• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Moneter islam 1 sm (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kebijakan Moneter islam 1 sm (1)"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

Makalah Ekonomi Islam

“Kebijakan Moneter Islam”

Kelompok 6

Argo Fahma Putra 201310180311117 Christi Mei Wulandari201310180311126 Dewi Nur Aprilianingsih 201310180311131 Nabila Pirenia Pangestu 201310180311136 Intan Mala Sari 201310180311147 Amin Dwitasari 201310180311154 Sela Dwi Wijayanti 201310180311166 Sulfia Rahma 201410180311192

Ilmu Ekonomi Studi Pembanguna

Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Universitas Muhammadiyah Malang

(2)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahiim.

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kami semua, sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah Ekonomi Islam ini.

Kami menyusun makalah ini dengan hasil diskusi bersama dan mengambil dari beberaoa referensi. Oleh karena itu, kami sangat menghormati dan menghargai pikiran- pikiran penulis lain yang menjadi sumber acuan dalam menulis makalah ini. Namun, bagaimana pun hal ini membuat kami berbuat hati- hati dan tanggung jawab serta upaya yang maksimal demi terselesainya makalah ini dengan sebaik-baiknya. Dalam memenuhi unsur kemudahan dalam memahami isi makalah ini, kami mengupayakan menggunakan bahasa yang relatif sederhana dan mudah di pahami.

Bagaimanapun, tugas ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih butuh banyak pembelajaran. Namun, kami berharap bahwasanya tugas makalah yang kami buat ini dapat memberikan manfaat bagi semua orang yang membaca.

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI... ii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1

B. Rumusan Masalah... 1

C. Tujuan... 2

BAB II : PEMBAHASAN A. Kebijakan Moneter Tanpa Bunga... 3

B.Posisi Bank Sentral dalam Islam………... 6

C.Mengelola Kebijakan Moneter... 9

D. Instrumen Kebijakan Moneter... 11

BAB III : PENUTUP A. Kesimpulan ... 27

(4)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebijakan moneter adalah kebijakan pemerintah untuk memperbaiki keadaan perekonomian melalui pengaturan jumlah uang beredar. Jumlah uang beredar, dalam analisis ekonomi makro, memiliki pengaruh penting terhadap tingkat output perekonomian, juga terhadap stabilitas harga-harga. Uang beredar yang terlalu tinggi tanpa disertai kegiatan produksi yang seimbang, akan ditandai dengan naiknya tingkat harga-harga pada seluruh barang dalam perekonomian atau dikenal dengan istilah inflasi.

Kebijakan moneter dalam perekonomian modern dilakukan melalui berbagai instrument, yaitu operasi agar pasar terbuka (open market), penentuan tingkat bunga, ataupun penentuan besarnya cadangan wajib dalam sektor perbankan. Ada instrument lain yang digunakan oleh pemerintah selaku pengelola moneter, yaitu imbauan moral atau moral persuasion. Sektor yang paling berperan dalam berlangsungnya kebijakan moneter adalah sektor perbankan. Melalui pengaturan sektor perbankan itulah, pemerintah mencoba menerapkan kebijakan-kebijakan moneternya dengan menggunakan instrument atau alat-alat seperti yang telah diuraikan di atas.

Namun krisis ekonomi yang terjadi pada 1997 telah mengajarkan banyak hal kepada kita. Perekonomian Indonesia yang ikut terseret dalam pusaran krisis yang berkepanjangan, ditengarai akibat pengelolaan kebijakan moneter yang tidak efektif. Bahkan keterlibatan IMF dan Bank Dunia membantu pemerintah Indonesia dalam penanganan krisi secara moneter, justru membuat keadaan semakin parah. Itulah antara lain yang membuat efektivitas kebijakan moneter dalam mengelola perekonomian banya diperdebatkan para ahli. Salah satu penyebab ketidakefektifan itu adalah digunakannya suku bunga perbankan sebagai salah satu instrument kebijakan moneter.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah Kebijakan Moneter dalam Islam ? 2. Apa saja alternative Kebijakan Moneter dalam islam ?

(5)

C. Tujuan

1. Untuk menyelesaikan tugas akhir mata kuliah Ekonmi Islam 2. Mengetahui bagaimana Kebijakan Moneter dalam Islam

(6)

BAB II PEMBAHASAN

A. Kebijakan Moneter Tanpa Bunga

Bunga sesungguhnya merupakan sumber permasalahan yang mengakibatkan ketidakstabilan perekonomian (Irfan Syauqi Beik, dalam Republika 17 Oktober 2005). Karena bunga adalah instrument yang menyebabkan ketidakseimbangan sektor riil dan moneter. Marilah kita ambli contoh sederhana berikut: misalkan seseorang memiliki asset Rp 1 miliar dan dia dihadapkan pada dua pilihan investasi, yakni deposito di bank dengan bunga 10 persen setahun dan satu investasi di sektor riil yang menjanjikan return sebesar 10 persen setahun. Secara rasional bisa diduga orang tersebut akan memilih deposito, karena pilihan itu memberikan kepastian return. Sedangkan investasi di sektor riil masih ada risiko kegagalan dan ketidakpastian. Dari contoh sederhana ini kita bisa melihat bahwa bunga memang menciptakan jarak antara sektor keuangan dengan sektor riil. Akibatnya, kondisi moneter tidak mencerminkan sektor riil, sebaliknya kondisi moneter tidak mencerminkan kondisi moneternya. Maka tidak mengherankan bila jumlah uang beredar di pasar uang US $500 triliun. Sedangkan jumlah uang yang beredar di pasar dan jasa hanya sebesar US $--- triliun (World Bank, 2004).

(7)

Namun tidak adanya instrument bunga di dalam ekonomi Islam menimbulkan pertanyaan besar, bagaimana mengelola kebijakan moneter saat ini adalah dunia yang sudah sekian lama didominasi system kapitalis dengan isntrumen bunganya, maka kehadiran system lain yang menafikan kehadiran bunga jelas akan menimbulkan tanda tanya besar. Di antara pertanyaan-pertanyaan itu adalah: bagaimana kebijakan moneter dapat berperan efektif untuk menyamakan permintaan dan penawaran tanpa kehadiran bunga sebagai instrument pengatur, apa alternatif bagi surat-surat berharga pemerintah yang mengandung bunga untuk mebiayai deficit pemerintah dalam satu kerangka yang tidak inflasioner? (Chapra, 2000, halaman 134).

System keuangan Islam sesungguhnya merupakan pelengkap dan penyempurna system ekonomi Islam yang berdasarkan kepada produksi dan perdagangan, atau dikenal dengan istilah sektor rill. Kegiatan yang tinggi dalam bidang produksi dan perdagangan akan mempertinggi jumlah uang beredar, sedangkan kegiatan ekonomi yang lesu akan berakibat berakibat rendahnya perputaran dan jumlah yang beredar. Dengan kata lain, permintaan terhadap uang akan lahir terutama dari motif transaksi dan tindakan berjaga-jaga yang ditentukan pada umunya oleh tingkatan pendapatan uang dan distribusinya. Makin merata distribusi pendapatan, makin besar permintaan akan uang untuk tingkatan pendapatan pendapatan agregat tertentu.

Dalam perekonomian Islam, keseimbangan antara aktivitas ekonomi riil dengan tinggi rendahnya jumlah uang beredar senantiasa dijaga. Salah satu instrument untuk menjaga adalah system perbankan islami.

