• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Pekerjaan Orang Tua terhadap Perkembangan Anak pada Keluarga Pemulung di Desa Tapian Nauli Lingkungan IX Kelurahan Sunggal Kecamatan Medan Sunggal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Pekerjaan Orang Tua terhadap Perkembangan Anak pada Keluarga Pemulung di Desa Tapian Nauli Lingkungan IX Kelurahan Sunggal Kecamatan Medan Sunggal"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

xxvi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kemiskinan

Berbicara mengenai kemiskinan berarti berbicara mengenai harkat dan martabat manusia. Ditinjau dari pihak yang mempersoalkan dan mencoba mencari solusi atas masalah kemiskinan, dapat dikemukakan bahwa kemiskinan merupakan masalah pribadi, keluarga, masyarakat, negara bahkan dunia (Siagian,2012:1). Masalah kemiskinan dapat dipahami memerlukan perhatian khusus dari semua pihak yang mengalami masalah kemiskinan tersebut.

Kemiskinan identik dengan suatu penyakit, oleh karena itu langkah pertama penanggulangan masalah kemiskinan adalah memahami kemiskinan sebagai suatu masalah. Pemahaman masalah kemiskinan perlu memandang kemiskinan itu dari dua aspek, yakni kemiskinan sebagai suatu kondisi dan kemiskinan sebagai suatu proses. Sebagai suatu kondisi, kemiskinan adalah suatu fakta dimana seorang atau sekelompok orang yang hidup dibawah atau lebih rendah dari kondisi layak sebagai manusia disebabkan ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

(2)

xxvii

Menurut Mencher (dalam Siagian,2012:5) mengemukakan, kemiskinan adalah gejala penurunan kemampuan seseorang atau sekelompok orang atau wilayah sehingga mempengaruhi daya dukung hidup seseorang atau sekelompok orang tersebut, dimana pada suatu titik waktu secara nyata mereka tidak mampu mencapai kehidupan yang layak.

2.1.1. Aspek-aspek Kemiskinan

1. Kemiskinan itu multi dimensi

Sifat kemiskinan sebagai suatu konsep yang multi dimensi berakar dari kondisi kebutuhan manusia yang beraneka ragam. Ditinjau dari segi kebijakan umum, maka kemiskinan itu meliputi aspek-aspek primer seperti miskin akan aset, organisasi sosial, kelembagaan sosial, berbagai pengetahuan dan keterampilan yang dianggap dapat mendukung kehidupan manusia. Sedangkan aspek sekundernya antara lain adalah miskinnya informasi, jaringan sosial dan sumber keuntungan yang semuanya merupakan faktor-faktor yang dapat digunakan sebagai jembatan memperoleh sesuatu fasilitas yang dapat mendukung upaya mempertahankan, bahkan meningkatkan kualitas hidup.

2. Aspek-aspek kemiskinan saling berkaitan, baik secara langsung maupun tidak langsung

(3)

xxviii

3. Kemiskinan itu adalah fakta yang terukur

Fenomena yang sering kita temui adalah, pendapatan yang diperoleh sekelompok yang bermukim di tempat yang sama boleh sama, namun kualitas individu atau keluarga yang dimiliki mungkin saja berbeda. Keadaan yang demikian sering mengkondisikan kita untuk mengidentifikasi kemiskinan sebagai suatu yang serba abstrak dan tidak mungkin diukur. Ada pula yang cenderung menyatakan kemiskinan itu sebagai abstraksi dari perasaan sehingga mustahil untuk diukur (Siagian, 2012: 13)

Kemiskinan dapat diklasifikasikan ke dalam berbagai tingkatan (Siagian, 2012:14), seperti:

a. Miskin

b. Sangat miskin c. Sangat miskin sekali

Demikian halnya dengan BKKBN (dalam Siagian, 2012:14) sering mengklasifikasikan kondisi kehidupan masyarakat ke dalam berbagai tingkat, seperti:

a. Prasejahtera b. Sejahtera 1 c. Sejahtera 2

4. Bahwa yang miskin adalah manusianya, baik secara individual maupun kolektif

(4)

xxix

penyebab kemiskinan bagi manusia, dengan demikian pihak yang menderita miskin hanyalah manusia, baik secara individual maupun kelompok dan bukanlah wilayah.

2.1.2 Ciri-ciri Kemiskinan

Sulit memperoleh informasi secara jelas dan akurat berkaitan dengan indikasi-indikasi seperti apa yang dapat digunakan sebagai penanganan untuk menyatakan secara akurat, bahwa orang-orang seperti inilah yang disebut orang miskin, sementara orang-orang seperti itu disebut tidak miskin. Namun suatu studi menunjukkan adanya lima ciri-ciri kemiskinan (Siagian, 2012:20), yakni:

(5)

xxx

2. Mereka pada umumnya tidak mempunyai kemungkinan atau peluang untuk memperoleh aset produksi dengan kekuatan sendiri. Sebagai contoh, keluarga petani dengan perolehan pendapatan hanya cukup untuk konsumsi. Mereka tidak berpeluang untuk memperoleh tanah garapan, benih, ataupun pupuk sebagai faktor-faktor produksi.

3. Tingkat pendidikan pada umumnya rendah. Kondisi seperti ini akan berpengaruh terhadap wawasan mereka. Beberapa penelitian atara lain menyimpulkan bahwa waktu mereka pada umumnya habis tersita semata-mata hanya untuk mencari nafkah sehingga tidak ada waktu untuk belajar atau meningkatkan keterampilan. Demikian juga dengan anak-anak mereka, tidak dapat menyelesaikan sekolahnya, karena harus membantu orang tua mencari tambahan pendapatan. Artinya bagi mereka, anak tersebut memiliki nilai ekonomis.

4. Pada umumnya mereka yang masuk ke dalam kelompok penduduk dengan kategori setengah menganggur. Pendidikan dan keterampilan yang sangat rendah mengakibatkan akses masyarakat miskin ke dalam berbagai sektor formal bagaikan tertutup rapat. Akibatnya mereka terpaksa memasuki sektor-sektor informal. Bahkan pada umumnya mereka bekerja serabutan maupun musiman. Jika dikaji secara totalitas, mereka sesungguhnya bukan bekerja sepenuhnya, bahkan mereka justru lebih sering tidak bekerja. Sekilas mereka tidak menganggur, namun jika digunakan indikator jam kerja, mereka justru masuk ke dalam kategori pengangguran tidak kentara. Kondisi demikian mengakibatkan mereka memiliki produktivitas yang rendah, dan seterusnya mengakibatkan mereka memperoleh pendapatan yang rendah pula.

(6)

xxxi

gerak urbanisasi dari desa yang makin keras. Artinya laju investasi di perkotaan tidak sebanding dengan laju pertumbuhan tenaga kerja sebagai akibat langsung dari derasnya arus urbanisasi. Kondisi ini tentu tidak terlepas dari sifat statis desa dalam mendukung kehidupan penduduknya. Dalam keadaan demikian, masyarakat desa cenderung melakukan migrasi ke kota, karena dianggap sebagai alternatif dalam upaya mengubah nasib.

Kemiskinan juga tidak lepas daripada cangkupan faktor-faktor lain yang mempengaruhi hidup selain dari sisi material. Cangkupan beberapa elemen yang turut menentukan kualitas hidup dalam pengukuran kesejahteraan ekonomi. Ada 3 pendekatan konseptual dalam memikirkan cara mengukur kualitas hidup:

1. Pendekatan pertama, untuk menilai keadaan diri mereka sendiri, mengupayakan manusia untuk “bahagia’ dan “puas” dengan hidup mereka merupaka tujuan universal eksistensi manusia.

