7 2.1.1 Pengertian IPA
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) adalah suatu kumpulan teori yang
sistematis, penerapannya secara umum terbatas pada gejala-gejala alam, lahir dan
berkembang melalui metode ilmiah seperti observasi dan eksperimen serta
menuntut sikap ilmiah seperti rasa ingin tahu, terbuka, jujur dan sebagainya
(Trianto, 2010:136). Sedangkan (Usman Samatowa, 2010:3) menyatakan “Ilmu
pengetahuan alam merupakan terjemahan kata-kata dalam bahasa Inggris yaitu
natural science, artinya ilmu pengetahuan alam (IPA). Berhubungan dengan alam
atau bersangkut paut dengan alam, science artinya ilmu pengetahuan. Jadi ilmu
pengetahuan alam (IPA) atau science itu pengertiaanya dapat disebut sebagai
ilmu tentang alam. Ilmu yang mempelajari peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam ini.” Permendiknas nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berhubungan dengan cara mencari tahu tentang alam
secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan
yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga
merupakan suatu proses penemuan. Selain itu, Nash (Usman Samatowa, 2010:3) menyatakan “IPA itu adalah suatu cara atau metode untuk mengamati alam. Nash juga menjelaskan bahwa cara IPA mengamati dunia ini bersifat analisis, lengkap,
cermat, serta menghubungkannya antara suatu fenomena dengan fenomena lain,
sehingga keseluruhannya membentuk suatu perspektif yang baru tentang objek yang diamatinya.”
Menurut pemikiran penulis IPA adalah suatu ilmu yang didalamnya
mempelajari segala sesuatu yang berhubungan dengan alam. IPA didalamnya
tidak hanya terdapat sebuah fakta dan konsep tetapi juga harus disertai dengan
metode ilmiah dan sikap ilmiah untuk membuktikan kebenaran dari fakta dan
2.1.2 Karakteristik IPA
Setiap mata pelajaran memiliki karakteristik sendiri-sendiri. Karakteristik
sangat dipengaruhi oleh sifat keilmuan yang terkandung pada masing-masing
mata pelajaran. Perbedaan karakteristik pada berbagai mata pelajaran akan
menimbulkan perbedaan cara mengajar dan cara siswa belajar antar mata
pelajaran satu dengan yang lainnya. IPA memiliki karakteristik tersendiri untuk
membedakan dengan mata pelajaran lain.
Harlen (Patta Bundu, 2006:10) menyatakan bahwa ada tiga karakteristik
utama sains yakni pertama, memandang bahwa setiap orang mempunyai
kewenangan untuk menguji validitas prinsip dan teori ilmiah meskipun
kelihatannya logis dan dapat dijelaskan secara hipotesis. Teori dan prinsip hanya
berguna jika sesuai dengan kenyataan yang ada. Kedua, memberi pengertian
adanya hubungan antara fakta-fakta yang diobservasi yang memungkinkan
penyusunan prediksi sebelum sampai pada kesimpulan. Teori yang disusun harus
didukung oleh fakta-fakta dan data yang teruji kebenarannya. Ketiga, memberi
makna bahwa teori sains bukanlah kebenaran yang akhir tetapi akan berubah atas
dasar perangkat pendukung teori tersebut. Hal ini memberi penekanan pada
kreativitas dan gagasan tentang perubahan yang telah lalu dan kemungkinan
perubahan di masa depan, serta pengertian tengantung perubahan itu sendiri.
2.1.3 Hakikat IPA
Pada Hakikatnya IPA dapat dipandang dari empat komponen yaitu
pengembangan sikap ilmiah, proses ilmiah, produk ilmiah, dan aplikasi. Dalam
Pusat Kurikulum (2006 : 4), IPA berkaiatan dengan cara mencari tahu tentang
alam sistematis, sehingga IPA bukan hanya penugasan kumpulan pengetahuan
yang berupa fakta- fakta, konsep- konsep, atau prinsip- prinsip saja tetapi juga
merupakan proses penemuan. Selain itu, IPA dipandang sebagai proses, sebagai
produk, dan sebagai prosedur (Marsetio Donosepoetro (Trianto, 2012:137).
Sebagai proses diartikan semua kegiatan ilmiah untuk menyempurnakan
pengetahuan tentang alam maupun untuk menemukan pengetahuan baru. Sebagai
sekolah atau diluar sekolah ataupun sebagai bahan bacaan untuk penyebaran atau
disiminasi pengetahuan. Sebagai prosedur dimaksudkan adalah metodologi atau
cara yang dipakai untuk mengetahui sesuatu (riset pada umumnya) yang lazim
disebut metode ilmiah (scientific method).
Menurut Laksmi Prihantoro dkk (Trianto, 2012:137) mengatakan bahwa
IPA hakikatnya merupakan suatu produk, proses, dan aplikasi. Sebagai produk,
IPA merupakan sekumpulan pengetahuan dan sekumpulan konsep dan bagan
konsep. Sebagai proses, IPA merupakan proses yang dipergunakan untuk
mempelajari objek studi, menemukan dan mengembangkan produk-produk sains,
dan sebagai aplikasi, teori-teori IPA akan melahirkan teknologi yang dapat
memberi kemudahan bagi kehidupan.
Menurut pemikiran penulis hakikat IPA terdapat tiga komponen penting
yaitu proses, produk dan prosedur yang ada didalam IPA. Selain itu hakikat IPA
ini juga didukung secara khusus dalam kurikulum berbasis kompetensi.
