• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peluang dan Tantangan Perkembangan Regul

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Peluang dan Tantangan Perkembangan Regul"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Lembaga perbankan merupakan salah satu tulang punggung perkeonomian di suatu negara. Di Indonesia, jumlah bank sudah sangat menggeliat, tepatnya 240 bank sebelum dilakukan likuidasi tahap pertama pada tahun 1999. Namun dengan belum berakhirnya krisis moneter, ternyata semakin banyak saja bank yang bermasalah. Maka, akibatnya adalah bertambah banyak pula bank yang dilikuidasi. Salah satu masalah yang muncul ialah bank tengah menghadapi negative spread (suku bunga tabungan lebih besar dari suku bunga pinjaman), sehingga bank sulit mendapatkan keuntungan. Oleh sebab itu, apabila sistem bunga menimbulkan negative spread,

maka bank dapat mencari solusi lain, seperti sistem bagi hasil yang ditawarkan oleh bank syariah.1

Saat tengah memasuki periode 1990-an, sektor keuangan di Indonesia semakin marak dengan hadirnya lembaga-lembaga keuangan yang beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip ajaran islam atau syariah Islam. Meskipun NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) merupakan negara dengan penduduk yang mayoritas beragama muslim, tetapi Indonesia bukanlah negara pertama yang menerapkan lembaga keuangan berlandaskan prinsip syariah. Perbankan syariah merupakan institusi/lembaga keuangan yang tumbuh dan berkembang di indonesia sejak 16 tahun yang lalu diawali dengan berdirinya Bank Mualamat Indonesia pada 1 Mei 1992. Pada tiga tahun terakhir ini, perkembangan bank syariah relatif sangat cepat. Hal ini dapat dilihat dari beberapa indikator, baik indikator keuangan, seperti jumlah aktiva, dana pihak ketiga (DPK), volume pembiayaan, maupun dilihat dari kelembagaan, dan jaringan kantor bank.2 Bahkan, dari data statistik perbankan

1 Mandala Manurung dan Pratama Rahardja, Uang, Perbankan, dan Ekonomi Moneter (Kajian Kontekstual Indonesia), (Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2004), 222.

(2)

syariah di Indonesia yang dihimpun oleh Bank Indonesia, mengalami peningkatan yang begitu luar biasa hingga mencapai ribuan. Berikut ini adalah tabel perkembangan jumlah perbankan syariah di Indonesia hingga bulan Agustus tahun 2013.

Sumber: Bank Indonesia, Data Statistik Perbankan Syariah Agustus 2013

Dari data di atas, terlihat begitu jelas bahwa tiap bulan di tahun 2013 ini saja, jumlah perbankan syariah rata-rata mengalami peningkatan. Mengingat jumlah perbankan syariah (PS) di Indonesia begitu menjamur, maka dukungan berupa regulasi yang menjadi pijakan dasar (fundamental) sangatlah diperlukan untuk melegalkan eksistensi PS di Indonesia. Peraturan atau regulasi yang memuat perbankan syariah tidaklah serta merta ada begitu saja. Dalam penyusunannyapun membutuhkan waktu yang lama, mulai dari tahun 1988 hingga tahun 2008. Butuh waktu lebih dari 10 tahun, tepatnya 20 tahun untuk merampungkan dan meyempurnakan regulasi tentang perbankan syariah. Maka dari itu, tentu banyak sekali peluang serta tantangan yang pasti dihadapi oleh perbankan syariah setelah lahirnya regulasi yang baru dan resmi (tahun 2008).

Berdasarkan pemaparan di atas, maka penyusunpun berinisisatif untuk menyusun sebuah makalah yang berjudul “Peluang dan Tantangan Perkembangan Regulasi Perbankan Syairah di Indonesia”. Penjelasan lebih detail dipaparkan penyusun dalam bab pembahasan melalui subbab-subbabnya.

(3)

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka rumusan masalah yang dibahas dalam makalah yang berjudul “Peluang dan Tantangan Perkembangan Regulasi Perbankan Syairah di Indonesia” ini adalah:

a. Bagaimana perkembangan perbankan syariah?

b. Bagaimana periodisasi regulasi perbankan syariah di Indonesia?

c. Bagaimana peluang dan tantangan pasca regulasi UU PS tahun 2008? d. Bagaimana rasionalitas dan evaluasi terhadap UU PS tahun 2008?

C. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan dalam pembuatan makalah yang berjudul “Peluang dan Tantangan Perkembangan Regulasi Perbankan Syairah di Indonesia” adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui perkembangan perbankan syariah

b.

Untuk mengetahui periodisasi regulasi perbankan syariah di Indonesia

c.

Untuk mengetahui peluang dan tantangan pasca regulasi UU PS tahun 2008

d.

Untuk mengetahui rasionalitas dan evaluasi terhadap UU PS tahun 2008

D. Manfaat

Adapun manfaat yang diperoleh dari pembuatan makalah yang berjudul

“Peluang dan Tantangan Perkembangan Regulasi Perbankan Syairah di Indonesia” diharapkan dapat memberikan manfaat bagi beberapa pihak, antara lain:

a. Kegunaan Teoritis

Hasil makalah ini dapat berguna bagi siapapun yang ingin memperdalam wawasan dalam dunia perbankan, khususnya perkembangan regulasi tentang dunia perbankan syariah.

(4)

Adanya makalah ini dapat digunakan oleh para akademisi maupun para bankir serta para praktisi di dunia perbankan syariah yang belum tahu atau ingin mengetahui lebih dalam tentang kajian perkembangan regulasi Undang-Undang Perbankan Syariah mulai dari era 1900-an hingga resmi tersempurnakan pada tahun 2008.

BAB II

PEMBAHASAN

(5)

Gagasan mengenai bank yang menggunakan sistem bagi hasil telah muncul sejak lama, ditandani dengan banyaknya pemikir-pemikir muslim yang menulis tentang keberadaan bank syariah, mislanya Anwar Qureshi (1946), Naiem Siddiqi (1948), dan Mahmud Ahmad (1952). Kemudian, uraian yang lebih terperinci tentang gagasan itu ditulis oleh Mawdudi (1961). Demikian juga dengan tulisan-tulisan Muhammad Hamidullah pada tahun 1944, 1955, 1957, dan 1962, bisa dikategorikan sebagai gagasan pendahuhlu mengenai perbankan Islam.3

Dalam perkembangannya, eksistensi perbankan syariah tidaklah lepas dari sebuah sejarah, baik di dunia maupun di Indonesia. Maka dari itu, menurut Duddy Roesmara Donna perkembangan perbankan syariah dapat dibagi menjadi dua, yaitu:4

1. Perkembangan perbankan syariah di dunia antara tahun 1940-1980

Tahun Keterangan

1940 Rintisan Bank Syariah di Malaysia dan Pakistan, untuk mengelola dana jamaah haji secara non-konvensional.

1963 Berdirinya Mit Ghamr Rural Bank (Local Saving Bank) di Mesir oleh Dr. Ahmad el-Najar. Permodalan dibantu oleh Raja Faisal dari Arab Saudi.

1967 Mit Ghamr ditutup karena alasan politis sehingga diambil alih oleh National Bank of Egypt (berprinsip bunga).

1969 Muncul gagasan koilektif pembentukan Bank Syariah pada Konferensi Negara-Negara Islam se-dunia di Malaysia.

1970 Delegasi Mesir mengajukan proposal pendirian Bank Syariah apada sidang Menteri Luar Negeri Negara-Negara OKI di

3 Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi, Ed.II. (Yogyakarta: Ekonisia Kampus Fakultas Ekonomi UII, 2004), 28.

(6)

Karachi.

