MAKALAH
EFEKTIVITAS KEBIJAKAN MONTER DAN FISKAL
Dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
“
Ekonomi Makro
”
Disusun oleh:
Agnita Dwiyanti
: 41152010160105
Dea Novarina
: 41152010160168
Eri Erian Januar
: 41152010160176
Melin Meilina
: 41152010160283
Nanang Destu M
: 41152010160260
Raka ramadhan
: 41152010160208
Rida Sanusi
: 41152010160187
UNIVERSITAS LANGLANGBUANA
FAKULTAS EKONOMI
Jl. Karapitan No. 116 Bandung 40261
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT dengan rahmat dan karunia-Nya penyusun telah
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “EFEKTIVITAS KEBIJAKAN MONETER DAN
FISKAL“ sholawat dan salam penyusun kirimkan kepada junjungan alam Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabat nya.
Ucapan Terima Kasih tak lupa kami sampaikan kepada para pihak yang sejak awal
telah banyak memberikan referensi, dukungan dan bantuan hingga terselesaikannya pembuatan makalah ini, diantaranya:
1. Bapak Dudu Hendaryan, SE, MM. selaku dosen mata kuliah Ekonomi Makro. 2. Orang tua kami yang telah memberi motivasi dan materi.
3. Serta teman-teman kami yang telah banyak membantu dalam segala hal.
Karena kami masih dalam tahap pembelajaran, tentunya kami secara sadar mengakui masih banyak kekurangan, untuk itu kami mohon kritik dan sarannya untuk
membangun kesempurnaan makalah ini. Dan dalam hal ini kami memohon maaf apabila terjadi kesalahan dalam penulisan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita
semua. Amiin.
Bandung, Oktober 2017
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... ii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 2
1.3 Tujuan dan Manfaat ... 2
BAB II LANDASAN TEORI ... 3
2.1 Definisi dan Pengertian Kebijakan Moneter ... 3
2.2 Instrumen Kebijakan Moneter ... 3
2.3 Kebijakan Moneter dan Keseimbangan Ekonomi: Analisis IS-LM .. 5
2.4 Definisi dan Pengertian Kebijakan Fiskal ... 7
2.5 Pengaruh Pajak Terhadap Pendapatan dan Konsumsi ... 10
2.6 PengaruhPajak Terhadap Keseimbangan Ekonomi ... 13
2.7 Anggaran dan Pendapatan Beanja Negara (APBN) Indonesia .. 21
BAB III PEMBAHASAN ... …..28
3.1 Efektivitas Kebijakan Moneter ... 28
3.2 Efektivitas Kebijakan Fiskal ... 31
BAB IV PENUTUP ... 37
4.1 Kesimpulan ... 37
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setiap bangsa di dunia ini tanpa terkecuali, semuanya menginginkan kehidupan yang makmur serta sejahtera. Sejahtera dalam aspek sosial, politik, budaya, agama, hankam, terutama dalam hal perekonomian. Namun, kenyataan yang terjadi sering kali keadaan
tersebut tidak selalu sesuai dengan yang dikehendaki oleh pemerintah maupun masyarakat. Hambatan-hambatan yang berasal dari pemerintah sendiri, masyarakat bahkan pihak asing,
sering menjadi permasalahan-permasalahan yang membuat kesejahteraan tersebut menjadi sulit untuk di raih dan di rasakan, terutama dalam bidang perekonomian. Perekonomian
adalah faktor yang tentu sangat berpengaruh dalam terciptanya kesejahteraan dan kemakmuran di dalam kehidupan ini.
Masalah kemiskinan serta pemerataan yang tidak berimbang, tingkat inflasi yang tinggi, jumlah pengangguran yang semakin meledak, neraca pembayaran luar negeri yang
terus-menerus defisit, krisis nilai tukar mata uang serta masalah perbankan dan kredit macet yang menyebabkan beberapa bank mengalami kesulitan likuiditas. Selain itu, krisis global saat ini jauh lebih parah dan suasana ketidakpastiannya sangat tinggi. Kepercayaan
masyarakat dunia terhadap perekonomian menurun tajam. Akibatnya, kondisi ekonomi dunia
terlihat semakin memprihatinkan dari hari ke hari, walaupun semua bank sentral sudah menurunkan suku bunga sampai tingkat yang terendah. Masalah-masalah tersebut hanya merupakan beberapa dari masalah- masalah perekonomian yang melanda Indonesia bahkan
dunia.
Dalam menghadapi kenyataan seperti ini, usaha untuk menghilangkan atau
mencegah timbulnya gejala-gejala tersebut amat sangat diperlukan. Oleh karena masalah tersebut secara langsung menyangkut variabel-variabel ekonomi agregatif. Maka tindakan
yang dilakukan pemerintah adalah mengambil suatu kebijakan yang disebut kebijakan ekonomi makro. Kebijakan ekonomi makro adalah tindakan pemerintah untuk mempengaruhi
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah efektivitas kebijakan moneter?
2. Bagaimanakah efektivitas kebijakan fiskal?
1.3 Tujuan dan Manfaat
1. Dapat mengembangkan kemampuan berkomunikasi dan bekerja sama dalam kelompok dengan baik.
2. Memberi pelatihan berbasis kompetensi untuk mengembangkan keterampilan mengamati dan mendokumentasikan semua aspek yang berkaitan dengan kebijakan
moneter dan kebijakan fiskal.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Definisi dan Pengertian Kebijakan Moneter
Yang dimaksud dengan kebijakan moneter adalah upaya mengendalikan atau
mengarahkan perekonomian makro ke kondisi yang diinginkan (yang lebih baik) dengan mengatur jumlah uang beredar. Yang dimaksud dengan kondisi lebih baik adalah
meningkatnya output keseimbangan dan atau terpeliharanya stabilitas harga (inflasi terkontrol). Melalui kebijakan moneter pemerintah dapat mempertahankan, menambah atau
mengurangi jumlah uang beredar dalam upaya mempertahankan kemampuan ekonomi bertumbuh, sekaligus mengendalikan inflasi.
Jika yang dilakukan adalah menambah jumlah uang beredar, maka pemerintah dikatakan menempuh kebijakan moneter ekspansif (monetary expansive). Sebaliknya jika jumlah uang
beredar dikurangi, pemerintah menempuh kebijakan moneter kontraktif (monetary contractive). istilah lain untuk kebijakan moneter kontraktif adalah kebijakan uang ketat (tight
money policy).
2.2 Instumen Kebijakan Moneter
Ada tiga instrumen utama yang digunakan untuk mengatur jumlah uang beredar:
operasi pasar terbuka (open market operation), fasilitas diskonto (discount rate), dan rasio cadangan wajib (reserve requirement ratio).Di luar tiga instrumen tersebut (yang merupakan kebijakan moneter bersifat kuantitatif), pemerintah dapat melakukan imbauan moral (moral
persuasion).
a. Operation Pasar Terbuka (Open Market Operation)
Yang dimaksud dengan operasi pasar terbuka (open market operation) adalah pemerintah mengendalikan jumlah uang beredar dengan cara menjual atau membeli
surat-surat berharga milik pemerintah (government securities).
