34
A. Konsepsi Demokrasi
Gagasan perihal konsep demokrasi konstitusional muncul sebagai bentuk
perkembangan paradigma negara modern yang menjadikan konstitusi sebagai
pengawal sistem demokrasi. Demokrasi menempatkan prinsip one man, one vote, one value yang pada akhirnya mengarahkan suatu keputusan dinilai secara kuantitatif dan menjadi lebih berpihak pada kehendak mayoritas. Demokrasi yang
ideal merupakan rasionalisasi dari perwujudan prinsip prinsip umum
yangmencakup setiap kehendak umum seluruh masyarakat. Disinilah peranan
konstitusi untuk memberikan jaminan atas perwujudan nilai-nilai tersebut dengan
cara membatasi mekanisme demokrasi secara hukum guna melindungi hak-hak
seluruh warga negaranya41
Jimly Asshiddiqie berpendapat perihal demokrasi konstitusional (constitutional democracy) merupakan suatu sistem dimana pelaksanaan kedaulatan rakyat diselenggarakan menurut prosedur konstitusional yang ditetapkan dalam hukum dan konstitusi. Demokrasi konstitusional menempatkan bagaimana adanya suatu upaya dalam mewujudkan konsensus di antara kedaulatan rakyat (demokrasi) dan kedaulatan hukum (nomokrasi), sebagai suatu dua hal yang dianggap disharmoni namun melekat antara satu dan yang lain dalam pencapaian tujuan negara yang melindungi masyarakat plural (plural society)42.
Bart Hassel dan Piotr Hofmanski sebagaimana dikutip oleh I Dewa Gede
Atmadja merinci empat ciri khas yang menjadi dasar dari konsep demokrasi
konstitusional sebagai berikut:
1. Undang-undang yang mempengaruhi kedudukan warga Negara dibentuk oleh parlemen yang dipilih secara demokratis
2. Mencegah perilaku sewenang-wenang dari pemerintah
3. Peradilan yang bebas dalam menerapkan hukum pidana dan menguji peraturan perundang-undangan dan tindakan pemerintah
4. Unsur material rule of law yakni perlindungan HAM, terutama kebebasan berbicara, kebebasan pers, dan kebebasan berserikat dan berkumpul43
Definisi konstitusionalisme menurut Carl. J. Friedrich sebagaimana
dikutip oleh Jimly Asshiddiqie adalah―an institutionalized system of effective,
41
Janedjri M. Gaffar, Demokrasi Konstitusional (Praktik Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan UUD NRI 1945), Konstitusi Press, Jakarta, 2012, hlm. 184-185.
42
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010,hlm. 58.
43
35 regularized restraints upon governmental action. Persoalan yang dianggap terpenting dalam setiap konstitusi adalah pengaturan mengenai pengawasan atau
pembatasan terhadap kekuasaan pemerintah. Paham konstitusionalisme
menentukan adanya suatu sistem yang melembaga dan mampu membatasi
tindakan-tindakan dari pemerintah secara efektif oleh hukum, dalam hal ini
melalui konstitusi44 Lebih lanjut Carl. J. Friedrich memberikan dua pandangan konkret yang menjelaskan bagaimana pembatasan kekuasaan tersebut dapat
dilakukan, yakni melalui pembagian kekuasaan (distribution of power) dan adanya konsensus atau kesepakatan umum di antara masyarakat.45 Perihal cara yang pertama, bahwa pembatasan kekuasaan negara di dalam paham
konstitusionalisme merupakan kristalisasi dari konsep pemisahan kekuasaan.
dimana Baron de Montesquieu memisahkan kekuasaan menjadi tiga (Trias Politica), yaitu:
a. kekuasaan legislatif (membentuk undang-undang);
b. kekuasaan eksekutif (menjalankan undang-undang);
c. kekuasaan yudisial (mengadili atas pelanggaran undang-undang)
Kemudian untuk faktor kedua perihal adanya konsensus dari masyarakat.
bahwa terdapat tiga aspek yang menjamin tegaknya prinsip konstitusionalisme.
