pakaian, dan obat-obatan kepada umat Islam pada khususnya dan masyarakat pada umumnya yang sedang tertimpa musibah. Di samping itu, MTA juga membuat Satgas (Satuan Tugas), yang diperuntukan bagi kepentingan ummat Islam khususnya, serta masyarakat luas pada umumnya. Aktifitas Satgas MTA bergerak di bidang dakwah dengan bentuk sosial kemasyarakatan. MTA juga membentuk tim SAR MTA. Kegiatan SAR MTA Surakarta adalah upaya penyelamatan jiwa manusia. 23

Pendidikan dan kesehatan MTA didasarkan pada prinsip untuk membangun masyarakat yang Islami dibutuhkan pendidikan yang diselenggarakan berdasarkan nilai-nilai keislaman. Pendidikan yang diselenggarakan di MTA dilatarbelakangi oleh kenyataan semakin jauhnya umat Islam dengan Alquran, yang menyebabkan umat Islam tidak menyadari bahwa apa yang mereka lakukan sesungguhnya bukan tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Oleh sebab itu, diperlukan adanya upaya yang sungguh-sungguh untuk mengembalikan umat Islam kepada Al-Qur’an dan Sunnah. MTA menyelenggarakan pendidikan formal mulai dari TK, SLTP

22 Ibid.

(8)

8

dan SMU. Sedangkan pendidikan non-formal berupa kursus otomotif dengan bekerjasama dengan BLK Kota Surakarta, kursus menjahit bagi siswi-siswi putri, kursus kewartawanan dan bimbingan belajar bagi siswa-siswa SLTP dan SMU. 24

Sedangkan dalam bidang kesehatan, telah dilakukan rintisan untuk dapat mendirikan sebuah rumah sakit yang diselenggarakan secara Islami. Kini baru MTA Pusat yang telah dapat menyelenggarakan pelayanan kesehatan berupa Balai Pengobatan dan Rumah Bersalin. Di samping itu, untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada siswa atau warga MTA di bentuk kader-kader kesehatan dari perwakilan dan cabang-cabang yang secara periodik mengadakan pertemuan. 25

Dalam bidang ekonomi MTA membangun unit usaha bersama berupa koperasi simpan-pinjam. Dengan simpan-pinjam ini, siswa atau warga MTA dapat memperoleh modal untuk mengembangkan kehidupan ekonominya. Di samping itu, siswa atau warga MTA biasa tukar-menukar pengalaman, pengetahuan dan ketrampilan dalam bidang ekonomi. 26

Sedangkan dalam bidang penerbitan, komunikasi, dan informasi MTA tergolong cukup maju. Hal ini terlihat MTA telah memiliki beberapa media baik cetak maupun elektronik, antara lain Majalah RESPON, TV MTA, Radio MTA FM, Majalah AL-MAR'AH, Website dan siaran satelit. Di bidang penerbitan MTA telah memiliki majalah bulanan yang bernama RESPON yang sudah terbit sejak tahun 1974 dan telah memiliki STT sejak tahun 1977. MTA juga telah memiliki website dengan alamat: http://www.mta-online.com.

Dalam bidang pertelevisian MTA telah memiliki Televisi Dakwah MT@TV yang bertujuan untuk menyajikan tontonan di televisi yang tidak menyimpang dari tuntunan agama Islam. MTA juga memiliki Radio MTA FM dengan frekuensi 107,9 FM sejak tahun 2007. Program siaran MTA FM ini dikemas sedemikian rupa sehingga mampu menarik pendengar yang akan belajar syariat Islam yang sesuai dengan Alquran ataupun Sunnah. Cakupan siaran radio MTA FM ini meliputi Kabupaten Boyolali, Sragen, Karanganyar, Klaten, Wonogiri, Sukoharjo dan Kodya Surakarta sampai sebagian wilayah Semarang selatan, Gunung Kidul, Pacitan, Bojonegoro, Ponorogo, Ngawi, Blora, Purwadadi, Cepu, Rembang dan Tuban. Di samping TV MTA dan Radio MTA juga memiliki majalah khusus perempuan yaitu majalah AL-MAR'AH. Majalah AL MAR’AH diterbitkan

24 www. MTA online.com diakses tanggal 20 September 2013 25 Ibid.

