• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH Agama dan Budaya dalam Perspekti

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MAKALAH Agama dan Budaya dalam Perspekti"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH

Agama dan Budaya dalam Perspektif Emile Durkheim

Untuk Memenuhi Mata Kuliah ANTROPOLOGI AGAMA

Dosen pengampu:

Dr. kunawi, M.Ag

Di susun oleh:

Aulia Agustin

(E02216005)

Habib Imam Maulana (E02216008)

Hamdan Mua’fi

(E02216009)

Hidayatus Shofiati

(E02216010)

STUDI AGAMA AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM SUNAN AMPEL SURABAYA

(2)

A. Pendahuluan

Melihat kondisi masyarakat masa kini terutama mengenai agama yang sudah sangat heterogen dengan berbagai agama yang dianut di muka bumi ini, juga berbagai sekularisasi agama karena berkembangnya ilmu pengetahuan atau sains. Jika dipikirkan lebih lanjut, kita perlu memahami pengertian dari agama itu sendiri dan bagaimana agama itu bisa tercipta hingga berkembang saat ini. Dan apa tujuan manusia di dunia ini memiliki agama. Sebenarnya teori tentang agama telah berkembang sejak zaman dahulu ketika ide tentang adanya Tuhan atau roh-roh. Gagasan Emile Dukheim salah satu tentang masyarakat adalah gambaran sumber dari keagamaan, bukan ciri khas kehidupan keagamaan, tetapi masyarakatlah sumber gambaran keagamaan, kultus, dan penuhanan.

Dalam analisis ilmu sosial, agama dalam kehidupan masyarakat semakin menarik untuk dikaji yang pada umumnya dilakukan dengan pendekatan empirik. Para ilmuwan sosial sepakat agar semua pernyataan yang diklaim sebagai kebenaran ilmiah harus tunduk pada pengujian yang cermat dan didukung oleh fakta yang diperolah melalui pengamatan terhadap alam fisikal.

(3)

B. Penjelasan Durkheim Mengenai Agama dan Masyarakat

Emile Durkheim sebagai salah seorang Sosiolog abad ke-19, menemukan hakikat agama yang pada fungsinya sebagai sumber dan pembentuk solidaritas mekanis. Ia berpendapat bahwa agama adalah suatu pranata yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk mengikat individu menjadi satu-kesatuan melalui pembentukan sistem kepercayaan dan ritus. Menurut Durkheim agama merupakan fenomena sosial yang melekat dalam praktik sosial, jadi tidak hanya dalam bentuk kepercayaan kepercayaan, tapi juga berfungsi dalam meningkatkan solidaritas sosial sekaligus sumber kesatuan moral.1 Melalui simbol-simbol yang sifatnya suci. Agama mengikat orang-orang kedalam berbagai kelompok masyarakat yag terikat satu kesamaan. Durkheim membedakan antara solidaritas mekanis dengan solidaritas organis. Dengan konsep ini ia membedakan wujud masyarakat modern dan masyarakat tradisional.

Secara alami, Durkeihm membangun kerangka berfikirnya berdasarkan ide-ide para tokoh seperti: Auguste Comte (1798-1857), Montesqueieu seorang filosof Prancis abad ke-18, Ernest Renan seorang kritikus Bibel, Numa Denys Fustel de Caulanges pengarang buku The Ancient City (1864).2

Ide tentang masyarakat adalah jiwa dari agama, demikian ungkap Emile Durkheim dalam The Elementary Form of Religious Life (1915). Berangkat dari kajiannya tentang paham totemisme masyarakat primitive di Australia, Durkheim berkesimpulan bahwa bentuk-bentuk dasar agama meliputi:

1. Pemisahan antara `yang suci’ dan `yang profane’

2. Permulaan cerita-cerita tentang dewa-dewa. 3. Macam-macam bentuk ritual.

Dasar-dasar ini bisa digeneralisir di semua kebudayaan, dan akan muncul

1 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, Bandung : Remaja Rosda Karya, 2000.

