• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN GUIDE DI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN GUIDE DI"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN

GUIDE DISCOVERY

TERHADAP KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS

BERDASARKAN KAM

Uba Umbara

Prodi Pendidikan Matematika STKIP Muhammadiyah Kuningan uba1985bara@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini bertujuan menelaah apakah kemampuan koneksi matematik pada siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran Guide Discovery lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model konvensional? dan mengkaji apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan koneksi matematik yang signifikan antara siswa dengan tingkat kemampuan tinggi, sedang dan rendah? serta respon siswa terhadap pelajaran matematika yang memperoleh pembelajaran guide Discovery. Dipilih dua kelas secara acak dengan cara mengundi untuk dijadikan sampel penelitian, kelas yang terpilih sebagai sampel penelitian yaitu kelas VII-1 sebagai kelas eksperimen yang berjumlah 36 orang siswa dan kelas VII-2 sebagai kelas kontrol yang berjumlah 36 orang siswa. Setiap kelas terdiri dari 36 siswa yang terbagi kedalam tiga kemampuan awal matematika yang berbeda, yaitu siswa berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Analisis kuantitatif dilakukan terhadap rataan gain ternormalisasi dan data sikap siswa antara kedua kelompok sampel dengan menggunakan Uji ANOVA Dua Jalur. Selanjutnya, hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan koneksi matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan model Guide Discovery lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pembelajaran konvensional, demikian juga dilihat dari kategori kemampuan awal matematika siswa. Selain itu, respon siswa terhadap pelajaran matematika dengan model Guide Discovery menujukan respon yang positif.

Keywords : Guide Discovery, koneksi matematis ABSTRACT

The research examined whether the ability connections of mathematical on students whose follows Guide Discovery and conventional models of learning? and assess whether there are differences in upgrading a significant mathematical connection between students with high ability level, medium and low? as well as the students' response to learning math obtaining Discovery guide. Two classes had been chosen as the sample randomly. They are VII-1 as experiment with 36 students and VII-2 36 students as control class. Every class consists of 36 students and divided into high, medium and low students. Quantitative is use to analyst the rate and students’ attitude between those by using two way ANOVA. The result of the study shows that Guide Discovery has increased the students’ connections ability. Thus it can be seen from the category of students prior mathematic. In addition student’s responses of Guide Discovery shows positives effect.

(2)

A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

Pembelajaran pada dasarnya merupakan upaya untuk mengarahkan anak didik ke dalam proses belajar sehingga mereka dapat memperoleh tujuan belajar sesuai dengan apa yang diharapkan. Pembelajaran hendaknya memperhatikan kondisi individu anak karena merekalah yang akan belajar. Anak didik merupakan individu yang berbeda satu sama lain, memiliki keunikan masing-masing yang tidak sama dengan orang lain. Melalui pembelajaran matematika, siswa diharapkan memiliki kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta mempunyai kemampuan bekerja sama (Depdiknas, 2004).

Namun demikian, kondisi riil hasil pembelajaran matematika berdasarkan analisis hasil PISA 2009, ditemukan bahwa dari 6 (enam) level kemampuan yang dirumuskan di dalam studi PISA, hampir semua peserta didik Indonesia hanya mampu menguasai pelajaran sampai level 3 (tiga) saja, sementara negara lain yang terlibat di dalam studi ini banyak yang mencapai level 4 (empat), 5 (lima) dan 6 (enam). Analisis hasil TIMSS tahun (2007, 2011) di bidang Matematika dan IPA untuk peserta didik kelas 2 SMP juga menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda. Untuk bidang matematika, lebih dari 95% peserta didik Indonesia hanya mampu mencapai level menengah, sementara misalnya di Taiwan hampir 50% peserta

didiknya mampu mencapai level tinggi dan advance.

Hal tersebut diduga merupakan imbas dari belum maksimalnya usaha yang dilakukan pendidik dalam mengaplikasikan standar isi dan standar proses dalam pembelajaran. Sesuai dengan rumusan NCTM (2000), bahwa standar matematika sekolah meliputi standar isi atau

materi (mathematical content) dan standar proses (mathematical processes), adapun standar

materi atau standar isi meliputi bilangan operasinya (number and operation), aljabar

(algebra), geometry (geometry), pengukuran (measurement), dan analisis data peluang (data analysis and probability). Sementara itu, standar proses meliputi pemecahan masalah (problem solving), penalaran dan pembuktian (reasoning and proof), koneksi (connection),

komunikasi (communication) dan representasi (representation).

Merujuk pada rumusan tersebut, maka salah satu sasaran yang perlu dicapai siswa untuk memperoleh pemahaman yang mendalam adalah memahami matematika yang dipelajarinya melalui pengkonstruksian pemahaman terhadap konsep matematika. Pembelajaran matematika harus memberikan kesempatan siswa untuk terampil menuangkan ide/gagasan matematika melalui penyajian berbagai macam model matematika yang siswa miliki melalui proses matematisasi. Proses pembelajaran matematika hendaknya menjamin siswa untuk dapat menyajikan konsep yang dipelajarinya ke dalam berbagai macam model matematika, agar dapat membantu mengembangkan pemahaman yang lebih mendalam dengan cara guru memfasilitasi siswa melalui pemberian kesempatan yang lebih luas agar

siswa mampu belajar untuk mengaitkan ide (mathematical connection).

