BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut Keraf (1997:1) bahasa merupakan alat komunikasi anggota masyarakat berupa simbol yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Bahasa dihasilkan dari alat ucap manusia itu dilengkapi dengan proses-prosesnya sehingga diperoleh bunyi yang memiliki makna. Wedhawati dkk, (2006: 53) menjelaskan proses-proses pembentukan bunyi bahasa dimulai dengan memanfaatkan pernafasan sebagai sumber tenaga. Pada saat nafas dikeluarkan, paru-paru menghembuskan tenaga yang berupa arus udara. Arus udara itu dapat mengalami perubahan pada pita suara. Arus udara dari paru-paru dapat membuka kedua pita suara yang merapat hingga menghasilkan ciri-ciri bunyi tertentu. Gerakan membuka dan menutup pita suara itu menyebabkan udara di sekitar pita suara itu bergetar. Perubahan bentuk saluran suara yang terdiri atas rongga faring, rongga mulut, dan rongga hidung menghasilkan bunyi bahasa yang berbeda-beda.
Dalam pemahamannya fonetik dan fonemik tidak dapat dipisahkan dalam memahami atau menganalisis seluk beluk suatu bahasa pada kajian fonologi. Kajian fonologi sangat penting dipahami dalam belajar bahasa, karena dengan memahami fonologi akan lebih mempermudah dalam pelafalan bunyi berbahasa khususnya dalam berbahasa Jerman.
Bahasa Jerman adalah salah satu bahasa yang penting dalam berkomunikasi internasional. Lebih dari 101 juta orang di dunia berbahasa Jerman, sekitar 20 juta orang di seluruh dunia mempelajari bahasa Jerman. Di Eropa bahasa Jerman merupakan bahasa ibu bagi 100 juta orang, tidak hanya di Jerman, tetapi juga di Austria, Swiss, Luxemburg dan Liechtenstein. Hal ini menempatkan bahasa Jerman di antara 12 bahasa paling umum dipakai di dunia: 2,1% dari populasi dunia. Di Eropa bahasa Jerman adalah bahasa ibu yang paling luas digunakan (http://www.daadjkt.org/index.php diakses pada tanggal 03 Februari 2015). Di Indonesia posisi Bahasa Jerman merupakan salah satu bahasa asing yang diajarkan di beberapa SMA, SMK, MA dan Perguruan Tinggi. Dengan statusnya demikian, program pengajaran dan pembelajaran bahasa Jerman di Indonesia juga mengarah pada pengembangan diri peserta didik dalam menghadapi dunia global, sehingga proses pembelajarannya disiapkan dan direncanakan sebaik-baiknya.
baik sangat mempermudah pemahaman dalam berbahasa Jerman dan sebaliknya ketika pelafalan tidak sesuai dengan kesepakatan penutur akan mempersulit dalam pemahaman berbahasa Jerman. Bunyi atau makna pada bahasa tersebut akan terjadi perubahan apabila tidak didukung dengan alat ucap atau artikulator yang tepat. Apabila pelafalan kata-kata yang diujarkan tidak menggambarkan keteraturan kata-kata yang telah disepakati para penuturnya, ujaran tersebut dapat menimbulkan ketaksaan. Kekeliruan dalam pelafalan kata-kata akan menyebabkan terjadinya ketaksaan atau pergeseran makna dan bahkan ketidakbermaknaan terhadap kata-kata tersebut.
Kekeliruan dalam pelafalan bunyi bahasa disebabkan oleh adanya gangguan berbahasa. Chaer (2009:148) mengatakan secara biologis, gangguan berbahasa disebabkan oleh kelainan fungsi otak maupun akibat kelainan organ wicara. Ketidaksempurnaan fungsi otak maupun organ wicara menghambat kemampuan seseorang memproduksi ucapan (perkataan). Salah satu contoh gangguan berbahasa adalah Rhotacism atau cadel.
adalah kesalahan dalam pengucapan. Kesalahan dalam pengucapan dapat dilihat dari pengucapan vokal dan konsonan yang tidak sempurna.
