1 BAB I PENDAHULUAN
Mengakhiri masa kerja dikenal dengan istilah pensiun. Menjelang masa
pensiun merupakan suatu tahapan baru dalam kehidupan manusia yang
selalu dipenuhi dengan perubahan. Perubahan-perubahan tersebut dapat
dipersepsikan secara berbeda antar individu satu dengan individu lainnya.
Dengan demikian dalam bab I ini akan diuraikan mengenai latar belakang
mengapa penulis ingin melakukan penelitian tentang penyesuaian diri dan
dukungan sosial keluarga terhadap tingkat kecemasan Pegawai Negeri
Sipil (PNS) Pemerintah Kota Ambon yang akan pensiun.
1.1 Latar Belakang
Manusia selalu terlibat diberbagai aktivitas sepanjang hidupnya,
diantaranya adalah bekerja. Ada yang bekerja untuk mengisi waktu luang
dan ada yang bekerja sebagai identitas diri. Setiap pekerjaan yang digeluti
pasti akan mengalami banyak hal, baik sebagai Pegawai Negeri Sipil
(PNS) maupun pegawai swasta. Masa-masa sulit diawal pekerjaan, hingga
pada saat dimana mendapatkan jabatan sesuai dengan yang diinginkan dan
sampai pada akhirnya tiba pada saat mengakhiri jabatan atau pekerjaan itu
sendiri, maka seseorang yang bekerja akan menghadapi pensiun. Pensiun
merupakan kejadian penting yang menandai perubahan dari kehidupan
masa dewasa ke kehidupan lanjut usia (Buhlen dan Meyer dalam Hurlock,
1996). Parker (1982) mengemukakan bahwa masa pensiun adalah masa
berhenti bekerja. Masa pensiun merupakan masa dimana seseorang tidak
2
terorganisasi atau dalam pemerintahan karena sudah mencapai batas usia
maksimum yang ditetapkan (Parkinson, 1990).
Dalam Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2013 tentang
Perubahan Keempat atas Perubahan Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun
1979 tentang Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil (PNS), maka PNS
dengan batas usia yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah tersebut
akan mengalami pensiun. Batas Usia Pensiun (BUP) adalah batas usia
PNS harus diberhentikan sebagai Pegawai Negeri Sipil. Pasal 4 ayat 2,
dalam Peraturan tersebut menyatakan bahwa :
Perpanjangan batas usia pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan:
a. 65 (enam puluh lima) tahun bagi Pegawai Negeri Sipil yang memangku:
1. Jabatan Peneliti Madya dan Peneliti Utama yang ditugaskan secara
penuh di bidang penelitian;
2. Jabatan Hakim pada Mahkamah Pelayaran; atau
3. Jabatan lain yang ditentukan oleh Presiden;
b. 60 (enam puluh) tahun bagi Pegawai Negeri Sipil yang memangku:
1. Jabatan struktural eselon I; 2. Jabatan struktural eselon II;
3. Jabatan Dokter yang ditugaskan secara penuh pada unit pelayanan
kesehatan negeri;
4. Jabatan Pengawas Sekolah Menengah Atas, Sekolah Menengah Pertama,
Sekolah Dasar, Taman Kanak-Kanak atau jabatan lain yang sederajat; atau
5. Jabatan lain yang ditentukan oleh Presiden.
c. 58 (lima puluh delapan) tahun bagi Pegawai Negeri Sipil yang memangku
jabatan lain yang ditentukan oleh Presiden.