(3)

Dalam koneksi matematis, keterkaitan antar topik dalam matematika sangat erat sebagai akibat bahwa matematika sebagai ilmu yang terstruktur, artinya yaitu adanya keterkaitan satu konsep dengan konsep yang lainnya. Pengetahuan sebelumnya sebagai konsep prasyarat untuk mempelajari konsep selanjutnya, sehingga antara konsep yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan. Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan oleh Sumarmo

(2010) bahwa koneksi matematis (mathematical connections) merupakan kegiatan yang

meliputi: mencari hubungan antara berbagai representasi konsep dan prosedur; memahami hubungan antar topik matematik; menggunakan matematika dalam bidang studi lain atau kehidupan sehari-hari; memahami representasi ekuivalen konsep yang sama; mencari koneksi satu prosedur lain dalam representasi yang ekuivalen; menggunakan koneksi antar topik matematika, dan antar topik matematika dengan topik lain.

Koneksi matematis merupakan salah satu kemampuan kognitif yang harus dimiliki oleh siswa. Menurut Wahyudin (2008) bahwa apabila para siswa dapat menghubungkan gagasan-gagasan matematis, maka pemahaman mereka akan lebih dalam dan bertahan lama. Artinya pembelajaran akan menjadi lebih bermakna jika para siswa dapat mengkoneksikan pengetahuannya. Hal tersebut sejalan dengan Glacey (2011) jika siswa sudah mengkoneksikan dan menerapkan pemecahan masalah ke dalam situasi lain, maka hal tersebut akan merubah keseluruhan proses pembelajaran. Pengembangan kemampuan koneksi matematis siswa merupakan salah satu hal yang sangat penting. Melalui pengembangan kemampuan koneksi matematis dalam pembelajaran matematika siswa dapat berpartisipasi aktif merasakan pengalaman-pengalaman yang bermakna, dimana pengalaman tersebut akan memperkuat hubungan antara pengetahuan yang ada dengan pengetahuan yang baru mereka dapat.

Hal tersebut dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk menggunakan keterampilan berpikirnya dalam menyelesaikan permasalahan matematika baik dalam pembelajaran maupun dalam kehidupan sehari-hari. Berkenaaan dengan itu maka dibutuhkan model pembelajaran yang mampu mendukung pengembangan kemampuan koneksi matematika siswa. Model pembelajaran yang mampu memaksimalkan potensi siswa, agar siswa tidak terjebak pada rutinitas memahami matematika secara prosedural. Salah satu model pembelajaran yang diperkirakan dapat meningkatkan dua kemampuan tadi adalah

model guided discovery (penemuan terbimbing).

Model guided discovery dianggap sebagai salah satu model pembelajaran yang mampu

meningkatkan keaktifan siswa dalam proses belajar. Sedangkan strategi yang dilakukan oleh

guru hanya sebagai fasilitator atau scaffolder (penyangga), artinya guru membimbing siswa

bilamana ia diperlukan dan bersifat sementara saja. Siswa didorong untuk berfikir sendiri sehingga dapat menemukan prinsip umum berdasarkan bahan atau data yang telah disediakan guru. Seberapa jauh siswa dibimbing tergantung pada kemampuan dan materi yang dipelajari. Metode penemuan yang dibimbing oleh guru ini pertama dikenalkan oleh Plato dalam suatu dialog antara Socrates dan seorang anak, maka sering disebut juga dengan metoda Socratic (Cooney & Davis, 1975). Metode ini melibatkan suatu dialog/interaksi antara siswa dan guru di mana siswa mencari kesimpulan yang diinginkan melalui suatu urutan pertanyaan yang diatur oleh guru.

(4)

dengan bimbingan orang dewasa melalui penjelajahan berbagai situasi dan persoalan dunia nyata. Oleh karena itu penulis mencoba mengadakan penelitian dengan melakukan kajian

yang spesifik terhadap kemampuan koneksi matematika dan model pembelajaran guide

discovery, yaitu : Implementasi Model Pembelajaran Guide Discovery Terhadap Kemampuan Koneksi Matematis Berdasarkan KAM.

2. Kajian Teori

a. Model Pembelajaran Guide Discovery

Proses pembelajaran harus dipandang sebagai suatu stimulus atau rangsangan yang dapat menantang peserta didik untuk merasa terlibat atau berpartisipasi dalam aktivitas pembelajaran. Peranan guru hanyalah sebagai fasilitator dan pembimbing atau pemimpin pengajaran yang demokratis, sehingga diharapkan peserta didik lebih banyak melakukan kegiatan sendiri atau dalam bentuk kelompok. Pembelajaran penemuan mensyaratkan siswa untuk terlibat aktif dalam proses pembelajaran. Salah satu model pembelajaran yang

dapat digunakan adalah model discovery (penemuan). Model discovery dipelopori oleh

Jerome Bruner pada tahun 1996.

