• Tidak ada hasil yang ditemukan

Struktur Dan Fungsi Legenda Mas Merah Masyarakat Melayu Pulau Kampai : Kajian Folklor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Struktur Dan Fungsi Legenda Mas Merah Masyarakat Melayu Pulau Kampai : Kajian Folklor"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kepustakaan yang Relevan

Dalam penulisan sebuah karya ilmiah diperlukan kajian pustaka. Kajian

pustaka bertujuan untuk mengetahui keautentikan sebuah karya ilmiah. Keaslian

skripsi dan tesis ini dapat diketahui dari pemaparan skripsi dan tesis. Kajian yang

dimaksud adalah penelaahan terhadap hasil penelitian lain yang relevan dengan

skripsi ini.

Sesuai dengan judul ini yaitu “Struktur dan Fungsi Legenda Mas Merah

Masyarakat Melayu Pulau Kampai: Kajian Folklor”, maka dalam memecahkan persoalan yang timbul dalam penelitian ini penulis menggunakan buku-buku yang

relevan sebagai panduan pendukung yaitu buku-buku tentang Analisis Struktur

dan Nilai Budaya dalam Cerita Rakyat Sumatera Utara: Sastra Melayu oleh

Jayawati, Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain oleh Danandjaja,

Teori Pengkajian Fiksi oleh Nurgiyantoro , dan sebagainya.

Adapun penulis menyelesaikan skripsi ini dengan dibantu dengan pustaka

yang berupa buku-buku serta skripsi dan tesisterdahulu, adapun skripsi dan tesis

yang mendukung dengan kajian yang dianalisis ialah :

Penelitian yang dilakukan oleh Syarial (2009: skripsi, Program Studi

Bahasa dan Sastra Melayu Departemen Sastra Daerah Fakultas Sastra Universitas

Sumatera Utara). Judul penelitian ini adalah “Nilai-Nilai Sosiologis terhadap

Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang”. Hasil dari penelitian ini

(2)

penokohan. Terdapat juga nilai-nilai sosiologis dalam cerita tersebut seperti

adat-istiadat menjunjung duli, lapisan masyrakat, pribadi dan masyarakat.

Adapun beberapa penelitian serupa yang akan dikemukakan adalah

penelitian yang dilakukan oleh Ginting (2014: tesis, Program Studi Pendidikan

Bahasa Indonesia Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia). Judul

penelitian ini adalah “Struktur, Fungsi, Nilai Budaya dalam Legenda di

Kabupaten Karo serta Penerapan Hasilnya dalam Menyusun Bahan Pembelajaran

Sastra di SMP ”. Hasil dari penelitian ini adalah terdapat alur, tokoh beserta

karakternya, latar, tema dan amanat, fungsi yang baik untuk dijadikan pengalaman

hidup. Serta terdapat cerminan perilaku dan pola hidup masyarakat pada

zamannya, sehingga memiliki informasi yang signifikan bagi generasi

selanjutnya.

Adapun persamaan antara penelitian Syarial (Skripsi) dan Ginting (Tesis)

dengan kajian penulis adalah sama-sama mengkaji struktur intrinsik. Sedangkan

perbedaan penelitian Syarial (Skripsi) dengan kajian penulis yaitu pada skripsi

Syarial terdapat nilai-nilai sosiologis dalam cerita tersebut seperti adat-istiadat

menjunjung duli, lapisan masyarakat, pribadi dan masyarakat. Sedangkan pada

kajian penulis tidak ada, sebab penulis tidak mengkaji dari segi sosiologis

melainkan fungsi legenda bagi masyarakat. Dan perbedaan penelitian Ginting

(Tesis) dengan kajian penulis yaitu pada tesis Syarial, terdapat fungsi yang

dijadikan pengalaman hidup dan nilai budaya yang terkandung merupakan

cerminan perilaku dan pola hidup masyarakat pada zamannya, sehingga memiliki

informasi yang signifikan bagi generasi selanjutnya. Sedangkan penulis mengkaji

(3)

Menurut sepengetahuan penulis belum pernah dilakukan penelitian

terhadap Legenda Mas Merah, baik dalam bentuk makalah maupun skripsi yang

secara khusus membahas strukturdanfungsiLegenda Mas Merah pada masyarakat Melayu Pulau Kampai dengan menggunakan kajian folklor.

