• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDEKATAN EKONOMI POLITIK DALAM STUDI K

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENDEKATAN EKONOMI POLITIK DALAM STUDI K"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

PENDEKATAN EKONOMI POLITIK DALAM STUDI KOMUNIKASI KRITIS

(Sebuah Tinjauan Awal)

Hasyim Ali Imran1

Latar Belakang dan Permasalahan

Salah satu isu penting dan terus beraktualisasi dalam dunia akademik, adalah isu yang berkaitan dengan elemen epistemologis dalam tataran filsafat ilmu. Elemen mana, secara esensial berkaitan dengan persoalan bagaimana cara menemukan kebenaran ilmiah dari obyek ontologis suatu ilmu.

Ada beberapa topik penting yang menjadi fokus dalam telaah elemen epistemologis tadi, diantaranya menyangkut metode penelitian (misal : fenomenologi, studi kasus, semiotika, framing, CDA, survey, dll) ; pendekatan penelitian (kuantitatif vs kualitatif); dan paradigma penelitian.

Paradigma penelitian dapat dikatakan sebagai topik paling inti di antara ketiga topik dalam elemen epistemologis tadi. Sejalan dengan makna intinya yang berarti cara pandang atau pola pikir, komponen paradigma menjadi pondasi utama yang menentukan ”warna” dalam proses pencarian dan penemuan kebenaran ilmiah.

Secara terminologis, diketahui ada beberapa jenis paradigma dalam ilmu. Paradigma dimaksud terdiri dari : positivis/klasik; post positivistic; konstruktivis(interpretif/naturalistik); participatory; dan Kritis atau kritikal. Terkait khusus dengan salah satu paradigma dimaksud, yakni paradigma kritikal, diketahui bahwa secara ideologis paradigma ini menginduk pada ideologi Marxisnya Karl Mark, suatu ideologi yang diilhami dari fenomena ketertindasan kaum proletariat (buruh) atas kaum Borjuis (kapitalis). Paradigma mana, kemudian berkembang menjadi tiga fase pemikiran : Generasi I: Frankfurt School , Herbert Macuse, Adorno, Max Horkheimer, Eric Fromm ; Generasi II : Jurgen Habermas; Generasi ke tiga : Alex Honet (Rusadi, 2006).

Seiring dengan semangat yang melatarbelakanginya, maka sebagai salah satu paradigma, paradigma kritis mencoba memahami fenomena kemasyarakatan berdasarkan adanya fenomena dominasi di dalam kehidupan masyarakat. Dengan kata lain, paradigma ini aplikabel sejauh fenomena dominasi itu ada, atau ada kelompok yang tertindas dan ada yang menindas dalam suatu komunitas tertentu. Ini dilakukan dengan tujuan untuk melakukan koreksi terhadap praktek-praktek penekanan dan eksploitasi serta memperjuangkan masyarakat menuju keadaan yang lebih baik (Rusadi, 2006).

Menurut Litllejohn, studi-studi kritikal dapat dikelompokkan menjadi dua bagian utama, yakni : -Studi stukturalis dan -Pasca strukturalis (post structuralist). Aliran strukturalis : -Memandang bahwa struktur sosial yang menindas adalah nyata, walau pun mungkin tersembunyi dibalik kesadaran sebagian besar masyarakat; -Mencari identitas dan mengungkapkan aturan-aturan yang menindas. Aliran pasca strukturalis : -Tidak ada realitas atau makna sentral ;-Yang menindas struktur tidak permanent; -Ada pertarungan tetapi tidak ada pertarungan antara

1 Peneliti Madya Bidang Studi Komunikasi dan Media pada BPPI Wilayah II Jakarta, Badan Litbang

(2)

ideologi monolitik;-Pertarungan yang ada merupakan pertarungan antara ide atau kepentingan yang berubah-ubah. (Litllejohn 1996:226-7, dalam Rusadi, 2006).

