BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Tumbuhan
Uraian tumbuhan meliputi morfologi tumbuhan, habitat, sistematika tumbuhan, sinonim, nama asing, nama daerah, khasiat tumbuhan dan kandungan senyawa kimia.
2.1.1 Morfologi tumbuhan
tunggang (Sunarjono, 2013). 2.1.2 Habitat
Tumbuhan sawo merupakan tumbuhan endemis di kawasan tropis benua Amerika, tepatnya di Meksiko hingga Guatemala, Salvador dan Honduras Utara. Dewasa ini tanaman sawo sudah menyebar luas di seluruh kawasan tropis. Sentra produksi buah sawo yang terkenal di Indonesia antara lain di Ciamis, Bekasi, Wonogiri, Boyolali, Banyuwangi, Trenggalek, Blitar, Bantul, Sleman, Buleleng dan Jembrana (Ashari, 2006).
2.1.3 Sistematika tumbuhan
Menurut Tjitrosoepomo (2000), sistematika tumbuhan sawo manila diklasifikasikan sebagai berikut :
Divisi : Spermatophyta Sub-divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Bangsa : Ebenales
Suku : Sapotaceae Genus : Manilkara
Spesies : Manilkara zapota (L.) P. Royen 2.1.4 Sinonim
Sinonim dari sawo manila adalah Achras zapota L. (Duke, 1929). 2.1.5 Nama asing
2.1.6 Nama daerah
Nama daerah, Sumatera: sawo ciku; Sunda: sawo manila; Jawa: sawo londo, sawo menilo, sawo manila; Madura: sabu manela; Bali: sabo jawa (Heyne, 1987).
2.1.7 Khasiat tumbuhan
Sawo manila berkhasiat untuk menguatkan tulang, menjaga kulit tetap sehat, obat sembelit, menghambat diare serta obat penyakit tipus (Kariman, 2014; Mustary, dkk., 2011).
2.1.8 Kandungan senyawa kimia
Kandungan yang terdapat dalam sawo manila adalah flavonoid, saponin, tanin, natrium, kalium, kalsium, magnesium, fosfor dan vitamin C (Kariman, 2014; Widyaningrum, 2011).
2.2 Ekstraksi
Ekstraksi merupakan penarikan senyawa kimia dari jaringan tumbuhan ataupun hewan dengan menggunakan penyari tertentu. Cara ekstraksi yang tepat tergantung pada bahan tumbuhan yang diekstraksi dan jenis senyawa yang diisolasi (Ditjen POM, 1995). Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian rupa hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Ditjen POM, b.2000).
Ada beberapa metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut (Depkes RI, b.
a. Maserasi adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan yang dilakukan pada temperatur kamar.
b. Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru, umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Prosesnya terdiri dari pengembangan bahan, tahapan maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak) terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang tidak meninggalkan sisa bila 500 mg perkolat terakhir
diuapkan pada suhu ± 50ºC. 2. Cara panas
a. Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
b. Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstrak kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
c. Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur kamar, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50ºC.
d. Infundasi adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-98ºC) selama waktu tertentu (15-20 menit).
2.3 Fraksinasi
Ekstraksi cair-cair merupakan suatu teknik yang mana suatu larutan dibuat bersentuhan (biasanya dalam air) dengan suatu pelarut kedua (biasanya pelarut organik), yang tidak tercampurkan, pada proses ini terjadi pemindahan satu atau lebih zat terlarut (solute) kedalam pelarut yang kedua (Basset, dkk., 1994).
Pemisahan yang dapat dilakukan bersifat sederhana, bersih, cepat dan mudah, yang dapat dilakukan dengan cara mengocok-ngocok dalam sebuah corong pisah selama beberapa menit (Basset, dkk., 1994). Analit-analit yang mudah terekstraksi dalam pelarut organik adalah molekul-molekul netral yang berikatan secara kovalen dengan substituen yang bersifat nonpolar atau agak polar. Senyawa-senyawa yang mudah mengalami ionisasi dan senyawa polar lainnya akan tertahan dalam fase air (Rohman, 2007).
Pelarut yang dipilih untuk ekstraksi pelarut ialah pelarut yang mempunyai kelarutan yang rendah dalam air, dapat menguap sehingga memudahkan penghilangan pelarut organik setelah dilakukan ekstraksi dan mempunyai kemurnian yang tinggi untuk meminimalkan adanya kontaminasi sampel (Rohman, 2007).
