BAB II
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
I. PERKEMBANGAN TEKNOLOGI INFORMASI
Peradaban dunia pada masa kini dicirikan dengan fenomena kemajuan teknologi
informasi dan globalisasi yang berlangsung hampir di semua bidang kehidupan. Apa yang
disebut dengan globalisasi pada dasarnya bermula dari awal abad ke-20, yakni pada saat
terjadi revolusi transportasi dan elektronika yang menyebarluaskan dan mempercepat
perdagangan antar bangsa, disamping pertambahan dan kecepatan lalu lintas barang dan jasa.
Menurut Didik J. Rachbini, “teknologi informasi dan media elektronika dinilai sebagai simbol pelopor, yang akan mengintegrasikan seluruh sistem dunia, baik dalam aspek sosial,
budaya, ekonomi dan keuangan. Dari sistem-sistem kecil lokal dan nasional, proses
globalisasi dalam tahun-tahun terakhir bergerak cepat, bahkan terlalu cepat menuju suatu
sistem global. Dunia akan menjadi “global village” yang menyatu, saling tahu dan terbuka, serta saling bergantung satu sama lain.”1
Pada mulanya jaringan internet hanya dapat digunakan oleh lingkungan pendidikan
(perguruan tinggi) dan lembaga penelitian. Kemudian tahun 1995, internet baru dapat
digunakan untuk publik. Berapa tahun kemudian, tim burners-lee mengembangkan aplikasi
world wide web (www) yang memudahkan orang untuk mengakses informasi di internet.
Setelah dibukanya internet untuk keperluan publik semakin muncul aplikasi-aplikasi bisnis di
internet. Aplikasi bisnis yang berbasis teknologi internet ini mulai menunjukkan adanya
aspek financial. Misalnya internet digunakan sebagai sarana untuk memesan/reservasi tiket
(pesawat terbang, kereta api), hotel, pembayaran tagihan telepon, listrik dan sebagainya. Hal
ini mempermudah konsumen dalam menjalankan aktivitas/transaksi bisnisnya. Konsumen
1 Didik M. Arif Mansur dan Elisatris Gultom, Cyber law aspek hukum teknologi informasi,
tidak perlu keluar untuk memperoleh layanan yang diinginkan karena dapat dilakukan di
dalam rumah, begitu pula tingkat keamanannya yang relatif lebih terjaga.2
Tidak hanya itu, aplikasi yang berbentuk sosial media sebagai sarana penghubung
komunikasi pun telah banyak diciptakan, seperti Facebook, blog, twitter, line, instagram,
Path, whatsapp, dan sebagainya. Untuk memudahkan para pemakai, teknologi informasi
yang dulunya menggunakan komputer terus berinovasi, merubah bentuk sehingga lebih
mudah dibawa kemana saja diantaranya labtop. Bahkan, dengan sistim android yang ada
sekarang ini, berbagai informasi dengan menggunakan internet bisa langsung diakses dengan
menggunakan ponsel genggam.
Perkembangan teknologi informasi saat ini telah membawa manfaat positif. Namun,
harus disadari pula bahwa hal ini pun telah memberi peluang dijadikannya sarana tindak
kejahatan baru. Kejahatan baru dengan menggunakan teknologi atau lebih dikenal dengan
cybercrimesecara umum diartikan sebagai “Upaya memasuki dan atau menggunakan fasilitas
komputer atau jaringan komputer tanpa ijin dan dengan melawan hukum dengan atau tanpa
menyebabkan perubahan dan atau kerusakan pada fasilitas komputer yang dimasuki atau
digunakan tersebut.”3 Andi Hamzah dalam bukunya Aspek-aspek Pidana di Bidang Komputer menyatakan bahwa “kejahatan di bidang komputer secara umum dapat diartikan sebagai pengguna komputer secara illegal”.4 Pada dasarnya cybercrime meliputi semua
tindak pidana yang berkenan dengan informasi, sistem informasi (information system) itu
sendiri, serta sistem komunikasi yang merupakan sarana untuk penyampaian/pertukaran
informasi itu kepada pihak lainnya (transmitter/originator, to recipient)”5
2Ibid., h. 5 3 Ibid.,
Adapun bentuk-bentuk kejahatan yang menggunakan teknologi informasi sebagai
sarana kejahatan antara lain :
1. Unauthorized Access to Computer System and Service, yaitu : Kejahatan yang
dilakukan dengan memasuki/menyusup kedalam satu sistem jaringan komputer
secara tidak sah, tanpa izin atau tanpa sepengetahuan dari pemilik sistem jaringan
komputer yang dimasukinya.
2. Illegal Contents, yaitu : Merupakan kejahatan dengan memasukan data atau
informasi ke Internet tentang sesuatu yang tidak benar, tidak etis, dan dapat dianggap
melanggar hukum atau mengganggu ketertiban umum.
3. Data forgery, yaitu : Merupakan kejahatan dengan memalsukan data pada
Merupakan kejahatan dengan memalsukan data pada dokumen-dokumen penting
yang tersimpan sebagai scriptless document melalui Internet.
4. Cyber Espionage, yaitu : Merupakan kejahatan yang memanfaatkan Internet untuk
melakukan kegiatan mata-mata terhadap pihak lain, dengan memasuki sistem
jaringan komputer (computer network system) pihak sasaran.
5. Cyber Sabotage and extortion, yaitu : Kejahatan ini dilakukan dengan membuat
gangguan, perusakan atau penghancuran terhadap suatu data, program komputer atau
sistem jaringan komputer yang terhubung dengan Internet.
6. Offense Againts Intellectual Property, yaitu : Kejahatan ini ditujukan terhadap hak
atas kekayaan Intelektual yang dimiliki pihak lain di Internet. Sebagai contoh dalam
peniruan tampilan pada web page suatu situs milik orang secara illegal, penyiaran
suatu informasi di Internet yang ternyata merupakan rahasia dagang orang lain dan
sebagainya.
7. Infringements of Privacy yaitu : Kejahatan ini ditujuhkan terhadap informasi
biasanya ditujukkan terhadap keterangan seseorang pada formulir data pribadi
tersimpan secara computererized, yang apabila diketahui oleh orang lain akan daapat
merugikan korban secara materiil seperti nomor kartu kredit, nomor PIN, ATM, cacat
atau penyakit tersembunyi dan sebagainya.6
Bentuk-bentuk kejahatan diatas, terus berkembang dengan begitu cepat karena
dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya, Kesadaran hukum masyarakat, faktor
keamanan, faktor penegak hukum, faktor ketiadaan undang. Ketiadaan
undang-undang dan penegak hukum menjadi faktor yang ikut berpengaruh mengandung arti bahwa
secara kontekstual atau pada saat itu (sebelum adanya UU ITE), bentuk-bentuk kejahatan
dengan menggunakan teknologi terlebih dahulu muncul mendahului aturan undang-undang
(UU ITE). Hal ini dapat dilihat dalam pernyataan pakar hukum teknologi informasi, Iman
Syahputra yang menyatakan bahwa “persoalan hukum teknologi internet yang bermunculan
belakangan ini telah mendesak pemerintah dan DPR untuk segera merampungkan
perundangannya.”7
Sekalipun perangkat hukum seperti Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
sudah dimiliki Indonesia, namun peraturan itu masih belum cukup mampu menjerat pelaku
tindak pidana di Internet. Apalagi dalam Pasal 1 KUHP disebutkan “tidak ada perbuatan pidana jika sebelumnya tidak dinyatakan dalam suatu ketentuan perundang-undangaan.
