• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pertimbangan Hakim dalam Perkara Tindak Pidana Terkait Pencemaran Nama Baik pada Pasal 27 Ayat UndangUndang Informasi dan Transaksi Elektronik T1 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pertimbangan Hakim dalam Perkara Tindak Pidana Terkait Pencemaran Nama Baik pada Pasal 27 Ayat UndangUndang Informasi dan Transaksi Elektronik T1 BAB II"

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

I. PERKEMBANGAN TEKNOLOGI INFORMASI

Peradaban dunia pada masa kini dicirikan dengan fenomena kemajuan teknologi

informasi dan globalisasi yang berlangsung hampir di semua bidang kehidupan. Apa yang

disebut dengan globalisasi pada dasarnya bermula dari awal abad ke-20, yakni pada saat

terjadi revolusi transportasi dan elektronika yang menyebarluaskan dan mempercepat

perdagangan antar bangsa, disamping pertambahan dan kecepatan lalu lintas barang dan jasa.

Menurut Didik J. Rachbini, “teknologi informasi dan media elektronika dinilai sebagai simbol pelopor, yang akan mengintegrasikan seluruh sistem dunia, baik dalam aspek sosial,

budaya, ekonomi dan keuangan. Dari sistem-sistem kecil lokal dan nasional, proses

globalisasi dalam tahun-tahun terakhir bergerak cepat, bahkan terlalu cepat menuju suatu

sistem global. Dunia akan menjadi “global village” yang menyatu, saling tahu dan terbuka, serta saling bergantung satu sama lain.”1

Pada mulanya jaringan internet hanya dapat digunakan oleh lingkungan pendidikan

(perguruan tinggi) dan lembaga penelitian. Kemudian tahun 1995, internet baru dapat

digunakan untuk publik. Berapa tahun kemudian, tim burners-lee mengembangkan aplikasi

world wide web (www) yang memudahkan orang untuk mengakses informasi di internet.

Setelah dibukanya internet untuk keperluan publik semakin muncul aplikasi-aplikasi bisnis di

internet. Aplikasi bisnis yang berbasis teknologi internet ini mulai menunjukkan adanya

aspek financial. Misalnya internet digunakan sebagai sarana untuk memesan/reservasi tiket

(pesawat terbang, kereta api), hotel, pembayaran tagihan telepon, listrik dan sebagainya. Hal

ini mempermudah konsumen dalam menjalankan aktivitas/transaksi bisnisnya. Konsumen

1 Didik M. Arif Mansur dan Elisatris Gultom, Cyber law aspek hukum teknologi informasi,

(2)

tidak perlu keluar untuk memperoleh layanan yang diinginkan karena dapat dilakukan di

dalam rumah, begitu pula tingkat keamanannya yang relatif lebih terjaga.2

Tidak hanya itu, aplikasi yang berbentuk sosial media sebagai sarana penghubung

komunikasi pun telah banyak diciptakan, seperti Facebook, blog, twitter, line, instagram,

Path, whatsapp, dan sebagainya. Untuk memudahkan para pemakai, teknologi informasi

yang dulunya menggunakan komputer terus berinovasi, merubah bentuk sehingga lebih

mudah dibawa kemana saja diantaranya labtop. Bahkan, dengan sistim android yang ada

sekarang ini, berbagai informasi dengan menggunakan internet bisa langsung diakses dengan

menggunakan ponsel genggam.

Perkembangan teknologi informasi saat ini telah membawa manfaat positif. Namun,

harus disadari pula bahwa hal ini pun telah memberi peluang dijadikannya sarana tindak

kejahatan baru. Kejahatan baru dengan menggunakan teknologi atau lebih dikenal dengan

cybercrimesecara umum diartikan sebagai “Upaya memasuki dan atau menggunakan fasilitas

komputer atau jaringan komputer tanpa ijin dan dengan melawan hukum dengan atau tanpa

menyebabkan perubahan dan atau kerusakan pada fasilitas komputer yang dimasuki atau

digunakan tersebut.”3 Andi Hamzah dalam bukunya Aspek-aspek Pidana di Bidang Komputer menyatakan bahwa “kejahatan di bidang komputer secara umum dapat diartikan sebagai pengguna komputer secara illegal”.4 Pada dasarnya cybercrime meliputi semua

tindak pidana yang berkenan dengan informasi, sistem informasi (information system) itu

sendiri, serta sistem komunikasi yang merupakan sarana untuk penyampaian/pertukaran

informasi itu kepada pihak lainnya (transmitter/originator, to recipient)”5

2Ibid., h. 5 3 Ibid.,

(3)

Adapun bentuk-bentuk kejahatan yang menggunakan teknologi informasi sebagai

sarana kejahatan antara lain :

1. Unauthorized Access to Computer System and Service, yaitu : Kejahatan yang

dilakukan dengan memasuki/menyusup kedalam satu sistem jaringan komputer

secara tidak sah, tanpa izin atau tanpa sepengetahuan dari pemilik sistem jaringan

komputer yang dimasukinya.

2. Illegal Contents, yaitu : Merupakan kejahatan dengan memasukan data atau

informasi ke Internet tentang sesuatu yang tidak benar, tidak etis, dan dapat dianggap

melanggar hukum atau mengganggu ketertiban umum.

3. Data forgery, yaitu : Merupakan kejahatan dengan memalsukan data pada

Merupakan kejahatan dengan memalsukan data pada dokumen-dokumen penting

yang tersimpan sebagai scriptless document melalui Internet.

4. Cyber Espionage, yaitu : Merupakan kejahatan yang memanfaatkan Internet untuk

melakukan kegiatan mata-mata terhadap pihak lain, dengan memasuki sistem

jaringan komputer (computer network system) pihak sasaran.

5. Cyber Sabotage and extortion, yaitu : Kejahatan ini dilakukan dengan membuat

gangguan, perusakan atau penghancuran terhadap suatu data, program komputer atau

sistem jaringan komputer yang terhubung dengan Internet.

6. Offense Againts Intellectual Property, yaitu : Kejahatan ini ditujukan terhadap hak

atas kekayaan Intelektual yang dimiliki pihak lain di Internet. Sebagai contoh dalam

peniruan tampilan pada web page suatu situs milik orang secara illegal, penyiaran

suatu informasi di Internet yang ternyata merupakan rahasia dagang orang lain dan

sebagainya.

7. Infringements of Privacy yaitu : Kejahatan ini ditujuhkan terhadap informasi

(4)

biasanya ditujukkan terhadap keterangan seseorang pada formulir data pribadi

tersimpan secara computererized, yang apabila diketahui oleh orang lain akan daapat

merugikan korban secara materiil seperti nomor kartu kredit, nomor PIN, ATM, cacat

atau penyakit tersembunyi dan sebagainya.6

Bentuk-bentuk kejahatan diatas, terus berkembang dengan begitu cepat karena

dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya, Kesadaran hukum masyarakat, faktor

keamanan, faktor penegak hukum, faktor ketiadaan undang. Ketiadaan

undang-undang dan penegak hukum menjadi faktor yang ikut berpengaruh mengandung arti bahwa

secara kontekstual atau pada saat itu (sebelum adanya UU ITE), bentuk-bentuk kejahatan

dengan menggunakan teknologi terlebih dahulu muncul mendahului aturan undang-undang

(UU ITE). Hal ini dapat dilihat dalam pernyataan pakar hukum teknologi informasi, Iman

Syahputra yang menyatakan bahwa “persoalan hukum teknologi internet yang bermunculan

belakangan ini telah mendesak pemerintah dan DPR untuk segera merampungkan

perundangannya.”7

Sekalipun perangkat hukum seperti Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

sudah dimiliki Indonesia, namun peraturan itu masih belum cukup mampu menjerat pelaku

tindak pidana di Internet. Apalagi dalam Pasal 1 KUHP disebutkan “tidak ada perbuatan pidana jika sebelumnya tidak dinyatakan dalam suatu ketentuan perundang-undangaan.