1972 Berdiri kembali sistem bank tanpa bunga yang bersifat sosial di Mesir, yaitu Nasser Social Bank.

Maret 1972 Usulan melalui proposal dari delegasi Mesir diagendakan kembali dan memutuskan membentuk komisi khusus menagani masalah ekonomi dan keuangan.

Juli 1973 Para ahli yangmewakili Negara Islam penghasil minyak membicarakn pendirian Bank Syariah dan terumuskanlah Anggaran Dasar dan Anggran Rumah Tangga.

Mei 1974 Pembahasan AD/ART yang telah dirumuskan.

1974 Berdiri Islamic Development Bank (IDB) dengan modal awal 2 miliar dinar atau sama dengan 2 miliar SDR (Special Drawing Rights) IMF.

Awal 1980-an Bermunculan lembaga keuangan syariah di Mesir, Sudan, negara-negara di wilyah Teluk, Malaysia, Pakistan, Inggris, Denmark, Bahmas, Swiss, dan Luxemburg.

Pada tahun 1970-an, tepatnya tahun 1975 pasca didirikannya IDB negara-negara di wilayah Timur Tengah telah mendirikan sejumlah Bank Islam, antara lain

Dubai Islamic Bank dan Faisal Islamic Bank, serta disusul Bahrain Islamic Bank

pada tahun 1979. Pada periode 1980-an juga telah berdiri Bank Islam di kawasan Asia Tenggara. Beberapa diantaranya adalah Bank Islam Malaysia Berhad (1983) dan sejumlah BPR Syariah di Indonesia. Hingga dewasa ini, ada tiga negara yang menerapkan sepenuhnya ekonomi Islam, termasuk dalam perbakan syariah. Ketiga negara tersebut adalah Pakistan (1962), Iran (1982), dan Sudan. Sudan menerapkan sistem ekonomi Islam dalam seluruh kegiatan perbankan di negaranya pada bulan Juli tahun 1994.5

(7)

2. Perkembangan perbankan syariah di Indonesia antara tahun 1970-2003

Tahun Keterangan

1970-an Muncul gagasan pendirian Bank Syariah.

1988 Muncul lagi gagasan Bank Syariah kerena pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Oktober (Pakto) yang berisi liberalisasi industri perbankan. Namun, gagasan itu deadlock, karena tidak ada perangkat hukum yang dapat menjadi rujukan. Akan tetapi, setelah dikeluarkannya PAKTO 1988, kemudian dimulailah pendirian Bank-Bank Perkreditan Rakyat Syariah di beberapa daerah di Indonesia. BPRS yang pertama kali memperoleh izin usaha adalah Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS), Berkah Amal Sejahtera, dan BPRS Dana Mardhatillah pada tanggal 19 Agustus 1991. Kemudian, disusul oleh BPRS Amana Rabaniah pada tanggal 24 Oktober di tahun yang sama. Ketiga BPRS tersebut beroperasi di Bandung, dan kemudian berdiri BPRS Hereukat pada tanggal 10 Nopember tahun 1991 di Aceh.6

Pembahasan hasil lokakarya pada Munas IV MUI di Jakarta dan terbentuklah Kelompok Kerja Pembentukan Bank Syariah.

01 November 1991

Penandatanganan Akte Pendirian Bank Muamalah Indonesia dan terkumpullah komitmen pembelian saham sebanyak 84 miliar.

03 November 1991

Silaturrahim dengan presiden di Istana Bogor dan terpenuhilah komitmen modal setor awal sebesar Rp 106.126.382.000

01 Mei 1992 Operasional awal Bank Muamalat Indonesia (BMI)

(8)

1992 Pengakomodasian perbankan dengan prinsip bagi hasil pada Undang-Undang No.7 Tahun 1992 tentang perbankan.

1992 Pengenalan dual banking system.

30 Oktober 1992

Peraturan Pemerintah (PP) No. 72 Tahun 1992 tentang bank berdasarkan prinsip bagi hasil.

29 Februari 1993

PP tersebut dijabarkan secara terperinci dengan keluarnya Surat Edaran Bank Indonesia No. 25/4/BPPP.

1994 BMI men-sponsori berdirinya Asuransi Syariah, Syarikat Takaful Indonesia dan menjadi salah satu pemegang sahamnya.

1997 BMI men-sponsori lokakarya ulama tentang Reksadana Syariah yang diikuti operasionalnya dengan dikelola oleh PT Danareksa Investment Management.

1998 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan, merubah Undang-Undang No. 7 tahun 1992 yang mengakomodasi perkembangan perbankan secara lebih luas.

1999 Kebijakan moneter berdasarkan prinsip syariah

2000 Keluarnya regulasi operasional dan kelembagaan.

2001 Pendirian Biro Perbankan Syariah Bank Indonesia.

September 2003 Perubahan Biro Perbankan Syariah menjadi Direktorat Perbankan Syariah BI.

(9)

kegiatan usaha perbankannya, baik secara konvensional maupun berdasarkan prinsip syariah.7 Hal ini tentu memberikan angin segar bagi bank-bank yang sudah berdiri di

Indoensia yang dahulunya menggunakan konsep non-syariah, saat ini bisa melaksanakan kedua konsep itu (dual banking system). Oleh sebab itu, di tahun 2013 ini sudah banyak sekali bank-bank yang dahulunya konvesional, sekarang mempunyai KCS. Bank-bank itu antra lain Bank Syariah Mandiri (BSM, dari Bank Mandiri), Bank Syariah Bukopin (BSB, dari Bank Bukopin), CIMB Niaga Syariah (dari CIMB Niaga), BRI Syariah (dari BRI), BNI Syariah (dari BNI), Bank Jatim Syariah (dari Bank Jatim), dan masih banyak lagi.

Di bawah ini, akan disajikan data statistik yang dihimpun oleh Bank Indonesia mengenai aset, DPK, dan financing (pembiayaan) yang dimiliki oleh Bank Syariah (BUS dan UUS) dan BPRS hingga bulan agustus 2013.

Sumber: Bank Indonesia, Data Statistik Perbankan Syariah Agustus 2013

(10)

Sumber: Bank Indonesia, Data Statistik Perbankan Syariah Agustus 2013

Kedua grafik di atas, memberikan gambaran bahwa selama 1 tahun terahkir (mulai dari Agustus 2012 hingga Agustus 2013), jumlah aset, DPK, dan PYD yang dimiliki oleh BS (BUS dan UUS) dan BPRS tidak mengalami defisit. Artinya, keberadaan Perbankan Syariah memberikan surplus yang tinggi dan tidak ada kerugian di dalamnya. Sehingga, hal ini tentu memberikan profit yang luar biasa bagi perbankan syariah itu sendiri. Dari grafik di atas, nominal yang paling tinggi adalah aset yang dilimiki oleh Bank Syariah hingga bulan Agustus 2013 mencapai lebih dari 200 miliar rupiah, ini dikarena tingkat DPK dan PYD-nya juga tinggi (di atas 150 miliar). Tentu saja, hal ini berpengaruh positif terhadap total aset yang dimiliki Bank Syariah. Dari grafik yang ditunjukkan oleh BPRS, aset pada bulan Agustus 2013 mengalami peningkatan yang begitu drastis dari setahun sebelumnya dengan selisih lebih dari 1 juta rupiah.

