Desentralisasi Fiskal dan Kebijakan
Pembangunan Ekonomi Daerah
*Armida S. Alisjahbana
Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran
6 Mei, 2000
Abstrak:
Dalam mengantisipasi implementasi otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, prioritas utama Daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota dalam jangka pendek adalah melakukan reorientasi atas peran dan kewenangan penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Hasil simulasi dan estimasi implikasi UU nomor 25 tahun 1999 untuk Jawa Barat menunjukkan Pemerintah Propinsi harus menyerahkan/mengurangi peran dan kewenangannya ke Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan perubahan fungsi/kewenangan dan perkiraan penurunan penerimaan APBD, yaitu sebesar 50% dibandingkan dengan penerimaan APBD pada pengaturan lama. Sebaliknya, untuk Daerah Kabupaten/Kota di Jawa Barat secara keseluruhan, peningkatan peran dan kewenangan yang berasal dari Pusat dan Propinsi diperkirakan harus dapat dibiayai oleh peningkatan 90-100% penerimaan APBD. Keberhasilan pembangunan ekonomi daerah dalam era desentralisasi tidak hanya tergantung pada aspek penerimaan daerah, kemampuan ataupun kreativitas masing-masing daerah. Pembangunan ekonomi daerah melibatkan multisektor dan pelaku pembangunan, sehingga diperlukan kerjasama dan koordinasi diantara semua pihak yang berkepentingan. Pemerintah Daerah di setiap tingkat dituntut untuk dapat menjadi fasilitator yang dapat memadukan kepentingan berbagai pihak dan meletakkan dasar-dasar kepentingan bersama.
*
Desentralisasi Fiskal dan Kebijakan
Pembangunan Ekonomi Daerah
Armida S. Alisjahbana
*Fakultas Ekonomi
Universitas Padjadjaran
Jl. Dipati Ukur 35
Bandung 40132
1.
Pendahuluan
Implementasi otonomi daerah yang direncanakan akan diberlakukan pada tahun 2001
mengacu pada dua UU, yaitu: UU nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
dan UU nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah. UU
Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah (UU-PKPD) merupakan UU yang mengatur
perimbangan keuangan atau desentralisasi fiskal antara Pemerintah Pusat-Daerah
berdasarkan pembagian fungsi dan wewenang penyelenggaraan pemerintahan di antara
pemerintah Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota dalam UU tentang Pemerintahan Daerah.
Makalah ini bertujuan untuk mengkaji implikasi implementasi UU Pemerintahan Daerah
serta UU-PKPD terhadap pembiayaan pembangunan daerah dan reorientasi peran antara
Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota yang dilakukan dengan cara: pertama,
mensimulasikan aplikasi UU-PKPD terhadap penerimaan Daerah Jawa Barat. Kedua,
berdasarkan perubahan kewenangan dan fungsi antara Propinsi dengan Kabupaten/Kota
serta hasil simulasi aplikasi UU-PKPD terhadap penerimaan daerah, makalah ini
mengkaji reorientasi kebijakan pembangunan ekonomi antara daerah propinsi dengan
daerah kabupaten/kota yang perlu dijadikan prioritas.
*
2.
Implikasi Implementasi UU-PKPD Terhadap Pembiayaan Daerah:
Perkiraan untuk Jawa Barat
2.1.Hasil Perhitungan Perkiraan Bagian Daerah dari PBB, BPHTB, SDA; Dana
Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus
Sumber-sumber penerimaan daerah menurut UU-PKPD meliputi: (i). Pendapatan Asli
Daerah (PAD); (ii). Dana Perimbangan; (iii). Pinjaman Daerah; (iv). Lain-lain
pendapatan yang sah. Daerah melaksanakan semua kewenangannya yang berkaitan
dengan desentralisasi dibiayai dari anggaran daerah.
Penerimaan daerah yang berupa PAD masih mengacu pada UU nomor 18 tahun 1997
tentang pajak daerah dan retribusi daerah.1 Dana Perimbangan terdiri dari: bagian daerah
atas hasil Sumber Daya Alam, Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan; Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus. Dana Alokasi Umum
merupakan transfer dari pusat ke daerah dalam bentuk block grant, dengan kriteria
alokasi berdasarkan potensi ekonomi daerah dan kebutuhan obyektif daerah. Penggunaan
Dana Alokasi Umum diserahkan sepenuhnya pada daerah.2 Dana Alokasi Khusus
merupakan transfer dari pusat ke daerah yang bersifat spesifik, yang peruntukannya
ditetapkan pusat.3
1 Sedang dalam pertimbangan untuk direvisi.
2
Dana Alokasi Umum (DAU):
− Berfungsi sebagai dana untuk pemerataan antar daerah.