yaitu :
1. kesepakatan tentang tujuan dan penerimaan tentang falsafah negara;
2. kesepakatan tentang negara hukum sebagai landasan penyelenggaraan
pemerintahan;
3. kesepakatan tentang bentuk-bentuk institusi dan prosedur-prosedur
ketatanegaraan tersebut46
Sebagaimana dipaparkan sebelumnya bahwa pelaksanaan demokrasi
konstitusional erat berkaitan dengan harmonisasi demokrasi dan nomokrasi dalam
44
Jimly Asshiddiqie, Op.Cit, hlm.93
45
I Dewa Gede Atmadja, Hukum Konstitusi (Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah Perubahan UUD NRI 1945), Setara Press, Malang, 2012, hlm. 18-19.
46
36
penyelenggaraan suatu negara. Janedjri M. Gaffar mengklasifikasikan secara
konkret tiga bentuk pelaksanaan demokrasi konstitusional. yaitu :
1. adanya penataan hubungan antar lembaga negara; terkait dengan aspek pencapaian tujuan negara demokrasi dan hukum serta perihal pembatasan kekuasaan dengan menghindari adanya akumulasi kekuasaan yang dapat menyebabkan penyalahgunaan kekuasaan (melalui pemisahan kekuasaan dan check and balances).
2. adanya proses legislasi; terkait dengan pembuatan hukum secara demokratis yang memperhatikan aspirasi masyarakat. serta perwujudan dari cita benegara, cita demokrasi, dan cita hukum dalam konstitusi. 3. adanya judicial review; terkait dengan jaminan perwujudan demokrasi
dan nomokrasi guna menegakkan supremasi konstitusi melalui pengujian konstitusionalitas suatu peraturan perundang-undangan47
Dari paparan tersebut di atas, dapat dipahami bahwa demokrasi
konstitusional menempatkan paham konstitusionalisme di dalam kerangka
pembentuknya, dimana hak-hak warga negara hanya dapat dijamin apabila
kekuasaan pemerintah dapat dibatasi secara hukum sehingga tidak dapat bertindak
secara sewenang-wenang. Hukum yang dibuat, dalam arti undang-undang, wajib
dibentuk oleh lembaga perwakilan yang dipilih secara demokratis oleh rakyat.
Keberadaan konstitusi dan perundang-undangan menjadi esensial dalam
rangka memberikan jaminan tersebut dan masyarakat dapat mempertahankan
setiap hakhaknya. Penegakan akan supremasi konstitusi menjadi penting dan
adanya sarana hukum untuk menguji perundangan-undangan terhadap
undang-undang dasar merupakan langkah yuridis sebagai kesatuan dari proses legislasi
yang demokratis.
B.Sistem Pemerintahan
1. Sistem Parlementer
Sistem parlementer merupakan sistem pemerintahan dimana hubungan
antara eksekutif dan badan perwakilan (legislatif) sangat erat. Hal ini disebabkan
adanya pertanggungjawaban para Menteri terhadap Parlemen. Maka setiap kabinet
yang dibentuk harus memperoleh dukungan kepercayaan dengan suara terbanyak
dari parlemen. Dengan demikian kebijakan pemerintah atau kabinet tidak boleh
meyimpang dari apa yang dikehendaki oleh parlemen.48
47
Janedjri M. Gaffar, Op.Cit, hlm. 13-14.
48
37
Bertolak dari sejarah ketatanegaraan. sistem parlemen ini merupakan
kelanjutan dari bentuk negara Monarki konstitusionil, dimana kekuasaan raja
dibatasi oleh konstitusi. Karena dalam sistem parlementer, Presiden, raja dan ratu
kedudukannya sebagai kepala negara. Sedangkan yang disebut eksekutif dalam
sistem parlementer adalah kabinet yang terdiri dari perdana menteri dan
menteri-menteri yang bertanggung jawab sendiri atau bersama-sama kepada parlemen.
Karena itu Inggris mengenal istilah “The King can do no wrong”.
