• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERILAKU PENCARIAN PENGOBATAN ODHA DAN TERAPI ARV DI KALANGAN PECANDU NARKOBA SUNTIK Health Seeking Behavior and Antiretroviral Theraphy among Injecting Drug Users Who Living with HIVAIDS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PERILAKU PENCARIAN PENGOBATAN ODHA DAN TERAPI ARV DI KALANGAN PECANDU NARKOBA SUNTIK Health Seeking Behavior and Antiretroviral Theraphy among Injecting Drug Users Who Living with HIVAIDS"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

KALANGAN PECANDU NARKOBA SUNTIK

Health Seeking Behavior and Antiretroviral Theraphy among Injecting

Drug Users Who Living with HIV/AIDS

Sri Handayani

Puslitbang Humaniora dan Manajemen Kesehatan, Balitbangkes, Kementerian Kesehatan

Naskah masuk: 11 Nopember 2015, Perbaikan: 8 Agustus 2016, Layak terbit: 3 April 2017

http://dx.doi.org/10.22435/hsr.v20i3.5963.114-123

ABSTRAK

Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di Indonesia jumlahnya semakin meningkat dari tahun ke tahun salah satunya adalah kelompok pecandu narkoba suntik (penasun). Kelompok penasun memiliki risiko penularan ganda melalui jarum suntik dan hubungan seks berisiko. Namun ODHA dari kelompok penasun masih banyak yang belum mengikuti terapi Antiretroviral (ARV). Studi ini bertujuan mengkaji gambaran perilaku pencarian pengobatan pada ODHA di kelompok penasun dan keikutsertaan dalam terapi ARV. Metode penelitian ini adalah kualitatif. Pengumpulan data terutama dengan wawancara mendalam. Analisis data secara deskriptif. Informan adalah kelompok ODHA penasun di Kota Surabaya dan Jakarta. Hasil penelitian ini adalah ODHA penasun, banyak yang belum mengikuti terapi ARV. Penyebabnya adalah pengetahuan

yang tidak tepat mengenai efek samping terapi ARV, kurangnya self-efficacy ODHA penasun terutama yang masih adiksi,

persepsi bahwa mereka masih sehat sehingga belum membutuhkan terapi ARV, serta prosedur terapi ARV yang berbelit. Mereka yang mengikuti terapi ARV adalah yang sudah memiliki persepsi bahwa terapi ARV benar-benar bermanfaat dan yakin dapat mengikuti terapi ini. Kesimpulan penelitian ini adalah kesadaran ODHA penasun mengikuti terapi ARV masih rendah. Perilaku pencarian pengobatan ODHA penasun dalam mengikuti terapi ARV dipengaruhi oleh persepsi keparahan penyakit, persepsi terhadap manfaat dan hambatan terapi ARV serta keyakinan ODHA penasun terhadap keberhasilan terapi. Untuk meningkatkan jumlah ODHA penasun yang mengikuti terapi ARV, perlu peningkatan pemberian informasi dan edukasi terhadap ODHA penasun untuk mengubah persepsi ODHA penasun terhadap terapi ARV.

Kata kunci: HIV-AIDS; Penasun; Terapi ARV; Perilaku Pencarian Pengobatan

ABSTRACT

People living with the HIV/AIDS (PLWH) in Indonesia is increasing every year. Injecting drug users (IDUs) is one of groups who contribute the HIV/AIDS cases in Indonesia. IDU group is at risk of double transmission through needles and risk sexual activities. Yet, still a lot of them do not have antiretroviral therapy. The study aimed to elaborate health seeking behaviour among IDUs with HIV/AIDS in relation to have the antiretroviral therapy. It is a qualitative study. Data were collected mainly by indepth interview. The data were analyzed descriptively. Informants are people living with HIV/ AIDS among injecting drug user group in Surabaya and Jakarta Cities. Results show that a lot of IDUs have not ARV therapy yet. The causes are knowledge on side effects of the ARV therapy is not right, low self-efficacy among the PLWH with IDUs are mostly they still face addiction problems, their perception that they are still healthy, and difficulty to follow procedure of theARV therapy. Those who take the ARV therapy are who have had perception that the therapy is advantages and believe could follow the therapy. It concludes that the awareness among the PLWH with IDU to have the AVR therapy is low. Health seeking behavior of the PLWH with IDU are influenced by the perception on severity of the diseases, the perception on advantages and difficulties on the therapy, and also the PLWH with IDU beliefs on the success of the therapy. To increase the PLWH with IDU, it needs to enhance information and to educate the PLWH with IDU on the ARV therapy.

Keywords: HIV/AIDS, Injecting Drug User, ARV Theraphy, Health Seeking Behaviour

Korespondensi:

Sri Handayani

(2)

PENDAHULUAN

Jumlah penderita HIV/AIDS di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun. Jumlah kumulatif penduduk Indonesia yang terinfeksi HIV sampai bulan September 2014 sebanyak 150.296 orang, sedangkan penderita AIDS sebanyak 55.799 orang. Kelompok pecandu narkoba suntik (penasun) adalah salah satu kelompok dengan jumlah penderita HIV di Indonesia sebesar 15,2% (Pusdatin Kemenkes, 2014). Penularan HIV dapat terjadi pada kelompok penasun karena perilaku pemakaian jarum suntik tidak steril secara bergantian pada saat memakai narkoba suntik (PPKUI, 2010).

Namun jumlah Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dari kalangan penasun yang mengikuti terapi Antiretroviral (ARV) masih sedikit. Di negara Eropa Timur dan Asia Tengah sekitar 80% penasun adalah HIV positif namun hanya 14% yang mengikuti terapi ARV, di negara Asia Selatan dan Asia Tenggara hanya 1,8% penasun yang mengikuti terapi ARV dari 20% penasun yang HIV positif (Lert & D.K., 2010).

