• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ekonomi Politik Pertanian Gorontalo pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Ekonomi Politik Pertanian Gorontalo pdf"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

1

Ekonomi-Politik Pertanian Gorontalo

Funco Tanipu

Abstraksi

Pertanian Gorontalo mengalami pasang surut yang signifikan. Baik di level pembangunan maupun pencitraan. Kondisi ini dipengaruhi oleh kuatnya pengendalian yang dilakukan oleh negara. Wacana desentralisasi sepertinya tidak berjalan, karena di level paling bawah (desa), kondisinya tidak menggembirakan. Kontribusi ekonomi dari sektor pertanian sepertinya hampir sama dengan sektor lain, dan bahkan mengalami pelambatan. Problem ini diakibatkan oleh komitmen negara yang rendah dalam pembangunan pertanian dan aspek ekonomi-politik yang lebih mengemuka, yakni citra yang over

dosis.

Kata kunci : pertanian, pencitraan, ekonomi-politik.

(2)

2

kejayaan ini tidak berlangsung lama. Sejak memasuki tahun 2006 hingga saat ini, pembangunan pertanian Gorontalo mengalami perlambatan.

Indikator perlambatan ini terlihat dari berjaraknya sektor pertanian dengan sektor-sektor lain seperti industri, perdagangan dan jasa, lambat tetapi pasti terus melebar. Akar pelambatan itu antara lain adalah akibat dari kebijaksanaan ekonomi yang dipilih lebih berorientasi pada industri berskala luas (broad-based industry) dan hightech technology. Kondisi inilah yang menyebabkan sumbangan sektor pertanian bagi pendapatan daerah relatif dibawah dengan sektor yang tidak menjadi prioritas pembangunan. Bahkan, sektor pertanian hampir tidak memiliki nilai kompetitif yang memadai.

Pembangunan pertanian akhirnya menjadi retorika pemerintah, kalangan intelektual, politisi dan lembaga swadaya masyarakat. Tetapi sayang sampai sekarang sektor pertanian semakin menurun, produk pertanian tidak kompetitif, yang berimbas pada nasib petani semakin tidak menentu.

Kondisi yang semakin sulit ini membuat kehidupan petani dilanda sindrom kemiskinan dan kebodohan, dan berimbas pada kesulitan mencukupi kebutuhan dasar (sandang, pangan, pendidikan dan kesehatan).

Walaupun kondisi yang tidak menyenangkan ini terjadi, komitmen pemerintah juga tidak begitu membanggakan. Kondisi ini yang membuat tantangan pembangunan pertanian Gorontalo bukan hanya pola peningkatan produktivitas dan mutu produksi pertanian yang bisa bersaing di tingkat nasional maupun global, juga tidak semata-mata hanya menciptakan ketahanan pangan.

Terkait problem diatas, pertanian di Gorontalo tidak bisa dilihat dari kacamata teknis pertanian, lebih dari pada itu, mesti menggunakan kacamata yang komprehensif. Ide mengenai penguatan sektor pertanian Gorontalo memang sudah banyak diutarakan, mulai dari pemerintah, lembaga masyarakat sipil hingga sektor swasta.

(3)

3

Perspektif ekonomi-politik hendak membedah itu dan menawarkan serangkaian gagasan dalam menata kembali penguatan pertanian Gorontalo. Dengan perspektif ekonomi-politik, penulis melihat problem bahwa penguatan pertanian adalah perspektif yang membaca perubahan sosial di level desa. Sebab, desa menjadi teritori yang menjadi medan pertarungan ekonomi-politik pertanian di Gorontalo.

Disparitas Ekonomi-Politik

Selama ini, pembangunan di Gorontalo menjadikan desa sebagai basis teritorial pertanian. Problem yang terjadi adalah diasparitas ekonomi-politik akibat masuknya kekuasaan (negara) dan kapital (pasar) secara eksploitatif. Skema dibawah menunjukkan bahwa problem ekonomi politik di level paling bawah yakni di desa sangat mempengaruhi pembangunan pertanian di Gorontalo.

(4)

politik-4

eksternal, menggambarkan pengaturan penguasa supradesa terhadap entitas desa melalui sentralisasi, birokratisasi, intervensi dan korporatisasi. Pada kolom ekonomi-internal, terlihat disparitas sosial-ekonomi yang terjadi dalam desa, antara si kaya dan si miskin. Dan terkahir pada kolom politik-internal, memperlihatkan oligarki dan dominasi elite dalam proses politik di desa yang memperlemah partisipasi (voice, akses dan kontrol) rakyat biasa (ordinary people).