(11)

fungsi utama dari perbankan itu sendiri yaitu sebagai lembaga yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kembali kemasyarakat dalam bentuk pembiayaan. Fungsi inilah yang lazim disebut sebagai intermediasi keuangan (financial intermediary function). Oleh karena itu, perbankan adalah salah satu lembaga perekonomian yang memberikan sumbangsih yang cukup besar untuk kemakmuran rakyat.8

B. Periodisasi Regulasi Perbankan Syariah di Indonesia

Keberadaan lembaga keuangan syariah merupakan sistem yang telah lama diharapkan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, terutama umat Islam Indonesia. Umat Islam Indonesia merindukan layanan jasa keuangan dan perbankan yang sesuai dengan syariat Islam, khususnya berkaitan dengan pelanggaran praktik riba, jauh dari kegiatan yang spekulatif yang serupa dengan perjudian, ketidakjelasan, pelanggaran prinsip keadilan dalam bertransaksi, serta keharusan penyaluran pembiayaan dan investasi pada kegiatan usaha yang etis dan benar secara syariah.9 Sebuah kegiatan perbankan yang jauh dari unsur MAGHRIB (Maisir,

Gharar, Riba) tentu akan menyelamatkan kehidupan kita di dunia dan di akhirat kelak.

Menurut Miranda Gultom sekurang-kurangnya terdapat lima faktor yang mendukung sistem ekonomi dan keuangan syariah di indonesia:10

1. Fatwa Majelis Ulama Indonesia bahwa bunga bank adalah riba dan haram. 2. Trend kesadaran Umat Islam yang semakin meningkat, khususnya di kalangan

masyarakat kelas menengah ke atas.

3. Sistem ekonomi syariah berhasil menunjukkan keunggulannya, teruji pada saat krisis ekonomi.

4. UU Perbankan Syariah akan menjadi payung hukum bagi perbankan syariah di indonesia.

8 Amiruddin K, “Perbankan Syariah Dalam Perspektif Hukum,” Jurnal Al-Risalah, Vol. 11 No.1, (Mei, 2011), 170.

9 _________, ”Perkembangan Regulasi Perbankan Syariah di Indonesia: Peluang dan Tantangan,” Jurnal Ilmu Hukum Syiar Madani, Vol. XI No. 1, (Maret, 2009), 22.

(12)

5. Tuntutan integrasi Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang saling menopang. Sejak Indonesia merdeka, telah disusun tiga undang-undang yang mengatur tentang Perbankan, yaitu UU No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok–pokok Perbankan, UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dan UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Selain peraturan dalam bentuk Undang-Undang juga telah dikeluarkan berbagai Paket Kebijaksanaan.11 Di bawah

ini adalah uraian mengenai periodisasi regulasi atau Undang-Undang Perbankan Syariah di Indonesia yang di awali dengan adanya regulasi Perbankan.

1. Periode Undang-Undang No. 14 Tahun 1967

Pengaturan tentang perbankan di indonesia sudah dimulai sejak zaman penjajahan Belanda. Di antara lembaga keuangan yang telah berdiri sejak zaman penjajahan tersebut, yaitu De Javashe Bank N. V, tanggal 10 Oktober 182712

yang kemudian dikeluarkan Undang-Undang De Jaashe Bank Wet 1992.13 Bank

inilah yang kemudian menjadi Bank Indonesia, setelah melalui proses nasionalisasi pada tahun 1951, dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 24 Tahun 1951 yang mulai berlaku tanggal 6 Desember 1951.

Sesudah indonesia merdeka regulasi perbankan secara sistematis dimulai pada tahun 1967 dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan. Undang-undang ini mengatur secara komprehensif sistem perbankan yang berlaku pada masa itu. Namun demikian, undang-undang ini belum mengatur tentang bank syariah.14

2. Periode Pakto 1988

Pada tahun 1988, Pemerintah memandang perlu untuk membuka peluang bisnis perbankan seluas-luasnya guna memobilisasi dana masyarakat untuk menunjang pembangunan. Maka, dikeluarkanlah Paket Kebijakan Pemerintah Bulan Oktober Tahun 1988 yang berisi tentang liberalisasi perbankan yang

11 Menurut Edward W. Reed dan Edward K. Gil dalam Ibid., 23. 12 Menurut J.E. Panglaykim-Pangestu dalam Ibid.

(13)

memungkinkan pendirian bank-bank baru selain bank-bank yang telah ada. Setelah dikeluarkannya PAKTO 1988, kemudian dimulailah pendirian Bank-bank Perkreditan Rakyat Syariah di beberapa daerah di Indonesia. Yang pertama kali memperoleh izin usaha adalah bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS), Berkah Amal Sejahtera, dan BPRS Dana Mardhatillah pada tanggal 19 Agustus 1991. Kemudian, disusul oleh BPRS Amana Rabaniah pada tanggal 24 Oktober di tahun yang sama. Ketiga BPRS tersebut beroperasi di Bandung, dan kemudian berdiri BPRS Hereukat pada tanggal 10 Nopember tahun 1991 di Aceh.15

3. Periode Undang-Undang No. 7 Tahun 1992

Dalam rangka menyempurnakan tata perbankan nasional, dikeluarkan UU No. 7 tahun 1992 sebagai pengganti UU No. 14 Tahun 1967. Melalui UU No. 7 Tahun 1992 ditempuh langkah-langkah sebagai berikut, antara lain:16

1) Penyederhanaan jenis bank, menjadi Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) serta memperjelas ruang lingkup dan batas kegiatan yang dapat diselenggarakannya.

2) Persyaratan pokok untuk mendirikan suatu bank diatur secara rinci, sehingga ketentuan pelaksanaan yang berkaitan dengan kegiatan perbankan lebih jelas dan lebih terarah.

3) Peningkatan perlindungan dana masyarakat yang dipercayakan pada lembaga perbankan melalui penerapan prinsip kehati-hatian dan pemenuhan ketentuan persyaratan kesehatan bank.

4) Peningkatan profesionalisme para pelaku di bidang perbankan.

5) Perluasan kesempatan untuk menyelenggarakan kegiatan bidang perbankan secara sehat dan bertanggungjawab sekaligus mencegah terjadinya praktek-praktek yang merugikan kepentingan masyarakat luas.

15Zainul Arifin dalam Amiruddin K, “Perbankan Syariah Dalam Perspektif Hukum,” Jurnal Al-Risalah, Vol. 11 No.1, (Mei, 2011), 174.

(14)

Selain penyempurnaan-penyempurnaan di atas, Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, memperkenalkan sistem Perbankan Bagi Hasil. Ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 1 angka (12), Pasal 6 huruf (m), dan Pasal 13 huruf (c). Secara lengkap pasal-pasal tersebut berbunyi:

Pasal 1 angka (12) :

“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan.”

Pasal 6 tentang Usaha Bank Umum Pasal 6 huruf (m) :

“Menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah”

Pasal 13 tentang Usaha BPR Pasal 13 huruf (c) :

“Menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah”.

Ketentuan tentang bagi hasil tersebut ditindaklanjuti dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Pasal 2 ayat 1 PP tersebut menetapkan bahwa: “prinsip bagi hasil adalah prinsip bagi hasil berdasarkan syarih” (harus sesuai dengan syariat Islam).

Selanjutnya Pasal 6 PP tersebut secara tegas menetapkan:

1) Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil.

(15)

Ketentuan tersebut selanjutnya dijabarkan lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia yang pada pokoknya menetapkan hal-hal antara lain:

a. Bahwa bank berdasarkan prinsip bagi hasil adalah bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat yang dilakukan usaha semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil.

b. Prinsip bagi hasil yang dimaksudkan adalah prinsip bagi hasil yang berdasarkan syariah.

c. Bank berdasarkan prinsip bagi hasil wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS).

d. Bank umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang berdasarkan prinsip bagi hasil. Sebaliknya, Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang melakukan usaha tidak dengan prinsip bagi hasil (konvensional), tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil.

Dari uraian di atas, tampak bahwa UU No. 7 Tahun 1992, PP No. 72 tahun 1992 dan beberapa Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) telah mulai mengatur tentang bank syariah walaupun tidak menggunakan istilah bank syariah akan tetapi menggunakan istilah ‘bank berdasarkan prinsip bagi hasil’.