Pada perekonomian kapitalis yang menggunakan instrument bunga, permintaan akan uang karena motif spekulasi, pada dasarnya didorong oleh fluktuasi suku bunga. Jika suku bunga turun dan ada harapan akan naik tidak lama lagi, biasanya akan mendorong individu atau perusahaan untuk meningkatkan jumlah uang yang dipegangnya. Karena suku bunga terus berfluktuasi pada system perekonomian kapitalis, terjadilah perubahan terus-menerus dalam jumlah uang yang dipegang oleh public. Maka tentu saja penghapusan bunga sekaligus mewajibkan membayar zakat 2,5 persen akan meminimalkan permintaan spekulatif terhadap uang, sehingga akan memberikan stabilitas yang lebih besar terhadap permintaan akan uang. Sejumlah faktor lain akan memperkuat kondisi, antara lain:

(8)

bagi hasil, tentu saja dengan risiko tertentu, atau mendiamkan uangnya tidak produktif tersimpan di tangannya.

2. Peluang investasi jangka pendek dan jangka panjang, dengan berbagai tingkatan risiko akan tersedia bagi investor tanpa memandang, apakah mereka adalah pengambil risiko tinggi atau rendah, sejauh mana risiko yang dapat diperkirakan akan diganti dengan laju keuntungan yang diharapkan.

3. Kecuali dalam keadaan resesi, rasanya tidak aka nada orang yang menyimpan sisa uangnya-setelah dikurangi untuk keperluan transaksi dan berjaga-jaga-membeku begitu saja. Ia tentu lebih memilih berinvestasi pada pada asset bagi hasil, paling tidak untuk menggantikan dananya yang tergerus oleh zakat dan inflasi.

4. Berbeda dengan suku bunga, laju keuntungan dalam skema bagi hasil tidak ditentukan di depan. Satu-satunya yang ditentukan di depan adalah nisbah bagi hasil yang tidak akan berfluktuasi, karena nisbah ini ditentukan oleh konvensi ekonomi dan sosial, dan setiap terjadi perubahan di dalamnya akan melalui suatu negosiasi yang sangat panjang.

Dalam perekonomian Islam, permintaan akan dana investasi yang berorientasi kepada model sendiri, akan merupakan bagian dari permintaan transaksi total dan akan bergantung pada kondisi perekonomian dan laju keuntungan yang diharapkan yang tidak akan ditentukan di depan. Mengingat harapan terhadap keuntungan tidak mengalami fluktuasi harian atau mingguan, permintaan agregat kebutuhan transaksi akan cenderung lebih stabil. Stabilitas yang lebih besar dalam permintaan uang untuk tujuan transaksi akan cenderung mendorong stabilitas yang lebih besar bagi kecepatan peredaran uang dalam satu fase daur bisnis dalam sebuah perekonomian islam dan dapat diperkirakan perilakunya secara lebih baik.

(9)

lainnya. Tujuannya untuk menjamin ekspansi moneter yang pas, tidak terlalu lambat tetapi juga tidak terlal cepat, tetapi cukup mampu menghasilkan pertumbuhan yang memadai yang dapat menghasilkan kesejahteraan yang merata bagi masyarakat. Laju pertumbuhan yang dituju haruslah yang bersifat kesinambungan, realistis serta mencakup jangka menengah dan jangka panjang.

Haruslah disadari, untuk mewujudkan sasaran islam, tidak saja harus melakukan reformasi perekonomian dan masyarakat dan masyarakat sejalan dengan garis-garis islam, tetapi juga memerlukan peran positif pemerintah dan semua kebijakan negara termasu fiskal, moneter, dan pendapatan, harus berjalan seirama. Praktik-praktik yang monopolistis harus dihilangkan dan setiap usaha harus dilakukan untuk menghapuskan kekuatan struktural dan meggalakkan semua faktor yang mampu menghasilkan peningkatan penawaran barang dan jasa.

B. Posisi Bank Sentral Dalam Islam

Dalam sistem konvensional, bank sentral berfungsi sebagai lembaga yang bertanggung jawab dalam mengatur kelancaran proses intermediasi, penyaluran mata uang dan yang tidak kalah pentingnya, bank sentral merupakan “Lender of the last resort”. Namun dalam sejarahnya , bank sentral adalah institusi yang lahir dari kebutuhan untuk membiayai ekspansi militer di Eropa pada awal abad ke-20. Riskbank of Swedan, yang didirikan pada tahun 1668, merupakan bank sentral pertama di dunia dan digunakan sepenuhnya untuk membiayai pengeluaran militer waktu itu. Begitu juga Bank of England yang berdiri pada tahun 1694, juga terutama ditujukan untuk membiayai perang Inggris melawan Prancis (Tamanni, 2002)

Selain untuk tujuan diatas, bank sentral juga merupakan solusi bagi krisis perbankan. Ini tercermin dari Federal Reserve system yang dilancarkan pemerintah AS di tengah kemelut dan krisis berkepanjangan yang dialami oleh Bank-bank di AS waktu itu. Padahal, ratusan tahun sebelumnya, dengan mendasarkan diri pada gold standard, bank-bank swasta yang memperoleh kebebasan untuk mengeluarkan uang sendiri tidak pernah mengalami krisis keuangan yang akut (Tamanni, 2002).

(10)

valuta asing, Lender of the last resort dan supervisi bank, haruslah diakui peran bank sentral sebagai pengelola kebijakan moneter tetaplah merupakan tugas utama bank sentral.ini tercermin dari pernyataan mantan Menteri Keuangan AS, Lawrence Summer,”Monetary policy destiny. The prospect for peace and prosperity for the rest of the century and beyonds depends as much on monetary policies as on any other factor...”

Konsep bank sentral dengan segala tanggung jawab dan fungsinya ini, seseungguhnya tidak dikenal dalam sejarah perekonomian islam. Apalagi seperti dijelaskan di muka, bank sentral sendiri merupakan inovasi baru dalam sistem ekonomi konvensional. Sehingga wajar apabila fungsi dan kedudukan bank sentral dalam konteks ekonomi islam sekarang patut diperdebatkan.

Bahkan Muhsmmsd Anwar (dalam Tamanni, 2002) melihat keberadaan bank sentral sebagai sesuatu yang tidak islami. Alasannya, pengeluaran fiat money telah secara langsung menciptakan seignorage kepada pemerintah, dan proses ini sekaligus mentransfer properti riil dari masyarakat kepada pihak berkuasa. Jelas ini bertentangan dengan apa yang diperintahkan oleh syariah, sebagaimana firman Allah SWT ; Dan janganlah kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat)dosa, padahal kamu mengetahui (QS. Al-Baqarah ayat 188).

Tidak islaminya bank sentral ini terkaitt dengan kegiatan pengedaran uang yang dilakukannya, di mana bank sentral sebagai tangan pemerintah, memperoleh pendapatan yang tidak adil dari uang yang beredar, atau Seignorage. Dalam bahasa yang mudah Seignorage

adalah pendapatan yang diterima dari mencetak uang , dimana nilai nominal uang yang dicetak jauh lebih besar daripada nilai kertas dan biaya pencetakannya.