Bruner menganggap bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia dan dengan sendirinya memberikan hasil yang paling baik

(Ratna Wilis Dahar, 1996). Model discovery dapat menjadi ajang bagi siswa untuk

berkreasi dengan pengetahuannya sendiri yang didapat melalui proses pencarian konsep

materi. Selanjutnya, model discovery menurut Sund dalam Roestiyah (2001) adalah proses

mental dimana siswa mengasimilasi sesuatu konsep atau sesuatu prinsip. Proses mental tersebut misalnya mengamati, menggolong-golongkan, membuat dugaan, menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan, dan sebagainya. Dalam teknik ini siswa dibiarkan menemukan sendiri atau mengalami proses mental itu sendiri, guru hanya membimbing dan memberikan instruksi.

Selanjutnya, Syaiful Sagala (2010) menjelaskan bahwa posisi guru dalam model

discovery peranan guru lebih banyak menempatkan diri sebagai pembimbing dan fasilitator belajar. Dengan demikian posisi guru dalam Model discovery, siswa lebih banyak melakukan kegitannya sendiri atau dalam bentuk kelompok dalam memecahkan

permasalahan yang terjadi dalam proses pembelajaran. Namun demikian, model discovery

kurang tepat digunakan karena pada umumnya sebagian besar siswa masih butuh pemahaman konsep dasar untuk bisa menentukan sesuatu. Hal ini terkait erat dengan

karakteristik pelajaran matematika yang lebih merupakan deductive reasoning dalam

perumusannya.

Selain itu perlu diingat bahwa umumnya siswa cenderung tergesa-gesa dalam menarik kesimpulan dan tidak semua siswa bisa melakukannya. Berangkat dari

kelemahan tersebut maka muncullah model guide discovery. Model guide discovery atau

dikenal dengan pembelajaran penemuan terbimbing. Pembelajaran penemuan terbimbing dikembangkan berdasarkan pandangan kognitif tentang pembelajaran dan prinsip-prinsip konstruktivis. Menurut prinsip ini siswa dilatih dan didorong untuk dapat belajar secara mandiri. Dengan kata lain, belajar secara konstruktivis lebih menekankan belajar berpusat pada siswa sedangkan peranan guru adalah membantu siswa menemukan fakta, konsep atau prinsip untuk diri mereka sendiri bukan memberikan ceramah atau mengendalikan seluruh kegiatan kelas.

Model guide discovery mempunyai kesamaan dengan pembelajaran berdasarkan

masalah dan inquiri yang juga penerapannya berdasarkan teori konstruktivis. Model guide

(5)

Guru

Siswa A Siswa B

Bahan Ajar

percobaan sebelum sampai pada generalisasi. Sebelum siswa sadar akan pengertian, guru tidak menjelaskan dengan kata-kata. Istilah yang kedua adalah terbimbing. Terbimbing

berasal dari kata kerja bimbing. Menurut kamus besar bahasa Indonesia bimbing adalah

menuntun. Kemasukan imbuhan ter-(v) berfungsi telah dilakukan atau dikeadaan. Jadi

terbimbing adalah suatu pekerjaan yang telah dilakukan atau dikeadaan menuntun/membimbing.

Menurut Al Krismanto (2003) peranan guru dalam model guide discovery adalah

menyatakan persoalan, kemudian membimbing siswa untuk menemukan penyelesaian dari persoalan itu dengan perintah-perintah atau dengan lembar kerja sedangkan siswa mengikuti petunjuk dan menemukan sendiri penyelesaiannya. Proses penemuan dapat menjadi kemampuan umum melalui latihan pemecahan masalah dan praktek membentuk dan menguji hipotesis. Di dalam pandangan Bruner, belajar dengan penemuan adalah belajar untuk menemukan, dimana seorang siswa dihadapkan dengan suatu masalah atau situasi yang tampaknya ganjil sehingga siswa dapat mencari jalan pemecahan.

Model guide discovery merupakan model penemuan yang dipandu oleh guru,

dikenalkan oleh Plato dalam suatu dialog antara Socrates dan seorang anak. Menurut

Markaban (2006) model guide discovery melibatkan suatu dialog/interaksi antara siswa

dan guru di mana siswa mencari kesimpulan yang diinginkan melalui suatu urutan

pertanyaan yang diatur oleh guru. Model guide discovery merupakan suatu model

pembelajaran dimana pendidik dalam prakteknya tidak menyampaikan konsep-konsep pembelajaran secara langsung, melainkan siswa didorong untuk berfikir sendiri, mencoba-coba, dan sebagainya, pendidik membimbing siswa dimana ia diperlukan.

Interaksi yang mungkin terjadi dalam pembelajaran dengan model guided discovery

dapat digambarkan pada gambar berikut:

Bagan 1

Interaksi Model guide discovery

(sumber:http//P4TKmatematika.org/PPP_Penemuan_Terbimbing )

Dalam penggunaan model guide discovery, peranan guru adalah menyatakan

persoalan, kemudian membimbing siswa untuk menemukan penyelesaian dari persoalan itu dengan perintah-perintah atau dengan lembar kerja. Siswa diminta mengikuti petunjuk dan menemukan sendiri penyelesaiannya. Model ini, siswa dihadapkan kepada situasi dimana ia bebas menyelidiki dan menarik kesimpulan, membuat terkaan, intuisi dan

mencoba-coba. Model guide discovery melibatkan suatu interaksi antara siswa dan guru

(6)

yang diatur oleh guru. Interaksi dalam model menekankan pada adanya interaksi dalam kegiatan belajar mengajar. Interaksi tersebut dapat juga terjadi antara siswa dengan siswa, siswa dengan bahan ajar, siswa dengan guru. Siswa dengan guru dan bahan ajar, dan siswa dengan bahan ajar dan guru.