2.4 Sterilisasi
Sterilisasi berarti membebaskan tiap benda atau substansi dari semua kehidupan dalam bentuk apapun, tujuannya untuk mendapatkan keadaan yang steril. Sterilisasi dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu: a) Sterilisasi pemanasan basah dengan menggunakan uap atau air panas, b) Sterilisasi kering dalam tanur, dan c) Pembakaran total (incineration) (Irianto, 2006).
I. Sterilisasi kering a. Pemijaran
Pemijaran digunakan untuk sterilisasi pada ose, ujung-ujung pinset dan sudip (spatula) logam.
b. Jilatan api (Flaming)
Jilatan api digunakan untuk sterilisasi pada skalpel, jarum, mulut tabung biakan, kaca objek, dan kaca penutup. Benda-benda tersebut dijilatkan pada api bunsen tanpa membiarkannya memijar.
c. Tanur uap panas (Hot-Air Oven)
Sebagian besar sterilisasi kering dilakukan dengan alat ini. Biasanya digunakan suhu 160-165ºC selama 1 jam. Cara ini baik dilakukan terhadap alat-alat kering yang terbuat dari kaca, seperti tabung reaksi, cawan petri, labu, pipet, pinset, skalpel, gunting, kapas hapus tenggorok dan alat suntik dari kaca. Sterilisasi ini juga dapat dilakukan pada suhu 170ºC selama 2 jam.
II.Sterilisasi basah
a. Perebusan dalam air
Cara ini hanya cukup untuk mematikan mikroorganisme yang tidak berspora.
b. Uap dalam tekanan
2.5 Bakteri
Nama bakteri berasal dari kata “bacterion” (bahasa Yunani) yang berarti tongkat atau batang. Sekarang nama itu dipakai untuk menyebut sekelompok mikroorganisme yang bersel satu, berkembangbiak dengan pembelahan diri, serta demikian kecilnya sehingga hanya tampak dengan mikroskop (Dwidjoseputro, 1994).
Bakteri adalah sel prokariotik dan uniseluler. Sel-selnya secara khas berbentuk bola, batang atau spiral. Bakteri yang khas berdiameter sekitar 0,5 – 1,0 µm dan panjangnya 1,5 – 2,5 µm (Irianto, 2013).
Berdasarkan proses pewarnaan gram, bakteri dibagi menjadi dua golongan yaitu bakteri gram positif dan bakteri gram negatif. Bakteri gram positif menyerap zat warna pertama yaitu kristal violet yang menyebabkan warna ungu, sedangkan bakteri gram negatif menyerap zat warna kedua yaitu safranin dan menyebabkannya berwarna merah. Perbedaan hasil dalam pewarnaan gram disebabkan perbedaan struktur, terutama dinding sel kedua bakteri tersebut (Waluyo, 2010).
Menurut Volk (1992), struktur dinding sel bakteri gram positif lebih sederhana, yaitu berlapis tunggal dengan kandungan lipid yang rendah (1 -4%) sehingga memudahkan bahan bioaktif masuk ke dalam sel. Struktur dinding sel bakteri gram negatif lebih kompleks, yaitu berlapis tiga terdiri dari lapisan luar lipoprotein, lapisan tengah lipopolisakarida yang berperan sebagai penghalang masuknya bahan bioaktif antibakteri dan lapisan dalam berupa peptidoglikan dengan kandungan lipid tinggi (11 - 12%).
2.5.1 Staphylococcus aureus
Berikut sistematika Staphylococcus aureus (Staf Pengajar FK UI, 1994): Divisi : Protophyta
Kelas : Schizomycetes Ordo : Eubacteriales Famili : Micrococcaceae Genus : Staphylococcus Spesies : Staphylococcus aureus
Staphylococcus berasal dari kata staphyle yang berarti kelompok buah anggur dan kokus yang berarti bulat. Bakteri ini sering ditemukan sebagai bakteri flora normal kulit dan selaput lendir pada manusia yang dapat menjadi penyebab infeksi baik pada manusia maupun pada hewan. Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif yang berbentuk bulat dan merupakan patogen utama pada manusia (Jawetz, et al., 2007). Beberapa jenis bakteri ini dapat membuat enterotoksin yang dapat menyebabkan keracunan makanan. infeksi lokal pada kulit, hidung, uretra, saluran pernafasan dan saluran pencernaan (Harris, et al., 2002; Staf Pengajar FK UI, 1994). Diameter bakteri ini antara 0,8-1,0 mikron. Bakteri ini berbentuk speris, tidak bergerak, tidak berspora, tumbuh dengan baik pada temperatur 37ºC dan bersifat anaerob fakultatif (Staf Pengajar FK UI, 1994). 2.5.2 Escherichia coli
Bakteri ini berbentuk batang pendek (kokobasil), mempunyai alat gerak flagela tipe peritrik (flagela yang terdapat diseluruh permukaan sel), ukuran 0,4-0,7 µm × 1,4 µm dan tumbuh dengan baik pada hampir semua media yang dipakai di laboratorium mikrobiologi (Staf Pengajar FK UI, 1994).