− Besarnya DAU ditetapkan minimal 25% dari penerimaan dalam negeri APBN dengan pembagian 10% untuk propinsi dan 90% untuk kabupaten/kota.
− DAU untuk suatu Daerah Propinsi (Kabupaten/Kota) tertentu ditetapkan berdasarkan perkalian jumlah DAU untuk seluruh Daerah Propinsi (Kabupaten/Kota) yang ditetapkan dalam APBN dengan porsi Daerah Propinsi (Kabupaten/Kota) yang bersangkutan.
Porsi Daerah Propinsi (Kabupaten/Kota) merupakan proporsi bobot Daerah Propinsi (Kabupaten/Kota) yang bersangkutan terhadap jumlah semua Daerah Propinsi (Kabupaten/Kota) yang bersangkutan. Bobot daerah ditetapkan berdasarkan: kebutuhan wilayah otonomi daerah dan potensi ekonomi daerah.
3
Dana Alokasi Khusus (DAK):
− Dialokasikan dari APBN kepada daerah tertentu untuk membantu pembiayaan kebutuhan khusus, dengan memperhatikan tersedianya dana dalam APBN.
Perkiraan Bagian Daerah dari PBB, BPHTB, dan SDA: Aplikasi UU-PKPD di Propinsi
dan Kabupaten/Kota di Jawa Barat
Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Barat bekerjasama dengan Kantor Statistik Jawa Barat
mengestimasi penerimaan daerah yang berasal dari PBB, BPHTB, dan SDA berdasarkan
UU nomor 25 tahun 1999.4 Hasil estimasi berdasarkan UU-PKPD untuk tahun anggaran
1998/99 dibandingkan dengan realisasi yang terjadi pada tahun anggaran tersebut adalah
sebagai berikut:
Tabel 2.1.
Bagian Daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota di Jawa Barat Dari PBB, BPHTB dan SDA
Total bagian daerah 411,9 1187,2 188%
Sumber: Diolah dari “Proyeksi Penerimaan Pemerintah Propinsi Jawa Barat pada Tahun Anggaran 2000/2001”, disampaikan oleh Asisten Administrasi Pembangunan Pemda Propinsi Jawa Barat, Januari, 2000.
Keterangan: * termasuk penerimaan pajak atas minyak bumi, sehingga angka ini mungkin overestimate (terlalu tinggi).
Hasil perhitungan memperlihatkan bagian daerah dari PBB, BPHTB dan SDA secara
total untuk Propinsi dan Kabupaten/Kota di Jawa Barat diperkirakan akan meningkat
4 Perhitungan dan penjelasan selengkapnya dapat dilihat dalam: “Proyeksi Penerimaan Pemerintah Propinsi
sekitar 188% dengan implementasi UU-PKPD dibandingkan dengan pengaturan lama.
Angka ini merupakan perkiraan tertinggi mengingat dalam perhitungan unsur penerimaan
yang berasal dari pajak migas masih ikut diperhitungkan.5
Selanjutnya, hasil perhitungan perkiraan penerimaan Pemerintah Propinsi Jawa Barat dan
gabungan penerimaan Pemerintah Kabupaten/Kota di Jawa Barat untuk PAD, dan Bagian
Daerah dari PBB, BPHTB dan SDA Tahun 2000/2001 (12 bulan) dapat dilihat pada
Tabel 2.2. di halaman berikut.
Dana Alokasi Umum: Propinsi dan Kabupaten/Kota di Jawa Barat
a. Hasil perkiraan penerimaan DAU Jawa Barat berdasarkan UU-PKPD:
Studi perkiraan penerimaan DAU Jawa Barat dilakukan berdasarkan UU-PKPD dengan
menggunakan beberapa asumsi berikut:6
− DAU menurut UU-PKPD merupakan transfer pemerintah pusat yang bersifat umum
dan merupakan ekuivalen dari pengaturan lama berupa SDO dan Inpres
Pembangunan.
− Perhitungan DAU dilakukan dengan menggunakan bobot daerah: jumlah penduduk
(bobot: 22.5%); luas wilayah (bobot: 22.5%); PDRB non-migas (bobot: 22.5%);
Rasio PAD/APBD (bobot: 22.5%); Pemerataan (bobot: 10%). Pemilihan bobot ini
didasarkan atas kriteria kebutuhan obyektif daerah otonom dan potensi ekonomi
daerah.
5
Bagian daerah propinsi dan kabupaten atas hasil minyak bumi dan gas alam tergantung pada Peraturan Pemerintah dari UU nomor 25 tahun 1999, apakah bagian daerah dihitung dari total penerimaan daerah dari migas (profit dan pajak), atau hanya diambil dari komponen profit penerimaan migas, diluar pajak migas.