Jika ingin mengurangi jumlah uang beredar, maka pemerintah menjual surat-surat
berharga (open market selling). Dengan demikian uang yang ada dalam masyarakat mengalir ke otoritas moneter, sehingga jumlah uang beredar berkurang. jika ingin menambah
mengembangkan kedua instrumen tersebut dengan menambahkan fasilitas repurchase agreement (repo) ke masing-masing instrumen, sehingga saat ini dikenal SBI repo dan
SBPU repo.
Di Indonesia, operasi pasar terbuka dilakukan dengan menjual atau membeli
Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Surat Berharga Pasar Uang (SBPU). Jika ingin mengurangi jumlah uang beredar, pemerintah menjual SBI dan atau SBPU. Melalui penjualan SBI/SBPU uang yang ada dalam masyarakat ditarik, sehingga jumlah uang
beredar berkurang. Biasanya penjualan SBI/SBPU dilakukan bila jumlah uang beredar dianggap sudah mengganggu stabilitas perekonomian.
Bila pemerintah melihat jumlah uang beredar perlu ditambah, agar perbankan lebih mampu memberikan kredit yang akan memacu pertumbuhan ekonomi, maka SBI dan SBPU
yang telah dijual dibeli kembali. Melalui pembelian itu pemerintah mengeluarkan uang sehingga menambah jumlah uang beredar.
b. Fasilitas Diskonto (Discount Rate)
Yang dimaksud dengan tingkat bunga diskonto adalah tingkat bunga yang ditetapkan
pemerintah atas bank-bank umum yang meminjam ke bank sentral. Dalam kondisi tertentu, bank-bank mengalami kekurangan uang, sehingga mereka harus meminjam kepada bank
sentral. Kebutuhan ini dapat dimanfaatkan oleh pemerintah untuk mengurangi atau menambah jumlah uang beredar.
Bila pemerintah ingin menambah jumlah uang beredar, maka pemerintah
menurunkan tingkat bunga pinjaman (tingkat diskonto). Dengan tingkat bunga pinjaman yang lebih murah, maka keinginan bank-bank untuk meminjam uang dari bank sentral menjadi
lebih besar, sehingga jumlah uang beredar bertambah. Sebaliknya bila ingin menahan laju pertambahan jumlah uang beredar, pemerintah menaikkan bunga pinjaman. Hal ini akan
mengurangi keinginan bank-bank meminjam uang dari bank sentral, sehingga pertambahan jumlah uang beredar dapat ditekan.
c. Rasio Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio)
Penetapan rasio cadangan wajib dapat mengubah jumlah uang beredar, jika rasio
cadangan wajib diperbesar, maka kemampuan bank memberikan kredit akan lebih kecil dibanding sebelumnya. Misalnya, jika rasio cadangan wajib mulanya hanya 10%, maka untuk
deposito yang diterima perbankan. Dengan demikian angka multiplier uang dari sistem perbankan adalah 10.
Bila rasio cadagan wajib diperbesar menjadi 20%, maka untuk setiap unit deposito
yang diterima, sistem perbankan hanya dapat menyalurkan kredit sebesar 80%. Angka
multiplikasi uang dari sistem perbankan menurun menjadi 5, dengan demikian jumlah uang beredar di masyarakat akan berkurang. Sebaliknya yang terjadi bila pemerintah menurunkan rasio cadangan wajib. Sebab penurunan rasio tersebut akan memperbesar angka multiplikasi
uang, yang berarti akan meningkatkan jumlah uang beredar.
Untuk pertama kalinya sejak Pakto 1988 Bank Indonesia menggunakan rasio
cadangan wajib guna mengerem pertumbuhan besar-besaran moneter yang masih tinggi, yaitu dengan menetapkan rasio menjadi 3% pada Februari 1996 (ketentuan sebelumnya
menurut pakto 1988 adalah 2%). Sejak April 1997 besarnya rasio cadangan wajib adalah 5%.
d. Imbauan Moral (Moral Persuasion)
Dengan imbauan moral, otoritas moneter mencoba mengarahkan atau
mengendalikan jumlah uang beredar. Misalnya, Gubernur Bank Indonesia dapat memberi saran agar Perbankan berhati-hati dengan kreditnya atau membatasi keinginannya
meminjam uang dari bank sentral (berhati-hati menggunakan fasilitas diskonto).
2.3 Kebijakan Moneter dan Keseimbangan Ekonomi : Analisis IS-LM
Kebijakan moneter dikatakan efektif bila mampu mengendalikan tingkat output dan atau harga. Untuk mengevaluasi efektivitas kebijakan moneter, peralatan analisis yang paling
sederhana namun komprehensif adalah kurva IS-LM.
a. Pengaruh Kebijakan Moneter Terhadap Keseimbangan Pasar Uang-Modal
Pengaturan jumlah uang beredar dapat memengaruhi kondisi keseimbangan pasar uang-modal. Diagram 13.1 memberikan gambaran apa yang terjadi terhadap keseimbangan
pasar uang-modal bila jumlah uang beredar ditambah.
Diagram 13.1 menunjukan kurva LM0 yang diturunkan Mˢ0. Seandainya pemerintah
menambah jumlah uang beredar menjadi setingkat Mˢ1 pada diagram 13.3.a, maka untuk
harus diturunkan dari r1 ke r3. Demikian juga bila ingin membuat pasar uang-modal berada dalam kondisi keseimbangan pada tingkat Y1, tingkat bunga juga harus diturunkan dari r2 ke
r4. Dalam diagram 13.1.b hal itu terlihat dari pergeseran titik keseimbangan (dari F1 ke F3 dan dari F2 ke F4), sehingga kurva LM bergeser ke kanan (dari LM0 ke LM1).
Seandainya pemerintah mengurangi jumlah uang beredar dari Mˢ0 ke Mˢ2, maka
untuk membuat pasar uang-modal berada dalam keseimbangan pada tingkat Y0, tingkat bunga harus dinaikan dari r1 ke r5. Sedangkan untuk mencapai keseimbangan pada tingkat
Y1, tingkat bunga harus dinaikan r2 ke r6. Kurva LM bergeser ke kiri (dari LM0 ke LM2).
b. Pengaruh Kebijakan Moneter Terhadap Keseimbangan Ekonomi
Pergeseran kurva LM karena pengaruh perubahan jumlah uang beredar yang
dilalukan pemerintah akan memengaruhi keseimbangan ekonomi, karena mengubah titik potong kurva IS-LM, yang berarti mengubah titik keseimbangan ekonomi.
Diagram 13.2 berikut ini menunjukan kondisi keseimbangan awal terjadi pada tingkat pendapatan Y*0 dan tingkat bunga r0. Jika pemerintah menambah jumlah uang beredar,
kurva LM bergeser ke kanan (dari LM0 ke LM1, sehingga titik keseimbangan juga bergeser dari E0 ke Er Pada titik keseimbangan yang baru (E1), output keseimbangan adalah Y*1
yang lebih besar dari pada Y*0, sedangkan tingkat bunga adalah r1 yang lebih rendah dari pada r0. Dengan kata lain, kebijakan moneter ekspansif dalam konteks Diagram 13.2 telah
1) Sisi output
Kenaikan tingkat bunga akan menyebabkan ada beberapa rencana investasi yang
dibatalkan, sebagai akibatnya pertambahan kapasitas produksi menjadi lebih kecil. 2) Sisi biaya
Kenaikan tingkat bunga akan menaikan biaya produksi dikarenakan naiknya biaya
modal.
Dari kedua hal di atas, akibatnya kenaikan tingkat bunga akan memicu terjadinya inflasi.