“Artinya, Pasal ini menegaskan kalau pelaku kejahatan Internet belum tentu dapat dikenakan

sanksi pidana.8

Selain benturan dengan Pasal 1 KUHP, kesulitan untuk menjerat pelaku tindak pidana

yang dilakukan di dunia maya berkaitan dengan masalah pembuktian. Hukum Positif

(5)

mengharuskan ada alat bukti, saksi, petunjuk, keterangan ahli serta terdakwa dalam

pembuktian. Sedangkan dalam hal kejahatan terkait dengan teknologi Informasi sulit

dilakukan pembuktiannya.9

Mengenai hal ini Soedjono Dirdosisworo menyatakan “perubahan dan penyesuaian

sosial serta perkembangan teknologi selama setengah abad sejak 1958 (UU No. 73/58)

demikian pesatnya, dan kepesatan perkembangan sosial dan teknologi serta semakin

berpengaruhnya globalisasi yang terus didorong oleh teknologi informasi dan komunikasi

sangatlah terasa bahwa Kitab Undang-undang Hukum Pidana sudah sejak lama tidak mampu

secara sempurna mengakomodasi dan mengantisipasi kriminilitas yang meningkat, baik

kualitatif maupun kuantitatif dengan jenis, pola dan modus operandi yang tidak terdapat

dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Contoh menonjol adalah Cyber Crime).”10

Lebih lanjut dikatakan, bahwa pembaharuan hukum pidana (Penal Reform) harus

dilakukan dengan pendekatan kebijakan, oleh karena pada hakikatnya pembaharuan hukum

pidana merupakan bagian dari suatu kebijakan.11

Berkenaan dengan peran Hukum Pidana terhadap perkembangan teknologi informasi,

maka perlu kiranya diperhatikan beberpa hal penting sebagai upaya penyempurnaan terhadap

ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Nasional, yaitu:

1. Dengan semakin maraknya kejahatan-kejahatan baru yang timbul sebagai akibat dari

kemajuan teknologi informasi (cyber crime), maka dalam hal pembuktian sudah

waktunya untuk dipikirkan kemungkinan adanya penambahan alat bukti lain yang

berbasis teknologi, sepert alat bukti berupa surat elektronik (electronic mail) dan

rekaman elektronik (electronic record),

9Ibid., h. 7 10Ibid.

(6)

2. Salah satu ciri kejahatan di dunia maya (cyber crime) adalah memanfaatkan jaringan

telematika (telekomunikasi, media dan informatika) global. Aspek global

menimbulkan kondisi seakan-akan dunia tidak ada batasnya (borderless). Keadaan

ini mengakibatkan pelaku, korban serta tempat dilakukannya tindak pidana (locus

delicti) terjadi di negara yang berbeda-beda. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi

hal tersebut maka daya berlaku Kitab Undang-undang Hukum Pidana harus

diperluas, sehingga tidak hanya mengacu pada asas/prinsip yang selama ini dianut

dalam Pasal 2 – Pasal 9 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yaitu asas personal, asas territorial, dan asas universal;

3. Untuk merumuskan dan menentukan perbuatan-perbuatan mana yang dapat dikenai

sanksi pidana dalam dunia yang relatif baru dan bergerak cepat, tentu bukan

merupakan pekerjaan yang mudah. Oleh karena itu, untuk menjerat pelaku tindak

pidana yang melakukan kejahatan-kejahatan di dunia maya (cyber crime), dapat

digunakan lembaga penafsiran hukum (interprestasi). Hal ini dimaksudkan untuk

menghindarkan timbulnya kekosongan hukum.12

Pada tanggal 21 April tahun 2008, UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik (ITE) disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Andi

Mattalata. Dalam Penjelasan UU ITE, mengatakan : “P emanfaatan Teknologi Informasi,

media, dan komunikasi telah mengubah baik perilaku masyarakat maupun peradaban

manusia secara global. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah pula

menyebabkan hubungan dunia menjadi tanpa batas (border-less) dan menyebabkan

perubahan sosial, ekonomi,, dan budaya secara signifikan berlangsung demikian cepat.

Teknologi Informasi saat ini menjadi pedang bermata dua karena selain memberikan

(7)

kontribusi bagi peningkatan keejahteraan, kemajuan, dan peradaban manusia, sekaligus

menjadi sarana efektif perbuatan melawan hukum.”13

Pembentuk Undang-undang menyadari bahwa teknologi informasi yang berkembang

seperti pedang bermata dua, memberikan kontribusi positif sekaligus berdampak negatif.

Maka dari itulah, Undang-undang yang lahir sebagai jawaban terhadap desakan dan tuntutan

keadaan dimana semakin merebaknya kasus kejahatan menggunakan teknologi informasi

diharapkan mampu menjerat para pelaku kejahatan yang selama ini berhasil lolos karena

terkendala dalam proses pembuktian, seperti yang dinyatakan sebagai berikut : Saat ini telah

lahir rezim hukum baru yang dikenal dengan hukum siber atau hukum telematika. Hukum

siber atau cyber la w, secara internasional digunakan untuk istilah hukum yang terkait dengan

pemanfaatan teknologi informasi komunikasi. Demikian pula hukum telematika yang

merupakan perwujudan dari konvergensi hukum telekomunikasi, hukum media, dan hukum

infomatika. Istilah lain yang juga digunakan adalah hukum teknologi informasi (la w of

information technology), hukum dunia maya (vitual world la w), dan hukum mayantara.

Istilah-istilah tersebut lahir mengingat kegiatan yang dilakukan melalui jaringan sistem

komputer dan sitem komunikasi baik dilingkup lokal maupun global (internet) dengan

memanfaatkan teknologi informasi berbasis sistem komputer yang merupakan sistem

elektronik yang dapat dilihat secara virtual. Permasalahan hukum yang seringkali dihadapi

adalah ketika terkait dengan penyampaian informasi, komunikasi, dan/atau transaksi secara

elektronik, khususnya dalam hal pembuktian dan hal yang terkait dengan perbuatan hukum

yang dilaksanakan melalui sitem elektronik.”14

II. UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 2008

13 Penjelasan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

(8)

Dengan semakin merebaknya persoalan-persoalan pidana yang terjadi dengan

menggunakan teknologi informasi, UU ITE disahkan dengan tujuan yang terdapat dalam

Pasal 4, dimana salah satu tujuannya menyatakan : “Pemanfaatan Teknologi Informasi dan

Transaksi Elektronik dilaksanakan dengan tujuan untuk: “Memberikan rasa aman, keadilan,

dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi.”15 Tampak

jelas, kehadiran Undang-undang tidak lain adalah untuk memberikan sebuah kepastian

hukum, agar terciptannya rasa aman, dan bertindak adil bagi setiap pengguna maupun

penyelenggara teknologi informasi.

Pasal 3 UU ITE, disebutkan, “Pemanfaatan teknologi Informasi dan Transaksi

Elektronik Elektronik dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum, manfaat,

kehati-hatian, etikad baik, dan kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi.”16 Adapun Asas kepastian hukum mengandung arti pemanfaatan teknologi informasi haruslah memiliki

landasan hukum serta mendapatkan pengakuan hukum di dalam dan diluar pengadilan. Asas

Manfaat mengandung arti teknologi informasi difokuskan pada meningkatkan kesejahteraan

masyarakat. Asas Kehati-hatian mengandung arti para pihak harus memperhatikan segala

aspek yang berpotensi mendatangkan kerugian, baik untuk dirinya maupun orang lain. Asas

Etikad Baik mengandung arti perbuatan yang tidak bertujuan untuk secara sengaja dan tanpa

hak atau melawan hukum mengakibatkan kerugian bagi pihak lain tanpa sepengetahuan pihak

lain tersebut. Sedangkan Asas Kebebasan Memilih mengandung arti tidak berfokus pada

penggunaan teknologi tertentu sehingga dapat mengikuti perkembangan.17

Dalam UU ITE, ketentuan tentang perbuatan-perbuatan pidana diatur di BAB VII

dengan judul “perbuatan yang dilarang”, sebanyak sepuluh Pasal (Pasal 27 sampai dengan

15 Pasal 4 huruf e Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik, Penerbit New Merah Putih, Yogyakarta, 2009, h. 15 16Ibid.

17 Dalam Penjelasan atas Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Ingormasi dan

(9)

Pasal 37). Sebagai rezim hukum baru, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik

pun mengatur ketentuan tentang hukum acara yang akan dipakai bersamaan dengan hukum

acara pidana yang bersifat umum. Sunarso (2009) mengatakan, “Penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, terhadap tindak pidana informasi dan transaksi elektronik,

selain diberlakukan menurut Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana yang bersifat Umum, juga diberlakukan diatur mulai Pasal 42 sampai dengan Pasal 44

Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008, tentang penyidikan.”18

Adapun Pasal 42 UU ITE, menyatakan “Penyidikan terhadap tindak pidana sebagaimana dalam Undang-Undang ini, dilakukan berdasarkan ketentuan dalam hukum

acara pidana dan ketentuan dalam Undang-Undang ini.”19

Berdasarkan ketentuan di atas, dapat ditafsirkan bahwa kegiatan penyidikan terhadap

tindak pidana informasi dan transaksi elektronik, termasuk upaya paksa menurut hukum

Acara Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008, yang bersifat khusus, sedangkan ketentuan

penyidikan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 bersifat Umum.20

Lebih lanjut, dalam Pasal 43 UU ITE, diatur ketentuan sebagai berikut :

1) Selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, pejabat Pegawai Negeri

Sipil tertentu di lingkungan pemerintah, yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya

dibidang teknologi informasi dan transaksi elektronik diberikan wewenang khusus

sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang hukum Acara Pidana

untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang teknologi informasi dan

transaksi elektronik;

2) Penyidik di bidang teknologi informasi dan transaksi elektronik sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan perlindungan terhadap

18 Siswanto Sunarso, Hukum Informasi dan Transaksi Elektronik studi kasus Prita Mulyasari,

PT Rineka Cipta, Jakarta, 2009, h. 126 19 Ibid.