6
Tabel 2.2.
Potensi Penerimaan
Daerah (Rp milyar) % Rp milyar % Rp milyar I. Pendapatan Asli Daerah 1,356.68 300.54 1,056.14
Perkiraan PAD dan Bagian Daerah dari PBB, BPHTB dan Sumber Daya Alam Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota Jawa Barat Tahun 2000/2001 (12 Bulan)
Sumber: “Proyeksi Penerimaan Pemerintah Propinsi Jawa Barat pada Tahun Anggaran 2000/2001”, disampaikan oleh Asisten Administrasi Pembangunan Pemda Propinsi Jawa Barat, Januari, 2000.
PDRB non-migas digunakan sebagai salah satu variabel yang mencerminkan potensi
ekonomi daerah, khususnya daerah-daerah dengan basis ekonomi di luar sektor
migas.7 Pertimbangan digunakannya PDRB non-migas disebabkan nilainya akan
lebih mencerminkan kinerja ekonomi daerah di luar sektor SDA, sedangkan
kontribusi SDA daerah yang kembali ke daerah sudah diperhitungkan dalam bagian
daerah dari SDA.
7
Sebelum dikeluarkannya secara resmi PP yang mengatur tentang Perimbangan
Keuangan Pusat-Daerah, dasar perhitungan DAU berdasarkan pemilihan bobot
seperti tersebut di atas baru sebatas satu alternatif kajian empiris (exercise) dan
belum merupakan cara alokasi DAU yang final.
− Penerimaan dalam negeri APBN yang dialokasikan untuk DAU berjumlah 25%.
Alokasi DAU adalah: 10% untuk daerah propinsi dan 90% untuk daerah
kabupaten/kota.
− Perkiraan dilakukan dengan membandingkan alokasi DAU berdasarkan UU-PKPD
jika diterapkan pada tahun anggaran 1994/95 sampai dengan 1996/97 dengan transfer
rutin (SDO) dan pembangunan dari pemerintah pusat ke Jawa Barat menurut
pengaturan lama.
Hasil perkiraan yang diperoleh8:
Tabel 2.3.
Transfer “block grant” Pemerintah Pusat ke Pemda Propinsi dan Kabupaten/Kota Jawa Barat
Hasil simulasi yang membandingkan transfer block grant antara pengaturan lama dengan
implementasi UU-PKPD menunjukkan peningkatan nilai transfer berupa block grant dari
pusat ke Daerah Jawa Barat (total Pemda Propinsi dan Kabupaten/Kota) sebesar antara
40% - 63%.
Tabel 2.4.
Tranfer “block grant” Pemerintah Pusat ke Pemda Propinsi Jawa Barat (Rp juta)
Tranfer “block grant” Pemerintah Pusat ke Pemda Kabupaten/Kota Jawa Barat (Rp juta)
Hasil simulasi menunjukkan terjadinya perubahan komposisi penerimaan transfer
Pemerintah Dati I dan Pemerintah Dati II secara sangat signifikan. Transfer block grant
yang diterima Pemerintah Dati I mengalami penurunan rata-rata 75%-80% dibandingkan
Dati II diestimasikan meningkat antara 180%-223% dibandingkan dengan pengaturan
lama.
b. Hasil estimasi alokasi DAU yang diperkirakan diterima Daerah Propinsi dan Daerah
Kabupaten/Kota di Jawa Barat, 1998/99, 1999/2000 dan 2000:
Hasil perhitungan menggunakan data-data tahun anggaran 1994/95, 1995/96 dan
1996/97, menghasilkan perkiraan persentase DAU nasional yang dialokasikan ke Daerah
Jawa Barat sebesar 10,93%.9 Dengan mengasumsikan DAU nasional yang dialokasikan
ke Daerah Jawa Barat tidak mengalami perubahan pada tahun-tahun anggaran
selanjutnya, maka diperoleh estimasi alokasi DAU ke Daerah Jawa Barat (Propinsi dan
Kabupaten/Kota), alokasi DAU yang diterima Propinsi dan alokasi DAU yang diterima
Kabupaten/Kota sebagai berikut (lihat Tabel 2.6.)10:
Tabel 2.6.
1998/1999* 1999/2000** 2000 (9 bln)
Penerimaan dalam negeri APBN 158,905 142,204 152,890 Alokasi DAU nasional (25%) 39,726 35,551 38,223 Alokasi Jawa Barat (10.93% dari DAU nasional) 4,342 3,886 4,178 Alokasi DAU Pemerintah propinsi Jawa Barat 434 389 418 Alokasi DAU Pemerintah kabupaten/kota di JawaBarat 3,908 3,497 3,760
Keterangan: *Realisasi; **Anggaran (budget)
Estimasi Alokasi DAU yang diterima Pemerintah Propinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Jawa Barat
1998/99, 1999/2000, 2000 (Rp miliar)
Sumber: Hasil pengolahan data
9
Lihat Lampiran Tabel L.1. sampai dengan Tabel L.5. untuk perhitungan selengkapnya.