“Artinya, Pasal ini menegaskan kalau pelaku kejahatan Internet belum tentu dapat dikenakan
sanksi pidana.8
Selain benturan dengan Pasal 1 KUHP, kesulitan untuk menjerat pelaku tindak pidana
yang dilakukan di dunia maya berkaitan dengan masalah pembuktian. Hukum Positif
mengharuskan ada alat bukti, saksi, petunjuk, keterangan ahli serta terdakwa dalam
pembuktian. Sedangkan dalam hal kejahatan terkait dengan teknologi Informasi sulit
dilakukan pembuktiannya.9
Mengenai hal ini Soedjono Dirdosisworo menyatakan “perubahan dan penyesuaian
sosial serta perkembangan teknologi selama setengah abad sejak 1958 (UU No. 73/58)
demikian pesatnya, dan kepesatan perkembangan sosial dan teknologi serta semakin
berpengaruhnya globalisasi yang terus didorong oleh teknologi informasi dan komunikasi
sangatlah terasa bahwa Kitab Undang-undang Hukum Pidana sudah sejak lama tidak mampu
secara sempurna mengakomodasi dan mengantisipasi kriminilitas yang meningkat, baik
kualitatif maupun kuantitatif dengan jenis, pola dan modus operandi yang tidak terdapat
dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Contoh menonjol adalah Cyber Crime).”10
Lebih lanjut dikatakan, bahwa pembaharuan hukum pidana (Penal Reform) harus
dilakukan dengan pendekatan kebijakan, oleh karena pada hakikatnya pembaharuan hukum
pidana merupakan bagian dari suatu kebijakan.11
Berkenaan dengan peran Hukum Pidana terhadap perkembangan teknologi informasi,
maka perlu kiranya diperhatikan beberpa hal penting sebagai upaya penyempurnaan terhadap
ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Nasional, yaitu:
1. Dengan semakin maraknya kejahatan-kejahatan baru yang timbul sebagai akibat dari
kemajuan teknologi informasi (cyber crime), maka dalam hal pembuktian sudah
waktunya untuk dipikirkan kemungkinan adanya penambahan alat bukti lain yang
berbasis teknologi, sepert alat bukti berupa surat elektronik (electronic mail) dan
rekaman elektronik (electronic record),
9Ibid., h. 7 10Ibid.
2. Salah satu ciri kejahatan di dunia maya (cyber crime) adalah memanfaatkan jaringan
telematika (telekomunikasi, media dan informatika) global. Aspek global
menimbulkan kondisi seakan-akan dunia tidak ada batasnya (borderless). Keadaan
ini mengakibatkan pelaku, korban serta tempat dilakukannya tindak pidana (locus
delicti) terjadi di negara yang berbeda-beda. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi
hal tersebut maka daya berlaku Kitab Undang-undang Hukum Pidana harus
diperluas, sehingga tidak hanya mengacu pada asas/prinsip yang selama ini dianut
dalam Pasal 2 – Pasal 9 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yaitu asas personal, asas territorial, dan asas universal;
3. Untuk merumuskan dan menentukan perbuatan-perbuatan mana yang dapat dikenai
sanksi pidana dalam dunia yang relatif baru dan bergerak cepat, tentu bukan
merupakan pekerjaan yang mudah. Oleh karena itu, untuk menjerat pelaku tindak
pidana yang melakukan kejahatan-kejahatan di dunia maya (cyber crime), dapat
digunakan lembaga penafsiran hukum (interprestasi). Hal ini dimaksudkan untuk
menghindarkan timbulnya kekosongan hukum.12
Pada tanggal 21 April tahun 2008, UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (ITE) disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Andi
Mattalata. Dalam Penjelasan UU ITE, mengatakan : “P emanfaatan Teknologi Informasi,
media, dan komunikasi telah mengubah baik perilaku masyarakat maupun peradaban
manusia secara global. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah pula
menyebabkan hubungan dunia menjadi tanpa batas (border-less) dan menyebabkan
perubahan sosial, ekonomi,, dan budaya secara signifikan berlangsung demikian cepat.
Teknologi Informasi saat ini menjadi pedang bermata dua karena selain memberikan
kontribusi bagi peningkatan keejahteraan, kemajuan, dan peradaban manusia, sekaligus
menjadi sarana efektif perbuatan melawan hukum.”13
Pembentuk Undang-undang menyadari bahwa teknologi informasi yang berkembang
seperti pedang bermata dua, memberikan kontribusi positif sekaligus berdampak negatif.
Maka dari itulah, Undang-undang yang lahir sebagai jawaban terhadap desakan dan tuntutan
keadaan dimana semakin merebaknya kasus kejahatan menggunakan teknologi informasi
diharapkan mampu menjerat para pelaku kejahatan yang selama ini berhasil lolos karena
terkendala dalam proses pembuktian, seperti yang dinyatakan sebagai berikut : Saat ini telah
lahir rezim hukum baru yang dikenal dengan hukum siber atau hukum telematika. Hukum
siber atau cyber la w, secara internasional digunakan untuk istilah hukum yang terkait dengan
pemanfaatan teknologi informasi komunikasi. Demikian pula hukum telematika yang
merupakan perwujudan dari konvergensi hukum telekomunikasi, hukum media, dan hukum
infomatika. Istilah lain yang juga digunakan adalah hukum teknologi informasi (la w of
information technology), hukum dunia maya (vitual world la w), dan hukum mayantara.
Istilah-istilah tersebut lahir mengingat kegiatan yang dilakukan melalui jaringan sistem
komputer dan sitem komunikasi baik dilingkup lokal maupun global (internet) dengan
memanfaatkan teknologi informasi berbasis sistem komputer yang merupakan sistem
elektronik yang dapat dilihat secara virtual. Permasalahan hukum yang seringkali dihadapi
adalah ketika terkait dengan penyampaian informasi, komunikasi, dan/atau transaksi secara
elektronik, khususnya dalam hal pembuktian dan hal yang terkait dengan perbuatan hukum
yang dilaksanakan melalui sitem elektronik.”14
II. UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 2008
13 Penjelasan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Dengan semakin merebaknya persoalan-persoalan pidana yang terjadi dengan
menggunakan teknologi informasi, UU ITE disahkan dengan tujuan yang terdapat dalam
Pasal 4, dimana salah satu tujuannya menyatakan : “Pemanfaatan Teknologi Informasi dan
Transaksi Elektronik dilaksanakan dengan tujuan untuk: “Memberikan rasa aman, keadilan,
dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi.”15 Tampak
jelas, kehadiran Undang-undang tidak lain adalah untuk memberikan sebuah kepastian
hukum, agar terciptannya rasa aman, dan bertindak adil bagi setiap pengguna maupun
penyelenggara teknologi informasi.
Pasal 3 UU ITE, disebutkan, “Pemanfaatan teknologi Informasi dan Transaksi
Elektronik Elektronik dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum, manfaat,
kehati-hatian, etikad baik, dan kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi.”16 Adapun Asas kepastian hukum mengandung arti pemanfaatan teknologi informasi haruslah memiliki
landasan hukum serta mendapatkan pengakuan hukum di dalam dan diluar pengadilan. Asas
Manfaat mengandung arti teknologi informasi difokuskan pada meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Asas Kehati-hatian mengandung arti para pihak harus memperhatikan segala
aspek yang berpotensi mendatangkan kerugian, baik untuk dirinya maupun orang lain. Asas
Etikad Baik mengandung arti perbuatan yang tidak bertujuan untuk secara sengaja dan tanpa
hak atau melawan hukum mengakibatkan kerugian bagi pihak lain tanpa sepengetahuan pihak
lain tersebut. Sedangkan Asas Kebebasan Memilih mengandung arti tidak berfokus pada
penggunaan teknologi tertentu sehingga dapat mengikuti perkembangan.17
Dalam UU ITE, ketentuan tentang perbuatan-perbuatan pidana diatur di BAB VII
dengan judul “perbuatan yang dilarang”, sebanyak sepuluh Pasal (Pasal 27 sampai dengan
15 Pasal 4 huruf e Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, Penerbit New Merah Putih, Yogyakarta, 2009, h. 15 16Ibid.
17 Dalam Penjelasan atas Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Ingormasi dan
Pasal 37). Sebagai rezim hukum baru, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik
pun mengatur ketentuan tentang hukum acara yang akan dipakai bersamaan dengan hukum
acara pidana yang bersifat umum. Sunarso (2009) mengatakan, “Penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, terhadap tindak pidana informasi dan transaksi elektronik,
selain diberlakukan menurut Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana yang bersifat Umum, juga diberlakukan diatur mulai Pasal 42 sampai dengan Pasal 44
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008, tentang penyidikan.”18
Adapun Pasal 42 UU ITE, menyatakan “Penyidikan terhadap tindak pidana sebagaimana dalam Undang-Undang ini, dilakukan berdasarkan ketentuan dalam hukum
acara pidana dan ketentuan dalam Undang-Undang ini.”19
Berdasarkan ketentuan di atas, dapat ditafsirkan bahwa kegiatan penyidikan terhadap
tindak pidana informasi dan transaksi elektronik, termasuk upaya paksa menurut hukum
Acara Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008, yang bersifat khusus, sedangkan ketentuan
penyidikan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 bersifat Umum.20
Lebih lanjut, dalam Pasal 43 UU ITE, diatur ketentuan sebagai berikut :
1) Selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, pejabat Pegawai Negeri
Sipil tertentu di lingkungan pemerintah, yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya
dibidang teknologi informasi dan transaksi elektronik diberikan wewenang khusus
sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang hukum Acara Pidana
untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang teknologi informasi dan
transaksi elektronik;
2) Penyidik di bidang teknologi informasi dan transaksi elektronik sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan perlindungan terhadap
18 Siswanto Sunarso, Hukum Informasi dan Transaksi Elektronik studi kasus Prita Mulyasari,
PT Rineka Cipta, Jakarta, 2009, h. 126 19 Ibid.
