• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang 2. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung ABSTRAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang 2. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung ABSTRAK"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH TARAF PROTEIN DALAM RANSUM PADA PERIODE PERTUMBUHAN TERHADAP PERFORMAN AYAM RAS PETELUR TIPE

MEDIUM SAAT AWAL PENELURAN

(The Effect of Dietary Protein Level on Performance at Lay Onset in Medium Type of Pullet)

E. Suprijatna1) dan D. Natawihardja2)

1Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang

2Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung

ABSTRAK

Penelitian bertujuan untuk mengetahui performan ayam ras petelur tipe medium pada saat memasuki awal periode produksi akibat pemberian ransum dengan level protein yang meningkat pada saat periode pertumbuhan (umur 12-20 minggu). Penelitian menggunakan 480 ekor ayam umur 12 minggu yang dikelompokkan menjadi 3 kelompok dan masing-masing diberi perlakuan ransum dengan taraf protein berbeda yaitu 12 %, 15 % dan 18 %. Pengamatan dilakukan terhadap pertumbuhan organ reproduksi, umur awal produksi dan kualitas telur pada saat awal produksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa taraf protein yang meningkatkan laju pertumbuhan, bertelur lebih dini dengan kualitas telur lebih baik. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan taraf protein tinggi (15 % dan 18 %) menyebabkan efek bertelur lebih cepat dengan kualitas telur yang lebih baik dibandingkan taraf protein 12 %. Selama periode pertumbuhan ayam petelur tipe sedang, taraf protein ransum disarankan tidak kurang dari 15 %.

Kata kunci : ayam ras petelur, taraf protein, performan

ABSTRACT

The research was conducted to study the efffect of different level of protein ration during growth period (12 – 20 weeks of age) on the performance of medium type of layer at early stage of production period. The study used 480 birds of ledium type of layer with 12 weeks of age. The birds were devided into 3 groups, and were given on 12%; 15% and 18% of protein rations, respectively. In each group was observed on the growth of reproductive organ, age of the early production period, and egg quality at early production period. The results showed that level of protein ration increased the rate of growth, more earlier stage of production period, and better egg quality. The higher level of protein ration (15% and 18%) gave more earlier stage of production and more better egg production compared to those of 12% of protein ration. Throughout growth period in medium type of layer, the level of protein ration was suggested to be higher than 15%.

(2)

PENDAHULUAN

Pada saat periode pertumbuhan umur 12 – 20 minggu laju pertumbuhan secara total sudah menurun. Oleh karena itu pada saat ini digunakan ransum dengan protein rendah (Scot et al, 1982; NRC, 1984; North dan Bell, 1990). Dewasa ini sehubungan dengan meningkatnya kualitas bibit ayam ras petelur yang pertumbuhannya menjadi lebih cepat, dewasa kelamin lebih dini dan puncak produksi dicapai lebih cepat (Forbes dan Shariatmadari, 1990; McMillan, 1990; Leeson dan Summers, 1991), maka konsep pemberian ransum dengan kandungan protein rendah tersebut perlu ditinjau kembali. Hal ini berkenaan pada periode pertumbuhan tersebut organ reproduksi mulai meningkat pertumbuhannya sementara organ-organ lainnya menurun. Pada saat memasuki periode produksi (umur 20 minggu) pertumbuhan organ reproduksi harus optimal guna memper siapkan per tumbuh an folikel dan penimbunan material guna pembentukkan telur serta

persiapan awal produksi guna mencapai puncak produksi yang tinggi (Yu et al, 1992; Etches, 1996). Konsep lama menyarankan bahwa taraf protein ransum periode pertumbuhan tidak lebih dari 13 %. Taraf yang lebih tinggi tidak berpengaruh terhadap peningkatan produksi telur dan tidak ekonomis (McGinnis, 1976; Scott et al, 1982; NRC, 1984). Kon sep baru men yar an kan un tuk menggunakan taraf protein ransum tidak kurang dari 15 % (Leeson dan summers, 1991; Hawes dan Kling, 1993; NRC, 1994). Taraf protein tinggi tidak dianjurkan sehubungan berkaitan dengan biaya ransum yang meningkat saat periode pertumbuhan sehingga tidak ekonomis. Oleh karena itu perlu diteliti pada taraf protein berapa ransum yang optimal untuk pertumbuhan ayam ras tipe petelur.

