• Tidak ada hasil yang ditemukan

Optimalisasi Peran Media Televisi Dalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Optimalisasi Peran Media Televisi Dalam"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Optimalisasi Peran Media Televisi Dalam Pendidikan Karakter Siswa Sekolah Dasar

Misriati

Program Studi PGSD FKIP Universitas Riau Email : mimis_riati@yahoo.co.id

Abstrak

Saat ini, kasus moral yang terjadi bukan hanya di kalangan remaja dan orang dewasa tetapi juga anak-anak. Hal itu disebabkan pendidikan di sekolah terlalu menitikberatkan pada kognitif semata. Oleh sebab itu dalam mengatasi masalah moral, diperlukan pembangunan bangsa melalui pendidikan karakter. Namun, di era kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi sekarang ini, pendidikan karakter anak tidak hanya didapatkan dari bangku sekolah, tetapi yang lebih banyak berperan justru orang tua dan lingkungan sosial, serta media massa. Televisi sebagai salah satu dari media massa memiliki andil yang berpengaruh sangat besar dalam pembentukan karakter masyarakat termasuk anak-anak yang merupakan siswa sekolah Dasar dengan umur sekitar 6-12 tahun. Oleh sebab itu, diperlukan optimalisasi peran media televisi dalam rangka berpartisipasi dalam pelaksanaan pendidikan karakter. Sehingga, apa pun yang disiarkan televisi seharusnya memiliki andil dalam upaya mendidik generasi bangsa ini, dengan menyuguhkan tayangan-tayangan yang betul-betul bermanfaat. Namun, tayangan-tayangan yang disajikan oleh pihak televisi sangat membutuhkan upaya pengontrolan dan pengawasan dari pemerintah, sekolah, dan orang tua agar peran televisi sebagai salah satu media massa dalam rangka pendidikan karakter dapat berjalan optimal.

A. Latar Belakang dan Permasalahan

Pendidikan karakter dalam konteks saat ini sangat relevan untuk mengatasi kasus moral yang sedang terjadi di negara kita. Fakta-fakta yang tersebar dan menjadi rahasia umum menunjukkan bahwa banyak siswa yang memiliki kasus moral dengan melakukan hal-hal yang tidak terpuji seperti suka mencuri, suka berkelahi, menggunakan obat-obatan terlarang, minum-minuman keras serta membuat onar di lingkungan sekitar. Penyebab maraknya kasus moral diantaranya disebabkan karena faktor pendidikan ditandai dengan sistem yang lebih menitikberatkan pada kognitif. Hal itu senada dengan pendapat Zubaedi (2011) yang menyatakan bahwa dalam konteks pendidikan formal di sekolah, bisa jadi salah satu penyebabnya karena pendidikan di Indonesia lebih menitikberatkan pada pengembangan intelektual atau kognitif semata, sedangkan aspek soft skils atau non akademik sebagai unsur utama pendidikan karakter belum diperhatikan secara optimal bahkan cenderung diabaikan. Oleh sebab itu dalam mengatasi masalah moral, diperlukan pembangunan bangsa melalui pendidikan karakter. Namun, di era kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi sekarang ini, pendidikan karakter anak tidak hanya didapatkan dari bangku sekolah, tetapi yang lebih banyak berperan justru orang tua dan lingkungan sosial, serta media massa. Televisi sebagai salah satu dari media massa memiliki andil yang berpengaruh sangat besar dalam pembentukan karakter masyarakat termasuk anak-anak yang merupakan siswa sekolah Dasar dengan umur sekitar 6-12 tahun.

(2)

berlama-lama di depan televisi dari pada belajar, bahkan berjam-jam. Sementara itu, akhir-akhir ini banyak tontonan televisi yang membawa efek negatif bagi anak dan merusak pendidikan karakter yang telah diterapkan. Misalnya saja, di keluarga, anak-anak didik untuk menghindari kekerasan dan hidup sederhana, namun acara televisi justru penuh dengan sinetron yang memiliki adegan kekerasan, dan gaya kehidupan yang ditayangkan merujuk kepada kemewahan. Selanjutnya, di lingkungan Sekolah Dasar, anak diajarkan untuk santun dan hidup jujur, namun tayangan sinetron di televisi sering menampilkan adegan tidak santun kepada guru dan adanya ketidakjujuran siswa serta keusilan yang dilakukan siswa-siswa sekolah. Hal itu sejalan dengan fakta-fakta masalah moral yang terjadi seperti anak-anak di Sekolah Dasar saat ini kurang memiliki rasa hormat kepada orang tua, sering mengejek teman yang lemah, serta mahir dalam menyanyikan lagu-lagu dewasa yang bertema cinta, dan mengenal istilah”pacaran”, bahkan tidak sedikit anak-anak yang sering berkelahi dengan temannya sebagai dampak dari tayangan televisi yang mengandung nilai-nilai kekerasan.