Secara khusus fungsi dan tujuan IPA didasarkan kurikulum berbasis
kompetensi, Depdiknas (Trianto, 2012:138) adalah sebagai berikut: 1)
Menanamkan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. 2) Mengembangkan
sikap, ketrampilan dan nilai ilmiah. 3) Mempersiapkan siswa menjadi warga
negara yang melek sains dan teknologi. 4) Menguasai konsep sains untuk bekal
hidup di masyarakat dan melanjutkan pendidikan kejenjang lebih tinggi.
Berdasarkan pernyataan diatas dapat dijadikan penguat bagi hakikat IPA.
Bahwa hakikat IPA bukan hanya sekedar ilmu, tetapi merupakan suatu dimensi
yang memiliki kekuatan yang sangat besar karena mempelajari banyak hal yang
luar biasa, misalnya tentang sistem tata surya kita.
2.1.4 Hakikat Pembelajaran IPA
Menurut Trianto (2012:141) mengatakan bahwa secara umum IPA
dipahami sebagai ilmu yang lahir dan berkembang lewat langkah-langkah
observasi, perumusan masalah, penyusunan hipotesis, pengujian hipotesis melalui
eksperimen, penarikan kesimpulan, serta penemuan teori dan konsep. Dapat
mempelajari gejala-gejala melalui serangkaian proses yang dikenal dengan proses
ilmiah yang dibangun atas dasar sikap ilmiah dan hasilnya terwujud sebagai
produk ilmiah yang tersusun atas tiga komponen terpenting berupa konsep,
prinsip dan teori yang berlaku secara universal.
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) didefinisikan sebagai kumpulan
pengetahuan yang tersusun secara terbimbing. Hal ini sejalan dengan kurikulum
KTSP (Depdiknas, 2006) bahwa IPA berhubungan dengan cara mencari tahu
tentang alam secara sistematis, sehingga bukan hanya penguasaan kumpulan
pengetahuan yang berupa fakta, konsep, atau prinsip saja tetapi juga merupakan
ilmu yang bersifat empirik dan membahas tentang fakta serta gejala alam. Fakta
dan gejala alam tersebut menjadikan pembelajaran IPA tidak hanya verbal tetapi
juga faktual. Hal ini menunjukan bahwa, hakikat IPA sebagai proses diwujudkan
dengan melaksanakan pembelajaran yang melatih ketrampilan proses bagaimana
cara produk sains ditemukan.
Kurnia Septa (2008: 2) menyatakan bahwa ketrampilan proses dasar
misalnya mengamati, mengukur, mengklasifikasikan, mengkomunikasikan,
mengenal hubungan ruang dan waktu serta ketrampilan proses terintegrasi
misalnya merancang dan melakukan eksperimen yang meliputi menyusun
hipotesa, menentukan variabel, menyusun definisi operasional, menafsirkan data,
menganalisis dan mensintesis data. Kurnia Septa (2008: 3) juga menyebutkan
bahwa ketrampilan dasar dalam pendekatan proses adalah observasi, menghitung,
mengukur, mengklasifikasi dan membuat hipotesis. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa ketrampilan proses dalam pembelajaran IPA di SD meliputi
ketrampilan dasar dan ketrampilan terintegrasi. Kedua ketrampilan ini dapat
melatih siswa untuk menemukan dan menyelesaikan masalah secara ilmiah untuk
menghasilkan produk-produk IPA yaitu fakta, konsep, generalisasi, hukum dan
teori-teori baru.
Menurut pemikiran penulis bahwa hakikat IPA meliputi beberapa aspek
yaitu faktual, keseimbangan antara proses dan produk, keaktifan dalam proses
penemuan, berfikir induktif dan deduktif, serta pengembangan sikap ilmiah.
nyata didalam proses pembelajaran secara utuh tentang fenomena alam melalui
pemecahan masalah, metode ilmiah dengan menggunakan alat, bahan, atau media
belajar yang memungkinkan peserta didik untuk memperoleh pengalaman sendiri
didalam pembelajaran.
2.1.5 Ruang Lingkup Pembelajaran IPA
Ruang lingkup bahan kajian IPA di SD dalam kurikulum KTSP secara
umum meliputi dua aspek yaitu kerja ilmiah dan pemahaman konsep. Lingkup
kerja ilmiah meliputi kegiatan penyelidikan, berkomunikasi ilmiah,
pengembangan kreativitas, pemecahan masalah, sikap, dan nilai ilmiah. Secara
terperinci lingkup materi yang terdapat dalam Kurikulum KTSP (Depdiknas,
2006) adalah 1) Makhluk hidup dan proses kehidupannya, yaitu manusia, hewan,
tumbuhan dan interaksinya dengan lingkungan, serta kesehatan. 2) Benda atau
materi, sifat-sifat dan kegunaannya meliputi: cair, padat dan gas. 3) Energi dan
perubahaannya meliputi: gaya, bunyi, panas, magnet, listrik, cahaya, dan
pesawat sederhana. 4) Bumi dan alam semesta meliputi: tanah, bumi, tata surya,
dan benda-benda langit lainnya.
Keempat kelompok bahan kajian IPA di SD dalam kurikulum KTSP
tersebut disajikan secara spiral, artinya setiap bahan kajian disajikan di semua
tingkat kelompok tetapi dengan tingkat kedalaman pembahasan yang berbeda,
semakin tinggi tingkat kelompok semakin dalam bahasanya.
2.2Model Discovery Learning
2.2.1 Pengertian Model Discovery Learning
Model discovery learning merupakan suatu model pembelajaran melalui
penemuan. Model ini menekankan pentingnya pemahaman struktur atau ide-ide
penting terhadap suatu disiplin ilmu, melalui keterlibatan siswa secara aktif dalam
proses pembelajaran.