Bila pemerintah mengurangi jumlah uang beredar, yang terjadi adalah sebaliknya.
Bergesernya kurva LM ke kiri (dari LM0 ke LM2) menyebabkan titik keseimbangan bergeser ke E2. Pada saat itu output keseimbangan adalah Y*2 yang lebih kecil dari pada Y*0
sedangkan tingkat bunga naik(dari r0 ke r2), yang berarti telah terjadi inflasi.
2.4 Definisi dan Pengertian Kebijakan Fiskal
cara mengubah-ubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah Jadi, kebijakan fiskal mempunyai tujuan yang sama persis dengan kebijakan moneter. Perbedaannya terletak
pada instrumen kebijakannya. Jika dalam kebijakan moneter pernerintah mengendalikan jumlah uang beredar, maka dalam kebijakan fiskal pemerintah mengendalikan penerimaan dan pengeluarannya.
Dalam buku teks teori ekonomi makro, penerimaan pemerintah diasumsikan berasal dari pajak (tax), sehingga notasi yang digunakan untuk penerimaan pemerintah adalah T.
Sedangkan notasi untuk pengeluaran pemerintah (government expenditure), seperti yang telah dibahas dalam bagian-bagian sebelumnya, adalah G.
a. Pajak
Dalam bagian ini kita akan memberikan perhatian yang cukup besar tentang konsep
pajak. Tujuannya adalah untuk memperdalam pemahaman tentang kebijakan fiskal dan pengaruhnya terhadap keseimbangan perekonomian. Sebab, berbeda dengan pengeluaran
pemerintah (G) yang dapat diasumsikan otonomus, maka pajak tidaklah demikian; Besarnya pajak yang diterima pemerintah dipengaruhi oleh tingkat pendapatan, sebaliknya pajak dapat
memengaruhi pola laku produksi dan atau konsumsi.
Secara hukum, pajak dapat didefinisikan sebagai iuran wajib kepada pemerintah yang
bersifat memaksa dan legal (berdasarkan undang-undang), sehingga pemerintah mempunyai kekuatan hukum (misalnya denda atau kurungan penjara) untuk menindak wajib pajak yang tidak memenuhi kewajibannya. Walaupun pajak sifatnya memaksa, pemerintah tidak
mempunyai kewajiban untuk membalas jasa secara langsung kepada para pembayar pajak. Pajak dipungut untuk menjalankan roda pemerintahan.
Secara ekonomi, pajak dapat didefinisikan sebagai pemindahan sumber daya yang ada di sektor rumah tangga dan perusahaan (dunia usaha) ke sektor pemerintah melalui
mekanisme pemungutan tanpa wajib memberi balas jasa langsung. Jika pungutan pemerintah sifatnya memberikan balas jasa langsung, maka pungutan tersebut disebut
retribusi.
Dari definisinya, pajak yang nilainya positif akan menyebabkan pendapatan riil makin
rendah atau harga barang makin mahal. Tetapi jika nilainya negatif (subsidi), pajak akan meningkatkan pendapatan rill atau menyebabkan harga output atau input menjadi lebih
1) Klasifikasi Pajak
Ada beberapa pengklasifikasian pajak yang umumnya digunakan, yaitu pajak
objektif dan pajak subjektif serta pajak langsung dan pajak tidak langsung. 2) Pajak Objektif
Pajak objektif adalah pajak yang dikenakan berdasarkan aktivitas ekonomi
para wajib pajak. Misalnya, pajak pertambahan nilai (PPN) dikenakan kepada mereka yang membeli barang dan jasa kena pajak.
3) Pajak Subjektif
Pajak subjektif adalah pajak yang dipungut dengan melihat kemampuan wajib
pajak Biasanya bila kemampuan wajib pajak makin besar, beban pajaknya makin besar. Salah satu indikator yang digunakan adalah pendapatan. Bila pendapatan
(lebih tepatnya pendapatan kena pajak) makin besar, beban pajaknya makin besar. Tetapi bila pendapatan seseorang masih di bawah pendapatan tidak kena pajak
(PTKP), orang tersebut tidak perlu membayar pajak pendapatan atau pajak penghasilan (PPh).
4) Pajak Langsung
Pajak langsung adalah pajak yang beban pajaknya tidak dapat di geser
kepada wajib pajak yang lain (no tax incidence). Jadi pembayar pajak langsung adalah pembayar pajak terakhir (last tax payer). Contoh pajak langsung di indonesia adalah pajak penghasilan (PPh) serta pajak bumi dan bangunan (PBB). Karena pajak
langsung mempunyai banyak kesamaan dengan pajak subjektif, umumnya pajak langsung adalah pajak subjektif.
5) pajak Tidak Langsung
Pajak tidak langsung adalah pajak yang beban pajaknya dapat digeser kepada
wajib pajak yang lain (tax incidence). Contoh paling terkenal dari pajak tidak langsung adalah pajak penjualan, yang dalam konteks Indonesia dikenal sebagai PPn dan
PPnBM. Pajak ini disebut sebagai pajak tidak langsung, sebab jika yang dikenakan pajak adalah produsen, maka produsen dapat menggeser sebagian atau seluruh
beban pajaknya kepada konsumen. Atau sebaliknya. Bila yang dikenakan pajak adalah konsumen, maka konsumen dapat menggeser sebagian atau seluruh beban
dapat digeser oleh konsumen atau produsen sangat ditentukan oleh elastisitas permintaan dan penawaran. (Dapat dibaca di buku "Teori Ekonomi Mikro, Suatu
Pengantar“, edisi ketiga, dalam Buku Seri Teori Ekonomi ini). b. Tarif Pajak
Dua jenis tarif pajak yang paling terkenal adalah pajak nominal dan pajak persentase.
a) Pajak Nominal
Pajak nominal adalah pajak yang pengenaannya berdasar sejumlah nilai
nominal tertentu. Notasi untuk pajak nominal adalah T (huruf besar). Misalnya, bila pengenaan pajak pendapatan sebesar 50, maka ditulis T = 50.
b) Pajak Persentase
Pada pajak persentase, beban pajaknya ditetapkan berdasarkan persentase
tertentu dari dasar pengenaan pajak. notasi untuk pajak persentase adalah t (huruf kecil). Pajak persentase dapat dibedakan menjadi pajak proporsional, progresif dan
regresif.
Pajak proporsional, tarif persentasenya tetap. Misalnya pajak penghasilan
dikatakan proposional bila berapapun besarnya penghasilan, tarif pajaknya tetap 20%.
Pajak progresif, tarifnya makin tinggi bila dasar pengenaan pajaknya makin tinggi. Pajak penghasilan dikatakan progresif bila tarifnya makin tinggi pada saat pendapatan meningkat. Di indonesia berdasarkan UU No. 17/2000 mengenai Pajak
Penghasilan (yang mulai berlaku tahun 2001), tarif pajak Penghasilan Kena Pajak (PKP) untuk pribadi < Rp25 juta per tahun, tarif pajaknya 5%, PKP di atas Rp25
juta-Rp50 juta per tahun, tarif pajaknya 10%, PKP di atas juta-Rp50 juta- Rp100 juta per tahun, tarifnya15%, di atas Rp100 juta-Rp200 juta per tahun, tarifnya 25%, dan PKP
di atas Rp200 juta, tarifnya 35%.
