• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Hak Asasi Manusia Bagi Tenaga Kerja Outsourching Dalam Kajian UU.No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perlindungan Hak Asasi Manusia Bagi Tenaga Kerja Outsourching Dalam Kajian UU.No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN I .1. Latar Belakang

Lahirnya sebuah Undang-undang di sebuah Negara di mulai dari

masalah-masalah yang muncul di dalam masyarakat.Salah satu fungsi pemerintah adalah

membentuk kebijakan publik yang berisi pedoman-pedoman yang harus di tempuh

untuk mengatasi masalah-masalah yang ada di masyarakat.Secara teoritis kebijakan

publik ditujukan untuk menyelesaikan masalah-masalah publik atau masalah

kebijakan1

Undang-undang tersebut muncul karena disebabkan kompleksnya masalah

keetenagakerjaan di Indonesia dan belum terwujud nya kesejahteraan dan kehidupan

yang layak terhadap kaum buruh. Kesejahteraan dan kehidupan yang layak

merupakan hak setiap warga Negara termasuk buruh seperti tertuang dalam UUD

1945 Pasal 27 ayat 1 yang berbunyi : “Setiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan .

Kebijakan merupakan suatu bagian dari politik dikarenakan pemerintah adalah

aktor untuk membuat suatu kebijakan baik itu dalam bentuk peraturan dan

undang-undang. Maraknya masalah ketenagakerjaan yang terjadi membuat Negara harus

turun tangan langsung untuk membuat suatu peraturan yang mengatur mengenai

ketenagakerjaan. Sehingga lahir suatu peraturan yang di buat oleh pemerintah yang

mengatur tentang ketenagakerjaan dalam bentuk suatu undang-undang.

1

(2)

penghidupan yang layak”. Atas dasar tersebut pemerintah mengeluarkan berbagai

kebijakan untuk melindungi kepentingan para buruh.Dalam hal ini pemerintah harus

membuat suatu kebijakan yang tidak merugikan kaum buruh.Sehingga muncul

undang-undang ketenagakerjaan yang tertuang dalam UU No.13 Tahun 2003.

UU No.13 Tahun 2003 merupakan suatu upaya pemerintah dalam hal

mewujudkan pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari

pembangunan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 untuk mewujudkan bangsa Indonesia seutuhnya dan

pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya dan untuk meningkatkan harkat,

martabat dan harga diri tenaga kerja serta mewujudkan masyarakat sejahtera, adil,

makmur dan merata.

UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan merupakan usaha pemerintah

untuk mewujudkan demokrasi di tempat kerja sehingga diharapkan dapat mendorong

keoptimalan dari seluruh tenaga kerja dan pekerja/buruh Indonesia agar dapat

membangun Negara Indonesia sesuai dengan yang dicita-citakan. Peraturan

undang-undang yang selama ini berlaku di Indonesia merupakan hasil karya kolonial dimana

peraturan yang di buat tersebut menempatkan posisi para pekerja ke dalam posisi

yang tidak menguntungkan dimana peraturan perundang-undangan selama ini lebih

menonjolkan perbedaan kedudukan dan kepentingan sehingga dipandang sudah tidak

sesuai lagi kebutuhan masa kini dan masa yang akan datang sehingga perlu

diperbaharui agar undang-undang yang berlaku dapat mewujudkan keadilan dan

kesejahteraan bagi kaum buruh atau pekerja sehingga tidak mengutungkan para

(3)

Peraturan perundang-undangan tentang ketenagakerjaan telah mengalami

perkembangan mulai dari Indonesia masih berada di bawah penjajahan belanda.

Sejak Negara Indonesia di bawah penjajahan Belanda sampai pemerintahan Orde

Lama telah banyak ordonansi-ordonansi dan peraturan perundang-undangan di

bentuk, disahkan dan diberlakukan yaitu:

1. Ordonansi tentang pendaftaran budak(Stbl.1819 No.58,Stbl.1829 No.22a

dan 34,Stbl.1822 No.8, Stbl.1824 No.11, Stbl.1827 No.20, Stbl.1834 No.47,

Stbl 1841 No.15).

2. Ordonansi tentang pajak atas pemilikan budak(Stbl.1820 No.39a, Stbl.1822

No.12a, Stbl 1827 No.81, Stbl 1828, No.52, Stbl.1829 No.53, Stbl.1830

No.16, Stbl.1835,No.20 dan 53, Stbl.1836 No.40).

3. Ordonansi tentang larangan pengangkutan budak yang masih kanak-kanak di

bawah umur 10 tahun(Stbl.1829 No.29, Stbl.1851 No.37).

4. Ordonansi tentang pendaftaran anak budak(Stbl.1833 No.67).

5. Ordonansi tentang penggantian nama para budak(Stbl.1834 No.59).

6. Ordonansi tentang pembebasan dari perbudakan bagi pelaut yang dijadikan

budak(Stbl.1848 No.49).

7. Ordonansi tentang budak dan perdagangan budak(Stbl.1825 N0.44,

Stbl.1831 No.43, Stbl.1851 No.66).

8. Ordonansi tentang pengerahan orang Indonesia untuk melakukan pekerjaan

di luar Indonesia(Staatsblaad tahun 1887 No.8).

9. Ordonansi tentang pembatasan kerja anak dan kerja malam bagi

(4)

10.Ordonansi tentang kerja anak-anak dan orang muda di atas kapal(staatsblad

tahun 1926 No.87).

11.Ordonansi tentang pemulangan buruh yang diterima atau dikerahkan dari

luar Indonesia(Staatsblad tahun 1939 No.545).

12.Ordonansi tentang mengatur kegiatan-kegiatan mencari calon

pekerja(Staatsblad tahun 1936 No.208 tanggal 4 Mei 1936).

13.Ordonansi tentang pembatasan kerja anak-anak(Staatsblad tahun 1949

No.8).

14.Undang-undang No.1 tahun 1951 tentang pernyataan berlakunya UU kerja

tahun 1948 No.12 dari RI untuk seluruh Indonesia(lembaran Negara tahun

1952 No.2).

15.Undang-undang No.21 tahun 1954 tentang perjanjian perburuhan antara

serikat buruh dan majikan(lembaran Negara tahun 1954 No.69, tambahan

lembaran Negara No.598a)

16.Undang-undang No.22 tahun 1957 tentang penyelesaian perselisihan

perburuhan(lembaran Negara tahun 1959 No.42, tambahan lembaran Negara

No.1227).