(10)

privasi, kerahasiaan, kelancaran layanan publik, intergritas data, atau keutuhan data,

sesuai dengan ketentuan perundang-undangan;

3) Penggeledahan dan/atau penyitaan terhadap sistem elektronik yang terkait dengan

dugaan tindak pidana harus dilakukan atas izin ketua pengadilan negeri setempat;

4) Dalam melakukan pengeledahan dan/atau penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat

(3), penyidik wajib menjaga terpeliharanya kepentingan pelayanan umum;

5) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang;

a. Menerima laporan, atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak

pidana berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini;

b. Memanggil setiap orang atau pihak lainnya untuk didengar dan/atau saksi

sehubungan dengan adanya dugaan tindak pidana di bidang terkain dengan

ketentuan Undang-Undang ini;

c. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan

dengan tindak pidana berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini;

d. Melakukan pemeriksaan terhadap orang dan/atau badan usaha yang patut

diduga melakukan tindak pidana berdasarkan ketentuan Undang-Undang iini;

e. Melakukan pemeriksaan terhadap alat dan/atau sarana yang berkaitan dengan

teknologi informasi yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana

berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini;

f. Melakukan penggeledahan terhadap tempat tertentu yang diduga digunakan

sebagai tempat untuk melakukan tindak pidana berdasarkan ketentuan

Undang-Undang ini;

g. Melakukan penyegelan dan penyitaan terdapat alat atau sarana kegiatanb

teknologi informasi yang diduga digunakan secara menyimpan dari ketentuan

(11)

h. Meminta bantuan ahli yang diperlukan dalam penyidikan terhadap tindak

pidana berdasarkan Undang-Undang ini; dan/atau

i. Mengadakan penghentian penyidikan tindak pidana berdasarkan

Undang-Undang ini, sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana yang berlaku;

6) Dalam hal melakukan penangkapan dan penahanan, penyidik melalui penuntut umum,

wajib meminta penetapan ketua pengadilan negeri setempat dalam waktu satu kali dua

puluh empat jam;

7) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi

dengan Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, memberitahukan

dimulainya penyidikan dan menyampikan hasilnya kepada penuntut umum;

8) Dalam rangka mengungkapkan tindak pidana informasi elektronik dan transaksi

elektronik, penyidik dapat bekerja sama dengan penyidik Negara lain untuk berbagai

informasi dan alat bukti.21

Dalam Pasal 43 ayat (6), dikatakan bilamana penyidik akan melakukan penangkapan,

dan penahanan harus meminta penetapan pengadilan negeri setempat melalui penuntut umum

dalam waktu 1x24 jam. Timbul persoalan, bagaimana kalau pihak penuntut umum sendiri

yang akan melakukan penangkapan dan penahanan. Ketentuan untuk harus meminta

penetapan dari ketua pengadilan negeri setempat harus tetap dipatuhi. Ketentuan ini untuk

mencegah adanya penyalahgunaan wewenang penegak hukum (abuse of power).22

Menilik dari ketentuan menurut Undang-Undang ini, sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 43 ayat (6), yang menentukan tentang penyidik, yang diberikan wewenang

penangkapan dan penahan menurut Undang-Undang ini. Penyidik mana yang dimaksud

dalam Pasal 43 ayat (6) tersebut? Bilamana kita lihat Pasal 43 ayat (1) dikatakan selain

(12)

penyidik pejabat Polri, Pejabat PNS tertentu di lingkungan pemerintah yang lingkup tugas

dan tanggung jawabnya di bidang teknologi dan transaksi elektronik diberi wewenang khusus

sebagai penyidik. Berdasarkan arti ini, maka dapat ditafsirkan sebagai penyidik adalah

penyidik Polri dan Penyidik PNS. Apa yang dimaksud dengan bantuan ahli yang diperlukan

dalam penyidikan terhadap tindak pidana tersebut. Bantuan ahli yang diperlukan dalam

penyidikan terhadap dalam tindak pidana tersebut, dalam penjelasan Pasal 43 ayat (5) huruf

(h), dikatakan bahwa yang dimaksud dengan ahli adalah seseorang yang memiliki keahlian

khusus di bidang teknologi informasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara akedemis

maupun praktis mengenai pengetahuannya tersebut.23

Mengenai alat bukti, Pasal 44 UU ITE menyatakan, “Alat bukti penyidikan,

penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan menurut ketentuan Undang-Undang ini,

adalah sebagai berikut:24

a. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan perundang-undangan; dan

b. Alat bukti lain berupa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat

(3).”

Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008, bahwa informasi elektronik

merupakan alat bukti hukum yang sah, meliputi informasi elektronik dan/atau dokumen

elektronik, dan/atau hasil cetakan; Ketentuan ini, merupakan perluasan dari alat bukti yang

sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia (Undang-Undang Nomor 8 tahun

1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Bagaimana dengan informasi

elektronik dan/atau dokumen elektronik apabila menggunakan sistem elektronik dan

dianggap sah, akan diatur sesuai ketentuan dalam Undang-Undang ini. Informasi elektronik

23Ibid. 24

(13)

sebagai suatu data atau sekumpulan data elektronik yang telah diolah yang memiliki arti atau

dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Dokumen elektronik adalah setiap

informasi elektronik yang dapat dilihat, ditampilkan dan/atau didengar melalui komputer atau

sistem elektronik yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu

memahaminya.25

Kecuali, bahwa ketentuan mengenai informasi dan/atau dokumen elektronik tidak

berlaku untuk surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis, dan

surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta

notariil atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta. Demikian pula, dalam hal terdapat

ketentuan lain, yang mensyaratkan suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli maka

informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dianggap sah, sepanjang informasi yang

tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat

dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.26

III. UNSUR-UNSUR PASAL 27 AYAT (3)

Moljiatno (2002), mengatakan bahwa “Pada hakekatnya tiap-tiap perbuatan pidana

harus terdiri atas unsur-unsur lahir oleh karena perbuatan, yang mengandung kelakuan dan

akibat yang ditimbulkan karenanya, adalah suatu kejadian dalam alam lahir.” Menurutnya,

yang merupakan unsur atau elemen perbuatan pidana, antara lain :27

a. Kelakuan dan akibat (=perbuatan)

b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan.

c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana.

d. Unsur melawan hukum yang objektif.

25Ibid. 26Ibid., h. 130

(14)

e. Unsur melawan hukum yang subjektif.

Berkaitan dengan Pasal 27 Ayat (3), Sunarso (2009) mengemukakan “unsur perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 27 Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2008 adalah :28

a. Setiap orang;

b. Dengan sengaja dan tanpa hak;

c. Mendistribusikan, dan/ata mentransmisikan, dan/atau dapat diaksesnya informasi

elektronik, dan/atau dokumen elektronik;

d. Memiliki muatan melanggar kesusilaan, atau muatan perjudian, atau muatan

penghinaan, dan/atau pencemaran nama baik, atau muatan pemerasan, dan/atau

pengancaman.

Adapun unsur-unsur yang dikemukakan diatas merupakan keseluruhan ayat yang

terdapat di dalam Pasal 27 UU ITE. Jika dipersempit lagi, agar sesuai dengan fokus dari

penelitian ini yaitu Pasal 27 Ayat (3) maka menurut penulis, perbedaannya hanya terletak

pada unsur keempat yaitu “memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Oleh karena itu, menurut penulis unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 27 ayat (3) adalah :

Setiap orang; Dengan sengaja dan tanpa hak; Mendistribusikan, dan/ata mentransmisikan,

dan/atau dapat diaksesnya informasi elektronik, dan/atau dokumen elektronik; Memiliki

muatan penghinaan, dan/atau pencemaran nama baik.

Pengertian setiap orang disini, selain ditafsirkan sebagai individu juga badan hukum

yang berbadan hukum sesuai ketentuan Undang-Undang. Misalnya PT, Yayasan, Koperasi,

dan sebagainya.29

28 Siswanto Sunarso, Hukum Informasi dan Transaksi Elektronik studi kasus Prita Mulyasari,

(15)

Pengertian dengan sengaja dan tanpa hak, dapat ditafsirkan sebagai perbuatan yang

bertentangan dengan Undang-Undang dan tindakan melalaikan yang diancam hukuman.