Hal itu sejalan dengan fakta yang diungkapkan oleh Padmi Dhyah Yulianti dan Tri Hartini (2015) yang menyebutkan bahwa dari keseluruhan tayangan kekerasan, kekerasan fisik adalah yang paling banyak terjadi yaitu sebanyak 839 kejadian, atau 79,4% dari seluruh kejadian tayangan kekerasan. Tayangan kekerasan non fisik mencapai angka 218 kejadian, atau 20,6% dari seluruh kejadian tayangan kekerasan selama periode 2011. Berdasarkan laporan tahunan KPI tahun 2011 (dalam Padmi Dhyah Yulianti dan Tri Hartini, 2015) materi yang paling banyak diadukan adalah mengenai tema/alur/format acara (17,32%). Selanjutnya secara berturut-turut adalah mengenai siaran yang tidak mendidik (10,03%), muatan kekerasan (6,76%), jam tayang yang tidak tepat (5,6%), dan muatan seks (5%). Akibatnya, pengaruh televisi terhadap kepribadian anak menjadi cenderung berpengaruh negatif. Arti penting melindungi anak dari dari informasi kekerasaan ditegaskan melalui pasal 28B ayat (2) UUD 1945 Amandemen serta UU No.23 / 2002 tentang perlindungan anak dan UU No.32 /2002 tentang penyiaran. (Padmi Dhyah Yulianti dan Tri Hartini, 2015) Seharusnya, televisi merupakan media massa yang penting bagi anak-anak untuk menginternalisasikan nilai-nilai moral yang berlaku di masyarakat.

Sayangnya, sebagian besar pelaku industri di dunia televisi cenderung menerapkan jalan pintas untuk mengeruk keuntungan tanpa memikirkan efek yang timbul dari suatu tayangan yang ditampilkan di balik layar. Hal itu disebabkan pihak televisi memilih program-program yang dapat menaikkan rating mereka, sehingga dapat mengundang banyak pemasang iklan yang dapat meningkatkan pendapatan. Akibatnya program-program sangat penting, seperti program pendidikan menjadi terabaikan. Ini merupakan suatu problematika yang terjadi di lingkungan kita sekarang ini, dan perlu mendapatkan perhatian khusus bagi setiap orang tua dan guru untuk selalu mengawasi aktivitas peserta didiknya serta adanya upaya optimalisasi peran media televisi agar menjalankan fungsi edukasi sebagai wujud pelaksanaan pendidikan karakter anak. Oleh sebab itu, kajian literatur ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam rangka mengoptimalkan peran media televisi dalam pendidikan karakter anak.

B. Upaya Pendidikan Karakter bagi Siswa Sekolah Dasar

(3)

kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain; tabiat; watak. Hal itu senada dengan pendapat karakter menurut Kemendiknas, (2010: 3) adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Sehingga, dapat dinayatakan karakter merupakan watak seseorang yang terbentuk dari hasil pemikiran seseorang dalam bertindak.

Sementara itu, Prof. Suyanto (dalam Masnur Muslich, 2010) menyebutkan bahwa karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama,baik dalam lingkup keluarga, masyarakat,bangsa dan negara. Pengertian karakter disini lebih difokuskan kepada nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana disebutkan oleh Wyne (dalam E. Mulyasa, 2012:3) yang mengemukakan bahwa karakter berasal dari Bahasa Yunani yang berarti “to mark (menandai) dan memfokuskan pada bagaimana menerapkan nilai-nilai kebaikan dalam tindakan yang nyata atau perilaku sehari-hari. Seseorang disebut berkarakter jika ia berperilaku sesuai dengan etika atau kaidah-kaidah yang berlaku di masyarakat. Hal tersebut senada dengan pendapat (Zubaedi, 2011: 11) yang menyatakan bahwa individu yang berakrakter baik atau unggul merupakan seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional pada umumnya untuk mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disetai dengan kesadaran, emosi, dan motivasinya (perasaannya). Selain itu, individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat (Masnur Muslich, 2010).

Menurut Thomas Lickona (dalam Retno Listyarti, 2012), pendidikan karakter adalah perihal menjadi sekolah karakter, di mana sekolah adalah tempat terbaik untuk menanamkan karakter. Pendidikan sekolah dasar adalah pendidikan pertama yang berpengaruh pada pengembangan potensi peserta didik dalam menanamkan nilai karakter. Hal tersebut senada dengan pendapat (Zubaedi, 2011 : 137) yang menyatakan bahwa pembinaan karakter yang mudah dilakukan ketika anak-anak masih duduk di bangku SD.

Pendidikan budaya dan karakter bangsa pada dasarnya adalah pengembangan nilai-nilai yang berasal dari pandangan hidup atau ideologi bangsa Indonesia, agama, budaya, dan nilai-nilai yang terumuskan dalam tujuan pendidikan nasional (Kemendiknas, 2010: 6). E. Mulyasa (2011) menjelaskan bahwa melalui pendidikan karakter peserta didik diharapkan mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasikan serta mempersonalisasikan nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari. Oleh sebab itu, dapat dinyatakan bahwa pendidikan karakter merupakan usaha menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik sehingga peserta didik mampu bersikap dan bertindak berdasarkan nilai-nilai yang diyakininya dan sesuai dengan norma yang berlaku.