Laporan Kemenkes sampai bulan Juni 2013, bahwa di Indonesia hanya 32,19% (34,961) dari total 108.600 ODHA yang mengikuti terapi ARV. Sebanyak 33.847 (96,82%) orang menggunakan terapi lini pertama dan 1.110 (3,17%) orang terapi lini kedua, sedangkan sisanya 4 (0,01%) orang tidak diketahui (Pusdatin Kemenkes, 2014).

Terapi ARV sangat bermanfaat bagi ODHA karena dapat menekan perkembangan virus HIV di dalam tubuh. Penelitian pada satu rumah sakit di Jakarta Pusat menunjukkan 77,2% ODHA yang minum ARV terdapat peningkatan CD4 hingga di atas 200. CD4 adalah penanda di permukaan sel darah putih manusia dan menjadi indikator fungsi kekebalan tubuh. Selanjutnya pada 88,7% ODHA,

Het eroseksual

Gambar 1. PersentaseAIDSyang Dilaporkanmenurut Faktor Risiko Tahun 1987 sampai dengan September 2014 (Sumber: Ditjen P2PL Kemenkes RI dalam Pusdatin Kemenkes, 2014)

kadar virus HIV dalam darahnya tidak terdeteksi lagi. Sementara dari 70% ODHA yang mengikuti terapi ARV memiliki kualitas hidup dan kondisi psikologis baik (Zoerban, 2011).

Salah satu penyebab sedikitnya jumlah ODHA yang mengikuti terapi ARV adalah kurangnya pengetahuan ODHA tentang pengobatan dan perawatan HIV/AIDS. Sebagaimana penelitian Yayasan Spiritia (2011) yang mengukur kualitas

hidup ODHA dari lima pilar yaitu kepercayaan

diri, pengetahuan dasar HIV dan akses layanan

dukungan, pengobatan dan perawatan bahwa 92%

responden mempunyai pengetahuan yang baik tentang pengetahuan dasar HIV tetapi pengetahuan tentang pengobatan dan infeksi oportunistik masih kurang.

Sedikitnya ODHA yang mengakses pengobatan dan perawatan membuat banyak ODHA yang sudah dalam tahap infeksi oportunistik walaupun baru satu atau dua tahun terinfeksi HIV. Penelitian Indah Mahdi di Rumah Sakit Jakarta tahun 2009 dalam Sunani (2011) menunjukkan 30% ODHA yang dirawat di rumah sakit tersebut meninggal pada tahun pertama. Kematian tersebut pada umumnya terjadi akibat infeksi oportunistik, bahkan tidak sedikit ODHA yang meninggal sebelum mendapatkan terapi ARV (Lumbanbatu, 2012).

Sehingga penelitian ini bertujuan mengeksplorasi tentang perilaku pencarian pengobatan pada ODHA di kelompok penasun yaitu dalam mengikuti terapi Ant(ARV).

METODE

Penelitian ini menggunakan pendekatan

penelitian kualitatif dengan desain studi kasus. Penelitian dilakukan di Kota Jakarta dan Surabaya karena kasus HIV cukup tinggi.

Populasi penelitian adalah kelompok penasun yang terinfeksi HIV di kedua kota tersebut. Jumlah kumulatif kasus HIV di Kota Jakarta sampai triwulan ketiga tahun 2013 sebanyak 23.792 kasus (Kemenkes, 2013), sedangkan di Kota Surabaya sebanyak 5.575 kasus atau 88 % dari total ODHA yang ada di Jawa Timur (Surabaya Kita, 2013). Kota Jakarta juga menempati posisi pertama jumlah

pemakai narkoba sebanyak 491.000 orang (http://

www.Gatra). Dan Kota Surabaya, ibukota Provinsi

(3)

Age Gender Ethnicity Personality Socioeconomics Knowledge

Individual behaviors

Cues to action Perceived

self-efficacy Perceived benefits

Perceived barriers

Perceived threat Perceived

susceptibility and severity

Informan dipilih dengan mendatangi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) HIV/AIDS yang melakukan pendampingan terhadap penasun yaitu Yayasan OR di Surabaya dan Yayasan KA di Jakarta. Kriteria informan penelitian ini adalah pecandu atau mantan pecandu narkoba suntik, menggunakan narkoba suntik lebih dari satu tahun,

pernah Voluntary Counseling Test (VCT), HIV positif

dan belum menunjukkan gejala infeksi oportunistik berdasarkan keterangan petugas lapangan LSM pendamping.

Pengumpulan data dengan wawancara mendalam. Analisis perilaku pencarian pengobatan

ODHA penasun dengan teori health belief model dari

Rosenstock (1974). Perilaku pencarian pengobatan

(health seeking behavior) adalah tindakan yang

dilakukan oleh individu yang memersepsikan dirinya memiliki masalah kesehatan untuk mencari pengobatan yang sesuai (Olenja, 2003). Perilaku pencarian pengobatan erat kaitannya dengan

kepercayaan masyarakat terhadap kesehatan (health

belief model).

Teori health belief model dari Rosenstock (1974)

memiliki beberapa konsep yang dapat memprediksi mengapa seseorang akan mengambil tindakan untuk menghindari atau mengontrol penyakit (Skinner &

Champion, 2008). Konsep-konsep tersebut adalah

perceived susceptibility yaitu mengacu kepada

kepercayaan tentang kemungkinan mendapat

penyakit. Perceived severity adalah perasaan

seseorang tentang serius atau tidaknya penyakit yang ia derita. Perasaan ini merupakan hasil evaluasi dari konsekuensi medis seperti kematian, kesakitan dan konsekuensi sosial seperti akibat dari kondisi sakit seseorang terhadap pekerjaan, kehidupan keluarga dan relasi sosial. Kombinasi dari susceptibility dan

severity disebut dengan perceived threat (ancaman).