26 Ahmad Sukino, Menggapai Kemuliaan Hidup (Tanya Jawab Pengajian Ahad Pagi

(9)

9

oleh Mar’ah Sholihah, seksi pendidikan dan keputrian MTA dengan ISSN 1907-7300. 27

3. Fiqh Tanpa Madzhab MTA: Suatu Klaim Pepesan Kosong

Sebagai gerakan keagamaan dengan mengusung kredo “Nagji Alquran sakmanane,” paling tidak Majelis Tafsir Alquran (MTA), “mempunyai” cara sendiri dalam merumuskan ijtihad, terutama fiqh. Keberadaan MTA secara khsusus tidak bergulat dengan pola-pola penafsiran Alquran, akan tetapi hanya mengkaji hasil penafsiran yang telah ada sebelumnya, seperti tafsir karya Ibn Katsir, tafsir Jalalain, tafsir Ibn Abbas, tafsir Alquran Kemenag RI, dan semuanya dalam bentuk terjemahan. Anehnya, cara mereka memahami terhadap tasir yang ada dan hasil pengkajiannya terhadap penafsiran yang sebelumnya, bagi MTA ini yang disebut sebagai “penafsiran Alquran”, dan kemudian diamalkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai bentuk doktrin kepada siswa MTA. Pada titik ini, MTA sangat tidak konsisten dengan apa yang selama ini diyakini, dimana MTA masih banyak menggunakan referensi karya-karya ulama klasik yang motabenenya para pengikut salah satu dari imam madzhab. MTA menyebut dengan jelas bahwa cara bermadzhab sebagai bentuk kesesatan dan kebodohan dalam beragama, tetapi MTA masih menggunakan karya para imam madzhab dalam merumuskan doktrin dan ideologi mereka.

Misalnya dalam konteks hukum atau fiqh amaliyah, gerakan MTA selama ini mengajak orang untuk kembali kepada sumber asasi dalam hukum Islam yaitu Alquran maupun Sunnah, serta menafikan pola bermadzhab, dengan cara mempelajari, memahami, dan mengamalkan hasil yang mereka kaji Alquran secara kaffah dan konsisten.28 Jika MTA telah mendeklarasikan diri berislam tanpa madzhab, atau lebih tepatnya “bermadzhab pada Alquran dan Sunnah,” pertanyaan dasarnya adalah bagaimana cara mereka shalat? Bagaimana cara mereka haji? Bagaimana cara mereka melakukan ibadah mahdhah dan ghairul mahdhah, dan ibadah yang lain?. Misalnya, tentang shalat, dalam Alquran sendiri tidak memberikan petunjuk secara praktis bagaimana cara shalat itu harus dikerjakan, waktu pelaksanaanya, rukun, syarat sah-nya, serta petunjuk teknis lainnya, darimana MTA tahu praktik ibadah tersebut?. Dalam hal ini, KH Amrullah Ahmad, ketua MUI pusat, menyebut MTA dengan istilah “khair al ummah” sebab dalam dakwah yang disampaikan banyak mengajak umat Islam tidak taqlid buta kepada madzhab tertentu, serta mendasarkan

27www.mta online.com/profile diakses tanggal 20 September 2013

28 Muhammad Wildan, “Mapping Radical Islamism in Solo: A Study of Proliferation of

(10)

10

semua praltik ibadahnya kepada Alquran dan Sunnah. Pengajian ahad pagi merupakan upaya salah satu untuk memahami ayat-ayat Alquran dengan cara menafsirkan Alquran versi A. Sukina, karena ada upaya untuk menjelaskan makna, mengeluarkan hukum, dan hikmah dari ayat.29 Artinya, MTA berusaha melakukan istinbath hukum langsung kepada Alquran dan Sunnah, pada hal siapapun tidak diperbolehkan secara langsung mengambil hukum kepada kedua sumber tersebut sebelum mempunyai kemampuan istinbath dan ijtihad sesuai dengan tata cara, syarat, dan rukun yang dijelaskan ulama ushul fiqh. Akan tetapi, unsur pimpinan MTA, termasuk A. Sukina, seharusnya menyadari jika tidak mempunyai kemampuan untuk istinbath dan ijtihad, maka sudah sepantasnya merujuk kepada ulama dalam pengertian bermadzhab.