2 Pengaruh para pemikir ini dalam pemikiran Durkheim, lihat, Nisbet, Sociology of Durkheim,

(4)

dalam bentuk sosial. Masyarakat baik di Barat maupun di Timur, menunjukkan adanya suatu kebutuhan social yang berupa `kebaikan permanent’. Menurut teori

Durkheim, Agama bukanlah `sesuatu yang di luar’, tetapi `ada di dalam

masyarakat’ itu sendiri, agama terbatas hanya pada seruan kelompok untuk

tujuan menjaga kelebihan-kelebihan khusus kelompok tersebut.3

Oleh karena itu, agama dengan syariatnya tidak mungkin berhubungan dengan seluruh manusia. Kritikan lain yang dikemukakan oleh Emile Durkheim; bahwa Animisme dan Fetishisme yang bersifat individualistik, tidak dapat menjelaskan agama sebagai sebuah fenomena sosial dan kelompok. Pusat pandangan Durkheim berada dalam klaimnya bahwa ‚agama adalah sesuatu yang

bersifat sosial.‛ Dalam setiap kebudayaan, agama adalah bagian yang paling

berharga dari seluruh kehidupan sosial. Dia melayani masyarakat dengan menyediakan ide, ritual dan perasaan-perasaan yang akan menuntun seseorang dalam hidup bermasyarakat.

Ritual dan kepercayaan Durkehim, berbeda dengan Tylor dan Frazer tentang

‚intelektualisme‛ nya, bagi Durkheim, ritual keagamaan lebih utama, sebab

ritual inilah yang lebih fundamental dan yang melahirkan kayakinan. Jika memang ada sesuatu yang ‚abadi‛ dalam agama, maka kebutuhan masyarakat

akan ritual-ritual itulah yang paling abadi, berupa upacara-upacara penenguhan kembali dedikasi setiap anggota masyarakat. Dengan ritual-ritual tersebut, seluruh anggota masyarakat diingatkan kembali bahwa kepentingan kelompok lebih utama ketimbang keinginan pribadi. Sebaliknya, keyakinan bukanlah sesuatu yang abadi. Fungsi sosial dari ritual-ritual keagamaan akan selalu konstan, sebaliknya muatan intelektual agama akan selalu mengalami perubahan.

Keyakinan adalah ‚sisi spekulatif‛ agama. Keyakinan Kristen bisa saja

(5)

berbeda dari keyakinan Yahudi atau Hindu, tapi dalam ide-ide tapi yang sikapnya patrikular, perbedaan yang terjadi tidak begitu besar. Perbedaan ide-ide akan selalu di dapati dalam agama-agama yang ada di dunia ini, bhkan dari masa ke masa pun ide-ide dalam suatu agama pun akan selalu berbeda. Tapi, kebutuhan untuk mengadakan upacara-upacara akan selalu ada, karena merupakan sumber sebenarnyadari kesatuan sosial dan tali pengikat utama seluruh anggota masyarakat. Ritual-ritual keagamaan ini akhirnya dapat menyingkap arti agama yang sesungguhnya.

Menurut teori Fungsionalisme Struktural yang ada dalam ranah penelitian Durkehim, bahwa Masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada suatu bagian, akan berpengaruh pada bagian yang lainnya. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam sistem soisial, fungsional terhadap yang lain. Sebaliknya kalau tidak fungsional maka struktur itu tidak akan ada atau akan hilang dengan sendirinya. (George ritzer 2011: 21 )

Penganut teori ini cenderung untuk melihat hanya pada sumbangan satu sistem atau peristiwa terhadap sistem yang lain dan karena itu mengabaikan kemungkinan bahwa suatu peristiwa atau suatu sistem dapat beroperasi menentang fungsi-fungsi lainnya dalam suatu sistem sosial. Secara ekstrim penganut teori ini beranggapan bahwa semua peristiwa dan semua struktur adalah fungsional bagi suatu masyarakat.

C. Durkheim dalam Status Paradigma Sosial

(6)

bukanlah seorang Sosiolog melainkan seorang ahli ilmu alam. Konsep paradigma yang diperkenalkan Kuhn lalu dipopulerkan oleh Robert Friedrichs melalui bukunya Sociology of Sociology (1970).