Pajak regresif adalah kebalikan pajak progresif; Tarif pajak justru makin
rendah pada saat penghasilan meningkat.
2.5 Pengaruh Pajak Terhadap Pendapatan dan Konsumsi
Dengan tetap mempertahankan asumsi bahwa pengeluaran investasi (I) dan pengeluaran pemerintah (G) bersifat otonomus, maka pajak akan memengaruhi pengeluaran
konsumsi melalui pengaruhnya terhadap fungsi konsumsi. Pengaruh pajak yang dibahas di
a. Pajak Nominal
Pajak nominal, pertama kali memengaruhi pendapatan disposabel. Jika pendapatan
adalah Y dan pajak nominal adalah T, maka pendapatan disposabel: Yd = Y – T
Fungsi konsumsi menurut model keynes adalah:
C = C0 + bYd
Dengan adanya pajak nominal, maka Yd = Y – T, sehingga fungsi konsumsi menjadi:
C = C0 + bYd
= C0 + b(Y-T)
= C0 + bY – bT
= C0 + bT + bY
Dari persamaan di atas terlihat bahwa pajak nominal tidak mengubah nilai MPC. Artinya pajak nominal tidak mengubah sensitivitas konsumsi akibat perubahan pendapatan.
Yang berubah adalah konsumsi otonomus, di mana pajak nominal menyebabkan konsumsi otonomus menjadi lebih kecil sebesar bT.
Kasus 14.1
Untuk lebih memahami penjelasan di atas, kita gunakan contoh kuantitatif seperti
berikut ini. Misalkan C1 = 100 + 0,8 Yd dan pajak nominal (T) sebesar 25, maka pengaruhnya adalah sebagai berikut :
C2 = 100 + 0,8 (Y-25)
=100 – 20 + 0,8Y
=80 + 0,8Y
Perhatikan bahwa pajak nominal tidak mengubah MPC, melainkan menggeser kurva konsumsi ke bawah sebesar 20 unit (sebesar b x T atau 0,80 x 25), seperti yang
b. Pajak Proporsional
Jika pajak peghasilan yang dikenakan adalah proporsional (t), maka pendapatan disposibel menjadi:
Yd = Y–tY = Y(1–t)
Akibatnya fungsi konsumsi berubah menjadi:
C =C0 + bYd = C0 + b {Y(1–t)}
=C0 + bY – btY = C0 +(b-bt)Y
Ternyata pajak proporsional menyebabkan MPC menjadi (b-bt) atau lebih kecil sebesar bt, sedangkan konsumsi otonomus tetap.
Kasus 14.2
Fungsi konsumsi awal = 100 + 0,8Yd, bila pajak pendapatan sebesar 25%, maka
Yd = (1–t)Y.
C2 = 100 + 0,8(1-0,25)Y
= 100 + 0,8(0,75)Y
= 100 + 0,6Y
Pajak proporsional telah menyebabkan MPC berubah menjadi 0,6 atau lebih kecil 0,2 dari MPC sebelum ada pajak proporsional. Perubahan MPC tersebut digambarkan dalam
Diagram 14.2 berikut ini.
2.6 Pengaruh Pajak Terhadap Keseimbangan Ekonomi
Karena kebijakan fiskal bertujuan mengarahkan perekonomian ke kondisi yang lebih
baik, maka dampaknya terhadap keseimbangan ekonomi harus dipahami. Salah satu cara paling mudah melihatnya adalah dengan melihat pengaruh pajak terhadap output
keseimbangan.
Kasus 14.3
Seperti dengan yang sebelumnya, yaitu lebih baik menggunakan contoh kuantitatif.
Asumsi yang digunakan adalah perekonomian tertutup dan pajak nominal. Fungsi konsumsi, maka kondisi keseimbangan ekonomi adalah:
= 100 + 0,8Yd + 150 + 250
= 500 + 0,8Y
0,2Y = 500
Y = 2.500
Bila ada pajak penghasilan nominal sebesar 100, maka Yd = Y 100, sehingga fungsi konsumsi C = 100 + 0,8Y. Dengan demikian pengeluaran. Agregat menjadi AE = C + I + G =
20 + 0,8Y + 150 + 250 = 420 + 0,8Y
Output kesimbangan:
Y = AE = C + I + G
= 420 + 0,8Y
0,2Y = 420
Y = 2.100
Ternyata, adanya pajak nominal sebesar 100 telah menyebabkan output
keseimbangan berkurang sebesar 2.500 – 2.100 = 400.
Y = C + I + G
= C0 + bY + I + G = C0 + I0 + G0 + bY
= A0 + bY
Sehingga kondisi keseimbangan
Y= 0
Jika pajak nominal sebesar T, maka fungsi konsumsi menjadi C = C0 + b(Y-T),Sehingga fungsi pengeluaran agregat menjadi AE = A0 + bY – bT. Dengan demikian
fungsi keseimbangan menjadi:
Y = AE = A0 – bT + bY
Y(1-b) = A0 – bT
Y = 0 (1- bT
-b)
Sehingga hubungan antara perubahan pajak nominal (ΔT) dengan perubahan pendapatan keseimbangan (ΔY) adalah:
ΔY = bΔT
(1-b)
Dalam kasus 14.3 diatas, ΔT = 100, sehingga:
ΔY = 0, (100)
(1-0, )
a. Politik Anggaran
Dilihat dari perbandingan nilai penerimaan (T) dan pengeluaran (G), politik anggaran
dapat dibedakan menjadi anggaran tidak berimbang dan anggaran berimbang. Hasil yang dicapai dari kebijakan fiskal merupakan interaksi (resultan) dari dampak pajak dan pengeluaran pemerintah terhadap perubahan pendapatan keseimbangan, seperti yang telah
dibahas sebelumnya adalah:
ΔY = (1Δ
-b)
Sedangkan pengaruh pajak terhadap pendapatan adalah:
ΔY = (1bΔT
-b)
1) Anggaran Defisit (Deficit Budget)
Anggaran tidak berimbang dapat dibedakan lagi menjadi anggaran defisit (deficit
budget) dan anggaran surplus (surplus budget). Anggaran defisit adalah anggaran yang memang direncanakan untuk defisit, sebab pengeluaran pemerintah direncanakan ;ebih
ditempuh bila pemerintah menstimuir pertumbuhan ekonomi. Hal ini umumnya dilakukan bila perekonoian dalam kondisi resesi. Dengan asumsi kondisi awal anggaran pemerintah adalah
anggaran berimbang (G=T), bila pemerintah menempuh anggaran defisit, maka Δ > ΔT,
dimana Δ ≥ 0 dan ΔT ≥ 0. Karena Δ > 0 dan Δ = ΔT, maka jika pemerintah menempuh
politik anggaran defisit, pemerintah dianggap memilih kebijakan fiskal ekspansif.
ΔY =
Sedangkan pengaruh pajak terhadap pendapatan adalah:
ΔY =
a. Anggaran Defisit (Deficit Budget)
Anggaran tidak berimbang dapat dibedakan lagi menjadi anggaran defisit
(deficit budget) dan anggaran surplus (surplus budget). Anggaran defisit adalah
anggaran yang memang direncanakan untuk defisit, sebab pengeluaran pemerintah direncanakan ;ebih besar dari penerimaan pemerintah (T<G atau G>T). Politik
anggaran defisit, biasanya ditempuh bila pemerintah menstimuir pertumbuhan ekonomi. Hal ini umumnya dilakukan bila perekonoian dalam kondisi resesi. Dengan
asumsi kondisi awal anggaran pemerintah adalah anggaran berimbang (G=T), bila
pemerintah menempuh anggaran defisit, maka Δ > ΔT, dimana Δ ≥ 0 dan ΔT ≥ 0. Karena Δ > 0 dan Δ = ΔT, maka jika pemerintah menempuh politik anggaran
defisit, pemerintah dianggap memilih kebijakan fiskal ekspansif.