Dalam konstruksi nalar fiqh yang dibangun oleh MTA, paling tidak memiliki tiga aspek penting, yaitu: pertama, “mengerti arti” dalam pengertian, mengerti Alquran dan beserta tafsirnya. Kedua, membuka hati yaitu menerima, mengikuti perintah dan larangan Allah serta menuju bhakti kepada-Nya. Ketiga, mempraktikan apa yang telah dipelajari dari Alquran tersebut dalam kehidupan keseharian yang bertujuan sebagai kepada Allah Swt. Artinya semua perbuatan dan aktivitas dalam kehidupan sehari-hari, Alquran telah menjadi way of life, dan semua hanya diorientasikan semata untuk Allah Swt. saja.30 Inilah model istinbath hukum yang sangat sederhana, dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat kepada semua siswa MTA. Selain itu, dalam penafsiran Alquran, MTA cenderung untuk dipaksakan dan ditarik dalam ranah teologis yang memperkuat bangunan ideologi gerakan MTA, hal ini dilakukan sebagai bentuk penguatan argumentasi gerakan “pemurnian” yang dilakukannya.

Pendekatan MTA dalam istinbath hukum adalah pendekatan tekstual, sebuah cara atau pendekatan dalam studi Alquran yang menjadikan lafadz-lafadz Alquran sebagai obyek, meskipun harus banyak pola penafsiran MTA itu sendiri. Pendekatan ini menekankan pada cara kerja melalui analisis atas sisi kebahasaan dalam memahami Alquran. Secara praktis penafsiran, MTA tidak akan mungkin dimasukan dalam kategori pendekatan tekstual ini, sebab dilakukan dengan memberikan perhatian pada ketelitian redaksi dan bingkai teks ayat-ayat Alquran. Pendekatan tekstual dalam studi Alquran tidak hanya terbatas pada hal-hal tersebut, lebih dari itu, cara dan pendekatan tekstual juga mengunakan konsep kajian struktur

29 Muhammad Husein Az-Dzahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo: Maktabah

Wahbah, 2000), hlm. 13.

30 Mibtadin, Gerakan Keagamaan Kontemporer: Studi Atas Potensi Konflik Sosial

(11)

11

bahasa (nahwiyah) dan sastra (balaghah), dan MTA tidak mempunyai kapasitas untuk sampai pada pendekatan ini.

Alquran dan Sunnah menjadi sumber utama syariat merupakan kewajiban, karena dengan cara ini keduanya dijadikan sebagai pedoman dan rujukan untuk menyelesaikan berbagai persoalan kemanusiaan dewasa ini. Setiap umat Islam diwajibkan untuk mengambil hukum hakam Allah Swt secara langsung dari kedua sumber tersebut, akan tetapi tidak semua orang Muslim serta mengamalkan hasil ijtihadnya sendiri. bisa melakukan, dan hanya sedekit kelompok yang mampu melakukan, termasuk imam madzhab yang empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Menurut al Ghazali, bagi umat Islam yang mampu melakukan ijtihad hukum secara langsung kepada dua sumber tersebut, maka mereka wajib berpegang dan mengamalkan hasil ijtihadnya sendiri.31 Sedangkan Ibn al Humam menilai bahwa mujtahid dalam suatu hukum tidak dibenarkan untuk hasil ijtihad orang lain, dalam artian bertaklid dalam hukum itu menurut kesepakatan ulama ushul.32

Kalangan mujtahid tentu akan berbeda dengan kelompok awam, yang kurang memiliki kemampuan mengeluarkan hukum sendiri langsung dari Alquran dan Sunnah. Bagi mereka orang awam, maka ulama memberikan cara agar mereka wajib untuk mengikuti atau bertaqlid kepada para madzhab fiqh tertentu. Ada dua cara pandang berkaitan dengan posisi orang awam ini, yaitu: pertama, sebagian ulama33 yang menyatakan bahwa bermadzhab adalah haram, karena itu, umat Islam langsung mengikuti apa yang ada dalam Alquran dan Sunnah tanpa perantara madzhab. Kedua, mayoritas ulama ushul menyatakan bermadzhab bagi kalangan awam adalah keharusan, dan akan bisa dikatakan wajib.