Jerome Brunner (M.Hosnan,2014:281) mengungkapkan bahwa model
discovery learning adalah model yang mendorong siswa untuk mengajukan
pengalaman. J.Brunner memakai cara dengan apa yang disebutnya discovery
learning, yaitu murid mengorganisasikan bahan yang dipelajari dengan suatu
bentuk akhir.
Menurut Bell (M.Hosnan,2014:281), belajar penemuan adalah belajar
yang terjadi sebagai hasil dari siswa memanipulasi, membuat struktur dan
mentransformasikan informasi sedemikian sehingga ia menemukan informasi
baru. Dalam belajar penemuan, siswa dapat membuat perkiraan (conjucture),
merumuskan suatu hipotesis dan menemukan kebenaran dengan menggunakan
proses induktif atau proses deduktif, melakukan observasi dan membuat masalah.
Model discovery learning adalah memahami konsep, arti, dan hubungan, melalui
proses intuitif untuk akhirnya sampai kepada suatu kesimpulan (Budiningsih,
2005:43). Discovery learning terjadi bila individu terlibat, terutama dalam
penggunaan proses mentalnya untuk menemukan beberapa konsep dan prinsip.
Discovery learning dilakukan melalui observasi, klasifikasi, pengukuran, prediksi,
dan penentuan. Proses tersebut disebut cognitive process, sedangkan discovery
learning itu sendiri adalah the mental process of assimilating conceps and
principles in the mind (Robert B.Sund, 2001: 219).
Roestiyah (2001: 20) mengemukakan model discovery learning adalah
model mengajar mempergunakan teknik penemuan. Model discovery learning
adalah proses mental dimana siswa mengasimilasi suatu konsep atau prinsip.
Proses mental tersebut misalnya mengamati, menggolongkan, membuat dugaan,
menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan, dan sebagaimya. Dalam teknik ini
siswa dibiarkan menemukan sendiri atau mengalami proses mental itu sendiri,
guru hanya membimbing dan memberikan instruksi. Model pembelajaran
discovery learning adalah model mengajar yang mengatur pengajaran sedemikian
rupa sehingga anak memperoleh pengetahuan yang sebelumnya belum
diketahuinya itu tidak melalui pemberitahuan, sebagian atau seluruhnya
ditemukan sendiri. Dalam pembelajaran discovery learning kegiatan atau
pembelajaran yang dirancang sedemikian rupa sehingga siswa dapat menemukan
konsep-konsep dan prinsip-prinsip melalui proses mentalnya sendiri. Dalam
dugaan, menjelaskan, menarik kesimpulan dan sebagainya untuk menemukan
beberapa konsep atau prinsip (Suherman, 2001: 32). Mulyasa (2006: 110)
menyimpulkan model discovery learning merupakan model yang lebih
menekankan pengalaman langsung.
Berdasarkan pendapat para ahli tentang model discovery learning maka
dapat diambil kesimpulan bahwa model discovery learning adalah model
pembelajaran yang menuntut peserta didik secara aktif untuk menemukan sebuah
penemuan sendiri dan informasi-informasi baru.
2.2.2 Tujuan Pembelajaran Model Discovery Learning
Bell (M.Hosnan,2014:284) mengungkapkan beberapa tujuan spesifik dari
pembelajaran dengan penemuan, yakni sebagai berikut :
1. Dalam penemuan siswa memiliki kesempatan untuk terlibat secara aktif
dalam pembelajaran. Kenyataan menunjukan bahwa partisipasi banyak siswa
dalam pembelajaran meningkat ketika penemuan digunakan.
2. Melalui pembelajaran dengan penemuan, siswa belajar menemukan pola
dalam situasi konkret maupun abstrak, juga siswa banyak meramalkan
informasi tambahan yang diberikan.
3. Siswa juga belajar merumuskan strategi tanya jawab yang tidak rancu dan
menggunakan tanya jawab untuk memperoleh informasi yang bermanfaat
dalam menemukan.
4. Pembelajaran dengan penemuan membantu siswa membentuk cara kerja
bersama yang efektif, saling membagi informasi, serta mendengar dan
menggunakan ide-ide orang lain.
5. Terdapat beberapa fakta yang menunjukkan bahwa ketrampilan-ketrampilan,
konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang dipelajari melalui penemuan lebih
bermakna.
6. Ketrampilan yang dipelajari dalam situasi belajar penemuan dalam beberapa
2.2.3 Langkah-Langkah Model Discovery Learning
Langkah-langkah pelaksanaan model discovery learning menurut
Suryosubroto (2002: 199) sebagai berikut :
1. Identifikasi kebutuhan siswa.
2. Seleksi pendahuluan terhadap prinsip-prinsip, pengertian, konsep, dan
generalisasi yang akan dipelajari.
3. Seleksi bahan dan masalah serta tugas-tugas.
4. Membantu memperjelas masalah yang akan dipelajari dan peranan
masing-masing siswa.
5. Mempersiapkan setting kelas dan alat-alat yang diperlukan.
6. Mengecek pemahaman siswa terhadap masalah yang akan dipecahkan dan
tugas-tugas siswa.
7. Memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan penemuan.
8. Membantu siswa dengan informasi dan data, jika diperlukan oleh siswa.
9. Memimpin analisis sendiri dengan pertanyaan yang mengarahkan dan
mengidentifikasi proses.
10.Merangsang terjadinya interaksi antarsiswa.
11.Memuji siswa yang giat dalam proses penemuan.