Pembagian yang dilakukan Litlejohn itu berbeda dengan yang dilakukan Golding dan Murdock. Menurut mereka ini, dalam teori Marxis Kritikal terdapat tiga pendekatan, yaitu : pendekatan strukturalis; ekonomi politik dan kulturalis. Terkait dengan tiga pendekatan ini, maka tulisan ini akan mencoba membahas satu dari tiga pendekatan dimaksud, yaitu akan difokuskan pada pendekatan ekonomi politik. Tujuannya, untuk mengetahui gambaran mengenai pendekatan ekonomi politik sebagai salah satu pendekatan dalam paradigma kritikal. Juga, diupayakan untuk diketahui apa implikasinya dalam pemahaman terhadap kehidupan media di Indonesia saat ini.

Pendekatan Ekonomi Politik

Dalam tutisannya, Oliver Boyd-Barrett (dalam Boyd-Barret dan Newbold, 1995: 186-192), secara garis besar membicarakan tentang pendekan ekonomi politik dalam konteks komunikasi, dengan merujuk pada pemikiran para ahli seperti Mosco, Golding dan Murdock, Schiller, Dallas Smythe dan Hamelink- bahkan Frankfurt School. Kajian ekonomi politik menjadi perhatian utama bagi Boyd-Barrett karena ia melihat istilah 'ekonomi politik' dalam riset media memiliki 'signifikansi kritis' yang luas -tentang kepemilikan dan kontrol media, interlocking directorships, dan faktor lainnya yang terkait antara industri media dengan media lainnya dan dengan industri lainnya, dan dengan ekonomi politik dan elite sosial. Semua ini tampak pada proses konsolidasi, diversifikasi, komersialisasi, internasionalisasi, pekerjaan dengan motif profit dalam pencarian audiens dan/atau iklan, dan konsekuensinya atas praktek (practices) dan isi media.

Mosco mendefinisikan ekonomi politik dalam dua pengertian : pertama, datam pengertian sempit, yakni ekonomi politik adalah studi hubungan sosial, khususnya hubungan kekuasaan (the power relations), yang secara bersama-sama membentuk atau mempengaruhi produksi, distribusi, dan konsumsi sumber daya (resources), meliputi 'sumber daya komunikasi'. Kedua, dalam pengertian yang luas yaitu sebagai studi kontrol dan survival dalam kehidupan sosial.

Ia juga memberikan tiga karakteristik pokok (essential features) dalam ekonomi politik. Pertama, ini merupakan pertemuan (foregrounds) studi perubahan sosial dan transformasi historis-mempelajari transisi dari masyarakat pertanian ke masyarakat industri- sehingga tokoh seperti Smith, Ricardo, dan Mill serta Marx, yang dianggap sebagai ahli ekonomi politik dan akhirnya teori-teori ekonomi politik terdiri dari konservatif, sosialis, marxis, feminis, dan environmentalis yang didasari pada cara penempatan tradisi, komunitas pekerja, gender, atau lingkungan organik. Kedua, ekonomi politik juga memiliki perhatian (an interest) dalam menilai keutuhan masyarakat (the social whole) atau totalitas hubungan sosial yang membentuk bidang ekonomi, politik, dan budaya. Ketiga, ini berkaitan dengan filsafat moral, memiliki perhatian pada nilai-nilai sosial dan prinsip-prinsip sosial. Untuk hal ini juga ada yang keempat, dianjurkan oleh Golding dan Murdock (1991), untuk menjelaskan ekonomi politik 'kritis' meliputi perhatian tentang keseimbangan anfara perusahaan kapitalis dan intervensi publik, meskipun dapat disangkal bahwa ini tergolong pada social praxis sebagai cara untuk mengungkap isu-isu tentang nilai.