Jika mengikuti pemetaan pemikiran yang ada, maka pola yang dilakukan oleh MTA dengan menganggap kalangan ulama sebagai “orang

31 Al Ghazali menyatakan bahwa: “Para ulama ushul bersepakat bahwa apabila seseorang

sudah berijtihad dan telah memperoleh hukum berasaskan dugaannya (dzan) yang kuat, maka diatidak harus lagi bertaqlid kepada mujtahid lain yang menyalahi ijtihadnya. Dan dia tidak boleh beramal dengan ijtihad yang lain serta meninggalkan ijtihadnya sendiri. Al Ghazali, Al Mustasfa min ‘Ilm al-Ushul (Mesir: Maktabat Tijariyyah al Kubra, Jilid 2, 1973), hlm. 121.

32 Dinyatakan oleh Ibn al Humam bahwa: “seorang mujtahid apabila telah berijtihad

dalam sesuatu hukum, maka ia dilarang untuk bertaqlid dalam hukuk itu menurut kesepakan ulama ushul.” Ibn al Humam, al Tahrir fi Ushul al Fiqh (Mesir: Mustafa al Babi Al Halabi, Jilid 4, t.th.), hlm. 535.

33 Beberapa ulama yang berada pada posisi ini antara lain: Khajandi, Nasirruddin al Bani,

(12)

12

ortodoks” dan bermadzhab merupakan suatu bentuk taqlid dalam beragama, ini sejalan dengan pemikiran pertama, yaitu bermadzhab itu haram. Argumentasi yang dibangun MTA ketidakperluan bermadzhab adalah karena ajaran Islam itu sedikit, sangat mudah, dan sangat sederhana, sehingga setiap orang mampu untuk memahaminya dengan cara merujuk langsung atau “terjun bebas” kepada Alquran dan Sunnah. Madzhab MTA adalah madzhab Alquran dan Sunnah, karena itu, tidak ada kepentingan umat Islam untuk merujuk dan mengikuti madzhab tertentu dengan para mujtahid, karena setiap Muslim dibenarkan untuk melakukan istinbath hukum dari sumbernya, Alquran dan Sunnah itu sendiri.

MTA secara umum enggan untuk mengikuti hasil ijtihad para ulama, karena mereka menyakini pada prinsip “hanya Alquran dan Sunnah yang benar,” sama halnya gagasan yang dinyatakan oleh seorang Orientalis, Schacht.34 Cara pandang (way of thinking) yang demikian tengah menggejala pada MTA, di mana A. Sukina hanya bermodalkan beberapa potong ayat dan Hadits saja berani merumuskan hukum sendiri serta cenderung mendiskreditkan bahkan mengesampingkan fatwa dan hasil ijtihad ulama.35 Hal ini sejalan dengan pendapat yang diungkapkan oleh A. Hassan Bandung, bahwa bermadzhab sama maknanya dan maksudnya dengan bertaqlid, kedua-duanya itu dilarang oleh Allah, Rasul, sahabat, bahkan imam-imam yang ditaqlidi.36 Hal senada dinyataj oleh Khajandi, bahwa ikut kepada madzhab termasuk perbuatan bid’ah, sesat, dan kufur, karena itu, keluar dari madzhab itu bukan harama, akan tetapi wajib, serta masuk ke dalam suatu madzhab itu bukan wajib, melainkan haram.37

Hal lain yang memperlihatkan anti madzhab yang dikembangkan oleh MTA adalah ungkapan A. Sukina yang menyatakan “ngaji kok kitab kuning. Ngaji ya Alquran dan Hadits yang pasti benarnya, jika kitab kuning kan buatan manusia.”38 Pernyataan ini alah ungkapan arogan dan sisi kebodohan dalam beragama mereka, akan tetapi perlu dimaklumi para pimpinan MTA tidak mengenal imam madzhab seperti Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, serta para ulama lainnya, seperti Imam Nawawi, as Suyuthi, Ibn Hajar al Asqalani, dan lainnya. Ungkapan A. Sukina tersebut sejalan dengan Khajandi, bahwa barang siapa berpegang dengan semua pendapat Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad atau yang lainnya dan tidak

34 Scacht mengungkapkan bahwa: “Sesungguhnya fiqh Islam yang disusun oleh para

imam madzhab itu adalah karya hukum ciptaan otak yang istimewa yang disandarkan pada Kitab dan Sunnah.” Al Buthi, Alla Madzhabiyyah, Ibid., hlm. 68.

35 Nur Hidayat Muhammad, Meluruskan Doktrin MTA, Ibid., hlm. 21.

36 Ahmad Hassan, Risalah al Madzhab, (Bangil: Pustaka Abdul Muis, 1980), hlm. 12. 37 Ahmad Hassan, Risalah al Madzhab, Ibid., hlm. 23.