Fenomena ini akan terus berulang ketika bank sentral meminjam uang dari masyarakat untuk membiayai defisit anggaran belanja negara. Karena sistem sekarang memerlukan bnk sentral untuk meminjam dengan sistem bunga, maka yang terjadi adalah peningkatan defisit, karena bank sentral harus membayar biaya bunga tadi (debt servicing). Pada akhirnya ini akan mendesak pemerintah, melalui bank sentral, untuk mencetak uang lagi, dan proses Seignorage

(11)

Marilah kita melihat fungsi bank sentral dan meninjaunya dengan perspektif sejarah ekonomi islam. Pertama, fungsi mencetak uang atau currency. Dalam periode awal sejaah moneter islam, tugas mencetak uang diserahkan sepenuhnya kepada sektor swasta atau siapa pun yang memiliki keahlian menempa uang koin dinar atau dirham. Hal ini memungkinkan karena uang dinali menurut berat atausukatnya dan bukan karena nialinya. Hanya belakangan, atau sekitar abad ke-6 atau ke-7 Masehi, barulah pengeluaran uang ini disentralisasikan oleh pemerintah waktu itu, meskipun sentra-sentra produksi berada di beberapa tempat, di antaranya Damaskus, Afrika Utara (Ifriqiyyah), Spanyol (Andalusia) dan Mesir. Salah satu tokoh sentralisasi pengeluaran uang itu adalah Walid bin Abdul Malik, yang memerintah di zaman dinasti Bani Umayah antara 65H sampai 86H. (tamanni, 2002).

Lembaga-lembaga inilah yang menjalankan salah satu tugas bank sentral, yakni memproduksi dan selanjutnya mendistribusikan uang, sehingga dalam kasus ini bolehlah lembaga ini diasosiasikan sebagai bank sentral. Dengan asumsi ini, maka mungkin kita bisa, menerima fungsi bank sentral sebagai pencetak uang, yang dalam konteks dinar islam tidak akan terjadi Seignorage.

Kedua, bank sentral juga bertugas sebagai pengawas lembaga-lembaga keuangan yang ada dan juga mengelola sistem keuangan negara agar senantiasa stabil dan terarah. Di antara manifestasi dari fungsi regulasi dan supervisi ini adalah dengan menetukan kredit lending lemit, mengharuskan setiap lembaga keuangan utuk memberi laporan berkaa kepada bank sentral dan sebagainya.

Dilihat dari kacamata islam, maka aspek pengawasan dan regulasi sektor keuangan atau perbankan ini akan jatuh ke dalam kewenanangan para muhtasib, atau secara bebas kita bisa mengartikan sebagai pengawas pasar keuangan. Dalam pengertian sebenarnya, muhtasib dan lembaganya, hisbah, mempunyai tugas yang relatif sempit dan terbatas. Dianatranya menurut Essid (1995, hlm.118) dalam Tamanni (2002) adalah : mengawasi pasar, mengatur timbangan dan sukatan, menjaga dari tindakan penipuan, mengatur harga, arbitrasi konflik antara penjual dan pembeli, dan bahkan termasuk juga mengawasi jalan-jalan diperkotaan (urban roads).

(12)

menyandarkan posisi hisbah ini dalam konteks lembaga pengawas dan penyelia pasar-pasar ekonomi yang ada sekarang. Baik itu pasar barang dan jasa, pasar tenaga kerja, pasar modal, dan lain-lainnya. Sehingga salah satu aspek dari hisbah adalah megawasi jalannya aktivitas perbankan dan keuangan agar berjalan lancar dan teratur, sebagaimana fungsi yang sekarang dijalankan oleh bank sentral. Oleh karena itu, fungsi banking supervision dan regulation akan lebih efektif sekiranya dikendalikan oleh institusi hibah, dan ini berarti kehadiran bank sentral sebagai pengawas sistem moneter tidak diperlukan lagi.

Sebaiknya, institusi yang mempunyai kewenangan pengaturan ekonomi umat di masa silam adalah baitulmal,dengan dilengkapi dan Dibantu sebuah lembaga yang mengawasi tindak tanduk dan perilaku masyarakat dalam segala aspek, yaitu hisbah. Oleh karena itu, kalau kita hendak menempatkan posisi otoritas moneter dalam konteks pemerintahan Islam yang ideal, maka tempatnya adalah pada lembaga keuangan baitulmal (Treasury) dan hisbah (market regulator) . akan lebih baik lagi bila kedua lembaga itu dilengkapi dengan beberapa lembaga lain yang mengatur pelaksanaan fiscal dan moneter, yang semakin hari semakin kompleks.

C. Mengelola Kebijakan Moneter

Salah satu sebab terjadinya peredaran uang yang terlalu tinggi adalah terjadinya deficit anggaran yang ditutup dengan pinjaman. Karena itu agar kebijakan moneter menjadi lebih efektif, perlu koordinasi antara kebijakan moneter dan fiscal untuk mewujudkan tujuan-tujuan nasional. Diperlukan suatu kebijakan anggaran yang tidak inflasioner dan realistis di Negara-negar muslim. Suatu pemerintahan muslim yang sungguh-sungguh berkomitmen pada pencapaian sasaran, haruslah mampu melaksanakan satu kebijakan anggaran yang konsisten dengan sasarannya. Ini penting bagi suatu pemerintahan muslim, karena pasar uang di Negara muslim relative terbelakang saat ini (Chapra,2000).

Kebijakan moneter tidak dapat berperan efektif dalam meredam peredaran uang. Namun, itu bukan berarti deficit anggaran tidak dimungkinkan. Paling tidak deficit anggaran boleh terjadi sejauh memang diperlukan untuk suatu pertumbuhan jangka panjang yang berkesinambungan dan kesejahteraan yang berbasis luas yang didukung oleh harga-harga yang stabil.

(13)

1. Sulitnya pemerintah meningkatkan pembiayaan yang memadai melalui perpajakan dan sumber-sumber pemasukan noninflasioner lainnya untuk memenuhi pengeluaran produktif dan penting lainnya.

2. Kurangnya kesediaan pemerintah untuk mereduksi secara substansial pengeluaran Negara yang mubazir dan tidak produktif.

Suatu pemerintahan muslin haruslah berani menghapus kedua sumber deficit anggaran itu agar lebih efektif dalam menjalankan kebijakan moneter.

Sesungguhnya, menghapus pengeluaran yang tidak produktif dan mubazir, merupakan kewajiban muslim. Bagi pemerintah itu menjadi satu keniscyaan, karena mereka menggunakan sumber daya yang disediakan oleh rakyat sebagai suatu amanah. Maka, menciptakan pengeluaran yang tidak produktif dan mubazir bisa dianggap sebagai penghianatan terhadap amanah itu. Sumber-sumber daya itu harus dimanfaatkan secara efisien dan efektif, dibarengi dengan persaan tanggung jawab kepada Allah. Rasulullah SAW. Bersabda, “Siapa saja yang sudah diberi amanah oleh rakyat tetapi tidak melaksanakannya dengan jujur, tidak akan mencium bau surga.”

Setelah semua pengeluaran yang tidak perlu bisa dihilangkan,neraca pengeluaran pemerintah dapat dibagi menjadi tiga bagian, yakni : (1) pengeluaran rutin (2) pengeluaran proyek (3) pengeluaran darurat.

