• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Perilaku Pemeliharaan Kesehatan Gigi Dan Mulut Terhadap Status Oral Higiene Dan Periodontal Pasien Kompromis Medis Rawat Inap Di RSUP H. Adam Malik Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Perilaku Pemeliharaan Kesehatan Gigi Dan Mulut Terhadap Status Oral Higiene Dan Periodontal Pasien Kompromis Medis Rawat Inap Di RSUP H. Adam Malik Medan"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pasien Kompromis Medis

Pasien kompromis medis adalah pasien dengan penyakit sistemik yang harus

dikompromikan terlebih dahulu sebelum dilakukan tindakan medis yang

menyebabkan keterbatasan melakukan aktivitas normal sehari-hari (Harris dan

Garcia-Godoy, 2004; Lockhart, 2013). Oleh karena itu, setiap pasien kompromis

medis sebaiknya memiliki evaluasi riwayat medis dan gigi sejak kunjungan pertama

perawatan untuk membantu kontrol status kesehatan pasien (Lockhart, 2013).

National Center for Health Statistics melaporkan bahwa 15% dari populasi

orang dewasa berusia ≥65 tahun mengalami penyakit sistemik yang kronis. Penyakit

paling umum yang dilaporkan adalah penyakit jantung, DM, dan hipertensi (cit.

Bhateja, 2012). Kondisi kompromis medis dikategorikan ke dalam 8 kelompok yaitu:

(1) gangguan kardiovaskuler, (2) gangguan perdarahan, (3) gangguan pernafasan, (4)

gangguan endokrin, (5) gangguan sistem imun, (6) gangguan neurologi, (7) gangguan

pencernaan, dan (8) gangguan ginjal. Umumnya, gangguan kardiovaskuler yang

sering terjadi adalah penyakit jantung dan gangguan endokrin yang sering terjadi

adalah diabetes (Broderick, 2009).

2.1.1 Penyakit Jantung Koroner

Jantung adalah organ tubuh yang sangat baik bertindak sebagai pompa ganda

yaitu menerima darah yang kaya oksigen dari paru-paru, mengalirkannya ke seluruh

(2)

ke paru-paru, hal ini merupakan sistem tertutup. Jantung pada orang dewasa sehat

berisi 5 liter darah (Broderick, 2009). Tinggi rendahnya tekanan darah dapat memberi

petunjuk baik tidaknya kerja jantung serta besar kecilnya tahanan pembuluh darah

dan aliran darah di jaringan sehingga peningkatan volume darah atau denyut jantung

akan memiliki pengaruh yang kuat terhadap tekanan darah (WHO, 2011).

Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan salah satu penyakit yang banyak

diderita oleh jutaan orang dan menjadi penyebab kematian utama di beberapa negara

termasuk Indonesia. Sampai saat ini penyebab pasti PJK belum diketahui, namun ada

beberapa faktor risiko yang diduga sangat berpengaruh terhadap timbulnya PJK ini

(Joewono, 2003; Fauci et al., 2008). Faktor risiko yang menyebabkan terjadinya PJK

yaitu: (1) faktor perilaku, seperti kebiasaan merokok, kurangnya aktivitas fisik, dan

diet tidak sehat; (2) faktor metabolik, seperti kadar lemak berlebihan (kolesterol),

tekanan darah meningkat (hipertensi), kadar gula darah (KGD) meningkat (diabetes),

dan berat badan berlebihan (obesitas) (Fauci et al., 2008; WHO, 2011); serta (3)

faktor lain, seperti status pendidikan dan ekonomi rendah, usia lanjut, jenis kelamin,

dan faktor psikologis (stres dan depresi) (WHO, 2011).

Faktor risiko yang paling sering dijumpai pada PJK adalah hipertensi.

Hipertensi merupakan suatu keadaan ketika tekanan darah di pembuluh darah

meningkat secara kronis. Hal ini dapat terjadi karena jantung bekerja lebih keras

memompa darah untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi tubuh. Jika

dibiarkan, penyakit ini dapat mengganggu fungsi organ lain, terutama organ vital

seperti jantung. Kriteria hipertensi merujuk pada kriteria diagnosis Joint National

(3)

mmHg atau tekanan darah diastolik ≥90 mmHg (cit. Kemenkes, 2013). Klasifikasi derajat tekanan darah oleh JNC VII terlihat pada Tabel 2.1 (Department Health Human Services USA, 2003).