Adapun perbuatan optimum yang dianggap mengandung sifat ketidakadilan yang

berdasarkan sifatnya, yang patut dilarang dan diancam dengan hukuman oleh

Undang-Undang adalah mendistribusikan, dan/atau mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diakses

informasi elektronik, dan/atau dokumen elektronik, yang dapat menganggu sifat

ketidakadilan tersebut.30

Perbuatan di atas, dapat mengandung unsur delik penuh bilamana delik yang timbul

merupakan delik yang dianggap telah sepenuhnya terlaksana, dengan dilakukannya suatu

perbuatan yang dilarang. Dengan demikian, delik ini termasuk delik formil atau delik dengan

perumusan formil, yakni unsur muatan melanggar kesusilaan, atau muatan perjudian, atau

muatan penghinaan, dan/atau pencemaran nama baik, atau muatan pemerasan, dan/atau

pengancaman. Yang penting bahwa secara formal informasi elektronik dan dokumen

elektronik telah mengandung muatan-muatan yang dilarang oleh Undang-Undang.31

Jika kita melihat buku II dan III KUHP maka di situ dijumpai beberapa banyak

rumusan-rumusan perbuatan serta sanksinya yang dimaksud untuk menunjukkan

perbuatan-perbuatan mana yang dilarang dan pantang dilakukan. Pada umumnya maksud tersebut dapat

dicapai dengan menentukan beberapa elemen, unsur atau syarat yang menjadi ciri atau sifat

khas larangan tadi, sehingga dapat dibedakan dari perbuatan-perbuatan lain yang tidak

dilarang.32

Pencurian misalnya unsur-unsur pokoknya ditentukan sebagai: mengambil barang

orang lain. tetapi tidak tiap-tiap mengambil barang orang orang lain adalah pencurian, sebab

29Ibid. 30Ibid. 31Ibid.

(16)

ada orang yang mengambil barang orang lain untuk disimpan dan kemudian diserahkan

kepada pemiliknya.33

Untuk membedakan bahwa yang dilarang itu bukanlah tiap-tiap pengambilan barang

orang lain, maka dalam Pasal 362 KUHP di samping unsur-unsur tadi, ditambah dengan

elemen lain yaitu: dengan maksud untuk memilikinya secara melawan hukum.34

Jadi rumusan pencurian dalam Pasal 362 KUHP tadi terdiri atas unsur-unsur:35

1. Mengambil barang orang lain dan

2. Dengan maksud untuk dimemiliki secara melawan hukum.

Begitu pula misalnya dengan penadahan (heling). Dalam Pasal 480 ayat (1),

dirumuskan dengan unsur-unsur 1, membeli, menyewa, menukar, menggadaikan, menerima

sebagai hadiah, menjual untuk mendapat untung, mengganti menerima sebagai gadai,

mengangkut, menyimpan atau menyembunyikan barang 2. Yang diketahui atau sepatutnya

harus diduga berasal dari kejahatan.36

Dalam Pasal 480 ayat (2) rumusannya adalah:

1. Menarik untuk dari hasil suatu barang, dan

2. Yang diketahui atau sepatutnya harus diduga berasal dari kejahatan.

Dalam perbuatan-perbuatan pidana, selain daripada dibedakan dalam kejahatan dan

pelanggaran, biasanya dalam teori dan praktek dibedakan pula antara lain dalam:

1. Delik dolus dan delik culpa

33Ibid. 34 Ibid.

(17)

Bagi delik dolus diperlukan adanya kesengajaan; misalnya Pasal 338 KUHP; “dengan

sengaja menyebabkan matinya orang lain”, sedangkan pada delik culpa, orang juga sudah dapat dipidana bila kesalahannya itu berbentuk kealpaan, misalnya menurut Pasal 359 KUHP

dapat dipidananya orang yang menyebabkan matinya orang lain karena kealpaan. Contoh

daripada delik-delik dolus yang lain:37

- Pasal 354 : dengan sengaja melukai berat orang lain.

- Pasal 187 : dengan sengaja menimbulkan kebakaran.

- Pasal 231 : dengan sengaja mengeluarkan barang-barang yang disita

- Pasal 232 ayat (2) : dengan sengaja merusak segel dalam pensitaan.

Perumusan delik dapat dilakukan secara formal dan materiil, dapat disebut delik

formal dan material.

Berbeda dengan pembedaan dilik-delik yang akan disebut 12 di mana dalam

kenyataannya sifatnya masing memang berbeda, di sini perbedaan sifatnya

masing-masing memang berbeda, di sini perbedaan tidak mengenai sifat yang sesungguhnya, tapi

hanya mengenai sifat dalam perumusannya di masing-masing pasal saja.38

Jadi dalam kenyataannya tidak ada perbedaan sifat antara delik formil dan materiil.

Perbedaan hanya dalam tulisan yaitu bisa dilihat kalau membaca perumusan masing-masing

delik. Karenanya, istilah delik formal dan material itu adalah singkatan dari : delik yang

dirumuskan secara formal atau material. Dikatakan ada perumusan formal jika yang disebut

atau yang menjadi pokok dalam formulering adalah kelakuannya. Sebab kelakuan macam

itulah yang dianggap pokok untuk dilarang. Akibat dari kelakuan itu tidak dianggap penting

untuk masuk perumusan. Misalnya dalam pasal 362 KUHP mengenai pencurian, yang

penting ialah kelakuan untuk memindahkan penguasaan barang yang dicuri. Dalam pasal itu

(18)

kelakuan dirumuskan sebagai “mengambil”. Akibat dari pengambilan tadi, misalnya dalam

pencurian sepeda, bahwa si korban lalu harus jalan kaki sehingga jatuh sakit, tidak dipandang

penting dalam formulering dalam pencurian.39

Dikatakan ada perumusan material jika yang disebut atau menjadi pokok dalam

formulering adalah akibatnya: oleh karena akibatnya itulah yang dianggap pokok untuk

dilarang.40

Bagaimana caranya mendatangkan akibat tadi tidak dianggap penting. Biasanya yang

dianggap delik material adalah misalnya penganiayaan (Pasal 351 KUHP) dan pembunuhan

(Pasal 358) karena yang dianggap pokok untuk dilarang adalah adanya akibat menderita sakit

atau matinya orang yang dianiaya atau dibunuh. Bagaimana caranya mendatangkan akibat

itu, tidak penting sama sekali.41

Perlu diajukan pula, bahwa hemat saja ada rumusan-rumusan yang formal-material.

Artinya di situ yang menjadi pokok bukan saja caranya berbuat tapi juga akibatnya.

Contohnya adalah pasal 378 KUHP yaitu penipuan.42

IV. HASIL PENELITIAN

A. Gambaran Umum Karakteristik Pidana

Karakteristik yang dimaksudkan disini adalah sesuatu yang menjadi ciri khas,

sehingga membedakan antara putusan yang satu dengan yang lain. karakteristik pertama

39Ibid. 40Ibid. 41Ibid.

(19)

terkait dengan bagaimana majelis hakim membagi unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal

27 Ayat (3) UU ITE.

Nomor 196/Pid.Sus/2014/PN.Btl (Bantul) :

1. Setiap Orang;

2. Dengan Sengaja dan Tanpa hak Mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau

membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronilk yang

memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik;”43

Dalam putusan ini, majelis hakim hanya membagi Pasal 27 Ayat (3) kedalam 2 unsur.

Unsur pertama adalah unsur subjek sebagai pendukung hak dan kewajiban, atau dengan kata

lain unsur tentang siapa yang hendak bertanggung jawab, apakah yang dimintai

pertanggungjawaban terhadap perbuatan yang didakwakan mampu bertanggung jawab.

Sedangkan unsur yang kedua adalah unsur perbuatan yaitu apakah perbuatan dilakukan

secara sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat

dapat diaksesnya informasi elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau

pencemaran nama baik.

Nomor 23/Pid.B/2011/PN.JTH (Jantho) :

1. Unsur Barang Siapa;

2. Dengan Sengaja dan Tanpa Hak;

3. Mendistribusikan dan/atau Mentransmisikan dan/atau Membuat dapat diaksesnya;

4. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik;

5. Yang memiliki muatan Penghinaan dan/atau Pencemaran Nama Baik;”44

43Dalam konsideran menimbang Unsur-unsur pada Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor

(20)

Majelis hakim dalam putusan ini membagi unsur dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE

menjadi 5 unsur. Unsur perbuatan dibagi menjadi 4 unsur yaitu : Unsur pertama adalah unsur

subjek sebagai pendukung hak dan kewajiban, atau dengan kata lain unsur tentang siapa yang

hendak bertanggung jawab, apakah yang dimintai pertanggungjawaban terhadap perbuatan

yang didakwakan mampu bertanggung jawab. Sedangkan dalam unsur perbuatan yang

pertama yaitu: barang siapa dan tanpa hak; dan unsur perbuatan kedua dalam putusan ini

adalah mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya;

unsur ketiga yaitu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen elektronik; dan unsur perbuatan

terakhir di dalam Putusan ini yaitu yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran

nama baik.