privasi, kerahasiaan, kelancaran layanan publik, intergritas data, atau keutuhan data,
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan;
3) Penggeledahan dan/atau penyitaan terhadap sistem elektronik yang terkait dengan
dugaan tindak pidana harus dilakukan atas izin ketua pengadilan negeri setempat;
4) Dalam melakukan pengeledahan dan/atau penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), penyidik wajib menjaga terpeliharanya kepentingan pelayanan umum;
5) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang;
a. Menerima laporan, atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak
pidana berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini;
b. Memanggil setiap orang atau pihak lainnya untuk didengar dan/atau saksi
sehubungan dengan adanya dugaan tindak pidana di bidang terkain dengan
ketentuan Undang-Undang ini;
c. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan
dengan tindak pidana berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini;
d. Melakukan pemeriksaan terhadap orang dan/atau badan usaha yang patut
diduga melakukan tindak pidana berdasarkan ketentuan Undang-Undang iini;
e. Melakukan pemeriksaan terhadap alat dan/atau sarana yang berkaitan dengan
teknologi informasi yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana
berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini;
f. Melakukan penggeledahan terhadap tempat tertentu yang diduga digunakan
sebagai tempat untuk melakukan tindak pidana berdasarkan ketentuan
Undang-Undang ini;
g. Melakukan penyegelan dan penyitaan terdapat alat atau sarana kegiatanb
teknologi informasi yang diduga digunakan secara menyimpan dari ketentuan
h. Meminta bantuan ahli yang diperlukan dalam penyidikan terhadap tindak
pidana berdasarkan Undang-Undang ini; dan/atau
i. Mengadakan penghentian penyidikan tindak pidana berdasarkan
Undang-Undang ini, sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana yang berlaku;
6) Dalam hal melakukan penangkapan dan penahanan, penyidik melalui penuntut umum,
wajib meminta penetapan ketua pengadilan negeri setempat dalam waktu satu kali dua
puluh empat jam;
7) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi
dengan Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, memberitahukan
dimulainya penyidikan dan menyampikan hasilnya kepada penuntut umum;
8) Dalam rangka mengungkapkan tindak pidana informasi elektronik dan transaksi
elektronik, penyidik dapat bekerja sama dengan penyidik Negara lain untuk berbagai
informasi dan alat bukti.21
Dalam Pasal 43 ayat (6), dikatakan bilamana penyidik akan melakukan penangkapan,
dan penahanan harus meminta penetapan pengadilan negeri setempat melalui penuntut umum
dalam waktu 1x24 jam. Timbul persoalan, bagaimana kalau pihak penuntut umum sendiri
yang akan melakukan penangkapan dan penahanan. Ketentuan untuk harus meminta
penetapan dari ketua pengadilan negeri setempat harus tetap dipatuhi. Ketentuan ini untuk
mencegah adanya penyalahgunaan wewenang penegak hukum (abuse of power).22
Menilik dari ketentuan menurut Undang-Undang ini, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 43 ayat (6), yang menentukan tentang penyidik, yang diberikan wewenang
penangkapan dan penahan menurut Undang-Undang ini. Penyidik mana yang dimaksud
dalam Pasal 43 ayat (6) tersebut? Bilamana kita lihat Pasal 43 ayat (1) dikatakan selain
penyidik pejabat Polri, Pejabat PNS tertentu di lingkungan pemerintah yang lingkup tugas
dan tanggung jawabnya di bidang teknologi dan transaksi elektronik diberi wewenang khusus
sebagai penyidik. Berdasarkan arti ini, maka dapat ditafsirkan sebagai penyidik adalah
penyidik Polri dan Penyidik PNS. Apa yang dimaksud dengan bantuan ahli yang diperlukan
dalam penyidikan terhadap tindak pidana tersebut. Bantuan ahli yang diperlukan dalam
penyidikan terhadap dalam tindak pidana tersebut, dalam penjelasan Pasal 43 ayat (5) huruf
(h), dikatakan bahwa yang dimaksud dengan ahli adalah seseorang yang memiliki keahlian
khusus di bidang teknologi informasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara akedemis
maupun praktis mengenai pengetahuannya tersebut.23
Mengenai alat bukti, Pasal 44 UU ITE menyatakan, “Alat bukti penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan menurut ketentuan Undang-Undang ini,
adalah sebagai berikut:24
a. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan perundang-undangan; dan
b. Alat bukti lain berupa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3).”
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008, bahwa informasi elektronik
merupakan alat bukti hukum yang sah, meliputi informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik, dan/atau hasil cetakan; Ketentuan ini, merupakan perluasan dari alat bukti yang
sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia (Undang-Undang Nomor 8 tahun
1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Bagaimana dengan informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik apabila menggunakan sistem elektronik dan
dianggap sah, akan diatur sesuai ketentuan dalam Undang-Undang ini. Informasi elektronik
23Ibid. 24
sebagai suatu data atau sekumpulan data elektronik yang telah diolah yang memiliki arti atau
dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Dokumen elektronik adalah setiap
informasi elektronik yang dapat dilihat, ditampilkan dan/atau didengar melalui komputer atau
sistem elektronik yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu
memahaminya.25
Kecuali, bahwa ketentuan mengenai informasi dan/atau dokumen elektronik tidak
berlaku untuk surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis, dan
surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta
notariil atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta. Demikian pula, dalam hal terdapat
ketentuan lain, yang mensyaratkan suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli maka
informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dianggap sah, sepanjang informasi yang
tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat
dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.26
III. UNSUR-UNSUR PASAL 27 AYAT (3)
Moljiatno (2002), mengatakan bahwa “Pada hakekatnya tiap-tiap perbuatan pidana
harus terdiri atas unsur-unsur lahir oleh karena perbuatan, yang mengandung kelakuan dan
akibat yang ditimbulkan karenanya, adalah suatu kejadian dalam alam lahir.” Menurutnya,
yang merupakan unsur atau elemen perbuatan pidana, antara lain :27
a. Kelakuan dan akibat (=perbuatan)
b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan.
c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana.
d. Unsur melawan hukum yang objektif.
25Ibid. 26Ibid., h. 130
e. Unsur melawan hukum yang subjektif.
Berkaitan dengan Pasal 27 Ayat (3), Sunarso (2009) mengemukakan “unsur perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 27 Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 adalah :28
a. Setiap orang;
b. Dengan sengaja dan tanpa hak;
c. Mendistribusikan, dan/ata mentransmisikan, dan/atau dapat diaksesnya informasi
elektronik, dan/atau dokumen elektronik;
d. Memiliki muatan melanggar kesusilaan, atau muatan perjudian, atau muatan
penghinaan, dan/atau pencemaran nama baik, atau muatan pemerasan, dan/atau
pengancaman.
Adapun unsur-unsur yang dikemukakan diatas merupakan keseluruhan ayat yang
terdapat di dalam Pasal 27 UU ITE. Jika dipersempit lagi, agar sesuai dengan fokus dari
penelitian ini yaitu Pasal 27 Ayat (3) maka menurut penulis, perbedaannya hanya terletak
pada unsur keempat yaitu “memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Oleh karena itu, menurut penulis unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 27 ayat (3) adalah :
Setiap orang; Dengan sengaja dan tanpa hak; Mendistribusikan, dan/ata mentransmisikan,
dan/atau dapat diaksesnya informasi elektronik, dan/atau dokumen elektronik; Memiliki
muatan penghinaan, dan/atau pencemaran nama baik.
Pengertian setiap orang disini, selain ditafsirkan sebagai individu juga badan hukum
yang berbadan hukum sesuai ketentuan Undang-Undang. Misalnya PT, Yayasan, Koperasi,
dan sebagainya.29
28 Siswanto Sunarso, Hukum Informasi dan Transaksi Elektronik studi kasus Prita Mulyasari,
Pengertian dengan sengaja dan tanpa hak, dapat ditafsirkan sebagai perbuatan yang
bertentangan dengan Undang-Undang dan tindakan melalaikan yang diancam hukuman.