Tujuan utama Kuhn dalam bukunya The Structure of Scientific Revolution itu adalah untuk menantang asumsi yang berlaku umum dikalangan ilmuwan mengenai perkembangan ilmu pengetahuan. Para ilmuwan beranggapan bahwa ilmu pengetahuan berkembang secara kumulatif, namun asumsi itu dianggap sebagai mitos oleh Kuhn, bagi Kuhn ilmu pengetahuan bukan terjadi secara kumulatif, tetapi secara revolusi. Kuhn melihat bahwa ilmu pengetahuan pada waktu tertentu didominasi oleh satu paradigma tertentu. Yakni suatu pandangan yang mendasar tentang apa yang menjadi pokok persoalan (subject matter) dari suatu cabang ilmu.4

Emile Durkehim adalah orang pertama yang mencoba melepaskan sosiologi dari dominasi kedua kekuatan yang mempengaruhinya itu. Durkheim berusaha untuk melepaskan sosiologi dari alam filsafat positif Auguste Comte untuk kemudian meletakan sosiologi ke atas dunia empiris. Paradigma Sosiologi sangat mirip dengan konsep exemplar dari Thomas Kuhn. Dalam edisi pertama bukunya Kuhn mendiskusikan keanekaragaman fenomena yang dapat tercakup dalam pengertian seperti : kebiasaan-kebiasaan nyata, keputusan-keputusan hukum yang diterima, hasil-hasil nyata perkembangan ilmu pengetahuan serta hasil-hasil penemuan ilmu pengetahuan yang diterima secara umum.

Nampaknya menurut Kuhn hasil-hasil perkembangan ilmu pengetahuan yang diterima secara umum inilah yang memperoleh kedudukan sebagai exemplar. Sebagai contoh, kedua hasil karya Durkheim mendapatkan pengakuan dan diterima secara umum dikalangan ilmuwan sosial sehingga menempati kedudukan

(7)

sebagai exemplar dalam paradigma sosiologi. Baik bagi paradigma fakta sosial maupun bagi paradigma definisi sosial. Demikian pula buah karya Max Weber tentang Social Action mendapatkan kedudukannya pula sebagai exemplar terhadap kedua paradigma yang disebut diatas. Sehingga Durkheim dan Weber memeroleh predikat sebagai ‚jembatan paradigma‛.

D. Teori Fakta Sosial

Perhatian Durkheim yang utama adalah bagaimana masyarakat dapat mempertahankan integritas dan koherensinya di masa modern, ketika hal-hal seperti latar belakang keagamaan dan etnik bersama tidak ada lagi. Untuk mempelajari kehidupan sosial di kalangan masyarakat modern, Durkheim berusaha menciptakan salah satu pendekatan ilmiah pertama terhadap fenomena sosial. Durkheim adalah salah satu orang pertama yang menjelaskan keberadaan dan sifat berbagai bagian dari masyarakat dengan mengacu kepada fungsi yang mereka lakukan dalam mempertahankan kesehatan dan keseimbangan masyarakat suatu posisi yang kelak dikenal sebagai fungsionalisme.

Durkheim juga menekankan bahwa masyarakat lebih daripada sekadar jumlah dari seluruh bagiannya. Jadi berbeda dengan rekan sezamannya, Max Weber, ia memusatkan perhatian bukan kepada apa yang memotivasi tindakan-tindakan dari setiap pribadi (individualisme metodologis), melainkan lebih kepada penelitian terhadap ‚fakta-fakta sosial‛, istilah yang diciptakannya

untuk menggambarkan fenomena yang ada dengan sendirinya dan yang tidak terikat kepada tindakan individu. Ia berpendapat bahwa fakta sosial mempunyai keberadaan yang independen yang lebih besar dan lebih objektif daripada tindakan-tindakan individu.

(8)

sosiologi pada kajian analisis tentang fakta sosial yang ia jelaskan dalam dua cara. Definisi pertama yang ia berikan pada fakta sosial adalah setiap cara atau arah tindakan yang mampu menggerakkan pada individu dari tekanan eksternal, seperti sistem keuangan, bahasa, dan tindakan yang lain. Kemudian ia menambahkan, setiap tindakan umum di dalam masyarakat. Hal tersebut meliputi institusi agama, tradisi kultural, dan kebiasaan regional. Durkheim dalam definisi di ini menggunakan paksaan sosial untuk mengidentifikasi alasan di balik tindakan-tindakan yang kemudian menjadi fakta sosial. Tingkat paksaan tersebut akan terasa berbeda-beda.