17.Undang-undang No.3 tahun 1958 tentang penempatan tenaga

asing(lembaran Negara tahun 1958 No.8)

18.Undang-undang No.7 prp tahun 1963 tentang pencegahan pemogokan atau

penutupan di perusahaan, jawatan dan badan yang vital(lembaran Negara

(5)

19.Undang-undang No.12 tahun 1964 tentang pemutusan hubungan kerja

diperusahaan swasta(lembaran Negara tahun 1964 No. 93, tambahan

lembaran Negara No.2686)2

Dalampemerintah orde baru telah dibentuk, disahkan dan diberlakukan

peraturan perundang-undangan dan mencabut peraturan pada masa penjajahan

Belanda dan pemerintahan orde lama yaitu:

1.Undang-undang No.14 tahun 1969 tentang ketentuan-ketentuan pokok

tenaga kerja(lembaran Negara tahun 1969 No.55, tambahan lembaran Negara

No.2912).

2.Undang-undang No.1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja(lembaran

Negara tahun 1970 No.1, tambahan lembaran Negara No.2918).

3.Undang-undang No.7 tahun 1981 tentang wajib lapor ketenagakerjaan di

perusahaan

4.Peraturan pemerintah RI No.8 tahun 1981 tentang perlindungan upah.

5.Undang-undang No.3 tahun 1992 tentang jaminan social tenaga

kerja(lembaran Negara 1992 No.14, tambahan lembaran Negara No.3468).

6.Undang-undang No.25 tahun 1997 tentang ketenagakerjaan, tanggal 3

Oktober 1997 beserta peraturan pelaksana.

7.Peraturan perundang-undangan lainnya yang meratifikasi konvensi

perburuhan internasional.

2

(6)

Sedang pemerimtahan B.J.Habibi dan Gus Dur hanya menerbitkan

peraturan-peraturan-peraturan pelaksanaan dari Undang-undang No.25 tahun 1997 tentang

ketenagakerjaan. Pada pemerintahan Megawati Soekarnoputri telah mensahkan dan

memberlakukan Undang-undang RI No.20 tahun 2000 tentang serikat pekerja atau

serikat buruh dan Undang-undang RI. No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.

Dalam pemerintahan Susilo Bambang yudhoyono(SBY) telah mensahkan dan

memberlakukan Undang-undang RI. No 2 tahun 2004 tentang penyelesaian

perselisihan hubungan industrial, Undang-undang RI No.39 tahun 2004 tentang

penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri dan

Undang-undang RI No.40 tahun 2004 tentang sistem jaminan sosial nasional, peraturan

pemerintah RI No.8 tahun 2005 tentang tata kerja dan susunan organisasi lembaga

kerja sam tripartit, keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Nomor :

Kep.14/Men/1/2005 tentang pencegahan pemberangkatan TKI non prosedural dan

pelayanan pemulangan TKI. Dengan latar belakang ini Undang-undang

ketenagakerjaan yang dibentuk, disahkan dan diberlakukan adalah untuk memberi

jaminan dan perlindungan hukum kepada semua buruh/pekerja/karyawan untuk

mendapatkan hak-hak normatif dari pengusaha, sehingga buruh/pekerja/karyawan

mendapatkan kepastian hukum dan keadilan secara normatif.

Undang-undang No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan merupakan

undang-undang yang mengatur segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja

pada waktu sebelum, selama dan sesudah masa kerja. UU tersebut diundangkan pada

(7)

dibidang ketenagakerjaan yang dipandang sudah tidak lagi sesuai dengan kebutuhan

dan tuntutan pembangunan ketenagakerjaan dinyatakan tidak berlaku.

Undang-undang No.13 Tahun 2003 dibentuk, disahkan dan diberlakukan

dengan cita-cita ingin mewujudkan suatu landasan, asas dan tujuan dalam

pembangunan ketenagakerjaan serta mewujudkan hubungan industrial sesuai dengan

nilai-nilai pancasila dan juga perlindungan buruh termasuk perlindungan terhadap

hak-hak dasar pekerja atau buruh, perlindungan upah, kesejahteraan dan jaminan

sosial tenaga kerja3

Problema outsourching di Indonesia semakin parah seiring dilegalkannya

praktik outsourching dengan undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang

ketenagakerjaan yang banyak menuai kontroversi. Di tengah kekhawatiran

masyarakat akan lahirnya kembali bahaya kapitalisme, pemerintah malah melegalkan

praktik outsourching yang secara ekonomi dan moral merugikan pekerja atau buruh.

. Kenyataannya bahwa suatu peraturan perundang-undangan

dibuat, disahkan dan diberlakukan untuk kepentingan rakyat. Namun, dalam

undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan masih ada yang menjadi polemik

dan problemadi Indonesia khususnya yang terkait dengan outsourching.

Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan memang tidak

tidak menyebutkan secara tegas mengenai istilah dari outsourching, namun dalam

pasal 64 secara tidak langsung disinggung mengenai outsourching yaitu :perusahaan

dapat menyerahkan sebahagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya

melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja atau buruh yang

dibuat secara tertulis

3

(8)

Indikasi lemahnya perlindungan hak asasi kepada pekerja atau buruh terutama

pekerja kontrak yang bekerja pada perusahaan outsourching yang disebabkan

dilegalkannya sistem outsourching bisa dilihat dari banyaknya penyimpangan dan

pelanggaran yang terjadi terhadap norma kerja dan norma keselamatan dan kesehatan

kerja (K3) yang dilakukan oleh pengusaha dalam menjalankan bisnis outsourching.