Tahap-tahap pembelajaran model guide discovery menurut Ibrahim dan Nur dalam

Anwar Holil (2008) adalah :

1) Orientasi siswa pada masalah

Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan, memotivasi siswa terlibat pada aktivitas pemecahan masalah yang diberikan guru.

2) Mengorganisasikan siswa dalam belajar

Guru membantu siswa mendefenisikan dan mengorganisasikan tugas-tugas yang berkaitan dengan masalah serta menyediakan alat.

3) Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok.

Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.

4) Menyajikan/mempresentasikan hasil kegiatan.

Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video, dan model yang membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya.

5) Mengevaluasi kegiatan.

Guru membantu siswa untuk merefleksi pada penyelidikan dan proses penemuan yang digunakan.

Pembelajaran dengan model ini dapat diselenggarakan secara individu atau kelompok. Guru membimbing siswa jika diperlukan dan siswa didorong untuk berpikir sendiri sehingga dapat menemukan prinsip umum berdasarkan bahan yang disediakan oleh guru dan sampai seberapa jauh siswa dibimbing bergantung pada kemampuannya dan materi yang sedang dipelajari. Dengan model ini siswa dihadapkan kepada situasi dimana siswa bebas menyelidiki dan menarik kesimpulan. Dalam model pembelajaran dengan penemuan terbimbing, peran siswa cukup besar karena pembelajaran tidak lagi terpusat pada guru tetapi pada siswa. Guru memulai kegiatan pembelajaran dengan menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan siswa dan mengorganisir kelas untuk kegiatan seperti pemecahan masalah, investigasi atau aktivitas lainnya.

b. Kemampuan Koneksi Matematika

Koneksi matematis berasal dari kata mathematical connection dalam bahasa

Inggris, yang kemudian dipopulerkan oleh NCTM dan dijadikan sebagai salah satu standar kurikulum. Brunner dan Keney (Fauzi, 2011) mengatakan bahwa kaidah koneksi setiap konsep, prinsip, dan keterampilan dalam matematika dikoneksikan dengan konsep, prinsip, dan keterampilan lainnya. Keterkaitan antara materi sebelumnya yang telah dipelajari dengan materi yang akan dipelajari merupakan salah satu bagian dari koneksi matematis.

(7)

dunia nyata atau dalam kehidupan sehari–hari. Selanjutnya NCTM (1989) membagi koneksi matematis menjadi dua tipe umum yang terdiri dari.

1) Koneksi pemodelan (modeling connections) adalah hubungan antara situasi

dengan masalah yang dapat muncul di dunia nyata atau dalam disiplin ilmu lain dengan representasi matematikanya.

2) Koneksi matematis (mathematical connections) adalah hubungan antara dua

representasi yang ekuivalen dan antara proses penyelesaian dari masing–masing representasi.

Begitu pentingnya kemampuan koneksi matematika yang dapat digunakan kehidupan sehari-hari dalam membuat hubungan-hubungan nyata dengan ketiga aspek yang telah dijelaskan di atas, maka kemampuan koneksi matematika perlu diukur melalui indikator yang tepat. Untuk dapat melihat dan mengukur sejauh mana siswa telah mampu melakukan koneksi matematik, instrumen yang digunakan sebaiknya mampu membuat siswa menemukan keterkaitan antar proses dalam suatu konsep matematika, membuat siswa menemukan keterkaitan antar topik matematika, dan membuat siswa menemukan keterkaitan matematika dengan disiplin ilmu lain atau masalah kehidupan sehari-hari.

Hal tersebut sejalan dengan NCTM (2000) Koneksi matematik terbagi ke dalam tiga aspek kelompok koneksi, yaitu: (1) aspek koneksi antar topik matematik, (2) aspek koneksi dengan disiplin ilmu lain, (3) aspek koneksi dengan kehidupan sehari-hari atau dunia nyata. Ketiga aspek koneksi matematika menurut NCTM tersebut dijelaskan sebagai berikut.

1) Koneksi antar konsep matematika

Matematika merupakan ilmu yang terstruktur dan saling terkait antar satu topic dengan topik lainnya. Dalil pengaitan Bruner (Suherman dkk, 2001) menyatakan bahwa dalam matematika antara satu konsep dengan konsep lainnya terdapat hubungan erat, bukan saja dari segi isi, namun juga dari segi rumus-rumus yang digunakan.

2) Koneksi matematika dengan disiplin ilmu lain

Matematika merupakan alat yang efisien dan diperlukan oleh semua ilmu pengetahuan, dan tanpa bantuan matematika semuanya tidak akan mendapat kemajuan yang berarti. Banyak ilmu-ilmu lain yang penemuan dan pengembangannya bergantung dari matematika.

3) Koneksi matematika dengan dunia nyata

Ilmu matematika merupakan pendekatan yang logis yang dapat diterapkan di berbagai lapangan. Matematika merupakan ilmu yang menyajikan dan menelaah hal-hal yang abstrak, sehingga seolah-olah tak ada hubungannya dengan kehidupan nyata. Pada hakikatnya matematika telah berakar dalam setiap kegiatan manusia, dari hal yang sederhana sampai pada penelitian lanjut oleh para ahli dalam berbagai ilmu. Persoalan dalam kehidupan sehari-hari biasanya berbentuk soal verbal atau dikenal dengan nama soal cerita.