4. Periode Undang-Undang No. 10 Tahun 1998

(16)

1) Peralihan kewenangan dan pemberian izin kepada Bank Indonesia yang sebelumnnya menjadi kewenangan Menteri Keuangan.

2) Perlunya konsultasi kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam rangka pembentukan badan khusus.

3) Peningkatan sanksi pidana atas pelanggaran rahasia bank.

4) Peningkatan peranan bank umum dalam melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.

5) Ketentuan mengenai kemungkinan bank asing sebagai mitra strategis dan pemegang saham bank umum.

6) Peranan Badan Pengawas Keuangan. 7) Pendefinisian lembaga penjamin simpanan. 8) Penegasan sifat sementara bagi badan khusus.

9) Pencantuman persyaratan analisis mengenai dampak lingkungan dalam perjanjian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.

10) Perubahan ancaman sanksi pidana berupa peningkatan ancaman hukuman.

Selain perubahan tersebut di atas, pada undang-undang ini terdapat beberapa perubahan yang memberikan peluang yang lebih besar bagi pengembangan perbankan syariah di Indonesia. Undang-undang ini memberikan penegasan terhadap konsep perbankan islam dengan mengubah penyebutan “Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil” pada Undang-Undang No. 7 Tahun 1992, menjadi “Bank Berdasarkan Prinsip Syariah”. Juga terdapat penguatan kedudukan Hukum Islam bidang perikatan dalam tatanan hukum positif. Pasal 1 ayat (13) ini menyebutkan sebagai berikut :

(17)

murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa Iqtina’).”

Masalah yang diatur dalam undang-undang ini selain berupa penegasan terhadap eksistensi Perbankan Syariah di Indonesia juga menyangkut kelembagaan dan operasional Bank Syariah. Sebagai pelaksanaan dari undang-undang ini, kemudian dikeluarkannya sejumlah ketentuan pelaksanaan dalam bentuk Surat Keputusan (SK) Direksi Bank Indonesia yang memberikan landasan hukum yang lebih kuat dan kesempatan yang luas bagi pengembangan perbankan Syariah di Indonesia. Pada masa awal sebagai pengaturan lebih lanjut tentang ketentuan operasional bank berdasarkan prinsip-prinsip syariah, dikeluarkanlah SK Direksi BI No. 32/34/KEP//DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Umum berdasarkan prinsip syariah, dan SK Direksi BI No. 32/36/KEP/DIR tanggal 12 1999 tentang Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan Prinsip syaraiah. Kedua SK tersebut kemudian diganti dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI) yaitu untuk bank umum syariah diatur oleh PBI. No. 6/24//PBI/2004 tanggal 14 Oktober 2004 tentang Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah jo PBI/No. 7/PBI/2005 tanggal 25 September 2005 tentang perubahan atas PBI No. 6/24/PBI No. 6/24/PBI/2004 tentang bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, dan untuk bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) diatur dengan PBI No. 6//17/PBI/2004 tanggal satu juli 2004 tentang Bank Perkereditan Rakyat berdasarkan prinsip syariah. Pemberlakuan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 ini merupakan momen pengembangan perbankan syariah di Indonesia.17

Pada periode Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 ini juga dapat dilihat adanya beberapa permasalahan hukum yang masih harus diatur lebih lanjut dalam pengaturan tersendiri yang perlu dipertimbangkan dalam regulasi perbankan nasional yang akan datang. Pada masa ini operasional perbankan

(18)

syariah masih mengacu pada ketentuan fatwa Majelis Ulama Indonesia. Kedudukan fatwa belum mendapat pengakuan yang kuat dalam tata urutan peraturan perundang-undangan, sehingga dalam pengaturan ke depan, perlu pula dipertimbangkan pengukuhan kedudukan fatwa dalam tata urutan perundang-undangan Indonesia.

5. Pengaturan Bank Syariah melalui UU No. 21 Tahun 2008, Perbankan Syariah

Setelah melalui perjuangan panjang dalam mewujudkan impian-impian para ulama dan cedikiawan muslim Indonesia, akhirnya Perbankan syariah juga lahir melalui perjuangan panjang Majelis Ulama Indonesia dan Cendikiawan Muslim tersebut. Meskipun Perjuangan para ulama melalui MUI telah berhasil mewujudkan Bank Syariah melalui UU No.7 Tahun 1992 kemudian diubah menjadi UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, namun para mujahid-mujahid perbankan dan ekonomi syariah itu tidak cukup puas, sehingga mereka tetap berjuang kembali mengajukan RUU Perbankan Syariah melaui Dewan Syariah Nasional (DSN) bersama dengan ASBSINDO, tahun 2007 kepada Pemerintah kemudian dilanjutkan ke DPR RI untuk disahkan menjadi sebuah Undang-Undang. Akhirnya RUU Perbankan Syariah dapat disetujui oleh DPR RI pada 07 Mei 2008 menjadi sebuah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, disahkan pada 17 Juni 2008 dan baru diundangkan di Jakarta pada 16 Juli 2008. Dalam Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah mempunyai pengertian yang berbeda dengan undang-undang perbankan sebelumnya. Adapun pengertian Bank Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah,mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. UU ini terdiri dari XIII Bab, Pasal 70. Undang-Undang ini mengatur tentang beberapa hal, yaitu:

1) Jenis Usaha Bank Syariah 2) Ketentuan pelaksanaan syariah 3) Kelayakan usaha

(19)

5) Larangan bagi bank syariah dan Unit Usaha Syariah 6) Kepatuhan Syariah

Di bawah ini ada dua tabel mengenai Bab-bab yang terdapat dalam RUU PS hingga menjadi UU PS.18

(20)

Dengan demikian, naskah RUU PS usulan pemerintah secara umum lebih ramping dibandingkan naskah usulan DPR yaitu terdiri dari 13 bab dan 68 pasal (lihat tabel 1). Yang menarik, UU PS yang disahkan sangat mirip dengan RUU PS usulan pemerintah, baik dari sisi struktur maupun substansi (lihat tabel 2). Dengan katalain, walau UU PS adalah UU inisiatif DPR, dan telahmasuk secara resmi di DPR sejak pertengahan 2005, namun pemerintah ternyata jauh lebih dominan dalam pembahasan RUU yang ternyata berlangsung relatif lancar dan singkat.

(21)

Komite Pengawas Syariah di Bank Indonesia (BI). Ketiga, menjamin “stabilitas sistem”. Hal ini terlihat dari diadopsi-nya 25 Basel Core Principles for Effective Banking Supervision seperti ketentuan tentang pendirian dan kepemilikan, pemegang saham npengendali, tata kelola, prinsip kehati-hatian, kewajiban pengelolaan risiko serta pembinaan dan pengawasan. Semangat ‘stabilitas sistem’ ini semakin terlihat jelas dengan adanya ketentuan tentang sanksi administratif dan ketentuan pidana. Beberapa aspek penting lain dalam UU PS nampak sudah berada pada arah yang tepat antara lain, [1] ketentuan bahwa bank konvensional dapat dikonversi menjadi bank syariah dan larangan bank syariah dan BPRS dikonversi menjadi bank konvensional atau BPR; [2] mengizinkan kepemilikan asing secara kemitraan dengan investor domestik; [3] mendorong spin- off UUS menjadi BUS secara smooth yaitu ketikaaset UUS telah mencapai 50% dari induknya atau 15 tahun setelah berlakunya UU PS; [4] saat terjadi merger atau konsolidasi bank syariah dengan bank lain, maka bank hasil merger atau konsolidasi harus menjadi bank syariah; [5] dana zakat dan sosial yang dihimpun perbankan syariah harus disalurkan ke organisasi pengelola zakat; [6] bank syariah dapat menghimpun wakaf uang; [7] penegasan dan landasan yang kuat untuk BPR Syariah; dan [8] kewajiban tata kelola yang baik dan penyampaian laporan keuangan berdasarkan prinsip akuntansi syariah. Melihat kecenderungan tersebut, UU PS akan memiliki dampak positif terhadap aspek kepatuhan syariah, iklim investasi dan kepastian usaha, serta perlindungan konsumen, dan stabilitas sektor perbankan secara keseluruhan. Dari sisi supply, hal ini langsung bisa dirasakan dampaknya oleh industri dengan rencana berdirinya sejumlah BUS dan UUS baru, termasuk asing. Dari sisi demand, dibutuhkan waktu lebih panjang untuk melihat dampak UU PS ini seiring proses sosialisasi.