Penyimpangan dan pelanggaran tersebut dapat dikategorikan sebagai berikut :

1. Perusahaan tidak melakukan klasifikasi terhadap pekerjaan utama (core

Business) dan pekerjaan penunjangan perusahaan (Non Core Business) yang

merupakan dasar dari pelaksanaan outsourching (Ahli daya), sehingga dalam

prakteknya yang di-outsource adalah sifat dan jenis pekerjaan utama

perusahaan. Tidak adanya klasifikasi atau pengelompokan terhadap sifat dan

jenis pekerjaan yang di-outsource mengakibatkan pekerja atau buruh

dipekerjakan untuk jenis-jenis pekerjaan pokok atau pekerjaan yang

berhubungan langsung dengan proses produksi, bukan sebagai kegiatan

penunjang sebagaiman yang dikehendaki oleh undang-undang.

2. Perusahaan yang menyerahkan pekerjaan (Principal) menyerahkan sebagian

pelaksanaan pekerjaannya kepada perusahaan lain atau perusahaan penerima

pekerjaan (Vendor) yang tidak berbadan hukum.

3. Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja atau buruh

outsourching sangat minim jika dibandingkan dengan pekerja atau buruh

lainnya yang bekerja langsung pada perusahaan principal yang sesuai dengan

(9)

Kesenjangan antara Das Sollen (Keharusan) dan Das Sain (Kenyataan) dalam

sistem outsourching selain menimbulkan penderitaan bagi kaum pekerja atau buruh

juga berdampak pada kemajuan produktivitas perusahaan menurut Robert Owen

(1771-1858)4

Pasca dilegalkannya sistem outsourching yang tidak sedikit menuai

kontroversi, pemerintah justru mengurangi tanggungjawabnya dalam memberikan

perlindungan hukum bagi pekerja atau buruh. Kebijakan dibidang ketenagakerjaan

(employment policy) baik pada tingkat lokal maupun nasional dirasakan kurang rangkaian sikap pekerja atau buruh dalam hubungan kerja sangat

berpengaruh terhadap produktivitas karena terkait dengan motivasi untuk

meningkatkan prestasi kerja. Pekerja atau buruh akan lebih bekerja keras apabila

mereka percaya bahwa perusahaan memperhatikan kesejahteraan mereka fenomena

seperti ini sering disebut Hawthorne Effect.

Kontroversi atau tidaknya praktek outsourching tersebut tergantung pada

kepentingan yang melatarbelakangi konsep dari masing-masing subyek. Bagi yang

setuju berpendapat bahwa outsourching bermanfaat dalam pengembangan usaha,

memicu tumbuhnya bentuk usaha-usaha baru (kontraktor) yang secara tidak langsung

membuka lapangan pekerjaan bagi pencari kerja, dan bahkan diberbagai Negara

praktik seperti ini bermanfaat dalam hal peningkatan pajak, pertumbuhan dunia usaha,

pengetasan pengangguran dan kemiskinan serta meningkatkan daya beli masyarakat.

Sedangkan bagi perusahaan sudah pasti setuju dengan praktik outsourching

dikarenakan setiap kebijakan bisnis diorientasikan kepada keuntungan.

4

(10)

mengarah pada upaya menjadikan pekerja atau buruh sebagai bagian dari mekanisme

pasar dan komponen produksi yang memiliki nilai jual untuk perusahaan.

Jika dilihat dari sisi perusahaan sistem outsourching menguntungkan

perusahaan sebab pihak perusahaan sewaktu-waktu dapat melakukan pemutusan

hubungan kerja (PHK). Pihak perusahaan biasanya juga tidak membayar tunjangan

hari raya (THR) dengan alasan bukan karyawan tetap. Sehingga hal ini menyebabkan

para pekerja atau buruh pada setiap peringatan hari Buruh Sedunia (May Day) terus

mengemukakan masalah sistem outsourching. Tuntutan para pekerja atau buruh dari

tahun ke tahun hampir sama yaitu agar sistem outsourching segera dihapuskan.

Beberapa tahun terakhir ini bukan hanya merasakan kian menurunnya kesejateraan

akibat terus menurunnya upah riil dan daya beli melainkan merasa tidak nyaman

akibat tidak adanya jaminan dan kepastian akan masa depan.

Sistem outsourching yang diterapkan diperusahaan-perusahaan Indonesia

sesungguhnya mengikuti pola penerimaan tenaga kerja diperusahaan-perusahaan

asing seperti MNC (Multinational Corporation) atau TNC (Transnational

Corporation). Mengingat masih tingginya angka penganguran di Indonesia maka pola

penerimaan tenaga kerja outsourching tetap eksis. Ini dapat dilihat dari permintaan

untuk mendapatkan pekerjaan tergolong tinggi meskipun dalam status outsourching.

Selanjutnya yang menjadi persoalan adalah para pekerja outsourching ini kemudian

menuntut agar pihak perusahaan menerima mereka menjadi karyawan tetap dan pihak

perusahaan memberikan tunjangan hari raya (THR).

Menanggapi persoalan tersebut Benny A Susetyo mengatakan “nasib pekerja

(11)

pemerintah yang membiarkan praktik outsourching yang kerap tak manusiawi5.

Tepatlah dengan apa yang dikatakan oleh Robert Cooter bahwa sudah menjadi sifat

pengusaha untuk terus melakukan efisiensi dan memaksimalkan hasil usaha6.

Efisiensi oleh pengusaha ternyata berakibat jauh bagi para pekerja atau buruh

lebih-lebih untuk pekerja atau buruh waktu tertentu termasuk pekerja atau buruh

outsourching7

5

Benny A Susetyo. ”Masih Saktikah Pancasila Kita”.Artikel dalam harian umum kompas hal.6

6

Robert Cooter.1998.Law and Economic.illionis: Scot foresman & Co, 1998. hal.12

7

Gunarto Suhardi .2006.Perlindungan Hukum Bagi Para Pekerja Kontrak Outsourching.Yogyakarta.Universitas atma jaya hal.25

. Pengusaha semata-mata hanya berorientasi kepada keuntungan dan

mengabaikan hak normatif dari pekerja atau buruh .