Semua pengeluaran rutin dapat didanai dari penerimaan pajak. Demikian pula dengan proyek-proyek yang berorientasi komersial, dapat didanai dengan skema bagi hasil atau melalui penjualan saham kepada lembaga-lembaga finasial dan public. Subsidi yang diperlukan orang-orang miskin harus dipersiapkan dari penerimaan pajak, donasi atau qardhul hasan. Sedangkan pembiayaan darurat, misalnya terjadi bencana besar atau perang, yang tidak dapat dibiayai dengan kedua cara diatas, harus dibiayai dengan pinjaman wajib.

(14)

uang yang diciptakan oleh bank komersial dalam proses perluasan kredit dan merupakan sumber utama ekspansi moneter.

Deposito derivative demikian akan menimbulkan peningkatan penawaran uang seperti halnya mata uang yang dikeluarkan pemerintah atau bank sentral. Karena ekspansi ini persis seperti deficit pengganti dalam output,makan ekspansi dalam deposito derifatif ini harus harys diatur sedemikian rupa jika ingin pertumbuhan moneter yang diharapkan tercapai. Caranya adalah dengan mengatur ketersediaan uang basis bagi bank-bank komersial. Dalam konteks inilah,ketiadaan bunga menjadi sangat berguna.

Sumber ekspansi moneter yang ketiga adalah surplus neraca pembayaran. Namun kenyataannya hanya sedikit Negara muslis yang mengalami surplus neraca pembayaran. Sebagian besar lainnya mengalami deficit. Pada Negara yang mengalami surplus, ekspansi moneter akan terjadi bila pemrintah menguangkan surplus dengan belanjakan secara domestic. Semestinya,jika dalam suatu Negara mengalami surplus, pengeluaran pemerintah harus diatur menurut kapasitas ekonomi untuk menghasilkan penawaran rill,segingga tidak ada inflasi yang dihasilkan secara internal sebagai akibat terjadinya surplus neraca pembayaran.

Sedangkan dinegara-negara yang mengalami deficit, sumber utama deficit berasal dari ekspansi moneter yang tidka sehat dibarengi dengan konsumsi mencolok dari sektor swasta dan pemerintah melalui deficit transaksi berjalan dan kebocoran modal bawah tanah. Hal ini tidak dapat dihapuskan tanpa reformasi sosiologi ekonomi pada tingkatan yang lebih dalam dan kebijkan fiscal maupun moneter sesuai dengan ajaran-ajaran islam.

D. Instrumen Kebijakan Moneter

Meskipun tidak menerima sepenuhnya system yang ada sekarang, dengan beberapa catatan kita bisa menggunakan Framework system keuangan dan moneter yang ada untuk kita manfaatkan sepenuhnya demi kepentingan umat. Langkah ini perlu ditempuh mengingat tidak adanya system moneter islami yang solid dan secara teoritis bisa diuji kemampuannya.

(15)

pemerintah yang benar-benar rill dan mencapai sasaran sosioekonomi masyarakat islam lainnya. Terdapat sejumlah elemen untuk mengatur hal ini, diataranya (Chapra,2000) :

1. Target Pertumbuhan dalam M dam M0

Setiap tahun bank sentral harus menetukan pertumbuhan peredaran uang yang diinginkan (M) sesuai dengan sasaran ekonomi nasional. Termasuk yang harus dipertimbangkan sebagai sasaran ekonomi nasional adalah laju pertumbuhan ekonomi yang memadai dan berkesinambungan dan mata uang yang stabil. Target pertumbuhan dalam M ini harus dilihat ulang setiap kuartal atau kapan saja bila Diinginkan dengan melihat kinerja perekonomian dan tren variabel penting lainnya. Pilihan periode ini dipilih karena umumnya kecepatan pendapatan uang dapat diprediksi dengan tepat selama periode tersebut. Target ekonomi nasional sebaiknya tidak diubah-ubah , kecuali terjadi gejolak ekonomi, domestik, maupun eksternal.

Haruslah dipahami bahwa target perubahan M berkaitan erat dengan pertumbuhan dalam M0 atau uang berdaya tinggi yang didefinisikan sebagai mata uang dalam sirkulasi ditambah deposito pada bank sentral, maka bank sentral harus mengatur ketersediaan dan pertumbuhan M0. Tentu saja ini menuntut satu kebijakan fiskal yang berorientasi kepada sasaran dan pengaturan yang tepat terhadap akses lembaga keuangan untuk mendapatkan kredit dari bank sentral.

Berkaitan dengan pengaturan M0 ini, sumber-sumber daya yang dapat diturunkan dari kekuatan ini harus dimanfaatkan untuk memenuhi sasaran-sasaran masyarakat islam yang berorientasi kepada kesejahteraan sosial. Sumber daya itu harus dimanfaatkan terutama untuk membiayai proyek yang mewujudkan tujuan-tujuan umat yang merupakan satu saudara, yang tidak dapat dipisahkan oleh kesenjangan pendapatan dan kekayaan.

(16)

Sebagian dari M0 diberikan kepada pemerintah untuk membiayai proyek-proyek kepentingan sosial, termasuk penyediaan perusahaan, fasilitas kesehatan, dan pendidikan bagi yang miskin.

Sebagai M0 diberikan pada bank-bank komersial, pada umumnya dalam bentuk pinjaman mudarabah tanpa diskonto. Jumlahnya harus memadai untuk memungkinkan bank-bank komersial membiayai aktivitas pertumbuhan ekonomi yang diinginkan dalam sektor swasta tanpa menimbulkan kondisi inflasioner. Proyek-proyek yang didanai harus sesuai dengan perekonomian islam. Sebagian laba yang diperoleh bank sentral dari pembiayaan itu. Harus diberikan kepada pemerintah untuk digunakan membiayai proyek-proyek yang ditujukan untuk menghilangkan kemiskinan dan mengurangi kesenjangan pendaptan dan sebagian disimpan oleh bank sentral untuk memenuhi kebutuhannya.

Sebagian M0 lagi diberikan kepada lembaga-lembaga khusus, harus juga dalam bentuk pinjaman mudarabh. Ia harus digunakan terutama untuk membiayai aktivitas produktif seperti wirausaha, petani, industri, rumah tangga dam pembiayaan bisnis kecil lainnya. Bisnis-bisnis ini sebenarnya prospektif namun tidak mendapatkan dana yang cukup dari bank-bank komersial.

2. saham publik terhadap deposito unjuk (uang giral)

Sebagian uang giral bank komersial, sampai ukuran tertentu, misalnya 25 persen, harus dialihkan kepada pemerintah untuk membiayai proyek-proyek yang bermanfaat secara sosial, dimana prinsip bagi hasil tidak layak diterapkan dalam kondisi itu. Ini merupakan tambahan dari jumlah yang dilimpahkan oleh bank sentral kepada pemerintah untuk melakukan ekspansi basis moneter (M0). Salah satu caranya adalah dengan mengalihkan sebagian deposito unjuk yang dimobilisi kepada perbedaharaan publik untuk membiayai proyek-proyek yang bermanfaat secara sosial, tanpa memaksakan beban kepada pundak publik lewat pajak yang dikumpulkan.

(17)

3. cadangan wajib resmi

Bank-bank komersial diwajibkan menahan suatu propinsi tertentu, misalnya 10-20 persen, dari deposito unjuk mereka dan disimpan di bank sentral sebagai cadangan wajib. Bank sentral harus menanggung ongkos memobilisasi deposito ini kepada bank-bank komersial, persis seperti pemerintah menanggung ongkos memobilisasi 25 persen deposito unjuk yang dialihkan kepada pemerintah. Cadangan resmi ini dapat divariasikan oleh bank sentral dengan anjuran kebijakan moneter.