(4)

perasaan yang baik atau loving good moral feeling) dan perilaku yang baik (moral action) sehingga terbentuk perwujudan kesatuan perilaku dan sikap hidup peserta didik. Oleh karena itu, Retno Listyarti (2012) menjelaskan lebih lanjut bahwa pendidikan karakter sesungguhnya bukan sekedar mendidik benar dan salah tetapi mencakup proses pembiasaan tentang perilaku yang baik sehingga siswa terbentuklah tabiat yang baik.

Menurut Kemendiknas (2010: 7) tujuan pendidikan karakter adalah sebagai berikut;(1)mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai manusia dan warganegara yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa; (2) mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius;(3) menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa;(4) mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan; dan (5) mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan, serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan (dignity).

Namun, secara sederhana tujuan pendidikan adaah untuk mengarahkan pendidikan pada pembentukan karakter siswa sesuai tingkat satuan pendidikan. Hal ini sejalan dengan pendapat E. Mulyasa (2011) yang menyatakan bahwa tujuan pendidikan karakter adalah untuk meningkatkan mutu proses dan hasil pendidikan yang mengarah pada pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai dengan standar kompetensi lulusan pada setiap satuan pendidikan. Oleh karena sasaran pendidikan karakter adalah peserta didik maka lebih lanjut, Masnur Muslich (2010) menyebutkan bahwa melalui pendidikan karakter peserta didik diharapkan mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasikan serta mempersonalisasikan nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari. Pada tingkat dasar, maka sasaran pendidikan karakter adalah siswa sekolah Dasar yang terdiri dari kelas I-VI.

(5)

yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa; (12) Menghargai Prestasi, sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain; (13) Bersahabat/ Komunikatif, tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain. (14) Cinta Damai, sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya. (15) Gemar Membaca, kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagbacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya; (16) Peduli Lingkungan; sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi; (17) Peduli Sosial, sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. (18) Tanggung-jawab, sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.

Upaya pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah termasuk di Sekolah Dasar dapat dilihat dari segi keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Menurut Zubaedi (2011), pengembangan karakter anak merupakan upaya yang melibatkan semua pihak, baik pada keluarga inti, keluarga (kakek-nenek), sekolah, masyarakat, maupun pemerintah. Oleh sebab itu, pihak-pihak tersebut harus mampu bekerjasama dalam melaksanakan pendidikan karakter bagi anak. Keluarga sebagai perkumpulan orang-orang yang memiliki ikatan berupa keturunan merupakan wahana pertama bagi anak untuk berinteraksi. Situasi dan kondisi menjadikan keluarga sebagai pendidik pertama dan utama bagi pembentukan karakter anak. Pendidikan keluarga ini akan menentukan seberapa jauh seorang anak dalam prosesnya menjadi orang yang lebih dewasa, memiliki komitmen terhadap nilai moral tertentu, seperti kejujuran, kedermawanan,keserhanaan, dan menentukan bagaimana dia melihat dunia sekitarnya, seperti memandang orang lain yang tidak sama dengan dia, berbeda status sosial, suku, agama, ras, dan latar belakang budaya (Zubaedi, 2011).

Pada keluarga inti, peran utama terletak pada Ayah dan Ibu. Dalam upaya mengembangkan pendidikan karakter bagi anak, Muktini Amini (dalam Zubaedi, 2011 : 145-147) menyebutkan cara-cara yang dapat dilakukan ayah dan Ibu yaitu (1)menempatkan tugas dan kewajiban ayah-ibu sebagai agenda utama; (2) mengevaluasi cara ayah-ibu dalam menghabiskan waktu selama sehari/seminggu; (3) menyiapkan diri menjadi contoh yang baik; (4) membuka mata dan telinga terhadap apa saja yang sedang mereka (anak-anak) yang mereka serap dan alami; (5) menggunakan bahasa karakter; (6) memberi hukuman dengan kasih sayang; (7) belajar untuk mendengarkan anak; (8) terlibat dalam kehidupan sekolah anak (9) tidak mendidik karakter melalui kata-kata saja; (10) mendidik melalui keteladanan.

(6)

sudah berjalan di sekolah (Zubaedi, 2011). Oleh sebab itu, guru memegang peranan penting dalam pendidikan karakter dikarenakan gurulah yang merancang proses pembelajaran berbasis karakter, dan melaksanakannya dalam kehidupan siswa di sekolah. Hal itu sejalan dengan pendapat E. Mulyasa (2012: 63) yang menyatakan bahwa guru merupakan faktor penting yang besar pengaruhnya terhadap keberhasilan pendidikan karakter di sekolah, bahkan sangat menetukan berhasil-tidaknya peserta didik dalam mengembangkan pribadinya secara utuh. Dikatakan demikian, karena guru merupakan figur utama, serta contoh,dan teladan siswa di sekolah.

