• Tidak ada hasil yang ditemukan

SENI DAN KARNAVALISASI KEBUDAYAAN (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "SENI DAN KARNAVALISASI KEBUDAYAAN (1)"

Copied!
4
0
0

Teks penuh

(1)

SENI DAN KARNAVALISASI KEBUDAYAAN

Aprinus Salam

Pusat Studi Kebudayaan UGM

I

Bagaimana kita menghidupkan, mengolah, dan mengelola kesenian? Bagaimana keberadaan dan pertumbuhan kesenian dilihat dalam perspektif kebudayaan? Untuk membicarakan itu, saya ingin melihat salah satu seni, yaitu yang biasa disebut sebagai pawai atau karnaval.

Berbagai karnaval sudah ada sejak dulu di berbagai daerah dan merupakan kegiatan seni yang paling banyak melibatkan masyarakat. Pada masa-masa kerajaan dulu, karnaval dimaksudkan sebagai ajang legitimasi dan “pamer kekuasaan”. Sisi lainnya, masyarakat diperlihatkan pada satu

situasi “pencapaian” peradaban.

Ketika kemudian sistem kerajaan runtuh, dan Indonesia memasuki negara Kesatuan Republik, bentuk-bentuk karnaval mengalami banyak pergeseran, baik pada aras bentuk, tema, tampilan, tujuan, dan hal paling penting justru kandungan ideologis karnaval.

Karnaval adalah satu ajang sinergis menampilkan diri, kelompok, atau atas nama organisasi dan/atau kelembagaan dalam semangat “bebas berekspresi”, dan biasanya menampilkan “ujung” dari suatu proses kita berkebudayaan dalam konteks, tujuan, dan kepentingannya masing-masing. Hal yang menarik tentu saja pada semangat (seharusnya) “bebas berekspresi” tersebut.

Kebudayaan bisa dipahami sebagai praktik berkehidupan berdasarkan konstruksi sejarah dan nilai-nilai (internal/lokal) yang ada di dalamnya, yang menimbulkan tujuan dan kepentingan tertentu. Nilai-nilai internal/lokal tersebut dipengaruhi kondisi alam dan geografi. Itulah sebabnya, dalam praktik berkehidupan tersebut, terjadi berbagai perbedaan cara, ideologi, hal-hal simbolik, dan implementasinya secara fisik.

(2)

Seperti telah disinggung, hal penting dari seni adalah kandungan ideologisnya. Tidak semua seni mengandung nilai-nilai karnaval. Secara teoretik ini yang disebut seni monofonik dan seni polifonik. Seni monofonik adalah seni yang mengandung suara tunggal, baik karena aspek hegemoni kekuasaan, maupun suara berbasis ideologi tertentu. Hal itu bisa terjadi pada berbagai seni, seperti sastra, musik, tarik, bahkan pada tataran tertentu teater.

Pada negara-negara tataliter, seni monofonik, yang menyuarakan ideologi negara, ideologi elit yang berkuasa, mendapatkan dukungan penuh. Itulah sebabnya, banyak negara, pernah melarang seni polifonik, sastra polifonik, karena secara tidak langsung mengajarkan pada warga/masyarakat untuk mendapatkan celah pelajaran demokrasi. Pada masa Stalin di Rusia, sejumlah karya sastra dilarang. Indonesia pernah melarang beberapa karya sastra karena dianggap memberi ruang pada ideologi yang bertentangan.

Sementara itu, seni polifonik mengandung suara banyak. Pengertian suara di sini adalah suara-suara yang mewakili berbagai ideologi dan pemikiran yang terpendam, yang dipinggirkan, yang disepelekan, dan sebagainya. Artinya, seni polifonik memungkinkan kita memberi ruang yang besar pada suatu proses dialogis berbagai ideologi, pemikiran, dan aktualisasi. Proses-proses dialogis membantu proses-proses demokratisasi dan demokrasi.

Struktur formasi suara dan aktualisasi di setiap tempat dan ruang berbeda-beda dan hal itu menentukan bentuk-bentuk karnaval. Karnaval di Aceh, Yogya, Bali, Ambon, dan Papua, akan sangat berbeda. Aceh yang “Islami”, Yogya yang Mataram, Bali yang Hindu, dan sebagainya itu, menentukan suara-suara apa yang terpendam, terpinggirkan, disingkirkan, atau bahwa yang “terlarang”. Hal itu berkaitan dengan formasi diskursif dan struktur sosial/politik, sejarah budaya masyarakatnya, dan kapasitas warga berkaitan dengan kreativitas yang dimungkinkannya.

II

Seperti telah disinggung, karnaval adalah bentuk paling harafiah dari seni polifonik. Semangat karnaval yang bebas ekspresi tersebut, menyebabkan karnaval menjadi ruang kontestasi sekaligus negosiasi. Dalam karnaval kita boleh pamer sukses, mengejek, menertawakan, melakukan kritik, memperlihatkan aspirasi yang terpendam atau tersingkir, mengambil berbagai aspek simbolik dari mana saja, atau melakukan berbagai eksperimentasi. Sudut pandang dan kepentingan yang diambil juga bisa beragam.

(3)

tampilan yang mereka tawarkan. Kalau boleh dikategorisasi, terdapat simbol-simbol tradisional berdasarkan lokal-lokal tertentu, berjalan seiring dengan simbol atau aspek-aspek modern. Dalam beberapa hal yang lain simbol dan aspek kelokalan menampung sesuatu yang bersifat relijius. Terlepas dari kemungkinan bahwa ajang karnaval menjadi tujuan dan “pamer” wisata, hal yang lebih penting adalah ruang yang disediakan oleh karnaval itu sendiri.