Pertanggungjawaban menteri kepada parlemen tersebut dapat berakibat kabinet
meletakkan jabatan dan mengembalikan mandat kepada kepala Negara, manakala
parlemen tidak lagi mempercayai kabinet49
1). Sistem Parlementer dengan Dua Partai
Sistem Parlementer dua partai, ketua partai politik yang memenangkan
pemilu sekaligus ditunjuk sebagai formatur kabinet dan langsung sebagai perdana
menteri. Seluruh menteri dalam kabinet adalah mereka yang terpilih sebagai
anggota parlemen, dengan konsekuensi setelah diangkat menjadi menteri harus
non aktif dalam perlemen (kabinet parlementer). Karena partai politik yang
menguasai kabinet adalah sama dengan partai politik yang memegang mayoritas
di House of Commons maka kedudukan kabinet sangat kuat, sehingga jarang dijatuhkan oleh parlemen sebelum dilaksanakan pemilu berikutnya. Misalnya,
sistem parlementer di Inggris.50
2). Sistem Parlementer dengan Multi Partai
Sistem Parlementer multi partai, parlemen tidak satupun dari partai politik
yang mampu menguasai kursi secara mayoritas, maka pembentukan kabinet disini
sering tidak lancar. Kepala negara akan menunjuk tokoh politik tertentu untuk
bertindak sebagai pembentuk kabinet/formatur. Dalam hal ini formatur harus
mengingat perimbangan kekuatan di parlemen, sehingga setiap kabinet dibentuk
merupakan bentuk kabinet koalisi (gabungan dari beberapa partai politik). Karena
koalisi didasarkan pada kompromi, kadang - kadang terjadi setelah kabinet
berjalan, dukungan yang diberikan oleh salah satu partai politik ditarik kembali
49Ibid.,
hlm. 99.
50
38
dengan cara menarik menterinya (kabinet mengembalikan mandatnya kepada
kepala negara). Sehingga dalam sistem parlemen dengan multi partai sering terjadi
ketidakstabilan pemerintahan (sering penggantian kabinet). Misalnya, Republik
Indonesia tahun 1950-1959, dimana terjadi 7 kali pergantian kabinet.51
Sistem ini mengisyaratkan bahwa lembaga legislatif dan eksekutif hampir
tidak pernah terlibat konflik serius, mungkin pada akhirnya eksekutif tidak hanya
mewakili kehendak lembaga legislatif yang permanen, tetapi juga pemikiran dan
keinginannya yang tidak tetap, juga pemikiran dan keinginan para pemiliknya,
sehingga eksekutif ini bahkan dapat dikatakan labil52
Adapun ciri-ciri umum dari sistem pemerintahan parlementer yaitu : 53 a. Kabinet yang dipimpin oleh Perdana Menteri dibentuk oleh atau atas
dasar kekuatan dan atau kekuatan-kekuatan yang menguasai parlemen; b. Para anggota kabinet mungkin seluruhnya atau Para anggota kabinet
mungkin seluruh anggota parlemen, atau tidak seluruhnya dan mungkin pula seluruhnya bukan anggota parlemen;
c. Kabinet dengan ketuanya (eksekutif) bertanggungjawab kepada parlemen (legislatif). Apabila kabinet atau seseorang atau beberapa anggotanya mendapat mosi tidak percaya kepada parlemen, maka kabinet atau seseorang atau beberapa orang dari padanya harus mengundurkan diri; d. Sebagai imbangan dapat dijatuhkannya kabinet, maka Kepala Negara
(Presiden; raja atau ratu) dengan saran atau nasehat Perdana Menteri dapat membubarkan parlemen.
e. Kekuasaan Kehakiman secara prinsipil tidak digantungkan kepada lembaga eksekutif dan legislative, hal ini untuk mencegah intimidasi dan intervensi lembaga lain.
2. Pemerintahan Sistem Presidensial
Pemerintahan sistem Presidensial adalah suatu pemerintahan dimana
kedudukan eksekutif tidak bertanggung jawab kepada badan perwakilan rakyat.
dengan kata lain kekuasaan eksekutif berada diluar pengawasan (langsung)
parlemen. Dalam sistem ini Presiden memiliki kekuasaan yang kuat, karena selain
sebagai kepala negara juga sebagai kepala pemerintahan yang mengetuai kabinet
51Ibid.
52
C.F. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern : Kajian Tentang Sejarah Dan Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia, Diterjemahkan Dari Modern Political Constitution : An Introduce To The Comparative Study Of Their History And Existing Form, Nuansa Dengan Nusamedia, Bandung, 2004,hlm. 381.