Di masyarakat, upaya pelaksanaan pendidikan karakter menuntut adanya hubungan komunikasi dan kerjasama antara sekolah dan masyarakat terutama dalam proses penanaman nilai karakter siswa agar tidak terjadi pertentangan antara yang ditanamkan di sekolah dengan yang berlaku di masyarakat. Masyarakat diharapkan mampu menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan karakter anak atau pun siswa. Hal semacam itu penting disebabkan menurut E. Mulyasa (2012), menyebutkan bahwa percuma saja anak di sekolah didik tentang nilai-nilai kebaikan apabila di masyarakat mereka menyaksikan berbagai penyimpangan nilai. Oleh karena itu, perlu adanya kerjasama antara sekolah dan masyarakat untuk menerapkan nilai-nilai karakter yang seharusnya agar tujuan pendidikan karakter dapat tercapai sebagaimana mestinya.

Sejauh ini, upaya pendidikan karakter bagi siswa sekolah dasar masih belum optimal. Pendidikan karakter lebih ditekankan kepada pembelajaran berbasis karakter di sekolah. Apalagi, kebanyakan orang tua memiliki kesibukan yang relatif tinggi untuk mendidik dan merawat anak-anaknya. Belum lagi, pengaruh lingkungan sosial di masyarakat yang bisa membawa efek negatif terhadap karakter anak. Hal itu disebabkan masyarakat masih banyak menganut budaya acuh tak acuh sehingga pendidikan karakter dapat terabaikan, padahal karakter anak yang dibentuk oleh keluarga dapat diperkuat ataupun diperlemah oleh lingkungan sosial. Padahal, pelaksanaan pendidikan karakter bukanlah tanggung jawab sekolah saja, tetapi tanggung jawab bersama baik lingkungan keluarga, maupun masyarakat.

C. Strategi Optimalisasi peran Media Televisi Dalam Pendidikan Karakter Upaya pendidikan karakter yang ada di lingkungan keluarga, maupun sekolah, dan lingkungan sosial haruslah mendapat dukungan dari media massa. Di era kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi sekarang ini, pendidikan karakter anak tidak hanya didapatkan dari bangku sekolah, tetapi yang lebih banyak berperan justru keluarga dan lingkungan sosial, serta media massa. Di lapisan masyarakat, televisi merupakan media yang paling digemari dan paling berpengaruh termasuk anak-anak. Hal itu senada dengan pendapat Perin (dalam Zubaedi, 2011) yang menyebutkan bahwa televisi memberikan pengaruh yang besar dalam kehidupan sehari-hari dibandingkan dengan media lainnya. Ia memerankan peran utama dalam kehidupan,ia juga merupakan sumber informasi yang utama (a prime spource of news).Hal itu disebabkan televisi dapat ditonton sambil santai di rumah, menyaksikan siaran langsung, hiburan, sinetron, dan informasi lainnya.

(7)

Televisi adalah salah satu jenis media massa yang menyajikan informasi dengan bentuk audio visual baik secara langsung, atau pun berbentuk rekaman yang sudah mengalami proses editing. Setidaknya ada dua dampak yang ditimbulkan dari acara televisi, yaitu: (Kuswandi, 2008:39-40) yaitu ; (a) Dampak informatif, yaitu kemampuan seseorang atau pemirsa untuk menyerap dan memahami acara yang ditayangkan televisi dan melahirkan pengetahuan bagi pemirsa; (b) Dampak peniruan, yaitu pemirsa dihadapkan pada tren aktual yang ditayangkan televisi, contohnya model pakaian dan model rambut para bintang televisi. Dalam konteks tersebut, kita perlu memerhatikan peringatan dan analisis Davies (dalam Zubaedi, 2011) yang menyatakan bahwa media televisi telah menyebabkan kepribadian anak menjadi individualitas, agresif, permisif, mengenal kata-kata jorok, pengetahuan seks lebih awal, penyalahgunaan obat, merokokm dan lebih suka menyelesaikan persoalan dengan kekerasan, perilaku tidak aman dan tidak sehat, serta kecenderungan obesitas karena junkfood. Akibatnya, televisi merupakan salah satu dari media massa memiliki andil yang berpengaruh sangat besar dalam pembentukan karakter masyarakat termasuk anak-anak yang merupakan siswa sekolah Dasar dengan umur sekitar 6-12 tahun. Hal itu sejalan dengan pendapat McQuel dan Windahl (Zubaedi, 2011 : 173) bahwa media televisi tidak hanya mengajarkan tingkah laku, tetapi juga tindakan sebagai stimulus untuk membangkitkan tingkah laku yang dipelajari dari sumber-sumber lain. Penelitian lain yang berkaitan adalah penelitian American Psychological Associatons (APA) pada 1995 terungkap bahwa tayangan yang bermutu dan mempengaruhi seseorang untuk berperilaku baik. Adapun tayangan kurang bermutu akan mempengaruhi seseorang untuk berperilaku buruk (Zubaedi, 2011: 174). Oleh karena itu, acara-acara yang ditayangakan di televisi seperti film-film kekerasan maka akan menimbulkan perilaku agresif pada anak. Sedangkan tayangan yang menampilkan ilmu pengetahuan akan menimbulkan pola pikir yang lebih baik seperti menambah wawasan ilmu pengetahuan. Sehingga bentuk pengaruh televisi sendiri bermacam-macam, ada yang negatif dan ada juga yang positif, tergantung bagaimana mereka mencerna dari yang mereka lihat di dalam televisi. Dari yang mereka lihat, kemudian mereka merespon dan menentukan sikap atau tindakan.