ΔY karena Δ =
ΔY karena ΔT =
Sehingga total pengaruhnya (karena Δ dan ΔT) adalah:
ΔY =
=
Karena penyebutnya sama, yaitu (1-b), maka pengaruhnya dapat ditulis sebagai:
ΔY =
Jika Δ > ΔT, maka dapat dikatakan Δ = ΔT + W, dimana W = Δ –ΔT, sehingga:
ΔY =
=
ΔT + ΔY = ΔT +
Jadi bila politik anggarannya adalah anggaran defisit, maka pengaruhnya terhadap
pertambahan pendapatan lebih besar dibanding besarnya defisit pengeluaran yang
direncanakan. Bila ΔT = 0; (W = Δ ) atau Δ = 0; (W = ΔT), maka: ΔY =
Kasus 14.4
C = 100 + 0,8Yd I = 150
G = 250 dan T = 250
Kondisi keseimbangan awal: Y = C + I + G
= 100 + 0,8(Y-250) + 150 + 250 = 500 + 0,8(Y-250)
= 500 + 0,8Y – 200 = 300 – 0,8Y
Jika pemerintah menempuh anggaran defisit, dimana Δ = 250, sementara ΔT = 150, maka:
G1. = 250 + 250 = 500
Yd1 = Y – 250 – 150 = Y – 400
Sehingga fungsi konsumsi menjadi: C = 100 + 0,8Yd1
= 100 + 0,8(Y – 400) = 100 + 0,8Y – 320
= -220 + 0,8Y
Kondisi keseimbangan baru:
Y = C + I + G
= -220 + 0,8Y + 150 + 500
= 430 + 0,8Y 0,2Y = 430
Y = 2.150 atau
ΔY = 2.150 – 1.500 = 650
ngka 650 adalah ΔY = ΔT + W/(1 – b) = 150 + 100/(1 – 0,8) = 150 + 500 = 650
b. Anggaran Surplus (Surplus Budget)
Kebalikan dari anggaran defisit, dalam anggaran surplus pemerintah merencanakan penerimaan lebih besar dari pengeluaran ( T > G atau G < T). Atau
dapat juga dikatakan penerimaan menempuh politik anggaran suplus bila ΔC < ΔT, dimana Δ dan ΔT ≥ 0. Karena itu juga politik anggaran surplus sering diidentikkan dengan kebijakan fiskal kontraktif. Politik anggaran surplus dilakukan bila perekonomian sedang dalam tahap ekspansi dan terus memanas (overheating).
Melalui anggaran surplus pemerintah mengerem pengeluarannya untuk menurunkan tekanan permintaan atau mengurangi daya beli dengan menaikkan pajak. Pengaruh
Kasus 14.5
C = 100 + 0,8Yd
I = 150
G = 250 dan T = 250
Kondisi keseimbangan awal:
Y = C + I + G
= 100 + 0,8(Y-250) + 150 + 250
= 500 + 0,8(Y-250) = 500 + 0,8Y – 200
= 300 – 0,8Y 0,2Y = 300
Y = 1.500
Jika pemerintah menempuh anggaran surplus, dimana Δ = 150, sementara ΔT = 250, maka:
G1. = 250 + 150 = 400
Yd1 = Y – 250 – 250 = Y – 500
Sehingga fungsi konsumsi menjadi: C = 100 + 0,8Yd1
= 100 + 0,8(Y – 500) = 100 + 0,8Y – 400
= -300 + 0,8Y
Kondiai keseimbangan baru: Y = C + I + G
= -300 + 0,8Y + 150 + 400 = 250 + 0,8Y
0,2Y = 250
Y = 1.250 atau
ΔY = 1.250 – 1.500 = -250
c. Anggaran Berimbang (Balanced Budget)
Pemerintah dikatakan menempuh politik anggaran berimbang bila
pengeluaran direncanakan akan sama dengan penerimaan (G = T dan T = G). Tidak ada ketentuan pokok dalam kondisi ekonomi seperti apa politik anggaran berimbang ditempuh. Namun bila pemerintah memilih politik anggaran berimbang, dua hal utama
yang ingin dicapai adalah peningkatan disiplin dan kepastian anggaran.
Karena Δ = ΔT, maka pengaruh anggaran terhadap keseimbangan ekonomi adalah:
ΔY karena Δ =
ΔY karena ΔT =
Oleh karena Δ = ΔT, maka: ΔY =
ΔY =
=
ΔT
= 1 . ΔT, atau
ΔY = 1 . Δ , berarti ΔY = ΔT = Δ
Sehingga dapat dikatakan efek multiplier anggaran berimbang adalah sama
dengan satu (balance budget multiplier).
Kasus 14.6
C = 100 + 0,8Yd I = 150
G = 250 dan T = 250
Kondisi keseimbangan awal:
Y = C + I + G
= 500 + 0,8(Y-250) = 500 + 0,8Y – 200
= 300 – 0,8Y 0,2Y = 300 Y = 1.500
Jika pemerintah menempuh anggaran berimbang , dimana Δ = 150, sementara ΔT
= 150, maka:
G1. = 250 + 150 = 400
Yd1 = Y – 250 – 150 = Y – 400
Sehingga fungsi konsumsi menjadi: C = 100 + 0,8Yd1
= 100 + 0,8(Y – 400) = 100 + 0,8Y – 320
= -220 + 0,8Y
Kondiai keseimbangan baru:
Y = C + I + G
= -220 + 0,8Y + 150 + 400 = 330 + 0,8Y
0,2Y = 330
Y = 1.650 atau
ΔY = 1.650 – 1.500 = 150 Angka -250 adalah ΔY = ΔT = Δ
2.7 Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah kebijakan fiskal dalam kontek pembangunan Indonesia. Selama 1969/70-1994/95 (pembangunan jangka panjang
tahap I,PJPI) pertumbuhan APBN mencapai 23% per tahun, sekitar empat kali lipat pertumbuhan ekonomi PJP I yang 6,8% per tahun. Hal ini mennjukkan peranan APBN
sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi
stabilisasi. Trilogy pembangunan ini merupakan realisasi dari teori tentang tiga fungsi fiskal: alokasi barang public (allocation), distribusi pendapatan (distribution), dan stabilisasi
perekonomian (stabilization).
Fungsi alokasi (allocation) adalah fungsi penyediaan barang public (public goods provision) yang diharapkan menghasilkan eksternalitas yang menguntungkan. Eksternalitas
akan meningkatkan kegiatan investasi yang amat dibutuhkan guna memacu pertumbuhan ekonomi. Fungsi distribusi pendapatan (income distribution) adalah fungsi APBN dalam
rangka memperbaiki distribusi pndapatan. Intrumen yang digunakan terutama adalah pajak adalah subsidi, yang dapat mempengaruhi / mengarahkan keinginan kerja dan konsumsi
masyarakat. Sedangkan fungsi stabilisasi (stabilization) adalah fungsi APBN yang bersifat antisiklis, seperti yang dijelaskan dalam pembahasan tentang politik anggaran dimuka.