2.2 Teori yang Digunakan

Menurut Snelbecker (dalam Moleong, 2007:57), teori ialah seperangkat

proposisi yang berinteraksi secara sintaksi (yaitu mengikuti aturan tertentu yang

dapat dihubungkan secara logis dengan lainnya dengan data atas dasar yang dapat

diamati) dan berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan dan menjelaskan

fenomena yang diamati. Adapun teori yang digunakan pada Legenda Mas Merah

yaitu teori struktural dari segi intrinsik pendapat Nurgiyantoro (1995) dan teori fungsi Bascom (1984). Berdasarkan teori-teori tersebut peneliti berusaha

menerapkannya terhadap struktur dan fungsi Legenda Mas Merah masyarakat Melayu Pulau Kampai. Kedua teori pendekatan tersebut digunakan untuk

mendeskripsikan struktur yang membangun legenda tersebut sekaligus

mendeskripsikan fungsinya bagi masyarakat Melayu Pulau Kampai. Berikut akan

dipaparkan kedua teori pendekatan tersebut.

2.2.1 Teori Struktural

Sebuah karya sastra atau fiksi menurut kaum strukturalisme adalah sebuah

totalitas yang dibangun secara koherensif oleh berbagai unsur pembangunnya. Di

satu pihak, struktur karya sastra dapat diartikan sebagai susunan, penegasan dan

gambaran semua bahan dan bagian yang menjadi komponennya yang secara

bersama membentuk kebulatan yang indah. Di pihak lain struktur karya sastra

(4)

timbal balik, saling menentukan, saling mempengaruhi, yang secara bersama

membentuk satu kesatuan yang utuh. Secara sendiri terisolasi dari

keseluruhannya, bahan, unsur atau bagian-bagian tersebut tidak penting, bahkan

tidak ada artinya. Tiap bagian akan menjadi berarti dan penting setelah ada dalam

hubungannya dengan bagian-bagian yang lain, serta bagaimana sumbangannya

terhadap keseluruhan wacana (Abrams dalam Nurgiyantoro, 1995: 36).

Analisis struktural merupakan suatu pendekatan objektif, artinya

pendekatan yang memberi perhatian penuh pada karya sastra sebagai sebuah

struktur. Hal ini menyangkut penerapannya terhadap analisis struktural yang

otonom. Analisis ini menyangkut satu kesatuan bulat antara unsur-unsur

pembangun yang saling terjalin atau berkaitan (Pradopo, 2001:54).

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka analisis struktural adalah

suatu pendekatan dalam penelitian sastra yang memberi perhatian penuh pada

karya sastra sebagai sebuah struktur yang otonom, yang berarti mengkaji

antarunsur pembangun yang berkaitan, dan sedapat mungkin mengesampingkan

data biografik dan historisnya atau dengan kata lain disebut dengan pendekatan

objektif. Analisis struktural karya sastra (fiksi) dapat dilakukan dengan

mengidentifikasi, mengkaji, mendeskripsikan fungsi dan hubungan antarunsur

intrinsik fiksi tersebut, seperti bagaimana keadaan peristiwa-peristiwa, plot, tokoh

dan penokohan, latar, sudut pandang pengarang dan lain-lain, sehingga

membentuk sebuah totalitas kemaknaan yang padu. Selain itu, ada hal yang lebih

penting, yaitu menunjukkan bagaimana hubungan antarunsur itu dan sumbangan

apa yang diberikan terhadap tujuan estetik dan makna keseluruhan yang ingin

(5)

Dalam hubungan mendekati permasalahan yang menyangkut unsur-unsur

penting struktur sebuah cerita, skripsi ini menggunakan teori struktural dari segi

intrinsik pendapat Nurgiyantoro (1995) dan Esten (1978). Uraian beliau mengenai

pengertian tema, alur/ plot, latar, tokoh dan penokohan relevan dengan

permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini.

Pada pembahasan ini yang akan dibahas antara lain tema, alur/plot, latar,

tokoh dan penokohan, serta pesan moral.

1. Tema

Tema adalah suatu pokok permasalahan yang hendak dikemukan. Tema

merupakan pokok pikiran dalam suatu cerita.

Hartoko dan Rahmanto (dalam Nurgiyantoro, 1995:68) menambahkan,

tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan

terkandung di dalam teks sastra sebagai struktur semantis dan yang menyangkut

persamaan maupun perbedaan. Tema disaring dari motif-motif kongkret yang

menentukan urutan peristiwa atau situasi tertentu.