(3)

dinilai karena kegunaannya dan mentransformasikannya menjadi komoditas yang dinilai karena dapat diperoleh di pasar) ; spatialization (proses penguasaan batasan ruang dan waktu dalam kehidupan sosial); dan structuration, penyatuan gagasan agency, proses sosial, dan praktek sosial menjadi analisa struktur. Ini dapat menjadi dasar dalam memahami identifikasinya Golding dan Murdock (1991) tentang empat proses historis yang menjadi sentral budaya ekonomi politik kritis; pertumbuhan media, perluasan jangkauan perusahaan, komodifikasi, dan mengubah peran negara dan intervensi pemerintah.

Melihat fenomena modernisasi kekuatan media di negara-negara dunia ketiga-dengan terjadinya akselerasi privatisasi pada tahun 1971- padahal ia prediksikan privatisasi tersebut untuk Eropa Barat dan Asia mulai akan terjadi sekitar pada tahun 1980-an dan 1990-an. Sehingga Schiller menyimpulkan bahwa adanya kebutuhan modal yang mendesak untuk ekspansi pasar Iuar negeri agar penjualan meningkat dan peran penting iklan dalam memfasilitasi penetrasi pasar luar negeri. Ternyata ini mengakibatkan perubahan dalam regulasi nasional media seperti memperluas jangkauan dan kesempatan untuk iklan dan pengaruhnya (langsung atau tak langsung) yang ada pada isi program. Berdasarkan hal ini Schiller melihat adanya proses budaya atau imperialisme -khususnya memfokuskan pada implikasi negatif (dampak) dari proses tersebut- dan juga adanya dominasi dan dependensi oleh media atas masyarakat. Schiller juga menekankan akan pentingnya tekad perjuangan (interstices of struggle) Gramsci untuk menentang hegemoni antar elite sosial yang bertentangan. Golding dan Murdock, penetiti paling awal dalam tema ekonomi politik atas studi media di Inggris pada 1971, melakukan diskusi kontemporer tentang reproduksi dan legitimasi hubungan kelas dengan tingkat pendidikan (contoh Bernstein, 1971), dan mereka mencatat absensi (ketidakadaan) referensi media dalam diskusi itu -memicu kebangkitan teori media kritis di Inggris. Bagi mereka mempelajari ekonomi politik media massa bukan dimulai dari pengenalan bahwa media adalah organisasi komersial dan industri -memproduksi dan mendistribusikan komoditas- tetapi yang terpenting interlinked melalui kontrol korporat, dan aktivitasnya hanya dapat dipahami dengan referensi konteks ekonomi umum -konsentrasi yang diakibatkan oleh integrasi horizontal dan vertikal; diversifikasi; dan internasionalisasi. Analisa harus diperluas juga pada konteks disseminasi ideologi media tentang struktur ekonomi dan politik.

Ekonomi politik adalah satu respons atas tujuan umum studi dampak media yang sebelumnya. Ini memfokuskan bukan hanya pada dampak psikologis individu yang sering dipengaruhi oleh industri dan uses and gratification tetapi juga harus berkenaan dengan hubungan media terhadap industri sosial lainnya, terhadap ekonomi, dan terhadap formasi ideologi sosial. Pentingnya media tidak dapat direduksi secara linear, kausal, dan teori stimulus-renspons. Ada sebuah ketegangan (tension) antara ini dengan formulasi Marxis klasik tentang model base/superstrukture of society di mana gagasan yang terpakai (rulling ideas) adalah gagasan elit penguasa (rulling elite) dan memiliki tujuan untuk mereproduksi, melalui formulasi kesadaran falsu (false consciousness) kaum proletariat, dan adanya ketidakadilan di antara kelas-kelas sosial. Sehingga pemikiran Marxis klasik mengasumsikan bahwa proses dampak media terjadi secara langsung (very direct process).

