• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perjanjian Sewa Tanah Perkebunan Kelapa Sawit ( Studi Kasus di Kampung Harapan Bagan Sinembah Riau )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perjanjian Sewa Tanah Perkebunan Kelapa Sawit ( Studi Kasus di Kampung Harapan Bagan Sinembah Riau )"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN UMUM TENTANG PERJANJIAN SEWA

A. Pengertian Perjanjian Sewa

Perjanjian sewa merupakan bagian dari jenis-jenis perjanjian, maka terlebih dahulu perlu sedikit dibahas mengenai perjanjian pada umumnya.

Perjanjian menurut ketentuan pasal 1233 KUHPdt, perikatan dapat timbul baik karena perjanjian maupun karena undang-undang.Dari ketentuan pasal ini dapat diketahui bahwa sumber perikatan itu adalah perjanjian dan undang-undang.

Dalam perikatan yang timbul karena perjanjian, pihak-pihak dengan sengaja dan bersepakat saling mengikatkan diri, dalam perikatan mana timbul hak dan kewajiban pihak-pihak yang perlu diwujudkan.Hak dan kewajiban ini berupa prestasi.Pihak debitur berkewajiban memenuhi prestasi dan pihak kreditur berhak atas prestasi.

Dalam perikatan yang timbul karena perjanjian ini, kedua belah pihak, yaitu debitur dan kreditur selalu bertindak aktif untuk mewujudkan prestasi itu.Jika salah satu pihak tidak aktif, sulitlah prestasi itu diwujudkan.Prestasi adalah tujuan pihak-pihak mengadakan perikatan.

(2)

sengaja dan menyatakan kesediaannya menerima hadiah itu. Persetujuan itu lahir sejak penerima menyatakan bersedia menerima atau dengan perbuatannya ia menerima hadiah itu.

Perjanjian yang dibuat itu dapat berbentuk kata-kata secara lisan, dapat pula dalam bentuk tertulis berupa suatu akta.Perjanjian yang dibuat secara tertulis (akta) biasanya untuk kepentingan pembuktian, misalnya polis pertanggungan.

Apabila diperhatikan perumusan perjanjian tersebut di atas tadi, dapat disimpulkan unsur-unsur perjanjian itu seperti berikut ini:

a) Ada pihak-pihak, sedikit-dikitnya dua orang

Pihak-pihak ini disebut subyek perjanjian.Subyek perjanjian ini dapat berupa manusia pribadi dan badan hukum.Subyek perjanjian ini harus mampu atau wenang melakukan perbuatan hukum seperti yang ditetapkan dalam undang-undang.

b) Ada persetujuan antara pihak-pihak

(3)

c) Ada tujuan yang akan dicapai

Tujuan mengadakan perjanjian terutama untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak itu, kebutuhan mana hanya dapat dipenuhi jika mengadakan perjanjian dengan pihak lain. Tujuan itu sifatnya tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan tidak dilarang oleh undang-undang.

d) Ada prestasi yang akan dilaksanakan

Dengan adanya persetujuan, maka timbullah kewajiban untuk melaksanakan suatu prestasi.Prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak sesuai dengan syarat-syarat perjanjian, misalnya pembeli berkewajiban membayar harga barang dan penjual berkewajiban menyerahkan barang.Dalam hukum Anglo Saxon (Inggris) prestasi ini disebut dengan istilah “consideration”.

e) Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan

(4)

f) Ada syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian.

Syarat-syarat tertentu ini sebenarnya sebagai isi perjanjian, karena dari syarat-syarat itulah dapat diketahui hak dan kewajiban pihak-pihak. Syarat-syarat ini biasanya terdiri dari syarat pokok yang akan menimbulkan hak dan kewajiban pokok, misalnya mengenai barangnya, harganya; dan juga syarat pelengkap atau tambahan, misalnya mengenai cara pembayarannya, cara penyerahannya, dan lain-lain. Jika semua unsur ini dihubungkan dengan ketentuan pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat-syarat sah perjanjiian, sehingga dapat disimpulkan beberapa syarat-syarat sebagai berikut :

1. Syarat ada persetujuan kehendakantara pihak-pihak meliputi unsur-unsur persetujuan, syarat-syarat tertentu, bentuk tertentu.