Praktek outsourching ditolak dan ditentang karena hal ini merupakan pola

perbudakan jaman modern yang harus ditentang. Dengan praktek tersebut posisi para

pekerja atau buruh akan sangat lemah. Sampai pada saat ini kondisi pekerja atau

buruh di Indonesia masih tertindas karena hak-haknya tidak dipenuhi oleh

perusahaan. Sistem outsourching telah merugikan hak pekerja atau buruh secara

keseluruhan. Persoalan yang selama ini menjadi polemik dikalangan pekerja atau

buruh selalu dikeluhkan oleh pekerja atau buruh dengan adanya sistem outsourching

adalah pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak yang dilakukan oleh

perusahaan terhadap pekerja atau buruh tanpa memenuhi kewajiban sebagaimana

telah diatur dalam undang-undang ketenagakerjaan. Dengan status pekerja atau buruh

outsourching maka pihak perusahaan tidak memiliki kewajiban yang harus

dipenuhinya seperti pesangon atau uang cuti maupun pemberian jaminan keselamatan

(12)

Dengan adanya undang-undang ini maka diharapkan hak-hak para tenaga

kerja serta hal lain mengenai tenaga kerja dapat terjamin. Akan tetapi dalam

undang-undang tersebut terdapat satu pasal yang isinya dirasa cukup merugikan bagi para

tenaga kerja. Yaitu pasal 64 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan yang mengatur tentang penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan

kepada perusahaan lainnya (Outsourcing). Pasal tersebut menyatakan bahwa

“Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan

lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja / buruh

yang dibuat secara tertulis”.

Dari pasal ini mempunyai dampak baik secara langsung maupun tidak

langsung bagi semua tenaga kerja outsourcing di Indonesia yang dirasakan sangat

merugikan bagi hak-hak para tenaga kerja karena aturan tersebut dianggap

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana yang termuat dalam

Pasal 27 ayat 2 yaitu bahwa “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan

penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, serta Pasal 28D ayat (2) yaitu “setiap

orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yangadil dan layak

dalam hubungan kerja”

Selain kedua pasal tersebut diatas, Pasal 64 Undang-Undang No 13 Tahun

2003 juga dirasakan bertentangan dengan Pasal 33 ayat (1) 5Undang-Undang Dasar

1945 yang menyatakan bahwa “ perekonomian disusun sebagai usaha bersama

berdasar atas asas kekeluargaan”. Peraturan dalam Undang-Undang tentang

Ketenagakerjaan tersebut juga bertentangan denga ketentuan yang telah diatur dalam

(13)

Pada kenyataannya, masih terlihat banyak tenaga kerja outsourching di

Indonesia tidak terpenuhi hak-hak asasinya sedangkan kewajiban harus terus

dijalankan. Dari apa yang telah diuraikan diatas maka penulis tertarik untuk meneliti,

mengkaji dan mengangkat judul skripsi yaitu “ Perlindungan Hak Asasi Manusia Bagi

Tenaga Kerja Outsourching dalam Kajian UU.No.13 Tahun 2003 Tentang

Ketenagakerjaan”

I.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dalam latar belakang maka dalam

penelitian ini yang menjadi rumusan masalah adalah “Bagaimanakah perlindungan

hak asasi manusia bagi para tenaga kerja khususnya tenaga kerja outsourching?”

I.3. Pembatasan Masalah

Dalam sebuah penelitian dubutuhkan adanya pembatasan masalah terhadap

masalah yang akan diteliti. Penulis perlu membuat pembatasan masalah agar hasil

penelitian yang diperoleh atau didapatkan tidak menyimpang dari tujuan dan kajian

yang akan dicapai sehingga menjadi karya tulis yang sistematis. Adapun batasan

masalah dalam penelitian ini adalah penelitian ini terbatas pada pengkajian

peraturan-peraturan pemerintah dalam memberikan perlindungan hak asasi manusia bagi tenga

kerja khususnya tenaga kerja outsourching

I.4. Tujuan Penelitian

(14)

1. Untuk mendeskripsikan peraturan-peraturan pemerintah yang melndungi hak

asasi manusia bagi para tenaga kerja khususnya tenaga kerja outsourching

2. Untuk mengetahui sejauhmanakah pemerintah dalam melindungi hak asasi

manusia bagi para tenaga kerja khususnya tenaga kerja outsourching.

I.5. Manfaat Penelitian

Setiap penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat, terlebih lagi untuk

perkembangan ilmu pengetahuan. Adapun yang menjadi manfaat yang diharpakan

dari penelitian ini adalah :

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan sebuah

informasi dalam menambah wawasan dan wacana berpikir dan kesadaran

bersama dalam berbagai bidang keilmuan mengenai hak-hak asasi bagi para

tenaga kerja yang sering diabaikan khususnya bagi para tenaga kerja

outsourching.

2. Bagi penulis sendiri, penelitian ini bermanfaat untuk mengembangkan

kemampuan berpikir dalam menulis sebuah karya ilmiah.

I.6. Kerangka Teori dan Konsep

Dalam sebuah penelitian dibutuhkan kerangka teori sebagai landasan atau

pedoman berpikir. Teori merupakan serangkaian asumsi, konsep dan konstruksi

defenisi dan proposis untuk menerangkan fenomena sosial dengan cara merumuskan

hubungan antara konsep. Ringkasnya teori adalah hubungan suatu konsep dengan

konsep lainnya untuk menjelaskan suatu fenomena tertentu8

8

Masri Singarimbun & Sofian Effendi,1989. Metode Penelitian Survey, Jakarta : LP3ES, hal 37

(15)

generalisasi dari sekelompok fenomena tertentu, sehingga dapat digunakan untuk

menggambarkan berbagai fenomena yang sama. Atau konsep adalah suatu kata atau

lambang yang menggambarkan kesamaan-kesamaan dalam berbagai gejala walaupun

berbeda9

Setiap jenis analisis yang menghasilkan dan menyajikan informasi dapat

menjadi dasar bagi para pengambil kebijakan di dalam menguji argumennya.Analisis

dalam kerangka kebijakan publik secara tidak langsung menunjukkan penggunaan

institusi dan pertimbangan yang mencakup tidak hanya pengujian kebijakan dengan

pemecahan ke dalam komponen-komponennya, tetapi juga merencanakan dan

mencari sintesis atas alternatif-alternatif yang memungkinkan.Kegiatan ini mencakup

penyelidikan untuk menjelaskan atau memberikan wawasan terhadap problem atau

isu yang muncul atau untuk mengevaluasi program yang sudah berjalan. Menurut

Charles O. Jones kebijakan terdiri dari komponen-komponen sebagai berikut: .

