11
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1
Pendidikan Karakter
2.1.1Pengertian Pendidikan Karakter
Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan bagimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku (Zainal dan Sujak, 2011:2). Secara etimologis, kata karakter bisa berarti tabiat, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain, atau watak (Marzuki, 2011:73)
Menurut Hill, (2002) dalam Wanda Chrisiana
(2005:84) “Character determines someone’s private thoughts and someone’s actions done. Good character is the inward motivation to do what is right, according to
the highest standard of behaviour, in every situation”.
12
Suyanto (dalam Noeng Muhadjir dan Burhan Nurgiantoro, 2011:27) mengartikan bahwa karakter sebagai cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, bangsa, dan Negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap bertanggungjawab akibat dari keputusan yang dibuatnya.
Dari beberapa pendapat di atas maka peneliti menyimpulkan bahwa karakter adalah ciri khas seseorang atau individu, perilaku seseorang dalam lingkungan, baik itu dalam keluarga dan lingkungan, atau dapat diartikan sebagai penilaian terhadap baiknya seseorang.
13 Oleh sebab itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan yang diajarkan di Indonesia adalah pendidikan nilai, yaitu pendidikan nilai-nilai luhur yang berasal dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda yang ada saat ini.
Pendidikan karakter dimaknai dengan suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran, atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil (Samani dan Hariyanto, 2011:46). Sedangkan Wibowo (2012:36) mendefinisikan pendidikan karakter dengan pendidikan yang menanamkan dan mengembangkan karakter-karakter luhur kepada anak didik, sehingga mereka memiliki karakter luhur itu, menerapkan dan mempraktikkan dalam kehidupannya baik di keluarga, masyarakat, dan negara.
14
berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, bangsa, dan Negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap bertanggung jawab akibat dari keputusan yang dibuatnya, (Noeng Muhadjir dan Burhan Nurgiantoro, 2011: 27).
Pendidikan karakter merupakan bagian integral yang sangat penting dari pendidikan di Indonesia, yang dapat dimaknai sebagai suatu pendidikan nilai, pendidikan moral, pendidikan budi pekerti, pendidikan watak yang mempunyai tujuan untuk mengembangkan kemampuan siswa untuk memberikan keputusan baik serta buruk, memelihara apa saja yang baik dan mewujudkan kebaikan tersebut kedalam kehidupan sehari-hari mereka dengan sepenuh hati, sehingga akan terbentuk manusia seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi raga, pikir, hati, rasa serta karsa Abidinsyah, (2011:3).
15 perilaku yang berorientasi kepada nilai-nilai ideal dikehidupan, yang bersumber dari budaya lokal (kearifan lokal) dan juga budaya luar (Indra, 2010:27).
Dari beberapa pengertian mengenai pendidikan karakter maka peneliti menyimpulkan bahwa pendidikan karakter adalah upaya terencana menjadikan peserta didik mengenal, peduli, dan mengiternalisasikan nilai-nilai menjadi pribadi yang luhur. Dengan adanya pendidikan karakter diharapkan dapat meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia bagi peserta didik.
2.1.2Tujuan Pendidikan Karakter
16
1) Mengembangkan potensi kalbu/nurani peserta didik sebagai manusia dan warga negara yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa; 2) Mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta
didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius;
3) Menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa;
4) Mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan; dan
5) Mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan, serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan.
2.1.3Nilai-Nilai Pendidikan Karakter
17 Pendidikan ada delapan belas karakter. Nilai-nilai tersebut bersumber dari agama, pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional. Adapun delapan belas nilai tersebut yaitu: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab (Pusat Kurikulum Kementerian Pendidikan Nasional, 2009: 9-10)
2.1.4Faktor Yang Mempengaruhi Pendidikan
Karakter
V. Campbell dan R. Obligasi (1982) menyatakan ada beberapa faktor yang berpengaruh dalam pembentukan karakter seseorang:
1. Faktor keturunan
2. Pengalaman masa kanak-kanak
3. Pemodelan oleh orang dewasa atau orang yang lebih tua
4. Pengaruh lingkungan sebaya 5. Lingkungan fisik dan sosial
6. Substansi materi di sekolah atau lembaga pendidikan lain
18
Dalam proses pembentukan karakter yang baik perlu adanya kontrol internal dan kontrol sosial yang menuntut individu untuk memiliki karakter positif tertentu. Misalnya saja sebagai pendidik (guru) dalam suatu komunitas pendidikan, dibutuhkan karakter seperti jujur, perhatian, sabar, dan karakter positif lain sebab pendidik dalam komunitas pendidikan berperan sebagai teladan dan model bagi anak didiknya.