53
39
(dewan menteri)54 Oleh karena itu agar tidak menjurus kepada diktatorisme, maka diperlukan checks and balances, antara lembaga tinggi negara inilah yang disebut
checking power with power55
Menurut Rod Hague. pemerintahan Presidensial terdiri dari tiga unsur
yaitu:56
1) Presiden yang dipilih rakyat memimpin pemerintahan dan
mengangkat pejabat-pejabat pemerintahan yang terkait.
2) Presiden dengan dewan perwakilan memiliki masa jabatan yang tetap.
tidak bisa saling menjatuhkan.
3) Tidak ada status yang tumpang tindih antara badan eksekutif dan
badan legislatif.
Dalam sistem Presidensial, Presiden memiliki posisi yang relatif kuat dan
tidak dapat dijatuhkan karena rendah subjektif seperti rendahnya dukungan
politik. Namun masih ada mekanisme untuk mengontrol Presiden. Jika Presiden
melakukan pelanggaran konstitusi, pengkhianatan terhadap Negara, dan terlibat
masalah kriminal, posisi Presiden bisa dijatuhkan. Bila ia diberhentikan karena
pelanggaran-pelanggaran tertentu, biasanya seorang Wakil Presiden akan
menggantikan posisinya. Presiden bertanggungjawab kepada pemilihnya
(kiescollege). Sehingga seorang Presiden diberhentikan atas tuduhan House of Representattives setelah diputuskan oleh senat. Misalnya, sistem pemerintahan Presidensial di USA57
Pertama, sebagai kekuasaan tertinggi, tindakan eksekutif dalam sistem pemerintahan Presidensial seringkali menuntut adanya kekuasaan tak terbatas,
demi kebaikan Negara, setidak-tidaknya selama periode tertentu; kedua, orang yang berada diposisi ini menjadi suatu keseluruhan yang tak lebih baik dari
anggotanya yang paling rendah dan semua menjadi buruk daripada anggota
terendahnya.
54
Titik Triwulan Tutik,Op.Cit, hlm. 146
55
Inu Kencana Syafiie, Azhari,, Op.Cit, hlm. 14.
56
http://sitirulia22.blogspot.com/2013/01/sistem-pemerintahan.html diakses tanggal 15 April 2015, Pukul 15.00 WIB
57
40
Adapun ciri-ciri dari sistem Presidensial adalah:
1) Presiden adalah kepala eksekutif yang memimpin kabinetnya yang semuanya diangkat olehnya dan bertanggungjawab kepadanya. Ia sekaligus sebagai kepala negara (lambang negara) dengan masa jabatan yang telah ditentukan dengan pasti oleh UUD;
2) Presiden tidak dipilih oleh badan legislatif, tetapi dipilih oleh sejumlah pemilih. Oleh karena itu, ia bukan bagian dari badan legislatif seperti dalam sistem pemerintahan parlementer;
3) Presiden tidak bertanggung jawab kepada badan legislatif dan tidak dapat dijatuhkan oleh badan legislatif. Sebagai imbangannya, Presiden tidak dapat membubarkan badan legislatif58
3. Sistem Campuran
Sistem Pemerintahan Campuran pada hakekatnya merupakan bentuk
variasi dari sistem pemerintahan parlementer dan sistem pemerintahan
Presidensial. Hal ini disebabkan situasi dan kondisi yang berbeda sehingga
melahirkan bentuk-bentuk semuanya. Sistem campuran juga disebut sebagai
sistem Quasi. Apabila dilihat dari kedua sistem pemerintahan diatas, sistem
pemerintahan quasi bukan merupakan bentuk sebenarnya.
Dalam sistem ini dikenal bentuk quasi parlementer dan quasi Presidensial.