Adapun perbuatan optimum yang dianggap mengandung sifat ketidakadilan yang
berdasarkan sifatnya, yang patut dilarang dan diancam dengan hukuman oleh
Undang-Undang adalah mendistribusikan, dan/atau mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diakses
informasi elektronik, dan/atau dokumen elektronik, yang dapat menganggu sifat
ketidakadilan tersebut.30
Perbuatan di atas, dapat mengandung unsur delik penuh bilamana delik yang timbul
merupakan delik yang dianggap telah sepenuhnya terlaksana, dengan dilakukannya suatu
perbuatan yang dilarang. Dengan demikian, delik ini termasuk delik formil atau delik dengan
perumusan formil, yakni unsur muatan melanggar kesusilaan, atau muatan perjudian, atau
muatan penghinaan, dan/atau pencemaran nama baik, atau muatan pemerasan, dan/atau
pengancaman. Yang penting bahwa secara formal informasi elektronik dan dokumen
elektronik telah mengandung muatan-muatan yang dilarang oleh Undang-Undang.31
Jika kita melihat buku II dan III KUHP maka di situ dijumpai beberapa banyak
rumusan-rumusan perbuatan serta sanksinya yang dimaksud untuk menunjukkan
perbuatan-perbuatan mana yang dilarang dan pantang dilakukan. Pada umumnya maksud tersebut dapat
dicapai dengan menentukan beberapa elemen, unsur atau syarat yang menjadi ciri atau sifat
khas larangan tadi, sehingga dapat dibedakan dari perbuatan-perbuatan lain yang tidak
dilarang.32
Pencurian misalnya unsur-unsur pokoknya ditentukan sebagai: mengambil barang
orang lain. tetapi tidak tiap-tiap mengambil barang orang orang lain adalah pencurian, sebab
29Ibid. 30Ibid. 31Ibid.
ada orang yang mengambil barang orang lain untuk disimpan dan kemudian diserahkan
kepada pemiliknya.33
Untuk membedakan bahwa yang dilarang itu bukanlah tiap-tiap pengambilan barang
orang lain, maka dalam Pasal 362 KUHP di samping unsur-unsur tadi, ditambah dengan
elemen lain yaitu: dengan maksud untuk memilikinya secara melawan hukum.34
Jadi rumusan pencurian dalam Pasal 362 KUHP tadi terdiri atas unsur-unsur:35
1. Mengambil barang orang lain dan
2. Dengan maksud untuk dimemiliki secara melawan hukum.
Begitu pula misalnya dengan penadahan (heling). Dalam Pasal 480 ayat (1),
dirumuskan dengan unsur-unsur 1, membeli, menyewa, menukar, menggadaikan, menerima
sebagai hadiah, menjual untuk mendapat untung, mengganti menerima sebagai gadai,
mengangkut, menyimpan atau menyembunyikan barang 2. Yang diketahui atau sepatutnya
harus diduga berasal dari kejahatan.36
Dalam Pasal 480 ayat (2) rumusannya adalah:
1. Menarik untuk dari hasil suatu barang, dan
2. Yang diketahui atau sepatutnya harus diduga berasal dari kejahatan.
Dalam perbuatan-perbuatan pidana, selain daripada dibedakan dalam kejahatan dan
pelanggaran, biasanya dalam teori dan praktek dibedakan pula antara lain dalam:
1. Delik dolus dan delik culpa
33Ibid. 34 Ibid.
Bagi delik dolus diperlukan adanya kesengajaan; misalnya Pasal 338 KUHP; “dengan
sengaja menyebabkan matinya orang lain”, sedangkan pada delik culpa, orang juga sudah dapat dipidana bila kesalahannya itu berbentuk kealpaan, misalnya menurut Pasal 359 KUHP
dapat dipidananya orang yang menyebabkan matinya orang lain karena kealpaan. Contoh
daripada delik-delik dolus yang lain:37
- Pasal 354 : dengan sengaja melukai berat orang lain.
- Pasal 187 : dengan sengaja menimbulkan kebakaran.
- Pasal 231 : dengan sengaja mengeluarkan barang-barang yang disita
- Pasal 232 ayat (2) : dengan sengaja merusak segel dalam pensitaan.
Perumusan delik dapat dilakukan secara formal dan materiil, dapat disebut delik
formal dan material.
Berbeda dengan pembedaan dilik-delik yang akan disebut 12 di mana dalam
kenyataannya sifatnya masing memang berbeda, di sini perbedaan sifatnya
masing-masing memang berbeda, di sini perbedaan tidak mengenai sifat yang sesungguhnya, tapi
hanya mengenai sifat dalam perumusannya di masing-masing pasal saja.38
Jadi dalam kenyataannya tidak ada perbedaan sifat antara delik formil dan materiil.
Perbedaan hanya dalam tulisan yaitu bisa dilihat kalau membaca perumusan masing-masing
delik. Karenanya, istilah delik formal dan material itu adalah singkatan dari : delik yang
dirumuskan secara formal atau material. Dikatakan ada perumusan formal jika yang disebut
atau yang menjadi pokok dalam formulering adalah kelakuannya. Sebab kelakuan macam
itulah yang dianggap pokok untuk dilarang. Akibat dari kelakuan itu tidak dianggap penting
untuk masuk perumusan. Misalnya dalam pasal 362 KUHP mengenai pencurian, yang
penting ialah kelakuan untuk memindahkan penguasaan barang yang dicuri. Dalam pasal itu
kelakuan dirumuskan sebagai “mengambil”. Akibat dari pengambilan tadi, misalnya dalam
pencurian sepeda, bahwa si korban lalu harus jalan kaki sehingga jatuh sakit, tidak dipandang
penting dalam formulering dalam pencurian.39
Dikatakan ada perumusan material jika yang disebut atau menjadi pokok dalam
formulering adalah akibatnya: oleh karena akibatnya itulah yang dianggap pokok untuk
dilarang.40
Bagaimana caranya mendatangkan akibat tadi tidak dianggap penting. Biasanya yang
dianggap delik material adalah misalnya penganiayaan (Pasal 351 KUHP) dan pembunuhan
(Pasal 358) karena yang dianggap pokok untuk dilarang adalah adanya akibat menderita sakit
atau matinya orang yang dianiaya atau dibunuh. Bagaimana caranya mendatangkan akibat
itu, tidak penting sama sekali.41
Perlu diajukan pula, bahwa hemat saja ada rumusan-rumusan yang formal-material.
Artinya di situ yang menjadi pokok bukan saja caranya berbuat tapi juga akibatnya.
Contohnya adalah pasal 378 KUHP yaitu penipuan.42
IV. HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Karakteristik Pidana
Karakteristik yang dimaksudkan disini adalah sesuatu yang menjadi ciri khas,
sehingga membedakan antara putusan yang satu dengan yang lain. karakteristik pertama
39Ibid. 40Ibid. 41Ibid.
terkait dengan bagaimana majelis hakim membagi unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal
27 Ayat (3) UU ITE.
Nomor 196/Pid.Sus/2014/PN.Btl (Bantul) :
1. Setiap Orang;
2. Dengan Sengaja dan Tanpa hak Mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronilk yang
memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik;”43
Dalam putusan ini, majelis hakim hanya membagi Pasal 27 Ayat (3) kedalam 2 unsur.
Unsur pertama adalah unsur subjek sebagai pendukung hak dan kewajiban, atau dengan kata
lain unsur tentang siapa yang hendak bertanggung jawab, apakah yang dimintai
pertanggungjawaban terhadap perbuatan yang didakwakan mampu bertanggung jawab.
Sedangkan unsur yang kedua adalah unsur perbuatan yaitu apakah perbuatan dilakukan
secara sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat
dapat diaksesnya informasi elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik.
Nomor 23/Pid.B/2011/PN.JTH (Jantho) :
1. Unsur Barang Siapa;
2. Dengan Sengaja dan Tanpa Hak;
3. Mendistribusikan dan/atau Mentransmisikan dan/atau Membuat dapat diaksesnya;
4. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik;
5. Yang memiliki muatan Penghinaan dan/atau Pencemaran Nama Baik;”44
43Dalam konsideran menimbang Unsur-unsur pada Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor
Majelis hakim dalam putusan ini membagi unsur dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE
menjadi 5 unsur. Unsur perbuatan dibagi menjadi 4 unsur yaitu : Unsur pertama adalah unsur
subjek sebagai pendukung hak dan kewajiban, atau dengan kata lain unsur tentang siapa yang
hendak bertanggung jawab, apakah yang dimintai pertanggungjawaban terhadap perbuatan
yang didakwakan mampu bertanggung jawab. Sedangkan dalam unsur perbuatan yang
pertama yaitu: barang siapa dan tanpa hak; dan unsur perbuatan kedua dalam putusan ini
adalah mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya;
unsur ketiga yaitu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen elektronik; dan unsur perbuatan
terakhir di dalam Putusan ini yaitu yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran
nama baik.