Memasuki masa pensiun seorang karyawan seharusnya merasa
senang karena telah mencapai puncak kariernya. Individu dapat menikmati
masa hidupnya dengan lebih santai, rileks, tenang, dan bahagia karena
tidak lagi terbebani dengan berbagai tugas dan tanggung jawab dari
instansi atau organisasi tempatnya bekerja. Saat masa pensiun tiba maka
akan lebih banyak waktu dan kesempatan bersama-sama dengan keluarga
atau pasangannya, mengerjakan sesuatu yang disukai dan bukan pekerjaan
3
berkurangnya tekanan beban kerja yang harus dihadapi dan akhirnya dapat
memaknai kehidupannya dengan penuh keoptimisan (Aidit, 2000). Akan
tetapi pada kenyataannya dilapangan dan berdasarkan hasil penelitian,
pihak yang paling takut menghadapi masa pensiun adalah PNS (Dinsi,
Setiati, dan Yuliasari, 2006). Sebagian besar PNS yang bekerja pada
Pemerintah Daerah dan Kota termasuk pada Pemerintah Kota Ambon
banyak mengalami permasalahan menjelang masa pensiun baik masalah
psikologi, ekonomi maupun secara sosial. Permasalahan ini muncul karena
individu merasa bahwa pensiun berarti kehilangan apa yang dimiliki
antara lain jabatan, status sosial, kekuasaan, penghasilan dan
penghormatan, yang mengakibatkan banyak orang memandang pensiun
sebagai hal yang negatif dan cenderung untuk menolak pensiun. Walaupun
pensiun bukan hal yang baru dan akan terjadi pada setiap orang yang
bekerja, tetapi kenyataannya masih menjadi peristiwa yang mencemaskan
bagi orang yang akan mengalaminya. Masa pensiun dirasakan sebagai
ancaman terhadap kehidupan dimasa datang, akibatnya banyak pegawai
yang mangalami kecemasan menghadapi datangnya pensiun. Kecemasan
ini dirasakan mulai beberapa tahun menjelang masa pensiun.
Survei yang dilakukan oleh Decker (1980) menemukan bahwa bagi
orang yang pensiun, mereka merasa kehilangan uang dan orang-orang di
lingkungan kerja. Sebagian besar mengatakan bahwa mereka merasa
kehilangan pekerjaan itu sendiri, kehilangan perasaaan berguna juga
peristiwa-peristiwa tertentu disekitar mereka dan sikap hormat dari orang
lain. Penelitian yang dilakukan oleh Holmes dan Rahe (1987)
mengungkapkan bahwa pensiun menempati rangking 10 besar untuk
posisi stres. Kekuatiran, kecemasan dan ketakutan yang berkelanjutan
4
akan termanifestasi dalam berbagai keluhan fisik, keadaan seperti itu
dikenal dengan sebutan postpower syndrome. Dijelaskan oleh Zarit (dalam
Santrock, 2002), seseorang yang memasuki masa pensiun menganggap
bahwa pensiun berarti kehilangan peran dan status sosial serta kekuasaan,
akibatnya banyak orang yang menganggap pensiun sebagai masa yang
mendatangkan stress dan merupakan peristiwa yang menakutkan. Hal
tersebut akan ditunjukkan oleh perilaku mudah murah, tegang, sulit
berkonsentrasi, dan menurunnya semangat kerja (Priest, 1992).
Sebelum pensiun, PNS terbiasa bekerja sesuai dengan apa yang
telah ditetapkan oleh aturan, kerja rutin, cenderung menunggu perintah
dari atasan atau memberikan perintah kepada bawahan, hidupnya terjamin
sampai tua karena akan mendapatkan uang pensiun, status sosial tinggi di
masyarakat, dan resiko di-PHK kecil. Hal ini juga terjadi dan dialami oleh
beberapa PNS Pemerintah Kota Ambon yang akan menghadapi masa
pensiun. Pandangan negatif tentang pensiun juga dapat menimbulkan
emosi-emosi negatif sehingga memicu kecemasan. Kecemasan
menghadapi pensiun dapat memberikan dampak positif dan negatif. Akan
lebih banyak dampak negatif yang mungkin akan dirasakan oleh individu
yang mengalami kecemasan (Kim dan Meon, 2002). Dalam beberapa
kesempatan melakukan wawancara dengan beberapa PNS yang akan
memasuki masa pensiun pada tanggal 13 Juli 2016, pada umumnya
mereka merasa cemas akan masa depannya setelah pensiun. Mereka
merasa bingung terhadap rencana setelah pensiun, khawatir terhadap masa
depan pendidikan anak-anaknya, khawatir dengan pendapatan yang
kurang untuk mencukupi kebutuhan keluarga, merasa tidak diakui dalam
lingkungan masyarakat karena dianggap sudah memasuki usia lanjut,
5
masih cukup mampu bekerja. Mereka merasa bingung karena tidak
memiliki pekerjaan atau usaha sampingan untuk tetap memperoleh
penghasilan. PNS yang menduduki jabatan struktural esselon II, III dan IV
ketika masih aktif bekerja akan mendapatkan gaji yang besar dan
tunjangan. Akan berbeda dengan kondisi mereka setelah pensiun, mereka
hanya akan mendapatkan uang pensiun dan tidak menerima tunjangan
lagi. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya kecemasan pada PNS dengan
jabatan struktural esselon II, III dan IV yang akan menghadapi pensiun.