Kedudukan Undang-undang Perbankan Syariah merupakan lex specialis

(22)

specialis derogat lex generalis, yaitu undang-undang yang bersifat khusus mengenyampingkan undang-undang yang bersifat umum. Dengan demikian jika dalam UU Perbankan Syariah ada pengaturan yang berbeda dengan yang diatur dalam UU Perbankan, maka bagi Perbankan Syariah undang-undang yang digunakan adalah UU Perbankan Syariah. Adapun beberapa pengaturan tentang bank syariah pada UU Perbankan dan UU Perbankan Syariah adalah sebagai berikut:19

Pengaturan tentang UU Perbankan UU Perbankan Syariah

Beberapa Pengertian Pengertian Bank

Konvensional

Tidak ada Pasal 1 angka 4 “Bank yang

menjalankan kegiatan usahanya secara konvensional dan menurut jenisnya terdiri dari atas Bank Umum Konvensional dan Bank Perkreditan Rakyat”.

Pengertian Bank Syariah Tidak ada Pasal 1 angka 7 “Bank yang

menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri dari atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah”. Prinsip Syariah Pasal 1 angka 13 “Prinsip

syariah adalah perjanjian berdasarkan hukum islam antara bank dan pihak lain untuk menyimpan dana atau

Pasal 1 angka 12 “Prinsip Syariah adalah hukum Islam dalam

(23)

prinsip bagi hasil

(Mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip

penyertaan modal (musharakah), ...”

Akad Tidak ada Pasal 1 angka 13 “akad adalah

kesepakatan antara Bank Syariah atau UUS dan pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan Prinsip Syariah”.

Macam-macam simpanan dan investasi

Pasal 1 Pasal 1 disertai dengan jenis

akadnya sesuai prinsip syariah. Asas Perbankan

Asas Perbankan Pasal 2 “Perbankan Indonesia

dalam melakukan usahanya berdasarkan demokrasi ekonomi dengan

menggunakan prinsip kehati-hatian”.

Pasal 2 “Perbankan Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya

Pasal 16 dan Pasal 17 izin usaha diberikan oleh Pimpinan Bank Indonesia.

Pasal 5 dan Pasal 6 Izin Usaha dan UUS diberikan oleh Pimpinan

Pasal 7 : Bentuk badan hukum Bank Syariah adalah Perseroan Terbatas.

(24)

Peraturan Pemerintah.

Usaha Bank Umum dan BPR / BPRS Usaha bank umum Pasal 16 dan 17 : Bank

Umum dapat melakukan 18 macam usaha

Pasal 19 dan 20 : BUS dapat melakukan 32 macam usaha. UUS dapat melakukan 21 macam usaha

BPR / BPRS Pasal 13 : BPR dapat

melakukan 4 macam usaha.

Pasal 21 : BPRS dapat melakukan 5 macam usaha.

Larangan bagi Bank Umum dan BPR

Bank Umum Pasal 10 : bank Umum

Pasal 24 : BUS dan UUS dilarang melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip syariah, kegiatan jual beli secara langsung di pasar modal,

penyertaan modal kecuali yang ditetapkan dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b dan huruf c, kegiatan usaha perasuransian kecuali sebagai agen pemasaran produk asuransi syariah.

BPR Pasal 14 : BPR dilarang

menerma simpanan berupa giro, dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran,

(25)

Pengambilalihan Bank

Pasal 38 dan Pasal 39 Pasal 28 s.d. Pasal 31

Dewan Pengawas Syariah Tidak ada Pasal 32

(26)

lingkungan Peradilan Agama. (2) Dalam hal para pihak telah

memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad.

(3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksudkan ayat

(4) Tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah Saksi

Pidana Pasal 46 s.d. Pasal 51 Pasal 59 s.d Pasal 66

Administratif Pasal 52 dan Pasal 53 Pasal 56 s.d. Pasal 58

- Tidak melaksanakan prinsip syariah

- Melanggar rahasia bank (+sanksi pidana)

Dengan disahkannya RUU Perbankan Syariah menjadi UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan syariah; berarti kini perbankan syariah memiliki payung hukum yang selama ini didambakan. Begitu juga dengan hadirnya UU SBSN maka diharapkan akan menarik para investor asing, terutama investor Timur Tengah untuk berinvestasi di Indonesia. Hadirnya UU Perbankan Syariah sangat diharapkan dapat memacu denyut perekonomian nasional, dan kontribusi dalam mengentaskan kemiskinan, kesejahteraan rakyat, serta membuka lapangan kerja ditambah lagi UU Perbankan Syariah memperkuat fundamen hukum perbankan syariah.20

(27)

C. Peluang dan Tantangan Pasca Lahirnya UU PS Tahun 2008

UU No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah telah resmi disahkan untuk menopang kekuatan hukum perbankan syariah. Dimulai dari upaya yang keras dan tekad yang kuat lewat perjuangan para ahli ekonomi Islam, yang berawal dari lokakarya MUI tahun 1990 hingga tahun 2008, akhirnya benar-benar telah membuahkan hasil yang manis demi kemajuan perekonomian di Indonesia. Namun, beberapa pakar perbankan syariah menyampaikan beberapa kekurangan dan kelemahan UU Perbankan Syariah ini. Akan tetapi, lahirnya UU Perbankan Syariah memberikan peluang yang sangat besar bagi perkembangan bank syariah di Indonesia. Apalagi, mengingat banyaknya jumlah penduduk di negara kita yang beragama Islam, tinggalnya di pedesaan dan kehidupan ekonominya masih perlu ditingkatkan. Maka, hal ini membuka potensi yang besar bagi perbankan syariah dalam upaya peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia.

Hal-hal yang membuka peluang besar pangsa perbankan syariah sesuai UU tersebut (UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah) adalah:21

a. Bank Umum Syariah dan Bank Perkreditan Rakya tidak dapat dikonversi menjadi Bank Konvensional, sementara Bank Konvensional dapat dikonversi menjadi Bank Syariah (Pasal 5 ayat 7).

b. Penggabungan (merger) atau peleburan (akuisisi) antara Bank Syariah dengan Bank non-Syariah wajib menjadi Bank Syariah (Pasal 17ayat 2).

c. Bank Umum Konvensional yang memiliki Unit Usaha Syariah (UUS) harus melakukan pemisahan (spin off) apabila UUS mencapai asset paling sedikir 50% dari total nilai asset bank induknya atau 15 tahun sejak berlakunya UU Perbankan Syariah (Pasal 68 ayat 1).

