i ABSTRAK
KEKERASAN SIMBOLIK DALAM PERNIKAHAN DINI STUDI DESKRIPTIF PADA PERNIKAHAN DINI DI DESA MEDAN SINEMBAH KECAMATAN TANJUNG
MORAWA KABUPATEN DELI SERDANG
Pernikahan dini merupakan sebuah perkawinan dibawah umur yang target persiapannya belum dikatakan maksimal secara persiapan fisik, persiapan mental, juga persiapan materi. Kekerasan simbolik terjadi dalam ruang-ruang sosial kehidupan masyarakat keseharian, tetapi mereka yang terkena kekerasan simbolik tidak merasakannya, karena itu dianggap sah, sebagai bagian dari tugas dan pekerjaan orang bawahan, yang dikuasai dan yang diperintah. Hal ini sering terjadi di hubungan pernikahan dini antara pasangan atau antara pihak keluarga dalam menilai pasangan pernikahan dini di masyarakat tetapi tidak diketetahui oleh mereka bahwa hal yang mereka alami adalah salah satu bagian dari kekerasan simbolik. Hal ini terjadi karena masyarakat kita pada umumnya masih memiliki paham atau budaya patriarki. Dengan ini peneliti akan melihat bagaimana praktik kekerasan simbolik dalam pernikahan dini di Desa Medan Sinembah Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang.
Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif survei kuantitatif. Dengan sumber data dari kuesioner dan wawancara terstruktur yang diisi oleh para pelaku pernikahan dini dengan syarat minimal sudah berumah tangga minimal 5 tahun. Metode pengumpulan sampel menggunakan Total Sampling dengan total sampel 50 orang yang terdiri dari 31 orang perempuan/istri pelaku pernikahan dini, 19 orang laki-laki/suami pelaku pernikahan dini. Untuk wawancara terstruktur juga dilakukan kepada para pelaku pernikahan dini, 2 orang staf pemerintahan desa dan 1 orang tokoh agama. Analisis data dilakukan dengan menggunakan teknik analisis tabel tunggal.
Dari hasil penelitian yang dilakukan, sebagaian besar para pelaku pernikahan dini mengalami kekerasan simbolik akibat adanya budaya patriarki dan dominasi maskulin yang dilakukan oleh pihak laki-laki pada perempuan. Hal ini membatasi akses dari perempuan untuk dapat memiliki kedudukan dan kesetaraan yang sama antara posisi laki-laki dan perempuan. Kebiasaan ini sudah menjadi sebuah pemikiran yang umum di kalangan masyarakat tentang perempuan sebagai kelas kedua setelah laki-laki yang berada di kelas pertama. Dalam fenomena sosial berkaitan dengan faktor sosial budaya dalam masyarakat patriarki yang bias gender, yang menempatkan perempuan pada posisi yang rendah dan hanya dianggap pelengkap seks laki-laki saja. Dalam penelitian ini, kekerasan simbolik yang dialami perempuan kadangkala tidak dipahami sebagai sebuah kekerasan sebab kekerasan yang tidak terlihat secara fisik. Fenomena pernikahan di usia anak-anak menjadi kultur masyarakat Indonesia yang masih memposisikan anak perempuan sebagai warga kelas ke-2. Para orang tua ingin mempercepat perkawinan dengan berbagai alasan ekonomi, sosial, anggapan tidak penting pendidikan bagi anak perempuan dan stigma negatif terhadap status perawan tua. Jika hal ini terus berlanjut di masyarakat, kondisi ini hanya akan melestarikan budaya patriarki yang bias gender yang akan melahirkan kekerasan terhadap perempuan.
Kata Kunci : Kekerasan Simbolik, Pernikahan Dini, Dominasi Maskulin, Budaya Patriarki