Dalam kajian sosiologi, desa telah menjadi arena pertempuran antara banyak elemen, baik negara vs masyarakat, kapitalisme vs sosialisme, dan berbagai elemen lainnya. Namun, dalam kajian sosio-historis, sebagai sebuah entitas masyarakat lokal, desa memiliki sistem sosial yang cenderung sosialis, dimana tanah menjadi properti sosial yang dikelola secara komunal dengan semangat egalitarian dan pemerataan.

Namun, seiring berjalannya waktu, baik di era kolonial hingga Orde Baru, problem agraria menjadi problem yang tak berkesudahan. Usaha penguasaan tanah oleh Negara telah meluluhlantakkan seluruh sistem sosial agraria yang berbasis komunitarian beralih menjadi berbasis administratif-kolonial.

(5)

5

Frans Husken (1998), misalnya, melukiskan dengan gamblang bekerjanya

cultuurstelsel pada masa kolonial, sebagai bentuk negaranisasi dan kapitalisasi sektor pertanian di desa. Akibatnya adalah terkonsolidasinya deferensiasi sosial, ketimpangan sosial dan kekuasaan politik karena semakin banyaknya modal dan campur tangan negara ke desa. Yang paling banyak memperoleh keuntungan adalah elite desa dan pemilik modal.

Dalam studi yang lain, Jan Breman dan Gunawan Wiradi (2004) menengarai bahwa proses yang sedang berlaku adalah polarisasi dan pengusiran. Yang lebih mencolok daripada berkurangnya kemiskinan di kalangan yang miskin tanah dan tunakisma adalah kekayaan yang baru diperoleh kaum elit pedesaan, yang ditunjukkan melalui gaya hidup mencolok oleh sekelompok kecil rumah tangga orang terkemuka yang bersama-sama menguasai sebagian besar aset modal desa baik di pertanian maupun nonpertanian.

Bagi Jan Breman dan Gunawan Wiradi, itilah yang tepat adalah masa

“cerah” dan masa “suram” akan menjadi sangat relatif apabila diterapkan

pertanian, di mana petani tunakisma dan buruh tani merupakan mayoritas dalam populasi. Kedua golongan ini sudah lama “mati rasa” dengan segala perubahan kondisi lingkungan, karena perubahan yang positif atau yang disebut sebagai masa cerah sekalipun tidak banyak berpengaruh kepada kehidupan mereka. Apabila masa cerah saja tidak banyak mengangkat kesejahteraan, lantas apa yang terjadi ketika masa suram tiba? Jan Breman dan Gunawan Wiradi melakukan dua kali investigasi untuk mengamati dampak langsung hantaman krisis moneter terhadap perekonomian desa.

Seiring dengan riset Jan Breman dan Gunawan Wiradi, konteks pertanian

Gorontalo yang mengalami masa “cerah” secara simbolik dalam kurun sepuluh

(6)

6

Dalam dua studi Sutoro Eko dan Jan Breman terlihat bahwa konteks pembangunan pertanian Gorontalo akan menjadi ilusi di tengah gelembung pencitraan yang over dosis.

Gelembung Citra Pertanian

Nama Gorontalo mulai harum semenjak dibawah kepemimpinan Fadel Muhammad. Gorontalo adalah daerah yang dikategorikan “pelosok” sebelum Fadel memimpin, karena jarang diangkat oleh media nasional. Namun, setelah menjadi Provinsi, Gorontalo banyak dibahas oleh media-media cetak besar seperti Kompas, The Jakarta Post, Media Indonesia, Tempo, Republika, dll.

Fadel berhasil membuat citra yang positif tentang Gorontalo. Fadel saat menjadi Gubernur telah menetapkan tiga program unggulan ; pertanian, perikanan dan kelautan serta pengembangan sumber daya manusia. Khusus sektor pertanian, media nasional telah memberitakan secara berulang-ulang dan bahkan bombastis, walaupun agak berbeda dari data riil di lapangan.

Pencitraan yang dilakukan Fadel Muhammad memang berbuah hasil, tercatat selama kurun waktu 2004 – 2005, Gorontalo menjadi lokasi studi banding pertanian dari seluruh daerah bahkan luar negeri. Bahkan, Presiden Gambia

datang ke Gorontalo hanya untuk melihat “keberhasilan” pembangunan pertanian

(Elnino : 2005).