Alasan di balik cadangan wajib hanya diberlakukan kepada deposito unjuk, adalah sifat ekuitas deposito mudarabah dalam sebuah perekonomian islam. Mengingat bentuk ekuitas lain dikecualikan dari cadangan wajib resmi, tak ada alasan untuk mewajibkan modal yang lebih tinggi, adanya aturan yang lebih baik dan dijalankan dengan sistem pengujian bank yang efektif.

Dana-dana yang diterima oleh bank sentral melalui kewajiban cadangan resmi dapat digunakan untuk dua hal. Sebagian dana harus digunakan oleh bank sentral untuk melayani pinjaman sebagai leader of the last resort. Bank sentral dapat bertindak sebagai leader of resort dalam batas-batas tertentu yang telah disepakati. Untuk menghindari penggunakan fasilitas ini secara tidak benar. Dalam situasi ini kritis, bank sentral dapat melampaui batas-batas ini, tentu dengan sanksi-sanksi, peringatan serta program koneksi yang sesuai.

Selain itu cadangan resmi dapat diinvestasikan oleh bank sentral. Bank sentral harus menemukan ladang-ladang alternatif bebas bunga untuk investasi.

4. pembatas kredit

(18)

pada kredit bank komersial untuk menjamin, bahwa penciptaan kredit total adalah konsisten dengan target-target moneter. Dalam alokasi batasan di antara bank-bank komersial secara individu, perlu dilakukan secara hati-hati, sehingga terwujud kompetisi yang sehat di antara bank-bank komersial itu.

5. alokasi kredit (pembiayaan) yang berorientasi kepada nilai

Mengingat kredit bank terjadi karena dana yang dimiliki oleh publik, kredit harus dialokasikan dengan bijak agar bisa membantu mewujudkan kemaslahatan umat. Kriteria untuk alokasi ini, seperti dalam kasus sumber-sumber daya yang disediakan Allah pada umumnya, harus mewujudkan sasaran masyarakat islam dan kemudian memaksimalkan keuntungan pribadi. Hal ini dapat dicapai dengan menjamin bahwa :

 Alokasi kredit akan menimbulkan suatu produksi dan distribusi optimal bagi barang dan jasa yang diperlukan oleh sebagian besar anggota masyarakat.

 Manfaat kredit dapat dirasakan oleh sejumlah besar kalangan bisnis di masyarakat.

Cara yang tepat untuk mencapai tujuan pertama adalah dengan mempersiapkan suatu perencanaan yang berorientasi kepada nilai dan kemudian menyambungkan perencanaan ini dengan sistem perbankan komersial untuk implementasi yang efisien. Pendekatannya harus

(19)

Namun resiko itu sesungguhnya dapat dikurangi menggunakan satu skim jaminan pinjaman yang sebagian dijamin oleh pemerintah dan sebagian oleh bank komersial. Dalam hal bank-bank Islam, skim jaminan tidak dapat menjamin pengembalian utang dengan bunga seperti dalam kasus bank-bank konvensional. Melalui skim ini, usaha kecil akan mendapatkan pelatihan memadai dalam hal manajemen, sehingga nantinya mereka siap diaudit kapan saja. Dengan demikian usaha kecil dapat memperoleh pembiayaan tanpa harus menyerahkan kolateral. Di sisi lain bank pun mendapatkan jaminan memperoleh uangnya kembali ketika terjadi moral hazard.

Biaya tambahan yang ditetapkan pemerintah dalam melakukan evaluasi dan pembiayaan kepada usaha kecil harus dapat diganti sebagian atau seluruhnya oleh pemerintah. Ongkos ini harus ditanggung pemerintah dengan alasan, karena skim di atas dijustifikasi dengan mengikuti kepentingan yang lebih besar dari tujuan-tujuan ekonomi Islam.

6. Teknik Lain

Bank sentral melalui kontak personalnya, konsultasi dan rapat dengan bank-bank komersial, dapat saling bahu-membahu menjaga kekuatan dan memecahkan persoalan perbankan serta memberikan saran kepada mereka dengan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk mengatasi kesulitan dan mencapai tujuan yang diinginkan.

Di luar instrumen suku bunga dan operasi pasar yang biasa digunakan oleh sistem perbankan konvensional, setidaknya terdapat tiga instrumen yang dapat dipakai oleh bank sentra untuk menciptakan suatu dampak yang lebih langsung pada cadangan bank-bank komersial, yakni: uang giral pemerintah yang terdapat pada bank-bank komersial; persetujuan tukar-menukar mata uang asing oleh bank sentral dengan bank komersial; dan “pengumpulan umum”. Sekiranya cadangan bank-bank komersial ingin ditingkatkan atau dikurangi, bank sentral bisa saja jika diberi kekuasaan untuk berbuat demikian menggeser uang giral pemerintah ke atau dari bank komersial. Dengan demikian, akan memengaruhi cadangan mereka secara langsung.

(20)

kemampuan cadangan bank-bank komersial yang dikehendaki. Namun sesuai dengan koridor syariah, fasilitas ini tidak diperkenankan bagi bank-bank yang hendak melakukan spekulasi.

Instrumen ketiga yang dapat dipakai secara efektif untuk tujuan kebijakan moneter oleh bank sentrl adalah “penghimpunan umum”. Ini semacam perjanjian kooperatif antara bank-bank dalam naungan bank sentral untuk menyediakan keringanan kepada bank-bank pada saat menghadapi persoalan likuidasi.

Di samping tiga instrume di atas, Umer Chaptra (2000) juga menyarankan menggunakan tiga instrumen berikut, yang menurutnya telah banyak disarankan oleh literatur perbankan Islam, yakni:

a. Membeli dan menjual saham dan sertifikat bagi hasil untk menggantikan obligasi pemerintah dalam operasi pasar

b. Rasio pemberian kembali pembiayaan. c. Rasio pemberia pinjaman.

Ketidaktersediaan sebagai instrumen tradisional kebijakan moneter tidak harus menimbulkan persoalan serius dalam mengelola suatu kebijakan moneter yang efektif dengan syarat bahwa realisasi uang berdaya tinggi diatur dengan baik pada pusatnya. Hal ini dengan sendirinya mengandung arti bahwa dalam sistem Islam, seperti juga sistem-sistem lain, kerja sama yang baik antara bank sentral dengan pemerintah sangat diperlukan. Apabila pemerintah memang tidak berniat mempertahankan stabilitas harga sebagai satu sasaran kebijakan, maka mustahil ia akan memiliki suatu kebijakan moneter yang efektif. Manakala uang berdaya tinggi telah dapat diatur pada pusatnya, beberapa penyesuaian diperluakn karena kondisi perekonomian atau karena terjadi kesalahan dalam memprediksi harus dilakuakan oleh bank sentral melalui penggunaan instrumen yang ada padanya.

MUSYAWARAKAH SEBAGAI INSTRUMEN KEBIJAKAN MONETER (BELAJAR DARI SUDAN)

(21)

bunga dalam kebijakan moneter. Skema musyarakah sebagai instrumen kebijakan moneter pertama kali diterapkan oleh Bank Sentral Sudan (BOS). Untuk urusan ini, BOS mendirikan sebuah perusahaan dana yang bertugas khusus untuk mengelola keseluruhan kegiatan operasi moneter BOS.