Perceived benefits, merupakan kepercayaan

seseorang yang memersepsikan apakah tindakan yang diambilnya akan mengurangi ancaman dari penyakit yang ia derita. Selain manfaat secara medis, manfaat lain dari tindakan yang seseorang lakukan

dipertimbangkan juga. Perceived barriers, mengacu

kepada aspek negatif yang dapat menjadi penghalang seseorang untuk mengambil suatu tindakan terhadap penyakit yang dideritanya. Aspek negatif ini dapat berupa hambatan secara biaya, efek samping dari pengobatan yang dilakukan, ketidaknyamanan dan

waktu yang dihabiskan dalam pengobatan. Cues

to action, mengacu kepada kondisi yang memicu

seseorang untuk mengambil tindakan seperti gejala tubuh atau peristiwa di lingkungan.

Konsep terakhir adalah self- efficacy yaitu

keyakinan bahwa seseorang dapat berhasil melakukan suatu perilaku yang dapat menciptakan hasil. Skema health belief model bisa dilihat pada Gambar 2.

Individual Beliefs

(4)

HASIL

Pecandu narkoba suntik (penasun) merupakan kelompok penyumbang jumlah orang dengan HIV/ AIDS (ODHA) yang cukup besar di Indonesia. Pada tahun 1995–2002 prevalensi HIV di kelompok penasun meningkat dari 0% menjadi lebih dari 50%. Penasun menyebabkan meningkatnya penyebaran virus HIV karena pemakaian heroin dengan jarum suntik yang tidak steril secara bergantian (http://www.

harmreductionjournal.com).

Jumlah informan sebanyak 22 penasun yang sudah terinfeksi HIV meliputi 14 orang yang bertempat tinggal di Jakarta dan 8 orang penasun di Surabaya. Adapun dari 14 orang ODHA penasun di Jakarta, 4 orang sudah mengikuti terapi ARV tetapi sisanya 10 orang belum. Dan dari 8 orang informan di Surabaya, 2 orang sudah mengikuti terapi ARV sedangkan 6 orang belum.

Berikut persepsi ODHA penasun seperti perceived

susceptibility dan perceived severity. ODHA penasun

yang memiliki persepsi ini membutuhkan terapi ARV ketika merasa kondisi penyakitnya sudah parah. Seperti informan ED yang merasa dirinya membutuhkan terapi ARV ketika mengetahui jumlah CD4-nya hanya 27. Ia kemudian memutuskan untuk mengikuti terapi ARV.

“Mau sendiri lah. Kan di dalem udah ketahuan positif, masih belum dikasih ARV karena CD4 nya masih tinggi 400-an. Waktu pulang dapet 2 bulan ngedrop CD4 ku tinggal 27. Langsung disuruh check up lagi kaya thorax, dahak. Terus jalan ARV diketahui nggak ada TB. Sekarang CD4 ku 67. Pernah kulit ku mengelupas kaya ular. Jadi satu wajah ini kaya ganti kulit, ada item2 sampe kepala, itu ketika proses ganti obat, sekitar satu minggu sampai 10 hari. Itu obatnya masih lini satu sekarang sudah lini dua.” (ED, 34 thn)

Senada, informan Ve mengemukakan mengikuti terapi ARV karena keinginannya sendiri. Sejak terinfeksi virus HIV, ia rutin periksa CD4 setiap tiga bulan. Ketika CD4-nya berjumlah 228 atau di bawah 300 maka ia memutuskan untuk mengikuti terapi ARV.

“Sejak 2010 bulan Desember, awal CD4 saya 228, saya rutin cek CD4 kalo staff BNN cek CD4 3 bulan sekali. Mau sendiri karena kan kalo CD4 di bawah 300 sudah harus ARV”. (Ve, 35 thn)

Informan lainnya, UN pada awalnya belum merasa membutuhkan terapi ARV. Ketika jumlah

CD4-nya hanya sembilan, ia dianjurkan untuk mengikuti terapi ARV. Kemudian ia mengikuti terapi ARV tetapi tidak patuh minum obat dan kembali memakai narkoba suntik. Ia pun jatuh sakit dan ketika dilakukan pemeriksaan CD4 ternyata hanya satu. Akibat ketidakpatuhannya meminum obat ARV maka jenis ARV tersebut resisten sehingga harus minum ARV lini ke dua. Sejak itu, ia patuh minum ARV karena takut ARV lini kedua resisten.

Pada sisi lain, ODHA penasun yang belum mengikuti terapi ARV merasa penyakit HIV/AIDS yang dideritanya belum parah. Mereka merasa masih merasa sehat sehingga belum merasa membutuhkan terapi ARV. Seperti informan DD yang merasa dirinya masih sehat karena menurutnya sehat atau sakit tergantung dari pikiran seseorang, apakah ia menganggap dirinya sehat atau tidak.

Aku sehat-sehat aja. Gua merasa gua sehat. Jadi yang gua bawa itu bukan satu penyakit kok kalau gua ... gua di mindsetnya, kalau sama almarhum.. anggep itu suatu anugerah buat lu, lu manusia yang dijadiin contoh sama Allah buat bawa ini penyakit. Seperti ganasnya ini penyakit lu udah tahu. Seperti apa yang lu lakuin buat sehat, lu udah tau mindsetnya kemana. (DD, 37 thn, Jkt)

Persepsi lain yang dimiliki ODHA penasun adalah persepsi tentang manfaat yang akan mereka

dapatkan ketika mengikuti terapi ARV (perceived

benefits). ODHA penasun yang mengikuti terapi

ARV, telah mengetahui bahwa terapi ARV memiliki manfaat dapat mengurangi jumlah virus HIV di tubuh mereka walaupun tidak dapat menghilangkan sama sekali virus tersebut. Mereka melihat manfaat dari terapi ARV dari teman-teman mereka yang sudah mengikuti terapi ARV yaitu menjadi lebih sehat dan dapat bertahan hidup lebih lama dibandingkan teman- teman mereka yang tidak mengonsumsi ARV.