2.1.5 Penilaian Pendidikan Karakter
Penilaian pendidikan karakter pada hakikatnya adalah evaluasi atau proses pembelajaran secara terus menerus dari individu untuk menghayati peran dan kebebasannya bersama dengan orang lain dalam sebuah lingkungan sekolah demi pertumbuhan integritas moralnya sebagai manusia. Penilaian pendidikan karakter berkaitan erat dengan adanya unsur pemahaman, motivasi, kehendak, dan praksis dari individu. Pendidikan karakter menjadi semakin bertumbuh ketika motivasi dalam diri individu menjadi pendorong semangat bagi perilaku moralnya dalam kebersamaan dengan orang lain. Dari hakikat inilah kita dapat mengambil kesimpulan tentang tujuan penilaian pendidikan karakter (Doni Koesoema, 2010: 281).
19 dapat dikategorikan menjadi tiga ranah, yaitu ranah kognitif, psikomotor dan afektif. Setiap peserta didik memiliki ranah tersebut, hanya kedalamnya tidak sama. Ada peserta didik yang memiliki keunggulan pada ranah kognitif, atau pengetahuan, dan ada yang memiliki keunggulan pada ranah psikomotor atau keterampilan. Namun, keduanya harus dilandasi oleh ranah afektif yang baik. Pengetahuan yang dimiliki seseorang harus dimanfaatkan untuk kebaikan masyarakat. Demikian juga keterampilan yang dimiliki peserta didik juga harus dilandasi oleh ranah afektif yang baik, yaitu dimanfaatkan untuk kebaikan orang (Noeng Muhadjir dan Burhan Nurgiantoro, 2011: 189-190).
20
(Noeng Muhadjir dan Burhan Nurgiantoro, 2011:191-192).
Dalam Badan Penelitian dan Pengembangan, Pusat Kurikulum Kementrian Pendidikan Nasional (2010:10) dijelaskan Untuk mengukur tingkat keberhasilan pelaksanaan pendidikan karakter di satuan pendidikan dilakukan melalui berbagai program penilaian dengan membandingkan kondisi awal dengan pencapaian dalam waktu tertentu. Penilaian keberhasilan tersebut dilakukan melalui langkah langkah berikut: (1) Menetapkan indikator dari nilai-nilai yang ditetapkan atau disepakati, (2) Menyusun berbagai instrumen penilaian, (3) Melakukan pencatatan terhadap pencapaian indikator, (4) Melakukan analisis dan evaluasi, (5) Melakukan tindak lanjut.
2.2
Evaluasi Pendidikan
2.2.1 Pengertian Evaluasi Pendidikan
21 mengambil keputusan secara tepat dengan informasi ini mengenai langkah apa yang harus dilakukan selanjutnya. Informasi tersebut juga dapat memberikan motivasi kepada siswa untuk berprestasi lebih baik.
Menurut Ratumanan (2003:1), evaluasi dapat dinyatakan sebagai suatu proses sistematik dalam menentukan tingkat pencapaian tujuan instruksional. Ralp Tyler (dalam Arikunto, 2011:3) mengatakan bahwa
“Evaluasi merupakan sebuah proses pengumpulan data
untuk menentukan sejauh mana, dalam hal apa, dan bagaimana tujuan pendidikan sudah tercapai. Menurut Sudijono (2006:2) bahwa evaluasi pendidikan adalah: 1) Proses/kegiatan untuk menentukan kemajuan pendidikan, dibandingkan dengan tujuan yang telah ditentukan; 2) Usaha untuk memperoleh informasi berupa umpan balik (feed back) bagi penyempurnaan pendidikan.