Sebenarnya, jika peran media televisi dapat dioptimalisasikan maka akan dapat membantu tugas sekolah dan orang tua dalam menanamkan pendidikan karakter terhadap anak secara berkesinambungan. Hal itu dikarenakan yang menyatakan bahwa media televisi dapat menyajikan acara-acara potret kehidupan danperilaku sehari-hari baik dalam bentuk kisah nyata maupun dramatisasi sesuai dengan tujuan yang dikehendaki (Zubaedi, 2011 : 173).

Media televisi dengan berbagai karakteristiknya diyakini dapat menimalisasir kendala yang dihadapi sekolah, orang tua, dan juga masyarakat dalam menumbuhkan pendidikan karakter (Zubaedi, 2011). Media televisi yang baik adalah media yang mampu membawa perubahan perilaku masyarakat ke arah yang lebih baik. Dalam hal ini, media televisi harus mampu mencerdaskan masyarakat dan meningkatkan pendidikan karakter bangsa.

(8)

dalam suatu sinetron atau film yang ditayangkan hendaknya diatur sedemikian rupa sehingga dapat membentuk karakter anak yang positif; (6) adanya pengaturan jadwal program siaran yang memperhatikan kebutuhan anak, remaja atau pun orang dewasa; (7) Mau bekerjasama dengan senang hati dan terbuka dengan pihak pemerintah ataupun KPI, maupun lembaga pendidikan serta masyarakat yang luas dalam upaya mengoptimalisasikan peran televisi dalam pendidikan karakter.

Program siaran yang ditayangkan pihak televisi hendaknya mematuhi pada kode etik penyiaran yang tercantum pada UU RI No.31 Pasal 36 Tahun 2010 mengenai Penyiaran (Dewi K.Soedarsono, 2012), dimana; (1) Isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia; (2) Isi siaran dari jasa penyiaran televisi, yang diselenggarakan oleh Lembaga Penyiaran Swasta dan Lembaga Penyiaran Publik, wajib memuat sekurang-kurangnya 60% (enam puluh per seratus) mata acara yang berasal dari dalam negeri; (3) Isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, yaitu anak-anak dan remaja, dengan menyiarkan mata acara pada waktu yang tepat, dan lembaga penyiaran wajib mencantumkan dan/atau menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai dengan isi siaran; (4) Isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu; (5) Isi siaran dilarang; a) bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong; b) menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalah-gunaan narkotika dan obat terlarang; atau c) mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan; (6) Isi siaran dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional.

Selain itu, pengelola televisi pun dalam menyiarkan programnya harus mematuhi UU No.32 /2002 tentang penyiaran. Sebab, pada undang-undang tersebut sudah dijelaskan ketentuan-ketentuan yang harus dipatuhi pihak stasiun televisi serta kewajiban Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai lembaga negara yang mengatur tentang penyiaran.

Pihak televisi mengutamakan tayangan program siaran yang bersifat edukasi karena prinsip-prinsip dalam pendidikan karakter perlu diinternalisasikan sebagai bentuk tanggungjawab bersama dalam mengatasi krisis bangsa. Pengelola media perlu televisi mengembangkan dirinya sebagai “agen perubahan” yang memiliki jiwa yang berkarater, sehingga seni dan karya yang dihasilkan dan ditayangkan akan sarat dengan nilai-nilai kebajikan, nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai humanis-religius, dan dijauhkan dari tayangan yang merusak moral bangsa, dan “virus-virus” yang melemahkan etos dan budaya kerja (Zubaedi, 2011).

(9)

yang terjadi dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dapat menjadi pelajaran menarik dalam menanamkan pendidikan karakter; (3) mengembangkan kreativitas dan kemandirian; (4) Indonesia memiliki sejarah perjuangan bangsa dan cerita-cerita rakyat yang menarik untuk diangkat dilayar kaca (Zubaedi, 2011).