I.6.1Teori dan konsep kebijakan publik

10

Goal atau tujuan yang diinginkan,

Plans atau proposal, yaitu pengertian yang spesifik untuk mencapai tujuan,

Program, yaitu upaya yang berwenang untuk mencapai tujuan,

Decision atau keputusan, yaitu tindakan-tindakan untuk menentukan

tujuan, membuat rencana, melaksanakan dan mengevaluasi program.

9

Rianto Adi,2004. Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Jakarta : Granit, hal 27

10Hessel Nogi S. Tangkilisan. 2005. Kebijakan Publik Yang Membumi. Yogyakarta: Yayasan Pembaruan

(16)

• Efek, yaitu akibat-akibat dari program (baik disengaja atau tidak, primer

atau sekunder).

Jadi pada dasarnya studi kebijakan publik berorientasi pada pemecahan

masalah riil yang terjadi di tengah masyarakat.Lebih lanjut dikatakan bahwa dalam

hubungannya dengan tindakan pemerintah untuk mengatasi masalah-masalah

masyarakat, maka kebijakan adalah keputusan-keputusan pemerintah untuk

memecahkan masalah-masalah yang telah diutarakan. Dalam memecahkan masalah

yang dihadapi kebijakan publik, Dunn mengemukakan bahwa ada beberapa tahap

analisis yang harus dilakukan yaitu, (agenda setting) penetapan agenda kebijakan;

(policy formulation) formulasi kebijakan; (policy adoption) adopsi kebijakan; (policy

implementation) isi kebijakan, dan (policy assessment) evaluasi kebijakan.11

1. Agenda Setting

Tahap penetapan agenda kebijakan ini, yang harus dilakukan pertama kali

adalah menentukan masalah publik yang akan dipecahkan. Pada hakekatnya

permasalahan ditemukan melalui proses problem structuring. Menurut Dunn problem

structuring memiliki 4 fase yaitu : pencarian masalah (problem search), pendefenisian

masalah (problem definition), spesifikasi masalah (problem specification) dan

pengenalan masalah (problem setting).

2. Policy Formulation

Berkaitan dengan policy formulation, Woll berpendapat bahwa formulasi

kebijakan berarti pengembangan sebuah mekanisme untuk menyelesaikan masalah

(17)

publik, dimana pada tahap para analis kebijakan publik mulai menerapkan beberapa

teknik untuk menjustifikasikan bahwa sebuah pilihan kebijakan merupakan pilihan

yang terbaik dari kebijakan yang lain. Dalam menentukan pilihan kebijakan pada

tahap ini dapat menggunakan analisis biaya manfaat dan analisis keputusan, dimana

keputusan yang harus diambil pada posisi tidak menentu dengan informasi yang serba

terbatas.

Pada tahap formulasi kebijakan ini, para analis harus mengidentifikasikan

kemungkinan kebijakan yang dapat digunakan melalui prosedur forecasting untuk

memecahkan masalah yang di dalamnya terkandung konsekuensi dari setiap pilihan

kebijakan yang akan dipilih.

3. Policy Adoption

Tahap adopsi kebijakan merupakan tahap untuk menentukan pilihan kebijakan

melalui dukungan para stakeholdersatau pelaku yang terlibat. Tahap ini dilakukan

setelah melalui proses rekomendasi dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1) Mengidentifikasi alternatif kebijakan (policy alternative) yang dilakukan

pemerintah untuk merealisasikan masa depan yang diinginkan dan

merupakan langkah terbaik dalam upaya mencapai tujuan tertentu bagi

kemajuan masyarakat luas.

2) Pengidentifikasian kriteria-kriteria tertentu dan terpilih untuk menilai

(18)

3) Mengevaluasi alternatif-alternatif tersebut dengan menggunakan

kriteria-kriteria yang relevan (tertentu) agar efek positif alternatif kebijakan

tersebut lebih besar daripada efek negatif yang akan terjadi.

4. Policy Implementation

Pada tahap ini suatu kebijakan telah dilaksanakan oleh unit-unit eksekutor

(birokrasi pemerintah) tertentu dengan memobilisasikan sumber dana dan sumber

daya lainnya (teknologi dan manajemen), dan pada tahap ini monitoring dapat

dilakukan. Menurut Patton dan Sawicki bahwa implementasi berkaitan dengan

berbagai kegiatan yang diarahkan untuk merealisasikan program, dimana pada posisi

ini eksekutif mengatur cara untuk mengorganisir, menginterpretasikan dan

menerapkan kebijakan yang telah diseleksi. Sehingga dengan mengorganisir, seorang

eksekutif mampu mengatur secara efektif dan efisien sumber daya, unit-unit dan

teknik yang dapat mendukung pelaksanaan program, serta melakukan interpretasi

terhadap perencanaan yang telah dibuat, dan petunjuk yang dapat diikuti dengan

mudah bagi realisasi program yang dilaksanakan.

Jadi tahapan implementasi merupakan peristiwa yang berhubungan dengan

apa yang terjadi setelah suatu perundang-undangan ditetapkan dengan memberikan

otoritas pada suatu kebijakan dengan membentuk output yang jelas dan dapat diukur.

Tugas implementasi sebagai suatu penghubung yang memungkinkan tujuan-tujuan

kebijakan mencapai hasil melalui aktivitas atau kegiatan dari program pemerintah.

(19)

Tahap akhir dari proses pembuatan kebijakan adalah penilaian terhadap

kebijakan yang telah diambil dan dilakukan. Dalam penilaian ini semua proses

implementasi dinilai apakah telah sesuai dengan yang telah ditentukan atau

direncanakan dalam program kebijakan tersebut sesuai dengan ukuran-ukuran

(kriteria-kriteria) yang telah ditentukan. Evaluasi kebijakan dapat dilakukan oleh

lembaga independen maupun pihak birokrasi pemerintah sendiri (sebagai eksekutif)

untuk mengetahui apakah program yang dibuat oleh pemerintah telah mencapai tujuan

atau tidak. Apabila ternyata tujuan program tidak tercapai atau memiliki kelemahan,

maka pemerintah harus mengetahui apa penyebab kegagalan (kelemahan) tersebut

sehingga kesalahan yang sama tidak terulang di masa yang akan datang.