12.Membantu siswa merumuskan prinsip-prinsip dan generalisasi atas hasil
penemuannya.
Sedangkan langkah-langkah model discovery learning yang dilakukan
siswa menurut Humalik (2001: 220) sebagai berikut :
1. Mengidentifikasi dan merumuskan topik.
2. Mengajukan suatu pertanyaan tentang fakta.
3. Memformulasikan hipotesis atau beberapa hipotesis untuk menjawab
pertanyaan pada langkah dua.
4. Mengumpulkan informasi yang relevan dengan hipotesis dan menguji setiap
hipotesis dengan data yang terkumpul.
5. Merumuskan jawaban atas pertanyaan sesungguhnya dan menyatakan
Menurut Syah (2004:244) dalam mengaplikasikan model discovery
learning di kelas, ada beberapa prosedur yang harus dilaksanakan dalam kegiatan
belajar mengajar secara umum sebagai berikut:
1. Stimulation (pemberian perangsang)
Pertama-tama pada tahap ini pelajar dihadapkan pada sesuatu yang
menimbulkan kebingungannya, kemudian dilanjutkan untuk tidak memberi
generalisasi, agar timbul keinginan untuk menyelidiki sendiri. Disamping itu
guru dapat memulai kegiatan pembelajaran dengan mengajukan pertanyaan,
anjuran membaca buku, dan aktivitas belajar lainnya yang mengarah pada
persiapan pemecahan masalah. Stimulasi pada tahap ini berfungsi untuk
menyediakan kondisi interaksi belajar yang dapat mengembangkan dan
membantu siswa dalam mengeksplorasi bahan.
2. Problem Statement (mengidentifikasi masalah)
Setelah dilakukan stimulasi langkah selanjutya adalah guru memberi
kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin
agenda-agenda masalah yang relevan dengan bahan pelajaran, kemudian salah
satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara
atas pertanyaan masalah)
3. Data Collection (pengumpulan data)
Ketika eksplorasi berlangsung guru juga memberi kesempatan kepada para
siswa untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang relevan
untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis (Syah, 2004:244). Pada
tahap ini berfungsi untuk menjawab pertanyaan atau membuktikan benar
tidaknya hipotesis, dengan demikian anak didik diberi kesempatan untuk
mengumpulkan (collection) berbagai informasi yang relevan, membaca
literatur, mengamati objek, wawancara dengan narasumber, melakukan uji
coba sendiri dan sebagainya.
4. Data Prosessing (pengolahan data)
Menurut Syah (2004:244) pengolahan data merupakan kegiatan mengolah
data dan informasi yang telah diperoleh para siswa baik melalui wawancara,
observasi, semuanya diolah, diacak, diklasifikasikan, ditabulasi, bahkan bila
perlu dihitung dengan cara tertentu serta ditafsirkan pada tingkat kepercayaan
tertentu. (Djamarah, 2002: 202)
5. Verification (pembuktian)
Pada tahap ini siswa melakukan pemeriksaan secara cermat untuk
membuktikan benar atau tidaknya hipotesis yang ditetapkan tadi dengan
temuan alternatif, dihubungkan dengan hasil data processing (Syah,
2004:244). Verification menurut Bruner, bertujuan agar proses belajar akan
berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada
siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan atau pemahaman melalui
contoh-contoh yang siswa jumpai dalam kehidupannya.
6. Generalisasi (menarik kesimpulan)
Tahap generalisasi/menarik kesimpulan adalah proses menarik sebuah
kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua
kejadian atau masalah yang sama, dengan memperhatikan hasil verifikasi
(Syah, 2004:244). Berdasarkan hasil verifikasi maka dirumuskan
prinsip-prinsip yang mendasari generalisasi.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, peneliti dapat menyimpulkan
bahwa langkah-langkah pembelajaran model discovery learning tersebut
mempunyai inti yang sama. Penelitian yang akan dilaksanakan peneliti
mengadopsi sesuai dengan langkah-langkah pembelajaran model discovery
learning menurut pendapat Syah (2004: 244).
2.2.4 Kelebihan dan Kekurangan Model Discovery Learning
Roestiyah (2001: 20) mengemukakan kelebihan dan kekurangan model
discovery learning dalam penerapannya pada proses pembelajaran:
a. Kelebihan
1. Membantu siswa untuk memperbaiki dan meningkatkan
ketrampilan-ketrampilan dan proses-proses kognitif.
3. Pengetahuan yang diperoleh sangat pribadi dan ampuh karena menguatkan
pengertian, ingatan, dan transfer.
4. Memungkinkan peserta didik berkembang dengan cepat dan sesuai dengan
kecepatannya sendiri.
5. Menyebabkan peserta didik mengarahkan kegiatan belajarnya sendiri dengan
melibatkan akalnya dan motivasi sendiri.
6. Membantu peserta didik memperkuat konsepnya, karena memperoleh
kepercayaan bekerjasama dengan yang lainya.
7. Berpusat pada peserta didik dan guru berperan secara aktif mengeluarkan
gagasan-gagasan.
8. Membantu peserta didik menghilangkan keraguan karena mengarah kepada
kebenaran yang final dan pasti.
9. Peserta didik akan mengerti konsep dasar dan ide-ide lebih baik.
10.Membantu dan mengembangkan ingatan dan transfer pada situasi proses
belajar yang baru.
11.Mendorong peserta didik berfikir dan bekerja atas inisiatif sendiri.
12.Mendorong peserta didik berfikir merumuskan hipotesis sendiri.
13.Memberikan keputusan yang bersifat intrinsik.
