Releng Tendi (Pemanggilan Roh)
(Sebuah Tinjauan Antropologis Terhadap Upacara Ritual Asli Suku Karo)
Diajukan Guna Memenuhi Tugas Akhir Antropologi Budaya Indonesia yang Diampu Oleh DR. Kees De Jong
sebagai Pengganti Tes Akhir Semester Tahun 2014/2015
Disusun Oleh :
Nama : Kristianta D. Ginting NIM : 01130003
FAKULTAS TEOLOGIA
UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA
YOGYAKARTA
2014
I. Pengantar1. Ritual dalam suatu Kebudayaan
menjalin komunikasi dengan yang adikodrati tersebut1. Ritual sendiri dapat diartikan sebagai peristiwa penting dalam kehidupan manusia yang dilaksanakan menurut tata cara tertentu dan secara berkala2. Ritual berfungsi sebagai alat untuk mengekspresikan iman seseorang. Selain itu juga berfungsi untuk menyalurkan emosi religius dari manusia tersebut.
II. Pembahasan
1. Pengertian Releng Tendi bagi Masyarakat Karo
Releng tendi adalah pemanggilan roh seseorang yang sudah menggembara atau meninggalkan fisiknya atau karena diganggu keramat karena peristiwa tertentu3. Roh yang telah pergi itulah yang perlu dipanggil ke rumah atau supaya kembali kepada orang yang bersangkutan. Hal ini berhubungan erat dengan berawan4 yang membuat orang sakit. Biasanya orang yang rohnya pergi dari fisiknya, orang tersebut akan mengalami sakit yang tidak dapat diketahui oleh medis, kehilangan nafsu makan, sering merasa ketakutan dsb. Pelaksanaan ritual dipimpin/dibantu oleh
guru sibaso (dukun/paranormal).5 Suatu peranan yang mencakup luas dan mempunyai kaitan yang erat sekali dengan konsepsi tentang kosmos dari guru sebagai pelaksana utama, sebab mengingat bahwa titik sentral dan tujuan utama segala aktivitas peranan guru adalah untuk mencapai kembali “equilibrium” atau keseimbangan.
Ada beberapa ilmu yang kemudian dikuasai oleh dukun, diantaranya: ilmu untuk membuat orang tertidur lelap, ilmu untuk mencari barang-barang yang hilang, ilmu untuk menjadi kaya, ilmu untuk melihat apa yang terjadi di tempat lain, ilmu untuk kekebalan, ilmu untuk menentukan
1 G.van Schie, Hubungan Manusia dengan Misteri Segala Misteri, (Jakarta: Fidei Press, 2008), h.171
2 Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 2010), h.174
3 E.P.Gintings, Religi Karo, (Kabanjahe: Abdi Karya), h.41
4 Berawan/birawan adalah semacam stres. Pengertian birawan/berawan dalam
masyarakat Karo zaman dahulu ialah bila seseorang (dewasa, anak-anak, laki-laki, perempuan) telah pergi rohmya (terlaya tendina) atau rohnya keluar dari yang bersangkutan. Keadaan tersebut terjadi karena mengalami sesuatu peristiwa yang mengejutkan membuat takut. Dalam istilah modern hal ini sering disebut dengan stres berat atau frustrasi dan yang lebih berat lagi disebut neurosa (lih. E.P.Gintings, Religi Karo , h.32)
5 Istilah paranormal memaksudkan orang-orang yang mempunyai kemampuan
lokasi, ilmu untuk memikat kekasih, ilmu untuk meramalkan kejadian dunia, ilmu untuk mengobati, dan berbagai ilmu lainnya.6
Ada tiga dukun yang menjadi fasilitator dalam pelaksanaan ritual yaitu: guru ermang-mang7,
guru si dua lapis pengenen matana8, guru si ersora kerahongna9. Jauh-jauh hari sebelum pelaksanaan terlebih dahulu harus menanyakan kepada guru perkatika atau guru si meteh wari telu puluh (dukun yang mampu membaca hari nan 30 dalam setiap bulan) atau astrolog10 kapan waktu yang baik untuk melakukan ritual. Bila sudah didapat hari yang baik, dukun berserta keluarga terdekat diundang ke rumah untuk melakukan ritual tersebut.11 Biasanya hari dipilih untuk melakukan ritual ini adalah hari ke-12 setelah bulan terbit atau hari baik lainnya.