(13)

13

berpegang dengan apa yang ada di dalam Kitab dan Sunnah, maka berarti dia menyalahi ijma’ umat dan mengikuti jalan yang tidak ditempuh oleh orang mukmin.39 Bahkan Khajandi mengungkapan bahwa mengikuti madzhab termasuk perbuatan bid’ah, sesat, dan kufur, karena mengikuti orang tersebut akan menganggap imam-imam dan tokoh madzhab sebagai tuhan selain Allah.40

Cara berpikir yang dilakukan MTA lewat A. Sukina dengan menafikan madzhab di satu sisi, akan tetapi di sisi yang lain mereka banyak merujuk kepada ulama pengikut madzhab, seperti dalam bidang tafsir, MTA mengikuti pola Ibn Katsir yang notabenenya adalah pengikut madzhab Syafi’i, kemudian Hadits merujuk kepada Imam Bukhari, juga Syafi’ian. MTA juga banyak mengambil referensi dari Ibn Taimiyyah dan murudnya, Ibn Qayim al Jauziyah, yang notabenenya pengikut Imam Ahmad bin Hanbal, serta banyak menggunakan Hadits dhaif, pada hal MTA selama ini anti terhadap Hadits dhaif. Manhaj dalam istinbath hukum yang tidak bermetodologi inilah yang pada akhirnya akan menyebabkan MTA bersikap mengembalikan semua pada sumber utama, dimana Islam harus Alquran dan Sunnah secara murni. Pandangan yang semacam ini pada akhirnya akan bermuara pada satu titik bahwa bermadzhab adalah haram, sebagaimana Ibn Hazm yang menyebut bahwa agama Islam yang wajib diikuti oleh setiap orang tidak boleh diambil kecuali dari Alquran dan Sunnah yang shahih.41

Sebenarnya tidak seorang pun yang boleh dengan cara langsung mengambil hukum dari Alquran dan Sunnah sebelum mempunyai kemampuan istinbath dan ijtihad sesuai syarat-syarat yang diatur dalam ushul fiqh. MTA, terutama A. Sukina kita melihat tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan hal tersebut, maka sewajarnya ia harus mau merujuk kepada ulama yang mempunyai kapabilitas tentang permasalah tersebut. Dengan gagasan “purifikasi” ala MTA yang hari ini dikembangkan akan sulit diterima oleh kalangan masyarakat Islam secara luas, dan bahkan akan membahayakan syariat Islam itu sendiri.42 MTA menolak keberadaan madzhab yang dinilainya sebagai bentuk taqlid buta, karena itu, MTA menginginkan segala sesuatu harus dikembalikan kepada Alquran dan Sunnah dengan cara melakukan ijtihad. Biasanya para mujtahid dalam mencetuskan hukum haram atau halal, maka cara yang harus ditempuh adalah dengan mengetahui berbagai macam dalil serta mengenal berbagai

39 Al Buthi, Alla Madzhabiyyah, Ibid., hlm. 73. 40 Al Buthi, Alla Madzhabiyyah, Ibid., hlm. 27.

41 Ibn Hazm, Al Mushalla, (Beirut: Maktabat Tijariyyah, 1965, jilid I), hlm. 50.

42 Ibn Hazm menyatakan bahwa seorang Muslim tidak boleh mengikuti mujtahid sama

(14)

14

piranti dan syarat dalam ijtihad, dan yang pasti MTA tidak memiliki itu semua. Selama ini, MTA hanya belajar dari Alquran terjemahan, terutama dari Kemenag RI, serta beberapa terjemahan Hadits, dan tidak pantas untuk melakukan istinbath hukum dengan cara langsung merujuk kepada Alquran serta Sunnah. Argumen yang dikedepankan oleh MTA bahwa bermadzhab meruapakan bentuk taqlid, akan tetapi dalam bermadzhab sebenarnya ittiba’, karena dengan cara ini mereka akan mengetahui dalil-dalil yang dipakai mujtahid yang diikutinya.43