2.2.2 Tujuan Evaluasi
Tugas yang harus dilaksanakan pertama kali dalam langkah perencanaan evaluasi adalah merumuskan tujuan evaluasi yang hendak dicapai dalam suatu proses pendidikan. Secara mendalam dan mendetail. Djiwandono (2006:399) mengemukakan lima tujuan utama dari kegiatan evaluasi pendidikan, yaitu:
22
Salah satu kegunaan evaluasi adalah untuk memotivasi siswa agar berusaha melakukan yang terbaik dengan memberikan angka tinggi, hadiah, bintang kelas sebagai hadiah atas usaha dan kerja kerasnya.
2) Umpan balik bagi siswa
Penilaian dalam evaluasi yang tetap dan teratur akan memberikan gambaran tentang kekuatan dan kelemahan siswa. Informasi yang diperoleh berdasarkan hasil evaluasi ini akan membantu siswa memperbaiki kelemahan mereka untuk lebih sukses pada kesempatan yang akan datang. 3) Umpan balik bagi guru
Dengan pengetahuan dari evaluasi terhadap siswanya ini, seorang guru akan mengetahui keberhasilan atau kegagalannya dalam memberikan pelajaran kepada siswa. Pengetahuan akan kegagalan akan memberikan tantangan untuk memperbaiki, dapat dengan mengubah metode mengajarnya atau mengubah sistematika bahan ajarnya, ataupun mengubah sikapnya.
4) Umpan balik bagi orang tua
23 anaknya jatuh, orang tua akan mengetahui penyebabnya sehingga dapat membantu siswa untuk kembali belajar lebih giat lagi.
Reinforcement atau penghargaan dari orang tua
terhadap prestasi membanggakan anaknya sangatlah dibutuhkan untuk meningkatkan motivasi belajar anak. Oleh karena itu, antara orang tua dan guru haruslah terjalin hubungan kerja sama dalam upaya meningkatkan prestasi siswa.
5) Informasi untuk seleksi
Untuk naik ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, seorang siswa diwajibkan mengikuti seleksi dengan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi. Melalui hasil evaluasi selama proses pembelajaran, sekolah dapat membantu memberikan penilaian yang seobyektif mungkin dalam menempatkan kemampuan siswa, sesuai atau tidak dengan persyaratan yang telah ditetapkan.
2.3
Evaluasi Program
2.3.1 Pengertian Evaluasi Program
24
tentang program sendiri. Dalam kamus (a) program adalah rencana, (b) program adalah kegiatan yang dilakukan dengan seksama. Melakukan evaluasi program adalah kegiatan yang dimaksudkan untuk mengetahui seberapa tinggi tingkat keberhasilan dari kegiatan yang direncanakan (Suharsimi Arikunto, 1993:297). Menurut Tyler (1950) yang dikutip oleh Suharsimi Arikunto dan Cepi Safruddin Abdul Jabar (2009:5), evaluasi program adalah proses untuk mengetahui apakah tujuan pendidikan telah terealisasikan. Selanjutnya menurut Cronbach (1963) dan Stufflebeam (1971) yang dikutip oleh Suharsimi Arikunto dan Cepi Safruddin Abdul Jabar (2009:5), evaluasi program adalah upaya menyediakan informasi untuk disampaikan kepada pengambil keputusan.
2.3.2 Tujuan Evaluasi Program
Menurut Endang Mulyatiningsih (2011:114-115), evaluasi program dilakukan dengan tujuan untuk:
1) Menunjukkan sumbangan program terhadap pencapaian tujuan organisasi. Hasil evaluasi ini penting untuk mengembangkan program yang sama ditempat lain.