2. Persiapan dan Pelaksanaan Releng Tendi
Ada beberapa bahan-bahan yang diperlukan untuk melaksanakan ritual ini yakni12: 1. Baka (sejenis keranjang rotan yang biasa digunakan tempat nasi);
2. Bulung-bulung simelias (daun-daun herbal);
3. Beras meciho ibas perakan (beras dari padi yang baru dipanen dan ditaruh didalam
sumpit13);
4. Tinaruh manuk raja mulia (telur ayam raja mulia14);
5. Amak mentar (tikar putih yang terbuat dari anyaman daun bengkuang yang sudah dikeringkan);
6. Dagangen mentar (kain putih/kafan); 7. Kumenen (kemenyan);
8. Cibal-cibalen (sesajian, seperti: sirih, pinang, rokok dan makanan);
6 Cliifford Geertz, The Religion of Java, (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1986-5), terj. Aswab Mahasin, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya,1989-3) h. 119
7 Dukun yang pandai mengucapkan kata-kata puitis dan magis yang menyentuh
hati.
8 Dukun yang pengelihatannya dua lapis dan bisa melihat begu (hantu).
9 Dukun yang kerongkongannya dapat berbicara.
10 Bd. S.K.Ginting; E.P.Gintings dan B. Surbakti, Kamus Karo-Indonesia, (Jakarta: KBI,
1996) h.159-160
11 E.P.Gintings, Realigi Karo, h.38
12 A. G. Sitepu, Kekayaan Budaya Karo, dalam Sarjani Tarigan (editor), Dinamika
Peradatan Orang Karo, (Kabanjahe: Sura Ernala, 2010), h.258-259
13 Sejenis kantong beras yang dibuat dari anyaman daun bengkuang yang sudah
dikeringkan.
9. Balobat ras keteng-keteng (dua alat musik tradisional Karo yang terbuat dari bambu), tidak wajib. Biasanya pengadaan alat musik ini adalah keluarga memiliki uang banyak.
Sebelum ritual dimulai, keluarga yang bersangkutan terlebih dahulu ercibal (memberi sesajian kepada roh orang yang sudah meninggal yang dianggap sebagai pelindung keluarga). Setelah itu
guru pemangemang meminta ersentabi (minta ijin) kepada keluarga untuk melakukan pemanggilan roh keluarga yang pergi. Orang yang tendi (rohnya) di pergi dipanggil untuk duduk di amak mentar (tikar putih) dan ditutupi dengan dagangen mentar (kain putih/kafan) dan baka
(tempat nasi) diangkat diatas kepalanya. Setelah itu guru ermangmang mulai melantunkan lirik puitis dan magis dengan diiringi balobat dan keteng-keteng (jika ada). Sembari melantunkan lirik, guru si dua lapis pengenenna (dukun yang memiliki pengelihatan dua) melihat apakah roh tersebut sudah datang ke rumah yang bersangkutan. Jika rohnya sudah datang tugas guru si ersora kerahongna (dukun yang kerongkongannya bisa berbicara) tersebut menangkap dan memasukkan roh tersebut kedalam dirinya, ia akan mulai kesurupan dan berbicara mengatakan apa sebab-akibat mengapa rohnya bisa pergi. Roh tersebut biasanya memiliki keinginan (seperti: makanan, sirih, rokok, suatu barang dll) dan keinginannya itu harus segera diberikan setelah roh tersebut berhasil dimasukkan kembali kepada orang yang bersangkutan15. Biasanya beras didalam bakul akan bergetar bila roh tersebut sudah masuk ke dalam jiwa orang yang bersangkutan.