Menurut Dunn evaluasi kebijakan publik mengandung arti yang berhubungan

dengan penerapan skala penilaian terhadap hasil kebijakan dan program yang

dilakukan.Jadi termologi evaluasi dapat disamakan dengan penaksiran (apprasial),

pemberian angka (rating), dan penilaian (assesment).Dalam arti yang lebih spesifik

lagi, evaluasi kebijakan berhubungan dengan produk informasi mengenai nilai atau

manfaat hasil kebijakan. Maka dapat diketahui sifat dari evaluasi sebagai berikut :

1) Fokus nilai, dimana evaluasi dipusatkan pada penilaian menyangkut

keperluan atau nilai dari suatu kebijakan dan program.

2) Interdependensi fakta dan nilai, dimana tuntutan evaluasi tergantung pada

fakta dan nilai untuk menyatakan bahwa kebijakan atau program tertentu

(20)

3) Orientasi masa kini dan masa lampau, dimana evaluasi bersifat retrospektif

dilakukan setelah aksi-aksi dilakukan, sekaligus bersifat prospektif untuk

kegunaan masa mendatang.

4) Dualitas nilai, dimana nilai-nilai yang mendasari tuntutan evaluasi

mempunyai kualitas ganda karena dipandang mempunyai tujuan dan

sekaligus cara.

I.6.2.Teori Implementasi Kebijakan Publik

Mempelajari mengenai implementasi kebijakan publik kita jangan hanya

menyoroti perilaku-perilaku lembaga-lembaga administrasi atau badan-badan yang

bertanggung jawab atas suatu program berikut pelaksanaannya terhadap

kelompok-kelompok sasaran(target groups), tetapi perlu juga memperhatikan secara cermat

berbagai kekuatan jaringan politik,ekonomi,sosial yang langsung atau tidak langsung

berpengaruh terhadap perilaku dari berbagai pihak yang terlibat dalam suatu program

dan akhirnya membawa dampak (yang diharapkan maupun tidak) terhadap program

tersebut12

12

Abdul, Solihin. 2008.Pengantar Anaslisis Kebijakan Publik, Malang : Penerbit Universitas Muhammadiyah,hal.176

.

Secara garis besar dapat dikatakan bahwa fungsi implemetasi itu ialah untuk

membentuk suatu hubungan yang memungkinkan tujuan-tujuan ataupun

sasaran-sasaran publik diwujudkan sebagai “outcome”(hasil akhir) kegiatan-kegiatan yang

dilakukan pemerintah

(21)

pernyataan umum yang berisikan tujuan, sasaran dan berbagai macam sarana yang

kesemuanya dimaksudkan untuk mewujudkan tujuan-tujuan ataupun sasaran yang

telah dinyatakan dalam kebijakan tersebut. Hal ini menjadi penyebab mengapa

berbagai macam program mungkin sengaja dikembangkan guna mewujudkan tujuan –

tujuan kebijakan yang kurang lebih sama. Program-program aksi itu sendiri boleh jadi

juga diperinci lebih lanjut dalam bentuk proyek-proyek yang akan dilaksanakan.

Pemerincian program-program ke dalam bentuk proyek-proyek ini dapat kita

maklumi mengingat proyek-proyek itu merupakan instrumen yang lazim digunakan

untuk mengimplementasikan kebijakan.

Kebijakan yang telah direkomendasikan untuk dipilih oleh policy makers

bukanlah jaminan bahwa kebijakan tersebut pasti berhasil dalam implementasinya.

Ada banyak variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan baik

yang bersifat individual maupun kelompok atau institusi. Implementasi dari suatu

program melibatkan upaya-upaya policy makers untuk mempengaruhi perilaku

birokrat pelaksana agar bersedia memberikan pelayanan dan mengatur perilaku

kelompok sasaran.13

13

Subarsono 2005. Analisis Kebijakan Publik, Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Hal.87

Dalam berbagai sistem politik, kebijakan publik diimplementasikan oleh

badan-badan pemerintah. Badan badan tersebut melaksanakan pekerjaan-pekerjaan

pemerintah dari hari ke hari yang membawa dampak pada warga negaranya. Politik

menurut Frank Goodnow yang menulis pada tahun 1900, berhubungan dengan

penetapan kebijakan yang akan dilakukan oleh negara. Ini berhubungan dengan nilai

(22)

pemerintah. Namun dalam praktik badan-badan pemerintah sering menghadapi

pekerjaan-pekerjaan di bawah mandat undang-undang yang terlalu makro dan mendua

(ambiguous) sehingga memaksa mereka untuk membuat diskresi, untuk memutus apa

yang seharusnya dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan

Implementasi melibatkan usaha dari policy makers untuk mempengaruhi apa

yang Lipsky disebut” street level bureaucrats” untuk memberikan pelayanan atau

mengatur perilaku kelompok sasaran (target group). Untuk kebijakan yang sederhana,

implementasi hanya melibatkan satu badan yang berfungsi sebagai implementor,

misalnya kebijakan pemerintah untuk mengubah undang-undang ketenagakerjaan

agar sesuai dengan keinginan dan kesejahteraan buruh. Maka usaha-usaha

implementasi ini akan melibatkan berbagai institusi seperti Dinas Sosial dan Tenaga

Kerja, Serikat Buruh dan pengusaha.