Kemampuan mengucapkan vokal dan konsonan secara sempurna sangat bergantung pada kematangan sistem saraf otak, terutama bagian yang mengatur koordinasi motorik otot-otot lidah. Untuk mengucapkan konsonan tertentu, seperti [r], diperlukan manipulasi yang cukup kompleks antara lidah, langit-langit, dan bibir. Cadel dapat disebabkan oleh kelainan fisiologis yaitu adanya perbedaan pada bagian yang dinamai frenulum lingualis, yang menyebabkan gangguan sulit melafalkan salah satu bunyi. Ankiloglosia atau tongue tie adalah suatu kondisi patologis bahwa frenulum lingualis tidak melekat dengan tepat ke lidah. Keadaan kongenital ini ditandai oleh frenulum lingualis yang pendek dan salah posisi, serta lidah yang tidak dapat dijulurkan atau ditarik masuk. Ankiloglosia menyebabkan gangguan ketika berbicara, terutama pada saat pengucapan bunyi [r] karena pada saat pengucapan bunyi-bunyi tersebut membutuhkan aktivitas lidah yang tinggi (Langlais dan Miller, 2001:46).
Dapat ditarik kesimpulan bahwa cadel adalah salah satu gangguan berbahasa yang disebabkan adanya kelainan secara fisiologis pada organ wicara dan akan berimplikasi pada kesalahan pelafalan.
Selain itu, ada sebuah buku bahasa Jerman yang berjudul Guten Morgen „selamat pagi‘ yang membenarkan pelafalan cadel dalam bahasa Jerman. Kalisa (2014:
Gambar 1. Paradigma Pelafalan [r] mejadi [l]
menciptakan komunikasi yang baik dan lancar dalam berbahasa Jerman. Semua pembelajar bahasa Jerman selalu memiliki tujuan untuk dapat berbahasa Jerman, tetapi terkadang muncul masalah atau gangguan dalam pembelajaran bahasa Jerman tersebut dan gangguan itu memungkinkan berdampak buruk pada pembelajar bahasa Jerman. Salah satu gangguan yang dialami pembelajar bahasa Jerman itu adalah gangguan berbahasa Rhotacism atau cadel. Gangguan berbahasa Rhotacism dapat menghambat pelafalan, khususnya pada bunyi [r]. Féry (2004: 66) menjelaskan bahwa pelafalan konsonan r dalam bahasa Jerman dibedakan menjadi dua variasi utama, yaitu: 1) Bunyi [r] dilafalkan dengan jelas, artinya diucapkan di ujung lidah, misalnya: Gespräch [gəʃprɛ:ç] ‗percakapan‘ dan lernen [lɛrnən] ‗belajar‘. 2) Bunyi [r] dijadikan vokal [ɐ], misalnya: Anrufer [anru:fɐ] ‗penelepon‘ dan aber [a:bɐ] ‗tetapi‘. Jika pelafalan tersebut tidak sesuai dengan cara atau tempat artikulasi akan mengakibatkan ketidakharmonian dalam pertuturan.
memungkinkan penderita Rhotacism tersebut memiliki kesulitan dalam berbahasa Jerman.
1.2 Perumusan Masalah
Dari uraian masalah yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana perubahan fonetis penderita Rhotacism, ketika membaca dan bertutur dalam bahasa Jerman?
2. Bagaimana kompetensi dan performansi penderita Rhotacism, ketika membaca teks dalam bahasa Jerman?
3. Bagaimana perkembangan kognitif penderita Rhotacism, ketika bertutur dalam bahasa Jerman?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan masalah yang dirumuskan, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis perubahan fonetis penderita Rhotacism, ketika membaca dan
bertutur dalam bahasa Jerman.
2. Menganalisis kompetensi dan performansi penderita Rhotacism, ketika membaca teks dalam bahasa Jerman.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Teoretis
Secara teoretis, manfaat hasil penelitian gangguan berbahasa pada penderita Rhotacism adalah:
1. Menambah wawasan dan pengetahuan mengenai gangguan berbahasa penderita Rhotacism dalam berbahasa Jerman.
2. Memperkaya khasanah penemuan mengenai gangguan berbahasa dalam bahasa Jerman.
3. Menambah sumber masukan bagi peneliti lain yang ingin meneliti dan menganalisis lebih lanjut mengenai gangguan berbahasa pada penderita Rhotacism.
1.4.2. Manfaat Praktis
Secara praktis, manfaat hasil penelitian gangguan berbicara pada penderita Rhotacism adalah:
1. Memberikan sumbangan pemikiran kepada masyarakat untuk dapat mengetahui faktor yang menyebabkan penderita Rhotacism.
2. Mengetahui perubahan fonetis kata yang diucapkan oleh penderita Rhotacism dalam berbahasa Jerman.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini memiliki ruang lingkup yang terbatas, yakni:
1. Penelitian dibatasi hanya pada gangguan berbahasa penderita Rhotacism dalam berbahasa Jerman.
2. Kendala artikulatoris yang terjadi pada penderita Rhotacism.