MATERI DAN METODE

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh taraf protein ran sum saat per iode

Tabel 1. Susunan Ransum Percobaan, Kandungan Zat-zat Makanan dan Energi Metabolis Ransum yang Digunakan dalam Penelitian (Umur 12-20 minggu)

Ransum Perlakuan Bahan T1 (12 %) T2 (15 %) T3 (18 %) ---kg --- Jagung Kuning 63,5 59.0 54,5 Dedak Halus 25,0 22,0 19,0 Bk. Kedelai 6,0 8,0 12,5 Bk. Kelapa 1,5 3,0 2,5 Tp. Ikan 1,5 6,0 9,5 Tp. Kerang 2,0 1,5 1,5 Premix 0,5 0,5 0,5 Jumlah 100,0 100,0 100,0

Zat Makanan dan Energi Metabolis

Protein ( % ) * 12,06 15,06 18,06 Serat Kasar ( % ) * 3,97 4,24 4,47 Lemak kasar ( % ) * 6,42 6,42 6,32 Kalsium ( % ) * 0,84 0,71 0,76 Fosfor Tersedia ( % ) * 0,63 0,62 0,66 Lisin ( % ) ** 0,58 0,85 1,11 Metionin ( % ) ** 0,26 0,34 0,42 EM (Kkal/kg) ** 2751,15 2757,10 2757,45

*) Perhitungan Berdasarkan Hasil Analisis **) Perhitungan Berdasarkan Tabel Wahju (1992).

(3)

per tumbuh an ter h adap per tumbuh an or gan reproduksi dan performan produksi pada saat awal produksi. Penelitian menggunakan ayam ras petelur tipe medium (Lohman Brown) sebanyak 480 ekor, umur 12 minggu dengan berat badan 1012,70 ± 47,03 g. (CV = 4,64 %). Ayam tersebut dikelompokkan menjadi 3 kelompok untuk diberi ransum perlakuan. Perlakuan diberikan mulai ayam umur 12 minggu sampai dengan 20 minggu. Ransum perlakuan yang diberikan saat periode pertumbuhan terdiri dari ransum T1 (12 % protein), T2 (15 % protein) dan T3 (18 % protein). Semua ransum perlakuan yang diberikan mengandung energi metabolis yang sama (2750 Kkal/kg). Pengamatan pengaruh perlakuan dilakukan terhadap berat relatif organ reproduksi dan karakteristik saat peneluran pertama (‘onset of lay’). Rancangan percobaan yang digunakan adalah acak lengkap, terdiri dari 3 perlakuan taraf protein ransum, masing-masing perlakuan terdiri dari 8 ulangan dan masing-masing ulangan terdiri dari 20 ekor ayam sebagai un it per cobaan . Un tuk men gamati per tumbuh an or gan repr oduksi dilakukan pembedahan ayam pada saat peneluran pertama, masing-masing unit percobaan 2 ekor ayam. Pengolahan data menggunakan analisis ragam, dilanjutkan dengan uji wilayah berganda Duncan untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Konsumsi Ransum, Pertambahan Berat Badan dan Konversi Ransum

Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan taraf protein ransum berpengaruh nyata (P < 0,05) terhadap konsumsi ransum. Taraf protein ransum yang meningkat mengakibatkan konsumsi

ransum yang meningkat. Hal ini berdampak kepada meningkatnya konsumsi energi dan protein, tetapi tidak berdampak kepada konversi ransum. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan konsumsi ransum, konsumsi protein maupun energi tidak diikuti dengan meningkatnya pertambahan berat badan yang memadai. Hal ini disebabkan pada periode ini efisiensi penggunaan protein menurun. Peningkatan taraf protein ransum mengakibatkan meningkatnya ekskresi nitrogen (Summers dan Leeson, 1994).