Kecemasan dalam menghadapi pensiun ini juga dapat berdampak negatif
lainnya seperti menurunnya semangat kerja, merasa frustasi dengan beban
hidup karena merasa akan pensiun, dan merasa tidak percaya diri. Hal
tersebut diatas menjadi sejalan dengan gejala-gejala kecemasan yang
bersifat psikologis, dimana adanya rasa takut dan rasa tidak tentram serta
merasa tidak berdaya menghadapi kenyataan yang akan terjadi (Darajat,
1985).
Di lain kesempatan wawancara, ada seorang PNS yang merasa
bahwa pensiun adalah hal yang menyenangkan bagi dirinya. PNS tersebut
menjelaskan bahwa ketika pensiun dia akan memiliki banyak waktu
dengan keluarga dan memiliki banyak waktu untuk melakukan
aktifitas-aktifitas yang menyenangkan seperti berkebun atau memancing karena hal
tersebut adalah hobbynya. PNS ini tidak terlalu cemas karena semua
anaknya telah menikah dan tinggal bersama keluarga masing-masing.
Dilain pihak ada beberapa PNS yang merasa telah siap untuk pensiun
karena telah membuat perencanaan untuk mengisi waktu kosong setelah
pensiun dengan menjalankan usaha sampingan seperti membuka toko atau
6
setiap individu dan disampaikan diatas, merupakan manifestasi dari
kecemasan.
Menurut Darajat (1985) individu yang mengalami kecemasan
menunjukkan gejala yaitu adanya perasaan tidak menentu, rasa panik,
adanya perasaan takut dan ketidakmampuan individu untuk memahami
sumber ketakutan. Individu yang mengalami kecemasan akan mempunyai
perasaan tidak menyenangkan yang merupakan manifestasi dari berbagai
proses emosi yang bercampur aduk yang terjadi ketika individu
mengalami tekanan perasaan (frustasi) dan pertentangan (konflik)
batiniah. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapakan oleh Fletcher dan
Hansson (1991) yang mengatakan bahwa kecemasan menghadapi pensiun
merupakan kekuatiran pada sesuatu yang tidak pasti dan tidak dapat
diprediksi sebagai akibat datangnya masa pensiun. Respon kecemasan
tersebut tergambar sebagai suatu perasaan terancam. Hal ini yang
menyebabkan ketidaksiapan individu memasuki masa pensiun.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kecemasan menghadapi
pensiun, antara lain; faktor internal atau yang berasal dari dalam individu
dan faktor eksternal atau yang berasal dari luar diri individu. Menurut
Hurlock (1996), penyesuaian diri merupakan salah satu faktor penyebab
kecemasan dalam menghadapi pensiun, karena pada masa akan memasuki
pensiun, individu akan mengalami suatu perubahan pola hidup. Individu
harus menyesuaikan diri dengan masa pensiun dan berkurangnya
penghasilan keluarga, menyesuaikan diri dengan menurunnya kekuatan
fisik dan kesehatan, menyesuaikan diri dengan kematian pasangan hidup,
membentuk hubungan dengan orang-orang seusianya dan menyesuaikan
diri dengan peran sosialnya secara luwes. Perubahan-perubahan tersebut
7
pensiun tentunya akan menghadapi berbagai macam perubahan-perubahan
dalam pola kehidupannya, seperti bertambahnya waktu luang,
berkurangnya penghasilan, hilangnya status jabatan ketika masih bekerja,
dan hilangnya fasilitas yang didapat ketika masih bekerja. Berubahnya
pola kehidupan tentunya akan menimbulkan berbagai macam
permasalahan.