Seperti telah disinggung, kebudayaan adalah sebuah proses. Memang, kita tentu saja boleh memberi arah atau membantu ke mana arah proses itu berjalan. Akan tetapi, kehidupan berjalan ke depan. Begitu banyak perubahan, faktor dan unsur yang berubah, sehingga mungkin kita mengalami kesulitan untuk memprediksi proses kebudayaan apa yang akan terjadi pada 20 tahun mendatang. Komposisi dan struktur suara-suara dalam karnaval, mengalami pasang surut, silih berganti.

Faktor-faktor dan unsur yang perlu diperhitungkan justru berbagai kekuatan ideologi dan implementasinya di tingkat praksis sosiologis dan ekonomis. Sebagai misal, kita tahu bahwa ideologi kapitalisme dan modernisme, dengan dukungan ilmu, teknologi, dan ekonominya, saat ini demikian kuat dan merambah, bertransformasi, bermetamorfosis, ke dalam berbagai kebudayaan, termasuk ke Indonesia. Indonesia menjadi bagian dari budaya global tersebut.

Situasi dan kondisi itu bukan kita tidak tahu, dan kita pun mencoba menjawab dan mengantisipasinya. Akan tetapi, tidak semua warga bangsa memiliki kesadaran yang sama, bahkan sebagian dari warga bangsa adalah mereka yang sudah menjadi bagian dari warga dunia, yang pada tingkat tertentu bagian dari warga modern yang kapital dan global.

Di sisi yang lain, sebagian warga bangsa terfragmentasi dalam berbagai kelompok, ideologi, dan satuan-satuan organisasi politik atau kemasyarakatan yang berbeda-beda, dalam rangka menjawab dan mengantisipasi masa depan. Mereka terfragmentasi karena pengalaman-pengalaman lokal yang berbeda. Imajinasi satu bangsa mungkin selalu ada, tetapi tuntutan praksis keseharian dan lingkungan terdekat jauh lebih menentukan. Karena perbedaan tersebut tidak jarang terjadi benturan dan konflik. Itu pula sebabnya, hingga kini masih sering terjadi kekerasan.

Dalam konteks ini, karnavalisasi kehidupan dan kebudayaan kembali menjadi relevan dan kontekstual. Kita berharap, ruang besar yang disediakan karnaval menjadi ajang kontestasi dan negosiasi. Artinya, bagaimana negara mengelola bebagai perbedaan tersebut dalam sebuah simulasi-simulasi teater karnival.

(4)

Kita perlu percaya bahwa ujung dalam kawalan tersebut adalah suatu kehendak untuk menciptakan negara, bahkan dunia, yang nyaman, makmur, dan berbahagia. Introduksi yang bersifat normatif, pada tataran konseptual mungkin diperlukan. Negara berhak (dan wajib) mengamankan posisi warganya, bukan saja pada tataran kebutuhan ekonomi dan sosial, tetapi lebih dari itu pada tataran psikologis dan rohoniah.

Dalam masalah-masalah pembangunan, tidak ada salahnya pembangunan dibayangkan sebagai satu ruang karnaval. Negara bertindak sebagai fasilitator, dan aparat-aparat negara menjadi sutradara dan aktor-aktor pentingnya. Seperti karnaval dalam pengertian harafiah, ada fasilitasi pemerintah setempat (perwakilan negara), sutradara, dan aktor-aktor, dan jadilah karnaval seperti yang kita lihat. Dalam karnaval, substansi kontestasi dan negosiasi, substansi proses-proses demokrasi, nilai-nilai kebebasan manusiawi, tetap berlangsung, dan karenanya akan tampak identitas, karakter-karakter, dan gairah kemanusiaan kita. Dan akan terus berubah pada masa yang akan datang.

Referensi

Dokumen terkait

Pelapisan menggunakan nikel dengan tebal 40 mm pada aluminium alloy 2024 yang berukuran 50 x 50 mm dengan cara elektroplating dibutuhkan waktu selama 16.25 menit sedangkan

Seperti pada pembahasan sebelumnya, Dalam deiksis sosial, penggunaan kata ganti orang kedua tunggal sebagai pengganti peran petutur dalam sebuah tuturan, meliliki

Keputusan dilakukan berdasarkan pertimbangan dan diskusi dengan pihak terkait. Bila nakes merasa keberatan terhadap keputusan maka yang bersangkutan dapat mengajukan

Proses penempatan menara telekomunikasi menjadi tahapan yang sangat penting dalam sebuah perancangan jaringan telekomunikasi. Pada dasarnya penempatan sebuah

Tweet Pin It Tips Sukses Menghadapi 5 Tips Cerdas Tumbuhkan Rasa Cara Tepat Berpakaian Saat Related Posts

Bride Mail Order yang bagian dari Human Traficking merupakan kejahatan yang keji terhadap hak asasi manusia, yang mengabaikan hak seseorang untuk hidup bebas,

Secara ringkas, iklan televisi produk sabun tersebut menampilkan hero sebagai sosok yang memiliki kekuatan lebih, pandai bertarung melawan musuh, dan menjadi pemenang

Curriculumak Haur Hezkuntzako helburuak zehazten baditu ere, ikastetxe bakoitzean egiten diren jarduerak oso ezberdinak izaten dira. Gehienetan ikastetxeak bere