2. Pendekatan kedua, pendekatan ini melihat hidup seseorang sebagai kombinasi antara “kegiatan dan kedirian” (functionings) dan kebebasannya untuk memilih fungsi-fungsi tersebut (capabilities). Sebagian diantara kapabilitas yang sangat mendasar, seperti: tercukupinya gizi dan terbebas dari kematian dini, kapabilitas lain seperti: melek huruf, berpartisipasi dalam politik

3. Pendekatan ketiga, dikembangkan dalam kondisi ekonomi. Gagasan tentang alokasi yang adil, berfokus pada kesetaraan diantara anggota masyarakat (Siglitz, 2011: 70-71)

(7)

xxxii

Secara umum, faktor-faktor penyebab kemiskinan secara kategoris dengan menitikberatkan kajian pada sumbernya terdiri dari dua bagian besar (Siagian: 2012: 114), yaitu:

1. Faktor internal, yang dalam hal ini berasal dari individu yang mengalami kemiskinan itu yang secara substansial adalah dalam bentuk kekurangmampuan, yang meliputi:

a. Fisik, misalnya cacat, kurang gizi, sakit-sakitan

b. Intelektual, seperti: kurangnya pengetahuan, kebodohan, miskinnya informasi c. Mental emosional atau temperamental, seperti: malas, mudah menyerah dan putus

asa.

d. Spiritual, seperti: tidak jujur, penipu, serakah dan tidak disiplin.

e. Secara psikologis, seperti: kurang motivasi, kurang percaya diri, depresi, stress, kurang relasi dan kurang mampu mencari dukungan.

f. Keterampilan, seperti: tidak memiliki keahlian yang sesuai dengan tuntutan lapangan kerja.

g. Aset, seperti: tidak memiliki stok kekayaan dalam bentuk tanah, rumah, tabungan, kendaraan dan modal kerja.

2. Faktor eksternal, yakni bersumber dari luar diri individu atau keluarga yang mengalami dan menghadapi kemiskinan itu, sehingga pada suatu titik waktu menjadikannya miskin, meliputi:

a. Terbatasnya pelayanan sosial dasar

b. Tidak dilindunginya hak atas kepemilikan tanah sebagai aset dan alat memenuhi kebutuhan hidup.

(8)

xxxiii

d. Kebijakan perbankan terhadap layanan kredit mikro dan tingkat bunga yang tidak mendukung sektor usaha mikro.

e. Belum terciptanya sistem ekonomi kerakyatan, dengan prioritas sektor riil masyarakat banyak.

f. Sistem mobilisasi dan pendayagunaan dana sosial masyarakat yang belum optimal g. Budaya yang kurang mendukung kemajuan dan kesejahteraan

h. Kondisi geografis yang sulit, tandus, terpencil atau daerah bencana i. Pembangunan yang lebih beriorentasi fisik material

j. Pembangunan ekonomi antar daerah yang belum merata

k. Kebijakan publik yang belum berpihak kepada penduduk miskin.

Penyebab utama kemiskinan ialah ketidakmampuan kaum miskin menghadapi perubahan yang cepat dan radikal serta realita yang baru dan kompleks. Perubahan-perubahan itu terpenting dan paling jelas adalah tekanan populasi, perubahan struktur sosial dan ekonomi, kondisi-kondisi teknologi dan ekologi, perang dan perselisihan warga. Sementara itu, perubahan-perubahan yang tidak begitu tampak namun sama mengancamnya adalah perubahan iklim, degradasi tanah, polusi air dan udara.

2.2

Keluarga Pemulung

2.2.1

Keluarga

(9)

xxxiv

didalamnya, yang secara berangsur-angsur akan melepaskan ciri-ciri tersebut karena tumbuhnya mereka kearah kedewasaan. Keluarga sebagai organisasi, mempunyai perbedaan dari organisasi-organisasi lainnya, yang terjadi hanya sebagai sebuah proses. (Khairuddin,1997:4)

Menurut Iver dan Page (dalam Kairuddin, 1997: 3) dikatakan : “family is a group defined

by sex relationship sufficiently precise and enduring to provide for the procreation and

upbringing of children”. Sedangkan menurut A.M. Rose “ a family is a group of interacting

person who recognize a relationship with each other based on common parentage, marriage and

for adoption”

Pada hakikatnya, keluarga merupakan hubungan seketurunan maupun tambahan (adopsi) yang diatur melalui kehidupan perkawinan bersama searah dengan keturunannya yang merupakan satuan yang khusus. Keluarga pada dasarnya merupakan suatu kelompok yang terbentuk dari suatu hubungan seks yang tetap, untuk menyelenggarakan hal-hal yang berkenaan dengan keorangtuaan dan pemeliharaan anak. (Su’adah,2005:22-23)

Menurut UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga.

Selanjutnya Iver dan Page memberikan ciri-ciri umum keluarga yang meliputi:

1. Keluarga merupakan hubungan perkawinan.

2. Berbentuk perkawinan atau susunan kelembagaan yang berkenaan dengan hubungan perkawinan yang sengaja dibentuk dan dipelihara.

(10)

xxxv

4. Ketentuan-ketentuan ekonomi yang dibentuk oleh anggota-anggota kelompok yang mempunyai ketentuan khusus terhadap kebutuhan-kebutuhan ekonomi yang berkaitan dengan kemampuan untuk mempunyai keturunan dan membesarkan anak.

5. Merupakan tempat tinggal bersama, rumah atau rumah tangga yang walau bagaimanapun tidak mungkin menjadi terpisah terhadap kelompok keluarga (Su’adah, 2005: 22).

Hal senada dari beberapa definisi keluarga, terdapat salah satu pengertian keluarga, dimana fungsi keluarga ialah merawat, memelihara dan melindungi anak dalam rangka sosialisasi agar mereka mampu mengendalikan diri dan berjiwa sosial (Khairuddin, 1997:3). Keluarga mempunyai jaringan interaksi yang lebih bersifat interpersonal, dimana masing-masing anggota dalam keluarga dimungkinkan mempunyai intensitas hubungan satu sama lain.

Menurut Ki Hajar Dewantara, suasana kehidupan keluarga merupakan tempat yang sebaik-baiknya untuk melakukan pendidikan orang per orang (pendidikan individual) maupun pendidikan sosial. Keluarga itu tempat pendidikan yang sempurna sifat dan wujudnya untuk melangsungkan pendidikan ke arah pembentukan pribadi yang utuh, tidak saja bagi kanak-kanak tapi juga bagi para remaja. Peran orang tua dalam keluarga sebagai penuntun, sebagai pengajar dan pemberi contoh (Tirtaraharja, 2000: 169).

(11)

xxxvi

menentukan cara tingkah laku terhadap orang lain dalam pergaulan sosial diluar keluarga (Gerungan, 2004: 195)

Bentuk-bentuk keluarga menurut Polak (dalam Khairuddin,1997:19) yaitu :

1. Keluarga Inti ( Nuclear Family) yaitu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak yang belum menikah

2. Keluarga Besar ( Extended Family) yaitu satuan keluarga yang meliputi lebih dari satu generasi dan suatu lingkungan kaum keluarga yang lebih luas daripada ayah, ibu dan anak-anaknya.

Disamping bentuk keluarga, keluarga juga mempunyai sifat-sifat khusus, (Ahmadi, 2007:222) yaitu:

1. Universalitas artinya merupakan bentuk yang universal dari seluruh organisasi sosial 2. Dasar emosional artinya rasa kasih sayang, kecintaan sampai kebanggaan suatu ras 3. Pengaruh yang normatif artinya keluarga merupakan lingkungan sosial yang

pertama-tama bagi seluruh bentuk hidup yang tertinggi, dan membentuk watak daripada individu 4. Besarnya keluarga terbatas

5. Kedudukan yang sentral dalam struktur sosial 6. Pertanggungan jawab daripada anggota-anggota 7. Adanya aturan-aturan sosial yang homogen

(12)

xxxvii

Akibat pengaruh-pengaruh perkembangan keluarga itu menyebabkan hilangnya peranan-peranan sosial yaitu:

1. Keluarga berubah fungsinya, dari kesatuan yang menghasilkan menjadi kesatuan yang memakai semata-mata. Dahulu keluarga menghasilkan sendiri keluarganya, tetapi lama kelamaan fungsi ini makin jarang karena telah dikerjakan oleh orang-orang tertentu 2. Tugas untuk mendidik anak-anak sebagian besar diserahkan kepada sekolah-sekolah,

kecuali anak-anak kecil yang masih hidup dalam lingkungan kekeluargaan

3. Tugas bercengkrama di dalam keluarga menjadi mundur, karena tumbuhnya perkumpulan-perkumpulan modern, sehingga waktu untuk berada di tengah-tengah keluarga makin lama makin sedikit (Ahmadi,2007:223)

Menurut Horton (dalam Su’adah, 2005: 109), fungsi-fungsi keluarga meliputi :

1. Fungsi pengaturan seksual

Keluarga berfungsi adalah lembaga pokok yang merupakan wahana bagi masyarakat untuk mengatur dan mengorganisasikan kepuasan keinginan seksual.