Program-program hiburan yang ditayangkan oleh televisi hendaknya diminimalisir efek-efek negatif yang ditimbulkan terutama pada pembentukan karakter anak. Karena selama ini, program hiburan banyak berisi dialog-dialog berupa kata-kata kasar yang diartikan sebagai bentuk kekerasan yang halus. Hal ini disebabkan sebagian pihak pengelola televisi lebih mengutamakan kuantitas penayangan ketimbang kualitas isi pesan yang disampaikan. Padahal, penonton memiliki hak untuk memperoleh tayangan, siaran yang mengajarkan kesantunan, yang menumbuhkan harmoni, yang menanamkan kasih sayang. Alasan mengejar kuantitas daripada kualitas isi pesan. Oleh sebab itu, dalam menimalisir efek-efek negatif yang ditimbulkan, pihak televisi harus lebih cermat dalam menyusun skenario tayangan program hiburan. Selain itu, profesionalisme artis pun harus dituntut dalam memerankan peran yang bukan hanya penghibur tetapi juga publik figur. Sehingga dalam program hiburan masih dapat berfungsi edukasi walaupun juga sedang menjalankan fungsi lainnya yaitu hiburan.

Pengelola televisi dituntut untuk lebih selektif dalam memilih film atau acara yang akan ditampilkan agar dampak tayangan yang disajikan dapat membentuk sikap positif bagi masyarakat khusunya anak-anak. Pihak televisi haruslah bersifat netral bagi setiap kalangan sehingga yang ditayangkan bukanlah tayangan yang menimbulkan isu, gosip, atau propoganda yang dapat menimbulkan diskriminasi, atau pun disintegrasi bangsa. Pihak televisi diharapkan mampu bekerja dengan KPI dengan membuat kriteria yang lebih ketat tentang film atau acara yang layak ditampilkan di layar kaca sehingga dapat mempermudah mereka dalam melaksanakan proses seleksi. Pihak sutradara dan para artis pun harus bisa bekerjasama dan terbuka apabila film mereka tidak bisa ditayangkan karena tidak memenuhi kriteria sehingga mereka berusaha untuk menampilkan yang terbaik bagi masyarakat.

Selain itu, karakter dan penokohan yang ditayangkan televisi hendaknya disajikan secara menarik dikarenakan karakter tokoh sangat strategis dalam penanaman pendidikan karakter. Anak SD belajar melalui tahap peniruan apa yang dilakukan tokoh idolanya. Sayangnya, tayangan televisi nasional yang sehari-hari ditonton anak-anak dan remaja belum sepenuhnya membawakan pesan-pesan pendidikan yang hampir menjadi sajian rutin di sejumlah stasiun televisi serta dapat ditonton secara bebas oleh kalangan anak-anak mengingat kondisi psikologis mereka yang belum mampu membedakan mana televisi hal-hal negatif dan mana hal-hal positif dari sebuah tayangan TV (Zubaedi, 2011).

(10)

menjunjungan tinggi norma-norma yang berlaku. Pada hari minggu pun, sebaiknya jangan sampai setengah hari menampilkan acara atau film kartun yang berlebihan. Hal itu disebabkan, anak-anak harusnya diberi kesempatan untuk bermain dan belajar berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Oleh sebab itu, dalam pengaturan jadwal program siaran sudah seharusnya benar-benar di susun secara apik sehingga dapat bermanfaat bagi semua lapisan masyarakat yang mengkonsumsi tayangan yang dtampilkan.

Pihak pengelola televisi juga diharapkan mau bekerjasama dengan senang hati dan terbuka dengan pihak pemerintah ataupun KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) maupun lembaga pendidikan serta masyarakat yang luas dalam upaya mengoptimalisasikan peran televisi dalam pendidikan karakter. Pihak pengelola dengan tangan terbuka menerima pendapat, saran, maupun kritikan dari pemerintah, atau pun KPI bahkan masyarakat sebagai konsumen dari tayangan televisi. Dalam upaya tersebut, pihak pengelola menyediakan unit layanan terbuka melalui pesan telepon atau pun e-mail, dan ala komunikasi lainnya. Meskipun saat ini, hampir semua televisi memiliki layanan untuk berkomunikasi dengan masyarakat konsumen, tetapi nampaknya belum berdampak pada perbaikan program. Oleh sebab itu, segala hal yang menjadi masukan bagi pihak pengelola televisi sebaiknya diperhatikan dan ditindak lanjuti sebagai perbaikan dalam upaya mensuskseskan pendidikan karakter khususnya bagi anak-anak.

Di era globalisasi seperti saat ini, guru dan sekolah menghadapi tantangan pola pergaulan global peserta didik yang tidak dapat dikendalikan. Hal itu disebabkan pendidikan karakter tidak akan berhasil baik bilamana dukungan lingkungan dan media massa tidak ikut membantu. Televisi merupakan salah satu media massa yang saat ini menjadi dunia keseharian anak, perlu mengoptimalisasikanperannya agar ikut berperan aktif dan maksimal dalam pendidikan karakter bagi anak bukan sebaliknya bersifat deskruktif terhadap perkembangan karakter anak-anak.