Putusan Nomor 1832/Pid.B/2012/PN.Jkt.Sel (Jakarta Selatan) :
1. Setiap orang;
2. Dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik;
3. Yang memiliki muatan penghinan dan/atau pencemaran nama baik.45
Dalam putusan ini, Majelis Hakim yang mengadili perkara membagi unsur Pasal 27
Ayat (3) menjadi 3 unsur. Unsur perbuatan hanya di bagi kedalam 2 unsur yaitu : Unsur
pertama adalah unsur subjek sebagai pendukung hak dan kewajiban, atau dengan kata lain
unsur tentang siapa yang hendak bertanggung jawab, apakah yang dimintai
pertanggungjawaban terhadap perbuatan yang didakwakan mampu bertanggungjawab.
Sedangkann dalam unsur perbuatan yang pertama yaitu: Dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi
44
Dalam konsideran menimbang Unsur-unsur pada Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 tahung 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,Putusan Nomor 23/Pid.B/2011/PN.JTH, h. 44
45 Dalam konsideran menimbang Unsur-unsur pada Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor
elektronik; dan unsur perbuatan yang kedua yaitu yang memiliki muatan penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik.
Putusan Nomor 324/Pid.B/2014/PN.SGM (Sungguminasa)
1. Setiap Orang;
2. Dengan sengaja dan tanpa Hak;
3. Mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan
dan/atau pencemaran nama baik;46
Majelis hakim dalam putusan ini membagi unsur dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE
menjadi 3 unsur. Unsur perbuatan dibagi menjadi 2 unsur yaitu: Unsur pertama adalah unsur
subjek sebagai pendukung hak dan kewajiban, atau dengan kata lain unsur tentang siapa yang
hendak bertanggung jawab, apakah yang dimintai pertanggungjawaban terhadap perbuatan
yang didakwakan mampu bertanggung jawab. Sedangkan unsur perbuatan yang pertama
yaitu: Dengan sengaja dan tanpa hak dan unsur mindistribusikan dan/atau mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang
memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Putusan Nomor 390/Pid.B/2014/PN.Mks (Makassar)
1. Setiap orang;
2. Dengan sengaja
3. Tanpa hak;
4. Mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya;
5. Muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik;47
46 Dalam konsideran menimbang Unsur-unsur pada Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor
Majelis hakim dalam putusan ini membagi unsur dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE
menjadi 5 unsur. Unsur perbuatan dibagi menjadi 4 unsur yaitu: Unsur pertama adalah unsur
subjek sebagai pendukung hak dan kewajiban, atau dengan kata lain unsur tentang siapa yang
hendak bertanggung jawab, apakah yang dimintai pertanggungjawaban terhadap perbuatan
yang didakwakan mampu bertanggung jawab. Sedangkan dalam unsur perbuatan yang
pertama yaitu: Dengan sengaja unsur perbuatan kedua yaitu: tanpa hak; unsur perbuatan
ketiga yaitu: Mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat
diaksesnya; yang unsur perbuatan keempat yaitu Muatan penghinaan dan/atau pencemaran
nama baik.
Putusan Nomor 232/Pid.B/2010/PN.Kdl (Kendal)
1. Unsur Setiap Orang;
2. Unsur Dengan Sengaja atau tanpa Hak;
3. Mendistribusikan dan/atau Mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik;
4. Unsur memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik;48
Majelis hakim dalam putusan ini membagi unsur dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE
menjadi 4 unsur. Unsur perbuatan dibagi menjadi 3 unsur yaitu: Unsur pertama adalah unsur
subjek sebagai pendukung hak dan kewajiban, atau dengan kata lain unsur tentang siapa yang
hendak bertanggung jawab, apakah yang dimintai pertanggungjawaban terhadap perbuatan
yang didakwakan mampu bertanggung jawab. Sedangkan dalam unsur perbuatan yaitu:
Pertama Dengan sengaja dan tanpa hak; unsur kedua yaitu: Mendistribusikan dan/atau
Mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
47 Dalam konsideran menimbang Unsur-unsur pada Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor
11 tahung 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Putusan Nomor 390/Pid.B/2014/PN.Mks, h. 24
48 Dalam konsideran menimbang Unsur-unsur pada Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor
Dokumen Elektronik; dan unsur yang terakhir dalam putusan ini yaitu: unsur Memiliki
muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik;
Karakteristik kedua Terkait Dengan Hasil Putusan.
- Nomor 196/Pid.Sus/2014/PN.Btl (Bantul)
Dalam putusan ini Menyatakan Terdakwa ERVANI EMY HANDAYANI Bin
SAIMAN tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
sebagaimana yang didakwakan kepadanya dalam dakwaan PERTAMA, KEDUA atau
KETIGA; dan Membebaskan Terdakwa ERVANI EMY HANDAYANI Bin SAIMAN oleh
karena itu dari semua dakwaan tersebut; dan Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan,
kedudukan dan harkat serta martabatnya.49
- Nomor 23/Pid.B/2011/PN.JTH (Jantho)
Dalam hasil putusan ini menyatakan Terdakwa A. HAMIDY ARSA Bin (Alm)
ABDURRAHMAN telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana “pencemaran nama baik dengan menggunakan Media Elektronik.”; Dan menjatuhkan
pidana terhadap terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan;
dan menetapkan lamanya penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; dan memerintahkan terdakwa tetap ditahanan.50
- Putusan Nomor 1832/Pid.B/2012/PN.Jkt.Sel (Jakarta Selatan)
Dalam putusan ini Terdakwa tidak terbuti terkait Pasal 27 ayat (3) melainkan terbuti
dalam Pasal 263 KUHP. Putusan ini Menyatakan terdakwa MUHAMMAD FAJRISKA
MIRZA, SH alias BOY Bin A. GANIE MUSTAFA dengan identitasnya tidak terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan KESATU
PRIMAIR maupun Dakwaan KEDUA baik dakwaan KEDUA PRIMAIR maupun dakwaan
KEDUA Subsidair dari Penuntut Umum; dan membebaskan Terdakwa oleh karena itu
Dakwaan KESATI PRIMAIR dan dakwaan KEDUA tersebut; dan Menyatakan terdakwa
MUHAMMAD FAJRISKA MIRZA, SH alias BOY Bin A. GANIE MUSTAFA dengan
identitas terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Pengaduan
Palsu kepada Penguasa, sebagaimana Dakwaan KESATU SUBSIDAIR.”; dan menjatuhkan
pidana terhadap Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) bulan;51
- Putusan Nomor 324/Pid.B/2014/PN.SGM (Sungguminas)
Dalam putusan ini Menyatakan Terdakwa FADHLI RAHIM S.Sos Bin ABD.RAHIN
HANAFI telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
“Dengan Sengaja Tanpa Hak Mentransmisikan Informasi Elektronik Yang Memiliki Muatan
Penghinaan dan Pencemaran Nama Baik.”; dan menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan Pidana penjara selama 8 (delapan) bulan; dan menetapkan penahanan yang
telah dijalani Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; dan
menetapkan Terdakwa tetap dalam tahanan.52
- Putusan Nomor 390/Pid.B/2014/PN.Mks (Makassar)
Dalam putusan ini menyatakan Terdakwa MUHAMMAD ARSYAD, SH tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalahmelakukan tindak pidana baik dalam dakwaan
PERTAMA, dakwaan KEDUA maupun dalam dakwaan KETIGA; dan membebaskan
Terdakwa MUHAMMAD ARSYAD, SH. tersebut oleh karena itu dari seluruh dakwaan
Jaksa/Penuntut Umum tersebut dan memerintahkan segera mengeluarkan Terdakwa dari
tahanan dan memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta
martabat.53
- Putusan Nomor 232/Pid.B/2010/PN.Kdl (Kendal)
Dalam putusan ini Menyatakan Terdakwa Drs. PRABOWO, MM Bin TJASAN
PROMONO SAPUTRO tersebut telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana “Tanpa hak telah mendistribusikan Informasi elektronik yang memiliki muatan penghinaan”; dan menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa tersebut oleh
karena itu dengan Pidana penjara selama 3 (tiga) bulan dan denga sebesar 1.000.000,- (satu
juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan
selama 1 (satu) bulan;54
Terlepas dari setiap karakteristik pidana yang terdapat dalam setiap putusan, penulis
menyadari bahwa penekanan utama yang harus dilihat adalah bukan pada seberapa baik
pembagian unsur yang dibuat hakim, bukan juga pada persoalan dibebaskan atau dianggap
bersalahnya seorang terdakwa didepan pengadilan, melainkan lebih pada apakah sebuah
putusan yang dibuat sudah mempertimbangkan hal-hal fundamental dalam membuat putusan.