2. Fungsi reproduksi

Fungsi keluarga untuk memproduksi anak atau menghasilkan anak. 3. Fungsi afeksi

Salah satu kebutuhan dasar manusia akan kasih sayang dan dicintai

Tugas-tugas yang dilakukan oleh orang tua yang cukup baik dalam mengatasi masalah remaja, secara garis besar adalah:

(13)

xxxviii

b. Memberi ikatan dan hubungan emosional, hubungan yang erat ini merupakan bagian penting dari perkembangan fisik dan emosional yang sehat dari seorang anak

c. Memberikan suatu landasan yang kokoh, ini berarti memberikan suasana rumah dan kehidupan keluarga yang stabil

d. Membimbing dan mengendalikan perilaku

e. Memberikan berbagai pengalaman hidup yang normal, hal ini diperlukan untuk membantu anak matang dan akhirnya mampu menjadi seorang dewasa yang mandiri. Sebagian besar orang tua tanpa sadar telah memberikan pengalaman-pengalaman ini secara alami

f. Mengajarkan cara berkomunikasi, orang tua yang baik mengajarkan anak untuk mampu menuangkan pikiran ke dalam kata-kata dan memberi nama pada setiap gagasan, mengutarakan gagasan-gagasan yang rumit dan berbicara tentang hal-hal yang terkadang sulit untuk dibicarakan seperti ketakutan atau amarah

g. Membantu anak menjadi bagian dari keluarga h. Memberi teladan

(14)

xxxix

mendalam pada pendidikan anak-anaknya apabila ia tidak dibebani dengan masalah-masalah kebutuhan primer manusia (Gerungan, 2004: 196). Secara umum hal ini dianggap benar, namun tentulah status sosio-ekonomi tidak merupakan faktor mutlak dalam perkembangan anak.

Kendala pada faktor pendidikan pada tingkat remaja dihadapkan pada berbagai faktor, diantaranya kesadaran para orang tua untuk menyekolahkan anak masih banyak yang rendah. Disisi lain tuntutan pemenuhan kebutuhan ekonomi juga sangat berat, sehingga tidak sedikit orang tua yang mengajak anak-anaknya untuk bekerja membantu mencari nafkah (Anwas, 2013: 117)

Sebagian besar permasalahan sosial-ekonomi keluarga berhubungan dengan tidak memadainya sumber-sumber penghidupan, seperti pekerjaan yang tidak layak dan tidak tetap atau bahkan tidak memiliki pekerjaan, penghasilan rendah, tidak memiliki aset memadai (tanah, sawah, dll), ketidakmampuan mengelola ekonomi rumahtangga, perilaku konsumtif, dan lain-lain. Berdasarkan hal ini maka permasalahan ekonomi keluarga (Departemen Sosial RI, 2009:42-43) diantaranya meliputi:

a. Tidak memiliki pekerjaan dan penghasilan yang memadai dan layak, sehingga daya beli rendah

b. Tidak memiliki asset yang memiliki nilai ekonomi, seperti tanah, sawah, kebun, ternak c. Ketidakmampuan dalam mengelola ekonomi rumahtangga, pengeluaran lebih besar

daripada pemasukan (dari segi keuangan)

(15)

xl

e. Terbatas akses terhadap sumber-sumber ekonomi dan pelayanan-pelayanan sosial f. Tidak memiliki keterampilan atau keahlian/kejuruan kerja

g. Minimnya kepemilikan pribadi seperti rumah/tempat tinggal, peralatan rumahtangga, kendaraan dan sumber daya lainnya.

2.2.2

Pemulung

Masyarakat merupakan sekelompok manusia yang hidup bersama dalam kurun waktu tertentu. Di dalam kehidupan masyarakat membutuhkan orang lain sehingga menimbulkan suatu hal yang disebut interaksi sosial. Kelompok sosial terjadi karena adanya interaksi dan persamaan ciri dalam kelompok itu.

Setiap manusia menginginkan kehidupan yang sejahtera karena dengan kehidupan yang sejahtera dapat menghindari manusia dari penyakit sosial, seperti kemiskinan, tuna wisma serta menghindari manusia dari keinginkan untuk berbuat kejahatan, seperti pencurian, perampokkan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pencapaian kehidupan yang sejahtera tersebut setiap manusia akan berusaha dengan bekerja dengan keras agar dapat menambah perekonomian keluarga, walaupun hanya bekerja sebagai pengumpul barang-barang bekas dan mengais barang bekas dari tumpukan-tumpukan sampah serta berkeliling ke rumah-rumah warga, tetap dilakukan demi memenuhi perekonomian keluarganya. Pekerjaan mengumpulkan barang-barang bekas dan mengais barang bekas dari tumpukan sampah lebih sering disebut dengan istilah pemulung.

Berdasarkan teori di dalam masyarakat, salah satunya adalah teori Gemein Schaft Of

Place (paguyuban berdasarkan tempat tinggal), di mana kelompok sosial terbentuk ketika

(16)

xli

tinggal yang sama. Berdasarkan teori Gemeinschaft terdiri suatu kelompok masyarakat terutama masyarakat miskin terbentuk atas pekerjaan dan tingkat sosial yang sama. Seperti yang terjadi pada kelompok pemulung. Pada umumnya dapat dikatakan pemulung adalah orang yang bekerja memungut barang-barang bekas atau sampah-sampah tertentu yang dapat didaur ulang.

2014 pukul 11.50 WIB)

Keberadaan pemulung tentu menimbulkan berbagai asumsi tentang pemulung itu sendiri, masyarakat cenderung apatis dengan kehadiran pemulung. Banyak diantara warga masyarakat beranggapan bahwa pemulung adalah kelompok pekerja yang kurang mengerti dan tidak menanamkan budi pekerti dalam dirinya. Masyarakat beranggapan bahwa pemulung itu panjang tangan, pemulung sangat kumuh, dan sebagainya. Padahal kalau dicermati, pemulung merupakan komponen masyarakat yang mempunyai peranan besar dalam masalah penyelamatan lingkungan. Mereka memilah-milah sampah, sehingga benda-benda yang dianggap sampah oleh masyarakat dapat dimanfaatkan kembali melalui proses daur ulang sampah. Oleh karena itu, volume sampah yang menggunung di lingkungan sekitar merupakan permasalahan yang tidak kunjung berakhir dapat diminimalisasikan oleh pemulung.

Pemulung adalah orang-orang yang bekerja mencari dan mengumpulkan sampah yang kemudian sampah-sampah tersebut akan dijualkembali, berikut beberapa definisi pemulung:

(17)

xlii

2) Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pemulung berasal dari kata pe dan pulung. Jadi memulung artinya mengumpulkan barang-barang bekas (limbah yang terbuang sebagai sampah) untuk dimanfaatkan kembali. Sedangkan pemulung adalah orang yang pekerjaannya memulung, yaitu orang yang mencari nafkah dengan jalan mencari dan memungut serta memanfaatkan barang-barang bekas untuk kemudian menjualnya kepada pengusaha yang akan mengelolahnya kembali menjadi barang komoditi baru atau lain 3) Menurut Jhones, pemulung adalah orang yang pekerjaannya memungut dan

mengumpulkan barang-barang bekas dari tempat sampah kota. Barang-barang yang dikumpulkan berupa plastik, kertas, kardus, kaleng, pecahan kaca, besi tua, dan barang

bekas lainny

Ada dua jenis pemulung: pemulung lepas, yang bekerja sebagai wirausaha, dan pemulung

yang tergantung pada seorang

pinjaman tersebut saat membeli barang dari pemulung. Pemulung berbandar hanya boleh menjual barangnya ke bandar. Tidak jarang bandar memberi pemondokan kepada pemulung, biasanya di atas tanah yang didiami bandar, atau di mana terletak tempat penampungan barangnya. Pemulung merupakan mata rantai pertama dari industri

Berdasarkan penjelasan di atas, keluarga pemulung adalah hubungan suami istri atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya atau keluarga sedarah dalam garis lurus keatas atau kebawah sampai derajat ketiga pekerjaannya memungut dan mengumpulkan barang-barang bekas dari tempat sampah.