Tabel 2.1 Klasifikasi tekanan darah untuk dewasa menurut JNC VII

No. Klasifikasi

2. Prehipertensi 120–139 atau 80–89

3. Hipertensi Derajat 1 140–159 atau 90–99

4. Hipertensi Derajat 2 ≥160 atau ≥100

Sumber: Department Health Human Services USA, 2004. The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. NIH Publication. Online version: 12.

2.1.2 Patofisiologi Penyakit Jantung Koroner

Proses awal PJK adalah aterosklerosis. Aterosklerosis adalah proses menebal

dan mengerasnya dinding pembuluh darah selama bertahun-tahun disebabkan oleh

lemak dan kolesterol yang disimpan dalam lumen pembuluh darah sehingga

permukaan bagian dalam pembuluh darah menjadi tidak teratur dan lumen menjadi

sempit menyebabkan pembuluh darah menjadi kurang lentur dan darah sulit mengalir

melalui pembuluh darah. Pembentukan aterosklerosis diawali dengan sirkulasi

monosit menempel pada endotel. Penempelan ini diperantarai oleh beberapa molekul

adhesi pada permukaan sel endotel yaitu intercellular adhesion molecule-1

(ICAM-1), endotelial leucocyte adhesion molecule (ECAM-1) dan vaskular cell adhesion

molecule-1 (VCAM-1). Molekul adhesi ini diatur oleh sejumlah faktor yaitu produk

(4)

kadar kolesterol low-density lipoprotein (LDL) yang tinggi dan radikal bebas maka

endotel menjadi permeabel terhadap limfosit dan monosit. Sel-sel ini bermigrasi ke

dinding pembuluh darah sehingga menarik partikel kolesterol LDL. Partikel-partikel

ini diselubungi monosit yang berubah menjadi makrofag. Sel otot polos bermigrasi ke

dalam situs dari lapisan yang lebih dalam dari dinding pembuluh darah sehingga

terbentuk penutup fibrosa yang terdiri atas otot polos dan kolagen. Pada saat yang

sama, makrofag yang terlibat dalam reaksi awal mulai mati, sehingga pembentukan

inti nekrotik ditutupi oleh fibrous cap. Lesi ini (plak ateromatosa) membesar akibat

sel dan lipid yang terakumulasi serta plak mulai menggembung ke lumen pembuluh

darah. Saat proses berlanjut, terdapat penipisan fibrous cap disertai dengan fisura

permukaan endotel plak yang dapat pecah. Dengan pecahnya plak, pecahan lemak

dan debris sel dilepaskan ke dalam lumen pembuluh darah dan terpapar zat

trombogenik pada permukaan endotel sehingga terjadi pembentukan trombus. Jika

trombus cukup besar lalu pembuluh darah koroner yang tersumbat akan

menyebabkan serangan jantung dan jika pembuluh darah otak yang tersumbat akan

menyebabkan stroke (WHO, 2011).

Tahapan mekanisme terjadinya aterosklerosis yaitu (Joewono, 2003):

a. Fatty streak merupakan awal proses aterosklerosis yang dimulai sejak masa

kanak-kanak dan berawal dari lapisan/timbunan kaya lemak. Lesi ini terdiri atas

makrofag dan sel otot polos yang mengandung lemak yaitu kolesterol dan kolesterol

oleat yang berwarna kekuningan, sehingga disebut fatty streak. Fatty streak ini

mula-mula tampak pada dinding aorta yang jumlahnya semakin banyak pada usia 8–18

(5)

b. Fibrous plaque merupakan lanjutan dari fatty streak yaitu terjadi proliferasi

sel, penumpukan lemak lebih lanjut, dan terbentuknya jaringan ikat serta bagian

dalam yang terdiri atas campuran lemak dan sel debris sebagai akibat proses nekrosis.