D. Upaya Pemerintah, Sekolah dan Orang Tua dalam menimalisir dampak negatif media televisi dalam membentuk karakter siswa

Sebagaimana yang telah diketahui, bahwa media televisi memiliki dampak negatif terhadap pembentukan karakter anak. Media televisi membutuhkan pengawasan baik dari masyarakat maupun pemerintah. Hal itu senada dengan pendapat (Zubaedi, 2011) yang menyatakan bahwa media televisi hendaknya diawasi dan diberi sanksi atau hukuman yang tegas agar mengindahkan unsur edukasi. Oleh sebab itu, sangat diperlukan upaya dari pemerintah termasuk pihak KPI (Komisi Penyiar Indonesia), sekolah dan orang tua tentu dalam menimalisir dampak negatif.

(11)

(Zubaedi, 2011). Selain KPI, Lembaga Sensor Film pun memiliki peran dalam memfilter film-film yang layak dikonsumsi masyarakat.

Kontrol terhadap tayangan TV di masa depan agaknya akan bertambah optimal jika Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Lembaga Sensor Film mampu berjalan optimal. Kinerja kedua lembaga tersebut dituntut sangat kiat, terutama dalam tiga hal. Pertama, mencegah unsur pornografi masuk dalam tanyangan sinetron. Kedua, mencegah unsur kekerasan berlebihan dalam sintron. Ketiga, mencegah pandangan dan pemikiran yang menyesatkan masuk dalam tayangan sinetron. Keempat, mencegah adanya unsur-unsur yang dapat merusak karakter masyarakat khususnya anak-anak.

Namun sampai saat ini, KPI dirasa masih cukup lemah dalam bertindak. Padahal, tugas dan wewenangKPI sudah jelas tercantum dalam UU NO. 32 Tahun 2002 tentang penyiaran. Apalagi sikap cuek dari pengelola televisi yang telah mendapatkan surat peringatan dari KPI. Oleh sebab itu, maka sangat dibutuhkan peran orang tua dan sekolah dalam mengontrol media massa tersebut serta mengawasi anak-anak saat menonton televisi.

Peran orang tua dalam menimalisir dampak negatif dari televisi bisa melalui pengontrolan dan pengawasan terhadap anak bahkan mendampingi anak-anaknya saat menonton TV. Anak-anak hanya diperbolehkan menonton tayangan televisi yang positif. Oleh sebab itu, orang tua perlu memilihkan dan mengetahui acara yang ditonton anaknya betul-betul bermanfaat bagi pendidikan dan perkembangan anaknya, agar anak tersebut dapat terangsang untuk berfikir kreatif. Hal tersebut sangat perlu dilakukan karena mengingat kondisi psikologis anak yang belum matang, akan sulit bagi mereka untuk membedakan mana yang positif dan mana yang negatif. Orang tua perlu senantiasa mandampingi dan membimbingnya. Bentuk kehati-hatian dari para orang tua semenjak dini sangat diperlukan untuk menangkal efek negatif yang kemungkinan timbul jika anak-anak dibebaskan menonton berbagai tayangan TV sesuai dengan kehendaknya saja.

Kontrol orang tua terhadap tayangan TV juga dapat dilakukan secara langsung kepada stasiun TV yang menayangkannya jika ada sebuah acara yang dianggap bernilai negatif. Kritikan dan saran dariorang tua bisa melalui alamat telepon atau e-mail yang dimiliki oleh stasiun televisi yang bersangkutan. Hal ini dikarenakan hampir semua TV di Indonesia memiliki telepon, fax, email, bahkan SMS yang bisa dijangkau dari mana-mana. Mereka umumnya menerima layanan pelanggan hampir 24 jam.

Jika sebuah stasiun televisi memiliki acara yang dinilai negatif, maka akan ada banyak protes yang bermunculan. Misalnya andaikan ada dua orang saja dari setiap propinsi di Indonesia yang rela menyempatkan diri protes terhadap tayangan tersebut, maka dipastikan stasiun TV akan sangat selektif menampilkan tayangan akibat kewalahan menerima protes dari banyak permirsa. Peran masyarakat termasuk orang tua sangat diperlukan dalam membentuk karakter anak sebagai generasi penerus bangsa.

(12)

yang tidak memiliki nilai edukasi. Guru pun perlu mengarahkan acara-acara apa saja yang seharusnya dintonton mereka dan acara-acara apa saja yang tidak seharusnya ditonton disertai dengan alasan yang jelas dan mudah dipahami siswa. Sehingga siswa dapat menerima pendapat guru dan bisa mempratikkannnya saat menonton televisi di rumah dengan perasaan senang hati tanpa merasa dipaksa.