2.3

Perkembangan Anak

(18)

xliii

a.

Anak

Menurut the Minimum Age Convention nomor 138 (1973), pengertian tentang anak adalah seseorang yang berusia 15 tahun ke bawah. Sebaliknya, dalam Convention on the rights of

the Child (1989) yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui Keppres nomor 39 tahun

1990 disebutkan bahwa anak adalah mereka yang berusia 18 tahun ke bawah. Sementara itu, UNICEF mendefinisikan anak sebagai penduduk yang berusia antara 0 sampai dengan 18 tahun. Undang-undang RI nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahtaraan Anak, menyebutkan bahwa anak adalah mereka yang belum berusia 21 tahun dan belum menikah. Sedangkan Undang-undang Perkawinan menetapkan batas usia 16 tahun. (Huraerah, 2012:31)

Jika dicermati, secara keseluruhan dapat dilihat bahwa rentang usia anak terletak pada skala 0 sampai dengan 21 tahun. Penjelasan mengenai batas usia 21 tahun ditetapkan berdasarkan pertimbangan kepentingan usaha kesejahteraan sosial serta pertimbangan kematangan sosial, kematangan pribadi, dan kematangan mental seseorang yang umumnya dicapai setelah seseorang melampaui usia 21 tahun. Hal ini dipertegas dalam Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang mengatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih didalam kandungan.

Batasan umur seseorang masih dalam kategori anak, berdasarkan beberapa peraturan yang ada di Indonesia cukup beragam, yang antara lain adalah sebagai berikut:

(19)

xliv

2. Undang-Undang RI. No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak; pasal 1 ayat (2) menyebutkan bahwa: “Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu ) tahun dan belum pernah kawin.”

3. Undang-Undang RI. No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, pasal 1 angka (1), menyebutkan: “Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin”.

4. Undang-Undang RI No. 20 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO tentang Batas Usia Minimum Anak Bekerja, adalah 15 (lima belas) tahun.

5. Undang-Undang RI. No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pasal 1, angka (5), menyebutkan bahwa: ”Anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.”

6. Undang-Undang RI. No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD; Usia Pemilih minimal 17 (tujuh belas) tahun.

7. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) memberi batasan mengenai pengertian anak atau orang yang belum dewasa adalah mereka yang belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun; seperti yang dinyatakan dalam pasal 330 yang berbunyi: “ belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu kawin”.

Undang-undang RI nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Bab II Pasal 2 sampai pasal 9 mengatur hak-hak anak atas kesejahteraan, sebagai berikut :

(20)

xlv

2. Hak atas pelayanan

3. Hak atas pemeliharaan dan perlindungan 4. Hak atas perlindungan lingkungan hidup 5. Hak mendapatkan pertolongan pertama 6. Hak memperoleh asuhan

7. Hak memperoleh bantuan

8. Hak diberi pelayanan dari asuhan 9. Hak memperoleh pelayanan khusus 10.Hak mendapatkan bantuan dan pelayanan

Pada Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dijelaskan mengenai hak-hak anak sebagai berikut:

1. Hak untuk hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi

2. Hak atas identitas diri dan status kewarganegaraan 3. Hak untuk beribadah menurut agamanya

4. Hak untuk mengetahui orang tua

5. Hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial 6. Hak untuk memperoleh pendidikan

7. Hak untuk memperoleh perlindungan diri

(21)

xlvi

Kewajiban negara dalam memberikan hak-hak anak tertuang pada Konvensi Hak-hak Anak yang telah ratifikasi oleh pemerintah Indonesia yaitu:

1. Menghormati dan menjamin hak-hak anak 2. Mempertimbangkan kepentingan utama anak 3. Menjamin adanya perlindungan anak

4. Menghormati hak anak dan mempertahankan identitasnya 5. Jaminan anak tidak dipisahkan dengan orang tuanya 6. Jaminan hak pribadi anak (Prinst, 1997: 103-109)

b.

Perkembangan Anak

Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan, sebagai hasil dari proses pematangan. Perkembangan menyangkut adanya proses diferensiasi, dari sel-sel tubuh, jaringan tubuh, organ-organ dan system organ yang berkembang sedemikian rupa sehingga masing-masing dapat memenuhi fungsinya. Termasuk perkembangan emosi, intelektual, dan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungan (Jahja, 2011:28-29).

Proses perkembangan individu manusia beberapa fase yang secara kronologis dapat diperkiraan batas waktunya. Setiap fase akan ditandai dengan ciri-ciri tingkah laku tertentu sebagai karakteristik dari fase tersebut, fase-fase tersebut adalah sebagai berikut:

(22)

xlvii

e. Masa kanak-kanak (±1-5 tahun) f. Masa anak-anak ( ±5-12 tahun) g. Masa remaja (±12-18 tahun) h. Masa dewasa awal (±18-25 tahun) i. Masa dewasa (±25-45 tahun) j. Masa dewasa akhir (±45-55 tahun)

k. Masa akhir kehidupan (±55 tahun ke atas)

Teori dalam perkembangan anak, yaitu:

1. Teori Nativisme, teori ini pertama kali digagas oleh Schopenhauer. Menurut teori ini, perkembangan manusia ditentukan oleh faktor-faktor nativus yaitu faktor-faktor keturunan yang merupakan faktor yang dibawa pada waktu melahirkan. Teori ini meyakini bahwa faktor yang paling mempengaruhi dalam perkembangan manusia adalah pembawaan sejak lahir atau boleh dibilang ditentukan oleh bakat. Teori nativisme bersumber dari Leibnitzian tradition yang menekankan pada kemampuan dalam diri seorang anak. Orang-orang yang mengikuti teori nativisme sangat menekankan bakat yang dimilikinya sehingga dapat mengembangkan secara maksimal

2. Teori dalam perkembangan anak selanjutnya yaitu Teori Empirisme oleh John Locke. Teori empirisme menyatakan bahwa perkembangan seseorang ditentukan oleh pengalaman-pengalaman yang diperoleh selama perkembangan individu dalam kehidupannya. Faktor lingkungan, lebih khusus adalah dunia pendidikan, sangat besar menentukan perkembangan anak

(23)

xlviii

Perkembangan individu akan ditentukan oleh faktor yang dibawa sejak lahir maupun faktor lingkungan (Azzet, 2010: 19-24)

Prinsip perkembangan itu sifatnya progresif, dan prinsip tersebut terletak di dalam diri anak sendiri. Jelasnya, gejala perkembangan itu bukan proses yang digerakan oleh faktor-faktor dan pengaruh-pengaruh dari luar individu saja; akan tetapi juga dikendalikan dan diberi corak tertentu oleh faktor-faktor hereditas, yaitu pembawaan, bakat dan kemauan anak. Selanjutnya prinsip perkembangan anak dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan sekitar dan kultur (Kartono, 2006: 149).