10 Hasil perkiraan ini cukup realistis jika persentase variabel-variabel Jawa Barat yang digunakan dalam
Dana Alokasi Khusus: Propinsi dan Kabupaten/Kota di Jawa Barat
Dana Alokasi Khusus diasumsikan sama dengan nilai transfer spesifik (Inpres Spesifik)
dalam pengaturan lama, atau sama dengan komponen Dana Khusus dari Dana
Pembangunan Daerah jika mengacu pada format APBD tahun anggaran 1999/2000, baik
untuk Daerah Propinsi maupun Daerah Kabupaten/Kota.
Alokasi Dana Khusus dari Dana Pembangunan Daerah Tahun Anggaran 1999/2000:
Propinsi Jawa Barat: Rp 149.851 juta (untuk Pengembangan Prasarana dan Sarana
Ekonomi; Pengembangan Sosial Budaya dan Pelayanan; Pemeliharaan Lingkungan
Hidup; Pengembangan Wilayah; Peningkatan Pendidikan Dasar; dan Pembangunan
Sarana Kesehatan);
Daerah Kabupaten/Kota di Jawa Barat: Rp 357.446 juta (untuk Dana Pembinaan Daerah
Bawahan; Dana Pelayanan Sosial-Ekonomi; Dana Penanganan Lingkungan Hidup; Dana
Pembangunan Prasarana Umum; dan Dana Peningkatan Produksi).
2.2.Perkiraan Penerimaan APBD Propinsi dan Kabupaten/Kota di Jawa Barat:
Aplikasi UU-PKPD
Implikasi implementasi UU-PKPD terhadap pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan
daerah dapat dilihat pada dampaknya terhadap penerimaan APBD Propinsi dan APBD
Kabupaten/Kota di Jawa Barat, yaitu membandingkan APBD realisasi dengan perkiraan
APBD yang mengaplikasikan UU-PKPD. Tabel 2.7. memperlihatkan angka-angka
APBD tersebut untuk tahun anggaran 1994/95 sampai dengan 1996/97. Aplikasi
UU-PKPD dalam perhitungan ini dibatasi pada aplikasi DAU, dengan asumsi
penerimaan-penerimaan lainnya dianggap tidak berubah.
Atas dasar alokasi DAU yang menggantikan transfer block grant dari pengaturan lama,
terlihat penerimaan APBD Propinsi rata-rata berkurang secara drastis, antara 45-50%
dibadingkan dengan pengaturan lama. Sebaliknya, penerimaan APBD Kabupaten/Kota
Jika memperhitungkan sumber penerimaan lain yang juga akan berubah dengan
diaplikasikannya UU-PKPD, misalnya komponen Bagian Daerah dari PBB, BPHTB dan
SDA, diperkirakan penurunan penerimaan APBD Propinsi tetap akan berkisar pada 45%.
Penerimaan beberapa Kabupaten/Kota, khususnya Kabupaten/Kota penghasil SDA, dapat
meningkat secara lebih drastis lagi dengan dimasukkannya bagian daerah dari SDA,
sementara Kabupaten/Kota bukan daerah penghasil SDA, hanya mendapat tambahan
bagain daerah yang relatif kecil dari bagian hasil SDA yang dibagi rata diantara
Kabupaten/Kota yang berada di propinsi penghasil tersebut.
Tabel 2.7.
Tahun anggaran Dati I Dati II Dati I Dati II Dati I Dati II
1994 / 1995 1,325,290 1,204,844 644,805 2,329,960 -51.3% 93.4%
1995 / 1996 1,587,935 1,579,425 845,224 2,728,006 -46.8% 72.7%
1996 / 1997 1,646,283 1,826,572 923,157 3,290,685 -43.9% 80.2%
Sumber: Hasil pengolahan data
Realisasi Aplikasi DAU
Penerimaan APBD Pemda Propinsi dan Kabupaten/Kota Jawa Barat
Persentase Perubahan
Perkiraan di atas dianggap cukup realistis, dengan melihat pada kenyataan: UU nomor 18
tahun 1997 tentang pajak daerah dan retribusi daerah belum direvisi, Dana Alokasi
Khusus kemungkinan masih mengacu pada pola transfer spesifik pengaturan lama,
komponen lain-lain penerimaan yang sah diperkirakan tidak banyak berubah, serta
pinjaman daerah tidak dilakukan.