Hal fundamental yang dimaksudkan disini terkait dengan alat-alat bukti yang akan dipakai
hakim dalam membuat pertimbangan-pertimbangan yang akan penulis jabarkan sendiri dalam
analisis.
B. Analisis
Setiap Orang
Dalam Pasal 1 angka 21 UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “orang” adalah orang perorangan, baik
Warga Negara Indonesia, Warga Negara Asing maupun Badan Hukum.55 Merujuk pada
pengertian tersebut, maka setiap orang yang dimaksudkan disini bukanlah merupakan unsur
tindak pidana. Setiap orang yang dimaksudkan bukanlah unsur perbuatan, melainkan sebuah
unsur Pasal yang merujuk kepada siapa saja orang perorangan atau suatu Badan Hukum
sebagai pendukung hak dan kewajiban yang didakwa melakukan suatu Tindak Pidana. Hak
dan kewajiban merupakan kebebasan dan keharusan yang melekat pada siapa saja orang
perorangan atau badan hukum untuk berbuat sesuatu menurut hukum. Oleh karena kebebasan
disini adalah bebas berbuat sesuatu menurut hukum, maka apabila seseorang atau badan
hukum dalam perbuatannya dianggap tidak sesuai lagi menurut hukum, menjadi keharusan
dari seseorang atau badan hukum tersebut untuk berbuat sesuatu menurut hukum (mengikuti
proses hukum). Dengan demikian, setiap orang yang dimaksud disini menitikberatkan pada
kemampuan seseorang atau badan hukum untuk bertanggung jawab terhadap perbuatan yang
didakwakan.
Dalam KUHP, ketentuan mengenai kemampuan bertanggungjawab. Dapat dilihat
pada Pasal 44, yang menyatakan : “Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau jiwa yang
terganggu karena penyakit”. Berdasarkan pasal ini, maka persoalan yang muncul kemudian
adalah jika tidak dapat dipertanggungjawabkannya itu disebabkan karena hal lain, misalnya
jiwanya tidak normal karena masih sangat muda atau lain-lain, maka pasal ini sulit untuk
diterapkan. Moeljatno dalam bukunya “Asas-asas Hukum Pidana” mengatakan, “bahwa untuk adanya kemampuan bertanggungjawab harus ada:56
1. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk;
yang sesuai hukum dan yang melawan hukum;
55 Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, h.13
2. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan
buruknya perbuatan tadi.”
Dari rumusan pasal 44 KUHP dan penyataan Moeljatno tersebut, dapat disimpulkan
bahwa unsur setiap orang adalah unsur yang tujukan pada subjek hukum sebagai pendukung
hak dan kewajiban yang mampu mempertanggung jawabkan setiap perbuatannya dihadapan
hukum. Mempertanggungjawabkan memiliki makna tidak sakit atau cacat mental sehingga
mampu membedakan antara perbuatan baik dan buruk, perbuatan melawan hukum dan sesuai
hukum serta mampu menentukan kehendaknya menurut kesadaran tentang baik dan buruknya
perbuatan.
Selain persoalan bertanggung jawab, unsur setiap orang disini dimaksudkan agar tidak
terjadi kesalahan atau kekeliruan orang (error in person) sebagai subyek atau pelaku tindak
pidana yang sedang diperiksa dalam perkara.
Pada keenam putusan yang penulis teliti, subjek hukum yang menjadi terdakwa
adalah subjek hukum yang telah memenuhi kualifikasi penyandang hak dan kewajiban.
Semua terdakwa sebagai subjek hukum yang sehat jasmani dan rohani, yang mampu
mempertanggungjawabkan semua perbuatan yang telah didakwakan. Disamping itu, dalam
semua putusan yang diteliti, tidak terjadi kesalahan ataupun kekeliruan orang (error in
person) sebagai subjek atau pelaku tindak pidana
Dengan sengaja dan tanpa hak;
Menurut keterangan Menkominfo dan Menhukham pada persidangan di Mahkamah
Konstitusi pada 12 Februari 2009 unsur dengan sengaja diartikan “pelaku harus menghendaki
perbuatan mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
dan/atau Dokumen elektronik tersebut memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran
nama baik”. Berdasarkan keterangan tersebut,57 Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
50/PUU-VI/2008, Majelis Hakim menyatakan pertimbangannya : “Bahwa unsur dengan sengaja dan tanpa hak merupakan satu kesatuan yang dalam tataran penerapan hukum harus
dapat dibuktikan oleh penegak hukum. Unsur “dengan sengaja” dan “tanpa hak” berarti pelaku “menghendaki” dan “mengetahui” secara sadar bahwa tindakannya dilakukan tanpa
hak. Dengan kata lain, pelaku secara sadar menghendaki dan mengetahui bahwa perbuatan
“mendistribusikan” dan/atau “mentransmisikan” dan/atau “membuat dapat diaksesnya
informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik” adalah memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Adapun unsur tanpa hak merupakan unsur melawan hukum.
Pencantuman unsur tanpa hak dimaksudkan untuk mencegah orang melakukan perbuatan
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik”.58
Berdasarkan hal tersebut, perbuatan yang diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE,
yaitu mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
informasi dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinan dan/atau
pencemaran nama baik, mensyaratkan adanya kesengajaan. Disisi lain, dalam UU ITE tidak
dijelaskan tentang maksud dari kesengajaan. Bahkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) Indonesia, tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai pengertian
dari unsur dengan sengaja. Sangat berbeda dengan KUHP Swiss di mana dalam Pasal 18
dengan tegas ditentukan : “Barangsiapa melakukan perbuatan dengan mengetahui dan
menghendakinya, maka dia melakukan perbuatan itu dengan sengaja”. Namun, penyataan
57 http://www.suduthukum.com/2016/11/unsur-unsur-pencemaran-nama-baik-dalam.html dikunjungi pada Tanggal 10 Agustus 2017, pukul 18:26