14.Situasi proses belajar menjadi lebih terangsang.
15.Menimbulkan rasa senang kepada peserta didik, karena tumbuhnya rasa
menyelidiki dan berhasil.
16.Proses belajar meliputi sesama aspeknya peserta didik menuju pada
pembentukan manusia seutuhnya.
17.Mendorong keterlibatan siswa.
18.Menimbulkan rasa puas bagi siswa.
19.Siswa akan dapat mentransfer pengetahuaanya ke berbagai konteks.
20.Dapat meningkatkan motivasi.
21.Melatih siswa belajar mandiri.
22.Siswa aktif dalam kegiatan belajar mengajar.
b. Kekurangan
2. Kemampuan berfikir rasional siswa yang ada masih terbatas.
3. Kesukaran dalam menggunakan faktor subjektivitas, terlalu cepat pada suatu
kesimpulan.
4. Faktor kebiasaan yang masih menggunakan pola pembelajaran yang lama.
5. Tidak semua siswa dapat mengikuti pelajaran dengan cara ini.
6. Tidak semua topik cocok disampaikan dengan model ini.
M.Hosnan (2014:287) mengemukakan kelebihan dan kekurangan model
discovery learning dalam penerapannya pada proses pembelajaran:
a. Kelebihan
1. Meningkatkan keterampilan dan proses kognitif peserta didik.
2. Meningkatkatkan kemampuan siswa memecahkan masalah.
3. Menguatkan pengertian, ingatan, dan transfer.
4. Memungkinkan peserta didik berkembang dengan cepat dan sesuai dengan
kecepatannya.
5. Berpusat pada peserta didik dan guru berperan sama-sama aktif mengeluarkan
gagasan-gagasan.
6. Membantu menghilangkan skeptisme.
7. Akan mengerti konsep dasar dan ide-ide lebih baik.
8. Mendorong peserta didik berfikir dan bekerja atas inisiaif sendiri.
9. Mendorong peserta didik berfikir intuisi dan merumuskan hipotesis sendiri
10.Proses belajar menjadi lebih terangsang.
11.Menimbulkan rasa senang.
12.Menuju pada pembentukan manusia seutuhnya.
13.Mendorong keterlibatan keaktifan siswa.
14.Menimbulkan rasa puas bagi siswa.
15.Meningkatkan minat belajarnya.
16.Mentransfer pengetahuan ke berbagai konteks.
17.Meningkatkan tingkat penghargaan pada peserta didik.
18.Kemungkinan peserta didik belajar dengan memanfaatkan berbagai jenis
sumber belajar.
b. Kekurangan
1. Guru merasa gagal mendekteksi masalah dan adanya kesalah pahaman antara
guru dengan siswa.
2. Menyita waktu banyak. Guru dituntut mengubah kebiasaan mengajar yang
umumnya sebagai pemberi informasi menjadi fasilitator, motivator, dan
pembimbing siswa dalam belajar.
3. Menyita pekerjaan guru.
4. Tidak semua siswa mampu melakukan penemuan.
5. Tidak berlaku untuk semua topik.
Menurut pemikiran penulis berdasarkan pendapat para ahli tentang
kelebihan dan kekurangan model discovery learning yaitu, dalam pembelajaran
discovery learning siswa aktif dalam kegiatan belajar, sebab ia berfikir dan
menggunakan kemampuan untuk menemukan hasil akhir. Siswa memahami
benar bahan pelajaran, sebab mengalami sendiri proses menemukannya. Sesuatu
yang diperoleh dengan cara ini lebih lama diingat, proses menemukan sendiri
menimbulkan rasa puas siswa. Kepuasan batin ini mendorong ingin melakukan
penemuan lagi sehingga minat belajarnya meningkat. Siswa yang memperoleh
pengetahuan dengan penemuan akan lebih mampu mentransfer pengetahuannya
ke berbagai konteks. Dalam pembelajaran discovery learning juga terdapat
kendala yang dihadapi siswa, kendala ini menjadi kekurangan dalam
pembelajaran discovery learning. Kendala yang dihadapi misalnya membutuhkan
waktu belajar yang lebih lama dibandingkan dengan belajar menerima. Untuk
mengurangi kelemahan tersebut maka diperlukan bantuan guru. Bantuan guru
dapat dimulai dengan mengajukan beberapa pertanyaan dengan memberikan
informasi secara singkat. Pertanyaan dan informasi tersebut dapat dimuat dalam
lembar kerja siswa (LKS) yang telah dipersiapkan oleh guru sebelum
2.3Hasil Belajar
2.3.1 Pengertian Hasil Belajar
Dimyati dan Mudjiono (2009:20) menyatakan bahwa hasil belajar
merupakan suatu puncak proses belajar. Hasil belajar tersebut terjadi terutama
berkat evaluasi guru. Hasil belajar dapat berupa dampak pengajaran dan dampak
pengiring. Kedua dampak bermanfaat bagi siswa dan guru. Sedangkan menurut
Sudjana (2009:22), bahwa hasil belajar adalah kemampuan kemampuan yang
dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajarnya. Hasil belajar digunakan
untuk mengukur tingkat ketercapaian tujuan pembelajaran oleh siswa selama mengikuti kegiatan pembelajaran.” Sedangkan menurut Agus Suprijono (2009:7) hasil belajar adalah perubahan perilaku secara keseluruhan bukan hanya seluruh
aspek potensi kemanusia saja.