(4)

entertainmen saja, tetapi juga komoditas audiens -audiens dijual kepada pengiklan (Dallas Smythe, 1980). Thesis ini memiliki kelebihan dalam fokus triangular relationship antara media, audiens, dan pengiklan. Tetapi ini adalah, berdasarkan implikasi, sebuah regresi pada model dampak media stimulus-respons seperti Aliran Frankfurt, ini sangat mengekonomiskan peran media (meskipun konteks media Amerika Utara/Barat melebihi daripada Eropa/Timur) dan mengikis dikotomi base/superstruktur dari analisa Marxis tentang media. Garnham juga menyatakan bahwa media adalah sesuatu yang signifikan secara langsung sebagai pencipta nilai surplus (surplus value) -dalam bentuk entertainment product, dan secara tidak langsung, melalui iklan sebagai pencipta nilai surplus dalam sector lainnya.

Ekonomi politik pada tahun 1990-an menunjukkan perkembangan yang signifikan yaitu semakin meningkatnya kesadaran akan pentingnya formasi ekonomi politik media yang terkait pada isi media dan pada wacana perdebatan publik dan kesadaran diri (private consciousness)- karena media telah masuk pada domain publik sehingga audiens mengaksesnya dan media menjadi sumber wacana. Ini mengindikasikan bahwa produksi budaya sangat dipengaruhi oleh perusahaan-perusahaan besar. Karenanya Hamelink (1994) menyatakan bahwa trend komunikasi dunia terdiri dari digitalisasi, konsolidasi, deregulasi, dan globalisasi. Ia juga melihat empat trend tersebut sebagai sesuatu yang inter-related.

Digitalisasi memfasilitasi integrasi (konvergensi) teknologi dan konsolidasi institusional; proses ini mempercepat terjadinya globalisasi melalui akquisisi dan penetrasi pasar, serta deregulasi dan privatisasi media. Pemerintah mendefiniskan ini sebagai kepentingan untuk memfasilitasi ekspansi internasional bagi industri media domestik, sementara konglomerat internasional mendorong pemerintah untuk mengambil manfaat (advantages) atas privatisasi, dengan alasan: pembongkaran birokrasi rumit media yang sering protektif dan berideologi sosialis, kurangnya anggaran pemerintah untuk subsidi, meningkatkan pendapatan pajak, promosi bisnis melalui iklan, dan promosi budaya enterpreneurial (wiraswasta). Untuk media terprivatisasi biasanya mereduksi proporsi waktu tayang berita dan permasalahan publik, dan ini juga nampak kurang menantang (oposisi) dan lebih tunduk secara politis.

Privatisasi dikenal sebagai pengikisan media publik yang berimplikasi penting dalam pembentukan tingkat kualitas wacana publik -manipulated discources. Ekonomi politik melihat ini memiliki masalah praktis yaitu terjadi konfrontasi antara negara dengan media -bahkan masyarakat dalam pereformulasian sistem media. Kenyataan ini mengindikasikan akan p e n t i n g n y a p a r a akademi komunikasi (the communication academy) untuk mengaplikasikan dan mengadaptasikan konsep Habermas tentang public sphere untuk analisa media.

Implikasi Media dan Pendekatan Ekonomi Politik

Mengkaji ekonomi politik dalam konteks komunikasi menjadi satu materi yang sangat menarik dan penting untuk sekarang ini, di era globalisasi, di mana terpaan media dan teknologi komunikasi modern -yang di-drive oleh para kapitalis internasional- sudah tidak dapat dihindari, dan bahkan sudah menjadi kebutuhan pada setiap orang. Media dan teknologi sudah menjadi primary need, yang menurut Weber dijadikan dasar untuk bersosialisasi atau berinteraksi dengan individu lainnya di tengah masyarakat modern.

(5)

Bros, CNN, Time, dsb.) di Amerika, dan untuk konteks Indonesia seperti Gramedia Group (TV7, Kompas, Toko Buku Gramedia, dsb.). Ini yang sepenuhnya didukung oleh kemajuan radikal di bidang teknologi komunikasi sehingga memungkinkan perusahaan media besar lebih mudah menjalankan misinya yaitu memperoleh keuntungan, dengan cara mengintegrasikan kepentingan perusahaan manufaktur dan jasa dalam sosialisasi produk atau jasa mereka melalui bentuk pemasangan iklan di media tersebut.