“Bukan, kita liat dari kasat mata aja lah, jadi contohnya kalau kita liat dari sisi lain anak lama pemakai pasti bertahan rata-rata minum ARV, kalau enggak gitu ya bahasanya tuh kelihatan kalau dia masih pakai.” (MU, 29 thn).

(5)

“Apa ya badan nggak enak mbak kayak ngedrop gitu lah kok gw minum obat bukannya sembuh malah begini gitu terus sampai masuk rumah sakit lagi gara-gara ARV itu”. (HD, 30 thn, penasun aktif, Jkt)

….ngeliat temen udah kayak udang kebakar pada bintilk-bintik. Iya banyak saya nemuin yang kayak begitu. (NI, 32 thn, Jkt)

Persepsi tentang hambatan memperoleh pengobatan juga memengaruhi keputusan ODHA

penasun untuk mengikuti terapi ARV (perceived

barriers). Faktor sulitnya prosedur untuk mengikuti

terapi ARV menjadi hambatan ODHA penasun yang belum mengikuti terapi ARV. Untuk mengikuti terapi ARV, ODHA harus menjalani beberapa pemeriksaan

kesehatan seperti test CD4 dan viral load. Menurut

petugas LSM KA yang biasa mendampingi ODHA penasun, tidak semua pemeriksaan laboratorium dijamin oleh BPJS. Untuk pemeriksaan darah lengkap, CD4, foto rontgen dapat dibiayai, namun test viral load tidak dibiayai BPJS. Selain itu, banyak ODHA penasun yang belum memiliki kartu jaminan kesehatan seperti BPJS karena tidak memiliki kartu tanda penduduk (KTP) dan kartu keluarga (KK) yang merupakan prasyarat dalam mengurus BPJS. Di samping banyak yang malas untuk mengurus BPJS, terutama mereka yang masih aktif menyuntik.

“Iya CD4 masih dicover darah lengkap rontgen masih dicover tapi kalau viral load nggak dicover dia harus bayar sendiri”. (RA, Petugas LSM Karisma)

Keyakinan ODHApenasun mengenai keberhasilan dalam mengikuti terapi ARV juga memengaruhi

keputusan untuk mengikuti terapi ARV (self-efficacy)

Kurangnya self-efficacy, sebagaimana dikemukakan

ODHA penasun yang masih aktif menyuntik karena masih mengalami masalah adiksi. Mereka beranggapan jika masih menghadapi adiksi, terapi ARV yang dijalankan akan sia-sia karena mereka lebih mengutamakan bagaimana agar dapat menyuntik setiap hari dibandingkan minum ARV.

“Nggak, palingan yah gimana masih make ngikutin pola hidup sehat, ya gak bisa karena masih pake. Tapi pikiran sekarang gimana caranya bisa berhenti gitu”. (Aji, 27 thn, Jkt)

Sebagaimana informan HA, ia merasa belum siap mengikuti terapi ARV karena masih aktif menyuntik setiap hari. Ia takut jika mengikuti terapi ARV akan putus di tengah pengobatan. Ia memilih

untuk mencoba berhenti sama sekali memakai putaw (heroin), kemudian mengikuti terapi ARV. Ia juga mengkhawatirkan akan terjadinya interaksi antara ARV dengan putaw yang dikonsumsinya sehingga dapat menimbulkan penyakit.

“Saya belum siap gitu minum ini kan kita mesti pake waktu mesti tepat teratur, sayanya masih belum bisa untuk teratur makenya gitu. Pengen sih saya running (mulai terapi ARV) jadi saya masih takut mesti teratur segala macem iya kan mas. Nah saya takutnya putus di tengah jalan, apa lagi udah make ARV masih make lagi saya takutin gitu. Saya ngak tahu nanti penyakitnya apa lagi kan yang timbul iya kan. Saya takutnya gitu saya belum siap, ya mungkin ya saya sih maunya running gitu mas karena saya udah tes positif iya kan. Saya coba untuk berhenti dulu”. (HA, 33 thn, Penasun aktif, Jkt)

Informan MU juga menyatakan hal yang sama, ia merasa belum mau mengikuti terapi ARV karena tidak yakin akan patuh minum obat. Menurutnya lebih baik belum mengikuti terapi ARV daripada menjalankan terapi namun putus di tengah jalan.

“Takut enggak bisa minum, takutnya putus-putus kan enggak boleh putus-putus kalau putus-putus kan kita kembali lagi ke awal. Lebih baik enggak minum”. (Mu, 29 thn).