(8)

dikaitkan satu sama lainnya. Sehingga NCTM (2000) berusaha merumuskan tujuan siswa memiliki kemampuan koneksi matematika agar siswa mampu untuk: (1) mengenali representasi yang ekuivalen dari suatu konsep yang sama; (2) mengenali hubungan prosedur satu representasi ke prosedur represantasi yang ekuivalen; (3) menggunakan dan menilai koneksi beberapa topik matematika; dan (4) menggunakan dan menilai koneksi antara matematika dan disiplin ilmu lain.

Aspek koneksi matematika dengan kehidupan sehari-hari siswa menunjukkan bahwa matematika dapat bermanfaat untuk menyelesaikan suatu permasalahan di kehidupan nyata. Dengan demikian, pembelajaran matematika terkoneksikan dengan tiga aspek koneksi akan memberikan peluang pada siswa untuk mempelajari keterampilan dan konsep. Sehingga, mereka mampu memecahkan masalah-masalah dari berbagai bidang yang relevan. Hal tersebut didukung oleh pendapat Ruseffendi (1991) yang menyatakan bahwa dalam matematika setiap konsep itu berkaitan satu sama lain seperti dalil dengan dalil, antara teori dengan teori, antara topik dengan topik, dan antara cabang matematika. Oleh karena itu, agar siswa lebih berhasil dalam belajar matematika siswa harus lebih sering diberi kesempatan untuk melihat kaitan-kaitan tersebut.

Sumarmo (2010) yang mengemukakan bahwa koneksi matematis disusun dalam indikator-indikator yang relevan, di antaranya sebagaimana dijelaskan sebagai berikut.

1) Mencari hubungan berbagai representasi konsep dan prosedur 2) Memahami hubungan antar topik matematika

3) Menggunakan matematika dalam bidang studi lain atau kehidupan sehari-hari 4) Memahami representasi ekivalen konsep atau prosedur yang sama

5) Mencari koneksi satu prosedur ke prosedur lain dalam representasi yang ekivalen

6) Menggunakan koneksi antar topik matematika, dan antara topic matematika dengan topik lain.

Melalui koneksi matematik maka konsep pemikiran dan wawasan siswa akan semakin terbuka terhadap matematika, tidak hanya terfokus pada topik tertentu yang sedang dipelajari, sehingga akan menimbulkan sifat positif terhadap matematika itu sendiri. Membuat koneksi merupakan standar yang jelas dalam pendidikan matematika yang juga menjadi salah satu standar utama yang disarankan NCTM (2000). Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa koneksi matematis tidak hanya menghubungkan antar topik dalam matematika, tetapi juga menghubungkan matematika dengan berbagai ilmu lain dan dengan kehidupan nyata.

3. Tujuan

Tujuan dalam penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut.

a. Menelaah apakah kemampuan koneksi matematik pada siswa yang

pembelajarannya menggunakan model pembelajaran guide discovery lebih baik

daripada siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model konvensional? b. Mengkaji apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan koneksi

matematik yang signifikan antara siswa dengan tingkat kemampuan tinggi, sedang dan rendah?

c. Mengetahui bagaimanakah respon siswa terhadap pelajaran matematika yang

memperoleh pembelajaran guide discovery.

(9)

Penelitian merupakan suatu cara ilmiah yang digunakan untuk mencari kebenaran dari suatu permasalahan yang sedang diteliti dengan menggunakan cara-cara tertentu. Cara yang digunakan lazim disebut sebagai metode penelitian. Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu (Sugiyono, 2010). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen. Nana Sudjana dan Ibrahim (2009) menyatakan bahwa : “Metode eksperimen adalah metode yang mengungkapkan hubungan antara dua varaiabel atau lebih atau mencari pengaruh suatu variable terhadap variable

lain”. Bentuk desain eksperimen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Quasi

Eksperimental Desain dengan bentuk Randomized Control Group Pretest-Postes Design

(Sugiyono : 2010).AdapunPola desain penelitiannya adalah sebagai berikut :

O X O

O O

Keterangan :

O : Pretes dan postes

X: Kelas yang mendapat perlakuan dengan pembelajaran guide discovery.

Desain tersebut dilaksanakan untuk memperoleh gambaran tentang efektivitas

pembelajaran guide discovery. Subyek dalam penelitian yang dipilih adalah siswa SMP Negeri 2

Kadugede Kabupaten Kuningan, sementara itu pemilihan sampelnya diambil secara purposive

sampling sebanyak dua kelas dari delapan kelas yang ada di SMP tersebut. Berdasarkan saran dan arahan guru di Sekolah tersebut, dipilih kelas VII-1 (kelas eksperimen) yang berjumlah 35 orang dan kelas VII-2 (kelas kontrol) yang berjumlah 36 orang. Pemilihan siswa untuk kelas eksperimen dan kelas kontrol tidak berdasarkan keacakan yang sesungguhnya, hanya berdasarkan kelas yang ada. Hal ini disebabkan peneliti tidak mungkin membentuk kelas baru maka peneliti mengambil unit sampling terkecil adalah kelas.