25 Dilihat dari tujuannya, yaitu ingin mengetahui kondisi sesuatu, maka evaluasi program dapat dikatakan merupakan salah satu bentuk penelitian evaluatif. Oleh karena itu, dalam evaluasi program, pelaksana berfikir dan menentukan langkah bagaimana melaksanakan penelitian. Menurut Suharsimi Arikunto dan Cepi Safruddin Abdul Jabar (2009:7), terdapat perbedaan yang mencolok antara penelitian dan evaluasi pro gram adalah sebagai berikut:
1) Dalam kegiatan penelitian, peneliti ingin mengetahui gambaran tentang sesuatu kemudian hasilnya dideskripsikan, sedangkan dalam evaluasi program pelaksanan ingin mengetahui seberapa tinggi mutu atau kondisi sesuatu sebagai hasil pelaksanaan program, setelah data yang terkumpul dibandingkan dengan kriteria atau standar tertentu
26
2.3.3 Model Evaluasi Program
Model-model evaluasi yang satu dengan yang lainnya memang tampak bervariasi, akan tetapi maksud dan tujuannya sama yaitu melakukan kegiatan pengumpulan data atau informasi yang berkenaan dengan objek yang dievaluasi. Selanjutnya informasi yang terkumpul dapat diberikan kepada pengambil keputusan agar dapat dengan tepat menentukan tindak lanjut tentang program yang sudah dievaluasi. Menurut Kaufman dan Thomas yang dikutip oleh Suharsimi Arikunto dan Cepi Safruddin Abdul Jabar (2009:40), membedakan model evaluasi menjadi delapan, yaitu:
1) Goal Oriented Evaluation Model, dikembangkan
oleh Tyler.
2) Goal Free Evaluation Model, dikembangkan oleh
Scriven.
3) Formatif Summatif Evaluation Model,
dikembangkan oleh Michael Scriven
4) Countenance Evaluation Model, dikembangkan
oleh Stake.
5) Responsive Evaluation Model, dikembangkan oleh
Stake.
6) CSE-UCLA Evaluation Model, menekankan pada
“kapan” evaluasi dilakukan.
7) CIPP Evaluation Model, dikembangkan oleh
27
8) Discrepancy Model, dikembangkan oleh Provus.
2.4
Evaluasi Program CIPP
Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model pengambilan keputusan yang dikembangkan oleh Stufflebeam yang dikenal dengan CIPP Evaluation Model. CIPP merupakan singkatan dari
Context, Input, Process and Product. Dalam buku Riset
Terapan oleh Endang Mulyatiningsih (2011:126), mengemukakan bahwa evaluasi CIPP dikenal dengan nama evaluasi formatif dengan tujuan untuk mengambil keputusan dan perbaikan program.
Keunikan model ini adalah pada setiap tipe evaluasi terkait pada perangkat pengambil keputusan
(decision) yang menyangkut perencanaan dan
operasional sebuah program. Keunggulan model CIPP memberikan suatu format evaluasi yang komprehensif pada setiap tahapan evaluasi yaitu tahap konteks, masukan, proses, dan produk. Model evaluasi CIPP yang dikemukakan oleh Stufflebeam & Shinkfield (1985) adalah sebuah pendekatan evaluasi yang berorientasi pada pengambil keputusan (a decision
oriented evaluation approach structured) untuk
28
Model evaluasi CIPP yang dikemukakan oleh Stufflebeam & Shinkfield (1985) adalah sebuah pendekatan evaluasi yang berorientasi pada pengambil keputusan (a decision oriented evaluation approach
structured) untuk memberikan bantuan kepada
administrator atau leader pengambil keputusan. Stufflebeam mengemukakan bahwa hasil evaluasi akan memberikan alternatif pemecahan masalah bagi para pengambil keputusan. Model evaluasi CIPP ini terdiri dari 4 hal yang diuraikan sebagai berikut:
a. Contect evaluation to serve planning decision.
Seorang evaluator harus cermat dan tajam memahami konteks evaluasi yang berkaitan
dengan merencanakan keputusan,
mengidentifikasi kebutuhan, dan merumuskan tujuan program.
b. Inpu Evaluation structuring decision. Segala
29
c. Process evaluation to serve implementing decision.
Pada evaluasi proses ini berkaitan dengan implementasi suatu program. Ada sejumlah pertanyaan yang harus dijawab dalam proses pelaksanaan evaluasi ini. Misalnya, apakah rencana yang telah dibuat sesuai dengan pelaksanaan di lapangan? Dalam proses pelaksanaan program adakah yang harus diperbaiki? Dengan demikian proses pelaksanaan program dapat dimonitor, diawasi, atau bahkan diperbaiki.
d. Product evaluation to serve recycling decision.