Nurgiyantoro (1995:71) mengatakan bahwa tema berisi tentang masalah

pengalaman kehidupan. Pengalaman ini bisa bersifat individual atau sosial.

Pengalaman tersebut misalnya tentang cinta, kecemasan, dendam, kesombongan,

takut, maut, religius, harga diri, kesetiakawanan, pengkhianatan, kepahlawanan,

keadilan dan kebenaran. Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat

disimpulkan bahwa tema adalah pokok permasalahan atau gagasan pokok yang

terdapat dalam suatu cerita yang tidak secara sengaja disembunyikan maknanya

atau dengan kata lain tema adalah makna keseluruhan cerita. Tema dapat

(6)

Shipley (dalam Nurgiyantoro, 1995:80−82) membagi tema ke dalam lima

tingkatan.

Tingkatan-tingkatan ini berdasarkan tingkatan pengalaman jiwa yang

disusun dari tingkatan yang paling sederhana, tingkat tumbuhan mahluk hidup

sampai tingkat yang paling tinggi yang hanya dapat dicapai oleh manusia.

Tingkatan tersebut yaitu tingkat fisik, tingkat organik, tingkat sosial, tingkat egoik

dan tingkat divine.

a. Tingkat fisik artinya manusia sebagai (atau dalam tingkat kejiwaan) molekul

(man as molecul). Pada tema tingkat ini ditunjukkan oleh banyaknya aktivitas fisik daripada kejiwaan. Hal yang ditekankan yaitu mobilitas fisik daripada

konflik kejiwaan tokoh cerita yang bersangkutan. Selain itu, unsur latar yang

lebih mendapatkan penekanan atau perhatian.

b. Tingkat organik. Pada tingkat ini manusia sebagai (atau dalam tingkat

kejiwaan) protoplasma (man as protoplasma). Tingkat organik lebih banyak menyangkut masalah seksualitas. Persoalan seksual manusia yang mendapat

penekanan, khususnya kehidupan seksual yang menyimpang, misalnya

penyelewengan, pengkhianatan suami-istri atau skandal seksual yang lain.

c. Tingkat sosial yaitu manusia sebagai makhluk sosial (man as socious). Kehidupan bermasyarakat, yang merupakan tempat aksi-interaksinya manusia

dengan sesama dan dengan lingkungan alam, mengandung banyak

permasalahan, konflik dan lain sebagainya. Konflik atau masalah tersebut

menjadi inspirasi munculnya tema. Masalah-masalah sosial tersebut misalnya

masalah ekonomi, politik, pendidikan, kebudayaan, perjuangan, cinta kasih,

(7)

d. Tingkat egoik yaitu manusia sebagai mahluk individu (man as individualism). Manusia sebagai mahluk individu menuntut pengakuan atas hak

individualitasnya. Masalah individualitas antara lain egoisitas, martabat,

harga diri, dan sifat manusia lainnya yang lebih bersifat batin dan dirasakan

oleh orang yang bersangkutan. Masalah-masalah tersebut biasanya

menunjukkan jati diri, citra diri, atau sosok kepribadian seseorang.

e. Tingkat yang terakhir yaitu tingkat divine. Tingkat divine yaitu manusia

sebagai mahluk tinggi, yang belum tentu setiap orang mangalami atau

mencapainya. Masalah yang menonjol pada tema tingkat ini adalah hubungan

manusia dengan Tuhan, religiusitas, atau masalah yang bersifat filosofis

(pandangan hidup, visi dan keyakinan).

2. Alur/Plot

Alur/plot merupakan unsur fiksi yang penting, bahkan tidak sedikit orang

yang menganggapnya sebagai yang terpenting diantara berbagai unsur fiksi lain.

Plot secara tradisional disebut juga istilah alur atau jalan cerita, sedangkan

dalam teori-teori dikenal dengan struktur naratif, susunan, dan sujet (Nurgiyantoro, 1995:111). Peristiwa demi peristiwa yang hanya berdasar pada

urutan waktu belum merupakan plot. Peristiwa agar menjadi plot harus diolah dan

disiasati secara kreatif, sehingga menjadi sesuatu yang indah dan menarik. Ia

menambahkan plot juga merupakan kejadian, perbuatan atau tingkah laku

kehidupan manusia yang bersifat khas, mengandung unsur konflik, saling

berkaitan, menarik untuk diceritakan dan bersifat dramatik.