Hasil belajar merupakan tingkat perkembangan mental yang lebih baik
dengan melakukan usaha secara maksimal yang dilakukan oleh seseorang setelah
melakukan usaha-usaha belajar. Hasil belajar biasanya dinyatakan dalam bentuk
nilai. Setelah mengkaji pengertian hasil belajar dapat disimpulkan bahwa hasil
belajar adalah kemampuan yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman
belajarnya. Hasil belajar mempunyai peranan penting dalam proses pembelajaran.
Nana Sudjana (2011:22) menyatakan bahwa proses penilaian terhadap
hasil belajar dapat memberikan informasi kepada guru tentang kemajuan siswa
dalam upaya mencapai tujuan-tujuan belajarnya melalui kegiatan belajar.
Selanjutnya dari informasi tersebut guru dapat menyusun dan membina
kegiatan-kegiatan siswa lebih lanjut, baik untuk keseluruhan kelas maupun individu. Setiap
keberhasilan belajar diukur dari seberapa jauh hasil belajar yang diperoleh siswa.
Keberhasilan siswa dalam mencapai tujuan pengajaran diwujudkan dengan nilai.
Dan hasil belajar yang diperoleh siswa adalah sebagai akibat dari proses belajar
yang dilakukan oleh siswa, harus semakin tinggi hasil belajar yang diperoleh
siswa. Proses belajar merupakan penunjang hasil belajar yang dicapai siswa.
Pemerolehan hasil belajar yang baik akan memberikan kebanggaan pada
siswa dihadapkan dengan beberapa faktor yang bisa membuat siswa mendapatkan
hasil belajar yang baik.
Berdasarkan uraian hasil belajar diatas, menurut pemikiran penulis bahwa
hasil belajar merupakan perubahan tingkah laku suatu hasil yang telah dicapai
oleh peserta didik setelah adanya aktivitas belajar. Hasil belajar mempunyai
peranan penting dalam proses pembelajaran. Pemerolehan hasil belajar akan
memberikan sesuatu yang tidak bisa menjadi bisa, belum tahu menjadi tahu
kemudian akan bermanfaat untuk diri sendiri dan orang lain.
2.3.2 Faktor - faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar
Pencapaian tujuan belajar perlu diciptakan adanya sistem lingkungan
belajar yang kondusif, hal ini akan berkaitan dengan faktor dari luar siswa.
Adapun faktor yang mempengaruhinya adalah mendapatkan pengetahuan,
penanaman konsep, keterampilan, dan pembentukan sikap. Menurut Slameto
(2008:54-72) faktor yang mempengaruhi hasil belajar digolongkan menjadi dua
yaitu, faktor intern meliputi, faktor jasmaniah, psikologis, dan kelelahan,
sedangkan faktor ekstern meliputi, faktor keluarga, sekolah, dan masyarakat. Dua
faktor tersebut akan dijelaskan dengan penjelasan sebagai berikut:
1. Faktor-faktor intern
Faktor intern adalah faktor yang berasal dari diri siswa. Faktor intern
ini terbagi menjadi tiga faktor yaitu, faktor jasmaniah, faktor psikologis
dan faktor kelelahan.
a) Faktor jasmaniah
Sehat berarti dalam keadaan baik segenap badan beserta
bagian-bagiannya atau bebas dari penyakit. Pertama adalah kesehatan
seseorang sangat berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. Proses
belajar akan terganggu jika kesehatan seseorang terganggu, selain itu
ia akan cepat lelah, kurang bersemangat, mudah pusing, mengantuk
jika badannya lemah, kurang darah ataupun ada gangguan fungsi alat
indera serta tubuhnya. Kedua adalah cacat tubuh. Cacat tubuh adalah
mengenai tubuh. Cacat ini dapat berupa buta, tuli, patah kaki, patah
tangan, lumpuh dan lain-lain. Jika ini terjadi maka belajar akan
terganggu, hendaknya apabila cacat ia disekolahkan di sekolah
khusus atau diusahakan alat bantu agar dapat mengurangi pengaruh
kecacatan itu.
b) Faktor psikologis
Sekurangnya ada tujuh faktor yang tergolong ke dalam faktor
psikologis yang mempengaruhi belajar. Faktor-faktor itu adalah
pertama inteligensi yaitu kecakapan untuk menghadapi dan
menyesuaikan ke dalam situasi yang baru dengan cepat dan efektif,
menggunakan konsep-konsep yang abstrak secara efektif,
mengetahui relasi dan mempelajarinya dengan cepat. Kedua
perhatian yaitu keaktifan jiwa yang dipertinggi, jiwa itupun
semata-mata tertuju kepada suatu objek atau sekumpulan objek. Ketiga
minat adalah kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan dan
mengenang beberapa kegiatan. Keempat bakat yaitu kemampuan
untuk belajar. Kemampuan ini akan baru terealisasi menjadi
kecakapan nyata sesudah belajar atau berlatih. Kelima motif harus
diperhatikan agar dapat belajar dengan baik harus memiliki motif
atau dorongan untuk berfikir dan memusatkan perhatian saat belajar.
Keenam kematangan adalah suatu tingkat pertumbuhan seseorang.