Putusan Nomor 1832/Pid.B/2012/PN.Jkt.Sel (Jakarta Selatan) :

1. Setiap orang;

2. Dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau

membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik;

3. Yang memiliki muatan penghinan dan/atau pencemaran nama baik.45

Dalam putusan ini, Majelis Hakim yang mengadili perkara membagi unsur Pasal 27

Ayat (3) menjadi 3 unsur. Unsur perbuatan hanya di bagi kedalam 2 unsur yaitu : Unsur

pertama adalah unsur subjek sebagai pendukung hak dan kewajiban, atau dengan kata lain

unsur tentang siapa yang hendak bertanggung jawab, apakah yang dimintai

pertanggungjawaban terhadap perbuatan yang didakwakan mampu bertanggungjawab.

Sedangkann dalam unsur perbuatan yang pertama yaitu: Dengan sengaja dan tanpa hak

mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi

44

Dalam konsideran menimbang Unsur-unsur pada Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 tahung 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,Putusan Nomor 23/Pid.B/2011/PN.JTH, h. 44

45 Dalam konsideran menimbang Unsur-unsur pada Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor

(21)

elektronik; dan unsur perbuatan yang kedua yaitu yang memiliki muatan penghinaan dan/atau

pencemaran nama baik.

Putusan Nomor 324/Pid.B/2014/PN.SGM (Sungguminasa)

1. Setiap Orang;

2. Dengan sengaja dan tanpa Hak;

3. Mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya

informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan

dan/atau pencemaran nama baik;46

Majelis hakim dalam putusan ini membagi unsur dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE

menjadi 3 unsur. Unsur perbuatan dibagi menjadi 2 unsur yaitu: Unsur pertama adalah unsur

subjek sebagai pendukung hak dan kewajiban, atau dengan kata lain unsur tentang siapa yang

hendak bertanggung jawab, apakah yang dimintai pertanggungjawaban terhadap perbuatan

yang didakwakan mampu bertanggung jawab. Sedangkan unsur perbuatan yang pertama

yaitu: Dengan sengaja dan tanpa hak dan unsur mindistribusikan dan/atau mentransmisikan

dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang

memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Putusan Nomor 390/Pid.B/2014/PN.Mks (Makassar)

1. Setiap orang;

2. Dengan sengaja

3. Tanpa hak;

4. Mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya;

5. Muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik;47

46 Dalam konsideran menimbang Unsur-unsur pada Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor

(22)

Majelis hakim dalam putusan ini membagi unsur dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE

menjadi 5 unsur. Unsur perbuatan dibagi menjadi 4 unsur yaitu: Unsur pertama adalah unsur

subjek sebagai pendukung hak dan kewajiban, atau dengan kata lain unsur tentang siapa yang

hendak bertanggung jawab, apakah yang dimintai pertanggungjawaban terhadap perbuatan

yang didakwakan mampu bertanggung jawab. Sedangkan dalam unsur perbuatan yang

pertama yaitu: Dengan sengaja unsur perbuatan kedua yaitu: tanpa hak; unsur perbuatan

ketiga yaitu: Mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat

diaksesnya; yang unsur perbuatan keempat yaitu Muatan penghinaan dan/atau pencemaran

nama baik.

Putusan Nomor 232/Pid.B/2010/PN.Kdl (Kendal)

1. Unsur Setiap Orang;

2. Unsur Dengan Sengaja atau tanpa Hak;

3. Mendistribusikan dan/atau Mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik;

4. Unsur memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik;48

Majelis hakim dalam putusan ini membagi unsur dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE

menjadi 4 unsur. Unsur perbuatan dibagi menjadi 3 unsur yaitu: Unsur pertama adalah unsur

subjek sebagai pendukung hak dan kewajiban, atau dengan kata lain unsur tentang siapa yang

hendak bertanggung jawab, apakah yang dimintai pertanggungjawaban terhadap perbuatan

yang didakwakan mampu bertanggung jawab. Sedangkan dalam unsur perbuatan yaitu:

Pertama Dengan sengaja dan tanpa hak; unsur kedua yaitu: Mendistribusikan dan/atau

Mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau

47 Dalam konsideran menimbang Unsur-unsur pada Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor

11 tahung 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Putusan Nomor 390/Pid.B/2014/PN.Mks, h. 24

48 Dalam konsideran menimbang Unsur-unsur pada Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor

(23)

Dokumen Elektronik; dan unsur yang terakhir dalam putusan ini yaitu: unsur Memiliki

muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik;

Karakteristik kedua Terkait Dengan Hasil Putusan.

- Nomor 196/Pid.Sus/2014/PN.Btl (Bantul)

Dalam putusan ini Menyatakan Terdakwa ERVANI EMY HANDAYANI Bin

SAIMAN tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana

sebagaimana yang didakwakan kepadanya dalam dakwaan PERTAMA, KEDUA atau

KETIGA; dan Membebaskan Terdakwa ERVANI EMY HANDAYANI Bin SAIMAN oleh

karena itu dari semua dakwaan tersebut; dan Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan,

kedudukan dan harkat serta martabatnya.49

- Nomor 23/Pid.B/2011/PN.JTH (Jantho)

Dalam hasil putusan ini menyatakan Terdakwa A. HAMIDY ARSA Bin (Alm)

ABDURRAHMAN telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak

pidana “pencemaran nama baik dengan menggunakan Media Elektronik.”; Dan menjatuhkan

pidana terhadap terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan;

dan menetapkan lamanya penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dikurangkan

seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; dan memerintahkan terdakwa tetap ditahanan.50

- Putusan Nomor 1832/Pid.B/2012/PN.Jkt.Sel (Jakarta Selatan)

Dalam putusan ini Terdakwa tidak terbuti terkait Pasal 27 ayat (3) melainkan terbuti

dalam Pasal 263 KUHP. Putusan ini Menyatakan terdakwa MUHAMMAD FAJRISKA

MIRZA, SH alias BOY Bin A. GANIE MUSTAFA dengan identitasnya tidak terbukti secara

sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan KESATU

(24)

PRIMAIR maupun Dakwaan KEDUA baik dakwaan KEDUA PRIMAIR maupun dakwaan

KEDUA Subsidair dari Penuntut Umum; dan membebaskan Terdakwa oleh karena itu

Dakwaan KESATI PRIMAIR dan dakwaan KEDUA tersebut; dan Menyatakan terdakwa

MUHAMMAD FAJRISKA MIRZA, SH alias BOY Bin A. GANIE MUSTAFA dengan

identitas terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Pengaduan

Palsu kepada Penguasa, sebagaimana Dakwaan KESATU SUBSIDAIR.”; dan menjatuhkan

pidana terhadap Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) bulan;51

- Putusan Nomor 324/Pid.B/2014/PN.SGM (Sungguminas)

Dalam putusan ini Menyatakan Terdakwa FADHLI RAHIM S.Sos Bin ABD.RAHIN

HANAFI telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana

“Dengan Sengaja Tanpa Hak Mentransmisikan Informasi Elektronik Yang Memiliki Muatan

Penghinaan dan Pencemaran Nama Baik.”; dan menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan Pidana penjara selama 8 (delapan) bulan; dan menetapkan penahanan yang

telah dijalani Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; dan

menetapkan Terdakwa tetap dalam tahanan.52

- Putusan Nomor 390/Pid.B/2014/PN.Mks (Makassar)

Dalam putusan ini menyatakan Terdakwa MUHAMMAD ARSYAD, SH tidak

terbukti secara sah dan meyakinkan bersalahmelakukan tindak pidana baik dalam dakwaan

PERTAMA, dakwaan KEDUA maupun dalam dakwaan KETIGA; dan membebaskan

Terdakwa MUHAMMAD ARSYAD, SH. tersebut oleh karena itu dari seluruh dakwaan

Jaksa/Penuntut Umum tersebut dan memerintahkan segera mengeluarkan Terdakwa dari

(25)

tahanan dan memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta

martabat.53

- Putusan Nomor 232/Pid.B/2010/PN.Kdl (Kendal)

Dalam putusan ini Menyatakan Terdakwa Drs. PRABOWO, MM Bin TJASAN

PROMONO SAPUTRO tersebut telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah

melakukan tindak pidana “Tanpa hak telah mendistribusikan Informasi elektronik yang memiliki muatan penghinaan”; dan menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa tersebut oleh

karena itu dengan Pidana penjara selama 3 (tiga) bulan dan denga sebesar 1.000.000,- (satu

juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan

selama 1 (satu) bulan;54

Terlepas dari setiap karakteristik pidana yang terdapat dalam setiap putusan, penulis

menyadari bahwa penekanan utama yang harus dilihat adalah bukan pada seberapa baik

pembagian unsur yang dibuat hakim, bukan juga pada persoalan dibebaskan atau dianggap

bersalahnya seorang terdakwa didepan pengadilan, melainkan lebih pada apakah sebuah

putusan yang dibuat sudah mempertimbangkan hal-hal fundamental dalam membuat putusan.

Hal fundamental yang dimaksudkan disini terkait dengan alat-alat bukti yang akan dipakai

hakim dalam membuat pertimbangan-pertimbangan yang akan penulis jabarkan sendiri dalam

analisis.