58 Konsideran pada Pasal 19 ICCPR bagian 3.16.2, Konstitusi Nomor 50/PUU-VII/2008, h.
serupa bisa saja ditemukan pada Memorie Van Toelichting (MVS) yang menyatakan, “Pidana pada Umumnya hendaknya dijatuhkan hanya pada barangsiapa melakukan perbuatan yang
dilarang dengan dikehendaki dan diketahui”.59
Bertitik tolak dari hal tesebut di atas, sesungguhnya sengaja merupakan sikap batin
yang letaknya dalam hati terdakwa yang tidak dapat dilihat oleh orang lain. Sengaja termasuk
unsur subyektif yang ditunjukan terhadap perbuatan, artinya pelaku mengetahui perbuatannya
yang dalam hal ini, pelaku menyadari mengucapkan kata-kata yang mengandung pelanggaran
terhadap kehormatan atau nama baik orang lain. Walaupun sengaja merupakan unsur
subjektif (sikap batin seseorang), sesungguhnya sengaja dapat dianalisa, dipelajari dan
dibuktikan dari rangkaian perbuatan yang dilakukan terdakwa, karena setiap orang
melakukan perbuatan selalu sesuai dengan niat, kehendak atau maksud hatinya, terkecuali
terdapat paksaan atau tekanan dari orang lain. Sikap batin tersebut tercermin dari sikap lahir
atau perilaku seseorang yang merupakan refleksi dari niatnya, sehingga dapatlah dikatakan
bahwa dengan sengaja adalah suatu kehendak yang diarahkan pada terwujudnya perbuatan
seperti dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan atau kehendak untuk berbuat
dengan mengetahui unsur-unsur yang diperlukan menurut rumusan perundangan-undangan.60
Pengertian yang paling sering dipakai oleh para praktisi hukum yang menjelaskan
tentang unsur “sengaja” atau opzet dikenal dengan istilah asing “Willens En Wetens”, yang
secara gramatikal berarti dikehendaki dan di insyafi. Menghendaki dan/atau menginsyafi ,
tidak hanya berarti apa yang betul-betul dikehendaki dan atau diinsyafi oleh pelaku, tetapi
59 Konsideran menimbang pada Putusan Nomor 196/Pid.Sus/2014/PN.Kdl, h.50
60 Dalam konsideran menimbang pada unsur Dengan Sengaja Tanpa Hak mendistribusikan
juga hal-hal yang mengarah atau berdekatan dengan kehendak atau keinsyafan itu (S. R
Sianturi, asas-asas hukum pidana Indonesia dan penerapannya, Hal : 179);61
Sejatinya, kesengajaan (opzet) sebagaimana tersebut di atas adalah willens
(menghendaki) dan wetens (mengetahui), artinya agar seseorang itu dapat disebut telah
memenuhi unsur-unsur opzet, maka terhadap unsur-unsur objektif yang berupa
tindakan-tindakan, orang itu harus willens atau menghendaki melakukan tindakan-tindakan tersebut,
sedang terhadap unsur-unsur objektif yang berupa keadaan-keadaan terdakwa cukup wetens
atau mengetahui tentang keadaan-keadaan tersebut;
Untuk membuktikan adanya suatu bentuk kesengajaan, dapatlah ditempuh dengan
cara membuktikan adanya hubungan kausal dalam batin terdakwa antara keinginan/motif
(willens) dengan tujuan atau pembuktian adanya keinsyafan atau pengertian terhadap apa
yang dilakukan beserta akibatnya (willens) dan keadaan-keadaan yang paling menyertainya;
Prof. Dr. Wirjono Projodikoro, SH, dalam bukunya tentang “Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, edisi ketiga, PT Refina Utama, Hal. 66-69”, mengatakan : “Dalam teori ilmu hukum terdapat 2 macam teori yang dapat dipakai untuk membuktikan adanya suatu
bentuk kesengajaan dalam diri si-pelaku, yakni teori tujuan (wilsntheori) dan teori bayangan
(voorstellingtheorie). Kedua teori tersebut dapat dijadikan sebagai pedoman dalam
menentukan apakah perbuatan terdakwa termasuk ke dalam bentuk kesengajaan yang dalam
doktrin ilmu hukum terbagi menjadi 3 bentuk yaitu:62
1. Kesengajaan yang bersifat tujuan (oogmerk), yaitu suatu bentuk perbuatan yang
benar-benar dikehendaki oleh pelaku untuk mencapai akibat yang menjadi pokok
alasan diadakannya ancaman hukuman pidana tersebut;
61 Dalam konsideran menimbang pada unsur Dengan sengaja dan Tanpa Hak, Putusan Nomor
324/Pid.B//2014/PN.SGM,h. 55
62 Dalam konsideran menimbang pada unsur Dengan Sengaja Tanpa Hak mendistribusikan
2. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian (opzet bij zekerheidbewustzinj), yaitu suatu
bentuk sengaja yang ada apabila si pelaku dengan perbuatannya tersebut tidak
bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar delik, namun pelaku mengetahui
benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatannya tersebut;
3. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan (opzet bij mogelijheid-bewustzijn), yaitu
seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan maksud menimbulkan suatu
akibat tertentu, tetapi orang tersebut sadar bahwa apabila ia melakukan perbuatan
tersebut mungkin perbuatan itu akan menimbulkan akibat lain yang juga dilarang dan
diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan dan terhadap akibat lain tersebut
bukan merupakan tujuan yang dikehendaki akan tetapi hanya didasari kemungkinan
terjadinya;
Adapun tentang teori tujuan dan teori bayangan, Moeljatno dalam bukunya tentang “Asas
-asas Hukum Pidana” menyebut dengan sebutan “Teori kehendak (wilstheorie) dan Teori
pengetahuan (voorstellingstehorie).”63
Menurut teori kehendak, kesengajaan adalah kehendak yang diarahkan pada
terwujudnya perbuatan seperti dirumuskan dalam wet. (de op verwerkelijking der wettelijke
omschrijhving gerichte wil); sedangkan menurut yang lain, kesengajaan adalah kehendak
untuk berbuat dengan mengetahui unsur-unsur yang diperlukan menurut rumusan wet(de wil
tot handelen bj voorstelling van de tot de wettelijke omschrijving behoorende berstandelen).64
kedua teori ini pada umumnya memiliki kesamaan karena dalam kehendak dengan sendirinya
diliputi pengetahuan. Sebab untuk menghendaki sesuatu, orang lebih dahulu sudah harus
mempunyai pengetahuan (gambaran) tentang sesuatu itu. Tapi apa yang diketahui seseorang
belum tentu juga dikehendaki olehnya. Pompe, (Dalam Moeljatno) mengatakan bahwa
“perbedaan kedua teori ini tidak terletak pada kesengajaan untuk mengadakan kelakuan
(positif maupun negative) itu sendiri yang oleh dua -duanya disebut sebagai kehendak, tetapi
terletak dalam kesengajaan terhadap unsur -unsur lainnya (sejauh harus diliputi
kesengajaan), yaitu akibat dan keadaan yang menyertainya.”.65 lebih lanjut, Moeljatno
mengatakan :“Mengenai kesengajaan terhadap unsur-unsur ini yang satu mengatakan
tentang “pengetahuan” (mempunyai gambaran tentang apa yang ada dalam kenyataan, jadi
mengetahui, mengerti ) sedangkan yang lain mengatakan tentang “kehendak”. 66
Selanjutnya, menurut Moeljatno, “kehendak merupakan arah, maksud atau tujuan, yang berhubungan dengan motif (alasan pendorong untuk berbuat) dan tujuannya perbuatan.
Konsekuensinya ialah bahwa untuk menentukan bahwa sesuatu perbuatan dikehendaki oleh
terdakwa, hemat saya: 1. Harus dibuktikan bahwa perbuatan itu sesuai dengan motifnya
untuk berbuat dan tujuannya yang hendak dicapai. 2. Antara motif, perbuatan dan tujuan
harus ada hubungan terdakwa menganiaya seseorang karena orang itu beberapa hari yang lalu
telah mengganggu tunangannya misalnya, maka disitu ada motif dan tujuan untuk
penganiayaan, sehingga dapat ditentukan bahwa penganiayaan dilakukan dengan
kesengajaan. Dia memang menghendaki perbuatan tersebut. Cara yang demikian ini tentunya
yang idiil dan seyogyanya sedapat mugkin memang harus diusahakan pembuktiannya bagi
delik yang penting-penting. Tapi cara ini tidak mudah dan memakan banyak waktu dan
tenaga. Lain hal-nya kalau kesengajaan diterima sebagai pengetahuan. Disini pembuktian
lebih singkat, Karena hanya berhubungan dengan unsur-unsurnya perbuatan yang dilakukan
saja. Tidak ada hubungan kausal antara motif dengan perbuatan. Hanya berhubungan dengan
65Ibid.
dengan pertanyaan, apakah terdakwa mengetahui, menginsyafi, atau mengerti perbuatannya
yaitu kelakuan yang dilakukan, maupun akibat dan keadaan-keadaan yang menyertainya?”67
Berdasarkan hal tersebut, maka menurut penulis perbedaan antara teori kehendak dan
teori pengetahuan terletak pada bagaimana seseorang melakukan interpretasi hukum tentang
kesengajaan. Seseorang yang dimaksudkan di sini adalah yang memiliki wewenang dari
undang-undang atau dalam hal ini adalah Majelis Hakim. Perbedaan tersebut dapat
ditemukan pada bagaimana majelis hakim menafsirkan kesengajaan, apakah kesengajaan
yang diatur dalam pasal 27 ayat 3 diterima sebagai kehendak ataukah kesengajaan tersebut
diterima sebagai pengetahuan. Jika kesengajaan diterima sebagai kehendak, maka hubungan
kausal antara motif, niat dan perbuatan terdakwa menjadi pembuktian dalam pertimbangan
Majelis Hakim. Namun, jika kesengajaan hanya diterima sebagai pengetahuan, konsekuensi
hukumnya adalah Majelis Hakim cukup membuktikan dalam pertimbangannya bahwa
terdakwa mengetahui dan menginsyafi perbuatan yang dilakukan.
Adapun pengertian tentang unsur “tanpa hak” tidak dijelaskan dalam Undang-Undang
ini. Keterangan Menkominfo dan Menhukham pada persidangan di Mahkamah Konstitusi
pada 12 Februari 2009, menyatakan : “……Sementara unsur tanpa hak dalam kesempatan
yang sama juga diartikan sebagai “perumusan sifat melawan hukum yang dapat diartikan (1)
bertentangan dengan hukum, (2) bertentangan dengan hak atau tanpa kewenangan atau tanpa
hak”.68 Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa “tanpa hak” merupakan suatu
perbuatan yang dilakukan diluar hak yang dimiliki oleh seseorang berdasarkan jabatan,
kewenangan, ataupun kekuasaan yang ada padanya secara melawan hukum. Sifat melawan
hukum disini terletak pada perbuatan mendistribusikan, mentransmisikan atau membuat dapat
67Ibid.
diakses informasi elektronik tersebut yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran
nama baik.