ODHA penasun yang mengikuti terapi metadon belum mau mengikuti terapi karena mereka beralasan takut dosis metadon mereka akan naik ketika mengikuti terapi ARV. Apabila ODHA penasun minum obat ARV namun dosis metadonnya tidak naik maka tubuh

mereka akan merasakan sakaw (sakit karena putaw)

(6)

Tabel 1. Alasan ODHA Penasun yang Sudah/Belum Mengikuti Terapi ARV

ODHA Penasun yang Sudah Terapi ARV

Perceived Susceptibility & Severity Merasa sudah berada dalam kondisi yang parah karena hasil CD4 yang di bawah 200

Perceived Benefits Memersepsikan terapi ARV

bermanfaat karena dapat menghambat perkembangan virus HIV di dalam tubuh sehingga dapat meningkatkan kekebalan tubuh

Perceived Barriers ODHA penasun tidak mengalami hambatan dalam mengikuti terapi ARV

Perceived Self-Efficacy Memiliki keyakinan dalam diri ODHA penasun bahwa akan berhasil dalam terapi ARV

ODHA Penasun yang Belum Terapi ARV

Merasa belum berada dalam kondisi yang parah karena masih merasa sehat (belum jatuh sakit)

Memersepsikan terapi ARV tidak bermanfaat karena memiliki efek samping

Prosedur mengikuti terapi ARV yang berbelit, kurangnya dukungan keluarga dan lingkungan sekitar

Kurangnya keyakinan dalam diri ODHA penasun bahwa dirinya akan berhasil dalam terapi ARV karena masalah adiksi yang dihadapi

kalau naik dosis. Makanya masih ragu deh untuk ARV emang CD4 272 udah harus ARV”. (HR, 34 thn, Jkt)

PEMBAHASAN

Keputusan Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) penasun untuk mengikuti atau tidak terapi ARV

tergantung perceived severity yaitu perasaan tentang

serius atau tidaknya penyakit yang dideritanya. Kebanyakan ODHA penasun belum merasa HIV/ AIDS penyakit yang serius ketika belum ada gejala penyakitnya seperti TB atau hepatitis. Mereka berpendapat selagi belum sakit maka mereka tidak dalam kondisi yang parah. Mereka baru merasa berada parah kondisinya ketika sakit sehingga harus dirawat di rumah sakit. Persepsi keparahan penyakit juga dipengaruhi oleh konsep sehat sakit dari ODHA penasun. Kebanyakan ODHA penasun yang belum mengikuti terapi ARV karena merasa masih sehat sehingga belum membutuhkan terapi ARV.

Orang yang terinfeksi HIV memiliki persepsi sendiri terhadap kondisi yang menimpanya. Reynolds, dkk (2009) bahwa gambaran tentang penyakit dapat memperbesar pemahaman tentang bagaimana cara seorang ODHA merawat diri dan meningkatkan kualitas hidupnya. Persepsi tentang seberapa besar bahaya dari penyakit yang dideritanya memengaruhi seberapa efektifnya perawatan diri yang dilakukannya yang memengaruhi kualitas hidupnya. Hal ini diperkuat Mascolini dan Zuniga (2008), tentang persepsi sehat, penyakit HIV dan pengobatan HIV di 6 negara yaitu sebanyak 23.3% responden yang

tidak pernah mengikuti terapi ARV yakin tidak dalam kondisi berbahaya yang dapat membuatnya sakit.

Bagi ODHA penasun yang sudah mengikuti terapi ARV memersepsikan dirinya butuh terapi ARV, menurut hasil pemeriksaan laboratorium yaitu jumlah CD4 kurang dari 200. ODHA penasun yang sudah mengikuti terapi ARV merasa statusnya sebagai penyandang virus HIV merupakan ancaman bagi dirinya. Mereka merasa bahwa dengan mengikuti terapi ARV dapat mengurangi ancaman kematian akibat virus HIV.

Ada atau tidaknya manfaat terapi ARV (perceived

benefits) turut memengaruhi keputusan ODHA

penasun dalam mengikuti terapi ARV. ODHA penasun yang sudah mengikuti terapi ARV memiliki persepsi bahwa terapi ARV dapat mendatangkan manfaat baginya. Mereka mengetahui manfaat yang diperoleh dari mengikuti terapi ARV yaitu dapat menghambat perkembangan virus HIV di dalam tubuh sehingga meningkatkan kekebalan tubuhnya. Jika kekebalan tubuh meningkat maka tidak mudah terserang penyakit. Bagi ODHA penasun yang belum mengikuti terapi ARV memersepsikan terapi ARV tidak terlalu bermanfaat karena efek samping yang ditimbulkan dari terapi tersebut.

Penelitian Pach et al, terhadap 516 IDU di Kota

(7)

yang tidak menentu dan berbahaya karena efek

samping yang ditimbulkannya (Pach, et.al., 2003).

Pendapat bahwa terapi ARV dapat menyebabkan efek samping seperti mual, kulit menghitam, tubuh mengurus oleh ODHA penasun dalam sebagaimana kerja sama penelitian Burnet Institute dengan HIV-

AIDS Research Centre, Universitas Atmajaya tentang

Health Seeking Behaviours pecandu narkoba suntik

di Bekasi, Provinsi Jawa Barat (Burnet Institute, 2010).

Selain itu, adanya persepsi ODHA penasun

mengenai hambatan dalam terapi ARV (perceived

barriers) juga memengaruhi keputusan ODHA

penasun untuk mengikuti terapi ini. Masalah prosedur untuk mengikuti terapi ARV dipersepsikan menjadi hambatan bagi ODHA penasun untuk mengikuti terapi ini. Sebelum terapi ARV biasanya mereka harus melakukan beberapa test kesehatan seperti test CD4, test darah lengkap menentukan fungsi

hati yaitu SGOT dan SGPT, test dahak dan foto

thorax untuk menentukan Tuberkulosis (TB) atau

pneumonia. Jika hasil pemeriksaan dahak dan foto

thorax ODHA tersebut menunjukkan terkena TB atau

pneumonia, ia akan diminta mengobati penyakitnya terlebih dahulu selanjutnya mengikuti terapi ARV. Biasanya untuk test kesehatan ini membutuhkan biaya cukup mahal, terlebih jika ODHA penasun tidak memiliki kartu Jaminan Kesehatan (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial/ BPJS).