MTA mengajak masyarakat untuk meninggalkan madzhab, dengan alasan dalil dan cara kembali kepada Alquran dan Sunnah sebagai sumber utama dalam beribadah. Hal ini tampak jelas ketika MTA menolak semua bentuk hasil ijtihad para ulama dengan cara berpikir, pendekatan istinbath, dan hasilnya dalam versi kitab kuningnya, dan menganggap ulama bukan panutan tetapi tidak lebih hanya kumpulan orang ortodok. Islam yang dikembangkan oleh MTA adalah Islam yang murni (pure, kaffah) berdasarkan pada Alquran dan Sunnah, selain dari dua hal tersebut dianggap sebagai “laisa minal Islam”, artinya agama Islam yang dibawa oleh ulama generasi salaf maupun khalaf adalah tidak benar, dan akan masuk ke neraka.44 Hal mendasar lainnya berkaitan dengan nalar fiqh, MTA tidak mengakui ijma’ dan qiyas sebagai dasar hukum Islam, artinya MTA menabrak kesepakatan Ahl Sunnah wa al Jama’ah, MTA beragumentasi semua hal tersebut bukan hanya berasal dari ulama saja, akan tetapi juga tidak bersumber dari Alquran dan Sunnah.

Madzhab seharusnya dipahami sebagai sebuah disiplin ilmu (cara, manhaj) untuk memahami Alquran dan Sunnah, dan bukan media untuk bertaqlid buta sebagaimana yang dipahami MTA, tempat orang sesat, dan bersifat tertutup. Semangat hukum awal untuk mengikuti madzhab adalah tidak wajib, akan tetapi selain mujtahid, beramal dengan fatwa mujtahid (madzhab) adalah wajib jika tidak ada jalan lain untuk mengetahui hukum syara apabila tidak mengikuti madzhab. Orang awam dapat dipastikan tidak akan mempunyai kemampuan untuk melakukan tarjih, yaitu menilai pendapat atau dalil yang terkuat antara madzhab yang ada. Ketidakmampuan tersebut memerlukannya untuk berpegang kepada madzhab yang diikutinya, meskipun pada cara bermadzhab seperti ini masih menjadi perdebatan, apakah dalam kategori ittiba’ atau taqlid.Secara umum beberapa ajaran MTA yang memiliki potensi konflik sosial di masyarakat sebagai berikut: pertama, Islam dan persoalan tradisi lokal. Dalam

43 Hasby as-Shiddiqie, Pokok-Pokok Pegangan Imam-Imam Madzhab Dalam Membina

Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1989), hlm. 157.

(15)

15

pandangan MTA orang yang beragama secara murni adalah orang yang beragama Islam tanpa mencampur agama dengan tradisi yang berlaku di masyarakat. Islam harus dipahami sebagaimana apa adanya, sebagaimana yang telah ada dalam Al-Qur'an dan Hadist Nabi. Islam yang dicampurkan dengan berbagai persoalan tradisi hanya akan membawa pada Islam yang tidak lagi murni. Amalan seperti tingkepan, selapanan, selametan, ziarah kubur dengan menabur bunga adalah perbuatan bid'ah yang diancam neraka. Dalam hal ini Ustad Ahmad Sukino melarang jamaah MTA melakukannya.

4. Implementasi Tanpa Madzhab MTA

Keberadaan MTA dengan gerakan puritanismenya yang beprinsip “ngaji Alquran sakmanane” apa benar ingin mengetahui dalil untuk memperkuat pemahaman terhadap hukum atau MTA mulai ragu dengan fiqh yang bermadzhab dan hanya mau memahami hukum langsung kepada Alquran dan Sunnah. Implementasi prinsip MTA “ngaji Alquran sak maknane” tersebut jika ditarik pada corak penafsiran teologis, subjektif, ideologis MTA maka akan ditemukan pada Qs. al Baqarah ayat 173, tentang makanan yang diharamkan oleh Allah Swt. yang ditafsirkan oleh MTA dengan kental nuansa teologis. Dalam menafsirkan ayat tersebut, MTA berkesimpulan bahwa hanya ada 4 (empat) yang diharamkan oleh Allah Swt. yaitu: (1) bangkai binatang, (2) darah (yang mengalir), (3) babi (daging, tulang, dan sebagainya), dan (4) serta binatang yang disembelih bukan karena Allah Swt. Dalam memperkuat argumentasinya, MTA menampilkan Qs. Al-An’am ayat 119, dan dari ayat ini, MTA kemudian melontarkan pertanyaan: “akal siapakah yang membenarkan penambahan dari yang 4 (empat) macam yang diharamkan oleh Allah Swt. manusia memakannya?.” Dari tafsir MTA mengenai persoalan ini, kemudian ia mengambil beberapa dalil dari Al-Qur’an—seperti Qs. Al-Maidah ayat 87, Qs. An-Nahl ayat 116, Qs. Yunus ayat 59, dan Qs. Al-A’raf ayat 32. Dengan mengambil tafsir dari beberapa ayat tersebut, kemudian MTA kembali membuka pertanyaan: Dan masih beranikah manusia mengada-adakan atau berdusta kepada Allah?45 Jika dilihat selintas, perkembangan MTA yang akan mengembalikan kehidupan umat Islam kepada Alquran dan Sunnah, pada dasarnya ingin belajar untuk mengetahui dalil, dan kelompok seperti MTA ini menolak perwujudan syariah dalam Islam. Islam bagi MTA tidak akan lebih sebatas satu agama tanpa syariat, tanpa kearifan lokal, dan tanpa keterikatan denga nass-nass Alquran. Bagi MTA, terutama A. Sukina, hanya akal dan rasional yang sempit, ideologis, tanpa metodologi