Konsumsi protein harian standar untuk ayam petelur tipe medium pada saat periode pertumbuhan umur 12 – 20 minggu adalah sekitar 9 – 10 g per ekor/hari (North dan Bell, 1990). Pada penelitian ini konsumsi protein harian adalah 8,75 g (T1), 11,51 g (T2) dan 13,98 g (T3). Tampak bahwa taraf protein ransum 12 % (T1) baru memenuhi kebutuhan minimal untuk pertumbuhan, belum optimal. Ayam memiliki kemampuan untuk mengatur konsumsi protein sesuai kebutuhannya. Pada saat menjelang produksi, ayam akan berusaha memenuhi kebutuhan protein guna mencapai berat dewasa sehingga konsumsi meningkat (Summers dan Leeson, 1994). Dengan demikian pada taraf protein rendah dengan kandungan energi yang sama maka pertumbuhan jaringan otot dan organ reproduksi terhambat karena konsumsi protein yang kurang, sementara konsumsi energi berlebih sehingga terjadi penimbunan lemak abdomen. Hal ini mengakibatkan peneluran pertama mundur dan jumlah folikel yang tumbuh menjadi dewasa berkurang.

Pertumbuhan Organ Reproduksi dan Performan Awal Produksi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa taraf protein ransum berpengaruh nyata terhadap berat relatif ovarium, oviduk, jumlah folikel yang memasuki

Tabel 2. Pengaruh Perlakuan Terhadap Konsumsi Ransum dan Berat Badan (umur 12 – 20 minggu) Ransum Perlakuan

Parameter T1 (12 %) T2 (15 %) T3 (18 %)

Konsumsi Ransum (g) 71,03 a 76,34 b 77,44 c

Konsumsi Protein (g/ekor/hari) 8,57 a 11,51b 13,98 c

Konsumsi Energi (Kkl/ekor/hari) 195,38 a 210,73 b 213,53 c

Pertambahan Berat Badan (g/ekor/hari) 9,75 a 10,17 ab 10,44 b

Konversi Ransum 7,30 a 7,52 a 7,43 a

(4)

fase pendewasaan (‘yellow yolk’) dan berat badan saat awal peneluran serta umur awal peneluran (Tabel 3), tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap folikel yang belum memasuki fase pendewasaan (‘white yolk’).

Pertumbuhan ovarium terutama terjadi karena adanya pertumbuhan folikel yang menjadi dewasa (‘yolk’). Pertumbuhan yolk berlangsung karena meningkatnya penimbunan lipoprotein (Gilbert, 1971). Oleh karena itu meningkatnya taraf protein ransum mengakibatkan meningkatnya konsumsi protein sehingga terjadi peningkatan pertumbuhan overium dan folikel (Robinson et al., 1993). Ayam yang memperoleh taraf protein tinggi (T3 dan T2) memiliki ovarium dan oviduk nyata lebih berat (P < 0,05) dibandingkan ayam yang memperoleh taraf protein rendah (T1).

Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa taraf protein ransum tidak berpengaruh nyata terhadap folikel yang belum dewasa (‘white yolk’). Hal ini sebagai akibat bahwa folikel yang belum dewasa ter susun dari lemak n etral. Setelah berkembang mencapai hirarki tertentu barulah terjadi deposisi protein dan berkembang menjadi folikel dewasa (‘yellow yolk’). Oleh karena itu taraf protein ransum tidak berpengaruh terhadap jumlah folikel yang belum dewasa.

Performan Saat Awal Peneluran

Hasil penelitian menunjukkan bahwa taraf protein ransum berpengaruh nyata terhadap umur

awal peneluran dan berat badan saat awal peneluran (P < 0,05). Meningkatnya taraf protein ransum mengakibatkan awal peneluran yang nyata lebih dini pada T3 (137,50 hari), dibandingkan T2 (141,73 hari) dan T1 (145,42 hari). Awal peneluran yang lebih dini dicapai pada berat badan yang nyata lebih rendah (P < 0,05) pada T3 (1556,90 g) dibandingkan T2 (1577,33 g) dan T1 (1592,15 g).

Terbatasnya konsumsi protein pada saat periode pertumbuhan dapat mengakibatkan awal pen elur an ter h ambat kar en a ter lambatn ya pertumbuhan jaringan dan terbatasnya persediaan cadangan material untuk pembentukan telur pertama (Leeson dan Summers, 1991; Yu et al., 1992; Forbes dan Shariatmadari, 1994; Etches, 1996).