Lesi yang semakin matang ini tampak pada usia sekitar 25 tahun. Apabila lesi ini

semakin berkembang maka diameter lumen akan semakin sempit dan akan

mengganggu aliran darah. Pada fase ini terjadi proliferasi sel otot polos yang akan

membentuk fibrous cap dan menutup timbunan lemak ekstraseluler dan sel debris.

c. Advance (complicated) lesion merupakan lesi lanjutan fibrous plaque yang

mendapat vaskularisasi baik dari lumen maupun dari tunika media. Pada lesi yang

telah lanjut (advance), jaringan nekrosis yang merupakan inti lesi semakin membesar

dan sering mengalami perkapuran. Fibrous cap menjadi semakin tipis dan pecah

sehingga lesi ini akan mengalami ulserasi, perdarahan, dan trombosis yang dapat

menyebabkan terjadinya oklusi aliran darah (Gambar 2.1).

Gambar 2.1 Tahap perkembangan plak aterosklerosis. (a) Fatty

streak; (b) Fibrous plaque; (c) Complicated plaque; dan (d) Rupture plaque (WHO, 2011).

a b

(6)

2.1.3 Diabetes Melitus Tipe 2

DM menjadi yang paling dikenal dari semua kondisi yang mempengaruhi

sistem endokrin. DM adalah penyakit gangguan metabolik, terutama metabolisme

karbohidrat, lemak, dan protein yang terjadi akibat gangguan sekresi insulin dan

gangguan fungsi insulin yang ditandai dengan peningkatan KGD (hiperglikemia)

sehingga menyebabkan gangguan fungsi jangka panjang dan kerusakan sejumlah

organ tubuh terutama mata, ginjal, jantung, saraf, dan pembuluh darah (Inzucchi et

al., 2005; Broderick, 2009).

DM dibagi menjadi 2 kategori utama berdasarkan sekresi insulin yaitu DM

tipe 1 atau insulin dependent diabetes mellitus (IDDM) dan DM tipe 2 atau

noninsulin dependent diabetes mellitus (NIDDM). Pada DM tipe 1 disebut juga DM

tergantung insulin dan dapat timbul pada usia muda (anak-anak atau remaja),

sedangkan pada DM tipe 2 selain kekurangan insulin, juga terjadi resistensi insulin

yaitu insulin tidak dapat mengatur KGD untuk keperluan tubuh secara optimal

sehingga ikut berperan terhadap meningkatnya KGD. DM tipe 2 lebih umum terjadi,

sekitar 90% dari keseluruhan penderita diabetes seluruh dunia (Inzucchi et al., 2005;

Broderick, 2009). DM tipe 2 ditandai dengan tiga kelainan utama yaitu: (1) resistensi

perifer terhadap insulin terutama di otot, (2) terganggunya sekresi insulin di pankreas,

dan (3) meningkatnya produksi glukosa oleh hati. Bukti kuat yang membedakan jenis

DM tipe 2 ini dengan DM lainnya adalah resistensi insulin merupakan gangguan awal

(7)

2.1.4 Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe 2

Insulin adalah hormon yang diproduksi sel beta pankreas berfungsi

meningkatkan konsentrasi KGD agar glukosa dapat beredar melalui aliran darah dan

masuk ke jaringan untuk dimanfaatkan oleh sel-sel menurunkan konsentrasi KGD.

Penurunan produksi insulin dan pengurangan fungsi insulin akan merubah

metabolisme glukosa menyebabkan hiperglikemia, namun sebaliknya peningkatan

kadar insulin dapat menyebabkan KGD rendah (hipoglikemia). Insulin adalah

hormon utama penurun KGD. Jika fungsi insulin normal seperti pada pasien non DM,

peningkatan KGD yang dihasilkan sekresi hormon pengatur secara cepat dinormalkan

melalui sekresi insulin endogenus. Namun, jika sekresi insulin terganggu seperti pada

penderita DM, peningkatan KGD dalam merespons pelepasan sekresi hormon

pengatur akan tetap tinggi. Gangguan, baik dari produksi maupun aksi insulin dapat

meyebabkan gangguan metabolisme glukosa yang bermula dari hambatan dalam

utilisasi glukosa yang diikuti adanya peningkatan KGD. Pada DM tipe 2, gangguan

metabolisme glukosa disebabkan oleh 2 faktor utama yaitu tidak adekuatnya sekresi

(defisiensi) insulin dan kurang sensitifnya jaringan tubuh (resistensi) terhadap insulin

disertai faktor lingkungan (Broderick, 2009; Manaf, 2010).