Secara ringkas, aplikasi musyarakah dalam kebijakan moneter ini dijabarkan dalam bentuk surat berharga musyarakah, atau Central Bank Musyarakah Certificate (COC). COC ini merupakan surat berharga yang diterbitkan oleh bank sentral berdasarkan jumlah dan porsi kepemilikan dalam bank-bank komersial. Sekuritas ini kemudian akan dijual kepada pub;ik, dan terutama sekali lembaga keungan secara lelang terbuka, untuk mengawal aliran likuiditas domestik melalui operasi pasar.

Dalam hal ini, bank sentral beroperasi dalam dua transaksi musyarakah, pertama, dengan bank di mana sahamnya dibeli dan dimiliki oleh bank sentral; kedua, dengan investor (yang kebanyakan bank juga) yang membeli COC. Oleh karena itu, bank sentral akan membagi keuntungan yang diperolehnya dari deviden, kepada pemegang COC secara proporsional.

Selanjutnya, vaiasi lain dari apa yang dilakukan BOS adalah pembelian saham dan kepemilikan perusahaan-perusahaan nonkeuangan oleh bank sentral, baik secara musyarakah maupun mudarabah. Dalam konteks sistem ekonomi Islam, ini juga bisa dilakukan oleh baitumal, atau lembaga-lembaga lainnya. Bila ini dilakukan, maka tugas bank sentral dalam mencapai sasarannya akan lebih mudah dilaksanakan. Karena, dengan menjadi pemilik perushaan sektor riil, maka bank sentral bisa mengontrol, misalnya, tingkat pengangguran dengan menyalurkan dananya ke sektor-sektor padat karya. Sebaliknya, apabila pertumbuhan ekonomi adalah prioritas, maka bank sentral bisa mengikat kontrak musyarakah dengan perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam bidang sasaran, misalnya industri yang dianggap mampu menggerakkan pertumbuhan ekonomi.

(22)

swasta mempunyai masalah. Bukan saja transaksi ini bisa menimbulkan distorsi terhadap pasar, tetapi motif bank sentral sendiri bisa dipertanyakan, kecuali kalau yang diperjual belikan adalah saham-saham perusahaan pemerintah.

Kedua, Chapra menilai penggunaan instrumen ekuitas tidak memadai bagi tujuan kebijakan moneter, karena instrumen ini tidak punya pengaruh yang besar sebagaimana obligasi pemerintah, misalnya. Dengan obligasi atau surat berharga lainnya, bank sentral mampu memanipulasi jumlah uang beredar secara lebih efektif. Sedangkan pemebelian saham perusahaan dengan sistem bagi hasil, dampaknya terhadap peredaran uang sangat kecil dan cenderung memakan waktu lebih lama.

Terakhir, tindakan bank sentral yang ikut serta membeli saham bisa menimbulkan korupsi dan iregulatis lainnya, seperti moral hazart,principal agency problem, dan sebagainya. Kemudian pada akhirnya, hanya akan menggagalkan maksud bank sentral yang sebenarnya, yaitu mencapai target dan sasaran yang sesuai dengan strategi kebijakan moneternya. Yang teradi malah distorsi pasar dan ketidakpastian.

Berbeda dengan Chapra, Mohammad Uzair justru melihat beberapa kelebihan dari aplikasi sistem ini dalam kebijakan moneter. Pertama, keterlibatan langsung bank sentral dalam kepemilikan sebuah bank, atau jenis perusahaan lain, akan memberikan leverage terhadap bank sentral. Ini akan lebih efektif dalam kasus musyarakah antara bank sentral dan bank komersial atau lembaga keuangan lain yang berada di bawah kewenangan bank sentral. Sebab penyertaan saham bank sentral di lembaga-lembaga tadi akan memastikan setiap kebijakan dan peraturan bank sentral dipatuhi karena hanya dengan kepatuhan dan kerjasama bank dan lembaga keuanganlah, kebijakan moneter bisa efektif.

Kedua, hubungan yang rapat antara bank sentral dengan bank-bank komersial akan menciptakan suasana kondusif bagi tercapainya pertumbuhan yang sehat dalam industri perbankan. Di mana setiap permasalahan yang dialami oleh sektor perbankan, akan dideteksi oleh bank sentral melalui keterlibatannya dalam kepemilikan bank.

(23)

dari ke-12 bank Federal Reserve dimiliki dan di-subscribe oleh bank-bank dan lembaga keuangan seluruh Amerika yang umumnya milik swasta.

Namun, seperti kita paham dari uraian Uzair terdahulu, yang ditawakan sebagai model bank sentral islam adalah kebalikan dari yang dipraktikkan di Amerika. Yaitu, bank sentrallah yang akan memiliki (sebagian dari) saham-saham bank-bank komersial yang ada. Ini bisa dilakukan dengan konsep musyarakah, seperti yang telah diuraikan secara panjang lebar di atas.

Berdasarkan peraturan perundangan perbankan yang ada tidaklah sulit untuk menerapkan konsep musyarakah sebagai bagian yang inheren dalam pelaksanaan kebijakan moneter, bahkan fiskal. Dengan mengambil yang dipraktikkan Sudan, Bank Indonesia (BI) mungkin bisa memulainya dengan membeli saham-saham bank syariah yang ada. Bila ini dilakukan, maka sektor perbankan syariah akan menikmati banyak faedah dan keuntungan. Di antaranya adalah meningkatnya keyakinan masyarakat terhadap bank syariah serta bertambah mentapnya struktur model perbankan syariah secara keseluruhan. Selain itu, dengan hadirnya BI sebagai pemilik, maka bank syariah sebagai bank terpercaya akan meningkat. Betapa pun, alternatif ini patut dikaji dan dipertimbangkan.

MENGELOLA MONETER GAYA AL-MAQARIZI

Memahami pemikiran Al-Maqrizi sungguh suatu keindahan tersendiri. Murid kesayangan Ibnu Khaldun ini selain dikenal sebagai ahli fiqih dan ulama, ia lebih dikenal sebagai ekonom karena uraian dalam bukunya yang bertajuk Ighatsatul Ummuh bi Kasyfil Ghummah. Kitab ini juga dinamakan Tarikh Maja-at fi Misr.

Namun justru di bagian terakhir inilah sebagai kelebihan Al-Maqrizi. Ia menunjukkan dirinya sebagai analis luar biasa di bidang ekonomi. Pemahamannya di bidang ini sangatlah luas. Ia berbicara tentang mikroekonomi, makroekonomi, ekonomi pembangunan, inflasi, uang, anggaran negara, pasar, bahkan ia berbicara tentang indeks harga yang ia rekam pada masa hidupnya di Mesir. Pikiran-pikiran Al-Maqrizi di bidang ekonomi sangat kaya, luas, rinci, ilmiah dan modern.

(24)

tahun 768 H dan meninggal di Kairo, Mesir pada tahun 845 H. Selama beberapa tahun ia pernah menetap di Maqarizah. Karena itulah ia kemudian dikenal juga dengan nama Al-Maqrizi. Sepanjang 79 tahun usianya, beliau mengalami empat era kekhalifahan dalam dinasti Albaniyah II, yakni dimulai dari Khalifah Mutawakkil, Musta’in, Mu’tadhid II, dan terakhir al-Mustakfi II.