Paksaan sosial ini memegang kekuatan yang memaksa di atas individu. Definisi kedua Durkheim mengenai fakta sosial mengambil pendekatan yang lebih umum terhadap fakta sosial. Ini mengacu pada berbagai tindakan atau pandangan umum di dalam masyarakat sepanjang memenuhi ketentuan bahwa fakta tersebut jelas-jelas tidak tergantung pada individu. Fenomena tersebut juga mempunyai efek yang memaksa.

Penganut paradigma fakta sosial cenderung mempergunakan metode kuesioner dan interviu dalam penelitian empiris mereka. Walaupun kedua metode tersebut sebenarnya bukan monopoli paradigma ini. Metode observasi umpamanya ternyata tidak begitu cocok untuk studi fakta sosial`. Alasannya karena sebagian besar dari fakta sosial merupakan sesuatu yang dianggap sebagai barang sesuatu (a thing) yang nyata dan tidak dapat diamati secara langsung. Hanya dapat dipelajari melalui pemahaman (interpretative understanding). Selain dari itu metode observasi dinilai terlalu sempit dan kasar untuk tujuan penelitian fakta sosial. Informasi yang diperoleh melalui observasi selalu berbeda dengan informasi yang diperlukan oleh mereka yang menganut paradigma fakta sosial.

(9)

eksperimen juga ditolak pemakaiannya. Alasannya karena terlalu sempit untuk dapat meneliti fakta sosial yang memang bersifat makrokoskopik. Persoalan sosial yang makroskopik ini justru tidak mudah dipelajari dalam laboratorium dengan metode eksperimen.

James Coleman (1977) mengakui bahwa kuesioner dan interviu kurang membukakan jalan ke arah penemuan fakta sosial seperti yang semula diharapkan oleh penganut paradigma fakta sosial itu sendiri. Kedua metode itu menurutnya terlalu individual centrist. Kurang memperhatikan aspek antar hubungan individu yang justru merupakan substansi fakta sosial.

Selain itu, sumbangsinya dalam dunia penelitian sosiologi, Durkheim juga berpendapat mengenai hukum, bahwa dengan meningkatnya diferensiasi dalam masyarakat, reaksi kolektif yang kuat terhadap penyimpangan-penyimpangan menjadi berkurang di dalam sistem yang bersangkutan karena hukum yang bersifat represif mempunyai kecenderungan untuk berubah menjadi hukum yang restitutif. Artinya, yang terpokok adalah untuk mengembalikan kedudukan seseorang yang dirugikan ke keadaan semuala, yang merupakan hal yang penting di dalam menyelesaikan perselisihan-perselisihan atau sengketa-sengketa.5

E. Agama dalam dinamika Budaya Masyarakat

Dalam proses penyebaran agama, masyarakat biasanya menerima minimal tiga bentuk penilaian terhadap agama. Pertama, agama diterima sepenuhnya, kedua, agama diterima sebagian sebagian yang disesuaikan dengan kebutuhan seseorang atau kelompok orang. Ketiga, agama itu ditolak sama sekali. Ketiga sikap penerimaan itu juga terjadi di Indonesia.

Pada umumnya agama yang masuk akan mengalami proses penyesuaian dengan budaya yang telah ada. Ada kompromi nilai atau symbol antar agama

(10)

yang masuk dengan kebudayaan asal, yang menghasilkan bentuk baru dan berbeda dengan agama atau budaya asal. Prosesnpenyesuaian ini terjadi begitu saja dalam setiap proses pemaknaan di tengah masyarakat.

Dengan demikian, suatu agama yang masuk pada msyarakat tidak pernah bisa ditemukan sebagaimana bentuk aslinya secara utuh, selalu ada pelenturan nilai nilai (fluiditas). Pelenturan tersebut membuat symbol budaya bermetamorfosis dalam maknanya yang baru. Pelenturan ini terjadi karena manusia dan masyarakat bukan mesin fotocopy yang bisa dan mau menjiplak yang diterimanya, secara sadar dan tidak sadar.6

Kebudayaan yang berkembang dalam suatu masyarakat biasanya merupakan sumber acuan bagi mereka dalam merespon berbagai perubahan. Sistem kebudayaan tersebut akan menyeleksi perubarahan di tolak atau diterima oleh masyarakat.