45 MTA, Tafsir Surat Fatihah dan Baqarah, Surakarta: Yayasan Majelis Tafsir

(16)

16

pendekatan manupun penafsiran yang pasti, terlebih menafikan adanya kajian ilmiah atau Islamic studies dalam merumuskan kajian hukum Islam (fiqh).

Akhir-akhir ini keberadaan MTA banyak mendapatkan sorotan tajam di tengah kehidupan masyarakat, selain ajaran dan doktrinnya yang banyak bertentangan dengan mainstream Ahl Sunnah wa al Jamaah, juga memberikan label sesat, kafir, bid’ah, syirik, dan laisa minal Islam kepada kelompok Ormas yang lain, terutama NU dan Kejawen. Banyak “fatwa baru” tentang ketentuan ibadah, kajian fiqh, dan ketetapan hukum lainnya yang dimunculkan oleh A. Sukina, dan semua fatwa tersebut menjadikan MTA sebagai lembaga penggerak “new bid’ah” dalam beragama. Beberapa pesoalan cabang fiqh yang menjadi kontroversi diantaranya: halalnya daging anjing yang dulu difatwakan oleh A. Sukina, dengan alasan di dalam Alquran dan Hadits tidak ditemukan nass yang secara langsung merujuk pada keharaman dan kenajisan anjing.

Persoalan berikutnya, tidak mempersoalkan wanita yang sedang haid untuk masuk masjid, pada hal dari cara pandang fiqh yang telah disepakati oleh para fuqaha lintas madzhab, terdapat larangan bagi wanita yang sedang haid untuk masuk masjid. Ada juga tentang pelafan niat, baik puasa maupun niat shalat, dan MTA dalam hal ini sejalan dengan LDII yang menyatakan sesat, bagi MTA sebab hal tersebut tidak datang dari Rasulullah, akan tetapi dari Imam Syafi’i. Selain itu, A. Sukina juga membuat fatwa bahwa tidur tidak akan membatalkan wudlu, tidur tanpa menetapkan pantat di lantai yang tidak membatalkan wudlu adalah tidurnya orang sebelumnya suci. Membaca tasbih setelah shalat menurut pendapat MTA hukumnya adalah haram, dengan alas an tidak akan ditemukan tuntunan di dalam nass Alquran atau Sunnah.

C. Penutup

(17)

17

DAFTAR PUSTAKA

Adz-Dzahabi, Muhammad Husein, Al-Tafsir wa al-Mufassirun, Kairo: Maktabah Wahbah, 2000.

Aijudin, Anas, Transformasi Sosial Gerakan Islam di Surakarta, Laporan Penelitian Puslitbang Depag RI Tahun 2008.

Al Buthi, Sa’id Ramadhan, Alla Madzhabiyyah, terj. Anas Thahir Syamsuddin, Surabaya: Bina Ilmu, 1981.

Al Buthiy, Said Ramadhaniy, ‘Alla Madzhabiyah Aktsaruhu Bid’ah Tuhaddidu as Syari’ah al-Islamiyah, Surabaya: Bina Ilmu, 1994.