Keahlian dan kepakaran Al-Maqrizi dalam memahami persoalan-persoalan makroekonomi terutama aspek moneternya merupakan keunggulannya tersendiri dibandingkan dengan ulama fikih lainnya. Ia tidak saja jeli, teliti, dan kritis terhadap fenomena makroekonomi pada zamannya, melainkan juga tampil ke depan memberikan solusi yang didasarkan pada pemahamannya yang benar tentang pesan-pesan syariat dalam bidang tersebut.

Mesir di masa Al-Maqrizi adalah Mesir yang tengah mengalami masa surut. Perekonomiannya secara umum sangatlah parah, produksi bahan makanan dan cadangannya tidak mencukupi kebutuhan penduduk yang terus meningkat. Hal ini menimbullkan kelangkaan bahan-bahan kebutuhan pokok sehingga mengakibatkan kelaparan masal di Mesir, sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya. Penyebabnya tak lain karena administrasi pemerintahan yang tidak efisien dan sangat korup. Praktik suap menyuap, komersialisasi jabatan, korupsi, kolusi dan nepotisme tumbuh subur di dalamnya dan pada saat yang sama diberlakukan pajak represif oleh pemerintah yang tidak accountable terhadap rakyat, sehingga menjadi kontraproduktif bagi petani. Inilah yang menyebabkan kemerosotan yang sangat tajam dalam produksi pertanian sebagai sektor kehidupan yang paling dominan saat itu.

(25)

Ternyata di masa hidupnya, Al-Maqrizi menjumpai situasi yang sama seperti dialami Ibnu Khaldun. Dalam bukunya, Ighatsah, ia meminjam analisis gurunya dengan mengidentifikasi bahwa administrasi politik menjadi sangat lemah dan buruk pada saat itu. Pegawai pemerintah bisa menduduki jabatannya karena memberikan suap. Akibatnya ketika menjabat, orang yang menyuap tadi kemudian menerapkan pajak yang menindas untuk menutup ongkos yang telah dikeluarkannya untuk menyuap. Dorongan untuk bekerja dan memproduksi menjadi bertolak belakang dan hasil produksi menurun krisis diperburuk oleh penurunan nilai mata uang, karena pengeluaran mata uang tembaga (fulus) yang berlebihan untuk menutupidefisit anggaran negara. Faktor-faktor ini ditambah dengan paceklik mendorong kepada tingginya derajad inflasi, penderitaan rakyat kecil, dan kemiskinan negara.

Karena itu Al-Maqrizi membentangkan variabel-variabel sosioekonomi dan politik dengan menunjukkan sejumlah persoalan seperti korupsi, kebijakan pemerintah yang buruk dan tidak populer dan administrasi yang lemah sebagai determinan utamanya. Ini semua berperan penting dalam memperburuk dampak kemerosotan produksi nasional terutama bahan-bahan kebutuhan pokok. Yang hendak dikemukakan oleh Al-Maqrizi adalah bahwa kondisi perekonomian yang sudah begitu buruk sebenarnya dapat dipulihkan tanpa harus melakukan gebrakan-gebrakan yang seringkali justru merugikan kepentingan rakyat dan mengurangi tingkat kesejahteraan secara umum. Kesimpulannya, kesalahan dalam mengatur perekonomian ditambah pemerintah yang tidak memiliki legitimasi, bertanggungjawab pada penderitaan rakyat miskin selama musim paceklik dan bencana alam lainnya.

Dalam melihat sejauh mana dampak hyperinflation yang melanda perekonomian Mesir waktu itu, Al-Maqrizi membagi inflasi menjadi dua: inflasi akibat berkurangnya persediaan barang (natural inflation) dan inflasi akibat kesalahan manusia. Inflasi jenis pertama ini juga terjadi di masa Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin, yaitu karena kekeringan atau peperangan.

(26)

Penyebab inflasi yang ketiga yakni beredarnya fulus yang berlebihan, mendapat perhatian khusus dari Al-Maqrizi. Dalam pengamatannya ternyata kenaikan harga-harga inflasi yang terjadi adalah dalam bentuk jumlah fulusnnya. Misalnya untuk pakaian yang sama ternyata dibutuhkan lebih banyak fulus. Akan tetap bila nilai barang diukur dengan dinar emas jarang sekali terjadi kenaikan harga. Untukitulah Al-Maqrizi menyarankan agar jumlah fulus dibatasi secukupnya saja, sekedar untuk melayani transaksi pecahan kecil.

Allamah Al-Maqrizi tidak hanya mempelajari penyebab inflasi, tetapi juga dampaknya. Untuk tujuan itu ia membagi masyarakt mesir menjadi 7 kelompok strata sosial.dengan pembagian itu, tampaknya ia ingin melihat segmen masyarakat yang mana yang paling parah trkena dampak dari inflasi. Upaya semacam ini merupakan gagasan orisinilnya yang sangat boleh jadi belum pernah dilakukan oleh ilmuwan muslim sebelumnya.

Kelompok pertama adalah golongan penguasa dan para pembantunya, kelompok dua adalah pengusaha, pedagang besar dan orang yang hidupnya mewah (ahlul yasar). Ketiga dalah golongan menengah dari pengusaha dan pedagang termasuk kaum profesional. Keempat adalah petani yang umumnya hidup di pedesaan, kelima adalah golongan fakir yang menurut Al-Maqrizi adalah semua fukaha, mahasiswa dan prajurit. Keenam adalh para pekerja kasar dan nelayan. Ketujuh adalah golongan papa dan peminta-minta.

Nominal income lebih tinggi tetapi purchasing power mereka menurun drastis karena real income mereka merosot tajam akibat inflasi. namun golongan ini tidak terlalu parah terkena dampak krisis moneter tersebut. Golongan yang kedua yang terdiri dari para pedagang dan pengusaha besari ni menurut Al-Maqrizi, aset mereka mengalami penurunan karena dimakan oleh biaya yang terus membengkak oleh inflasi. golongan ketiga yang merupakan kaum profesional yang mendapatkan upah yang meningkat secara nominal, tetapi karena melonjaknya harga-harga yang menyebabkan tingkat kehidupannya tetap seperti sebelumnya.

(27)

Al-Maqrizi adalah golongan yang paling menderita dari lima golongan yang pertama. disebabkan pendapatan mereka bersifat tetap. Adapun golongan keenam dan ketujuh mereka dalah segmen masyarakat yang tidak saja terparah penderitaannya bahakan kebanyakan dari mereka terutama golongan ketujuh, mati kelaparan.

Jelaslah bahwa berdasarkan penggolongan strata masyarakat mesir oleh Al-Maqrizi ini dapat disimpulkan bahwa dampakkrisi moneter pada masa itu bergantung pada hakikat pendapatan(income) dan kekayaan(wealth) masing-masing golongan. Jika pendapatannya bersifat tetap atau meningkat tetapi lebih rendah dari laju inflasi, maka kondisinya parah. Sebaliknya jika pendapatannya meningkat lebih tinggi dari laju inflasi, maka kesejahteraan material mereka meningkat. Begitu juga halnya dengan kekayaan yang berupa uang, merekapun mengalami kerugian karena daya beli mereka terus berkurang. Disamping itu mereka juga meningkatkna biaya untk memenuhi tuntan kebutuhan yang harganya terus meningkat.