B. Analisis

Setiap Orang

Dalam Pasal 1 angka 21 UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “orang” adalah orang perorangan, baik

(26)

Warga Negara Indonesia, Warga Negara Asing maupun Badan Hukum.55 Merujuk pada

pengertian tersebut, maka setiap orang yang dimaksudkan disini bukanlah merupakan unsur

tindak pidana. Setiap orang yang dimaksudkan bukanlah unsur perbuatan, melainkan sebuah

unsur Pasal yang merujuk kepada siapa saja orang perorangan atau suatu Badan Hukum

sebagai pendukung hak dan kewajiban yang didakwa melakukan suatu Tindak Pidana. Hak

dan kewajiban merupakan kebebasan dan keharusan yang melekat pada siapa saja orang

perorangan atau badan hukum untuk berbuat sesuatu menurut hukum. Oleh karena kebebasan

disini adalah bebas berbuat sesuatu menurut hukum, maka apabila seseorang atau badan

hukum dalam perbuatannya dianggap tidak sesuai lagi menurut hukum, menjadi keharusan

dari seseorang atau badan hukum tersebut untuk berbuat sesuatu menurut hukum (mengikuti

proses hukum). Dengan demikian, setiap orang yang dimaksud disini menitikberatkan pada

kemampuan seseorang atau badan hukum untuk bertanggung jawab terhadap perbuatan yang

didakwakan.

Dalam KUHP, ketentuan mengenai kemampuan bertanggungjawab. Dapat dilihat

pada Pasal 44, yang menyatakan : “Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau jiwa yang

terganggu karena penyakit”. Berdasarkan pasal ini, maka persoalan yang muncul kemudian

adalah jika tidak dapat dipertanggungjawabkannya itu disebabkan karena hal lain, misalnya

jiwanya tidak normal karena masih sangat muda atau lain-lain, maka pasal ini sulit untuk

diterapkan. Moeljatno dalam bukunya “Asas-asas Hukum Pidana” mengatakan, “bahwa untuk adanya kemampuan bertanggungjawab harus ada:56

1. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk;

yang sesuai hukum dan yang melawan hukum;

55 Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik, h.13

(27)

2. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan

buruknya perbuatan tadi.”

Dari rumusan pasal 44 KUHP dan penyataan Moeljatno tersebut, dapat disimpulkan

bahwa unsur setiap orang adalah unsur yang tujukan pada subjek hukum sebagai pendukung

hak dan kewajiban yang mampu mempertanggung jawabkan setiap perbuatannya dihadapan

hukum. Mempertanggungjawabkan memiliki makna tidak sakit atau cacat mental sehingga

mampu membedakan antara perbuatan baik dan buruk, perbuatan melawan hukum dan sesuai

hukum serta mampu menentukan kehendaknya menurut kesadaran tentang baik dan buruknya

perbuatan.

Selain persoalan bertanggung jawab, unsur setiap orang disini dimaksudkan agar tidak

terjadi kesalahan atau kekeliruan orang (error in person) sebagai subyek atau pelaku tindak

pidana yang sedang diperiksa dalam perkara.

Pada keenam putusan yang penulis teliti, subjek hukum yang menjadi terdakwa

adalah subjek hukum yang telah memenuhi kualifikasi penyandang hak dan kewajiban.

Semua terdakwa sebagai subjek hukum yang sehat jasmani dan rohani, yang mampu

mempertanggungjawabkan semua perbuatan yang telah didakwakan. Disamping itu, dalam

semua putusan yang diteliti, tidak terjadi kesalahan ataupun kekeliruan orang (error in

person) sebagai subjek atau pelaku tindak pidana

Dengan sengaja dan tanpa hak;

Menurut keterangan Menkominfo dan Menhukham pada persidangan di Mahkamah

Konstitusi pada 12 Februari 2009 unsur dengan sengaja diartikan “pelaku harus menghendaki

perbuatan mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya

(28)

dan/atau Dokumen elektronik tersebut memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran

nama baik”. Berdasarkan keterangan tersebut,57 Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

50/PUU-VI/2008, Majelis Hakim menyatakan pertimbangannya : “Bahwa unsur dengan sengaja dan tanpa hak merupakan satu kesatuan yang dalam tataran penerapan hukum harus

dapat dibuktikan oleh penegak hukum. Unsur “dengan sengaja” dan “tanpa hak” berarti pelaku “menghendaki” dan “mengetahui” secara sadar bahwa tindakannya dilakukan tanpa

hak. Dengan kata lain, pelaku secara sadar menghendaki dan mengetahui bahwa perbuatan

“mendistribusikan” dan/atau “mentransmisikan” dan/atau “membuat dapat diaksesnya

informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik” adalah memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Adapun unsur tanpa hak merupakan unsur melawan hukum.

Pencantuman unsur tanpa hak dimaksudkan untuk mencegah orang melakukan perbuatan

mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi

elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau

pencemaran nama baik”.58

Berdasarkan hal tersebut, perbuatan yang diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE,

yaitu mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya

informasi dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinan dan/atau

pencemaran nama baik, mensyaratkan adanya kesengajaan. Disisi lain, dalam UU ITE tidak

dijelaskan tentang maksud dari kesengajaan. Bahkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP) Indonesia, tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai pengertian

dari unsur dengan sengaja. Sangat berbeda dengan KUHP Swiss di mana dalam Pasal 18

dengan tegas ditentukan : “Barangsiapa melakukan perbuatan dengan mengetahui dan

menghendakinya, maka dia melakukan perbuatan itu dengan sengaja”. Namun, penyataan

57 http://www.suduthukum.com/2016/11/unsur-unsur-pencemaran-nama-baik-dalam.html dikunjungi pada Tanggal 10 Agustus 2017, pukul 18:26

58 Konsideran pada Pasal 19 ICCPR bagian 3.16.2, Konstitusi Nomor 50/PUU-VII/2008, h.

(29)

serupa bisa saja ditemukan pada Memorie Van Toelichting (MVS) yang menyatakan, “Pidana pada Umumnya hendaknya dijatuhkan hanya pada barangsiapa melakukan perbuatan yang

dilarang dengan dikehendaki dan diketahui”.59

Bertitik tolak dari hal tesebut di atas, sesungguhnya sengaja merupakan sikap batin

yang letaknya dalam hati terdakwa yang tidak dapat dilihat oleh orang lain. Sengaja termasuk

unsur subyektif yang ditunjukan terhadap perbuatan, artinya pelaku mengetahui perbuatannya

yang dalam hal ini, pelaku menyadari mengucapkan kata-kata yang mengandung pelanggaran

terhadap kehormatan atau nama baik orang lain. Walaupun sengaja merupakan unsur

subjektif (sikap batin seseorang), sesungguhnya sengaja dapat dianalisa, dipelajari dan

dibuktikan dari rangkaian perbuatan yang dilakukan terdakwa, karena setiap orang

melakukan perbuatan selalu sesuai dengan niat, kehendak atau maksud hatinya, terkecuali

terdapat paksaan atau tekanan dari orang lain. Sikap batin tersebut tercermin dari sikap lahir

atau perilaku seseorang yang merupakan refleksi dari niatnya, sehingga dapatlah dikatakan

bahwa dengan sengaja adalah suatu kehendak yang diarahkan pada terwujudnya perbuatan

seperti dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan atau kehendak untuk berbuat

dengan mengetahui unsur-unsur yang diperlukan menurut rumusan perundangan-undangan.60

Pengertian yang paling sering dipakai oleh para praktisi hukum yang menjelaskan

tentang unsur “sengaja” atau opzet dikenal dengan istilah asing “Willens En Wetens”, yang

secara gramatikal berarti dikehendaki dan di insyafi. Menghendaki dan/atau menginsyafi ,

tidak hanya berarti apa yang betul-betul dikehendaki dan atau diinsyafi oleh pelaku, tetapi

59 Konsideran menimbang pada Putusan Nomor 196/Pid.Sus/2014/PN.Kdl, h.50

60 Dalam konsideran menimbang pada unsur Dengan Sengaja Tanpa Hak mendistribusikan

(30)

juga hal-hal yang mengarah atau berdekatan dengan kehendak atau keinsyafan itu (S. R

Sianturi, asas-asas hukum pidana Indonesia dan penerapannya, Hal : 179);61

Sejatinya, kesengajaan (opzet) sebagaimana tersebut di atas adalah willens

(menghendaki) dan wetens (mengetahui), artinya agar seseorang itu dapat disebut telah

memenuhi unsur-unsur opzet, maka terhadap unsur-unsur objektif yang berupa

tindakan-tindakan, orang itu harus willens atau menghendaki melakukan tindakan-tindakan tersebut,

sedang terhadap unsur-unsur objektif yang berupa keadaan-keadaan terdakwa cukup wetens

atau mengetahui tentang keadaan-keadaan tersebut;