Dalam catatan Elnino, citra baik yang dibangun Fadel atas Gorontalo, dan juga atas dirinya, rupanya lebih bertujuan politis dibanding bertujuan untuk membangun sektor unggulan Gorontalo secara serius. Contohnya adalah pemberitaan kantor berita ANTARA pada 13 Oktober 2005 berjudul “Jika Fadel

Jadi Menteri, Petani Demo”. Inti berita tersebut adalah para petani Gorontalo tidak

ingin Fadel jadi menteri karena masih dibutuhkan oleh rakyat Gorontalo.

(7)

7

pembangunan citra bahwa „Fadel berkelas menteri‟ untuk kepentingan kampanye

dalam suksesi gubernur Gorontalo 2006 mendatang, (b) penciptaan citra bahwa

„Fadel sukses membangun Gorontalo‟ untuk kepentingan menjadi menteri dalam

reshuffle kabinet presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Pencitraan yang dilakukan oleh Fadel rupanya tidak berhenti disitu, namun lebih bombastis di tengah realitas pertanian Gorontalo yang rapuh fondasinya. Pencitraan yang dilakukan itu berbuah hasil, Fadel berhasil meraih kursi Menteri di kabinet Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2009.

Memang, dalam perkembangan politik, citra adalah faktor yang sangat penting. Dalam politik kontemporer, pencitraan telah bertransformasi menjadi

bagian dari budaya pop yang kadang kala lebih bersentuhan dengan „persepsi‟

dibandingkan dengan realita. Dalam konteks Gorontalo, persepsi masyarakat mengenai pertanian Gorontalo sangatlah luar biasa, namun realitanya tidak seperti itu.

Kondisi ini berlangsung secara massif setelah Orde Baru tumbang. Fenomena ini sendiri berjalan linier seiring dengan perkembangan budaya televisi dan digital. Street (1997) melukiskan bahwa genre politik ini sebagai a matter of performance. Pada situasi ini, persepsi, citra, dan kesan, adalah segalanya. Semua mesti dikemas terlebih dahulu agar dapat menarik perhatian masyarakat.

Dalam kajian sosiologi media, Yunarto Wijaya membagi politik pencitraan menjadi tiga ranah; advertising, public relation, dan personal contact. Kesemuanya memiliki kegunaan yang setaraf, tergantung pada konteks (where/when) dan sasaran (who) yang dijadikan target.

(8)

8 Re-Orientasi Pembangunan Pertanian

Berbagai problem kritis diatas adalah catatan penulis selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir dari perspektif ekonomi-politik pertanian Gorontalo.

Selama ini, konsentrasi pertanian Gorontalo lebih berkisar pada pertumbuhan produksi pertanian, formula yang terbaik adalah menggesernya kearah pemberdayaan petani, dan memperkuat lembaga-lembaga yang terkait dengan pembangunan pertanian menjadi lebih responsif. Dalam kajian sosiologis, petani Gorontalo adalah petani yang mengalami penundukkan secara sistematis, baik dari era kolonial, era Orde Lama, Orde Baru hingga pasca Orde Baru (era Fadel). Penaklukkan ini mulai dilakukan di level kesadaran hingga aktifitas kesehariannya.

Tipologi Gagasan Pembaharuan Pembangunan Pertanian Desa

Politik-Pemerintahan Ekonomi-Pembangunan

Makanya, menurut Mubyarto (1994) pendekatan emansipatoris adalah pendekatan yang diharapkan dapat membantu petani membebaskan dirinya dari kungkungan memori kolektif penaklukan. Selain itu, petani dapat lebih partisipatif dalam melakukan aktifitas pertanian.

(9)

9

pendekatan „non-fisical input’, dengan melakukan sejumlah intervensi melalui sejumlah program dalam spirit desentralisasi, privatisasi, partisipasi, client-oriented, dan cost-efficiency. Salah satu pilihan kebijakannya adalah memperkuat apa yang lazim disebut community self-reliance (kemandirian)

Pada pendekatan ini, petani dibantu membuat analisis masalah yang dihadapi, di samping dibantu menemukan alternatif solusi masalah tersebut dengan menggunakan sumber-sumber yang dimiliki dan dikuasainya. Petani dibantu untuk membangun kegiatan, dengan kemampuan mereka sendiri, mengimplementasikan solusi tersebut (dengan penyempurnaan seperlunya). Petani dibantu membangun sistim untuk memperoleh sumber-sumber eksternal yang dibutuhkan.