Pada tahap selanjutnya, untuk keperluan perencanaan kebijakan pembangunan ekonomi
daerah perlu diperkirakan dampak implementasi UU-PKPD terhadap APBD Propinsi dan
APBD masing-masing Kabupaten/Kota, sehingga daerah dapat melakukan perencanaan
Sebagai ilustrasi, Tabel 2.8. memperlihatkan perkiraan penerimaan APBD Propinsi Jawa
Barat tahun anggaran 2000 yang telah mengaplikasikan UU-PKPD.11 Komposisi
penerimaan diperkirakan menjadi: PAD (24%), Bagian Daerah Propinsi dari
PBB,BPHTB dan SDA (20%); DAU (44%), dan DAK (12%).
Tabel 2.8.
c) Berdasarkan alokasi dana khusus dari Dana Pembangunan Daerah 1999/2000 untuk 9 bulan
Thn anggaran 2000a
Perkiraan Penerimaan APBD Propinsi Jawa Barat Tahun 2000 Aplikasi UU nomor 25 tahun 1999 (Rp milyar)
Sumber: Hasil pengolahan data
Penggunaan penerimaan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Propinsi menjadi 88%
dari total penerimaan APBD, dan hanya 12% yang penggunaannya ditentukan Pusat.
Meskipun diskresi kewenangan Propinsi dalam penentuan penggunaan penerimaan
APBD menjadi sangat besar, tetapi harus diingat bahwa Propinsi tidak mempunyai
kewenangan untuk mempengaruhi sumber maupun besar penerimaan itu sendiri. Alokasi
DAU dan DAK dilakukan melalui mekanisme yang ditentukan Pusat, demikian pula
dengan ketentuan Bagian Daerah dari SDA, PBB, BPHTB dan penerimaan PAD. Hal
yang sama berlaku untuk Daerah Kabupaten/Kota.
3.
Implikasi Implementasi Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal
Terhadap Perencanaan Pembangunan Ekonomi Daerah
3.1.Reorientasi Peran serta Kewenangan Penyelenggaraan Pemerintahan antara
Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota
Dalam jangka pendek, prioritas utama daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota adalah
melakukan reorientasi atas peran dan kewenangan penyelenggaraan pemerintahan di
daerah. Reorientasi ini tidak terbatas pada peran dan kewenangan saja, tetapi juga
menyangkut relokasi pegawai serta peningkatan kemampuan, kapasitas pemerintah
Kabupaten/Kota dari segala aspek.
Jika mengacu pada UU Pemerintah Daerah, maka reorientasi peran dan kewenangan dari
Pemerintah Pusat dan Propinsi langsung ke Daerah Kabupaten/Kota mengikuti ketentuan:
Kewenangan Pemerintah Pusat:
Melaksanakan kewenangan-kewenangan Pemerintah dalam bidang-bidang
Pertahanan/Keamanan, Politik Luar Negeri, Peradilan, Fiskal/Moneter, Agama serta
kewenangan bidang Pemerintahan lainnya dan/atau Kebijakan Strategis yang ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.12
12
Bidang lainnya yang tetap menjadi kewenangan Pemerintah Pusat adalah:
Kewenangan Pemerintah Propinsi:
Kewenangan bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota yang menjadi
tanggung jawab Propinsi, misalnya adalah kewenangan di bidang pekerjaan umum,
perhubungan, kehutanan, dan perkebunan disamping kewenangan bidang pemerintahan
tertentu lainnya.13
Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota:
Mencakup semua kewenangan Pemerintahan selain kewenangan Pemerintah Pusat dan
Propinsi. Secara eksplisit dinyatakan bahwa bidang pemerintahan yang wajib
dilaksanakan daerah kabupaten dan daerah kota meliputi: pekerjaan umum, kesehatan,
pendidikan, pertanian, perhubungan, perdagangan dan industri, penanaman modal,
lingkungan hidup, dan pertanahan.
Disamping mengacu pada PP Pemerintahan Daerah dan PP PKPD, reorientasi peran dan
kewenangan diantara Pemerintah Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota hendaknya juga
dilakukan dengan memperhatikan:
− Perubahan anggaran yang diestimasikan akan terjadi. Misalnya: untuk contoh daerah
Jawa Barat seperti perhitungan di atas, maka Pemerintah Propinsi harus
menyerahkan/mengurangi peran dan kewenangannya ke Pemerintah Kabupaten/Kota
senilai 50% dari APBD.
− Sebaliknya, untuk Daerah Kabupaten/Kota secara keseluruhan, peningkatan peran
dan kewenangan yang berasal dari Pusat dan Propinsi direncanakan 90-100% dari
nilai penerimaan APBD.
pendayagunaan teknologi tinggi dan strategis, serta pemanfaatan kedirgantaraan, kelautan, pertambangan dan kehutanan/lingkungan hidup; (vi) Kebijakan konservasi; (vii) Kebijakan standarisasi nasional.