Logika yang sama berlaku ketika kita membahas perihal agama masyarakat. Setiap keyakinan dan agama yang masuk akan diseleksi. Proses ini sebagai upaya memilah yang sesuai (tidak jauh berbeda) dan yang berlainan dengan budaya yang berkembang dimasyarakat, sebabnya adalah agama yang masuk merupakan agama yang dikemas dalam bungkus budaya tempat agama itu berasal. Seperti masuk nya Islam ke Indonesia yang di syiarkan oleh orang orang Arab, India dan Persia. Dalam hal ini terjadi pertautan antar kebudayaan penyebar agama Islam dengan kebudayaan penerima agama Islam (budaya lokal). Islam bisa diterima denganmudah bisa jadi karena kemiripan karakter budaya agama Islam dengan karakter budaya lokal pada waktu itu.

Dalam kasus seperti ini dapat disimpulkan bahwa prinsip ajaran agama Islam dapat mengakomodasikan nilai nilai budaya masyarakat lokal. Demikian

6 Dadang Kahmad , Sosiologi Agama, potret Agama dalam Dina mika konflik, Pluralisme dan

(11)

juga budaya masyarakat lokal dapat mengakomodasi nilai nilai ajaran Islam, sehingga terjadi sinergi antara keduanya.

Agama (termasuk Islam) mencakup sistem kepercayaan (Iman) yang diwujudkan dalam sistem perilaku sosial para pemeluknya. Agama berkaitan dengan pengalaman manusia, baik individu maupun kelompok sehingga setiap perilaku yang diperankan akan terkait dengan system keyakinan dari ajaran agama yang dianutnya. Perilaku individu dan sosial digerakkan oleh kekuatan dari dalam yang didasarkan pada nilai nilai ajaran agama yang menginternalisasi sebelumnya. Oleh karena itu, keagamaan yang bersifat subjektif, menjadi objektif dalam bentuk berbagai ungkapan dan ekspresi yang dapat dipahami.

Plato dalam hal ini juga menulis tentang pentingnya agama sebagai landasan moral bagi manusia. Menurutnya dalam upaya mengaktualisasikan diri, seseorang memerlukan panduan agama sebagai landasan moral. Agama dalam konsep Plato, tidak dapat dipisahkan dari dinamika kehidupan manusia. Dengan kata lain, agama sama sekali tidak terdikotomi dengan aspek kehidupan lainnya.7 Perspektif Plato ini menunjukan internalisasi agama dalam kehidupan baik secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi setiap tindakan yang dilakukannya.

Sedangkan Max Weber dalam Etika Protestannya, menerangkan bahwa agama merupakan spirit bagi kehidupan sosio kultural masyarakat. Ungkapan ini mengandung makna bahwa tindakan atau aksi sosial sangat ditentukan oleh nilai nilai essensial ajaran agama yang diyakini seseorang. Kondisi ini akan terstruktur dalam pola budaya masyarakat. Adapun nilai

nilai essensial yang dimaksud Weber tersebut adalah semangat pengabdian, ketundukan, kepatuhan, dan ketaatan. Sehingga agama disini bukan hanya simbol kepercayaan, tetapi juga menjadi sumber etos kerja bagi manusia.8 Perspektif

7 Sindung Haryanto, 2012

(12)

inilah yang ditemukan Weber dalam ajaran agama Protestan. Bahwa orientasi kesuksesan kehidupan duniawi merupakan citra keberhasilan kehidupan ukhrawi. Karena itulah etos kerja yang sangat tinggi dalam ajaran protestan harus diikuti dengan mewujudkan kehidupan asketis-sederhana, rajin beribadah, dan hidup hemat. Tidak aka nada ganjaran keselamatan dari Tuhan kecuali jika mereka sukses dan produktif dalama

kehidupan duniawinya. Sukses tidak ditentukan oleh takdir Tuhan tetapi oleh kerja keras manusia. Oleh karena itu kehidupan harus didedikasikan untuk efisiensi dan rasionalitas demi maksimalnya produktifitas mereka. Inilah yang menjadi basis nilai munculnya kapitalisme modern di Eropa.