Pada pemerintahan sistem quasi Presidensial, Presiden merupakan kepala
pemerintahan dengan dibantu oleh kabinet (ciri Presidensial). Tetapi dia
bertanggung jawab kepada lembaga dimana dia bertanggung jawab, sehingga
lembaga ini (legislatif) dapat menjatuhkan Presiden/eksekutif (ciri sistem
parlementer). Misalnya, sistem pemerintahan Republik Indonesia. Pada sistem
pemerintahan quasi parlementer. Presiden, raja dan ratu adalah kepala negara
yang tidak lebih hanya sebagai simbol saja. Kekuasaan eksekutif adalah kabinet
yang terdiri dari perdana menteri dan menteri-menteri yang bertanggungjawab
secara sendiri-sendiri atau bersama kepada parlemen (ciri parlementer) sedangkan
lembaga legislatifnya dipilih melalui pemilu secara langsung oleh rakyat (ciri
Presidensial). Misalnya, sistem pemerintahan Philipina. Sistem pemerintahan
yang dipraktekkan di Perancis yang biasa dikenal oleh para sarjana dengan
sebutan hybrid system. Kedudukan sebagai kepala Negara dipegang oleh Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat, tetapi juga ada kepala pemerintahan yang
58
41
dipimpin oleh seorang perdana menteri yang didukung oleh parlemen seperti
sistem pemerintahan parlementer yang biasa59
Pada sistem quasi ini penulis tidak menspesifikasikan ciri-cirinya karena
tergantung dari quasi apa yang digunakan dalam suatu Negara ditambah lagi
bahwa tidak ada suatu negara yang menganut sistem pemerintahan yang sama
persis karena akan sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial politik suatu negara.
Misalnya, jika yang digunakan adalah sistem quasi Presidensial maka
menggunakan ciri-ciri sistem Presidensial yang kemudian dimasukkan sebagian
ciri sistem pemerintahan parlementer yang sesuai dengan kondisi sosial politik
negara tersebut. Begitu juga sebaliknya jika yang digunakan adalah sistem
pemerintahan quasi parlementer.
C. Sistem Pemilihan Umum
Dalam sistem pemerintahan demokratis, kehadiran pemilu yang bebas dan
adil merupakan suatu keniscayaan. Banyak ilmuwan politik yang menggunakan
pemilih sebagai parameter pelaksanaan demokratisasi suatu negara. Muhammad
Asfar60, memberikan beberapa alasan mengapa pemilu sangat penting bagi kehidupan demokrasi. Pertama, melalui pemilu memungkinkan suatu komunitas politik melakukan transfer kekuasaan secara damai. Kedua, melalui pemilu akan tercipta pelembagaan konflik. Secara konseptual, terdapat 2 (dua) mekanisme
yang dapat dilakukan untuk menciptakan pemilu yang bebas dan adil. yaitu:
a. Menciptakan seperangkat metode untuk mentransfer suara pemilih ke
dalam suatu lembaga perwakilan rakyat secara adil (electoral system).
b. Menjalankan pemilu sesuai dengan aturan main dan prinsip-prinsip
demokrasi (electoral process)
Sementara itu Austin Ranney61, menyebutkan bahwa ciri-ciri suatu pemilu yang benar-benar bebas, meliputi:
59
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Sekretariat Jendral Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006, hlm. 60.
60
Muhammad Asfar, Pemilu dan Perilaku Pemilih 1955-2004. Jakarta : Pustaka Eureka, 2006, Hal 137
61
42
a. Diselenggarakan secara regular. b. Pilihan yang benar-benar berarti. c. Kebebasan menempatkan calon.
d. Kebebasan mengetahui dan mendiskusikan pilihan-pilihan. e. Hak pilih orang dewasa yang universal.
f. Perlakuan yang sama dalam pemberian suara. g. Pendaftaran pemilih yang bebas.
h. Penghitungan dan pelaporan hasil yang tepat.62
Berbagai sistem pemilihan dengan variasi masing-masing menunjukkan
indikasi keunggulan dan kelemahan.
a. Sistem Pemilihan Mekanis
Secara substansial sistem pemilihan mekanis memiliki ciri-ciri antara
lain:
1)Partai-partai yang mengorganisasi pemilihan-pemilihan dan memimpin pemilih berdasarkan sistem Bi Party atau Multy party (liberalism. sosialisme) atau Uni Party (komunisme).
2)Badan Perwakilan Rakyat bersifat badan perwakilan kepentingan umum rakyat seluruhnya.