Ketujuh kesiapan adalah kesediaan untuk memberi respon atau
bereaksi. Dari faktor-faktor tersebut sangat jelas mempengaruhi
belajar, dan apabila belajar terganggu maka hasil belajar tidak akan
baik.
c) Faktor kelelahan
Kelelahan seseorang walaupun sulit untuk dipisahkan tetapi dapat
dibedakan menjadi dua macam yaitu kelelahan jasmani dan
kelelahan rohani (bersifat praktis). Kelelahan jasmani terlihat dengan
lemah lunglainya tubuh yang menimbulkan keinginan untuk
bagian-bagian tertentu. Selain itu kelelahan rohani dapat dilihat dengan
adanya kelesuan dan kebosanan, sehingga minat untuk menghasilkan
sesuatu hilang. Kelelahan ini sangat terasa pada bagian kepala
sehingga sulit untuk berkonsentrasi, seolah-olah otak kehabisan daya
untuk bekerja. Kelelahan rohani dapat terjadi terus-menerus karena
memikirkan masalah yang dianggap berat tanpa istirahat,
menghadapi suatu hal yang selalu sama atau tanpa ada variasi dalam
mengerjakan sesuatu karena terpaksa dan tidak sesuai dengan bakat,
minat dan perhatiannya.
Menurut Slameto (2008:60) kelelahan baik jasmani maupun
rohani dapat dihilangkan dengan cara sebagai berikut tidur, istirahat,
mengusahakan variasi dalam belajar, menggunakan obat-obat yang
melancarkan peredaran darah, rekreasi atau ibadah teratur, olah raga,
makan yang memenuhi sarat empat sehat lima sempurna, apabila
kelelahan terus-menerus hubungi seorang ahli kesehatan.
2. Faktor-faktor ekstern
Faktor ekstern adalah faktor yang berasal dari luar siswa. Faktor ini
meliputi faktor keluarga, faktor sekolah, dan faktor masyarakat.
a) Faktor keluarga
Siswa yang belajar akan menerima pengaruh dari keluarga berupa
cara orang tua mendidik, relasi antara anggota keluarga, suasana
rumah tangga dan keadaan ekonomi keluarga. Keluarga merupakan
salah satu yang berperan pada hasil belajar. Sehingga orang tua harus
mendorong, memberi semangat, membimbing, memberi teladan
yang baik, menjalin hubungan yang baik, memberikan suasana yang
mendukung belajar, dan dukungan material yang cukup.
a) Faktor sekolah
Faktor sekolah yang mempengaruhi belajar ini mencakup metode
mengajar, kurikulum, relasi guru dengan siswa, relasi siswa dengan
siswa, disiplin sekolah, pelajaran dan waktu sekolah, standar
Sekolah adalah lingkungan kedua yang berperan besar memberi
pengaruh pada hasil belajar siswa. Sekolah harus menciptakan
suasana yang kondusif bagi pembelajaran, hubungan dan komunikasi
antar siswa di lingkungan sekolah berjalan baik, kurikulum yang
sesuai, kedisiplinan sekolah, gedung yang nyaman, metode
pembelajaran aktif-interaktif, pemberian tugas rumah, dan sarana
penunjang cukup memadai seperti perpustakaan sekolah dan sarana
yang lainnya.
b) Faktor masyarakat
Masyarakat merupakan faktor ekstern yang juga berpengaruh
terhadap hasil belajar siswa. Pengaruh ini karena keberadaan siswa
dalam masyarakat. Faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa ini
meliputi, pertama kegiatan siswa dalam mayarakat yaitu misalnya
siswa ikut dalam organisasi masyarakat, kegiatan-kegiatan sosial,
keagamaan dan lain-lain, maka belajar akan terganggu, lebih-lebih
jika tidak bijaksana dalam mengatur waktunya. Kedua multi media
misalnya TV, radio, bioskop, surat kabar, buku-buku, komik dan
lain-lain. Semua itu ada dan beredar di masyarakat. Ketiga teman
bergaul, teman bergaul siswa lebih cepat masuk dalam jiwanya
daripada yang kita duga. Teman bergaul yang baik akan memberi
pengaruh yang baik terhadap diri siswa begitu sebaliknya. Contoh
teman bergaul yang tidak baik misalnya suka begadang, pecandu
rokok, pemabuk, penjinah, dan lain-lain. Keempat bentuk kehidupan
masyarakat. Kehidupan masyarakat di sekitar siswa juga
berpengaruh pada hasil belajar siswa. Masyarakat yang terdiri dari
orang-orang yang tidak terpelajar, penjudi, suka mencuri, dan
mempunyai kebiasaan yang tidak baik akan berpengaruh jelek
2.4Kajian Penelitian yang Relevan
Ayu Laksmi (2008) dalam penelitiannya berfokus pada ada atau tidaknya
pengaruh penerapan metode pembelajaran discovery learning terhadap hasil
belajar siswa pada mata pelajaran IPA kelas V SDN Gendongan 01 Salatiga
semester II tahun pelajaran 2011/2012. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui pengaruh penerapan metode discovery learning terhadap hasil belajar
siswa kelas V SDN Gendongan 01 Salatiga maka dilakukan penelitian eksperimen
dengan desain nonequivalent control group design. Pada uji perbedaan rata-rata
dengan Independent-Samples T Test didapat nilai t hitung lebih besar dari t tabel
yaitu sebesar 2,154 dengan t tabel sebesar 2,004 maka ada perbedaan rata-rata
antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Dengan melihat signifikansi, pada hasil
uji t adalah 0,036 atau lebih kecil dari 0,05 maka terdapat perbedaan rata-rata
antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Dari hasil penelitian didapat bahwa
implementasi metode discovery learning berpengaruh terhadap hasil belajar siswa
kelas V SDN Gendongan 01 Salatiga semester II tahun pelajaran 2011/2012.