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial bidang kesehatan sebenarnya menanggung biaya test

dari CD4 dan viral load namun kebanyakan ODHA

penasun mengalami kesulitan, dimana aturan JKN bahwa penyalahguna obat tidak ditanggung program layanan JKN. Selain itu, kebanyakan ODHA penasun belum menjadi peserta BPJS kesehatan karena masalah identitas diri yang tidak sesuai dengan KTP sebab mereka enggan diketahui identitas administratifnya. (Anshari Saifuddin, dkk, 2015).

Menurut Burnet Institute, alasan penasun tidak mengikuti terapi ARV karena tidak memiliki biaya tes laboratorium (tes CD4) sebagai prasyarat mengikuti terapi ARV, sekitar Rp. 200.000,- (Burnet Institute, 2010). Wolfe, Carrieri dan Shepard tentang hambatan ODHA penasun dalam perawatan di negara Cina, bahwa prosedur terapi ARV yang berbelit merupakan hambatan bagi ODHA penasun. Prosedur terapi ARV seperti harus mengunjungi beberapa klinik untuk pemeriksaan kesehatan menyebabkan ODHA penasun harus mengeluarkan biaya yang lebih besar (Wolfe, Carrieri, Shepard, 2010).

Dukungan keluarga yang kurang juga merupakan hambatan ODHA penasun untuk mengikuti terapi ARV yang harus dilakukan seumur hidup dan harus patuh minum obat. Dukungan orang terdekat yaitu keluarga atau teman dalam terapi ARV sangat penting agar ODHA patuh minum obat setiap hari. Apabila ODHA tidak patuh minum obat akan terjadi resistensi obat. Kurangnya dukungan keluarga dapat terjadi karena ODHA penasun belum memberitahu status HIV positif mereka. Adanya stigma terhadap penderita HIV-AIDS mengakibatkan tidak semua ODHA penasun terbuka kepada keluarga dan temannya mengenai status HIV positif mereka. Pernyataan informan AZ, usia 18 tahun yang belum mengikuti terapi ARV karena belum memberitahukan status HIV kepada keluarganya.

“Ya saya belum siap untuk disiplin minum obat segala ini lah itu kan seumur hidup setiap hari satu itu saya belum siap k.e dua juga keluarga belum tahu status. Masalahnya saya belum siap saya masih mikir gitu entar kalau saya lagi nongkrong ya kan jam sembilan saya bilang mau minum obat dulu obat apan nih obat ARV ya gimana ya masih belum siap lah”. (AZ, 18 thn, Jkt)

Bagi ODHA penasun yang sudah mengikuti terapi ARV telah mendapat dukungan dari keluarganya seperti kasus informan UN dan FR yang mendapat dukungan dari ibunya ketika minum ARV. Ibu informan UN dan FR senantiasa mengingatkan ketika jadwal minum obat tiba.

“Iya kita ingetin, juga dia sendiri gitu ya. Waktu jam sembilan waktu dia minum obat jangan lupa jam sembilan malem jangan lupa ya, yang penting kita sudah sediain makan malem sebelum dia jam sembilan, kita kasih makan jam setengah sembilan dia sudah mengerti. Habis makan apa, ya minum obat gitu”. (Ibu informan FR, Jkt).

Faktor lain yang memengaruhi keputusan ODHA penasun untuk mengikuti terapi ARV adalah adanya keyakinan dalam diri ODHA penasun dapat berhasil

menjalani terapi ARV (self-efficacy). Kebanyakan

(8)

ARV sampai yakin dapat menjalani kepatuhan minum obat.

Kaitan self-efficacy dengan keberhasilan terapi ARV sebagaimana Glynnnis Elliot-Scanlon mengenai hubungan antara fasilitas kesehatan, dukungan sosial, penggunaan narkoba dengan perilaku kepatuhan pengobatan pada kelompok homoseksual di New York. Penelitian ini menunjukkan individu dengan tingkat kepatuhan ARV rendah memiliki

tingkat self-efficacy yang rendah. Agar seseorang

patuh mengikuti terapi ARV maka harus memiliki kepercayaan diri yang tinggi (self-efficacy). Selain itu, penggunaan narkoba dapat menghambat kepatuhan dalam ARV sebagaimana didapatkan kepatuhan ARV yang rendah pada mereka yang masih menggunakan narkoba (Scanlon&Glynnis, 2006).

Niniek L. Pratiwi dan Pradopo tentang pengaruh

self eficacy terhadap peningkatan kemampuan

afektif kader kesehatan dan dampak pada perilaku

sehat gigi menunjukkan bahwa self efficacy

berpengaruh terhadap perilaku kesehatan, salah

satunya kesehatan gigi kader posyandu. Self efficacy

berpengaruh positif terhadap kemampuan afektif yang berpengaruh terhadap perlaku sehat gigi kader posyandu (Pratiwi dan Pradopo, 2006)

Kebanyakan self-efficacy yang kurangnya berasal

dari ODHA penasun yang masih mengalami masalah adiksi, baik yang aktif menyuntik atau yang mengikuti terapi metadon. Bagi ODHA penasun yang masih aktif menyuntik merasa tidak yakin akan patuh meminum obat ARV karena akan mengutamakan cara untuk memperoleh heroin dibandingkan minum obat ARV. Mereka juga khawatir adanya interaksi obat ARV dengan heroin yang disuntikkannya. Kekhawatiran ini juga timbul pada ODHA penasun yang mengikuti terapi metadon, mereka berpendapat obat ARV akan menimbulkan interaksi dengan metadon. Hal ini akan membuat metadon yang mereka konsumsi kurang

dapat mengurangi rasa sakaw (sakit karena putaw).