Kompleksitas implementasi kebijakan bukan saja ditunjukkan oleh banyaknya

aktor atau unit organisasi yang terlibat, tetapi juga dikarenakan proses implementasi

dipengaruhi oleh berbagai variabel yang kompleks, baik variabel yang individual

maupun variabel yang organisasional dan masing-masing variabel pengaruh tersebut

juga saling berinteraksi satu sama lain. Keberhasilan implementasi kebijakan akan

ditentukan oleh banyak variabel atau faktor, dan masing-masing variabel tersebut

saling berhubungan satu sama lain. Pendekatan yang digunakan terhadap studi

implementasi kebijakan dimulai dari sebuah intisari dan menanyakan : Apakah

prakondisi untuk implemetasi kebijakan yang berhasil? Apakah rintangan primer

untuk implementasi kebijakan yang sukses. Dalam pengkajian terhadap implementasi

(23)

untuk membantu atau bersifat merintangi implementasi kebijakan. Dalam teori

George Edwards III (1980), implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel

yakni : komunikasi, sumberdaya, disposisi, dan struktur birokrasi14

Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan

konsisten,tetapi apabila implementor kekurangan sumberdaya untuk

melaksanakan,implementasi tidak akan berjalan secara efektif. Sumberdaya tersebut

dapat berupa sumber daya manusia, yakni kompetensi implementor dan sumberdaya

finasial.Sumberdaya adalah faktor penting untuk implementasi kebijakan agar

efektif.Tanpa sumberdaya kebijakan hanya tinggal di kertas dan menjadi dokumen

saja.Sumberdaya yang penting meliputi staf ukuran yang tepat dengan keahlian yang .

a.Komunikasi Agar

implementasi menjadi efektif, maka mereka yang tanggungjawabnya adalah untuk

mengimplementasikan sebuah keputusan mesti tahu apa yang seharusnya mereka

kerjakan. Komando untuk mengimplementasikan kebijakan mesti ditransmisikan

kepada personalia yang tepat dan kebijakan ini mesti akurat, jelas dan konsisten. Jika

para pembuat keputusan ini berkehendak untuk melihat yang diimplementasikan tidak

jelas dan bagaimana rinciannya maka kemungkinan akan timbul kesalahpahaman

diantara pembuat kebijakan dan implementornya. Komunikasi yang tidak cukup juga

memberikan implementor dengan kewenangan ketika mereka mencoba untuk

membalik kebijakan umum menjadi tindakan-tindakan khusus. Sehingga komunikasi

merupakan faktor yang sangat penting dalam pengimplementasian suatu kebijakan.

b.Sumberdaya

14

(24)

diperlukan, informasi yang relevan dan cukup tentang cara untuk

mengimplementasikan kebijakan dan dalam penyesuaian lainnya terlibat dalam

implementasi. Sumberdaya yang tidak cukup akan berarti bahwa undang-undang tidak

akan diberlakukan, pelayanan tidak akan diberikan dan peraturan-peraturan yang

layak tidak akan dikembangkan.

c.Disposisi

Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki implementor, seperti

komitmen, kejujuran dan sifat demokratis.Apabila implementor memiliki disposisi

yang baik, maka dia akan menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang

diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika implementor memiliki sikap atau

perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses implementasi

kebijakan juga menjadi tidak efektif.

Disposisi atau sikap dari implementor adalah faktor kritis ketiga di dalam

pendekatan terhadap studi implementasi kebijakan publik. Jika implementasi adalah

untuk melanjutkan secara efektif, bukan saja mesti para implementor tahu apa yang

harus dikerjakan dan memiliki kapasitas untuk melakukan ini, melainkan juga mereka

mesti berkehendak untuk melakukan suatu kebijakan.

Para implementor tidak selalu siap untuk megimplementasikan kebijakan

sebagaimana mereka para pembuat kebijakan.Konsekuensinya, para pembuat

kebijakan sering dihadapkan dengan tugas untuk mencoba memanipulasi atau

mengerjakan disposisi implementor atau untuk meng opsi-opsinya.Berbagai

pengalaman pembangunan di negara-negara dunia ketiga menunjukkan bahwa tingkat

(25)

Dunia Ketiga, seperti Indonesia adalah contoh konkret dari rendahnya komitmen dan

kejujuran aparat dalam mengimplementasikan program-program pembangunan.

d.Struktur Birokrasi

Struktur organisasi yang bertugas untuk mengimplementasikan kebijakan

memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan.Salah satu dari

aspek struktur yang terpenting dari setiap organisasi adalah prosedur operasi yang

standar (standard operating procedures atau SOP). SOP menjadi pedoman bagi setiap

implementor dalam bertindak. Struktur organisasi yang terlalu panjang akan

cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan red tape, yakni prosedur

birokrasi yang rumit dan kompleks. Hal ini pada gilirannya akan menyebabkan

aktivitas organisasi yang tidak fleksibel.

Sumberdaya yang cukup untuk mengimplementasikan sebuah kebijakan ini

ada dan para implementor tahu apa yang harus dikerjakan dan ingin mengerjakannya,

implementasi mungkin dicegah karena kekurangan dalam struktur

birokrasi.Fragmentasi organisasional mungkin merintangi koordinasi yang perlu

untuk mengimplementasikan dengan sukses sebuah kebijakan kompleks yang

mensyaratkan kerjasama banyak orang dan mungkin juga memboroskan sumberdaya

langka, merintangi perubahan, menciptakan kekacauan mengarah kepada kebijakan

bekerja dalam lintas-tujuan dan menghasilkan fungsi-fungsi penting yang terabaikan.

Karena implementasi kebijakan begitu kompleks, seharusnya tidak diharapkan dapat

diselesaikan dalam satu model rutin. Bahkan presiden tidak bisa mengasumsikan

secara pasti bahwa keputusannya dan komandonya akan dilakukan secara efektif.

(26)

merubah para pengamat kebijakan publik yang paling optimis menjadi sinis dan

pesimis.Kurangnya perhatian terhadap implementasi merupakan salah satu masalah

dalam pengimplementasian kebijakan publik.Implementasi kebijakan telah memiliki

prioritas rendah diantara kebanyakan dari pejabat kita yang terpilih.Para anggota

Kongres dan legislator yang tugasnya untuk mengawasi birokrasi sering kekurangan

keahlian untuk mengimplementasikan kebijakan publik dengan efektif15

Metodologi penelitian adalah sebagai suatu usaha atau proses untuk mencari

jawaban atas suatu pertanyaan atau masalah dengan cara yang sabar, hati-hati,

terencana, sistematis atau dengan cara ilmiah dengan tujuan untuk menemukan fakta

atau prinsip-prinsip, mengembangkan dan menguji kebenaran ilmiah suatu

pengetahuan

.