Walau bagaimanapun, upaya yang dilakukan oleh pihak pemerintah, sekolah, dan orang tua bukanlah upaya yang berjalan sendiri-sendiri. Akan tetapi, upaya tersebut sebagai bentuk hubungan kerjasama dalam rangka mengoptimalisasikan pendidikan karakter bagi anak sebagai penerus dari generasi bangsa. Peran tersebut adalah kewajiban yang menjadi tanggung jawab bersama yang harus dilakukan secara terus-menerus atau pun berkesinambungan. Hal itu disebabkan pendidikan karakter merupakan proses upaya penanaman nilai-nilai baik pada anak yang melibatkan pemikiran, keyakinan, dan tindakan. Oleh sebab itu, stasiun televisi pun hendaknya betul-betul memikirkan nasib perkembangan generasi bangsa ini.

Sudah seharusnya, stasiun tidak bermuara lagi pada keinginan meraup keuntungan yang sebanyak-banyaknya tanpa memikirkan nasib konsumennya. Sehingga, apa pun yang disiarkan televisi seharusnya memiliki andil dalam upaya mendidik generasi bangsa ini, dengan menyuguhkan tayangan-tayangan yang betul-betul bermanfaat. Tentunya, tayangan yang disajikan itu membutuhkan upaya pengontrolan dan pengawasan dari pemerintah, sekolah, dan orang tua agar peran televisi sebagai salah satu media massa dalam rangka pendidikan karakter dapat berjalan optimal.

Simpulan

Televisi merupakan salah satu media massa yang saat ini menjadi dunia keseharian anak, perlu mengoptimalisasikan perannya agar ikut berperan aktif dan maksimal dalam pendidikan karakter bagi anak bukan sebaliknya bersifat deskruktif terhadap perkembangan karakter anak-anak. Sehingga, apa pun yang disiarkan televisi seharusnya memiliki andil dalam upaya mendidik anak khususnya siswa Sekolah Dasar, dengan menyuguhkan tayangan-tayangan yang tidak hanya menyajikan informasi, tetapi juga mengutamakan unsur edukasi. Tentunya, tayangan yang disajikan itu memerlukan upaya pengontrolan dan pengawasan dari pemerintah, sekolah, dan orang tua agar peran televisi sebagai salah satu media massa dalam rangka pendidikan karakter dapat berjalan optimal.

Daftar Pustaka

Dewi K.Soedarsono. (2012). Pesan Komunikasi Pendidikan di Media Televisi. Jurnal Ilmiah Komunikasi, Vol. 2 no. 2.

Kementerian Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum. (2010). Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter

Bangsa. Diakses pada 2010, dari

http://repository.unand.ac.id/22742/1/4_PANDUAN_PELAKS_PENDIDIKAN_ KARAKTER.pdf

Kementerian Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum dan Perbukuan. 2011. Panduan Pelaksanaan Pendidikan

Karakter. Diakses pada Mei 2011, dari

(13)

Listyarti, Retno. 2012. Pendidikan Karakter dalam Metode Aktif, Inovatif, & Kreatif. Jakarta: Erlangga.

Mulyasa, E. (2012). Manajemen Pendidikan Karakter. Jakarta: Bumi Aksara.

Muslich, Masnur. (2010). Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional. Jakarta: Bumi Aksara.

Yulianti, Padmi Dhyah dan Hartini, Tri. (2015). Literasi Media Televisi Bagi Orang Tua : Upaya Melindungi Anak dari Dampak Negatif Televisi. Forum UMM, (Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas PGRI SemarangPsychology). ISBN: 978-979-796-324-8.

Referensi

Dokumen terkait

Tahap efektif atau tahap ke tiga merupakan tahap dimana komunikasi interpersonal yang dilakukan oleh pengasuh dan santri terkait dengan diri pribadi yang mana pada tahap ini

Huanggang Normal University, China; Huazhong University of Science and Technology, China; University of Cambridge, United Kingdom; Aalborg University, Denmark. Session 149:

[r]

Kim & Ko 2010, h.166 dalam penelitiannya menjelaskan bahwa sebagai sarana untuk memberi nilai kepada pelanggan dengan segala cara, brand-brand terkenal kini beralih ke media sosial,

Salah satu aplikasi yang dapat diterapkan pada teknologi VoIP adalah IP PBX ( Internet Protocol Private Brach Exchange ) atau pada teknologi PSTN (Public Switching

Hasil uji statistik dengan Wilcoxon pada kelompok eksperimen didapatkan hasil nilai signifikan p=0,02 (p<0,05), maka terdapat perbedaan kemampuan bersosialisasi

Dari penelitian ini, terapi rendam kaki air hangat efektif menurunkan tekanan darah pada lansia penderita hipertensi di Dusun Depok, Ambarketawang, Gamping,

yang lebih dari pada orang lain. Para psikologi mempelajari dua hal bahwa: gejala- gejala yang terjadi tanpa menggunakan indera-indera kita yang lumrah. Contohnya ialah melihat