Efek ini kemudian menimbulkan kekhawatiran dosis metadon meningkat apabila mereka mengikuti terapi ARV. Apabila dosis metadon meningkat mereka khawatir akan semakin lama sembuh dari kecanduan terhadap putaw.

Kekhawatiran ODHA penasun terhadap adanya interaksi antara ARV dengan metadon karena layanan konsultasi dokter di Puskesmas tempat terapi metadon belum optimal. Beberapa informan menyatakan kadang dokter menetapkan dosis metadon tanpa memberikan kesempatan penasun untuk berkonsultasi dahulu.

Layanan rehabilitasi gratis sudah dilaksanakan Yayasan KA di Kota Jakarta dan Yayasan OR di Kota Surabaya. Kedua yayasan tersebut melaksanakan layanan rehabilitasi gratis dengan nama Pemulihan Adiksi Berbasis Masyarakat (PABM). Menurut konselor PABM Yayasan KAagar penasun berhenti sama sekali menggunakan narkoba cukup sulit karena setelah keluar dari tempat rehabilitasi, penasun tidak memiliki pekerjaan. Menurutnya masalah adiksi sama dengan penyakit kronis yang tidak ada obatnya dan tidak pernah ada kata sembuh jika penasun tidak menjaga dirinya agar tidak kembali memakai narkoba.

“Yang bermasalah adalah pada saat kita selesai rehab itu mau ngapain nih. Adiksi itu penyakit otak, kronis yang ga ada obatnya yang gak ada kata sembuh. Jadi mau 10 tahun 20 tahun kalau dia tidak menjaga pemulihannya dia akan jatuh lagi”. (MA, Konselor PABM Yayasan KA)

Sebagian besar informan yang telah mengikuti terapi rehabilitasi lebih dari dua kali mengemukakan kurang berhasil. Hanya sedikit yang sembuh dari kecanduannya. Setelah mengikuti rehabilitasi, biasanya mereka akan kembali memakai narkoba

(relaps) saat pulang ke rumahnya.

Keluar masuk rehab, berhenti make, keluar rehab make lagi, rehab sampai tujuh kali. Pernah rehab di Inaba tapi agama jadi sholat, dzikir aja. Pernah rehab medis di Budi Mulya. (MO, Pr, 28 thn, Sby)

Pernah, saya di Lido BNN tahu 2011. Kena program 6 bulan saya jalanin rehab. Sekitar tahun 2012an saya masuk di Karisma 2 bulan, 4 bulan saya sempet berhenti iya kan. Balik lagi make lagi, make lagi sekitar 2 bulan make masuk lagi rehab di Karisma. (HA, 34 thn, Jkt)

KESIMPULAN

Perilaku pencarian pengobatan ODHA penasun

sesuai health belief model. Perilaku pencarian

pengobatan ODHA penasun terkait dengan perceived

susceptibility dan severity di mana ODHA penasun

memersepsikan dirinya tidak dalam kondisi parah dan masih sehat sehingga belum memerlukan terapi ARV.

ODHA penasun yang sudah mengikuti terapi ARV memersepsikan bahwa dirinya dalam kondisi parah dan dapat mengancam keselamatan jiwanya

(9)

terapi ARV adalah yang merasa terapi ARV bermanfaat yaitu menghambat berkembangnya virus HIV di dalam tubuh. Bagi yang belum mengikuti terapi ARV memersepsikan terapi ARV kurang bermanfaat dan malah menimbulkan efek samping. Persepsi

tentang hambatan dalam terapi ARV (perceived

barriers) seperti prosedur yang berbelit ditambah

cukup besarnya biaya yang diperlukan merupakan hambatan bagi ODHA penasun dalam mengikuti terapi ARV.

Ketidakyakinan ODHA penasun dapat patuh

mengikuti terapi ARV (self efficacy) juga turut

membuat ODHA penasun belum memiliki keinginan

untuk mengikuti terapi ARV. Kurangnya self efficacy

terkait dengan masalah adiksi yang dihadapi oleh ODHA penasun. ODHA penasun yang mengikuti terapi ARV adalah yang sudah mengalami kondisi

tertentu yang memicu mereka (cues to action)

sehingga memutuskan untuk mengikuti terapi ARV yaitu misalnya ketika mereka harus dirawat di rumah sakit.

SARAN

Agar ODHA penasun yang mengikuti terapi ARV meningkat perlu upaya-upaya antara lain peningkatan informasi dan edukasi untuk mengubah persepsi ODHA penasun agar memengaruhi keputusan ODHA penasun untuk mengikuti terapi ARV. Pemberian motivasi kepada ODHA penasun dari petugas pendamping LSM ataupun petugas kesehatan juga diperlukan agar mereka yakin untuk mengikuti terapi ARV. Selain itu, perlu dukungan sosial dari pihak keluarga atau teman ODHA penasun sehingga untuk memotivasi agar mengikuti terapi ARV.

Akses layanan terapi ARV juga perlu dipermudah dengan kartu jaminan kesehatan (BPJS ). Dan untuk mengatasi masalah adiksi penasun, perlu layanan rehabilitasi untuk persiapan ODHA penasun agar berhenti memakai narkoba walaupun tidak di tempat rehabilitasi. Ketidakyakinan ODHA penasun yang mengikuti terapi metadon karena interaksi antara metadon dengan obat ARV dapat diatasi dengan meningkatkan layanan konsultasi dokter yang melayani terapi metadon di Puskesmas.

DAFTAR PUSTAKA

Burnet Institute dan HIV-AIDS Research Center Unika Atmajaya. 2010. Health Seeking Behaviours of Injecting Drug Users in Bekasi. Tersedian pada: http:// www.arc-atmajaya.org. [Diakses1 Oktober 2013]. Djoerban, Zubairi. 2011. Antara HAM dan HIV. Tersedia pada:

http://www.health.kompas.com/read/2011/12/01 [Diakses 18 Juli 2013].