Dalam kondisi resasi sebaiknya pemerintah menempuh politik anggaran deficit (deficit budget) untuk menstimulans permintaan, sedangkan dalam kondisi ekonomi membaik
(recovery) itempuh anggaran surplus untuk menekan laju inflasi. Pilihan lain adalah anggaran berimbang (balance budget) , baik pada kondisi resasi maupun pemulihan.
Teori fiskal berlatar belakang perekonomian Barat yang relative maju dan berorientasi pasar. Sangat berbeda dengan kondisi Indonesia yang mengalami kelemahan mendasar ,
baik di sisi permintaan maupun penawaran. Karena itu , anggaran Negara (APBN) Indonesia berorientasi pembangunan; APBN tidak hanya sekedar peralatan antisiklis, melainkan juga harus sekaligus sebagai instrument pembangunan.
A+B = C+D
Tabungan Pemerintah = Penerimaan Dalam Negeri-Pengeluaran Rutin
Fungsi pembangunan dari APBN dapat dilihat pada sisi penerimaan dan pengeluaran pembangunan. Penerimaan pembangunan pada prinsipnya adalah bantuan dan atau utang
luar negeri pemerintahan (external public debt). Penerimaan pembangunan bukan merupakan utang luar negeri (ULN) selama diterima dalam bentuk bantuan program, tetapi
jumlahnya kecil sekali dan dalam APBN beberapa tahun terakhir saldo pos bantuan program sudah nol.
Pengeluaran pembangunan adalah pengeluaran-pengeluaran yang bukan saja ditujukan untuk meningkatkan kapasitas pemerintah , tetapi juga perekonomian dan
kesejahteraan rakyat. Dana pengeluaran pembangunan mancakup 18 sektor , yang dapat diringkas menjadi empat jenis pengeluaran pembangunan: 1) Sarana, prasarana ekonomi: pengeluaran untuk pembangunan jalan raya, pelabuhan, kapasitas listrik, energy dan
lain-lain, 2) Peningkatan sumber daya manusia (SDM): pendidikan,kesehatan, dan peranan wanita, 3) Peningkatan kesejahteraan rakyat: pembangunan perumahan, pengembangan
kehidupan beragama, dan 4) Peningkatan kapasitas pemerintahan: anggaran pengembangan aparatur pemerintahan
a. APBN PJP I
Politik anggaran selama PJP I adalah anggaran berimbang, dengan pertimbangan
menjaga disiplin dan menjaga kestabilan, karena anggaran berimbang, maka penerimaan sama dengan pengeluaran {(A + B) = (C + D)}. Anggaran berimbang Indonesia adalah
berimbang dinamis. Besarnya (A + B) tetap diusahakan sama dengan (C + D). Bila terjadi perubahan salah satu dari empat komponen APBN, maka komponen lainnya harus disesuaikan agar (A + B) = (C + D).
APBN dikatakan fungsional dilihat dari besarnya pengeluaran pembangunan yang
harus selalu sama dengan kemampuan pendanaan. Mengingat pengeluaran pembangunan selalu lebih besar daripada penerimaan pembangunan, harus ada sumber pengimbangnya. Di sisi pengeluaran pembangunan, pos pengimbangnya adalah pembiayaan rupiah; sumber
Tidak semua ahli setuju bahwa APBN adalah berimbang. Kelompok ini berpendapat bahwa APBN Indonesia adalah anggaran berimbang semu (quasy balance budget).
Total nilai APBN selama PJP I adalah Rp473 triliun. Angka ini menunjukan betapa
besar peranan pemerintah dalam pembangunan.
Sekitar 80% penerimaan APBN berasal dari sumber-sumber dalam negeri, terutama
pajak dan migas. Peranan besar migas sangat terasa pada Pelita II dan III, dimana kontribusinya mendekati 70% penerimaan dalam negeri (PDN). Peranaan itu kemudiaan
menurun dengan melemahnya harga minyak di Pelita IV. Pada APBN 1997/1998 sumbangsih penerimaan migas hanya sekitar 19%
Hal yang sebaliknya terjadi pada penerimaan pajak. Diawal PJP I penerimaan pajak merupakan 60% PDN. Peranan tersebut menurun karena kenaikan penerimaan migas. Pada
Pelita II dan III peranan pajak hanya 41% dan 30% PDN. Krisis minyak yang memaksa pemerintah menggali kembali potensi pajak, menaikkan kembali peranaan pajak sebagai
sumber PDN. Pada Pelita V sumbangan pajak terhadap PDN menjadi 57%. Angka tersebut menjadi lebih besar di tahun-tahun PJP I. misalnya, sumbangan pajak terhadap PDN periode
1995/1996 mencapai angka 67%, menyamai kejayaan migas tahun 1980-an awal. Di APBN 1997/1998 peranan penerimaan pajak 72% PDN, di APBN 1998/1999 peranan pajak
menut=run menjadi 60% PDN.
Yang masih sangat rendah sumbangsihnya terhadap PDN adalah penerimaan bukan pajak (lebih kecil daripada 10%). Salah satu sumber paling potensial dari pos ini adalah
keuntungan BUMN. Tetapi sudah menjadi rahasia umum kalu sebagian besar BUMN ientik dengan kerugiaan, setidak-tidaknya produktivitas asset BUMN masih sangat rendah.
Total penerimaan pembangunan selama PJP I adalah Rp94 triliun, sekitar Rp84 triliun (90%) diantaranya adalah bantuan proyek (ULN). Total penerimaan pembangunan selama
Alokasi pengeluaran APBN terbesar selama PJP I adalah pengeluaran rutin sebesar Rp273 triliun (58% pengeluaran); pengeluaran bunga dan cicilan utang Rp107 triliun, atau
sekitar 23% total pengeluaran (39% pengeluaran rutin). Pembayaran bunga dan cicilan utang membengkak pada saat memasuki Pelita IV. Ini disebabkan ULN bersifat jangka panjang dan
banyak yang jatuh tempo setelah pertengahan periode 1980-an.
Pengeluaran pembangunan PJP I mencapai Rp 200 Triliun. Pioritas pertama PJP I adalah sarana dan prasarana ekonomi, yang mencapai 81% pengeluaran pembangunan.
Pioritas kedua adalah pengembangan SDM, yang mencapai Rp 23 Triliun.
b. APBN 1994/95-1997/98
Priode 1994/95-1997/98 adalah masa peralihan orde baru (Orba) ke Orde Reformasi. Selama priode ini total nilai akumulasi APBN adalah Rp 390 Triliun; suatu peningkatan yang
luar biasa, sebab nilai APBN 4 Tahun terakhir pemerintahan Orban adalah setara 80% APBN 25 tahun pertama. Pertumbuhan APBN periode ini 20% per tahun, sementara pertumbuhan
ekonomi sekitar 6% per tahun. Dengan demikian sampai akhir pemerintahannya, Orba tetap menggunakan APBN sebagai salah satu motor utama penggerak pertumbuhan ekonomi.