(28)

d. Dimungkinkannya warga negara asing dan/atau badan hukum asing yang bergabung secara kemitraan dalam badan hukum Indonesia untuk mendirikan dan/atau memiliki Bank Umum Syariah (Pasal 9 ayat 1 butir b). Pemilikan pihak asing tersebut dapat secara langsung maupun tidak langsung melalui pembelian saham di bursa efek Pasal 14 ayat (1).

e. UU Perbankan Syariah juga memberikan peluang aktivitas usaha bank syariah yang lebih banyak dan beragam dibandingkan bank konvensional. Terdapat usaha-usaha yang bisa dilakukan oleh sebuah bank umum syariah dan tidak dapat dilakukan oleh bank konvensional (Pasal 19 s.d 21).

f. Kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh sebuah Bank Umum Syariah (BUS) lebih luas dibandingkan dengan Unit Usaha Syariah (UUS) dari sebuah bank konvensional.

g. Selain usaha komersial, bank syariah dapat pula menjalankan fungsi sosial dalam bentuk: Lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkan kepada organisasi pengelola zakat (Pasal 4 ayat 2), dan menghimpun dana sosial dari wakaf uang dan menyalurkan kepada lembaga pengelola wakaf (nazhir) sesuai kehendak pemberi wakaf (wakif) (Pasal 4 ayat 3).

UU Perbankan Syariah, di samping memberikan peluang usaha yang lebih beragam bagi bank syariah dan kemungkinan untuk percepatan pertumbuhan perbankan syariah ke depan, juga memiliki tantangan persaingan yang lebih tajam. Tantangan tersebut antara lain:22

a. Bagi pelaku bank syariah nasional dengan lahirnya UU Perbankan Syariah adalah adanya pembebasan pemilikan bank umum syariah oleh badan hukum Indonesia dengan warga negara asing dan/atau badan hukum asing secara kemitraan secara langsung (Pasal 9) maupun melalui bursa efek merupakan tantangan yang sangat

(29)

besar bagi warganegara dan badan hukum Indonesia dalam kepemilikan bank syariah ke depan.

b. Ketentuan tentang pembebasan penggunaan tenaga kerja asing (Pasal 33 ayat 1) dapat merupakan tantangan besar bagi warganegara Indonesia sebagai pengelola dan atau pekerja di perbankan Syariah.

c. Tantangan lainnya adalah prinsip syariah yang menjadi dasar produk/jasa perbankan syariah dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia oleh Komite Perbankan Syariah berdasarkan fatwa Majelis Ulama Indonesia (Pasal 26). Hal ini dapat membatasi produk/jasa yang dapat dilakukan perbankan syariah di indonesia. Suatu produk/jasa perbankan syariah yang dapat dilakukan perbankan syariah di dunia internasional bisa saja tidak dapat dilakukan di indonesia.

d. Ketentuan tentang calon pemegang saham pengendali (memilki saham lebih dari 25% atau kurang dari 25% tetapi dapat dibuktikan telah melakukan pengendalian perusahaan secara langsung ataupun tidak langsung) wajib lulus uji kemampuan dan kepatutan dari Bank Indonesia (Pasal 27), juga merupakan sebuah tantangan karena hal ini akan membatasi para pemodal untuk memiliki bank Syariah.

e. Penyelesaian sengketa perbankan syariah dapat dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama atau jalur lain sepanjang telah diperjanjiakan dalam akad (pasal 55) merupakan tantangan bagi bank syariah untuk memilih jalur yang tepat dalam setiap akad perjanjian untuk menyelesaikan sengketa di kemudian hari, mana yang bisa diserahkan kepada Peradilan Agama dan mana yang diserahkan kepada lembaga lain.

Dari uraian diatas, tantangan bagi Perbankan Syariah harus ditanggapi dengan

(30)

D. Rasionalitas dan Evaluasi Terhadap UU PS Tahun 2008

1.

Rasionalitas Undang-Undang Perbankan Syariah23

Rasionalitas utama dari regulasi terhadap perbankan adalah alasan sistemik, begitupun halnya dengan perbankan syariah. Regulasi terhadap perbankan syariah sangat dibutuhkan sebagaimana halnya terhadap perbankan konvensional, karena: [1] risiko kebangkrutan perbankan syariah tidak bisa diabaikan, terutama ketika operasi bank dijalankan ber-dasarkan skema two-tier mudharabah dimana sisi aset dan kewajiban dari neraca bank secara penuh diintegrasikan; [2] risiko kerugian ekonomi sebagai hasil dari buruknya keputusan investasi, yang bisa dikarenakan oleh kombinasi berbagai faktor seperti lingkungan usaha yang rentan, lemahnya tata kelola internal dan rendahnya disiplin pasar; [3] bank yang lemah akan menurunkan kinerja makr oekonomi seperti efisiensi sistem pembayaran dan efektivitas kebijakan moneter khususnya kebijakan yang diimplementasikan melalui instrumen tidak langsung, serta dapat menurunkan tingkat kepercayaan publik terhadap sistem finansial secara keseluruhan; dan [4] sistem perbankan yang lemah akan menghalangi perekonomian untuk mendapat manfaat dari globalisasi dan liberalisasi pasar finansial domestik.

Secara umum, kerangka regulasi untuk perbankan adalah penting untuk memberi lingkungan yang baik untuk pertumbuhan dan pengembangan industri serta stabilitas sektor keuangan secara keseluruhan. Hal ini sangat relevan untuk perbankan syariah dimana terdapat beragam jenis investasi yang rumit dan harus mematuhi ketentuan syariah dan dengan inovasi yang terus berlanjut beserta implikasi risiko yang terkandung didalamnya. Ketersediaan regulasi yang sesuai akan berkontribusi pada perbaikan pembinaan dan pengawasan, peningkatan efektivitas kebijakan moneter dan kredit, serta stabilitas dan jaring pengaman sistem.

(31)

Kerangka regulasi untuk perbankan syariah harus mengakomodasi karakter dasar perbankan syariah dengan pada saat yang sama mengatur isu-isu yang umum bagi semua lembaga intermediasi keuangan seperti manajemen kontrak, kepailitan, jaminan, dan pemulihan aset. Regulasi perbankan syariah juga harus memberi definisi yang tegas tentang lembaga bank syariah sejalan dengan persyaratan perizinan, permodalan, cakupan aktivitas, dan hubungannya dengan otoritas regulator. Regulasi perbankan syariah juga harus mampu mengidentifikasi, menilai, dan mengelola risiko yang inheren di dalam aktivitas perbankan syariah.

Regulasi untuk perbankan syariah adalah tantangan bagi otoritas agar dapat memahami dan menyeimbangkan antara pengawasan yang efektif dan memfasilitasi industry untuk pertumbuhan dan pengembangan lebih lanjut. Pada saat yang sama, regulasi adalah keperluan industri untuk level playing field, infrastruktur yang efektif, berfungsi-nya pasar dan penetrasi ke pasar global. Regulasi untuk perbankan syariah adalah tantangan bagi otoritas agar dapat memahami dan menyeimbangkan antara pengawasan yang efektif dan memfasilitasi industri untuk pertumbuhan dan pengembangan lebih lanjut. Pada saat yang sama, regulasi adalah keperluan industri untuk level playing field, infrastruktur yang efektif, berfungsinya pasar dan penetrasi ke pasar global.

(32)

dimanifestasikan melalui pengkajian ulang secara fundamental kualitas pelayanan menurut standar nilai terbaik (Saragih, 2006). Terkait hal ini, kerangka regulasi yang ditujukan pada perbankan konvensional sering dijadikan rujukan seperti kerangka regulasi dari Basel Committee on Banking Supervision (BCBS).

Sebagai bagian integral dari proses regulasi, perbankan syariah adalah pengembangan infrastruktur pasar keuangan syariah untuk menjamin keberlanjutan dan berfungsinya perbankan syariah. Fokus dari usaha ini adalah dengan membangun instrumen syariah yang efektif untuk memfasilitasi pengelolaan dana perbankan syariah di pasar modal. Keberadaan industry penunjang, seperti perusahaan sekuritas dan asuransi, juga penting untuk mendukung pengembangan perbankan syariah.