Media dan iklan, menurut Straubhaar dan LaRose (2002) memiliki societal effect bagi masyarakat (baca : audiens media) bukan hanya pada terjadinya perubahan psikologis, kognitif, dan behavioral (termasuk criminality effect atau antisocial behavior), tetapi juga berakibat pada perubahan budaya dan struktur sosial -para intelektual Indonesia menyebut kondisi ini sebagai telah terjadinya westernisasi atas masyarakat Indonesia. Kondisi ini yang sangat dikritik oleh Dallas Smythe dengan pernyataan : media adalah bukan hanya sebagai produsen komoditas entertainmen, tetapi juga komoditas audiens.

Kondisi ini, Gramsci (1971) melihat, telah terjadinya dominasi media atas kehidupan masyarakat yang menciptakan hegemoni -ini berperan dalam terciptanya teori hegemoni. Dalam catatan penjaranya, Gramsci berpendapat bahwa cara masyarakat dikuasai dimanpulasi adalah sebagai akibat langsung praktek-praktek false consciousness dari penciptaan nilai-nilai dan pilihan hidup yang harus dilaksanakan. Sistem hegemoni, menurut Gramsci, dapat ditemukan dalam masyarakat berbasiskan kediktatoran proletar atau Negara Pekerja. Proses inilah yang diacu Gramsci untuk menjelaskan cara yang digunakan organisasi atau media untuk menguasai pikiran dan tindakan pihak lain guna mewujudkan kekuasaannnya dengan penciptaan ideologi-ideologi dominant agar mampu mempengaruhi pikiran audiens atau konsumennya. Media sebagai alat dan sarana untuk meningkatkan praktek-praktek konsumerisme dan promosi -menciptakan manipulated needs bagi masyarakat.

Dennis McQuail (2000;82) menyatakan bahwa penggunaan political-economic theory adalah untuk mengidentifikasi a socially critical approach yang secara khusus difokuskan pada hubungan antara struktur ekonomi dan dinamika industri media dan isi idelogi media. I a memandang media itu sebagai bagian dari sistem ekonomi yang sangat erat kaitannya dengan sistem politik. Dinamika industri media pada dasarnya berbentuk ekspansi, diversifikasi, dan konvergensi media yang berbasis teknologi baru dan new economic opportunities. Adanya konsentrasi, integrasi, dan internasionalisasi dari aktivitas media yang berimplikasi pada pertanyaan hubungan komunikatif global di antara the main ’media power’ : Lihat gambar di bawah ini:

(6)

determinan; - struktur media cenderung berkonsentrasi; - integrasi media global terus berkembang; isi dan audiens dikomodifikasikan; diversitas dikurangi; -suara oposisi dan alternatif termarjinalkan; - kepentingan publik dalam komunikasi tersubordinasikan oleh kepentingan swasta. Jika proposisi Mc Quail tersebut dikaitkan dengan fenomena disseminasi informasi media (misal tv dan suratkabar) di Indonesia saat ini, berdasarkan indikasinya (misalnya pada tv : infotaintment -informasi public) dapat dikatakan bahwa proposisi McQuail itu memiliki relevansi.

Untuk posisi media dan masyarakat McQuail menggambarkan seperti di bawah ini: Conflict

Golding dan Murdock (1992), selain apa yang ada pada artikel Oliver Boyd-Barrett tersebut, memberikan three core tasks dari praktek politik ekonomi politik yaitu:

Area of Concern Basic Proposition Examples of research

Objective/Questions:

Control over cultural production: limit or liberate the publicsphere?

To investigate contradiction between the ideal that public media should operate as a public sphere and the reality of ownership concentration.