E. Kesimpulan

Emile Durkehim adalah orang pertama yang mencoba melepaskan sosiologi dari dominasi kedua kekuatan yang mempengaruhinya itu. Durkheim berusaha untuk melepaskan sosiologi dari alam filsafat positif Auguste Comte untuk kemudian meletakan sosiologi ke atas dunia empiris. Durkheim berpendapat bahwa subyek kajian sosiologi harus dipersempit pada sebuah bidang yang dapat diuraikan guna membedakan sosiologi dengan studi sosial yang lain. Untuk itu, Durkheim mengusulkan bahwa harus membatasi sosiologi pada kajian analisis tentang fakta sosial yang ia jelaskan dalam dua cara.

Definisi pertama yang ia berikan pada fakta sosial adalah setiap cara atau arah tindakan yang mampu menggerakkan pada individu dari tekanan eksternal, seperti sistem keuangan, bahasa, dan tindakan yang lain. Kemudian ia menambahkan, setiap tindakan umum di dalam masyarakat. Hal tersebut meliputi institusi agama, tradisi kultural, dan kebiasaan regional.

(13)

dilanggar. Dari contoh tersebut bisa dilihat adanya cara bertinfak, berpikir dan berperasaan yang ada di luar individu (sekolah), yang bersifat memaksa dan mengendalikan si individu (murid).9

Bagi Durkheim teknik observasi dan interviu merupakan teknik analisis yang sistematis sebagai sebuah metode empiris. Fakta-fakta sosial yang menjadi kajian Durkheim adalah gejala yang mutlak yang terjadi di dalam masyarakat itu sendiri. Dan baginya individu adalah bagian dari masyarakat yang dipengaruhinya, masyarakatlah yang memaksa individu untuk ikut dalam tata norma masyarakat itu sendiri. Meskipun terkkesan terpaksa, namun ini merupakan sebuah kenyataan dan fakta sosial yang ia temui saat ia meneliti masyarakat-masyarakat. Pengaruh keluarga, pendidikan dan teman, secara langsung maupun tidak langsung telah memengaruhi pemikirannya dalam meneliti dan menafsirkan kejadian atau fakta yang ada di masyarakat itu.

(14)

DAFTAR PUSTAKA

Dadang Kahmad, 2000, Sosiologi Agama, Bandung : Remaja, Rosda Karya

Imam Muhni, Djuretna A. 1994. Moral dan Religi Menurut Emile Durkheim & Henry Bergson. Yogyakarta: Kanisius

Ritzer George, 2011. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Soekanto Soerjono, 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Dadang Kahmad,2011, Sosiologi Agama, potret Agama dalam Dinamika konflik, Pluralisme dan Modernitas, Bandung, CV Pustaka Setia

Sindung Haryanto, 2012

Pip Jones, 2010, pengantar Teori Teori Sosial, Jakarta, Yayasan Obor

Maryati Kun dan Suryawati Juju, 2004. Sosiologi SMA kelas X. Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama, Erlangga.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil tersebut sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh Chu (2012), yaitu karies dentin yang aktif setelah 24 bulan diberi DHE dan SDF (kelompok perlakuan), pada kelompok DHE

First is KRS (study plan card) and KHS (study result card) via online. This service has been given since the announcement of lecture schedule, students enter what courses

Selain itu hal lain yang ingin dicapai adalah tersedianya pemetaan pegawai terutama yang terkait dengan kompetensi pegawai yang dapat dimonitor dan diupdate setiap saat oleh

Hasil penelitian di kabupaten Pemalang menunjukkan (1) perkembangan penerimaan retribusi pasar daerah di Kabupaten Pemalang sudah efektif, mencapai efisiensi dan mengalami

Jika panjang kunci lebih pendek daripada panjang plainteks, maka kunci diulang secara periodik[6] Secara matematis enkripsi dan dekripsi karakter cipherteks didapat dengan rumus [2]

Kajian ini telah menjelaskan asal usul dari mana lahirnya tingkah laku beragama yang dizahirkan oleh manusia dalam setiap hari malah setiap masa dilakukan

Terlihat jelas bahwa kepercayaan merupakan faktor penting bagi konsumen agar tidak mudah berpindah ke produk lain.Maka dari itu, perusahaan Iphone Apple harus memikirkan

angkutan umum terbatas pada daerah yang ramai dengan kegiatan ekonomi seperti Alun-alun, Pasar Kebonpolo, Pasar Tidar, dan Terminal Tidar, sehingga kota Magelang berkembang