I.7. Metodologi Penelitian I.7.1.Metode Penelitian

16

Metode penelitian yang akan digunakan untuk menjawab penelitian ini adalah

metode penelitian kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor (1992:21-22) dalam buku

Pengantar Metodologi Penelitian karya Jusuf Soewadji, MA menjelaskan bahwa

penelitian kualitatif diartikan sebagai salah satu prosedur.Penelitian yang

menghasilkan data deskriptif berupa ucapan atau tulisan dan perilaku orang-orang

yang diamati.Pendekatan Kualitatif ini diharapkan mampu menghasilkan uraian yang

mendalam tentang ucapan, tulisan, dan atau perilaku yang diamati dari suatu individu, .

15

Edwards,George. 2003. Implementasi Kebijakan Publik. Yogyakarta Lukman Offset .Hal.3

16

(27)

kelompok masyarakat dan atau organisasi tertentu dalam suatu koneksi tertentu yang

dikaji dari sudut pandang yang utuh, komprehensif dan holistik17

Penelitian ini bersifat kualitatif dengan metode deskriptif analitis.Metode ini

digunakan untuk mengumpulkan dan menganalisis data serta digunakan untuk

mengungkap dan memahami sesuatu di balik fenomena yang sedikit pun belum

diketahui atau dapat juga digunakan untuk mendapatkan wawasan tentang sesuatu

yang baru sedikit diketahui.Sehingga penelitian kualitatif ini dapat memberi rincian

yang kompleks tentang fenomena yang sulit diungkapkan dengan metode

kuantitatif

.

Peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif dikarenakan dalam

penelitian peneliti menggambarkan tentang objek penelitian yang berupa UUD Tahun

1945 tentang Hak Asasi Manusia dan UU.No.13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan

I.7.2. Jenis Penelitian

18

17

Soewadji, jusuf.Pengantar Metodelogi Penelitian.2012.Jakarta. Mitra Wacana Media Hal.52

18

Strauss, Anselm dan Juliet Corbin Dasar-dasar Penelitian Kualitatif.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.hal.5

.

Penelitian ini bersifat kualitatif dengan metode deskriptif analitis dikarenakan

dimana peneliti dalam meneliti objek-objek penelitian memberikan gamabaran dan

analisis terkait objek yang akan diteliti yaitu UUD Tahun 1945 terkai Hak Asasi

Manusia dengan UU.No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

(28)

Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data

sekunder.Data sekunder adalah data yang diperoleh baik yang belum diolah maupun

yang telah diolah baik dalam bentuk angka maupun uraian. Data dapat diperoleh dari

literature yang relevan dengan judul penelitian seperti buku-buku, jurnal,

artikel,makalah, peraturan, Undang-Undang, internet dan sumber-sumber lain yang

dapat memberikan informasi mengenai masalah penelitian.

I.7.4 Teknik Analisa Data

Sesuai dengan metode penelitian dalam menganalisis data, pada penelitian ini

teknik analisi data yang digunakan adalah teknik analisis data deskriptif kualitatif,

yaitu teknik tanpa menggunakan alat bantu dengan rumus statistik danmemberikan

hasilpenelitian untuk memperoleh gambaran terhadap proses yang diteliti dan

menganalisis makna yang ada dibalik informasi, data dan proses tersebut19

Metode kualitatif dapat didefinisikan sebagai proses penelitian yang

menghasilkan data deskriptif yang mengkaji masalah secara kasus per kasus. Teknik

ini mendeskripsikan data-data yang ada dan dilakukan analisis sehingga diperoleh

gambaran yang jelas tentang objek yang akan diteliti dan kemudian dilakukan

penarikan kesimpulan

.

20

Sistematika penulisan merupakan penjabaran rencana penulisan untuk lebih

mengarahkan dan mempermudah penulis sehingga penlis lebih fokus dalam .

I.8. Sistematika Penulisan

19

Burhan, Bungin.2009. Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial Lainnya, Jakarta :Kencana Hal.153

20

(29)

melakukan pembahasan karya ilmiah ini. Maka penulis membagi sistematika

penulisan ini kedalam empat bab yaitu.

BAB I :PENDAHULUAN

Bab Ini Berisi Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian,

Manfaat Penelitian, Kerangka Teori, Metodologi Penelitian Dan Sistematika

Penulisan.

BAB II :DESKRIPSI PENELITIAN

Dalam bab ini penulis akan memaparkan dan mengambarkan objek-objek

yang akan dijadikan peneliti dalam melakukan penelitian seperti

pengertian-pengertian dan peraturan-peraturan yang dijadikan objek dalam penelitian.

BAB III :ANALISA DATA DAN PEMABAHASAN

Dalam bab ini penulis akan memuat analisa data kemudian melakukan

pembahasan terhadap data penelitian yang telah didapat melalui metode penelitian

yang digunakan.

BAB IV : PENUTUP

Bab ini merupakan bab terakhir dari penelitian skripsi ini yang berisi

kesimpulan dari hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan. Pada bab ini juga akan

terjawab pertanyaan apa yang dilihat dalam penelitian yang dilakukan, serta berisi

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Ikan kuniran betina mencapai matang gonad pertama kali pada ukuran 124 mm dan jantan pada ukuran 120 mm, maka sangat baik jika penangkapan dilakukan terhadap ikan-ikan

Lelaki ini lebih berhati- hati dalam hidup , dan selalu melakukan sesuatu berdasarkan kaedah .Dia tidak suka menukar -nukar rancangan yang telah dibuatnya .Dia agak pendiam

Cost plus pricing adalah metode penentuan harga suatu produk atau jasa yang menggunakan biaya langsung, biaya tidak langsung dan biaya tetap,.. baik yang terkait dengan

Penggunaan checklist GMP dan SSOP dilakukan pada tahapan observasi di Katering A, selanjutnya dilakukan penyusunan HACCP Plan, dimana dilakukan analisa bahaya,

Tim Asesor menemui pimpinan unit pengelola program studi, yang didampingi oleh pimpinan program studi dan tim penyusun borang akreditasi, untuk memperkenalkan diri,

Tidak nyatanya pengaruh umur terhadap efisiensi penggunaan ransum dalam penelitian ini disebabkan karena umur ternak yang digunakan dalam penelitian ini disebabkan

Sesuai dengan permasalahan di atas, maka yang menjadi tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh Current Ratio, Return On Equity dan Market to Book Ratio