2. The political

economy of texts Culturalmechanism for regulating forms are public discource; each cultural form has impact on what can be said and shown, by whom, and from

what point of view

To explain how the economic dynamics of cultural production structure public discource by promoting certain cultural forms over others

3. The Political

economy of cultural consumption

Material inequality

(7)

Penutup

Sebagai salah satu bagian dari studi komunikasi dalam paradigma kritikal, studi ekonomi politik dapat dikatakan telah berkontribusi penting bagi upaya pengembangan ilmu komunikasi, terutama pengembangan yang bersumber dari studi fenomena media massa. Meskipun demikian, studi ekonomi politik bukannya lepas dari sikap-sikap skeptis, dan ini terutama berasal dari kalangan akademisi dalam tradisi Liberal-Pluralis yang positivistic.

Di antara akademisi itu, misalnya Jay Blumer (1983:168). Jay Blumer sangat menentang teori-teori kritis. Menurut Blumer : (1) pendekatan kritis tidak memberikan petunjuk atau arahan yang jelas (unsufficient guidance), kurang etis dan realistis dalam diagnosa politiknya (political diagnosis), karena lembaga komunikasi memberikan pemahaman bahwa manusia memiliki kebebasan memilih (active, choosing, purposeful subjects)- uses and gratification itu lebih objektif karena sesuai dengan kebutuhan manusia; (2) Gerakan ini memiliki self-defeating tendency sehingga menjadi utopianism; (3) Peneliti administratif sangat membenci Marxis karena antipati terhadap behavioral and social research. Jay Blumer juga melihat teori atau pendekatan kritis selalu menghadirkan kondisi yang kontradiktif (the existence of contradiction) bagi kehidupan masyarakat.

Komentar Jay Blumer itu tentunya patut diketengahkan karena dapat menjadi pemicu positip bagi para akademisi (studi kritis) agar dalam mengkaji teori-teori kritis memiliki tingkat analisis yang benar-benar objektif, Jangan karena kebencian yang sangat besar terhadap para kapitalis -baik internasional atau nasional- lalu kita memberikan analisa yang tidak dapat dipertanggungjawabkan (unsciencetific reasons). Secara akademis teori kritis tentunya sangat penting untuk dipelajari (indepth study) karena pada dasarnya teori tersebut memposisikan diri sebagai penyeimbang (the balance) antara penguasa (the power), media atau pemerintah (otoriter) dengan masyarakat yang seringkali terhegemoni atau teropresi (oppressed society).

Sumber Bacaan

Boyd, Barret dan Newbold, Approaches to Media, A Reader, 1995, London, Arnold. Golding, Peter, and Murdock, Graham.1992, “Culture, Communications, and Political

Economy”, in James Curran and Michael Gurevitch (eds.), Mass Media and Society, London: Edward Arnold.

Littlejohn, Stephen W. 2002, Theories of Human Communication , Belmont, USA: Wadsworth Publishing Company (7th ed.), hat. 300.

McQuail, Denis. 2000, Mass Communication Theory, London: SAGE Publications Ltd., p. 83-4 & 191-2.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Berdasarkan hasil analisis data dan review dari 30 responden yang merupakan praktisi teknik sipil (Pemerintah DPU, Pemerintah Non DPU, Konsultan, dan

doorprize dan lokasi toko yang mudah diakses. Melalui suasana yang sengaja diciptakan, ritel berupaya untuk mengkomunikasikan informasi yang terkait dengan layanan,

Dalam bisnis VSAT sangat dibutuhkan karyawan yang memiliki skill dan. knowledge yang bagus di

Siswa yang pernah mengenyam pendidikan pesantren kemudian juga belajar di lembaga pendidikan lainnya baik di dalam maupun di luar negeri pada umumnya memandang

Anak berkesulitan belajar umum secara nyata mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik khusus maupun umum, baik disebabkan oleh adanya disfungsi neurologis,

Dari kegiatan advokasi untuk perbaikan tata kelola hutan dan lahan di Sumatera Selatan yang dilaksanakan LBH Palembang pada tahun 2018, ditemukan ada 2 (dua) kasus

Pantai Parangkusumo terletak di sebelah barat pantai Parangtritis dan satu kesatuan dengan petilasan Parangkusumo, tempat ini dianggap tempat bersejarah oleh sebagian