Masa remaja adalah masa datangnya pubertas (11-14) sampai usia sekitar 18 tahun, masa transisi dari kanak-kanak ke dewasa. Masa ini hampir selalu merupakan masa-masa sulit bagi remaja maupun orang tua. Adapun sejumlah masalah untuk ini:

a. Remaja mulai menyampaikan kebebasan dan haknya untuk mengemukakan pendapatnya sendiri. Tidak terhindarkan, ini dapat menciptakan ketegangan dan perselisihan, dan dapat menjauhkan ia dari keluarganya

b. Remaja lebih mudah dipengaruhi teman-temannya daripada ketika masih lebih muda. Ini berarti pengaruh orang tua pun melemah. Anak remaja berperilaku dan mempunyai kesenangan yang berbeda bahkan bertentangan dengan perilaku dan kesenangan keluarga c. Remaja mengalami perubahan fisik yang luar biasa, baik pertumbuhan maupun

seksualitasnya. Perasaan seksual yang mulai muncul dapat menakutkan, membingungkan, dan menjadi sumber perasaan salah dan frustasi

(24)

xlix

Ada sejumlah kesulitan yang sering dialami kaum remaja yang betapapun menjemukan bagi mereka dan orang tua mereka, dan merupakan bagian yang normal dari perkembangan ini.

Beberapa kesulitan atau bahaya yang mungkin dialami kaum remaja, antara lain:

a. Variasi kondisi kejiwaan, suatu saat mungkin ia terlihat pendiam, cemberut, dan mengasingkan diri tetapi pada saat yang lain ia terlihat sebaliknya, periang, berseri-seri dan yakin. Perilaku yang sukar ditebak dan berubah-ubah ini bukanlah abnormal. Ini hanya perlu diprihatinkan bila ia terjerumus dalam kesulitan di sekolah atau dengan teman-temannya

b. Rasa ingin tahu seksual dan coba-coba, hal ini normal dan sehat. Rasa ingin tahu seksual dan bangkitnya birahi ialah normal dan sehat. Ingat, bahwa perilaku tertarik pada seks sendiri juga merupakan ciri yang normal pada perkembangan masa remaja. Rasa ingin tahu dan birahi jelas menimbulkan bentuk-bentuk perilaku seksual

c. Membolos, tidak ada gairah atau malas ke sekolah sehingga ia lebih suka membolos masuk sekolah

d. Perilaku antisosial, seperti suka menganggu, berbohong, kejam, dan agresif. Sebabnya mungkin bermacam-macam dan banyak tergantung pada budayanya. Akan tetapi, penyebab yang mendasar ialah pengaruh buruk teman, dan kedisiplinan yang salah dari orang tua terutama bila terlalu keras atau terlalu lunak dan sering tidak ada sama sekali e. Penyalahgunaan obat bius

f. Psikosis, bentuk psikosis yang paling dikenal orang ialah skizofernia

(25)

l

Perkembangan sosial dapat diartikan sebagai sequence dari perubahan berkesinambungan dalam perilaku individu untuk menjadi makhluk sosial. Proses perkembangannya berlangsung secara bertahap sebagai berikut:

a. Masa kanak-kanak awal (0-3 tahun) b. Masa krisis (3-4 tahun)

c. Masa kanak-kanak akhir (4-6 tahun) d. Masa anak sekolah (6-12 tahun) e. Masa krisis II (12-13 tahun)

Menurut Erik Erickson (1983), perkembangan psikososial terbagi menjadi beberapa tahap masing-masing tahap psikososial memiliki dua komponen yaitu komponen yang baik (yang diharapkan) dan yang tidak baik (yang tidak diharapkan). Perkembangan pada fase selanjutnya tergantung pada pemecahan masalah pada tahap masa sebelumnya. Adapun tahap-tahap perkembangan psikososial anak sebagai berikut:

a. Percaya VS Tidak Percaya (0-1 tahun)

(26)

li

maka dapat timbul berbagai masalah. Rasa tidak bercaya ini timbul bila pengalaman untuk meningkatkan rasa percaya kurang atau kebutuhan dasar tidak terpenuhi secara

adekuat yaitu kurangnya pemenuhan kebutuhan fisik, psikologis dan sosial yang kurang

misalnya: anak tidak mendapatkan minuman atau air susu secara adekuat ketika lapar, tidak mendapatkan respons ketika ia menggigit dot botol.

b. Otonomi VS Rasa Malu dan Ragu (1-3 Tahun)

Perkembangan otonomi selama periode balita berfokus pada peningkatan kemampuan anak untuk mengontrol tubuh, diri dan lingkungannnya. Anak menyadari ia dapat menggunakan kekuatannya untuk bergerak dan berbuat sesuai kemauannya, misalnya: kepuasan untuk berjalan atau memanjat. Selain itu, anak menggunakan kemampuan mentalnya untuk menolak dan mengambil keputusan. Rasa otonomi diri ini perlu dikembangkan karena penting untuk terbentuknya rasa percaya dan harga diri dikemudian hari. Hubungan dengan orang lain bersifat egosentris atau mementingkan diri sendiri. Peran lingkungan pada usia ini ialah memberikan dorongan dan memberi keyakinan yang jelas. Perasaan negatif yaitu rasa malu dan ragu timbul apabila anak merasa tidak mampu mengatasi tindakan yang dipilihnya serta kurang dorongan dari orang tua dan lingkungannya, misalnya: orang tua terlalu mengontrol anak.

c. Inisiatif VS Rasa Bersalah

(27)

lii

atau membantu orang tua di dapur. Anak mulai memperluas ruang lingkup pergaulannya, misalnya menjadi aktif diluar rumah, kemampuan berbahasa semakin meningkat. Hubungan teman sebaya dan saudara sekandung untuk menang sendiri.

Pada tahap ini, kadang-kadang anak tidak dapat mencapai tujuan atau kegiatannya karena keterbatasannya, tetapi bila tuntutan lingkungan misalnya orang tua atau orang lain terlalu tinggi atau berlebihan, maka dapat mengakibatkan anak merasa aktifitas atau imajinasinya buruk, akhirnya timbul rasa kecewa dan bersalah.

d. Industri VS Inferioritas (6-12 tahun)

Pada tahap ini, anak dapat menghadapi dan menyelesaikan tugas atau perbuatan yang akhirnya dapat menghasilkan sesuatu. Anak siap untuk meninggalkan rumah atau orang tua dalam waktu terbatas yaitu untuk sekolah. Melalui proses pendidikan ini, anak belajar untuk bersaing (sifat kompetitif), juga sifat kooperatif dengan orang lain, saling memberi dan menerima, setia kawan, dan belajar peraturan-peraturan yang berlaku.

Kunci proses sosialisasi pada tahap ini ialah guru dan teman sebaya. Dalam hal ini, peranan guru sangat sentral. Identifikasi bukan terjadi pada orang tua atau pada orang lain, misalnya sangat menyukai gurunya dan patuh pada gurunya dibandingkan pada orang tuanya. Apabila anak tidak dapat memenuhi keinginan sesuai standard dan terlalu banyak yang diharapkan dari mereka, maka dapat muncul masalah atau gangguan.

e. Identitas VS Difusi Peran (12-18 tahun)

(28)

liii

yaitu anak mencari identitas dalam bidang seksual, umur dan kegiatan. Peran orang tua sebagai sumber perlindungan dan nilai utama mulai menurun. Adapun peran kelompok atau teman sebaya tinggi. Teman sebaya dipandang sebagai teman senasib, partner dan saingan. Melalui kehidupan berkelompok ini, remaja bereksperimen dengan peranan dan dapat menyalurkan diri. Remaja memilih orang-orang dewasa yang penting baginya yang dapat mereka percayai dan tempat mereka berpaling saat kritis.