3. Pukulen guru (upah kepada dukun)
Pukulen guru adalah kelengkapan yang harus dipersiapkan keluarga yang bersangkutan untuk memulangkan dukun keesokan harinya, antara lain16:
1. Amak mentar (tikar putih yang terbuat dari anyaman daun bengkuang yang sudah dikeringkan);
2. Manuk megara (ayam berbulu merah); 3. Beras 1 tumba (dua liter);
4. Tinaruh manuk (telur ayam);
5. Dagangen mbentar selembar (kain putih/kafan 1 helai);
15 Sarjani Tarigan, Lentera Kehidupan Orang Karo dalam Berbudaya, (Medan: tanpa
penerbit, 2009), h.70
6. Isap (rokok);
7. Duit empat serpi (seharga 4 gulden Belanda, berkisar 2-3 ratus ribu)17.
III. Respon Gereja terhadap Ritual Releng Tendi
Bila kita memperhatikan gambaran orang yang kehilangan rohnya (mengalami sakit yang tidak dapat diketahui oleh medis, kehilangan nafsu makan, sering merasa ketakutan dsb) dan usaha-usaha penaggulangannya pada zaman dahulu, jelas memperlihatkan bahwa orang Karo telah konseling-minded dalam bentuk tradisional. Akan tetapi pada zaman dahulu semua aspek kehidupan tidak terpisahkan dengan aspek kepercayaan dalam paham mistis magis animistis yang menguasai cara berpikir orang Karo. Tahap kebudayaan yang lebih maju seperti sekarang telah membuat manusia lebih mampu berpikir karena telah memasuki tahap ontologis yang memberdakan dirinya (subyek) dengan kuat kuasa yang disekelilingnya (obyek), ia tidak lagi terlebur di dalam kuat kuasa alamiah di sekelilingnya, dan bahkan telah memasuki tahap berpikir fungsional sebagai gejala modern yang lebih rasional. Oleh karena itu kita sekarang dapat melihat praktek-praktek zaman dahulu seperti upacara ritual releng tendi adalah sebagai suatu metodologi konseling yang dilakukan terkait dengan kepercayaan mistis magis animisme. Sebagai manusia yang telah memasuki cara berpikir modern dan sudah menjadi Kristen tentulah kepercayaan animisme tidak lagi dilakukan karena sudah datang yang baru yaitu kepercayaan kepada Allah melalui Yesus Kristus. Namun dari analisis tadi ada yang penting bahwa pada dasarnya orang Karo rapuh terhadap ketakutan yang bersifat eksistensial. Hidupnya tetap terancam ketakutan karena pusat dari semua keterancaman manusia ialah bila ia kehilangan rohnya atau kehilangan keseimbangan. Untuk itu orang Karo melakukan usaha-usaha dan sekarang kita mampu melihat usaha-usaha ini sebagai suatu metodologi konseling yang bersifat religius tradisional yang sangat diperlukan manusia.