2. Syarat kecakapan pihak-pihakmeliputi unsur pihak-pihak dalam perjanjian.

3. Syarat-syarat perjanjian pertama dan kedua ini disebut syarat subyektif.Jika syarat subyektif ini tidak dipenuhi, perjanjian itu dapat dibatalkan (voidable).

4. Ada hal tertentu, sebagai pokok perjanjian, sebagai obyek perjanjian, baik berupa benda maupun berupa suatu prestasi tertentu. Obyek itu dapat berwujud dan tidak berwujud.

(5)

keempat ini disebut syarat obyektif.Apabila syarat obyektif ini tidak dipenuhi, perjanjian itu batal (void).

Selanjutnya membahas tentang pengertian sewa-menyewa menurut para ahli diantaranya yaitu :

A. Menurut M.Yahya Harahap

Menyatakan sewa-menyewa (huur en verhuur) adalah persetujuan antara pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa.Pihak yang menyewakan atau pemilik menyerahkan barang yang hendak di sewa kepada pihak penyewa untuk “dinikmati” sepenuhnya (volledige genot).

Dari rumusan pengertian diatas dapat kita lihat, bahwa sewa-menyewa merupakan:

- Suatu persetujuan antara pihak yang menyewakan (pada umumnya pemilik barang) dengan pihak penyewa.

- Pihak yang menyewa menyerahkan sesuatu barang kepada si penyewa untuk sepenuhnya dinikmati (volledige genot).

- Penikmatan berlangsung untuk suatu jangka waktu tertentu dengan pembayaran sejumlah harga sewa yang tertentu.

(6)

sejumlah harga atas barang yang disewanya.Tegasnya, hanya sepihak saja yang menyewakan.Bukan saling sewa-menyewakan antara mereka. Karena itu yang dimaksud dengan sewa-menyewa dalam pasal 1548BW tersebut tiada lain daripada persewaan saja.

B. Menurut Prof.R.Subekti

Sewa menyewa adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari sesuatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga yang oleh pihak yang tersebut terakhir itu disanggupi pembayarannya.Demikianlah definisi yang diberikan oleh pasal 1548 B.W. mengenai perjanjian sewa-menyewa.

Sewa-menyewa, seperti halnya dengan jual-beli dan perjanjian-perjanjian lain pada umumnya, adalah suatu perjanjian konsensual.Artinya, ia sudah sah dan mengikat pada detik tercapainya sepakat mengenai unsure-unsur pokoknya, yaitu barang dan harga.

Kewajiban pihak yang satu adalah menyerahkan barangnya untuk dinikmati oleh pihak yang lain, sedangkan kewajiban pihak yang terakhir ini adalah membayar “harga sewa”. Jadi barang diserahkan tidak untuk dimiliki seperti halnya dalam jual-beli, tetapi hanya untuk dipakai, dinikmati kegunaannya.Dengan demikian maka penyerahan hanya bersifat menyerahkan kekuasaan belaka atas barang yang disewa itu.

(7)

perjanjian sewa-menyewa sebenarnya tidak perlu disebutkan untuk berapa lama barang disewanya, asal sudah disetujui berapa harga sewanya untuk satu jam (misalnya sewa mobil), satu hari, satu bulan atau satu tahun. Ada yang menafsirkan bahwa maksudnya tidaklah lain dari pada untuk mengemukakan bahwa pembuat undang-undang memang memikirkan pada perjanjian sewa-menyewa dimana waktu sewa ditentukan, misalnya untuk enam bulan, untuk dua tahun dan sebagainya. Dan penafsiran yang sedemikian itu menurut pendapat kami memang tepat.Suatu petunjuk dapat terdapat dalam pasal 1579, yang hanya dapat kita mengerti dalam alam-pikiran yang dianut oleh seorang yang pikirannya tertuju pada perjanjian sewa-menyewa dimana waktu-sewa itu ditentukan.Pasal tersebut berbunyi: “pihak yang menyewakan tidak dapat menghentikan sewanya dengan menyatakan hendak memakai sendiri barangnya yang disewakan, kecuali jika telah diperjanjikan sebaliknya”. Teranglah bahwa pasal ini ditujukan dan juga hanya dapat dipakai terhadap perjanjian sewa-menyewa dengan waktu tertentu. Memang sudah selayaknya bahwa seorang yang sudah menyewakan barangnya misalnya untuk lima tahun, tidak boleh menghentikan sewanya kalau waktu tersebut belum habis, dengan dalih bahwa ia ingin memakai sendiri barang yang disewakan itu. Tetapi kalau ia menyewakan barangnya tanpa ditetapkannya suatu waktu tertentu, sudah barangtentu ia berhak menghentikan sewa itu setiap waktu asal ia mengindahkan cara-cara dan jangka-waktu yang diperlukan untuk pemberitahuan pengakhiran sewa menurut kebiasaan setempat.

(8)

mengenai semua jenis barang, baik bergerak maupun tak bergerak, baik yang memakai waktu tertentu maupun yang tidak memakai waktu tertentu, oleh karena “waktu tertentu” bukan syarat mutlak untuk perjanjian sewa-menyewa.

Sewa-menyewa diatur dalam pasal 1548 sampai dengan pasal 1600 KUH Perdata. Sewa-menyewa adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kenikmatan suatu barang kepada pihak lain selama waktu tertentu, dengan pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh pihak yang terakhir itu (Pasal 1548 KUHPerdata). Definisi lainnya menyebutkan bahwa perjanjian sewa-menyewa adalah “Persetujuan untuk pemakaian sementara suatu benda, baik bergerak maupun tidak bergerak, dengan pembayaran suatu harga tertentu.”

Pada dasarnya sewa-menyewa dilakukan untuk waktu tertentu, sedangkan sewa-menyewa tanpa waktu tertentu tidak diperkenankan. Persewaan tidak berakhir dengan meninggalnya orang yang menyewakan atau penyewa. Begitu juga karena barang yang disewakan dipindahtangankan.Disini berlaku asas bahwa jual beli tidak memutuskan sewa-menyewa.

B. Pengertian Perjanjian Sewa Tanah Pertanian Dasar Hukum Perjanjian Sewa Menyewa

(9)

waktu tertentu maupun yang tidak memakai waktu tertentu, oleh karena waktu tertentu bukan merupakan syarat mutlak dalam perjanjian sewa menyewa.

Di samping itu, bagi perjanjian sewa menyewa ini berlaku juga ketentuan tentang perjanjian pada umumnya, sebagaimana yang tercantumkan dalam Bab Kedua dari Buku III KUH Perdata.

Bab VII dari Buku III KUH Perdata terdiri dari empat (4) bagian, yaitu: Bagian I : Ketentuan Umum

Bagian I Buku III KUH Perdata ini terdapat pasal yang didalamnya merupakan pengertian dari perjanjian, yang terdiri dari para pihak yg mengikatkan diri karena pihak yang satu memberikan kenikmatan dan ketenteraman kepada pihak lainnya atas suatu barang dengan pembayaran suatu nilai harga sewa yang disanggupi oleh pihak yang menyewa.

Bagian II : Tentang aturan-aturan yang sama-sama berlaku terhadap penyewaan rumah dan penyewaan tanah.

Bagian II Buku III KUH Perdata, mengatur tentang aturan-aturan yang sama-sama berlaku terhadap penyewaan rumah dan penyewaan tanah. Maksudnya pada bagian ini ditetapkannya apa yang diwajibkan oleh dari masing-masig pihak penyewa dan yang menyewakan.

(10)

Bagian III Buku III KUH Perdata, mengatur tentang aturan yang khusus berlaku bagi sewa rumah dan perabot rumah. Pada bagian ini terdapat tujuh Pasal yang di mana dimulai dari Pasal 1581 sampai Pasal 1587.

Bagian IV : Tentang aturan-aturan yang khusus berlaku bagi sewa menyewa tanah. Bagian IV Buku III KUH Perdata, mengatur tentang Tentang aturan-aturan yang khusus berlaku bagi sewa menyewa tanah. Pada bagian ada sebelas (11) pasal yang dimulai dari Pasal 1588 samapai pada Pasal 1600.

C. Isi dan Syarat Sahnya Perjanjian Sewa 1) Syarat sah yang umum, yang terdiri dari :

a) Syarat sah umum berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata, yang terdiri dari : i. Kesepakatan kehendak;

ii. Wenang berbuat; iii. Perihal tertentu; dan iv. Kausa yang legal

b) Syarat sah umum di luar Pasal 1338 dan 1339 KUH Perdata, yang terdiri dari :

i. Syarat itikad baik;

ii. Syarat sesuai dengan kebiasaan; iii. Syarat sesuai dengan kepatutan;

(11)

(2) Syarat sah yang khusus, yang terdiri dari :

a. Syarat tertulis untuk kontrak-kontrak tertentu; b. Syarat akta notaris untuk kontrak-kontrak tertentu;

c. Syarat akta pejabat tertentu (yang bukan notaris) untuk kontrak-kontrak tertentu;

d. Syarat izin dari yang berwenang.

Yang merupakan konsekuensi hukum dari tidak terpenuhinya salah satu atau lebih dari syarat-syarat sahnya kontrak tersebut bervariasi mengikuti syarat mana yang dilanggar. Konsekuensi hukum tersebut adalah sebagai berikut :

1) Batal demi hukum (nietig, null and void), misalnya dalam hal dilanggarnya syarat objektif dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Syarat objektif tersebut adalah :

a. Perihal tertentu, dan b. Kausa yang legal.

2) Dapat dibatalkan (Vernietigbaar, voidable), misalnya dalam hal tidak terpenuhi syarat subjektif dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Syarat subjektif tersebut adalah :

a. Kesepakatan kehendak, dan b. Kecakapan berbuat.

c. Kontrak tidak dapat dilaksanakan (Unenforceable)

(12)

adalah bahwa kontrak yang tidak dapat dilaksanakan masih mungkin dikonversi menjadi kontrak yang sah. Sedangkan bedanya dengan kontrak yang dapat dibatalkan (voidable) adalah bahwa dalam kontrak yang dapat dibatalkan, kontrak tersebut sudah sah, mengikat dan dapat dilaksanakan sampai dengan dibatalkan kontrak tersebut, sementara kontrak yang tidak dapat dilaksanakan belum mempunyai kekuatan hukum sebelum dikonversi menjadi kontrak yang sah.

Contoh kontrak yang jika dapat dilaksanakan adalah kontrak yang seharusnya dibuat secara tertulis, tetapi dibuat secara lisan, tetapi kemudian kontrak tersebut ditulis oleh para pihak.

4) Sanksi administratif

Ada juga syarat kontrak yang apabila tidak dipenuhi hanya mengakibatkan dikenakan sanksi administrative saja terhadap salah satu pihak atau kedua belah pihak dalam kontrak tersebut.Misalnya apabila terhadap suatu kontrak memerlukan izin atau pelaporan terhadap instansi tertentu, seperti izin/pelaporan kepada Bank Indonesia untuk suatu kontrak offshore loan.

(13)

a. Ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak yang membuat perjanjian (consensus);

b. Ada kecakapan pihak-pihak untuk membuat perjanjian (capacity); c. Ada suatu hal tertentu (a certain subject matter);

d. Ada suatu sebab yang halal (legal cause).

Perlu diperhatikan bahwa perjanjian yang memenuhi syarat menurut undang-undang, diakui oleh hukum. Sebaliknya perjanjian yang tidak memenuhi syarat tidak akan diakui oleh hukum, walaupun diakui oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Karena itu selagi pihak-pihak mengakui dan mematuhi perjanjian yang mereka buat walaupun tidak memenuhi syarat, perjanjian itu berlaku antara mereka. Apabila sampai suatu ketika ada pihak yang tidak mengakuinya lagi, maka hakim akan membatalkan atau menyatakan perjanjian itu batal.

Mengenai persetujuan kehendak, adalah kesepakatan seia sekata antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian yang dibuat itu.Pokok perjanjian itu berupa obyek perjanjian dan syarat-syarat perjanjian.Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbale balik. Dengan demikian persetujuan disini sifatnya sudah mantap, tidak lagi dalam perundingan.

(14)

Dikatakan tidak ada kehilafan atau kekeliruan atau kesesatan, apabila salah satu pihak tidak hilaf tentang hal yang pokok yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat penting barang yang menjadi obyek perjanjian, atau mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian itu. Kehilafan itu harus sedemikian rupa sehingga seandainya orang itu tidak hilaf mengenai hal itu, ia tidak akan menyetujuinya.

Yang terakhir ialah mengenai tidak adanya penipuan.Dikatakan tidak ada penipuan, apabila tidak ada tindakan menipu menurut arti undang-undang (pasal 378 KUHP).Dikatakan menipu menurut pengertian undang-undang ialah dengan sengaja melakukan tipu muslihat, dengan memberikan keterangan palsu dan tidak benar untuk membujuk pihak lawannya supaya menyetujui (pasal 1328 KUHPdt). Mengenai kecakapan pihak-pihak. Pada umumnya orang itu dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum, apabila ia sudah dewasa, artinya sudah mencapai umur 21 tahun atau sudah kawin walaupun belum 21 tahun. Menurut ketentuan pasal 1330 KUHPdt, dikatakan tidak cakap membuat perjanjian ialan orang yang belum dewasa, orang yang ditaruh dibawah pengampuan, dan wanita bersuami.Mereka ini apabila melakukan perbuatan hukum harus diwakili oleh wali mereka, dan bagi isteri ada izin suaminya.Menurut hukum nasional Indonesia sekarang, wanita bersuami sudah dinyatakan cakap melakukan perbuatan hukum, jadi tidak perlu lagi izin suaminya.Perbuatan hukum yang dilakukan isteri itu sah menurut hukum dan tidak dapat dimintakan pembatalan kepada hakim.

(15)

mendapat kuasa dari pihak ketiga untuk melakukan perbuatan hukum tertentu, dalam hal ini membuat perjanjian. Dikatakan tidak ada kewenangan, apabila tidak mendapat kuasa untuk itu.

Akibat hukum ketidakcakapan/ketidakwenangan membuat perjanjian ialah bahwa perjanjian yang telah dibuat itu dapat dimintakan pembatalannya kepada hakim (voidable).Jika pembatalan itu tidak dimintakan oleh pihak yang berkepentingan, maka perjanjian itu tetap berlaku bagi pihak-pihak.

Dalam hal mengenai suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian, merupakan prestasi yang perlu dipenuhi dalam suatu perjanjian, merupakan obyek perjanjian.Prestasi itu harus tertentu atau sekurang-kurangnya dapat ditentukan.Apa yang diperjanjikan harus cukup jelas, ditentukan jenisnya, jumlahnya boleh tidak disebutkan asal dapat dihitung atau ditetapkan.

Syarat bahwa prestasi itu harus tertentu atau dapat ditentukan, gunanya ialah untuk menetapkan hak dan kewajiban kedua belah pihak, jika timbul perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian.Jika prestasi itu kabur, sehingga perjanjian itu tidak dapat dilaksankan, maka dianggap tidak ada obyek perjanjian. Akibat tidak dipenuhi syarat ini, perjanjian itu batal demi hukum (void,nietig).

(16)

perjanjian, melainkan sebab dalam arti “isi perjanjian itu sendiri”, yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh pihak-pihak.

Undang-undang tidak memperdulikan apa yang menjadi sebab orang mengadakan perjanjian. Yang diperhatikan atau diawasi oleh undang-undang ialah “isi perjanjian itu”, yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai, apakah dilarang oleh undang-undang atau tidak, apakah bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan atau tidak.

Menurut undang-undang, causa atau sebab itu halal apabila tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan (pasal 1337 KUHPdt).Akibat hukum perjanjian yang berisi causa yang tidak halal ialah bahwa perjanjian itu batal demi hukum (void, nietig).Dengan demikian tidak ada dasar untuk menuntut pemenuhan perjanjian di muka hakim, karena sejak semula dianggap tidak pernah ada perjanjian. Demikian juga apabila perjanjian yang dibuat itu tanpa causa atau sebab, ia dianggap tidak pernah ada (pasal 1335 KUHPdt).

D. Prestasi dan Wanprestasi Prestasi

(17)

Prestasi adalah sesuatu yang wajib dipenuhi oleh debitor dalam setiap perikatan. Dengan kata lain, prestasi adalah objek perikatan. Dalam hukum perdata, kewajiban memenuhi prestasi selalu disertai jaminan harta kekayaan debitor. Dalam pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata, dinyatakan bahwa semua harta kekayaan debitor, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan pemenuhan utangnya terhadap kreditor. Akan tetapi, jaminan kreditor umum ini dapat dibatasi dengan jaminan khusus berupa benda tertentu yang diterapkan dalam perjanjian antara pihak-pihak.

Bentuk-bentuk prestasi berdasarkan ketentuan Pasal 1234 KUHPerdata adalah:

a) Memberikan sesuatu; b) Berbuat sesuatu; c) Tidak berbuat sesuatu.

Pasal 1235 ayat (1) KUHPerdata, peringatan pemberian sesuatu adalah menyerahkan kekuasaan yang real atau suatu benda dari debitur kepada kreditur, misalnya dalam perjanjian jual beli, perjanjian sewa-menyewa, perjanjian hibah, perjanjian gadai dan perjanjian utang piutang. Dalam perikatan yang objeknya “berbuat sesuatu”, debitur wajib melakukan perbuatan tertentu yang telah ditetapkan dalam perikatan, misalnya melakukan perbuatan menyita jaminan, membongkar bangunan, mendirikan, melelang jaminan dan sebagainya.

(18)

debitur harus mematuhi semua ketentuan dalam perikatan dan bertanggung jawab apabila terdapat perbuatan yang menyimpang dari ketentuan perikatan.

Prestasi lainnya adalah “tidak berbuat sesuatu”, artinya debitur bersikap pasif karena telah ditetapkan dalam perikatan. Apabila debitur melakukan perbuatan tertentu yang seharusnya tidak diperbuat, ia dinyatakan telah melanggar perikatan, misalnya debitor tidak boleh menggunakan uang hasil pinjamannya untuk kegiatan yang bersifat konsumtif dan pemborosan, seperti berjudi, bisnis trading, valuta asing dan berfoya-foya untuk belanja kebutuhan pribadi yang tidak diperlukan. Jika perbuatan tersebut dilakukan, secara otomatis, debitur telah melanggar ketentuan perikatan.

Dengan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa prestasi dalam arti memberikan sesuatu adalah memberikan semua hak milik dari debitor kepada kreditor.Prestasi dalam arti berbuat sesuatu adalah tidak memberikan semua hak milik dan perbuatannya tidak termasuk memberikan sesuatu.Prestasi dalam arti tidak berbuat sesuatu adalah lawan dari wanprestasi atau ingkar janji.

Kitab Undang-undang Hukum Perdata sangat menekankan sekali pada pentingnya penentuan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak yang berkewajiban.Kewajiban untuk memberikan sesuatu, melakukan sesuatu dan atau untuk tidak melakukan sesuatu tersebut disebut dengan prestasi.

Pada prinsipnya, jika kita perhatikan lebih lanjut rumusan yang diatur dalam: 1. Pasal 1236 Bagian 2 Bab I Buku III, dibawah judul Perikatan untuk

(19)

membawa dirinya dalam keadaan tidak mampu untuk menyerahkan kebendaannya atau telah tidak merawatnya sepatutnya guna menyelamatkannya”;

2. Pasal 1239 Bagian 3 Bab I Buku III, dibawah judul Perikatan untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu, yang berbunyi “ Tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, apabila kreditur tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya dalam kewajiban memberikan penggantian biaya, rugi, dan bunga”; dan

3. Pasal 1240 Bagian 3 Bab I Buku III, yang mengatakan bahwa “Dalam pada itu, kreditur berhak menuntut penghapusan segala sesuatu yang telah dibuat berlawanan dengan perikatan dan bolehlah ia minta supaya dikuasakan oleh Hakim untuk menyuruh menghapuskan segala sesuatu yang telah dibuat itu atas biaya debitur; dengan tidak mengurangi hak menuntut penggantian biaya, kerugian dan bunga, jika ada alas an untuk itu”,

(20)

Sifat-sifat Prestasi

Prestasi itu adalah esensi daripada perikatan.Apabila esensi ini tercapai dalam arti dipenuhi oleh debitur, maka perikatan itu berakhir.Supaya esensi itu dapat tercapai, artinya kewajiban itu dipenuhi oleh debitur, maka perlu diketahui sifat-sifatnya.

Sifat-sifat prestasi itu adalah:

i. Harus sudah tertentu atau dapat ditentukan; ii. Harus mungkin;

iii. Harus diperbolehkan (halal);

iv. Harus ada manfaatnya bagi kreditur;

v. Bisa terdiri dari satu perbuatan atau serentetan perbuatan.

vi. Jika salah satu atau semua ini tidak dipenuhi pada prestasi itu, maka perikatan itu dapat menjadi tidak berarti, dan perikatan itu menjadi batal atau dapat dibatalkan.

Wanprestasi

Wanprestasi berasal dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda “wanprestatie”, artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan, baik perikatan yang timbul karena perjanjian maupun perikatan yang timbul karena undang-undang. Tidak dipenuhinya kewajiban itu ada dua kemungkinan alasannya yaitu:

(21)

b. Karena keadaan memaksa (force majure), jadi di luar kemampuan debitur, debitur tidak bersalah.

Wanprestasi adalah suatu istilah yang menunjuk pada ketiadalaksanaan prestasi oleh debitor. Bentuk ketiadalaksanaan ini dapat terwujud dalam beberapa bentuk, yaitu:

1. Debitur sama sekali tidak melaksanakan kewajibannya;

2. Debitur tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana mestinya atau melaksanakan kewajibannya tetapi tidak sebagaimana mestinya;

3. Debitur tidak melaksanakan kewajibannya pada waktunya; 4. Debitur melakukan sesuatu yang tidak diperbolehkan.

Wanprestasi tersebut dapat terjadi karena kesengajaan debitur untuk tidak mau melaksanakannya, maupun karena kelalaian debitur untuk tidak melaksanakannya. Dalam hal debitur memang secara sengaja tidak mau melaksanakannya, maka sesungguhnya ketentuan yang diatur dalam Pasal 1236 dan Pasal 1239.

Oleh karena tidak mungkin debitur dapat dipaksa untuk melakukan segala sesuatu yang tidak mau dilaksanakan olehnya.Terhadap ketentuan ini, maka berlakulah ketentuan Pasal 1311 KUHPerdata secara umum. Dalam hal debitur memiliki lebih dari dua kreditur, maka Pasal 1132 KUHPerdata jo. Pasal 1133 KUHPerdata akan berlaku dalam hal ini.

(22)

Undang-Undang, selama dan sepanjang persyaratan tentang kepailitan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Kepailitan telah dipenuhi.

Seorang debitur yang lalai, yang melakukan “wanprestasi” dapat digugat di depan hakim dan hakim akan menjatuhkan putusan yang merugikan pada tergugat itu. Kelalaian ini harus dinyatakan secara resmi, yaitu dengan peringatan/sommatie oleh juru sita di pengadilan atau cukup dengan surat tercatat atau kawat, supaya tidak mudah dipungkiri oleh si berhutang sebagaimana diatur dalam pasal 1238 KUH Perdata, dan peringatan tersebut harus tertulis.

Tindakan wanprestasi membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk memberikan ganti rugi, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan karena wanprestasi tersebut.

Tindakan wanprestasi ini dapat terjadi karena : 1. Kesengajaan

2. Kelalaian

3. Tanpa kesalahan (tanpa kesengajaan atau kelalaian)

(23)

Di samping itu, apabila seseorang telah tidak melaksanakan prestasinya sesuai ketentuan dalam kontrak, maka pada umumnya (dengan beberapa perkecualian) tidak dengan sendirinya dia telah melakukan wanprestasi. Apabila tidak ditentukan lain dalam kontrak atau dalam undang-undang, maka wanprestasinya si debitur resmi terjadi setelah debitur dinyatakan lalai oleh kreditur (ingebrekestelling) yakni dengan dikeluarkannya “akta lalai” oleh pihak kreditur (lihat Pasal 1238 KUH Perdata).

Stelsel dengan akta lalai ini adalah khas dari Negara-negara yang tunduk kepada Civil Law seperti Prancis, Jerman, Belanda dan karenanya juga Indonesia. Sementara di Negara-negara yang berlaku sistem Common Law, seperti Inggris dan Amerika Serikat, pada prinsipnya tidak memberlakukan stelsel akta lalai ini. Dalam praktek akta lalai ini sering disebut dengan:

- Somasi (Indonesia)

- Sommatie (Belanda)

- Sommation (Inggris)

- Notice of Default (Inggris)

- Mahnung (Jerman dan Swiss)

- Einmahnung (Austria)

- Mise en demeure (Prancis)

Namun demikian, bahkan di Negara-negara yang tunduk kepada Civil Law sendiri, akta lalai tidak diperlukan dalam hal-hal tertentu, yaitu dalam hal-hal sebagai berikut:

(24)

2. Debitur sama sekali tidak memenuhi prestasi. 3. Debitur keliru memenuhi prestasi.

4. Ditentukan dalam undang-undang bahwa wanprestasi terjadi demi hukum (misalnya Pasal 1626 KUH Perdata).

Referensi

Dokumen terkait

Saaldi Syukri Hasibuan : Kontribusi Anak Dalam Membantu Ekonomi Keluarga Petani Kelapa Sawit..., 2005... Saaldi Syukri Hasibuan : Kontribusi Anak Dalam Membantu Ekonomi Keluarga

Hal ini sesungguhnya disebabkan oleh ketiadaan panduan mekanisme pengambialihan tanah hak ulkayat yang sesuai dengan hukum adat, sistem perwamilan komuniats adat