Sementara itu, analisa data terbagi menjadi dua yaitu : (1) untuk menguji perbedaan kemampuan antara kelompok eksperimen dan control digunakan uji perbedaan dua rataan pretes

dan postes menggunakan Independent Samples Test dan (2) untuk menguji peningkatan dan

interaksi antara faktor model pembelajaran yang diberikan dengan faktor kategori kemampuan

awal siswa, uji statistik yang digunakan adalah ANOVA dua jalur menggunakan General Linear

Model Univariate Analysis.

C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini dikemukakan hasil-hasil temuan penelitian yang berhubungan dengan peningkatan kemampuan koneksi matematis pada sekelompok siswa yang diberikan perlakuan

berupa pembelajaran dengan model pembelajaran guide discovery. Kemampuan siswa sebelum

diberi perlakuan tercermin dari hasil pretes dan kemampuan siswa setelah diberi perlakuan tercermin dari hasil postes. Peningkatan dalam penelitian ini diperoleh dari selisih antara skor

pretes dan postesserta skor ideal kemampuan koneksi matematis siswa yang dinyatakan dalam

skor gain ternormalisasi. Berikut ini disajikan statistik deskriptif skor pretes dan postes dalam

bentuk tabel.

Tabel 1

(10)

Tes matematis siswa pada kelompok eksperimen dan kelompok control. Hasil pretes tidak berbeda sedangkan dan rata-rata hasil postes kemampuan koneksi matematis siswa pada kelompok eksperimen dan kelompok control berbeda secara signifikan. Setelah analisis data deskriptif, selanjutnya dilakukan analisis data skor pretes dan postes. Analisis skor pretes dilakukan untuk melihat kemampuan awal siswa dikedua kelas. Analisis uji kesamaan rataan hasil pretes bertujuan untuk memperlihatkan ada tidaknya perbedaan yang signifikan kemampuan awal antara kelompok eksperimen dan kontrol sebelum pembelajaran.

Jenis statistik uji kesamaan rataan yang digunakan dapat diketahui dengan terlebih dahulu melakukan uji normalitas sebaran data dan homogenitas varians. Jika data memenuhi syarat

normalitas dan homogenitas, maka uji kesamaan rataan menggunakan Uji- t , sedangkan jika

data normal tapi tidak homogen menggunakan Uji-

t '

, dan untuk data yang tidak memenuhi

syarat normalitas, menggunakan uji non-parametrik, Uji Mann-Whitney.Untuk menguji

normalitas sebaran populasi skor pretes digunakan uji kenormalan Shapiro wilk melalui SPSS

21.0 pada taraf signifikansi α=0,05 . Kriteria pengujian adalah tolak H0 apabila Sig.

¿

taraf signifikansi. Berdasarkan hasil uji normalitas pada tabel 4.3 diperoleh Asymp.Sig (2-tailed)

untuk kemampuan koneksi matematis pada kelompok ekperimen dan kelompok kontrol adalah

0,000 dan 0,000 dengan mengambil α = 0,05 ternyata Asymp.Sig (2-tailed) < α (0,05) sehingga

sehingga dapat disimpulkan bahwa kedua data tidak berdistribusi normal. Sementara itu, untuk menguji homogenitas varians skor pretes kemampuan komunikasi dan koneksi matematis

kelompok eksperimen dan kelompok kontrol digunakan uji Levene Statistic. Nilai Asymp.Sig

(2-tailed) untuk kemampuan koneksi matematis adalah 0,134 dan dengan mengambil α = 0,05

ternyata Asymp.Sig (2-tailed) > α, sehingga dapat disimpulkan penyebaran skor pretes

kemampuan koneksi matematis berasal dari populasi yang homogen.

Selanjutnya untuk mengetahui ada tidaknya kesamaan data skor pretest kemampuan koneksi matematis, digunakan uji statistik non parametrik dalam hal ini uji Mann-Whitney, karena kedua data homogen namun keduanya tidak berdistribusi normal. Hasil uji statistik non

parametrik dalam hal ini uji Mann-Whitney pada data pretes ditunjukan pada tabel 2 berikut ini.

Tabel 2

Uji Kesamaan Rataan Skor Pretes Kemampuan Koneksi Matematis

Test Statisticsa

Pada tabel 2 terlihat bahwa nilai Asymp.Sig (2-tailed) = 0,091 > α. Ini berarti hipotesis nol

(H0) diterima dan menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara kemampuan awal

(11)

Selanjutnya, dilakukan analisis skor postes untuk melihat kemampuan akhir siswa atau mengetahui apakah perbedaan skor rata-rata postes siswa kelompok eksperimen dan kelompok kontrol cukup signifikan atau tidak, maka skor postes diuji dengan menggunakan uji perbedaan

rata-rata. Berdasarkan hasil uji normalitas diperoleh Asymp.Sig (2-tailed) untuk kemampuan

koneksi matematis pada kelompok ekperimen dan kelompok kontrol adalah 0,001 dan 0,120 sehingga dapat disimpulkan bahwa data postes pada kelompok eksperimen tidak berdistribusi normal sedangkan data postes kelompok kontrol berdistribusi normal. Selanjutnya, pada tes

homogenitas postes nilai Asymp.Sig (2-tailed) adalah 0,195 sehingga dapat disimpulkan

penyebaran skor postes kemampuan koneksi matematis berasal dari populasi yang homogen.