Pencapaian tujuan dari pola sosialisasi dewasa, remaja harus membuat banyak penyesuaian baru, dengan meningkatnya pengaruh kelompok sebaya, perubahan dalam perilaku sosial, pengelompokan sosial baru, nilai-nilai baru dalam seleksi persahabatan, nilai-nilai baru dalam dukungan dan penolakan, dan nilai-nilai baru dalam seleksi pemimpin.

a. Perubahan dalam perilaku sosial

Dalam waktu yang singkat remaja mengadakan perubahan radikal yaitu dari tidak menyukai lawan jenis sebagai teman menjadi lebih menyukai teman dari lawan jenisnya daripada teman sejenis. Dengan meluasnya kesempatan untuk melibatkan diri dalam kegiatan sosial, maka wawasan sosial semakin membaik.

b. Pengelompokan sosial baru

(29)

liv

Tidak ada sifat/pola perilaku khas yang akan menjamin penerimaan sosial selama masa remaja. Tergantung pada sekumpulan sifat dan pola perilaku yang sindrom penerimaan yang disenangi remaja dan menambah gengsi dari kelompok besar yang diidentifikasikannya.

d. Minat sosial

Bersifat sosial tergantung pada kesempatan yang diperoleh remaja untuk mengembangkan minat tersebut dan pada kepopulerannya dalam kelompok. Seorang remaja yang status sosial-ekonomi keluargannya rendah, misalnya mempunyai sedikit kesempatan untuk mengembangkan minat pada pesta-pesta dan dansa dibandingkan dengan remaja latar belakang yang lebih baik. Demikian ada beberapa minat sosial tertentu yang hampir bersifat universal.

e. Perilaku sosial

Diskriminasi terhadap mereka yang berlatar belakang ras, agama, sosial-ekonomi yang berbeda. Usaha memperbaiki mereka yang mempunyai standar penampilan dan perilaku yang berbeda.

Keluarga merupakan bagian terpenting dalam mengembangkan kecerdasan sosial anak, maka keluarga harus dibangun secara kondusif, (Azzet, 2010: 102-120) sebagai berikut:

1. Memberikan rasa aman

2. Memberikan kasih sayang dan penerimaan 3. Menjadi andalan dan rujukan

(30)

lv

7. Mengembangkan kecerdasan secara menyenangkan 8. Tidak monoton

9. Cara berkomunikasi 10.Memberikan penghargaan 11.Ada waktu untuk berbagi

Peranan umum keluarga dalam perkembangan sosial anak merupakan kelompok sosial pertama dalam kehidupan manusia. Tempat ia belajar dan menyatakan diri sebagai manusia sosial dalam hubungan interaksi dengan kelompoknya. Didalam keluarga yang interaksi sosialnya berdasarkan simpati, ia pertama-tama belajar memperhatikan keinginan orang lain, belajar bekerja sama, bantu membantu, dengan kata lain, ia pertama-tama belajar memegang peranan sebagai makhluk sosial yang memiliki norma-norma dan kecakapan-kecakapan tertentu dalam pergaulan dengan orang lain. Pengalaman-pengalamannya dalam interaksi sosial dengan keluarga turut menentukan pula cara-cara tingkah lakunya terhadap orang lain dalam pergaulan sosial di luar keluarga dan di dalam masyarakat pada umumnya (Gerungan, 1004:195). Selain dari peranan umum kelompok keluarga sebagai kerangka sosial yang pertama, tempat manusia berkembang sebagai makhluk sosial terdapat pula peranan-peranan tertentu di dalam keadaan-keadaan keluarga yang dapat mempengaruhi perkembangan individu sebagai makhluk sosial.

2.3.3

Perkembangan Kepribadian Anak

(31)

lvi

penyesuaian diri terhadap lingkungannya secara unik. Sosial-faktor yang mepengaruhi kepribadian antara lain: fisik, inteligensi, jenis kelamin, teman sebaya, keluarga, kebudayaan, lingkunan dan sosial budaya, serta sosial internal dari dalam diri individu seperti tekanan emosional. (Jahja,2011:67)

Ciri-ciri kepribadian yang sehat antara lain:

a. Mandiri dalam berpikir dan bertindak

b. Mampu menjalin relasi sosial yang sehat dengan sesamanya

c. Mampu menerima diri sendiri dan orang lain sebagaimana apa adanya d. Dapat menerima dan melaksanakan tanggung jawab yang dipercayakan e. Dapat mengendalikan emosi

a. Hal-hal yang Mempengaruhi Kepribadian

Luas cangkupan masalah kepribadian seperti pentingnya unsur keturunan, proses pematangan, latihan pada masa kecil, motif sosial yang diperoleh melalui proses belajar dan cara-cara ia menanggapi masalah. Hal-hal itu akan melatarbelakangi seseorang sehingga menjadi pribadi sebagaimana yang ditampilkannya saat ini. Pribadi tersebut merupakan suatu produk akhir dari potensi-potensi yang dimilikinya dan seluruh perjalanan hidupnya.

Berarti bahwa untuk dapat mengerti pribadi yang bersangkutan, kita harus mengerti pola yang terbentuk sebagai akibat pengalaman individu tersebut hingga ia tampil sebagai pribadi yang unik.

(32)

lvii

Seorang bayi telah diwarnai unsur-unsur yang diturunkan oleh kedua orang tuanya dan tentu diwarnai pula oleh perkembangan dalam kandungan ibunya. Ada bayi yang sejak lahir sudah memperlihatkan daya tahan tubuh yang kuat, tapi ada pula bayi yang lemah. Ada yang responsif dan aktif tetapi ada pula yang pasif dan lebih tenang. Terhadap masing-masing individu, orang tua akan berlangsung timbal balik dan menjadi awal pertumbuhan yang khas yang dimiliki individu tersebut.

Sampai saat ini belum ditentukan suatu cara/ukur yang baik untuk dapat mengenali unsur-unsur dan mengukur derajat unsur-unsur bawaan sesorang. Tetapi melalui penelitian pada anak-anak kembar, didapat gambaran yang dapat masing-masing disimpulkan bahwa ada kecenderungan untuk berespons secara tertentu pada individu. Walaupun hasil-hasil penelitian tidak begitu jelas, tetapi dapat disimpulkan bahwa unsure keturunan ataupun bawaan cukup penting untuk diperhatikan karena turut memberi dasar pada kepribadian seseorang.

2. Pengalaman dalam Budaya/Lingkungan

Proses perkembangan mencakup suatu proses belajar untuk bertingkah laku sesuai dengan harapan masyarakatnya. Tanpa kita sadari, pengaruh nilai-nilai dari masyarakat dalam hidup kita telah kita terima dan menjadi bagian dari diri kita. Pengaruh lain dari budaya adalah mengenai peran seseorang dalam kelompok masyarakatnya. Tuntutan berperan ini berbeda dari satu budaya ke budaya lainnya. Biasanya tuntutan terhadap peran itu sudah dianggap sebagai suatu kewajaran.

(33)

lviii

peran tersebut dengan sendirinya akan membebani si pemilih tadi. Beban peranan tidaklah sederhana. Tuntutan bisa berasal dari masyarakat, keluarga, maupun teman-temannya sendiri; dapat diduga bahwa tiap peranan mempunyai ciri-ciri sendiri yang akan berakibat pada pembentukan kepribadian dan tingkah laku.

3. Pengalaman yang Unik

Selain potensi bawaan dan tuntutan peran oleh masyarakat yang juga turut membentuk kepribadian seseorang dan yang membedakannya dari orang lain adalah pengalaman dirinya yang khas. Orang, selain berbeda dalam bentuk badan, potensi bawaan, juga berbeda dalam perasaan, reaksi emosi dan daya tahannya. Dengan demikian, orang yang memiliki ciri-ciri tersebut bereaksi yang khas terhadap rangsangan yang dihadapi dalam lingkungannya. Potensi yang dimiliki sejak lahir akan berkembang melalui interaksi dengan sekelilingnya seperti orang tua, saudara-saudara, dan orang lain serta yang signifikan lainnya.

(34)

lix

Perkembangan kepribadian, menurut Badura (dalam Alwisol, 2011:292) sesorang belajar mempelajari respon baru dengan melihat respon orang lain, bahkan belajar tetap terjadi tanpa ikut melakukan hal yang dipelajari itu. Salah satu cara dalam belajar mempelajari respon, yaitu:

1. Peniruan (Modeling)

Inti dari belajar melalui observasi adalah modeling. Peniruan atau meniru sesungguhnya tidak tepat untuk mengganti kata modeling, karena modeling bukan sekedar menirukan atau mengulangi apa yang dilakukan oleh orang model (orang lain), tetapi modeling melibatkan penambahan dan atau pengurangan tingkah laku yang teramati, menggenalisir berbagai pengamatan sekaligus, melibatkan kognitif.

a. Modeling Tingkah laku baru

Melalui modeling orang dapat memperoleh tingkah laku baru. Ini dimungkinkan karena adanya kemampuan kognitif. Stimuli berbentuk tingkah laku model ditransformasi menjadi gambaran mental, dan yang lebih penting lagi ditransformasi menjadi symbol verbal yang dapat diingat kembali suatu saat nanti. Keterampilan kognitif yang bersifat simbolik ini, membuat orang dapat mentransform apa yang dipelajarinya atau menggabung-gabung apa yang diamatinya dalam berbagai situasi menjadi pola tingkah laku baru.