Dewi Kurnia Sari (2010) dalam penelitiannya yang berjudul “Pengaruh
Penggunaan Metode Discovery Learning Terhadap Hasil Belajar Siswa Pada
Kelas IV SDN Nogosaren Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang Tahun
Ajaran 2010/2011”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah penerapan
metode discovery learning dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam kegiatan
belajar mengajar khususnya pembelajaran IPA di SD Negeri Nogosaren. Jenis
penelitian yang digunakan adalah eksperimen semu. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa hasil belajar kelompok eksperimen yang diberi perlakuan
pembelajaran dengan metode discovery learning memperoleh rata-rata nilai 79,38,
sedangkan nilai rata-rata kelompok yang diberi perlakuan dengan metode
konvensional sebesar 69,69. Hal ini berarti ada perbedaan hasil belajar sebesar
9,69, dimana kelompok yang diberi perlakuan dengan menggunakan metode
discovery learning memiliki hasil belajar yang lebih tinggi dibandingkan
kelompok yang diberi perlakuan dengan menggunakan metode konvensional.
Penelitian yang mengacu pada penelitian sebelumnya, maka peneliti
demikian perbedaannya dengan penelitian terdahulu adalah pada subjek penelitian
karena peneliti berasumsi bahwa perbedaan subjek penelitian merupakan faktor
lain yang akan mempengaruhi hasil belajar, selain itu fokus penelitian ini adalah
mengetahui pengaruh penggunaan model discovery learning terhadap hasil belajar
IPA pada siswa kelas IV SD Negeri koripan 01 semester II tahun ajaran
2014/2015. Dalam penelitian yang dilakukan penulis, penerapan model discovery
learning ini dirancang dengan pembelajaran yang menyenangkan bagi siswa,
siswa tidak hanya belajar didalam ruang kelas tetapi siswa belajar dengan
memanfaatkan lingkungan sekitar, dengan belajar di luar kelas siswa akan lebih
termotivasi untuk memecahkan masalah yang dihadapinya. Pembelajaran IPA
yang dikemas dengan proses penemuan sendiri menjadikan siswa lebih berfikir
kritis. Informasi yang didapat ini tidak serta merta menjadi informasi yang mentah
diperoleh siswa, namun dalam pembelajaran siswa diberi kesempatan untuk
mempresentasikan penemuannya tersebut. Dengan kegiatan pembelajaran IPA
yang penuh dengan kegiatan eksperimen seperti pembelajaran discovery learning
ini, memberi peluang siswa untuk meningkatkan kemampuannya dalam
memecahkan masalah.
2.5Kerangka Pikir
Penelitian ini akan dilakukan di kelas IV SD N Koripan 01 dan SD N
Koripan 04. Kelas IV SD N Koripan 01 sebagai kelas eksperimen dan kelas IV
SD N Koripan 04 sebagai kelas kontrol.
Dalam penelitian ini penulis akan membuat soal yang akan digunakan
untuk mengambil hasil belajar siswa. Soal test uji validitas diujikan pada sekolah
yang tidak diberi perlakuan, dan hasilnya di hitung menggunakan bantuan SPSS
16.0, kevalidan untuk diujikan setelah perlakuan pembelajaran selesai dan soal uji
homogenitas (uji kesetaraan) adalah soal untuk menguji kesetaraan dari kedua
sekolah yang belum diberi perlakuan. Soal tes akhir akan diberikan setelah kelas
diberi perlakuan.
Pengambilan hasil belajar dilakukan dengan cara memberikan soal tes
mengetahui kenormalan antara kedua sekolah tersebut. Soal tes awal bertujuan
untuk mengetahui tingkat kesetaraan antara kelas eksperimen dengan kelas
kontrol. Dalam pembelajaran digunakan penerapan model discovey learning pada
kelas eksperimen, sedangkan untuk kelas kontrol menggunakan model
konvensional. Kedua kelas diberikan soal yang sama yaitu soal tes untuk
mengukur tingkat pemahaman mereka terhadap pembelajaran yang sudah diberi
perlakuan dan yang tidak diberi perlakuan. Dari hasil skor soal tes kemudian
dianalisis dengan uji normalitas, analisis deskriptif dan uji beda. Kemudian
mengambil kesimpulan dari penelian. Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut,
dapat dituangkan dalam alur kerangka berpikir sebagai berikut.
Gambar.2.1 Skema Kerangka Berpikir
Postest Pembelajaran
menggunakan model
pembelajaran
konvensional Pretest
Kelas
kontrol
Uji beda hasil postest apakah ada
pengaruh yang signifikan dengan
penggunaan model discovery
learning Mengetahui tingkat
Homogenitas antara kelas
kontrol dan kelas
eksperimen
Pembelajaran model
discovery learning Kelas
2.6Hipotesis Penelitian 2.6.1 Hipotesis Empirik
Hipotesis dalam penelitian ini penulis memaparkan hipotesis empirik.
Adapun hipotesis empirik dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: adanya
pengaruh penerapan model discovery learning terhadap hasil belajar siswa pada
mata pelajaran IPA di kelas IV SD Negeri Koripan 01 Kecamatan Susukan
Kabupaten Semarang semester II Tahun Pelajaran 2014/2015.
2.6.2 Hipotesis Statistik
Sedangkan hipotesis statistik dirumuskan sebagai berikut:
1. Ho : rxy1 ≤ 0 Tidak ada hubungan signifikan antara
pengaruh model pembelajaran discovery
learning terhadap hasil belajar siswa pada
mata pelajaran IPA di kelas IV SDN Koripan
01 Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang
semester II Tahun Pelajaran 2014/2015.
2. H1 : rxy1 > 0 Ada hubungan signifikan antara pengaruh
model pembelajaran discovery learning
terhadap hasil belajar siswa pada mata
pelajaran IPA di kelas IV SDN Koripan 01
Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang