DASAR-DASAR ILMU POLITIK
BAB III
(BERBAGAI PENDEKATAN DALAM ILMU
POLITIK)
Nama
: LAILA YUNITA
NIM
: 1701110076
Jurusan
: Hubungan Internasional
Pekanbaru, 3 Oktober 2017
Mengetahui,
PENGANTAR
Pendekatan Legal (yuridis) dan Institusional telah disusul dengan Pendekatan Perilaku, Pasca-Perilaku, dan Pendekatan Neo-Marxis. Kemudian muncul pendekatan lain seperti Pilihan Rasional (Rational Choice), Teori Ketergantungan
(Dependency Theory), dan Institusionalisme Baru (New Institusionalism).
Mengamati kegiatan politik dapat dilakukan dengan berbagai cara, tergantung pada perspektif atau kerangka acuan yang dipakai. Cara kita mengamati kegiatan politik itu akan memngaruhi apa yang kita lihat.
PENDEKATAN
Pendekatan Legal/Institusional
Pendekatan Legal/Institusional dinamakan pendekatan tradisional. Dalam pendekatan ini negara menjadi fokus pokok. Bahasan tradisionalnya yaitu sifat dari undang-undang dasar, masalah kedaulatan, kedudukan dan kekuasaan formal.
Pendekatan tradisional lebih sering bersifat normatif (yaitu sesuai dengan ideal atau standar tertentu). Pendobrakan terhadap pendekatan tradisonal terjadi dengan tumbuhnya Pendekatan Perilaku (Behavioral Approach).
Pendekatan Perilaku
Sebab-sebab kemunculan pendekatan perilaku di Amerika:
1. Sifat deskriptif dari ilmu politik dianggap tidak memuaskan, karena tidak realistis dan sangat bebrbeda dengan kenyataan sehari-hari.
2. Ada kekhawatiran bahwa, jika ilmu politik tidak maju dengan pesat, ia akan ketinggalan disbanding dengan ilmu-ilmu lainnya.
3. Di kalangan pemerintah Amerika telah muncul keraguan mengenai kemampuan para sarjana ilmu politik untuk menerangkan fenomena politik. Salah satu pemikiran pokok dari Pendekatan Perilaku ialah bahwa tidak ada gunanya membahas lembaga-lembaga formal, karena tidak banyak memberi informasi mengenai proses politik yang sebenarnya. Sebaliknya lebih bermanfaat untuk mempelajari perilaku (behavior) manusia karena merupakan gejala yang benar-benar dapat diamati.
Pendekatan perilaku menampilkan suatu ciri khas yang revolusioner yaitu suatu orientasi kuat untuk lebih mengilmiahkan ilmu politik. Orientasi ini mencakup beberapa konsep pokok, yang oleh David Easton (1962) dan Albert Somit (1967), diuraikan sebagai berikut:
1. Perilaku politik menampilkan keteraturan (regularities) yang perlu dirumuskan sebagai generalisasi-generalisasi yang kemudian dibuktikan atay diverifikasi kebenarannya.
2. Harus ada usaha untuk membedakan secara jelas antara norma dan fakta. 3. Analisis tidak boleh dipengaruhi oleh nilai-nilai pribadi si peneliti.
4. Penelitian harus sistematis dan menuju pembentukan teori (theory building).
5. Ilmu politik harus bersifat murni (pure science); kajian terapan untuk mencari penyelesaian masalah dan menyusun rencana perbaikan perlu dihindarkan. Sistem politik menyelenggarakan dua fungsi, yaitu:
1. Fungsi masukan (input) : sosialisasi politik dan rekrutmen, artikulasi kepentingan, himpunan kepentingan, dan komunikasi politik. Ada lebih dari empat fungsi input menurut Almond.
2. Fungsi keluaran (output) : ada tiga fungsi output yaitu membuat peraturan
(rule-making), mengaplikasikan peraturan (rule-application), dan memutuskan peraturan (rule-adjudication).
Menurut David Easton dalam bukunya A Systems Analysis of Political Life, ia mengutarakan bahwa dalam suatu sistem politik (atau negara) selalu ada satu aliran
(flow) terus menerus dari input ke output dan bolak balik.
Table 1
Perbedaan Istilah State dan Negara
Political System State Negara
Function Power Kekuasaan, kewibawaan
Roles Offices Jabatan
Structure Institution Institusi (lembaga)
Political culture Public opinion Budaya politik, Opini public
Kritik Terhadap Pendekatan Perilaku
Pendekatan perilaku tidak luput dari kritik yang datang dari berbagai pihak, antara lain dari kalangan tradisionalis, kemudian dari kalangan penganut Pendekatan Perilaku sendiri dan juga dari para Neo-Marxis.
Juga dilontarkan kirtik bahwa Pendekatan Perilaku tidak mempunyai relevansi dengan realitas politik dan terlalu banyak memusatkan perhatian pada masalah yang kurang penting.
Perbedaan antara para tradisionalis dengan para behavioralis dapat disimpulkan sebagai berikut. Jika para tradisionalis menekankan nilai-nilai dan norma-norma, maka para behavioralis menekankan fakta. Jika para tradisionalis menekankan segi filsafat, maka para behavioralis menekankan penelitian empiris. Jika para tradisionalis memperjuangkan ilmu yang bersifat terapan, maka para behavioralis memperjuangkan perlunya ilmu bersifat murni. Jika para tradisionalis menonjolkan aspek historis-yuridis, maka para behavioralis mengutamakan aspek sosiologis-psikologis. Jika para tradisionalis memilih metode kualitatif, maka paar behavioralis lebih mementingkan metode kuantitatif.
Pada tahun 1969 David Easton, pelopor Pendekatan Perilaku yang kemudian mendukung Pendekatan Pasca-Perilaku, dalam tulisannya The New Revolution in Political Science, merumuskan pokok-pokoknya dalam suatu Credo of Relevance sebagai berikut:
1. Dalam usaha mengadakan penelitian empiris dan kuantitatif, ilmu politik menjadi terlalu abstrak dan tidak relevan dengan masalah sosial yang dihadapi.
2. Pendekatan Perilaku secara terselubung bersifat konservatif. 3. Dalam penelitian, nilai-nilai tidak boleh dihilangkan.
4. Mereka harus merasa committed untuk aktif mengubah masyarakat agar menjadi lebih baik.
Pendekatan Neo-Marxis
Dinamakan Neo-Marxis yaitu untuk membedakan mereka dari orang Marxis klasik yang lebih dekat dengan komunisme, bukan merupakan kelompok yang ketat organisasinya atau mempunyai pokok pemikiran yang sama.
Kebanyakan kalangan Neo-Marxis adalah cendikiawan yang berasal dari kalangan “borjuis” dan enggan menggabungkan diri dalam organisasi besar. Hanya ada satu atau dua kelompok yang militant, antara lain golongan Kiri Baru (New Left).
Pada awal 1960-an, di Eropa Barat telah timbul perhatian baru terhadap tulisan Marx. Selama tiga puluh tahun berkuasanya Stalin, tafsiran Lenin mengenai pemikiran Marx oleh Stalin dibakukan dan dinamakan Marxisme-Leninisme atau Komunisme. Doktrin ini menjadi dominan, karena berhasil mendirikan suatu tatanan sosial dan ekonomi baru di Uni Soviet.
Di Amerika Serikat, tidak lama seusai Perang Dunia II, timbul perasaan anti-Komunis dan anti-Soviet yang kuat, yang kemudian dinamakan Perang Dingin. Kemudian banyak cendikiawan yang berpaling ke tulisan-tulisan Marx. Ada beberapa faktor bangkitnya kembali perhatian pada tulisan-tulisan Marx:
1. Perubahan yang mendasar di dunia Komunis Internasional sesudah Stalin meninggal pada tahun 1953.
2. Munculnya China sebagai pennatang terhadap dominasi Uni Soviet dalam dunia komunis.
3. Terjadinya proses dekolonisasi di belahan-belahan dunia yang selama ini dijajah.
4. Muncul berbagai gerakan sosial.
Pada dasawarsa 1970-an, sesudah perang Vietnam berakhir pada tahun 1975, mulailah Marxisme menjadi bagian dari kurikulum perguruan tinggi. Ada dua unsur dalam pemikiran Marx yang bagi mereka sangat menarik. Pertama, ramlannya tentang runtuhnya kapitalisme yang tidak terelakkan. Kedua, etika humanis yang meyakini bahwa manusia pada hakikatnya baik.
Salah satu kelemahan yang melekat pada golongan Neo-Marxis adalah bahwa mereka mempelajari Marx dalam keadaan dunia yang sudah banyak berubah. Fokus analisis Neo-Marxis adalah kekuasaaan serta konflik yang terjadi dalam negara. Bagi kalangan Neo-Marxis, konflik antarkelas merupakan proses dialektis paling penting dalam mendorong perkembangan masyarakat. Kelas dominan berasal dari latar belakang sosial dan pendidikan yang sama dan mempunyai kepentingan politik dan ekonomi yang sama pula.
Di Eropa Barat dan Amerika telah timbul bermacam-macam mazhab, yang paling terkenal adalah FrankfurterSchule (Mazhab Frankfurt) dengan tokohnya seperti Marx Horkheimer (1895-1973), Theodor Adorno (1903-1969) dan Herbert Marcuse (1898-1979). Herbert Marcuse melahirkan bukunya One Dimensional Man
(1964) yang menjadi sangat terkenal saat itu. Mereka mengembangkan suatu teori yang kemudian dikenal sebagai Teori Kritis (Critical Theory) yang menekankan “kesadaran” (consciousness), dimensi subyektif dan psikologis, terutama psiko-analisis. Tokoh yang paling terkenal dari Prancis Jean Paul Sartre (1905-1980).
kampus. Mulai tahun 1970-an pemikiran kelompok Neo-Marxis juga dicantumkan dalam kurikulum jurusan-jurusan ilmu politik di Amerika Serikat dan Eropa Barat. Jatuhnya pamor komunisme dengan sendirinya mempunyai dampak negatif pada pemikiran Marx, baik yang bersifat klasik maupun yang bersifat Neo-Marxis.
Teori Ketergantungan
(Dependency Theory)
Teori Ketergantungan adalah kelompok yang mengkhususkan penelitiannya pada hubungan antara negara Dunia Pertama dan Dunia Ketiga. Kelompok ini berpendapat bahwa imperialisme masih hidup, tetapi dalam bentuk lain yaitu dominasi ekonomi dari negara-negara kaya terhadap negara-negara yang kurang maju (underdeveloped).
Pembangunan yang dilakukan negara-negara yang kurang maju, atau Dunia Ketiga, hampir selalu berkaitan erat dengan kepentingan pihak Barat. Pertama, negara bekas jajahan dapat menyediakan sumber daya manusia dan sumber daya alam. Kedua, negara kurang maju dapat menjadi pasar untuk hasil produksi untuk ekspor sering ditentukan oleh negara maju.
Yang paling ekstrem adalah pemikiran pelopor Teori Ketergantungan, Andre Gunder Frank yang berpendapat bahwa penyelesaian masalah itu hanyalah melalui revolusi sosial secara global.
Pendekatan Pilihan Rasional
(Rational Choice)
Dalam ilmu politik pada umumny, dikenal nama Pendekatan Pilihan Rasional
(Rational Choice Approach), sementara itu juga ada beberapa nama lain seperti
Public Choice dan Collective Choice. Pengikut pendekatan ini menimbulkan kejutan karena mencanangkan bahwa mereka telah meningkatkan ilmu politik menjadi suatu ilmu yang benar-benar science. Dikatakan bahwa Manusia Politik (Homo Politicus) sudah menuju kea rah Manusia Ekonomi (Homo Economicus) karena melihat adanya kaitan erat antara faktor politik dan ekonomi, terutama dalam penentuan kebijakan pubilk.
Inti dari politik menurut mereka adalah invidu sebagai actor terpenting dalam dunia politik. Dimana ia selalu mempunyai tujuan-tujuan yang mencerminkan apa yang dianggapnya kepentingan diri sendiri. Optimalisasi kepentingan dan efisiensi merupakan inti dari teori Rational Choice.
Substansi dasar dari doktrin ini dirumuskan oleh James Blue:
1. Tindakan manusia pada dasarnya adalah “instrument” yaitu usaha untuk mencapai suatu tujuan yang sedikit banyak jarak jauh.
3. Proses-proses sosial berskala besar merupakan hasil dari kalkulasi seperti itu.
Mazhab ini sangat ditentang oleh para penganut structural-functionalism karena dianggap tidak memerhatikan kenyataan bahwa manusia dalm perilaku politiknya sering tidak rasional. Kritik lain ialah bahwa memaksimalkan kepentingan sendiri cenderung sendiri secara tidak langsung mengabaikan kesejahteraan orang lain dan kepentingan umum, dan seolah-olah mengabaikan unsur etika.
Salah satu reaksi terhadap Pendekatan Rational Choice adalah timbulnya perhatian kembali pada karya John Rawls, A Theory of Justice yang mengargumentasikan bahwa nilai-nilai seperti keadilan, persamaan hak, dan moralitas merupakan sifat manusia yang perlu diperhitungkan dan dikembangkan.
Pendekatan Institusionalisme Baru
Institusionalisme Baru (New Institusionalism) merupakan penyimpangan dari Institusionalisme Lama. Institusionalisme Lama mengupas lembaga-lembaga kenegaraan, sementara Institusionalisme Baru melihat institusi negara sebagai hal yang dapat diperbaiki ke arah sutu tujuan tertentu.
Institusi Politik adalah rules of the game (aturan main) yaitu organisasi yang tertata melalui pola perilaku yang diatur oleh peraturan yang telah diterima sebagi standard. Menurut Jan-Erik Lane dan Svante Errson, institusi mencakup:
1. Strukutur fisik 2. Struktur demografis 3. Perkembangan historis 4. Jaringan pribadi
5. Struktur sementara
Ada yang mengatakan bahwa “Politik adalah cara bagaimana manusia mengatur diri sendiri”, oleh karena itu timbullah bermacam-macam institusi; ada yang membuat peraturan, ada yang melaksanakan peraturan, ada yang memberi hukuman kepada mereka yang melanggar peraturan.
Institusi menentukan:
a) Siapa aktor yang sah b) Jumlah aktor
c) Siapa menentukan tindakan
1. Aktor dan kelompok melaksankan proyeknya dalam sutu konteks yang dibatasi secara kolektif.
2. Pembatasan itu terdiri dari institusi-institusi yaitu a. Pola norma dan pola peran
b. Perilaku mereka yang memegang peran itu
c. Pembatasan-pembatasan ini juga memberi keuntungan bagi individu atau kelompok.
d. Hal ini disebabkan karena faktor-faktor yang membatasi kegiatan individu dan kelompok.
e. Pembatasan ini mempunyai akar historis.
f. Pembatasan ini mewujudkan, memelihara, dan memberi peluang serta kekuatan yang berbeda.
Institusionalisme Baru menjadi alat analisis yang sangat penting. Perbedaanya dengan Institusionalisme lama ialah perhatian Institusionalisme Baru tertuju pada analisis ekonomi, kebijakan fisikal dan moneter, pasar dan globalisasi ketimbang pada masalah konstitusi yuridis.