(35)

lx

Di samping dampak mempelajari tingkah laku model, modeling mempunyai dua macam dampak terhadap tingkah laku lama. Pertama, tingkah laku model yang diterima secara sosial dapat memperkuat respon yang sudah dimiliki pengamat. Kedua, tingkah laku model yang tidak diterima secara sosial dapat memperkuat atau memperlemah pengamat untuk melakukan tingkah laku yang tidak diterima secara sosial, tergantung apakah tingkah laku model diganjar atau dihukum. Kalau tingkah laku yang tidak dikehendaki itu justru diganjar, pengamat cenderung meniru tingkah laku itu, sebaliknya kalau tingkah laku yang tidak dikehendaki itu dihukum, respon pengamat menjadi semakin lemah.

c. Modeling simbolik

Dewasa ini sebagian bear modeling tingkah laku berbentuk simbolik. Film dan televisi menyajikan contoh tingkah laku yang tak terhitung yang mungkin mempengaruhi pengamatnya. Sajian itu berpotensi sebagai sumber model tingkah laku.

d. Modeling kondisioning

(36)

lxi

Perubahan yang terjadi dalam diri pada masa remaja, juga menuntut individu untuk melakukan penyesuaian diri. Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang selalu menjadi bagian dari lingkungan tertentu. Di lingkungan manapun individu berada, ia akan berhadapan dengan harapan dan tuntutan dari lingkungan yang harus dipenuhinya. Di samping itu individu juga memiliki kebutuhan, harapan dan tuntutan di dalam dirinya, yang harus diselaraskan dengan tuntutan dari lingkungan. Bila individu mampu menyelaraskan kedua hal tersebut, maka dikatakan bahwa individu tersebut mampu menyesuaikan diri. Jadi, penyesuaian diri dapat dikatakan sebagai cara tertentu yang dilakukan oleh individu untuk bereaksi terhadap tuntutan dalam diri maupun situasi eksternal yang dihadapinya.

Schneiders (1964) mengemukakan bahwa penyesuaian diri merupakan suatu proses yang mencangkup respon-respon mental dan tingkah laku, yang merupakan usaha individu agar berhasil mengatasi kebutuhan, ketegangan, konflik dan frustasi yang dialami di dalam dirinya. Usaha individu tersebut bertujuan untuk memperoleh keselarasan dan keharmonisan antara tuntutan dalam diri dengan apa yang diharapkan oleh lingkungan. Schneiders juga mengatakan bahwa orang dapat menyesuaikan diri dengan baik adalah orang yang dengan keterbatasan yang ada pada dirinya, belajar untuk bereaksi terhadap dirinya dan lingkungan dengan cara yang matang, bermanfaat, efisien, dan memuaskan, serta dapat menyelesaikan konflik, frustasi, maupun kesulitan-kesulitan pribadi dan sosial tanpa mengalami gangguan tingkah laku. (Agustiani,2009:19)

2.4

Kesejahteraan Anak

(37)

lxii

dalam Undang-undang No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Dasar dari undang-undang itu mengacu kepada Pasal 34 UUD 1945, yang menyatakan: Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Apabila ketentuan Pasal 34 UUD 1945 ini diberlakukan secara konsekuen, maka kehidupan fakir miskin dan anak terlantar akan terjamin.

Usaha kesejahteraan anak adalah usaha kesejahteraan sosial yang ditujukan untuk menjamin terwujudnya kesejahteraan anak, terutama terpenuhinya kebutuhan anak (Pasal 1 angka 1 huruf b PP No. 2 Tahun 1988). Adapun usaha-usaha itu meliputi: pembinaan, pencegahan dan rehabilitasi. Pelaksananya adalah pemerintah dan/atau masyarakat baik di dalam maupun di luar panti (Pasal 11 ayat 3 PP No. 2 Tahun 1988). Pemerintah dalam hal ini memberikan pengarahan, bimbingan, bantuan dan pengawasan terhadap usaha kesejahteraan anak yang dilakukan oleh masyarakat. (Prinst, 1997: 83)

2.4.1

Perlindungan Anak

Kata "Perlindungan" bila berdiri sendiri tentu akan berbeda maknanya bila disatukan dengan kata Anak yaitu menjadi Perlindungan Anak. Kata Perlindungan sendiri sangat bersentuhan dengan penjaminan bahwa sesuatu yang dilindungi akan terbebas dari hal yang membuat tidak nyaman, dari hal yang membuat kerusakan.

(38)

lxiii

pemerintah dan negara. Sudah barang tentu masing-masing mempunyai peran dan fungsinya yang berbeda dimana secara keseluruhan, satu sama lain saling terkait di bawah pengertian perlindungan sebagai payungnya.

Pengertian anak di dalam Undang-Undang adalah seseorang yang berusia dibawah 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sering terjadi anak yang dalam kandungan tidak dihitung sebagai anak. Seorang ibu misalnya ketika sedang mengandung anak yang kedua, yang bersangkutan mengatakan bahwa ia mempunyai anak satu orang dan tidak menghitung anaknya yang sedang dikandung karena yang dianggap hitungan anak adalah yang terlihat sudah ada. Padahal anak yang dikandungpun mempunyai hak-haknya agar dapat tumbuh dan berkembang dengan baik saat dalam kandungan maupun saat dilahirkan. Pencapaian hal tersebut tentunya anak dalam kandungan harus mempunyai asupan gizi yang baik melalui ibunya, kasih sayang dan perlindungan dari berbagai hal yang dapat menghambat tumbung kembang janin. Di pihak lain kesehatan ibupun menjadi sangat penting baik secara fisik maupun non fisik.

(39)

lxiv

pendidikan, kesehatan dan pengasuhan alternatif ketika anak menghadapi masalah dalam bentuk sarana dan prasarana seringkali melakukan yang sebaliknya.

Dapat kita lihat bahwa anak belum lagi menjadi pertimbangan utama dalam mewujudkan perlindungan karena anak belum dilihat sebagai subjek tetapi objek orang-orang dewasa dimanapun fungsi dan peran mereka sebagai penyelenggara perlindungan anak. Hal ini disebabkan pemahaman ataupun perspektif anak yang belum baik dalam memahami siapa anak. Kendati kita sudah memiliki Undang-Undang, lnstrumen lnternasional yaitu Konvensi Hak Anak yang sudah diratifikasi sejak tahun 1990 yang membuat kita terikat secara yuridis maupun politis untuk mengikuti seluruh ketentuan yang ada, namun kekuatan secara kultural yang kurang berwawasan anak jauh lebih mendominasi.

Empat Prinsip dasar Konvensi Hak Anak yang menjadi azas dan tujuan Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak belum dipahami secara benar yaitu 1) non diskriminasi, 2) kepentingan terbaik bagi anak, 3) hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan, 4) penghargaan terhadap pendapat anak. Keempat hal ini harus menjadi roh dari setiap tindakan apapun dari seluruh penyelenggara perlindungan anak dalam memberikan pemenuhan hak-hak mereka.