Untuk membuktikan adanya suatu bentuk kesengajaan, dapatlah ditempuh dengan

cara membuktikan adanya hubungan kausal dalam batin terdakwa antara keinginan/motif

(willens) dengan tujuan atau pembuktian adanya keinsyafan atau pengertian terhadap apa

yang dilakukan beserta akibatnya (willens) dan keadaan-keadaan yang paling menyertainya;

Prof. Dr. Wirjono Projodikoro, SH, dalam bukunya tentang “Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, edisi ketiga, PT Refina Utama, Hal. 66-69”, mengatakan : “Dalam teori ilmu hukum terdapat 2 macam teori yang dapat dipakai untuk membuktikan adanya suatu

bentuk kesengajaan dalam diri si-pelaku, yakni teori tujuan (wilsntheori) dan teori bayangan

(voorstellingtheorie). Kedua teori tersebut dapat dijadikan sebagai pedoman dalam

menentukan apakah perbuatan terdakwa termasuk ke dalam bentuk kesengajaan yang dalam

doktrin ilmu hukum terbagi menjadi 3 bentuk yaitu:62

1. Kesengajaan yang bersifat tujuan (oogmerk), yaitu suatu bentuk perbuatan yang

benar-benar dikehendaki oleh pelaku untuk mencapai akibat yang menjadi pokok

alasan diadakannya ancaman hukuman pidana tersebut;

61 Dalam konsideran menimbang pada unsur Dengan sengaja dan Tanpa Hak, Putusan Nomor

324/Pid.B//2014/PN.SGM,h. 55

62 Dalam konsideran menimbang pada unsur Dengan Sengaja Tanpa Hak mendistribusikan

(31)

2. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian (opzet bij zekerheidbewustzinj), yaitu suatu

bentuk sengaja yang ada apabila si pelaku dengan perbuatannya tersebut tidak

bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar delik, namun pelaku mengetahui

benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatannya tersebut;

3. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan (opzet bij mogelijheid-bewustzijn), yaitu

seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan maksud menimbulkan suatu

akibat tertentu, tetapi orang tersebut sadar bahwa apabila ia melakukan perbuatan

tersebut mungkin perbuatan itu akan menimbulkan akibat lain yang juga dilarang dan

diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan dan terhadap akibat lain tersebut

bukan merupakan tujuan yang dikehendaki akan tetapi hanya didasari kemungkinan

terjadinya;

Adapun tentang teori tujuan dan teori bayangan, Moeljatno dalam bukunya tentang “Asas

-asas Hukum Pidana” menyebut dengan sebutan “Teori kehendak (wilstheorie) dan Teori

pengetahuan (voorstellingstehorie).”63

Menurut teori kehendak, kesengajaan adalah kehendak yang diarahkan pada

terwujudnya perbuatan seperti dirumuskan dalam wet. (de op verwerkelijking der wettelijke

omschrijhving gerichte wil); sedangkan menurut yang lain, kesengajaan adalah kehendak

untuk berbuat dengan mengetahui unsur-unsur yang diperlukan menurut rumusan wet(de wil

tot handelen bj voorstelling van de tot de wettelijke omschrijving behoorende berstandelen).64

kedua teori ini pada umumnya memiliki kesamaan karena dalam kehendak dengan sendirinya

diliputi pengetahuan. Sebab untuk menghendaki sesuatu, orang lebih dahulu sudah harus

mempunyai pengetahuan (gambaran) tentang sesuatu itu. Tapi apa yang diketahui seseorang

belum tentu juga dikehendaki olehnya. Pompe, (Dalam Moeljatno) mengatakan bahwa

(32)

“perbedaan kedua teori ini tidak terletak pada kesengajaan untuk mengadakan kelakuan

(positif maupun negative) itu sendiri yang oleh dua -duanya disebut sebagai kehendak, tetapi

terletak dalam kesengajaan terhadap unsur -unsur lainnya (sejauh harus diliputi

kesengajaan), yaitu akibat dan keadaan yang menyertainya.”.65 lebih lanjut, Moeljatno

mengatakan :“Mengenai kesengajaan terhadap unsur-unsur ini yang satu mengatakan

tentang pengetahuan (mempunyai gambaran tentang apa yang ada dalam kenyataan, jadi

mengetahui, mengerti ) sedangkan yang lain mengatakan tentang kehendak”. 66

Selanjutnya, menurut Moeljatno, “kehendak merupakan arah, maksud atau tujuan, yang berhubungan dengan motif (alasan pendorong untuk berbuat) dan tujuannya perbuatan.

Konsekuensinya ialah bahwa untuk menentukan bahwa sesuatu perbuatan dikehendaki oleh

terdakwa, hemat saya: 1. Harus dibuktikan bahwa perbuatan itu sesuai dengan motifnya

untuk berbuat dan tujuannya yang hendak dicapai. 2. Antara motif, perbuatan dan tujuan

harus ada hubungan terdakwa menganiaya seseorang karena orang itu beberapa hari yang lalu

telah mengganggu tunangannya misalnya, maka disitu ada motif dan tujuan untuk

penganiayaan, sehingga dapat ditentukan bahwa penganiayaan dilakukan dengan

kesengajaan. Dia memang menghendaki perbuatan tersebut. Cara yang demikian ini tentunya

yang idiil dan seyogyanya sedapat mugkin memang harus diusahakan pembuktiannya bagi

delik yang penting-penting. Tapi cara ini tidak mudah dan memakan banyak waktu dan

tenaga. Lain hal-nya kalau kesengajaan diterima sebagai pengetahuan. Disini pembuktian

lebih singkat, Karena hanya berhubungan dengan unsur-unsurnya perbuatan yang dilakukan

saja. Tidak ada hubungan kausal antara motif dengan perbuatan. Hanya berhubungan dengan

65Ibid.

(33)

dengan pertanyaan, apakah terdakwa mengetahui, menginsyafi, atau mengerti perbuatannya

yaitu kelakuan yang dilakukan, maupun akibat dan keadaan-keadaan yang menyertainya?”67

Berdasarkan hal tersebut, maka menurut penulis perbedaan antara teori kehendak dan

teori pengetahuan terletak pada bagaimana seseorang melakukan interpretasi hukum tentang

kesengajaan. Seseorang yang dimaksudkan di sini adalah yang memiliki wewenang dari

undang-undang atau dalam hal ini adalah Majelis Hakim. Perbedaan tersebut dapat

ditemukan pada bagaimana majelis hakim menafsirkan kesengajaan, apakah kesengajaan

yang diatur dalam pasal 27 ayat 3 diterima sebagai kehendak ataukah kesengajaan tersebut

diterima sebagai pengetahuan. Jika kesengajaan diterima sebagai kehendak, maka hubungan

kausal antara motif, niat dan perbuatan terdakwa menjadi pembuktian dalam pertimbangan

Majelis Hakim. Namun, jika kesengajaan hanya diterima sebagai pengetahuan, konsekuensi

hukumnya adalah Majelis Hakim cukup membuktikan dalam pertimbangannya bahwa

terdakwa mengetahui dan menginsyafi perbuatan yang dilakukan.

Adapun pengertian tentang unsur “tanpa hak” tidak dijelaskan dalam Undang-Undang

ini. Keterangan Menkominfo dan Menhukham pada persidangan di Mahkamah Konstitusi

pada 12 Februari 2009, menyatakan : “……Sementara unsur tanpa hak dalam kesempatan

yang sama juga diartikan sebagai “perumusan sifat melawan hukum yang dapat diartikan (1)

bertentangan dengan hukum, (2) bertentangan dengan hak atau tanpa kewenangan atau tanpa

hak”.68 Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa “tanpa hak” merupakan suatu

perbuatan yang dilakukan diluar hak yang dimiliki oleh seseorang berdasarkan jabatan,

kewenangan, ataupun kekuasaan yang ada padanya secara melawan hukum. Sifat melawan

hukum disini terletak pada perbuatan mendistribusikan, mentransmisikan atau membuat dapat

67Ibid.

(34)

diakses informasi elektronik tersebut yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran

nama baik.