Dengan itu, prinsip yang dikedepankan adalah petani diberi peluang untuk memutuskan apa yang diinginkan, dan aktivitas yang mereka lakukan diharapkan menjadi basis program-program pembangunan baik pada level lokal, regional maupun pada level nasional.

Peran pemerintah tidak lagi sebagai pelaksana kegiatan, tetapi lebih sebagai institusi yang memfasilitasi proses ketika masyarakat mengindentifikasi kebutuhannya serta membangun kegiatannya. Selain itu, perlu ada perumusan perencanaan (blue print of behavior) yang jelas, sebab dalam praktik pembangunan pertanian banyak hal yang justru mengecewakan utamanya di ranah perencanaan wewenang, anggaran, dan prioritas.

Pelaksanaan pembangunan pertanian yang partisipatif yang berkesinambungan, mesti sesuai dengan prinsip good governance (komitmen, transparasi, partisipasi, sinergi dsb), dan yang urgen adalah mengutamakan kesejahteraan masyarakat.

Dalam konteks administratif, pengendalian juga mesti sistimatis, ada indikator kinerja yang jelas, reward and punishment, melibatkan stakeholders

(10)

10

(11)

11 Daftar Pustaka

Elnino Mohi, Pencitraan Fadel Muhammad, Gorontalo Post, 2005

Frans Husken, Masyarakat Desa Dalam Perubahan Zaman, Grasindo, 1998 Funco Tanipu (ed.), Menggagas Masa Depan Gorontalo, HPMIG Press, 2005 Jan Breman dan Gunawan Wiradi, Masa Cerah dan Masa Suram di Pedesaan

Jawa. Yogyakarta : Pustaka LP3ES, 2004

John Street, Politics and Popular Culture, Cambridge, Polity Press, 1997 Mubyarto, Politik Pertanian dan Pembangunan Pedesaan, Sinar Harapan, 1994 Sutoro Eko, Ekonomi-Politik Pembaharuan Desa, Makalah disajikan dalam

Pertemuan Forum VII, “Refleksi Arah dan Gerakan Partisipasi dan Pembaharuan Masyarakat Desa di Indonesia”, yang digelar Forum

Pengembangan Partisipasi Masyarakat (FPPM), Ngawi, Jawa Timur, 15-18 Juni 2003

(12)

12 Biodata :

Funco Tanipu, pengajar di Jurusan Sosiologi, Universitas Negeri Gorontalo. Pernah mendalami poskolonial, semiotika dan politik ingatan di Program Non Reguler Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta selama tahun 2005. Pernah belajar di Sekolah Kritik Ideologi Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada pada tahun 2006. Meraih M.A dari Departemen Sosiologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 2008. Pengalaman organisasi; Ketua Umum PB HPMIG (2005 – 2008), Presidium Ikatan Pelajar Mahasiswa Daerah se Indonesia (2004 – 2005), Direktur The Gorontalo Institute (2005-sekarang), Koordinator Riset Pusat Studi Sosial Universitas Negeri Gorontalo (2010 – sekarang), Fellow Jaringan Intelektual Publik Indonesia (2011

Referensi

Dokumen terkait

Seperti dijelaskan pada bahagian awal berkaitan dengan kinerja sektor pertanian di provinsi Jambi menyangkut hasil-hasil yang telah dicapai dalam pembangunan

[r]

Dari tahap-tahap yang telah dilakukan sebelumnya, maka dihasilkan Game Edukasi “ Pengenalan Angka Dan Aksara Jawa untuk Sekolah Dasar Khusunya Kelas 3”.. 4.1.1

Contingent Valuation Method (CVM) yang digunakan dalam penelitian ini dimaksudkan untuk menentukan nilai WTP dan nilai tersebut nantinya dijadikan sebagai informasi awal biaya untuk

PERATURAN PERMARKAHAN KERTAS 2 3756/2 Prinsip Perakaunan Kertas 2 2020 2 1/2 jam. PROGRAM GEMPUR KECEMERLANGAN SIJIL PELAJARAN

Menimbang, bahwa dari fakta yang disimpulkan tersebut di atas merupakan fakta yang dikonstatir; ternyata ditemukan fakta bahwa antara Penggugat dan Tergugat terus menerus

pendidikan nilai dalam keluarga terhadap sikap tanggung jawab siswa di. kelas X SMA Negeri I Terbanggi Besar Tahun

Offered the choice between exporting at much higher prices and domestic contracts at lower prices, several French dairy processors broke their purchasing contracts with retailers