13
Kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya mencakup:
− Jika Pemerintah Propinsi tidak mengurangi/mengalihkan peran ke Daerah Kabupaten/Kota, maka diperkirakan akan terjadi defisit pada APBD (senilai 50% dari
APBD).
− Jika Pemerintah Kabupaten/Kota dilimpahkan kewenangan yang melebihi
kemampuan anggarannya (peningkatan beban anggaran APBD lebih besar dari
100%), sebagaimana disimulasikan di atas, maka dapat terjadi defisit dalam APBD
Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
− Seharusnya Pemerintah Pusat memberlakukan masa transisi persiapan reorientasi dan
restrukturisasi Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
Masa transisi yang cukup diawali dengan pengkajian dan sosialisasi oleh Pemerintah
Pusat ke daerah-daerah tentang implikasi implementasi UU-PKPD terhadap anggaran
masing-masing Daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota. Dengan demikian, dapat
dihitung secara akurat dampak UU-PKPD terhadap anggaran daerah, sebagai
landasan bagi perubahan-perubahan dan reorientasi yang dilakukan daerah.
3.2. Prioritas Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah
Otonomi daerah mengandung makna beralihnya sebagian besar proses pengambilan
keputusan dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan
dari pusat ke daerah. Perubahan yang mendasar dalam penyelenggaraan pemerintahan ini
memerlukan reorientasi/perubahan peran dan fungsi pemerintah seperti yang dijelaskan
dalam UU tentang Pemerintahan Daerah dan implikasi implementasi UU-PKPD pada
pembahasan di atas.
Pemerintah daerah akan bertanggung jawab secara lebih penuh terhadap
kebijakan-kebijakan dasar yang diperlukan bagi pembangunan daerah, khususnya yang menyangkut
pembangunan sarana dan prasarana, investasi (dan akses terhadap sumber dana),
kebijakan lingkungan, pelayanan dasar (pendidikan dan kesehatan), dan pengembangan
Dalam era otonomi daerah dan desentralisasi, efektifitas pemerintah daerah dalam
memicu perkembangan ekonomi daerah akan sangat tergantung pada:14
− Kemampuan berafiliasi, yaitu kemampuan bekerjasama, negosiasi dan networking
dengan pihak swasta (dalam negeri dan asing), dengan pemerintah daerah lain,
institusi dan pemerintah pusat, institusi/pemerintah asing.
− Kemampuan berpikir strategik, yaitu kemampuan melihat dan mengidentifikasi
faktor-faktor dominan dari suatu daerah, yang akan mempengaruhi dan menentukan
pembangunan daerah.
− Sikap kreatif dan inovatif di tingkat pemerintah daerah, yaitu kemampuan untuk
menciptakan gagasan-gagasan dan pemikiran-pemikiran baru yang berdampak pada
kemajuan ekonomi daerah.
Kreativitas dan sikap inovatif pemerintah daerah dalam menghasilkan gagasan-gagasan
baru hanya mungkin dalam suatu pemerintahan yang bersifat terbuka, yang memahami
pendapat/pemikiran yang berbeda dan menganggap kreativitas sebagai kebutuhan untuk
mencapai perbaikan pengelolaan maupun produk/jasa pelayanan terhadap masyarakat.
Pembangunan ekonomi daerah bukanlah monopoli dan tanggung jawab pemerintah
daerah. Pembangunan ekonomi daerah melibatkan multisektor dan pelaku pembangunan,
sehingga diperlukan kerjasama dan koordinasi diantara semua pihak yang
berkepentingan. Pemerintah daerah di setiap tingkat harus dapat menjadi fasilitator yang
dapat memadukan kepentingan berbagai pihak dan meletakkan dasar-dasar kepentingan
bersama.
14 Yuyun Wirasasmita, “Pengembangan Ekonomi Daerah dalam Rangka Otonomi Daerah”, Ceramah
Keterpaduan yang harmonis dan terkoordinasi antara pemerintah daerah dengan lembaga
lain, pihak swasta dan lembaga-lembaga nirlaba akan memperlancar tercapainya tujuan
pembangunan daerah.
4.