Dalam putusan 196/Pid.Sus/2014/PN.Btl (bantul), bagi Majelis Hakim, kesengajaan
tidak hanya diterima sebagai pengetahuan namun juga kesengajaan diterima sebagai
kehendak. Hal ini pada dilihat pada pertimbangan-pertimbangan yang dibuat Majelis Hakim
terkait fakta-fakta hukum yang diutarakan didalam pengadilan. Adapun dalam salah satu
konsiderans, majelis hakim menyatakan :
“Menimbang, bahwa dalam teori ilmu hukum terdapat dua macam teori untuk dapat membuktikan adanya suatu bentuk kesengajaan dalam diri si pelaku yaitu teori tujuan (wilsntheorie) dan teori bayangan (voorstellingtheorie) dimana kedua teori tersebut merupakan pedoman bagi Majelis Hakim….”69
Berbeda dengan hal tersebut, dalam Putusan Nomor 324/Pid.B/2014/PN.SGM
(Sungguminasa), majelis hakim membuat pertimbangan dimana kesengajaan lebih diterima
sebagai pengetahuan daripada kehendak. Berikut adalah salah satu konsiderans, yaitu :
“Menimbang, bahwa Dr Leden Marpaung, SH dalam bukunya tindak Pidana terhadap kehormatan memberikan penjelasan terhadap kaidah hukum tersebut sebagai berikut: Dalam hal ini, cukup si pelaku menyadari a tau mengetahui bahwa kata -kata itu diucapkan dan mengetahui bahwa kata -kata
tersebut merupakan kata-kata “menista”. Bahwa si pelaku bukan mempunyai
niat untuk menghina atau menista, tidak merupakan bagian dari Dolus atau Opzet. Lain halnya kalau pelaku mengucapkan kata-kata tersebut dalam keadaan mabuk atau dalam keadaan bermimpi, karena pelaku dalam kedua hal tersebut berbuat tanpa kesadaran yang waja r. Selain itu, perlu disadari bahwa niat belum masuk lingkungan ilmu hukum pidana. Mempunyai niat,
belum dapat dihukum, tetapi dalam agama memang telah merupakan dosa;”70
Penilaian dengan menggunakan teori kehendak dan teori pengetahuan sebagai bahan
pertimbangan pun dapat dilihat pada Pertimbangan Majelis hakim dalam Putusan Nomor
390/Pid.B/2014/PN.Mks (Makassar). Bahkan, majelis hakim yang mengadili perkara ini
69 Dalam konsideran menimbang pada unsur Mendistribusikan dan/atau Mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnyainformasi elektronik dan/atau Dokumen elektronik, Putusan Nomor 196/Pid.Sus/2014/PN.Kdl, h.51
70 Dalam konsideran menimbang pada unsur Dengan Sengaja dan tanpa hak, Putusan Nomor
terlihat fleksibel dan terkesan jeli memeriksa perkara. Fleksibel yang dimaksudkan disini
adalah pada bagaimana majelis hakim memposisikan diri untuk melihat dulu, apakah sengaja
tertuju pada perbuatan atau akibat daripada perbuatan atau hal ikhwal yang menyertai
perbuatan, yang mana kedua-duanya akan dinilai dengan teori kehendak atau teori
pengetahuan. Pernyataan tersebut dapat dilihat dalam konsiderans menimbang dibawah ini :
“Menimbang, bahwa sengaja dalam ilmu pengetahuan hukum pidana tersusun atas ana sir menghendaki atau mengeta hui, bahwa seseorang yang berbuat dengan sengaja itu, harus dikehendaki apa yang diperbuat dan harus diketahui atas apa yang diperbuat, selain itu ada beberapa sarjana yang membagi kesengajaan berdasarkan pada perbuatan disebut opzet materiil dan pada akibat daripada perbuatan atau hal ikhwal yang menyertai perbuatan disebut opzet materiil, bahwa Majelis Hakim mengikuti pandangan kedua oleh karena dengan pembagian demikian menjadikan penafsiran sengaja menja di lebih objektif bukan dalam pemikiran abstrak karena dengan membagi sengaja dalam pandangan kedua akan memudahkan penafsiran fakta pada rumusan sengaja yang diempiriskan (diobjektifkan) disini dilihat dulu apakah sengaja tertuju pada perbuatan atau akibat jika pada perbuatan tidak perlu diperdalam sampai pada bentuk sengaja sebagai maksud, keharusan pasti atau kemungkinan yang mutlak diteliti jika sengaja tertuju pada akibat dan hal ikhwal yang menyertai pebuatan di samping perbuatan itu sendiri dengan demikian tidak perlu susah-susah membagi sengaja dalam dua anasir menghendaki dan mengetahui karena jika ia mengetahui dan ternyata melakukan pasti juga ia menghendaki, namun apakah tertuju pada perbuatan atau akibat/hal ikhwal yang menyertai perbuatan tentunya dinilai dengan teori kehendak atau teori pengetahuan tergantung teori mana yang dipergunakan;”71
Adapun terkesan jeli dalam memeriksa perkara seperti yang penulis katakan sebelum
mengandung arti bahwa sebelum memeriksa lebih jauh tentang kesengajaan dimaksud dalam
perkara yang ditangani, majelis hakim terlebih dahulu mempertanyakan dan
mempertimbangkan kembali alat bukti yang dipakai oleh jaksa penuntut umum dengan
memperhatikan keterangan-keterangan dari para saksi. Menurut majelis hakim, bukti yang
dipakai oleh jaksa penuntut umum tidak mampu membuktikan bahwa terdakwalah yang telah
melakukan perbuatan tersebut. Hal tersebut dapat dilihat dalam konsiderans menimbang,
sebagai berikut :
71 Dalam konsideran menimbang pada unsur Dengan Sengaja dan tanpa hak, Putusan Nomor
“Menimbang, bahwa selama pemeriksaan perkara berlangsung, Jaksa/Penuntut Umum tidak dapat menghadirka n 2 (dua) orang saksi yang berteman kontak BBM dengan terdakwa dengan nomor PIN 215A00AA untuk memastikan apakah benar terdakwa yang membuat personal status dalam BBM nya tersebut dan apakah benar bahwa itu adalah nomor PIN BBM
terdakwa;”72
“Menimbang, bahwa demikian juga Jaksa/Penuntut Umum tidak dapat
membuktikan dipersidangan hasil pemeriksaan digital forensic oleh ahli ITE untuk memastikan apakah benar kata -kata yang tertulis dalam status BBM tersebut adalah bera sal dari Smartphone Blackberry akun BBM PIN
215A00AA milik terdakwa;”73
“Menimbang, bahwa demikian juga Jaksa/Penuntut Umum tidak dapat
menghadirkan dipersidangkan barang bukti Blackberry milik terdakwa maupun Blackberry milik saksi MUH. ZULHAMDI ALAMSYAH, SH. yang
berteman kontak BBM dengan terdakwa;”74
“Menimbang, bahwa berda sarkan fakta -fakta tersebut di atas, maka Majelis
Hakim berkesimpulan bahwa Jaksa/Penuntut Umum tidak dapat membuktikan
dakwaan Pertamanya;”75
Persoalan tentang bukti elektronik pun juga menjadi salah satu kejelian dari majelis
hakim yang mengadili perkara dalam Putusan Nomor 1832/Pid.B/2012/PN.Jkt.Sel (Jakarta
Selatan) dalam putusan tersebut, majelis hakim menemukan bahwa persoalan dengan sengaja
dan tanpa hak tidak dapat dipertimbangkan lebih jauh lagi sebab jaksa penuntut umum tidak
dapat membuktikan kepada majelis hakim bahwa terdakwa yang telah dituntutlah yang
melakukan perbuatan tersebut. Dapat dilihat dalam konsiderans menimbang, yaitu :
“Menimbang, bahwa dari uraian saksi-saksi sebagaimana diuraikan di atas,
tidak ada saksi-saksi yang mengetahui dan melihat pemilik akun twitter
tersebut dan tidak tahu yang merilisnya;”76
“Menimbang, bahwa keterangan saksi-saksi yang menyatakan bahwa dalam
twitter tersebut adalah milik Terdakwa oleh karena tertulis @fajriska yaitu nama Terdakwa akan tetapi tidak ada satu orang saksi pun yang mengetahui
bahwa akun twitter @fajriska adalah milik Terdakwa;”77
72Ibid., h. 37 73Ibid. h. 38 74Ibid. 75Ibid.
76 Dalam konsideran menimbang pada unsur Dengan Sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi Elek