Menurut Schwartz (dalam Hurlock, 1996), pensiun dapat
merupakan akhir pola hidup atau masa transisi ke pola hidup baru. Pensiun
selalu menyangkut perubahan peran, perubahan keinginan dan nilai, dan
perubahan secara keseluruhan terhadap pola hidup setiap individu. Ketika
individu mampu menghadapi perubahan tersebut maka individu tersebut
tidak akan mengalami kecemasan yang tinggi. Kimmel (1991)
menjelaskan, memasuki masa pensiun individu akan mengalami suatu
perubahan penting dalam perkembangan hidupnya, yang ditandai dengan
terjadinya perubahan sosial. Perubahan ini harus dihadapi dengan
penyesuaian diri terhadap keadaan tidak bekerja, berakhirnya karier dalam
pekerjaan, berkurangnya penghasilan, dan bertambah banyaknya waktu
luang yang kadang terasa sangat mengganggu. Beberapa PNS dalam
beberapa kesempatan wawancara menyatakan bahwa, segala perubahan
terkait dengan proses menjelang pensiun dapat mereka hadapi dengan
tenang dan dengan berbagai persiapan, seperti beberapa pejabat yang tidak
lagi menggunakan kendaraan dinas, bahkan ada yang merencanakan untuk
menggunakan hak pengambilan masa persiapan pensiun (MPP). Hal ini
dipertegas oleh Havinghurst (dalam Hurlock, 1996) bahwa salah satu
tugas-tugas perkembangan pada masa tua adalah menyesuaikan kondisi
8
yang telah memasuki masa pensiun harus dapat menyesuaikan diri pada
masa pensiunnya dengan baik.
Hollander (1981) menyatakan bahwa kualitas penting dari
penyesuaian diri adalah dinamika atau potensi untuk merubah yang terjadi
ketika seseorang menghadapi kondisi lingkungan yang baru dimana
diperlukan adanya respon. Penyesuaian diri merupakan usaha individu
untuk menjadi atau bertahan hidup dalam lingkungan fisik dan sosialnya
(Lazarus, 1991). Penyesuaian diri yang positif ditentukan oleh berbagai
faktor antara lain kesehatan, sosial ekonomi, status, usia, jenis kelamin,
dan pemahaman seseorang terhadap masa pensiun itu sendiri. Penyesuaian
diri yang positif akan memberikan dampak positif pula pada aspek
psikologis seorang pensiunan. Pensiunan akan melewatkan masa pensiun
dengan rasa bahagia, bahkan bisa saja kembali aktif mencari pekerjaan
lain. Masa pensiun merupakan masa perubahan yang menuntut individu
untuk mampu menyesuaikan diri menjelang masa pensiun.
Penelitian yang dilakukan oleh Wells (2006) menjelaskan bahwa
apabila seorang pensiunan dapat mempersiapkan masa menjelang
pensiunnya dengan baik untuk mencapai keseimbangan antara keadaan
sebelum pensiun dan sesudah pensiun maka tingkat kecemasan menjadi
rendah. Pradono dan Purnamasari (2010) dalam penelitiannya kepada 80
PNS di Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang berusia
antara 50-56 tahun diperoleh hasil ada hubungan antara penyesuaian diri
dengan kecemasan menghadapi pensiun. Fadila dan Alam (2016) dalam
penelitiannya yang dilakukan di Mesir menjelaskan juga bahwa persiapan
menjelang pensiun sangat dibutuhkan oleh pesiunan supaya penyesuaian
diri dengan kondisi setelah pensiun tidak menimbulkan kecemasan.
9
PNS yang akan menghadapi pensiun. Penyesuaian diri yang baik akan
memberikan dampak yang baik pula dalam proses persiapan pensiun. PNS
akan merasa lebih siap untuk menghadapi pensiun apabila memiliki
penyesuaian diri yang baik.
Proses penyesuaian diri ini pun tidak akan berjalan dengan baik
tanpa dukungan dari lingkungan sekitar. Harber dan Runyon (1984)
menjelaskan lima karakteristik dari penyesuaian diri yang baik dan efektif
adalah persepsi yang akurat terhadap kenyataan, mampu mengatasi stress
dan kecemasan, citra diri yang positif, mampu mengekspresikan emosi
dan hubungan interpersonal yang baik. Dalam masa-masa transisi tersebut
individu yang berusaha menyesuaikan diri terhadap situasi kehidupan
yang berbeda membutuhkan dukungan orang lain untuk menyesuaikan
diri. Dalam psikologi istilah ini dikenal dukungan sosial, sehingga
dukungan sosial menjadi salah satu faktor yang diduga juga akan
mempengaruhi kecemasan menjelang pensiun.