Pada kasus Indonesia, kehadiran UU Perbankan Syariah akan menjadi legitimasi paling akurat untuk berjalannya praktik perbankan syariah. Selain itu, kehadiran UU Perbankan Syariah juga akan menjadi daya dorong kepada pemerintah pusat dan daerah serta pihak-pihak lain untuk melaksanakan sistem ekonomi dan perbankan syariah. Tanpa undang-undang, sosialisasi dan pengembangan perbankan syariah dinilai akan kurang efektif.

Kehadiran UU Perbankan Syariah di Indonesia seharusnya tidak hanya sebagai kekuatan akselerator bagi industri perbankan syariah yang sedang tumbuh cepat, namun juga sebagai kekuatan transformatif bagi industri perbankan nasional secara keseluruhan agar lebih berorientasi kepada sektor riil dan beroperasi sesuai syariah sehingga mendorong terciptanya perekonomian yang sehat dan kuat. Keberadaan UU Perbankan Syariah diharapkan tidak hanya sekedar mempercepat perkembangan syariah sebagai alternatif, namun lebih dari itu menjadikan perbankan syariah sebagai solusi bagi perekonomian yang kuat dan dinamis.

(33)

syariah di masa depan. Regulasi harus mendukung terciptanya iklim yang kondusif untuk masuknya para pemain baru, termasuk pemain asing dan bank-bank konvensional yang sudah memiliki jaringan operasional yang luas atau mendorong aliansi strategis antara bank syariah dengan lembaga-lembaga keuangan lainnya guna mencapai skala ekonomis operasional. Ketiga, regulasi harus mampu memberi landasan dan menjawab ketiadaan institusi-institusi pendukung yang diperlukan bagi industri perbankan syariah, Dewan Syariah Nasional, Badan Arbitrase Syariah Nasional, auditor syariah, lembaga penjamin simpanan dan pembiayaan syariah, peradilan syariah, serta pusat informasi dan data keuangan syariah. Institusi pendukung yang lengkap, efektif, dan efisien berperan penting untuk memastikan stabilitas dan pengembangan perbankan syariah secara keseluruhan.

2. Evaluasi UU Perbankan Syariah24

Hasil evaluasi UU Perbankan Syariah menunjukkan terdapat beberapa masalah substantive ekonomi danbeberapa masalah yuridis-formal. Pada dasarnya agenda terpenting industri perbankan syariah saat ini adalah peningkatan daya tarik dan daya saing untuk membesarkan dirinya. Daya tarik dan daya saing perbankan syariah akan meningkat jika setidaknya empat hal terpenuhi yaitu: [1] ukuran (size) perbankan syariah yang cukup besar sehingga dapat efisien dan kompetitif; [2] variasi produk-produk perbankan syariah yang beragam sesuai kebutuhan bisnis dan masyarakat; [3] terdapatnya jaringan perbankan syariah yang luas; dan [4] adanya pasar modal dan pasar uang syariah yang memiliki produk dan instrumen keuangan syariah yang beragam, kompetitif dan likuid.

Semangat utama UU PS adalah semangat kepatuhan syariah (shari’ah compliance) dan stabilitas sistem. Tidak ada yang salah dengan kecenderungan ini. Menjamin terpenuhinya prinsip-prinsip syariah dan prinsip-prinsip kesehatan bank syariah jelas merupakan hal positif. Permasalahannya adalah UU PS ini sangat minim insentif untuk pengembangan dan peningkatan daya saing

(34)

perbankan syariah. Belum terlihat upaya serius untuk membesarkan size

perbankan syariah dalam UU PS ini. Aturan kepemilikan asing di industri perbankan syariah nasional sudah diakomodasi namun belum memberi insentif yang memadai. Insentif yang memadai bagi bank konvensional yang ingin konversi menjadi BUS atau spin-off UUS menjadi BUS, juga belum mendapat perhatian.

Namun memang harus diakui bahwa banyak inisiatif yang dibutuhkan untuk membesarkan size perbankan syariah, berada di luar cakupan UU PS ini seperti netralitas pajak untuk transaksi keuangan syariah, insentif pajak untuk investor syariah, dan instrumen syariah utang pemerintah untuk pengembangan pasar modal syariah.

Sementara itu, aturan yang ekstensif tentang kegiatan usaha dan akad syariah yang digunakan, dikhawatirkan akan memasung inovasi dan kreatifitas perbankan syariah. Di tengah kebutuhan yang tinggi untuk produk perbankan syariah yang lebih variatif dan beragam untuk memenuhi kebutuhan bisnis dan masyarakat, tidak seharusnya perbankan syariah terpasung oleh ketentuan yang tidak perlu.

Seharusnya yang lebih dibutuhkan disini adalah ketegasan tentang kewenangan DSN untuk product development dan shari’ah approval. DSN seharusnya diperkuat dengan kewenangan dan sumberdaya untuk melakukan riset dan pengembangan, tidak hanya pasif menerima permintaan fatwa dari industri. Wacana DSN dilebur ke dalam Komite Perbankan Syariah dan berada di bawah BI (usulan DPR) yang menimbulkan kekhawatiran akan hilangnya identitas dan independensi DSN, akhirnya dihilangkan, namun memiliki rasionalitas kuat terkait eratnya kaitan antara fatwa dan regulasi yang berada dibawah otoritas BI. Hal ini kemudian diselesaikan dengan kompromi bahwa kedudukan DSN dan MUI dikukuhkan dan Komite Perbankan Syariah di BI tetap ada namun dengan kewenangan untuk menterjemahkan fatwa MUI ke dalam regulasi BI.

(35)

syariah tidak dapat dikonversi menjadi bank konvensional, memfasilitasi spin-off UUS menjadi BUS, dan penegasan kewenangan BI terkait perizinan pembukaan kantor cabang.

Di saat yang sama, pengembangan pasar modal syariah ke depan diprediksi akan semakin baik dan cepat pasca dikeluarkannya UU Nomor 19 Tahun 2008 tentang SBSN pada 9 April 2008 yang lalu. Sementara itu, pasar uang syariah semakin kompetitif dengan hadirnya SBI syariah yang memiliki fitur hampir sama dengan SBI konvensional. SBI syariah terbit berdasarkan PBI Nomor 10/11/PBI Tahun 2008 pada 31 Maret 2008, menggantikan SWBI yang memiliki imbal hasil jauh lebih rendah dari SBI konvensional. Namun ke depan, SBI syariah ini sebenarnya tidak diperlukan karena kini, seiring dengan kehadiran UU Surat Berharga Syariah Negara, telah ada sukuk pemerintah. Instrumen moneter syariah secara bertahap harus diarahkan sepenuhnya pada sukuk pemerintah untuk menggantikan SBI syariah.

(36)

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Penyelesaian sengketa masuk dalam ranah kekuasaan kehakiman, bukan ranah bisnis sehingga seharusnya tidak masuk dalam UU PS ini. Pengalaman negara-negara-negara lain tentang penyelesaian sengketa perbankan syariah menunjukkan kesimpulan yang ambigu. Di Malaysia, penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan umum. Sedangkan di Qatar, sebelum sistem kehakiman digabung pada Oktober 2004, sengketa perbankan syariah diselesaikan oleh pengadilan syariah.

Kedua, terkait ketentuan kepemilikan asing dalam sektor perbankan syariah. UU PS menetapkan bahwa BUS hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh pihak asing secara kemitraan dengan investor domestik. Sedangkan maksimum kepemilikan asing di BUS ditetapkan oleh BI. Ketentuan ini berpotensi konflik dengan UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang menetapkan kebebasan berusaha di semua bidang untuk penanaman modal, baik dalam negeri maupun asing. Bidang usaha yang tertutup atau terbuka dengan persyaratan diatur oleh pemerintah melalui Perpres. Perpres Nomor 77 Tahun 2007 sebagai peraturan pelaksana UU Nomor 25 Tahun 2007 yang berlaku selama 3 tahun, telah menetapkan bahwa maksimum kepemilikan asing di sektor perbankan syariah adalah 99%.