Untuk memperoleh keutuhan sebuah alur cerita, Tasrif (dalam Lubis,

(8)

Kelima tahapan tersebut penting untuk dikenali, terutama jika bermaksud

menelaah alur pada sastra yang bersangkutan. Kelima tahapan tersebut antara lain:

a. Tahap Penyituasian (situation), tahap terutama berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap

pembukaan cerita, pemberian informasi awal, dan lain-lain. Berfungsi untuk

melandastumpui cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya.

b. Tahap pemunculan konflik (generating circumstances), masalah-masalah dan

peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya konflik mulai mencuat. Jadi,

tahap ini merupakan tahap awal munculnya konflik, dan konflik itu sendiri

akan berkembang dan akan dikembangkan menjadi konflik-konflik pada

tahap berikutnya.

c. Tahap peningkatan konflik (rising action), konflik yang telah dimunculkan

pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar

intensitasnya. Peristiwa-peristiwa dramatik yang menjadi inti cerita bersifat

semakin mencekam dan menegangkan. Konflik-konflik yang mengarah ke

klimaks semakin tidak dapat dihindari.

d. Tahap klimaks (climax), konflik atau pertentangan-pertentangan yang terjadi,

yang diakui atau ditimpakan kepada para tokoh cerita pencapai titik intensitas

puncak. Klimaks sebuah cerita akan dialami oleh tokoh-tokoh utama yang

berperan sebagai pelaku dan penderita terjadinya konflik utama.

e. Tahap penyelesaian (denouement), konflik yang telah mencapai klimaks diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan. Konflik-konflik yang lain,

sub-sub konflik, atau konflik-konflik tambahan, jika ada, juga diberi jalan keluar,

(9)

3. Latar

Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada

pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya

peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams dalam Nurgiyantoro, 1995:216).

Menurut Nurgiyantoro (1995:227) unsur latar dapat dibedakan ke dalam

tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu dan sosial. Ketiga unsur itu walau

masing-masing menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara

sendiri, pada kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan

yang lainnya. Ketiga unsur latar tersebut akan dijelaskan sebagai berikut :

a. Latar tempat, Latar tempat berhubungan dengan lokasi kejadian. Latar ini

menyarankan pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah

karya sastra. Unsur tempat yang digunakan berupa tempat-tempat dengan

nama tertentu, inisial tertentu maupun lokasi tertentu tanpa jelas.

Tempat-tempat yang bernama adalah Tempat-tempat yang dijumpai dalam dunia nyata

misalnya hutan, pantai, desa, kota, kamar, dan lain-lain.

b. Latar waktu menerangkan tentang kapan peristiwa itu terjadi. Masalah

“kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang

ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Pengetahuan dan

persepsi pembaca terhadap waktu sejarah itu kemudian dipergunakan unuk

mencoba masuk ke dalam suasana cerita. Pembaca berusaha memahami dan

menikmati cerita berdasarkan acuan waktu yang diketahuinya yang berasal

dari luar cerita yang bersangkutan. Adanya persamaan perkembangan atau

kesejalanan waktu tersebut juga dimanfaatkan untuk mengesani pembaca

(10)

c. Latar sosial mengacu pada kehidupan atau hubungan sosial warga dalam

cerita tersebut. Latar ini menyarankan pada hal-hal yang berhubungan dengan

perilaku kehidupan sosial masyarakat disuatu tempat yang diceritakan dalam

karya sastra. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai

masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Dia dapat berupa kebiasaan

hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berfikir dan

bersikap, dan lain-lain.

4. Tokoh dan penokohan

Tokoh dan penokohan merupakan istilah yang saling terkait dan sulit

untuk dipisahkan. Tokoh menunjuk pada pelaku dalam peristiwa yang terjadi

dalam cerita. Penokohan mengacu pada watak atau karakter tokoh. Istilah

“tokoh” menunjuk pada orang atau pelaku cerita. Hal ini mendorong pembaca

menanyakan tentang tokoh utamanya, jumlah, serta tokoh antagonis dan

protagonisnya (Nurgiyantoro, 1995:165).

Tokoh cerita menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 1995:165) adalah

orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif yang oleh pembaca

ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang

diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.

Pengunaan istilah “karakter” (character) dalam literatur bahasa Inggris memiliki dua pengertian, yaitu tokoh-tokoh cerita dan sebagai sikap ketertarikan,

keinginan, emosi serta prinsip moral yang dimiliki tokoh (perwatakan) (Stanton

dalam Nurgiyantoro, 1995:165).