Politik anggaran yang ditempuh tetaplah anggaran berimbang, yang oleh beberapa pengamat ekonomi disebut sebagai anggaran berimbang semu. Sebab selama
Selama periode ini struktur penerimaan makin membaik. Pemerintah berhasil mempertahankan penerimaan nonmigas sebagai sumber utama PDN. Dari sekitar Rp335 triliun PDN, Rp 250 triliun (75%) merupakan penerimaan nonmigas; sebesar Rp217 triliun
adalah penerimaan pajak, sumbangsih penerimaan pajak terhadap PDN mencapai 65%.
Yang masih tetap kecil sumbangsihnya adalah penerimaan nonmigas bukan pajak; Nilainya hanya sekitar Rp33 triliun, atau masih tetap sekitar 10% PDN.
Total pengeluaran mencapai sekitar Rp385 triliun, Rp143 triliun adalah pengeluaran pembangunan (37%), sedangkan Rp242 triliun (63%) merupakan pengeluaran rutin. Yang
perlu mendapat perhatian adalah komposisi pengeluaran rutin. Sebesar Rp98 triliun diantaranyamerupakan pembayaran bunga dan cicilan utang, atau sekitar 41% pengeliaran
rutin; jumlah ini jauh lebih besar daripada pengeluaran belanja pegawai , yang hanya Rp59 triliun (24%) pengeluaran rutin) padahal selama ini pos pengeluaran rutin terbesar adalah
belanja pegawai. Membengkaknya pengeluaran bunga dan cicilan utang terutama disebabkan makin banyaknya ULN yang jatuh tempo.
c. APBN Orde Reformasi
Jatuhnya pemerintahan Soeharto, Mei 1998, merupakan akhir pemerintahan Orba dan dimulainya dari pemerintahan di bawah pimpinan Abdurrahman Wahid. Di bawah
pemerintahannya dilakukan perubahan penting terhadap APBN.
Yang pertama adalah di ubah nya periode anggaran menjadi Januari – Desember.
Selama pemerintahan Orba, periode anggaran adalah April – Maret. Perubahan ini menyebabkan masa berlaku APBN 2000 hanya Sembilan bulan (April – Desember ).
Keterangan RAPBN % terhadap
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Efektivitas Kebijakan Moneter
Apa yang digambarkan dalam diagram 13.2 hanyalah salah satu dari berbagai
kemungkinan yang terjadi. Secara grafis hasil dari kebijakan moneter pemerintah sangat ditentukan oleh kondisi passar barang-jasa dan pasar uang-modal, yang digambarkan oleh sudut kemiringan kurva IS dan kurva LM.
a. Sudut Kemiringan Kurva IS
Diagram 13.3 merupakan himpunan kurva IS yang menggambarkan beberapa kondisi
pasarbarang-jasa.
Kurva IS1 lurus sejajar dengan sumbu vertikal. Kurva IS yang seperti ini terjadi karena permintaan investasi tidak sensitif terhadap perubahan tingkat bunga (kurva I tegak
lurus). Sebaliknya kurva IS2 terbentuk dari kurva I yang mendatar sejajar dengan sumbu horizontal. Artinya kurva investasi elastis sempurna. Sedangkan kurva IS3 terbentuk dari
kurva investasi yang bersudut negatif, dalam arti ∂I/∂r ≤ 0.
b. Sudut Kemiringan Kurva LM
Diagram 13.4 menunjukkan beberapa kurva LM yang menggambarkan beberapa kondisi pasar uang-modal. Kurva LM1 berbentuk tegak lurus sejajar sumbu vertikal. Kurva ini
diturunkan dari kurva permintaan uang untuk spekulasi (Msp) yang tegak lurus. Artinya, permintaan uang untuk spekulasi tidak sensitif terhadap perubahan tingkat bunga. Dapat
transaksi yang merupakan fungsi pendapatan. Oleh karena kurva LM1 sesuai dengan hipotesis klasik, maka kurva ini disebut kurva LM versi klasik.
Kurva LM3 adalah kebalikan dari kurva LM1. Karena kurva LM3 diturunkan dari kurva permintaan uang untuk spekulasi (Msp), maka kurva ini datar dan sejajar dengan sumbu horizontal. Artinya, permintaan uang untuk spekulasi sangat sensitif (sensitif sempurna)
terhadap perubahan tingkat bunga. Menurut Keynes, kondisi inilah yang disebut sebagai perangkap likuiditas atau jerat likuiditas (liquidity trap) dan biasanya terjadi pada tingkat
bunga yang sangat rendah. Karena bentuk kurva LM3 sesuai dengan teori keynesian, maka kurva ini disebut juga kurva LM versi Keynesian.
Kurva LM2 adalah kurva LM yang telah anda kenal, yang terbentuk dari kurva
permintaan uang untuk spekulasi yang bersudut negatif(∂ /∂≤0).
Seringkali ketiga kurva LM tersebut di atas digambarkan dalam satu kurva seperti
klasik (classical range). Daerah yang berada di antara kedua ekstrem tersebut dinamakan daerah antara (intermediate range).
c. Berbagai Kemungknan Hasil Kebijakan Moneter
Evaluasi terhadap efektivitas kebijakan moneter dapat dilakukan dengan melihat
titik-titik potong kurva kurva IS dan LM. Karena kurva IS dan LM masing-masing memiliki minimal tiga kondisi, maka minimal ada sembilan kombinasi titik potong kurva IS-LM. Dari sembilan kombinasi tersebut, dua di antaranya tidak terdefinisikan. Yang pertama adalah titik potong
antara kurva IS mendatar (IS2) dengan kurva LM mendatar (LM3). Yang kedua adalah titik potong antara kurva IS tegak lurus (IS1) dengan kurva LM tegak lurus (LM1).
Kita hanya akan memerhatikan empat kondisi ekstrem yang terjadi terhadap output
keseimbangan dan tingkat bunga, bila yang ditemouh adalah kebijakan moneter. Karena
yang dievaluasi adalah kebijakan moneter, maka secara grafis yang digeser adalah kurva LM. Mari perhatikan Diagram 13.5.
Diagram 13.5.a dan 13.5.b kondisinya adalah kurva LM vertikal. Diagram 13.5.a menunjukkan jika kurva IS datar, kebijakan moneter sangat efektif, sebab dapat menambah
atau mengurangi output keseimbangan tanpa mengganggu tingkat harga. Diagram 13.5.b menunjukkan jika kurva IS mempunyai slope negatif, kebijakan moneter ekspansif akan
kebijakan kontraktif, karena output keseimbangan turun, sementara tingkat bunga (harga) meninggi.
Pada Diagram 13.5.c dan 13.5.d kurva LM adalah mendatar, artinya perekonomian
berada dalam perangkap likuiditas. Dalam kondisi seperti ini, kebijakan moneter sama sekali
tidak efektif, sebab tidak mempunyai kemampuan memengaruhi output dan tingkat bunga.
Anda dapat mencoba-coba berbagai kemungkinan lain dan bandingkan hasilnya dengan tabel 13.1 di bawah ini.
Dari Diagram 13.5 dan Tabel 13.1 dapat ditarikkesimpulan sebagai berikut :
1) Kebijakan moneter adalah efektif sempurna bila kurva IS datar.
2) Kebijakan moneter adalah tidak efektif sempurna bila kurva LM datar.