Ketiga, tidak terselesaikannya permasalahan hukum lembaga keuangan mikro syariah (LKMS). LKMS direpresentasikan oleh BPRS, koperasi (KSP, USP, KJKS, UJKS) syariah, dan BMT. BPRS diakomodasi dalam UU PS ini dan kini memiliki dasar hukum yang kuat, namun yang lain tidak terakomodasi. Koperasi syariah belum diakomodasi dalam UU Koperasi disamping koperasi itu sendiri bukan merupakan bentuk badan hukum yang ideal untuk LKMS, sedangkan BMT sama sekali tidak memiliki payung hukum (informal). Akibatnya, sebagian besar BMT memilih badan hukum koperasi. Ketiadaan regulasi yang memadai membuat LKMS informal memiliki banyak kelemahan sebagaimana halnya LKM konvensional yaitu highrisk bagi nasabah deposan,

(37)

Arah kebijakan ke depan, harus ada dukungan regulasi yang memadai untuk mendorong perkembangan LKMS dengan mengakomodasi eksistensi dan segala karakter yang melekat padanya. Langkah terbaik adalah mengatur LKMS dalam UU terpisah mengingat sifat dasar dan karakteristiknya yang berbeda dari perbankan syariah. Namun dalam UU PS seharusnya ada inisiatif untuk mendorong kemajuan LKMS, terutama BMT dan koperasi syariah, melalui insentif bagi BUS/UUS untuk akuisisi LKMS dan menjadikannya sebagai unit mikro dari BUS/UUS. Hal ini secara efektif akan mendorong kemajuan LKMS dengan menghapus permasalahan kesenjangan antara besarnya pembiayaan dengan terbatasnya sumber pendanaan dan meningkatkan tata kelola LKMS.

BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

(38)

perbankan syariah. Ketiga negara tersebut adalah Pakistan (1962), Iran (1982), dan Sudan. Sudan menerapkan sistem ekonomi Islam dalam seluruh kegiatan perbankan di negaranya pada bulan Juli tahun 1994.

Perkembangan bank syariah di Indonesia hingga detik ini menunujukkan tanda-tanda yang positif dan terus mengalami peningkatan. Hal ini pula yang mempengaruhi kegitan perekonomian di negara kita, sebab keberadaan sebuah perbankan dalam suatu negara adalah sebagai salah satu agen pembangunan (agen of development). Hal ini dikarenakan adanya fungsi utama dari perbankan itu sendiri yaitu sebagai lembaga yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kembali kemasyarakat dalam bentuk pembiayaan. Fungsi inilah yang lazim disebut sebagai intermediasi keuangan (financial intermediary function). Oleh karena itu, perbankan adalah salah satu lembaga perekonomian yang memberikan sumbangsih yang cukup besar untuk kemakmuran rakyat.

Sejak Indonesia merdeka, telah disusun tiga undang-undang yang mengatur tentang Perbankan, yaitu UU No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok–pokok Perbankan, UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dan UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Selain peraturan dalam bentuk Undang-Undang, juga telah dikeluarkan berbagai Paket Kebijaksanaan.

(39)

besar bagi perbankakan syariah dalam upaya peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia.

Rasionalitas utama dari regulasi terhadap perbankan adalah alasan sistemik, begitupun halnya dengan perbankan syariah. Regulasi terhadap perbankan syariah sangat dibutuhkan sebagaimana halnya terhadap perbankan konvensional. Hasil evaluasi UU Perbankan Syariah menunjukkan terdapat beberapa masalah substantive ekonomi danbeberapa masalah yuridis-formal. Pada dasarnya agenda terpenting industri perbankan syariah saat ini adalah peningkatan daya tarik dan daya saing untuk membesarkan dirinya. Daya tarik dan daya saing perbankan syariah akan meningkat jika setidaknya empat hal terpenuhi yaitu: [1] ukuran (size) perbankan syariah yang cukup besar sehingga dapat efisien dan kompetitif; [2] variasi produk-produk perbankan syariah yang beragam sesuai kebutuhan bisnis dan masyarakat; [3] terdapatnya jaringan perbankan syariah yang luas; dan [4] adanya pasar modal dan pasar uang syariah yang memiliki produk dan instrumen keuangan syariah yang beragam, kompetitif dan likuid.

Arah kebijakan ke depan, harus ada dukungan regulasi yang memadai untuk mendorong perkembangan LKMS (lembaga keuangan mikro syariah) dengan mengakomodasi eksistensi dan segala karakter yang melekat padanya. Langkah terbaik adalah mengatur LKMS dalam UU terpisah mengingat sifat dasar dan karakteristiknya yang berbeda dari perbankan syariah. Namun, dalam UU PS seharusnya ada inisiatif untuk mendorong kemajuan LKMS, terutama BMT dan koperasi syariah, melalui insentif bagi BUS/UUS untuk akuisisi LKMS dan menjadikannya sebagai unit mikro dari BUS/UUS. Hal ini secara efektif akan mendorong kemajuan LKMS dengan menghapus permasalahan kesenjangan antara besarnya pembiayaan dengan terbatasnya sumber pendanaan dan meningkatkan tata kelola LKMS.

(40)

Sebagai generasi muda, khususnya mahasiswa/i ekonomi syariah, sebaiknya kita melakukan analisis berupa kunjungan maupun penelitian di beberapa perbankan syariah baik itu Bank Umum syariah (BUS), Unit Usaha Syariah (UUS), maupun Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Dari situlah, nanti kita dapat menilai kinerja perbankan syariah apakah sudah sesuai dengan UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah ataukah belum. Selain itu, kita juga bisa mengkaji dan mendiskusikan bersama mahasiswa ekonomi secara intern (di dalam kampus) maupun ekstern (di luar kampus), agar ilmu kita dapat semakin bertambah, khususnya menyangkut perkembangan regulasi perbankan syariah di Indonesia khususnya dan di luar negeri pada umunya seta menambah

Referensi

Dokumen terkait

7HUNDLW GHQJDQ VLVWHP SHPLOX WHUVHEXW GLDWDV XQWXN PHQWHUMHPDKNDQ SHODNVDQDDQ\D KDUXV NHPEDOL NHSDGD ODQGDVDQ ÀORVRÀI SHPEHQWXNDQ 88 1R WDKXQ WHQWDQJ 3HPLOX \DLWX EDKZD 3HPLOLKDQ

belajar tinggi dalam pemecahan masalah sistem persamaan linier dua variabel yaitu sudah mampu menyadari proses berfikirnya dengan baik, menyebabkan siswa dengan kemampuan

Peneliti menganggap penelitian tentang hasil belajar membaca dengan media puzzle ini adalah hal yang baru, karena pada umumnya puzzle yang digunakan untuk siswa SD berupa gambar

New World Record by Helder Mester, POR... New African Record by Yassine

Berdasarkan surat kontraktor PT/CV. Nomor : ……….., tanggal ……… Perihal Permohonan Tambah Kurang Volume dan / atau Jenis Pekerjaan dan / atau Penambahan/pengurangan

Perancangan dan pembuatan perangkap tikus elektronik terdiri dari perancangan hardware yang meliputi rangkaian sensor, mikrokontroler, relay driver motor DC dan

Pelaksanaan Tugas Pelaksanaan Tugas Pendamping Lokal Desa (PLD) dalam memfasilitasi dan mendampingi desa dalam proses perencanaan pembangunan dan keuangan desa di Kecamatan Dawe