Bila hal ini diabaikan maka kekerasan dan diskriminasi terhadap anak akan menjadi langgeng. Edukasi sangat diperlukan, pelatihan atau bentuk lain dari pemajuan hak anak agar dapat melakukan perlindungan anak secara maksimal. Anak harus dijadikan pusat pertimbangan utama dalam melakukan tindakan apapun oleh seluruh penyelenggara perlindungan anak

(40)

lxv

2.5

Kerangka Pemikiran

Pekerjaan orang tua penting bagi anak kecil hanya bila pekerjaan ini mempunyai akibat langsung bagi kesejahteraan si anak. Tapi sekarang ini bagi anak yang lebih besar, pekerjaan orang tua mempunyai arti budaya. Perkembangan teknologi dan budaya yang pesat menyebabkan pekerjaan orang tua mempengaruhi gengsi sosial anak. Anak sekolah dasar membagi masyarakat atas tingkat-tingkat berdasarkan pekerjaan dan mengambil alih sikap dan nilai orang tua terhadap berbagai pekerjaan. Bila seorang anak merasa malu akan pekerjaan orang tuanya, karena tingkat pekerjaan itu atau jenis pakaian kerja, sikap anak akan dipengaruhi secara merugikan.

Bila anak cukup besar untuk memahami status sosial keluarganya sebagai dampak dari pekerjaan orang tua, status ini mempunyai pengaruh yang nyata pada sikap anak terhadap orang tua, terutama terhadap ayah sebagai pencari nafkah. Jika status sosial keluarga anak sekurang-kurangnya sama dengan status keluarga teman sebaya, anak merasa bangga terhadap ayah mereka. Bila mereka melihat bahwa status keluarga mereka lebih rendah, mereka merasa malu dan bersikap sangat kritis terhadap ayah mereka.

Keadaan demikian bisa mempengaruhi juga perkembangan anak baik secara sosial maupun kepribadian. Perkembangan sosial anak menjadi terganggu, anak menjadi pendiam dan tertutup. Anak menutup diri dari lingkungan sosial karena merasa malu, tidak sederajad dan rendah diri. Tak jarang anak menjadi bahan olok-olokan teman-temannya akibat dari pekerjaan yang dilakukan orang tua. Ini menbawa dampak buruk bagi perkembangan anak.

(41)

lxvi

2.6

Hipotesis

Secara Etimologis istilah hipotesis berasal dari bahasa latin, yang terdiri dari dua kata, yaitu hipo yang berarti sementara dan these yang berarti pernyataan. Secara sederhana hipotesi dapat diartikan sebagai pernyataan sementara. Kerlinger (1997) mengemukakan bahwa hipotesis adalah suatu pernyataan sementara yang menyatakan hubungan antara dua atau lebih variable. Hipotesis harus dirumuskan dalam bentuk kalimat pernyataan (Siagian, 2011:147-148).

Pekerjaan Orang Tua

Perkembangan Anak

Perkembangan Sosial Anak Perkembangan Kepribadian Anak

Pengaruh

(42)

lxvii

Adapun hipotesa dalam penelitian ini adalah:

Ho : Tidak terdapat pengaruh pekerjaan orang tua terhadap perkembangan anak pada keluarga pemulung di Desa Tapian Nauli Lingkungan IX Kelurahan Sunggal Kecamatan Medan Sunggal

Ha : Terdapat pengaruh pekerjaan orang tua terhadap perkembangan anak pada keluarga pemulung di Desa Tapian Nauli Lingkungan IX Kelurahan Sunggal Kecamatan Medan Sunggal

2.7

Definisi Konsep dan Definisi Operasional

2.7.1

Definisi Konsep

Konsep adalah istilah khusus yang digunakan para ahli dalam menggambarkan secara cermat fenomena sosial yang akan dikaji. Untuk menghindari salah pengertian atas makna konsep-konsep yang akan dijadikan objek, peneliti harus menegaskan dan membatasi konsep yang diteliti. Perumusan definisi konsep dalam suatu peneliian menunjukkqn bahwa peneliti ingin mencegah salah pengertian atas konsep yang diteliti. Definisi konsep adalah adalah pengertian terbatas dari suatu konsep yang dianut dalam suatu penelitian (Siagian,2011:136).

Definisi konsep bertujuan untuk merumuskan istilah yang akan digunakan dan menyamakan persepsi tentang apa yang akan diteliti serta menghindari salah pengertian yang dapat mengaburkan tujuan penelitian. Untuk lebih mengetahui pengertian mengenai konsep-konsep yang akan digunakan, maka peneliti membatasi konsep-konsep yang digunaan sebagai berikut:

(43)

lxviii

2. Pekerjaan orang tua dalam penelitian ini adalah kegiatan yang dilakukan orang tua dalam rangka memenuhi kebutuhan keluarga

3. Perkembangan anak dalam penelitian ini adalah perubahan yang terjadi pada anak yang membentuk tingkah laku anak

a. Perkembangan sosial anak dalam penelitian ini adalah perubahan yang terjadi pada proses interaksi anak dengan lingkungan sosial

b. Perkembangan kepribadian anak dalam penelitian ini adalah perubahan yang terjadi pada sikap anak dalam menghadapi lingkungan sosial

4. Kesejahteraan anak adalah suatu tata kehidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial.

2.7.2 Definisi Operasional

Definisi operasional sering disebut sebagai suatu proses mengoperasionalisasikan konsep. Operasionalisasi konsep berarti menjadikan konsep yang semula bersifat statis menjadi dinamis. Jika konsep telah bersifat dinamis, maka akan memungkinkan untuk dioperasikan. Wujud operasionalisasi konsep adalah dalam bentuk sajian yang benar-benar terinci sehingga makna dan aspek-aspek yang terangkum dalam konsep tersebut terangkat dan terbuka (Siagian,2011:141).

Adapun yang menjadi definisi dalam Pengaruh Pekerjaan Orang Tua terhadap Perkembangan Anak di Desa Tapian Nauli Lingkungan IX Kelurahan Sunggal Kecamatan Medan Sunggal yaitu dapat diukur melaui indikator-indikator sebagai berikut:

(44)

lxix

Secara sederhana variabel bebas (independent variable) dapat didefinisikan sebagai variabel atau sekelompok atribut yang mempengaruhi atau memberikan akibat terhadap variabel atau sekelompok atribut yang lain (Siagian, 2011:89). Menurut Idrus (2009: 79), variabel bebas atau variabel (x) merupakan variabel yang menjadi sebab berubahnya atau timbulnya variabel terikat.

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah

A. Pekerjaan Orang Tua 1. Pendapatan Orang Tua 2. Keadaan Tempat Tinggal 3. Pendidikan Orang tua 4. Kebutuhan Hidup

5. Jumlah Anggota Keluarga

6. Kegiatan dan kedirian orang tua, yaitu: tercukupi gizi, terbebas dari kematian dini, berpartisipasi dalam politik

2. Variabel Terikat

Variabel terikat (dependent variable) secara sederhana dapat diartikan sebagai variabel yang dipengaruhi oleh variabel lain. Melihat kedudukannya, maka variabel terikat sering juga disebut variabel terpengaruh (Siagian, 2011:90). Menurut Idrus (2009: 80), variabel terikat atau variabel y adalah sejumlah gejala atau faktor maupun unsur yang ada atau muncul dipengaruhi atau ditentukan adanya variabel bebas dan bukan karena ada variabel lain.

(45)

lxx

1. Perkembangan Sosial Anak

a. Perubahan dalam perilaku sosial b. Pengelompokan sosial baru c. Nilai baru dalam penilaian sosial d. Minat sosial

e. Perilaku sosial

2. Perkembangan Kepribadian Anak dilihat dari a. Mandiri dalam berpikir dan bertindak

b. Mampu menjalin relasi sosial yang sehat dengan sesamanya

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Peraturan Bupati Bantul Nomor 96 Tahun 2015 tentang Penjabaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Bantul Tahun Anggaran 2016 (Berita Daerah Kabupaten

Menetapkan : KEPUTUSAN BUPATI BANTUL TENTANG PEMBENTUKAN TIM INTENSIFIKASI PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN TINGKAT KECAMATAN DAN DESA SE KABUPATEN

Universitas Negeri

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Keputusan Bupati Bantul tentang Penunjukan Pejabat Fungsional/ Project

Universitas Negeri

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Keputusan Bupati Bantul tentang Pe,berian Bantuan Keuangan Khusus Kepada

The authors organized the literature into five major areas of interest: The Physical and the Virtual: Libraries and Collections in Transition; Mass Digitization and Its Impact