3.2 Efektivitas Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal dikatakan efektif bila mampu mengubah tingkat bunga (r) dan atau output sesuai dengan yang diinginkan pemerintah . Pengaruh kebijakan fiskal terhadap
output keseimbangan, pertama-tama terjadi melalui pengaruh terhadap keseimbangan pasar barang dan jasa.
a. Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Keseimbangan Pasar Parang-Jasa
Dampak kebijakan fiskal terhadap keseimbangan pasar barang dam jasa telah
dijelaskan secara matematis dalam bagian sebelumnya. Diagram 14.3 dibawah ini memberikan gambaran grafis tentang pengaruh kebijakan fiskal terhadap output
Dampak pengeluaran pemerintah yang ekspansif (△G > 0, sementara △T = 0)
menyebabkan kurva IS bergeser ke kanan . Pada tingkat bunga yang sama (misalnya rj), pergeseran kurva IS tersebut menyebabkan output keseimbangan bergeser dari Y* ke Y*1
Sebaliknya dampak anggaran defisit (△G < 0 sedangkan △T = 0) menyebabkan
kurva IS bergeser ke kiri. Pada tingkat bunga yang sama, yaitu r1, pergeseran kurva IS
menyebabkan output keseimbangan berkurang menjadi Y*2 . Jarak antara Y* dengan Y*1
adalah sama dengan jarag antara Y* dengan Y*2 . Jarak-jarak antara output keseimbangan
tersebut merupakan △Y, yang besarnya sama dengan △G/(1-b).
b. Dampak Kebijakan Fiskal Ekspansif Terhadap Inflasi
Jika tambahan pengeluaran pemerintah akan menghasilkan tambahan output
keseimbangan yang beberapa kali lipat, bukankah lebih baik pemerintah terus-menerus meningkatkan anggarannya? Pernyataann tersebut baru benar bila didalam perekonomian
hanya terdiri atas pasar barang dan jasa . Dalam analisis IS-LM, perekonomian baru dikatakan berada dalam keseimbangan jika pasar uang-modal juga berada dalam
Dalam diagram terlihat bahwa kondisi keseimbangan awal tercapai pada saat tingkat bunga adalah r0 dan output keseimbangan adalah Y*. Bila pemerintah menempuh anggaran ekspansif yang menyebabkan kurva IS bergeser ke IS1, tadinya yang diharapkan pemerintah
adalah bertambahnya output keseimbangan sebesar (Y*1-Y*), sementara tingkat bunga
tetap. Jarah Y*1-Y* adalah sebesar △G/(1-b). Namun bila anda perhatikan, yang terjadi
adalah output keseimbangan hanya mencapai Y*2 yang lebih kecil dari yang ditargetkan
(Y*1). Bahkan terjadi inflasi dilihat dari tingkat bunga yang bergeser ke r1.
Ternyata penambahan pengeluaran pemerintah telah menyebabkan naiknya
pengeluaran agregat. Naiknya pengeluaran agregat menyebabkan keinginan sektor swasta melakukan investasi semakin besar. Hal tersebut memang diharapkan pemerintah. Besarnya
investasi swasta yang diharapkan pemerintah kita sebut saja sebagai investasi yang diharapkan (expected investment), yang dinotasikan IE. Tetapi sayangnya peningkatan
permintaan investasi tidak disertai dengan peningkatan kemampuan pemberian kredit. Hal itu dilihat dari kurva LM yang tidak bergeser ke kanan. Jika permintaan investasi meningkat,
tingkat bunga, yang berarti naiknya biaya modal, menyebabkan ada rencana-rencana investasi menjadi tidak layak (no feasible), sehingga terpaksa dibatalkan. Akibat lebih lanjut
permintaan investasi nyata (real investment, IR) tidak sebesar yang ditargetkan (IR > IE ). Karena investasi riil lebih kecil dari investasi yang diharapkan,maka pertumbuhan ekonomi riil
juga lebih kecil dari yang diharapkan. Dalam Diagram 14.4 terlihat bahwa Y*2-Y* atau△Y riil
lebih kecil dari Y*1-Y* atau △Y yang diharapkan.
Menurunnya investasi swasta yang menyebabkan tidak tercapainnya target pertumbuhan ekonomi dari kebijakan fiskal ekspansif disebut sebagai crowding out effect cara mengatasi crowding out effect secara teoritis sederhana saja, yaitu meningkatkan
jumlah uang beredar. Dengan kata lain, kebijakan fiskal ekspansif dilakukan bersamaan (simultan) dengan kebijakan moneter ekspansif. Dalam Diagram 14.4, kebijakan moneter
ekspansif menggeser kurva LM ke LM1. Penambahan jumlah uang beredar ini mengatasi gejala kelebihan permintaan investasi, sehingga tingkat bunga tidak naik. Akhirnya investasi
yang terjadi sebesar yang diharapkan. Karena mengombinasikan kebijakan fiskal dan moneter sekaligus, maka kebijakan ini disebut kebijakan kombinasi (combination policy).
c. Slope Kurva IS dan LM
Secara grafis, slope LM akan memengaruhi efektivitas kebijakan fiskal. Diagram 14.5 memberikan beberapa perbandingan.
Bila slope kurva LM mendatar sejajar sumbu horizontal (interval Keynesian), maka kebijakan fiskal efektif sempurna, karena mampu mempengaruhi output keseimbangan tanpa menimbulkan inflasi. Menurut para ekonom Keynesian, kurva LM yang mendatar
menggambarkan perekonomian berada dalam kondisi lesu karena perangkap likuiditas, dimana sekalipun tingkat bunga sudah sedmikian rendah , tingkat investasi tidak meningkat.
Hal ini terjadi karena begitu lemahnya ekspetasi masyarakat. Agar perekonomian pulih kembali, maka ekspetasi harus dipulihkan. Untuk dibutuhkan campur tangan pemerintah
melalui peningkatan pengeluaran pemerintah yang akan mendorong kegiatan ekonomi
Dalam diagram terlihat bahwa kebijakan fisal ekspansif (IS0 ke IS4), telah menaikkan
output keseimbangan dari Y0 ke Y1, sementar tingkat bunga tetap di r1.
Pada interval antara, dimana slope LM> 0, kebijakan fiskal ekspansif (IS3 ke IS4),
Bila slope LM tegak lurus (interval klasik), perekonomian berada dalam kondisi seperti yang diasumsikan Klasik, yaitu kesempatan kerja penuh (full employment) dan uang bersifat
netral. Dalam kondisi seperti ini, kebijakan fiskal tidak efektif sempurna. Misalnya kebjakan fiskal ekspansif (dari IS5 ke IS6) hanya menaikkan tingkat bunga (inflasi) dari r5 ke r6
sementara output tidak berubah, yaitu tetap di Y4 yang merupkan tingkat output pada
BAB IV
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Kebijakan Moneter adalah kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah
melalui BI untuk mengatur jumlah uang yang beredar di masyarakat. Instrumen utama yang ada dalam Kebijakan Moneter antara lain; operasi pasar terbuka, fasilitas diskonto dan rasio
cadangan wajib. Selain itu pemerintah bisa melakukan imbauan moral. Kebijakan Moneter dikatakan efektif bila mampu mengendalikan tingakat output dan harga.
Sedangkan Kebijakan Fiskal adalah kebijakan ekonomi yang dilakukan pemerintah unrtuk mengarhkan perekonomian ke kondisi yang lebih baik dengan mengatur penerimaan
dan pengeluaran pemerintah. Penerimaan pemerintah berasal dari pajak (tax) dikonotasikan T. sedangkan pengeluaran pemerintah yaitu (government expenditure) dikonotasikan G. Dari