Selanjutnya, Hasil uji statistik non parametrik dalam hal ini uji Mann-Whitney pada data pretes

ditunjukan pada tabel 3 berikut ini.

Tabel 3

Uji Perbedaan Rataan Skor Postes Kemampuan Koneksi Matematis

Test Statisticsa

tail) maka nilai Asymp.Sig (2-tailed) menjadi

0,005

2

=

0,0025

. Ini berarti hipotesis nol (H0)

ditolak dan menunjukkan bahwa kemampuan koneksi matematis siswa kelompok eksperimen lebih baik daripada kelompok kontrol. Analisis data selanjutnya yang dilakukan adalah untuk mengetahui apakah perbedaan peningkatan kemampuan koneksi matematis antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol berbeda secara signifikan, perlu dilakukan uji analisis varians (ANOVA) dua jalur. Untuk melihat peningkatan kemampuan koneksi matematis yang telah dicapai oleh siswa dan kualifikasinya digunakan data gain ternormalisasi. Rataan gain ternormalisasi merupakan gambaran peningkatan kemampuan koneksi matematis baik dengan

pembelajaran guide discovery maupun dengan pembelajaran konvensional (PK), selengkapnya

dapat dilihat pada tabel 4 berikut ini.

Table 4

Analisis Varians Gain Kemampuan Koneksi Matematis

Berdasarkan Pendekatan Pembelajaran dan Kategori Kemampuan Siswa

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: N-gain Kemampuan Koneksi

Source Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model .802a 5 .160 12.905 .000

(12)

a. R Squared = .498 (Adjusted R Squared = .460)

Pada tabel 4 di atas diperoleh nilai signifikansi (Sig.) sebesar 0,000 lebih kecil dari α =

0,05 dan Fhitung = 24,145 lebih besar dari Ftabel = 3,12 pada taraf signifikansi α = 0,05 dengan

derajat kebebasan 2/71 (F0,05(2/71) = 3,12). Karena itu, hasilnya hipotesis nol ditolak, artinya

peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa kelas eksperimen secara signifikan lebih baik daripada siswa kelas kontrol. Sementara itu, untuk mengetahui perbedaan peningkatan

kemampuan koneksi matematis siswa berdasarkan KAM diperoleh nilai signifikansi (Sig.)

sebesar 0,000 lebih kecil dari α = 0,05 dan Fhitung = 13,237 lebih besar dari Ftabel = 3,12 sehingga

hipotesis nol ditolak. Artinya terdapat perbedaan peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa antara siswa yang berkemampuan tinggi, sedang dan rendah. Selanjutnya, untuk mengetahui interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan kategori kemampuan siswa

terhadap kemampuan koneksi matematis siswa didapat nilai signifikansi (Sig.) sebesar 0,008

lebih kecil dari α = 0,05 dan Fhitung = 5,147 lebih besar dari Ftabel = 3,12 sehingga hipotesis nol

ditolak. Hal ini berarti terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan kategori kemampuan siswa terhadap kemampuan koneksi matematis siswa.

Secara grafik interaksi antara faktor pendekatan pembelajaran dan faktor kategori siswa diperlihatkan gambar 1 berikut.

Gambar 1

Grafik Interaksi Antara Faktor Pendekatan Pembelajaran Dengan Faktor Kategori Kemampuan Siswa Pada Kemampuan Koneksi Matematis

Hasil penelitian tersebut, didukung oleh hasil analisis respon siswa pada kelompok

eksperimen yang memperoleh pembelajaran dengan guide discovery. Hasil rekapitulasi respon

siswa dapat dilihat pada tabel 5 berikut ini.

Table 5

Rekapitulasi Respon Siswa Terhadap Pembelajaran Guide Discovery

Jenis Pernyataan

Kecenderungan Sangat

Setuju

Setuju Netral Tidak

Setuju

Sangat Tidak Setuju

(13)

Negatif 2,3 8,7 18,2 36,4 34,4

Dari tabel 5 diperoleh gambaran respon positif siswa terhadap pelajaran matematika. Hal ini dapat dilihat dari jumlah pernyataan positif sangat setuju (SS) dan setuju (S) terhadap

pelajaran matematika dengan menggunakan guide discovery lebih besar dari pada jumlah

pernyataan tidak setuju (TS) dan sangat tidak setuju (STS). Selanjutnya, jumlah pernyataan negatif sangat setuju (SS) dan setuju (S) terhadap pelajaran matematika dengan menggunakan

guide discovery lebih kecil daripada jumlah pernyataan tidak setuju (TS) dan sangat tidak setuju (STS). Hal ini menunjukkan bahwa siswa cendrung merespon positif terhadap pelajaran

matematika dengan menggunakan guide discovery. Respon siswa yang positif terhadap terhadap

pembelajaran guide discovery menjadi pendukung hasil penelitian yang dilakukan secara

kuantitatif mengenai implementasi pembelajaran guide discovery dalam pembelajaran

matematika.