Evaluasi hasil digunakan untuk menentukan keputusan apa yang akan dikerjakan berikutnya. Apa manfaat yang dirasakan oleh masyarakat berkaitan dengan program yang digulirkan? Apakah memiliki pengaruh dan dampak dengan adanya program tersebut? Evaluasi hasil berkaitan dengan manfaat dan dampak suatu program setelah dilakukan evaluasi secara seksama. Manfaat model ini untuk pengambilan keputusan (decision making) dan bukti pertanggung jawaban (accountability) suatu program kepada masyarakat. Tahapan evaluasi dalam model ini yakni penggambaran
30
dan penyediakan (providing) bagi para pembuat keputusan.
Model CIPP ini menekankan pada peran sumatif. Oleh karena itu, dalam evaluasi hasil model CIPP memberikan posisi penting bagi peran sumatif. Informasi yang dihasilkan evaluasi hasil CIPP digunakan untuk menentukan apakah suatu program harus diganti, revisi atau dihentikan Penggunaan model CIPP (Contexs, Input, Process, Product) yaitu:
Tahap I
Evaluasi pada aspek 1 dan 2 (contexs dan input) dilakukan dengan melihat pada perencanaan program serta data yang ada disekolah berkaitan dengan pendidikan karakter. Dari pengembangan kurikulum yang dilaksanakan terintegrasi pendidikan karakter dalam setiap matapelajaran serta pembiasaan yang dilakukan.
Tahap II
31 Tahap III
32
2.5
Penelitian
Relevan
33 Penelitian oleh Taufik Firdauz (2011) yang berjudul tentang Implementasi Kebijakan Pendidikan Karakter Bangsa 2010-2025 di Kota Bandung: Studi Pada SMA Negeri 8 Bandung Tahun Ajaran 2011-2012, menunjukkan bahwa implementasi kebijakan pendidikan karakter bangsa di SMA Negeri 8 Bandung ini umumnya telah dilaksanakan, yang didasarkan pada analisis karakteristik masalah kebijakan, karakteristik kebijakan, serta variable di luar kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi. Akan tetapi berbagai kendala muncul terutama dalam aspek standarisasi teknis penerapannya di dalam pembelajaran yang sejauh ini masih sebatas pada tuntutan persyaratan yang bersifat administratif (menyusun silabus dan RPP). Kesimpulan dari penelitian ini adalah kebijakan telah dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip implementasi, akan tetapi masih perlunya kajian pengembangan lebih lanjut, standarisasi metode, pembinaan, dan pengawasan yang efektif dan konsisten.
34
pada masing-masing jurusan/program studi. Nilai-nilai inti yang dipilih itu adalah jujur, peduli, cerdas dan tangguh. Implementasi nilai-nilai karakter inti tersebut dilakukan secara terpadu melalui tiga jalur, yaitu terintegrasi dalam pembelajaran, manajemen pengelolaan jurusan dan program studi, serta pada kegiatan kemahasiswaan.
35 secara lebih luas kepada siswa, tidak hanya terkait dengan nilai yang dimasukkan dalam silabus saja.
Ratnawati, Ninik. 2011. Manajemen Pendidikan Karakter di Sekolah Dasar (Studi Multikasus di SD Cita
Hati West Campus, SD Gloria Pacar Surabaya, SD Petra
Kediri). Temuan penelitian yang dilakukan pada tiga
Sekolah Dasar menunjukkan bahwa (1) kegiatan perencanaan pendidikan karakter di sekolah dilandasi oleh visi yayasan, dan melibatkan pengurus yayasan dan guru sehingga menjadi program pendidikan karakter; (2) sosialisasi dilakukan oleh kepala sekolah kepada orang tua siswa dan selanjutnya guru mensosialisasikan kepada siswa melalui berbagai kegiatan intra dan ekstra sekolah; (3) penanaman nilai karakter, diawali dengan penetapan prioritas nilai-nilai inti (core values) bagi sekolah, dan metode yang digunakan untuk penyemaian nilai-nilai pendidikan karakter adalah dengan menggunakan pendekatan komprehensif yaitu: (a) melalui kegiatan pengintegra-sian semua mata pelajaran (integrated subject), (b) sebagai program yang berdiri sendiri (separated subject), (c) program ekstra-kurikuler dan (4)
36