Penutup
Hasil simulasi dan estimasi implikasi UU nomor 25 tahun 1999 untuk Jawa Barat
menunjukkan akan terjadinya peningkatan transfer dalam bentuk block grant dari pusat
ke daerah Jawa Barat sebesar 25-45% dibandingkan dengan pengaturan lama. Terjadi
penurunan drastis (45-50%) atas transfer pusat ke Propinsi Jawa Barat, sebaliknya
peningkatan drastis (72-93%) ke Daerah Kabupaten/Kota. Demikian pula dengan Bagian
Daerah atas PBB,BPHTB dan SDA, diperkirakan akan terjadi peningkatan penerimaan
Daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota (khususnya Daerah Penghasil SDA) secara cukup
signifikan dibandingkan dengan pengaturan lama. Atas dasar studi-studi semacam ini,
daerah dapat mulai melakukan persiapan-persiapan implementasi otonomi daerah dengan
memperhatikan aspek anggaran yang akan dikelolanya.
Meskipun diskresi kewenangan Propinsi dan Kabupaten/Kota dalam penentuan
penggunaan penerimaan APBD menjadi sangat besar, tetapi harus diingat bahwa Propinsi
maupun Kabupaten/Kota tidak mempunyai kewenangan untuk mempengaruhi sumber
maupun besar penerimaan itu sendiri. Alokasi DAU dan DAK dilakukan melalui
mekanisme yang ditentukan Pusat, demikian pula dengan ketentuan Bagian Daerah dari
SDA, PBB, BPHTB dan penerimaan PAD.
Pembangunan ekonomi daerah bukanlah monopoli dan tanggung jawab pemerintah
daerah sendiri. Pembangunan ekonomi daerah melibatkan multisektor dan pelaku
pembangunan, sehingga diperlukan kerjasama dan koordinasi diantara semua pihak yang
berkepentingan. Disamping diperlukan kreativitas masing-masing Pemerintah Daerah,
Pemerintah Daerah di setiap tingkat juga harus dapat menjadi fasilitator yang dapat
memadukan kepentingan berbagai pihak dan meletakkan dasar-dasar kepentingan
Referensi
Ahmad, Ehtisham, Bert Hofman, Jun Ma, Dick Rye, Bob Searle and Jim Stevenson, 1999, “Indonesia: Decentralization-Managing the Risks”, International Monetary Fund, Fiscal Affairs Department, June.
Armida S. Alisjahbana, 1999, “Regional Autonomy and Fiscal Decentralization:Towards
Provincial and Local Government Financial Viability
?”.
Makalah disampaikanpada
Konferensi Internasional “The Economic Issues Facing the New Government” diselenggarakan LPEM FE-UI bekerjasama dengan the United States Agency for International Development (USAID) dan Partnership for Economic Growth (PEG), Jakarta, 18-19 Agustus._________________ , 1998, “Desentralisasi Kebijakan Fiskal dan Tuntutan Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah”. Orasi Ilmiah pada Dies ke 41 Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran, Bandung, October 24.
Badan Pusat Statistik, berbagai tahun, Statistik Keuangan Daerah.
Burki, Shahid Javed, Guillermo E. Perry and William R. Dillinger, 1999, Beyond the
Center: Decentralizing the State, The World Bank, Washington, D.C.
Dillinger, William and Steven B. Webb, 1999, “Decentralization and Fiscal Management in Colombia”, World Bank Staff Paper, May.
Mahfud Sidik, 1999, “Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, Serta Implikasinya terhadap Pembiayaan Otonomi Daerah”, Makalah disampaikan pada Lustrum IV Pasca Sarjana, Universitas Padjadjaran, Bandung, Agustus.
Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Barat, 2000, “Proyeksi Penerimaan Pemerintah
Propinsi Jawa Barat pada Tahun Anggaran 2000/2001”, disampaikan oleh Asisten Administrasi Pembangunan Pemda Propinsi Jawa Barat, Bandung, Januari.
.
______________________________, berbagai tahun, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Bandung.
“Proyeksi Penerimaan Pemerintah Propinsi Jawa Barat pada Tahun Anggaran 2000/2001”, disampaikan oleh Asisten Administrasi Pembangunan Pemda Propinsi Jawa Barat, Januari.
________________, 1999, UU nomor 22 tentang Pemerintahan Daerah, Mei.
_______________, 1999, UU nomor 25 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, Mei.
Shah, Anwar, 1998, “Balance, Accountability, and Responsiveness: Lessons about Decentralization”, dalam Picciotto, Robert and Eduardo Wiesner, eds. Dalam Evaluation and Development: The Institutional Dimension, New Brunswick, USA and London, UK: Transaction Publishers.
________________, “The Reforms of Intergovernmental Fiscal Relations in Developing and Emerging Market Economies,” The World Bank, Washington, DC.
__________, 1991, “Perspectives on the Design of Intergovernmental Fiscal Relations”, Country Economics Department, the World Bank, Washington, DC.
Susijati B. Hirawan, 1998, “Desentralisasi Kebijaksanaan Fiskal dan Tuntutan Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah”, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional dalam rangka Dies ke 41 Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran, Oktober 31.