Glanz, Karen., Rimer, Barbara K., Viswanath, K. 2008.

Health Behavior and Health Education 4th ed. San

Fransisco, Jossey-Bass.

Glynnis, Elliot-Scanlon. 2006. How Relationships with Healthcare Providers, Social Support and Drug Use Shape HIV Medication Adherence Behavior Among Men Who Have Sex With Men. NY, Program in Psychological Development of Applied Psychology. Doctor o f Philosophy in The Steinhardt School o f Education New York University.

HIV Prevalence and Risk Behaviours Among Injecting Drug Users in Six Indonesian Cities Implications for Future HIV Prevention Programs. Tersedia pada: http://www.harmreductionjournal.com. [Diakses 26 September 2013].

Kementerian Kesehatan RI. (t.th). Laporan Terakhir Kasus HIV-AIDS Ditjen P2PL Kemenkes RI. Tersedia pada: http://www.p2pl.kemenkes.go.id [Diakses 1 Oktober 2013].

Kementerian Kesehatan RI. 2014. Situasi dan Analisis HIV AIDS. Jakarta, Pusdatin.

Lert, France dan D.K, Michael. (s.a). Antiretroviral HIV treatment and care for injecting drug users. Available at: http://www. ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/ PMC2020510 [Accessed 26 September 2013]. Lumbanbatu, Veronica V., Maas, Linda T., Lubis Andi

Ilham. 2012. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan ODHA dalam menjalani terapi antiretroviral di RSU dr. Pringadi Medan. Tersedia pada: http:// www.repository.usu.ac.id [Diakses 18 Juli 2013]. Mascolini, Mark dan Zuniga, José M. 2008. Perceptions of

Health, HIV Disease, and HIV Treatment by Patients in 6 Regions: Analysis of the 2555-Person AIDS Treatment for Life International Survey. Journal of the International Association of Physicians in AIDS Care, 7 (4).

Olenja, J.M. 2003. Health Seeking Behaviour in context. East African Medical Journal (EAMJ).

Pach III, Alfred., et.al. 2003. A Qualitative Investigation of Antiretroviral Therapy Among Injection Drug Users. AIDS and Behavior Journal, 7 (1).

(10)

Perilaku Pecandu Narkoba Suntik di Surabaya Bergeser. Tersedia pada: http://www.ajisurabaya.org [Diakses 22 Juli 2013].

Pratiwi, Niniek L dan Pradopo, Seno. 2006. Pengaruh self eficacy terhadap peningkatan kemampuan afektif kader kesehatan dan dampak pada perilaku sehat gigi melalui model deteksi OHI-S DMFT Indeks. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 9 (1).

Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia. (t.th). Efektivitas Program Penjangkauan di Kalangan Penasun dalam Menurunkan Perilaku Berisiko HIV. Tersedia pada: http://www.aidsindonesia.or.id/repo/ IDU-INTUISI.pdf. [Diakses 21 juli 2013].

Reynolds, N.R et.al. 2009. HIV illness representation as a predictor of self care management and health outcomes. AIDS and Behaviour Journal, 13.

Saifuddin, Anshari dkk. 2015. Laporan Penelitian Integrasi Upaya Pengendalian HIV dan AIDS ke dalam Sistem Kesehatan di Provinsi Jakarta. Yogyakarta, Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.

Sarwono, Solita. 1993. Sosiologi Kesehatan. Yogyakarta, Gadjah Mada University Press.

Victoria L. Champion & Celette Sugg Skinner, The Health Belief Model dalam Glanz, Karen., Rimer, Barbara K., Viswanath, K., 2008, Health Behavior And Health

Education 4th ed. San Fransisco, Jossey-Bass.

Wolfe, Daniel., Carrieri, M Patrizia., Shepard, Donald. 2010. Treatment and Care for Injecting Drug Users with HIV Infection: A Review of Barriers and Ways Forward. Lancet Journal, 376: 355–66.

Gambar

Gambar 1. PersentaseAIDSyang Dilaporkanmenurut Faktor Risiko Tahun 1987 sampai dengan September 2014 (Sumber: Ditjen P2PL Kemenkes RI dalam Pusdatin Kemenkes, 2014)
Gambar 2. Teori Health Belief Model dari Rosenstock
Tabel 1. Alasan ODHA Penasun yang Sudah/Belum Mengikuti Terapi ARV

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Penjualan energy listrik sebagai dampak dari kebutuhan listrik harus sejalan dengan jumlah produksi energy listrik, artinya pengelolaan energy listrik harus dilakukan

Berkaitan dengan berbagai penelitian yang telah dilakukan sebelumnya penulis mencoba untuk melakukan penelitian untuk pemisahan terhadap obyek telur ayam dan telur burung

Namun sebenarnya, pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan Islam tertua yang mengalami banyak perkembangan, baik dari bentuk bangunan fisiknya maupun sistem belajar

BERITA ACARA SELEKSI JUDUL SKRIPSI FAKULTAS SYARIAH IAIN SAMARINDA. Hari ini ………. telah dilaksanakan seleksi judul skripsi mahasiswa

Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini merupakan replikasi dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya dengan maksud untuk memperjelas dan mempertajam permasalahan

Onikomikosis pada perenang 23% dibandingkan dengan populasi umum 8%. Jamur yang menyerang kuku dapat menyebar ke kaki menyebabkan tinea pedis. ketika aktivasi

Pemberian grasi oleh Presiden kepada terpidana perlu dibatasi, seperti yang diatur dalam Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia bahwa, “Presiden