D. SIMPULAN

Pada penelitian kualitatif diperoleh kesimpulan bahwa sementara itu, pada penelitian kuantitatif diperoleh kesimpulan bahwa : (1) Kemampuan koneksi matematis pada siswa yang

pembelajarannya menggunakan pembelajaran guide discovery lebih baik daripada siswa yang

memperoleh pembelajaran dengan pembelajaran konvensional; (2) Peningkatan kemampuan

koneksi matematis siswa yang belajar dengan menggunakan guide discovery lebih baik daripada

siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan konvensional; (3) Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan koneksi matematis yang signifikan antara siswa dengan tingkat kemampuan tinggi, sedang dan rendah; (4) Terdapat interaksi antara faktor model pembelajaran yang diberikan dengan faktor kategori kemampuan siswa menyangkut peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa; dan (5) siswa memberikan respon positif terhadap pelajaran

matematika dengan model pembelajaran guide discovery.

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Cooney, T.J., Davis, E.J., Henderson, K.B. (1975). Dynamics of Teaching Secondary School Mathematics. Boston : Houghton Mifflin Company.

Dahar, RW. (1996). Teori-teori Belajar. Jakarta : Erlangga.

Depdiknas (2004). Peraturan Dirjen Dikdasmen No. 506/C/PP/2004 tanggal 11 November 2004

tentang Penilaian Perkembangan Anak Didik Sekolah Menengah Pertama (SMP). Jakarta: Ditjen Dikdasmen Depdiknas.

Fauzi. (2011). Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematis dan Kemandirian Belajar Siswa dengan Pendekatan Pembelajaran metakognitif di Sekolah Menengah Pertama. Tesis pada SPs UPI: Tidak diterbitkan.

Markaban (2006). Model Pembelajaran Matematiika Dengan Pendekatan Penemuan Terbiimbing

(14)

Guru Matematika.National Council of Teachers of Mathematics [NCTM]. (2000).

Principles and Standards for School Mathematics. Reston, VA: NCTM.

Nasir, S. (2008). Meningkatkan Koneksi dan Pemecahan Masalah Matematik Siswa SMA yang

Berkemampuan Rendah Melalui Pendekatan Kontekstual. Tesis UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

NCTM. (1989). Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics. Reston, VA :

NCTM.

. (2000). Principles and Standards for School Mathematics. Reston, VA: NCTM.

Program for International Student Assesment (2012). PISA 2012 Assesment and Analitical

Framework (Mathematics, Reading, Science, Problem Solving and Financial Literacy). Paris : OECD Library.

Roestiyah N.K. (2001). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : PT. Rineka Cipta.

Ruseffendi, E.T. (1991). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya

dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.

Sagala, S. (2010). Konsep dan Makna Pembelajaran (Untuk Membantu Memecahkan Problematika

Balajar dan Menagajr). Bandung : Alfabeta.

Sudjana dan Ibrahim. (2009). Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung: Sinar Baru

Algesindo.

Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung. Alfabeta.

Suherman, dkk. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Komtemporer. Bandung : JICA Universitas Pendidikan Indonesia.

Sumarmo, U. (2010). Berfikir dan Disposisi: Apa, Mengapa dan Bagaimana Dikembangkan pada Peserta Didik. FPMIPA UPI.: Tidak Diterbitkan.

TIMSS (2007). International Mathematics Report. United States: TIMSS & PIRLS International

Study Center.

Wahyudin. (2008). Pembelajaran dan Model-model Pembelajaran. Bandung: UPI.

Wahyuni. (2010) Peningkatan kemampuan komunikasi dan koneksi matematis siswa SMP melalui

pembelajaran berbasis masalah. Tesis. PPs UPI Bandung : Tidak diterbitkan.

Website :

Holil, A. (2008). Tapan-tahapan Pembelajaran Penemuan. [On Line]. Tersedia:

(15)

Gambar

Tabel  di  atas  memperlihatkan  rata-rata  hasil  pretes  dan  postes  kemampuan  koneksi
Tabel 3Uji Perbedaan Rataan Skor Postes Kemampuan Koneksi Matematis
Gambar 1Grafik Interaksi Antara Faktor Pendekatan Pembelajaran Dengan Faktor Kategori

Referensi

Dokumen terkait

Penggunaan sebuah piranti server terdedikasi kurang efisien apabila hanya digunakan untuk sistem operasi tunggal dengan kebutuhan sumberdaya kecil. Mesin

[r]

[r]

Dengan kemampuannya untuk mendiskriminasi data antarkelas, maka PLSDA cocok digunakan dalam analisis data multivariat dari nilai reflektan biopsi jaringan kanker

Transmisi ini juga salah satu konsep penting dalam sistem komputer, dengan adanya mode transmisi ini memungkinkan suatu alat dapat terhubung untuk melakukan komunikasi

Mencermati beberapa penelitian di atas, bisa dilihat penelitian tersebut berfokus pada peran agama dan motivasi terhadap pembinaan mental prajurit serta pembinaan

Besarnya korelasi atau hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen dapat dilihat menggunakan nilai pada kolom R yang menunjukkan bahwa korelasi yang

yang dapat digunakan pengguna sebagai bagian dari layanan yang diberikan oleh perpustakaan. Layanan lain yang sangat menunjang kemudahan pemustaka dalam temu balik