Pada saat awal peneluran, walaupun berat badan T3 lebih rendah tetapi pada saat itu telah men capai kon disi tubuh lebih dewasa yan g ditunjukkan dengan kandungan protein tubuh yang lebih tinggi sehingga telah mencapai kebutuhan un tuk ber lan gsun gn ya pen elur an per tama. Sementara pada saat itu ayam yang memperoleh taraf protein rendah belum cukup dewasa karena belum mencapai kebutuhan protein tubuh guna tercapainya peneluran pertama. Oleh karena itu saat peneluran pertama mundur sampai tercapai kandungan protein tubuh telah mencukupi untuk berlangsungnya peneluran, tetapi dengan timbunan lemak abdomen yang meningkat, sehingga berat badan meningkat

Tabel 3. Pengaruh Perlakuan Terhadap Pertumbuhan Organ Reproduksi Saat Peneluran Pertama. Ransum Perlakuan

Parameter T1 (12 %) T2 (15 %) T3 (18 %)

Berat Relatif Ovarium (%) 3,19 a 3,86 b 3,73 b

Berat Relatif Oviduk (%) 2,12 a 2,61 b 2,62 b

Jumlah Folikel Dewasa (butir) 7,63 a 8,94 b 8,95 b

Jumlah Folikel Belum Dewasa (butir) 9,31 a 10,31 a 9,88 a

Huruf berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P < 0,05).

Tabel 4. Pengaruh Perlakuan Terhadap Karakteristik Awal Peneluran

Ransum Perlakuan

Parameter T1 (12 %) T2 (15 %) T3 (18 %)

Umur awal bertelur (hari) 145,42a 141,73a 137,50b

Berat badan awal bertelur (gram) 1592,15a 1577,33b 1556,90c

(5)

Kualitas Telur Saat Awal Peneluran

Hasil penelitian menunjukkan bahwa taraf protein ransum tidak berpengaruh nyata (P > 0,05) terhadap kualitas telur pada saat pubertas, kecuali Haugh Unit menunjukkan perbedaan nyata ( P < 0,05). Taraf protein yang tinggi (T3) nyata memiliki Haugh Unit lebih baik dibandingkan taraf protein rendah (T1), sedangkan taraf protein yang sedang (T2) tidak menunjukkan perbedaan baik dengan T1 maupun T3.

Pada saat peneluran pertama walaupun pada taraf protein tinggi dicapai pada umur yang lebih muda dan berat badan lebih rendah tetapi tidak berdampak kepada menurunnya kualitas telur. Hal ini sebagai akibat kondisi tubuh yang telah cukup dewasa yang ditandai dengan tercapainya berat badan optimal yang terdiri dari komponen non lemak dan telah tercapainya cadangan material guna pembentukkan telur.

Komponen utama telur adalah protein. Oleh karena itu konsumsi protein sangat menentukan besar telur maupun kekentalan telur (Scot et al., 1982). Hasil penelitian ini sejalan dengan beberapa penelitian terdahulu bahwa taraf protein ransum yang meningkat mengakibatkan meningkatnya protein albumen terutama albumen ken tal sehingga berdampak kepada peningkatan nilai Haugh Unit (Gardner dan Young, 1972; Kling et al, 1985; Leeson dan Caston, 1997).

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa :

1. Taraf protein ransum yang meningkat ber pen gar uh terh adap per cepatan pertumbuhan organ reproduksi, sehingga umur awal peneluran menjadi lebih dini. 2. Taraf protein yang meningkat walaupun

berdampak kepada awal peneluran yang

Tabel 5. Pengaruh Perlakuan Terhadap Kualitas Telur Saat Pubertas

Ransum Perlakuan

Parameter T1 (12 %) T2 (15 %) T3 (18 %)

Berat Telur (gram) 43,90 43,66 43,69

Tebal kerabang (mm) 0,324 0,318 0,324

Haugh Unit 96,87 a 97,45 ab 98,21 b

Shape Index 0,711 0,722 0,722

Huruf berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P < 0,05).

lebih dini dengan berat badan yang lebih rendah namun tidak berdampak buruk kepada kualitas telur.

Dari kesimpulan diatas dapat disarankan bahwa :

1. Pada saat periode pertumbuhan umur 12-18 minggu dianjurkan digunakan taraf protein tidak kurang dari 15 %

2. Walaupun secara biologis pen gar uh peningkatan taraf protein menunjukkan pengaruh yang positif, tetapi perlu diamati pula lebih lanjut mengenai dampaknya terhadap performan setelah memasuki per iode pr oduksi, seh in gga dapat dipertanggung jawabkan secara ekonomis.