Divisi : Protophyta Kelas : Schizomycetes Ordo : Enterobacteriales Famili : Enterobacteriaceae Genus : Escherichia
Spesies : Escherichia coli
Escherichia coli adalah bakteri gram negatif, merupakan flora normal dan
banyak ditemukan pada usus manusia tetapi dapat menyebabkan gangguan pencernaan seperti diare (Pratiwi, 2008; Sundararaj, et al., 2004).
2.5.3 Morfologi sel bakteri
Ada beberapa bentuk dasar sel bakteri menurut Pratiwi (2008), yaitu : a. Bentuk bulat (cocci)
Bakteri berbentuk bulat dapat dibedakan atas beberapa jenis, antara lain diplococci (sel yang berpasangan atau dua sel), streptococci (rangkaian sel yang membentuk rantai panjang atau pendek), tetrad (empat sel bulat yang membentuk persegi empat), staphylococci (kumpulan sel yang menyerupai buah anggur) dan sarcina (kumpulan sel berbentuk kubus yang terdiri dari 8 sel atau lebih).
b. Bentuk bacilli
Sebagian besar bacilli tampak sebagai batang tunggal. Terbagi dalam dua bentuk yaitu diplobacilli (berpasangan) dan streptobacilli (membentuk rantai). d. Bentuk spiral
2.5.4 Fase pertumbuhan mikroorganisme
Fase pertumbuhan mikroorganisme menurut Pratiwi (2008), terbagi menjadi empat macam fase, yaitu :
I. Fase lag (fase adaptasi), merupakan fase penyesuaian mikroorganisme pada suatu lingkungan baru. Ciri fase lag adalah tidak adanya peningkatan jumlah sel, yang ada hanyalah peningkatan ukuran sel. Lama fase lag tergantung pada kondisi dan jumlah awal mikroorganisme dan media pertumbuhan.
II. Fase log (fase eksponensial), merupakan fase dimana mikroorganisme tumbuh dan membelah pada kecepatan maksimum, tergantung pada genetika mikroorganisme, sifat media dan kondisi pertumbuhan. Sel baru terbentuk dengan laju konstan dan massa yang bertambah secara eksponensial.
III.Fase stasioner, merupakan fase dimana pertumbuhan mikroorganisme berhenti dan terjadi keseimbangan antara jumlah sel yang membelah dengan jumlah sel yang mati.
IV.Fase kematian, merupakan fase dimana jumlah sel yang mati meningkat. Faktor penyebabnya adalah ketidaktersediaan nutrisi dan akumulasi produk buangan yang toksik.
2.6 Uji Aktivitas Antibakteri
Beberapa bahan antimikrobial tidak bersifat membunuh, tetapi hanya dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Bahan antimikrobial dapat bersifat menghambat (bakteriostatik) apabila digunakan dalam konsentrasi kecil, namun bila digunakan dalam konsentrasi tinggi dapat mematikan mikroorganisme (bakterisid) (Lay, 1994).
(KHM) yaitu konsentrasi terendah bahan antimikrobial yang menghambat pertumbuhan dan Konsentrasi Bunuh Minimum (KBM) bahan antimikrobial terhadap mikroorganisme. KHM didefinisikan sebagai konsentrasi terendah bahan antimikrobial yang menghambat pertumbuhan, sedangkan KBM adalah konsentrasi terendah bahan antimikrobial yang mematikan (Lay, 1994).
Aktivitas potensi antibakteri dapat ditunjukkan pada kondisi yang sesuai dengan efek daya hambatnya terhadap bakteri. Ada dua metode umum yang dapat digunakan yaitu metode difusi dan metode dilusi (Pratiwi, 2008).
Ada beberapa metode yang digunakan untuk uji aktivitas antimikroba, antara lain:
a. Metode dilusi
digunakan untuk menguji beberapa mikroba uji (Pratiwi, 2008). b. Metode difusi