Pada zaman sekarang ini, perjalanan suku Karo tidak dapat dilepaskan dari peran lembaga komunitas dimana mayoritas orang Karo terdaftar dalam lembaga tersebut. Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) sebagai badan hukum keagamaan yang menaungi mayoritas suku Karo harus dapat memelihara dan menjaga tradisi-tradisi kebudayaan yang ada dalam suku Karo agar tidak
hilang ditelan oleh zaman. Bagaimana dengan upacara ritual releng tendi? Dalam Tata Laksana Disiplin GBKP BAB I Pasal 1 no.2 dikatakan bahwa:
“Apabila ada anggota jemaat melaksanakan kepercayaan pribumi (animisme) seperti: erpangir ku lau, berdukun, menyembah atau memakai benda-benda khusus untuk mencari keselamatannya, niktik wari, cabur bulung, petelayauken (rembah ku lau), ndilo wari udan, nengget, perumah begu, releng tendi, ersilihi, nembah begu jabu, paguh-paguhen, simalang ate, pengelaris, lapik dan lain-lain, maka yang bersangkutan wajib diingatkan dan dibimbing”18 Dalam tata laksana ini dapat disimpulkan bahwa GBKP menolak secara tegas segala macam ritual-ritual tradisional yang masih berhubungan dengan kepercayaan pribumi (animisme). Penolakan ini terkait dengan pemaknaan dari ritual tersebut, karena pada pelaksanaan releng tendi, masih adanya kepercayaan terhadap roh yang dijadikan sebagai objek yang melindungi keluarga dan hal itu tidak sesuai dengan iman kepercayaan Kristiani. Konseling pastoral adalah lapangan pelayanan yang masih kurang optimum dijangkau gereja di tengah-tengah dunia yang semakin menggejala unsur keresahan dalam masyarakat.Karena pada kenyataannya di lapangan, praktek ritual releng tendi masih ada dilaksanakan pada suku Karo, terutama bagi desa-desa yang masih bermukim di daerah pelosok Tanah Karo. Umumnya pelaksanaan releng tendi ini masih didasari dan dimaknai berdasarkan kepercayaan pribumi (animisme). Hal ini disebabkan karena masyarakat asli Karo masih belum dapat lepas dari kepercayaan-kepercayaan tersebut. Biarpun mereka telah memiliki agama, tetapi mereka merasa masih ada yang kurang dengan kepercayaannya. Disinilah gereja perlu meningkatkan pelayanan pastoral yaitu penggembalaan dan konseling pastoral agar kehadiran gereja dalam pelayanannya memberikan kuasa penyembuhan bagi warga dan masyarakat.
Melestarikan kebudayaan Karo harus dengan sikap positif, kreatif, kritis, dan realistis. Melestariakan budaya bukan menghidupkan kepercayaan lama yang tidak sesuai dengan iman kepada Allah yang kita percayai tetapi sikap kritis juga harus ada, agar kita tidak hanyut di dalam arus “sykretisme” agama-agama. Berkaca dari kenyataan yang ada, penulis menilai perlu ada benang merah antara budaya asli suku Karo dengan agama Kristen. Perlu ada dialog antara tokoh adat Karo dengan pemimpin-pemimpin agama Kristen di Tanah Karo. Dengan dialog tersebut diharapkan ada pemaknaan baru dari ritual releng tendi. Jika sebelumnya pemaknaan bahwa ada roh-roh sebagai objek pelindung keluarga pada ritual releng tendi, maka pada pemaknaan baru, roh-roh tersebut dapat diganti dengan Kristus. Sesuai dengan makna asli releng tendi,
menciptakan ketenangan batin dan harapan masa depan yang lebih baik, bukankah Kristus juga datang ke dunia untuk memberikan harapan masa depan yang lebih baik kepada semua manusia?
DAFTAR PUSTAKA
1. Dhavamony, Mariasusai. 1995. Fenomonologi Agama. Yogyakarta: Kanisius.
2. Geertz, Cliifford. 1986. The Religion of Java. Chicago and London: The University of Chicago Press. terj. Aswab Mahasin. 1989. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya.
3. Gintings, E.P. 1995. Realigi Karo. Kabanjahe: Abdi Karya.
4. Gintings, Sadakata., Gintings, E.P., Surbakti, Bujur. 1996. Kamus Karo Indonesia.
Jakarta: Percetakan KBI.
5. Kartoatmodjo, Soesanto. 1995. Para psikhologi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
6. Schie, G. Van. 2008. Hubungan Manusia dengan Misteri Segala Misteri. Jakarta: Fidei Press.
7. Sitepu, A. G. 2010. Kekayaan Budaya Karo. dalam Tarigan, Sarjani (editor). Dinamika Peradatan Orang Karo. Kabanjahe: Sura Ernala.
8. Tarigan, Sarjani. 2009. Lentera Kehidupan Orang Karo dalam Berbudaya. Medan: tanpa penerbit.