Dalam putusan 196/Pid.Sus/2014/PN.Btl (bantul), bagi Majelis Hakim, kesengajaan

tidak hanya diterima sebagai pengetahuan namun juga kesengajaan diterima sebagai

kehendak. Hal ini pada dilihat pada pertimbangan-pertimbangan yang dibuat Majelis Hakim

terkait fakta-fakta hukum yang diutarakan didalam pengadilan. Adapun dalam salah satu

konsiderans, majelis hakim menyatakan :

“Menimbang, bahwa dalam teori ilmu hukum terdapat dua macam teori untuk dapat membuktikan adanya suatu bentuk kesengajaan dalam diri si pelaku yaitu teori tujuan (wilsntheorie) dan teori bayangan (voorstellingtheorie) dimana kedua teori tersebut merupakan pedoman bagi Majelis Hakim….”69

Berbeda dengan hal tersebut, dalam Putusan Nomor 324/Pid.B/2014/PN.SGM

(Sungguminasa), majelis hakim membuat pertimbangan dimana kesengajaan lebih diterima

sebagai pengetahuan daripada kehendak. Berikut adalah salah satu konsiderans, yaitu :

“Menimbang, bahwa Dr Leden Marpaung, SH dalam bukunya tindak Pidana terhadap kehormatan memberikan penjelasan terhadap kaidah hukum tersebut sebagai berikut: Dalam hal ini, cukup si pelaku menyadari a tau mengetahui bahwa kata -kata itu diucapkan dan mengetahui bahwa kata -kata

tersebut merupakan kata-kata “menista”. Bahwa si pelaku bukan mempunyai

niat untuk menghina atau menista, tidak merupakan bagian dari Dolus atau Opzet. Lain halnya kalau pelaku mengucapkan kata-kata tersebut dalam keadaan mabuk atau dalam keadaan bermimpi, karena pelaku dalam kedua hal tersebut berbuat tanpa kesadaran yang waja r. Selain itu, perlu disadari bahwa niat belum masuk lingkungan ilmu hukum pidana. Mempunyai niat,

belum dapat dihukum, tetapi dalam agama memang telah merupakan dosa;70

Penilaian dengan menggunakan teori kehendak dan teori pengetahuan sebagai bahan

pertimbangan pun dapat dilihat pada Pertimbangan Majelis hakim dalam Putusan Nomor

390/Pid.B/2014/PN.Mks (Makassar). Bahkan, majelis hakim yang mengadili perkara ini

69 Dalam konsideran menimbang pada unsur Mendistribusikan dan/atau Mentransmisikan

dan/atau membuat dapat diaksesnyainformasi elektronik dan/atau Dokumen elektronik, Putusan Nomor 196/Pid.Sus/2014/PN.Kdl, h.51

70 Dalam konsideran menimbang pada unsur Dengan Sengaja dan tanpa hak, Putusan Nomor

(35)

terlihat fleksibel dan terkesan jeli memeriksa perkara. Fleksibel yang dimaksudkan disini

adalah pada bagaimana majelis hakim memposisikan diri untuk melihat dulu, apakah sengaja

tertuju pada perbuatan atau akibat daripada perbuatan atau hal ikhwal yang menyertai

perbuatan, yang mana kedua-duanya akan dinilai dengan teori kehendak atau teori

pengetahuan. Pernyataan tersebut dapat dilihat dalam konsiderans menimbang dibawah ini :

“Menimbang, bahwa sengaja dalam ilmu pengetahuan hukum pidana tersusun atas ana sir menghendaki atau mengeta hui, bahwa seseorang yang berbuat dengan sengaja itu, harus dikehendaki apa yang diperbuat dan harus diketahui atas apa yang diperbuat, selain itu ada beberapa sarjana yang membagi kesengajaan berdasarkan pada perbuatan disebut opzet materiil dan pada akibat daripada perbuatan atau hal ikhwal yang menyertai perbuatan disebut opzet materiil, bahwa Majelis Hakim mengikuti pandangan kedua oleh karena dengan pembagian demikian menjadikan penafsiran sengaja menja di lebih objektif bukan dalam pemikiran abstrak karena dengan membagi sengaja dalam pandangan kedua akan memudahkan penafsiran fakta pada rumusan sengaja yang diempiriskan (diobjektifkan) disini dilihat dulu apakah sengaja tertuju pada perbuatan atau akibat jika pada perbuatan tidak perlu diperdalam sampai pada bentuk sengaja sebagai maksud, keharusan pasti atau kemungkinan yang mutlak diteliti jika sengaja tertuju pada akibat dan hal ikhwal yang menyertai pebuatan di samping perbuatan itu sendiri dengan demikian tidak perlu susah-susah membagi sengaja dalam dua anasir menghendaki dan mengetahui karena jika ia mengetahui dan ternyata melakukan pasti juga ia menghendaki, namun apakah tertuju pada perbuatan atau akibat/hal ikhwal yang menyertai perbuatan tentunya dinilai dengan teori kehendak atau teori pengetahuan tergantung teori mana yang dipergunakan;”71

Adapun terkesan jeli dalam memeriksa perkara seperti yang penulis katakan sebelum

mengandung arti bahwa sebelum memeriksa lebih jauh tentang kesengajaan dimaksud dalam

perkara yang ditangani, majelis hakim terlebih dahulu mempertanyakan dan

mempertimbangkan kembali alat bukti yang dipakai oleh jaksa penuntut umum dengan

memperhatikan keterangan-keterangan dari para saksi. Menurut majelis hakim, bukti yang

dipakai oleh jaksa penuntut umum tidak mampu membuktikan bahwa terdakwalah yang telah

melakukan perbuatan tersebut. Hal tersebut dapat dilihat dalam konsiderans menimbang,

sebagai berikut :

71 Dalam konsideran menimbang pada unsur Dengan Sengaja dan tanpa hak, Putusan Nomor

(36)

Menimbang, bahwa selama pemeriksaan perkara berlangsung, Jaksa/Penuntut Umum tidak dapat menghadirka n 2 (dua) orang saksi yang berteman kontak BBM dengan terdakwa dengan nomor PIN 215A00AA untuk memastikan apakah benar terdakwa yang membuat personal status dalam BBM nya tersebut dan apakah benar bahwa itu adalah nomor PIN BBM

terdakwa;72

Menimbang, bahwa demikian juga Jaksa/Penuntut Umum tidak dapat

membuktikan dipersidangan hasil pemeriksaan digital forensic oleh ahli ITE untuk memastikan apakah benar kata -kata yang tertulis dalam status BBM tersebut adalah bera sal dari Smartphone Blackberry akun BBM PIN

215A00AA milik terdakwa;73

Menimbang, bahwa demikian juga Jaksa/Penuntut Umum tidak dapat

menghadirkan dipersidangkan barang bukti Blackberry milik terdakwa maupun Blackberry milik saksi MUH. ZULHAMDI ALAMSYAH, SH. yang

berteman kontak BBM dengan terdakwa;74

Menimbang, bahwa berda sarkan fakta -fakta tersebut di atas, maka Majelis

Hakim berkesimpulan bahwa Jaksa/Penuntut Umum tidak dapat membuktikan

dakwaan Pertamanya;75

Persoalan tentang bukti elektronik pun juga menjadi salah satu kejelian dari majelis

hakim yang mengadili perkara dalam Putusan Nomor 1832/Pid.B/2012/PN.Jkt.Sel (Jakarta

Selatan) dalam putusan tersebut, majelis hakim menemukan bahwa persoalan dengan sengaja

dan tanpa hak tidak dapat dipertimbangkan lebih jauh lagi sebab jaksa penuntut umum tidak

dapat membuktikan kepada majelis hakim bahwa terdakwa yang telah dituntutlah yang

melakukan perbuatan tersebut. Dapat dilihat dalam konsiderans menimbang, yaitu :

Menimbang, bahwa dari uraian saksi-saksi sebagaimana diuraikan di atas,

tidak ada saksi-saksi yang mengetahui dan melihat pemilik akun twitter

tersebut dan tidak tahu yang merilisnya;76

Menimbang, bahwa keterangan saksi-saksi yang menyatakan bahwa dalam

twitter tersebut adalah milik Terdakwa oleh karena tertulis @fajriska yaitu nama Terdakwa akan tetapi tidak ada satu orang saksi pun yang mengetahui

bahwa akun twitter @fajriska adalah milik Terdakwa;77

72Ibid., h. 37 73Ibid. h. 38 74Ibid. 75Ibid.

76 Dalam konsideran menimbang pada unsur Dengan Sengaja dan tanpa hak mendistribusikan

dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi Elek

Referensi

Dokumen terkait

Terdapat beberapa kendala bagi pihak kepolisian di wilayah hukum Kepolisian Resort Kota Bandar Lampung dalam melakukan upaya penegakan hukum pidana terhadap

Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data yang akan diuji berdistribusi normal atau tidak. Apabila uji normalitas ini terpenuhi, maka uji t- test

Sumber Daya Manusia Di Dalam Ritel Berbagai posisi karier yang bisa kita temukan dalam sebuah bisnis ritel, antara lain : Pemilik Ritel, Pengelola Ritel, Pramuniaga,

Dari pembahasan pada bab sebelumnya diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa permainan merupakan hal yang harus diajarkan kepada anak karena

Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil

‘I want no witnesses to this meeting,’ Emma said, and Justin wondered how many of the men knew her identity. Cloaked in a dark, hooded mantle, she thwarted recognition

Untuk wilayah Ekuator Indonesia pada selang waktu tahun 2000 sampai 2009, hujan wilayah ini (gambar 5) mengalami empat titik terendah curah hujannya yaitu pada bulan ke 21, 31, 56

motif gerakan yang dilakukan penari Sêblang selalu sesuai dengan hitungan lagu. Contohnya motif sapon yang terdiri darigerak kanan lalu kiri dalam empat hitungan,