Penokohan dan perwatakan mempunyai hubungan yang sangat erat karena

(11)

penokohan mempunyai arti yang lebih luas. Penokohan mencakup masalah

tentang siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakannya dan bagaimana penempatan

serta pelukisannya dalam sebuah cerita, sehingga dapat memberikan gambaran

yang lebih jelas kepada pembaca (Nurgiyantoro, 1995: 165).

2.2.2 Teori Fungsi

Konsep teori fungsi folklor telah lama berkembang. Bahkan, di kalangan

folkloris antropologis, teori fungsi telah tergolong klasik. Teori fungsionalisme

Malinowski, yang menganggap budaya itu berfungsi bila terkait dengan

kebutuhan dasar manusia, sebenarnya yang mendasar teori fungsi. Namun, teori

ini dibantah oleh ahli-ahli lain, seperti halnya Radliffe-Brown, yang

mengemukakan agar fungsi dikaitkan struktur.

Hal tersebut diakui oleh Dorson (dalam Endraswara, 2009:26) bahwa teori

fungsi dalam folkor juga telah berkembang luas di Amerika. Sejak Boas

menerapkan dan Benedict menerapkan etnografi budaya. Hal ini semakin tampak

lagi ketika Bascom mengungkap fungsi folklor dengan memperluas pandangan

Malinowski.

Pada dasarnya folklor berfungsi memantapkan identitas serta

meningkatkan integrasi sosial, dan secara simbolis mampu mempengaruhi

masyarakat. Bahkan, kadang-kadang folklor justru lebih kuat pengaruhnya

dibanding sastra modern. Folklor akan memiliki pengaruh terhadap pembentukan

tata nilai yang berupa sikap dan perilaku.

Menurut Bascom (dalam Danandjaja, 1984:19) ada empat fungsi folklor

(12)

1. Sebagai sistem proyeksi (project system, yakni sebagai alat pencermin angan-angan suatu kolektif,

2. Sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan,

3. Sebagai alat pendidikan anak (pedagogical device).

4. Sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan

selalu dipatuhi anggota kolektifnya.

Fungsi-fungsi semacam ini, dapat dilacak berdasarkan data di lapangan.

Fungsi tersebut masih dapat berkembang. Varian-varian fungsi folklor masih

dapat dimungkinkan, sejauh didukung oleh data yang jelas.

Menurut Bascom (dalam Danandjaja, 1984:19) pembicaraan fungsi folklor

tidak dapat dilepaskan begitu saja dari kebudayaan secara luas, dan juga dengan

konteksnya. Folklor milik seseorang dapat dimengerti sepenuhnya hanya melalui

pengetahuan yang mendalam dari kebudayaan orang yang memilikinya.

Dari berbagai fungsi tersebut berarti mengarahkan bahwa folklor memang

penting bagi kehidupan. Karya folklor yang sama mungkin berbeda di wilayah

yang lain. Fungsi sebuah folklor tergantung ekspresi pencipta dan tuntutan

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Berdasarkan Berita Acara Pengesahan/ Penetapan Perhitungan Kombinasi, Nomor : 18/ POKJA/ PERENCANA-GD.KULI AH/ STAI N-SAS/ BABEL/ 2017, Tanggal 06 Januari 2017, Pekerjaan

Diberitahukan bahwa setelah diadakan penelitian oleh Pejabat Pengadaan Barang/Jasa pada Satuan Kerja Kantor Kementerian Agama Kabupaten Boalemo menurut ketentuan –

11/POKJA-JKL-PRC-PM/IAIN/ 2016 tanggal 12 Januari 2017 pekerjaan Seleksi Umum Perencanaan Pembangunan Gedung Kuliah Program Magister IAIN Palangka Raya Tahun

Bapak Purwito dan seluruh staf PT Jasa Marga (Persero) Cabang Jagorawi, yang telah membantu penulis selama berada di lapangan sampai selesainya penelitian Tugas Akhir.. Mama,

(3) Kepala Biro Umum melakukan pembayaran Program Insentif kepada unit kerja, setelah menerima penetapan penerima Program Insentif sebagaimana dimaksud pada ayat

Berdasarkan analisis hasil observasi, angket dan pembelajaran dengan pendekatan penggunaan alat peraga benda manipulatif pada siklus pertama untuk

Diharapkan dapat melakukan penelitian sejenis dengan meneliti faktor-faktor lain yang mempengaruhi kejadian plasenta previa seperti umur, tingkat pendidikan, tingkat