Al Ghazali, Al Mustasfa min ‘Ilm al-Ushul, Mesir: Maktabat Tijariyyah al Kubra, Jilid 2, 1973.

al Humam, Ibn, al Tahrir fi Ushul al Fiqh, Mesir: Mustafa al Babi Al Halabi, Jilid 4, t.th..

Al Jabiri, Muhammad ‘Abid, Takwin al ‘Aql al-‘Arabi, Beirut: Markaz Dirosat al- Wahdah al-‘Arabiyah, 1989.

An-Nabhani, Taqiyuddin, As-Syakhsiyah wa al-Islamiyah, Beirut: Darul Umah, 1994.

As-Shiddiqie, Hasby, Pokok-Pokok Pegangan Imam-Imam Madzhab Dalam Membina Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1989.

Hasil wawancara dengan ustadz Medi tanggal 8 Oktober 2013

Hassan, Ahmad, Risalah al Madzhab, Bangil: Pustaka Abdul Muis, 1980. Ibn Hazm, Al Muhalla, Beirut: Maktabat Tijariyyah, 1965, jilid I.

Ibrahim, Muslim, Pengantar Fiqh Muqaranah, Jakarta: Erlangga, 1990. Jie, Rawass Qal’ah, Mu’jam Lughah al-Fuqaha Beirut, 1996.

Mibtadin, Gerakan Keagamaan Kontemporer: Studi Atas Potensi Konflik Sosial Keagamaan dari Perkembangan MTA di Surakarta, Semarang: Laporan Penelitian Balai Penelitian Agama Semarang, 2009.

MTA, Tafsir Surat Al-Fatihah dan Al-Baqarah, Surakarta: Yayasan Majelis Tafsir Al-Qur’an (MTA), t.th., 1-39.

Muhammad, Nur Hidayat, Meluruskan Doktrin MTA: Kritik Atas Dakwah Majelis Tafsir Alquran, Surabaya: Muara Progresif, cet. II, 2013.

(18)

18

Sekretariat MTA, Sekilas Tentang Majelis Tafsir Al Quran (MTA) (tt.).

Strauss, Anselm dan Juliet Corbin, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif: Tata Langkah dan Teknik-Teknik Teoritisasi Data, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.

Sukino, Ahmad, Menggapai Kemuliaan Hidup (Tanya Jawab Pengajian Ahad Pagi Jilid I, Surakarta, Penerbit MTA, 2008.

Sutopo, Harbertus, Pengantar Penelitian Kualitatif: Dasar-Dasar Teoretis dan Praktis, Surakarta: Pusat Penelitian UNS, 1988.

Wildan, Muhammad, “Mapping Radical Islamism in Solo: A Study of Proliferation of Radical Islamism in Central Java,” dalam Al-Jami’ah, Vol. 46, No.I, 2008.

www.mtaonline.com diakses pada tanggal 20 September 2013

www.mtaonline.com/profile diakses pada tanggal 20 September 2013

Referensi

Dokumen terkait

PT Telkom Akses memiliki karyawan yang terbilang banyak, sebagian dari karyawan tersebut masih memiliki status sebagai karyawan kontrak, kontrak kerja karyawan tersebut

Berbeda dengan ulama‟ ḥadīṡ, ulama‟ uṣūl fiqh berpendapat sunnah adalah Sabda Nabi Muḥammad Ṣaw yang bukan berasal dari al-Qur´an, berupa perkataan perbuatan dan

26 Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru

Jika subjek data tidak dapat mengajukan klaim kepada pengekspor data atau pengimpor data yang dinyatakan dalam ayat 1 dan 2, yang timbul dari pelanggaran subprosesor atas

(1) Adanya ketidakseimbangan kekuatan atau kerja otot atau ligamen, anatar samping satu dengan yang lain, sedangkan hal – hal yang dapat menyebabakan adanya bermacam –

Dari penjelasan yang telah dikemukakan sebelumnya, diketahui bahwa Masjid Al Irsyad merupakan seb uah ban gunan modern di Indonesia dengan desain bangunan yang unik

Jawab : Seleksi merupakan suatu proses yang diadakan untuk mendapatkan pegawai yang sesuai dan berkompeten sesuai kebutuhan perusahaan sedangkan penempatan karyawan dapat

Al-Fiqh al-Akbar (fiqih besar) merupakan satu-satunya karya monografi Imam Abu Hanifah yang sangat berperan mengembangkan madzhab fiqh yang dibangunnya. Karenanya,