DAFTAR PUSTAKA

Etches, R.J. 1996. Reproduction in Poultry. University Press. Cambridge.

Forbes, J.M. and F. Shariatmadari. 1994. Diet selection by poultry. Worl’s Poultry Sci. J. 50:7-24.

Gardner, F.A.. and L.C. Young. 1972. The influence of dietary protein and energy levels on the protein and lipid content of the Henss egg. Poultry Sci. 49: 1687-1692.

Gilbert, A.B. 1971. The Female Reproductive Effort. In : Physiology and Biochemistry of the Domestic Fowl. D.J. Bell and B.M. Freeman. Academic Press. London, New York. Leeson, S. and J.D. Summers. 1991. Commercial

Poultry Nutrition. University Books. Guelph. Ontario. Canada.

(6)

Leeson, S. and L. Caston. 1997. A problem with characteristics of the thin albumen in laying hens. Poultry Sci. 76: 1332-1336.

McMillan, I., R.W. Fairfull, R.S. Gowe and J.S. Gavor a. 1990. Eviden ce for gen etic improvement of layer stock of chickens during 1950-80. World’s Poultry Sci. J. 46:235-245. National Research Council. 1984. Nutrient

Requirements of Poultry. 8 th. Rev. Ed. National Academy of Science. Washington D.C.

National Research Council. 1994. Nutrient Requirements of Poultry. 9 th. Rev. Ed. National Academy of Science. Washington D.C.

North, M.O. and D.B. Bell. 1990. Commercial Chickens Production Manual. Avi Publishing Company, Inc. Westport. Connecticut.

Robinson, F.E., J.L. Wilson, M.U. Yu, G.M. Fasenko and R.T. Hardin. 1993. The relatioship between body weigh t and repr oductive eficiency in meat type chickens. Poultry Sci. 72: 912-922.

Scott, M.L., M.C. Nesheim and R.J. Young. 1982. Nutrition of the Chicken. M.L. Scott and Assiciate. Ithaca. New York.

Summers, J.D. and S. Leeson. 1994. Laying hens performance as influence by protein intake to sixteen weeks of age and body weight at point of lay. Poultry Sci. 73: 495-501.

Yu, M.W., F.E. Robinson, R.G. Charles and R. Weingard. 1992. Effect of feed allowance during rearing and breeding on female Broiler breeder s. 2. Ovarian mor phology and production. Poultry Sci. 71: 1750-1761.

Referensi

Dokumen terkait

Dasar kewenangan Kepolisian melakukan upaya-upaya non penal dalam menangani perjudian dapat dihubungkan dengan tugas dan kewenangan anggota Kepolisian sebagaimana

banjir sepaha orang dewasa di jl. budi mulia gunung sahari @petajkt #banjir. budi mulia gunung sahari” adalah satu set nama lokasi. POS mengidentifikasinya sebagai PREP NN

4 Tersedianya regulasi daerah tentang administrasi kependudukan Tidak semua permasalahan dalam pelayanan administrasi kependudukan dapat di atas dengan regulasi yang

Penelitian ini mengkaji tentang model pemberdayaan perempuan masyarakat pesisir sebagai upaya dari implementasi Program Pemberdayaan Keluarga Fakir Miskin (P2KFM),

“Di seputar kawasan stadion Maguwoharjo ada dua lokasi yang dapat dihubungkan sehingga menjadi lokasi wisata yang terpadu yaitu: embung Tambakboyo dan situs candi

Pemilihan metode ini didasarkan pada ketiga kriteria tersebut, yaitu: (a) tipe pertanyaan dalam penelitian ini dimulai dengan kata “bagaimana”, (b) sedikitnya

Berdasarkan hasil yang diperoleh, penelitian ini menunjukkan bahwa : (1) Kemampuan guru dalam menulis karya ilmiah yaitu mampu menulis karya ilmiah dengan jenis

Skripsi 2013.Latar belakang dari penelitian ini adalahanak suka berbicara kotor atau tidak sopan, kebanyakan anak yang tidak mau berterimakasih saat menerima