3)Badan Perwakilan yang dihasilkan disebut parlemen.
4)Wakil-wakil yang duduk di Badan Perwakilan Rakyat langsung dipilih63
b. Sistem Organis
Pandangan organis menempatkan rakyat sebagai sejumlah
individu-individu yang hidup bersama dalam berbagai macam persekutuan hidup
berdasarkan: geneologis (rumah tangga. keluarga), fungsi tertentu (ekonomi,
industri), lapisan-lapisan sosial (buruh, tani, cendekiawan) dan lembaga-lembaga
sosial (universitas). Masyarakat dipandang sebagai satu organisme yang terdiri
atas organ-organ yang mempunyai kedudukan dan fungsi tertentu dalam totalite
organisme itu, sebagai persekutuan-persekutuan hidup tersebut di atas.
Berdasarkan pandangan ini persekutuan-persekutuan hidup itulah yang
diutamakannya sebagai pengendali hak pilih, atau dengan kata lain pengendali hak
untuk mengurus wakil-wakil kepada perwakilan masyarakat. Pemilihan organis
secara substansial memiliki ciri-ciri:
62Ibid,
hlm. 337
63
43
1)Organis, Partai-partai politik itu tidak perlu dikembangkan. karena pemilihan diselenggarakan dan dipimpin oleh tiap-tiap persekutuan hidup dalam lingkungan sendiri.
2)Badan perwakilan bersifat badan perwakilan kepentingan-kepentingan khusus persekutuan hidup itu.
3)Pemilihan organis menghasilkan dewan korporatif.
4)Wakil-wakil dalam badan perwakilan berdasarkan pengangkatan.64
D. Partai Politik dan Sistem Kepartaian
1. Sistem Kepartaian
Sistem kepartaian (party sistem) pertama kali dibentangkan oleh Maurice
Duverger dalam bukunya political parties. Duverger mengadakan klasifikasi menurut tiga kategori. yaitu sistem partai-tunggal, sistem dwi-partai, dan sistem
multi-partai.65
a. Sistem Partai-Tunggal
Ada sementara pengamat yang berpendapat bahwa istilah sistem
partai-tunggal merupakan istilah yang menyangkal diri sendiri (contradicitioin terminis) sebab suatu sistem selalu mengandung lebih dari satu bagian (pars). Namun demikian, istilah ini telah tersebar luas dikalangan masyarakat dan dipakai baik
untuk partai yang benar-benar merupakan satu satunya partai dalam suatu negara
maupun untuk partai yang mempunyai kedudukan dominan di antara beberapa
partai lain. Dalam kategori terakhir terdapat banyak variasi66 b. Sistem Dwi-Partai
Dalam keputusan ilmu politik pengertian sistem dwi-partai biasanya
diartikan bahwa ada dua partai di antara beberapa partai, yang berhasil
memenangkan dua tempat teratas dalam pemilu secara bergiliran, dan dengan
demikian mempunyai kedudukan dominan. Dewasa ini hanya beberapa negara
yang memiliki ciri-ciri sistem dwi-partai, yaitu Inggris, Amerika Serikat, Filipina,
Kanada dan Selandia Baru. Oleh Maurice Duvuger malahan dikatatakan bahwa
sistem ini adalah khas Anglo saxon.
64
Moh.Kusnardi Dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Sinar Bakti, Jakarta, 1983, hlm. 336
65
Miriam Budiardjo, Op.Cit, hlm 415
66
44
Dalam sistem ini partai-partai dengan jelas dibagi dalam partai Yang
berkuasa (karena menang dalam pemilu) dan partai oposisi (karena kalah dalam
pemilu). Dengan demikian jelaslah di mana letak tanggung jawab mengenai
pelaksaan kebijakan umum. Dalam sistem ini partai yang kalah berperan sebagai
pengecam utama tapi yang setia (loyalopposition) terhadap kebijakan partai yang duduk dalam pemerintahan, dengan pengertian bahwa peran ini sewaktu-waktu
dapat bertukar tangan.