Dari rangkaian pengamatan itu, Al-Maqrizi menemukan fenomena dan kemudian menganalisinya menjadi satu hukum bahwa uang yang buruk mendorong hilangnya uang yang baik. Alasannya, karena orang cenderung menggunakan uang yang buruk untuk transaksi dan menyimpan uang yang baik. Akibatnya uang yang baik menghilang dari peredaran. Hukum itu kemudian dikenal sebagai hukum Gresham, sebagai penghargaan kepada penemunya di Abad ini yaitu Thomas Gresham.

Apa yang ditemukan oleh AL-Maqrizi dalam mellihat dampak hyperinflation di Mesir pada zamannya sesuai benar dengan temuan para ekonom modern. Dan yang sangat menakjukan kita adalah metode dan cara-cara yang dilakukan oleh Al-Maqrizi 600 thun yang lalu masih sangat relevan untuk dipakai pada masa kini.

Al-Maqrizi dan Anggaran Negara

(28)

Proses penyiapan anggaran negara, seperti ditulis oleh AL-Maqrizi, kurang lebih sama dengan apa yang berlangsung saat ini. di sebagian besar negara di dunia. Pada awalnya perdana menteri Mesir (di masa pmerintahan Khalifah Al-Mustansir Billah) mengeluarkan satu dekrit yang memnita suatu departemen mneyusun laporan mengenai pengeluaran dan pendapatan sejarah nasional. Maka seluruh diwan yang saat itu kemudian menyusun apa yang di perintahkan perdana menteri, namun hanya berdasarkan apa yang terjadi di diwannya masing-masing. Kemudian mereka menyerahkan laporannya kepada semacam lembaga pusat diwan LPD, dimana seluruh laporan akan ditangani dan dikumpulkan menjadi satu laporan utama. Dari sini akan diketahui di bagian mana dan dikawasan mana yang memiliki potensial surplus, dimana yang defisit dan dimana pula yang neraca berimbang.

Penyusunan anggaran mencapai final setelah seluruh permintaan dana beserta argumen yang mendasar disampaikan. Kemudian berlangsunglah debat dan diskusi diantara anggota kabinet untuk membahas anggaran itu.

Analisi Pemikiran AL-Maqrizi

Ketika menulis krisi ekonomi di mesir dalam buku-bukunya, ia menulis persoalan tersebut dengan suatu pabdangan makroekonomi yang utuh, padu, dan komperhensif. Ia tidak memisahkan antara faktor-faktor ekonomi dan non ekonomi yang berperan dalam menimbulkan krisis seperti ladzimnya analisis ekonom pada masa sekarang. Sebaliknya ia sertakan semua determinan yang ada baik itu sosial politi hukum agama akhlak dan lain-lain kedalam analisisnya. Sehingga menjadikannya berdaya jangkau luas dan lebih akurat dalam mengidentifikasi penyakit dan penyembuhannya.

(29)

pemerintah. Masing-masing pakar melihatnya dari sudut pandangnya sendiri-sendiri dan menuliskan resepnya dengan isi resep yang berbeda dari yang lain, tetapi anehnya krisis ekonomi tetap saja kokoh dan tegar dan nyaris tdiak ada perbaikan. Gejala ini seolah-olah membenarkan pameo dalam ilmu ekonomi yang mengatakan bahwa jika ada sepuluh ekonom berkumpul untuk menbahas masalah, maka akan keluar sebelas pendapat.

(30)

KESIMPULAN

Kebijakan moneter adalah kebijakan pemerintah untuk memperbaiki keadaan perekonomian melalui pengaturan jumlah uang beredar. Jumlah uang beredar, dalam analisis ekonomi makro, memiliki pengaruh penting terhadap tingkat output perekonomian, juga terhadap stabilitas harga-harga. Uang beredar yang terlalu tinggi tanpa disertai kegiatan produksi yang seimbang, akan ditandai dengan naiknya tingkat harga-harga pada seluruh barang dalam perekonomian atau dikenal dengan istilah inflasi.

Dalam perekonomian Islam, sektor perbankan tidak mengenal instrument suku bunga. System keuangan Islam menerapkan system pembagian keuntungan dan kerugian (profit and loss sharing), bukan kepada tingkat bunga yang telah menetapkan tingkat keuntungan di muka. Besar kecilnya pembagian keuntungan yang diperoleh nasabah perbankan Islam ditentukan oleh besar kecilnya pembagian keuntungan yang diperoleh bank dari kegiatan investasi dan pembiayaan yang dilakukannya di sektor riil. Jadi, dalam system keuangan Islam, hasil dari investasi dan pembiayaan yang dilakukannya bank di sektor riil yang menentukan besar kecilnya pembagian keuntungan di sektor moneter. Artinya sektor moneter memiliki ketergantungan pada sektor riil. Jika investasi dan produksi di sektor riil berjalan dengan lancar, maka return pada sektor moneter akan meningkat. Sehingga kita bisa menyimpilkan bahwa kondisi sktor moneter merupakan cerminan kondisi sektor riil.

Instrument yang diperlukan untuk mengelola kebijakan moneter adalah satu kebijakan moneter yang tidak saja akan membantu mengatur penawaran uang seirama terhadap permintaan rill terhadap uang, tetapi juga membantu memenuhi kebutuhan untuk membiayai deficit pemerintah yang benar-benar rill dan mencapai sasaran sosioekonomi masyarakat islam lainnya. Terdapat sejumlah elemen untuk mengatur hal ini, diataranya (Chapra,2000) :

1. Target Pertumbuhan dalam M dam M0

2. saham publik terhadap deposito unjuk (uang giral) 3. cadangan wajib resmi

4. pembatas kredit

(31)

Di samping tiga instrume di atas, Umer Chaptra (2000) juga menyarankan menggunakan tiga instrumen berikut, yang menurutnya telah banyak disarankan oleh literatur perbankan Islam, yakni:

a. Membeli dan menjual saham dan sertifikat bagi hasil untk menggantikan obligasi pemerintah dalam operasi pasar

(32)

DAFTAR PUSTAKA

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mengetahui hasil belajar matematika siswa dalam model pembelajaran. quantum teaching siswa kelas VIIC MTsN Aryojeding

[r]

Penyelenggaraan subsistem regulasi bertujuan terselenggaranya sistem regulasi kesehatan yang meliputi perijinan dan pengawasan serta registrasi, sertifikasi dan

4 PRIBADI 4 PRIBADI 1 1 Pribadi Pribadi Terbuka Terbuka (Public Self) (Public Self) 2 2 Pribadi Pribadi Terlena Terlena (Blind Spots) (Blind Spots) 3 3 Pribadi Pribadi

Mengingat masih rendahnya asupan zat gizi termasuk konsumsi vitamin A maupun zat besi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 9 dan risiko yang timbul akibat anemia, maka

We find that the overall policy environment and differences in farmer and farm characteristics explain less variation in views of effectiveness than do farmers’ perceptions of local

Akan halnya dengan Sinto Gendeng, ketika mendengar nama belakang kakek gagah di hadapannya itu, lantas saja dia teringat pada seorang pendeta bernama Mayana yang pernah

Prosedur dan Mekanisme Sidang Proposal Proyek Setelah mahasiswa menyelesaikan perkuliahan mata kuliah Manajemen Proyek Teknik Informasi untuk Program Studi Teknik Informatika