Dukungan sosial ini menurut Johnson dan Johnson (1991) sebagai
keberadaan orang lain yang bisa diandalkan untuk dimintai bantuan,
dorongan dan penerimaan apabila individu mengalami kesulitan. Thorst
(2003) menjelaskan bahwa dukungan sosial bersumber dari orang-orang
yang memiliki hubungan berarti bagi individu seperti keluarga, teman
dekat, pasangan hidup, rekan kerja, tetangga dan saudara. Hal yang sama
dijelaskan juga oleh Nicholson dan Antil (2005) bahwa dukungan sosial
berupa dukungan yang berasal dari keluarga, dan teman dekat atau
sahabat. Beberapa aspek dalam dukungan sosial, yaitu kedekatan interaksi
yang akan menimbulkan saling percaya, bimbingan langsung seperti
memberikan informasi, memberikan petunjuk dan memberikan nasehat,
10
balik yang menimbulkan suatu respon, bantuan perilaku berupa sharing
atau curhat, bantuan materi dalam bentuk uang. Untuk itu, dukungan
sosial keluarga menjadi penting sebagai salah faktor yang dapat
mempengaruhi kecemasan. Terkait dengan hal tersebut, Wang dan Shultz
(2010) dalam penelitiannya juga menjelaskan bahwa dukungan sosial dari
orang-orang terdekat seperti keluarga dan pasangan hidup akan membantu
mengurangi kecemasan terutama masa setelah pensiun. Penelitian
Summerfeldt, Kloosterman, Anthony dan Parker (2006) menjelaskan
bahwa dukungan sosial memiliki hubungan yang negatif signifikan,
dimana dengan dukungan sosial yang tinggi maka tingkat kecemasan
menjadi rendah. Sementara Komalasari (1994) dalam penelitiannya
menjelaskan bahwa dukungan sosial keluarga tidak memiliki hubungan
yang signifikan dengan kecemasan menjelang pensiun.
Dave, Rashad dan Spasojevic (2008) dalam penelitiannya
menjelaskan bahwa kecemasan orang dewasa berbeda sehingga
penyesuaian diri terhadap beban kerja yang tinggi memungkinkan
menurunnya tingkat kecemasan. Sejalan dengan itu, Davies, Eleanor dan
Andrew (2013) dalam penelitiannya menjelaskan individu dengan
penyesuaian diri yang baik tidak akan mengalami kecemasan dalam
masa-masa transisi dari yang sebelumnya sangat aktif dalam berbagai kegiatan
termasuk pada saat bekerja ke kondisi tidak lagi bekerja. Berbeda dengan
penelitian sebelumnya, Yeung (2012) dalam penelitian terhadap para
pensiunan di Hongkong menjelaskan bahwa penyesuaian diri individu
tidak memberikan pengaruh terhadap kecemasan karena persiapan pensiun
telah jauh dilakukan sebelumnya.
Stanggier dan Rose (2000) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa
11
pengaruh yang kuat terhadap kecemasan karyawan yang mengalami
pemutusan hubungan kerja secara sepihak.
Dari berbagai hasil penelitian diatas, maka penulis tertarik untuk
mengetahui pengaruh penyesuaian diri dan dukungan sosial keluarga
terhadap kecemasan menjelang pensiun karena penulis beranggapan
bahwa fenomena kecemasan menjelang pensiun ini masih sering terjadi
dan dirasakan oleh para pekerja baik pegawai swasta maupun PNS, dan
yang menjadi menarik adalah terutama PNS dengan jabatan struktural
esselon II, III dan IV yang terbiasa dengan berbagai fasilitas yang
digunakan juga penghasilan atau gaji yang cukup tinggi. Penelitian pada
Instansi Pemerintah Kota Ambon adalah yang baru pertama kali
dilakukan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dikemukakan, maka
yang menjadi masalah pokok dalam penelitian ini, adalah : Apakah ada
pengaruh penyesuaian diri dan dukungan sosial keluarga secara bersamaan
atau simultan terhadap kecemasan menjelang pensiun PNS Pemerintah
Kota Ambon dengan jabatan struktural esselon II, III dan IV?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dalam penulisan ini adalah untuk mengetahui dan
menemukan pengaruh penyesuaian diri dan dukungan sosial keluarga
secara bersamaan atau simultan terhadap kecemasan menjelang pensiun
PNS Pemerintah Kota Ambon dengan jabatan struktural esselon II, III dan
12 1.4 Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
secara teoritis dan praktis.
1. Secara teori, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi dalam bidang ilmu psikologi yang berhubungan dengan
penyesuaian diri, dukungan sosial keluarga sebagai prediktor
kecemasan menjelang pensiun.
2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan
pertimbangan bagi Pemerintah Kota Ambon untuk melakukan
kegiatan tentang bagaimana mengurangi kecemasan PNS