Dalam persaingan memenangkan pemilu kedua partai berusaha untuk
merebut dukungan orang-orang yang ada di tengah dua partai dan yang sering
dinamakan pemilih terapung (floating vote) atau pemilih di tengah (median vote). c. Sistem Multi-Partai
Umumnya dianggap bahwa keanekaragaman budaya politik suatu
masyarakat mendorong pilihan ke arah sistem multi-partai. Perbedaan tajam
antara ras, agama, atau suku bangasa mendorong golongan-golongan masyarakat
lebih cenderung menyalurkan ikatan-ikatan terbatasnya (primordial) dalam satu
wadah yang sempit saja. Dianggap bahwa pola multi-partai lebih sesuai dengan
pluralitas budaya dan politik daripada pola dwi-partai.
Sistem multi-partai ditemukan antara lain di Indonesia, Malaysia,
Nederland, Australia, Prancis, Swedia dan Federasi Rusia. Prancis mempunyai
jumlah partai yang berkisar antara 17 dan 28. Sedangkan di Federasi Rusia
sesudah jatuhnya partai komunis jumlah partai mencapai 43.67 Sistem multi-partai, apalagi jika dihubungkan dengan sistem pemerintahan parlamenter.
mempunyai kecendrungan untuk menitikberatkan kekuasaan pada badan legislatif.
sehingga peran badan eksekutif sering lemah dan ragu-ragu. Hal ini sering
disebabkan karena tidak ada satu partai yang cukup kuat untuk membentuk suatu
pemerintahan sendiri, sehingga terpaksa membentuk koalisi dengan partai-partai
lain. Dalam keadaan semacam ini dengan mitranya dan menghadapi kemungkinan
bahwa sewaktu-waktu dukungan dari partai yang duduk dalam koalisi akan ditarik
kembali, sehingga mayoritasnya dalam parlemen hilang.
2. Sistem Kepartaian Indonesia
67
45
Pasca reformasi, sistem demokrasi di Indonesia memasuki era baru
khususnya dengan munculnya sistem multipartai dalam pemilu di Indonesia. Hal
ini terlihat dari kehadiran partai politik dalam pemilu tahun 1999 sebanyak 48
partai politik yang mengikuti pemilu. Jumlah partai yang mengikuti pemilu ini
jauh berbeda dengan masa Orde Baru yang hanya 3 pihak yang ikut pemilu yaitu
Golongan Karya. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi
Indonesia (PDI).
Sistem multipartai ini dimaksudkan untuk menjamin semua partai politik
dapat berpartisipasi dalam demokrasi. Sistem multipartai ini diimbangi dengan
adanya pembatasan jumlah partai politik yang dapat mengikuti pemilu berikutnya
dengan adanya mekanisme electoral threshold (ET). Dalam pemilu Tahun 1999. partai-partai politik yang tidak memenuhi jumlah kursi 2% di Parlemen tidak
dapat mengikuti pemilu tahun 2004. Ketentuan pembatasan peserta pemilu
kemudian berlanjut dengan peningkatan 3% jumlah kursi di parlemen untuk
dapat mengikuti pemilu tahun 2009 sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun
2003 tentang Pemilu68
Pada tahun 2008, pemerintah dan DPR membahas revisi UU Pemilu yang
menghasilkan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah. UU ini juga masih memberikan batasan bagi partai politik untuk dapat
mengikuti pemilu berikutnya dengan Parlementary Threshold. Demikian pula dalam pengaturan tentang partai politik yang dapat mengikuti pemilu tahun 2009,
secara garis besar sama dengan ide penyederhanaan partai politik. Namun, dalam
aturan peralihannya di Pasal 316 huruf (d) terdapat ketentuan bahwa partai politik
peserta pemilu 2004 yang tidak memenuhi 3% ET dapat mengikuti pemilu tahun
2009 asal mempunyai satu kursi di DPR.
Ketentuan tersebut berarti bahwa partai politik yang hanya mempunyai 1
(satu) kursi di DPR pun bisa langsung ikut pemilu tahun 2009. Pasal 316 (d)
inilah yang bisa dianggap tidak menunjukkan suatu konsistensi sikap atas
kebijakan penyederhanan partai politik peserta pemilu melalui ET. Pasal 22E ayat
(3) UUD NRI 1945 menegaskan posisi penting partai politik yakni “peserta
68