Lampiran Tabel
1994 / 1995 20.06% 2.23% 18.07% 6.45% 3.70%
1995 / 1996 20.14% 2.23% 18.07% 6.35% 3.70%
1996 / 1997 20.21% 2.23% 18.14% 6.59% 3.70%
Tabel L1. Formula Dana Alokasi Umum untuk Propinsi Jawa Barat
Tahun
Tabel L2. Alokasi nasional menurut bobot (Rp milyar)
Tahun
Tabel L3. Simulasi Alokasi DAU Jawa Barat (Rp milyar)
Skenario* Nasional Jabar Nasional Jabar Nasional Jabar
Skenario 1 (25%) 16,604,500 1,810,633 18,253,500 1,989,201 21,907,500 2,405,940 Skenario 2 (30%) 19,925,400 2,172,759 21,904,200 2,387,041 26,289,000 2,887,128 Skenario 3 (35%) 23,246,300 2,534,886 25,554,900 2,784,881 30,670,500 3,368,316
Keterangan:
*) Persentase dari penerimaan rutin APBN yang dialokasikan ke daerah
1996 / 1997
Tabel L4. Simulasi Besarnya Dana Alokasi Umum untuk Propinsi Jawa Barat (Rp juta)
Skenario* Nasional Jabar Nasional Jabar Nasional Jabar
Skenario 1 (25%) 16,604,500 10.90% 18,253,500 10.90% 21,907,500 10.98%
Skenario 2 (30%) 19,925,400 10.90% 21,904,200 10.90% 26,289,000 10.98%
Skenario 3 (35%) 23,246,300 10.90% 25,554,900 10.90% 30,670,500 10.98%
Keterangan:
*) Persentase dari penerimaan rutin APBN yang dialokasikan ke daerah
1996 / 1997
(Persentase terhadap alokasi nasional)
Tabel L5. Simulasi Besarnya Dana Alokasi Umum untuk Propinsi Jawa Barat
1994 / 1995 1995 / 1996
Skenario** Dati I Dati II Dati I Dati II Dati I Dati II
Skenario 1 (25%) 181,063 1,629,569 198,920 1,790,280 240,594 2,165,346 Skenario 2 (30%) 217,276 1,955,483 238,704 2,148,337 288,713 2,598,415 Skenario 3 (35%) 253,489 2,281,397 278,488 2,506,393 336,832 3,031,484
Keterangan:
*) 10% untuk Pemda Tk I dan 90% untuk Pemda Tk II
**) Persentase dari penerimaan rutin APBN yang dialokasikan ke daerah
Tabel L6. Simulasi Besarnya Dana Alokasi Umum untuk Dati I dan Dati II Jawa Barat (Rp juta)*
1994 / 1995 1995 / 1996 1996 / 1997
Tahun anggaran Skenario 0* Skenario I Skenario 2 Skenario 3
1994 / 1995 861,548 181,063 217,276 253,489 1995 / 1996 941,631 198,920 238,704 278,488 1996 / 1997 963,720 240,594 288,713 336,832
Keterangan: *) Transfer aktual yang terjadi
Tabel L7. Transfer block grant (DAU) Pemerintah Pusat ke Pemda tk I Jawa Barat
Implementasi UU Perimbangan
(Rp Juta)
Tahun anggaran Skenario 0* Skenario I Skenario 2 Skenario 3
1994 / 1995 861,548 -79.0% -74.8% -70.6%
1995 / 1996 941,631 -78.9% -74.6% -70.4%
1996 / 1997 963,720 -75.0% -70.0% -65.0%
Keterangan: *) Transfer aktual yang terjadi
Implementasi UU HKPD
Tahun anggaran Skenario 0* Skenario I Skenario 2 Skenario 3 1994 / 1995 504,453 1,629,569 1,955,483 2,281,397 1995 / 1996 641,699 1,790,280 2,148,337 2,506,393 1996 / 1997 701,234 2,165,346 2,598,415 3,031,484
Keterangan: *) Transfer aktual yang terjadi
Implementasi UU HKPD
Tabel L9. Transfer block grant (DAU) Pemerintah Pusat Pemda tk II Jawa Barat (Rp Juta)
Tahun anggaran Skenario 0* Skenario I Skenario 2 Skenario 3
1994 / 1995 504,453 223.0% 287.6% 352.3%
1995 / 1996 641,699 179.0% 234.8% 290.6%
1996 / 1997 701,234 208.8% 270.5% 332.3%
Keterangan: *) Transfer aktual yang terjadi
Tabel L10. Transfer block grant (DAU) Pemerintah Pusat Ke Pemda tk II Jawa Barat (Persentase perubahan)