Mekanisme terjadinya penyakit DM tipe 2 diawali gangguan kinerja fase 1

(inadekuat sekresi insulin) yang memberi dampak negatif terhadap kinerja fase 2

(dekompensasi insulin) sehingga mengakibatkan KGD tinggi. Hiperglikemia tidak

hanya terjadi akibat defisiensi insulin saja, namun rendahnya resistensi terhadap

insulin terjadi pada waktu bersamaan. Pengaruh lingkungan seperti gaya hidup atau

(8)

metabolisme glukosa akan berlanjut pada gangguan metabolisme lemak dan protein

serta proses kerusakan berbagai jaringan tubuh (Manaf, 2010).

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) membagi alur diagnosis

DM berdasarkan ada tidaknya (1) gejala khas DM seperti poliuria, polidipsia,

polifagia, dan penurunan berat badan tanpa sebab jelas, (2) gejala tidak khas DM

seperti kesemutan, luka sulit sembuh, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi, dan pruritus

vulva, ditegakkan melalui cara pada Tabel 2.2 (cit. Purnamasari, 2010).

Tabel 2.2 Kriteria diagnosis DM menurut PERKENI

No Kriteria

1 Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dL (11,1 mmol/L)

Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir

2 Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL (7,0 mmol/L) Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan 8 jam

3 Glukosa plasma 2 jam pada Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) ≥200 mg/dL TTGO dilakukan dengan standar WHO menggunakan beban glukosa setara dengan 75 gram glukosa bebas air yang dilarutkan dalam air dengan kriteria: <140 mg/dL = normal; 140–199 mg/dL = toleransi glukosa terganggu; ≥200 mg/dL = diabetes

4 HbA1c ≥6,5% (*)

Sumber: Purnamasari D, 2010. Diagnosis dan klasifikasi diabetes melitus. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. ed 5. Jakarta: Interna Publishing. 1881. (*) cit. Setiawan M, 2011. Pre-diabetes dan peran HbA1c dalam skrining dan diagnosis awal Diabetes mellitus. J Saintika Med; 7(14): 60.

Pemeriksaan lain untuk diagnosis DM adalah pemeriksaan glycosilated

haemoglobin assay (HbA1c). HbA1c adalah spesifik hemoglobin terglikasi yang

terbentuk karena adanya penambahan glukosa dalam asam amino. Konsentrasi

HbA1c tergantung pada konsentrasi glukosa darah dan masa hidup eritrosit, biasanya

dinyatakan sebagai persentase dari total hemoglobin. HbA1c merupakan pemeriksaan

(9)

terhadap risiko komplikasi diabetes (Setiawan, 2011). Menurut International Expert

Committe tahun 2009 bahwa diagnosis DM dapat ditegakkan jika nilai HbA1c ≥6,5%

(cit. Setiawan, 2011).

2.2 Status Oral Higiene 2.2.1 Oral Higiene

Kamus Mosby mendefinisikan oral higiene sebagai keadaan atau tindakan

mempertahankan jaringan dan struktur dari mulut. Kebersihan rongga mulut termasuk

menyikat gigi dan lidah untuk menghilangkan sisa-sisa makanan, bakteri, dan plak;

pemijatan gingiva dengan sikat gigi dan benang gigi, penyemprotan air untuk

merangsang sirkulasi dan menghilangkan benda-benda asing; serta pembersihan gigi

tiruan dan memastikan gigi tiruan tersebut tepat digunakan untuk mencegah iritasi.

Pasien yang tidak mampu bergerak atau yang tidak sadar perlu dibantu dalam

memelihara kesehatan rongga mulutnya termasuk perawatan melembabkan bibir,

membersihkan pipi bagian dalam, palatum, dan lidah (Mosby’s dict, 2006). Menurut

American Dental Hygienist Association bahwa pemeliharaan oral higiene adalah

tindakan membersihkan rongga mulut, gigi, dan gingiva bertujuan untuk (1)

mencegah penyakit pada mulut, gigi, dan jaringan pendukungnya; (2) mencegah

penyakit yang penularannya melalui mulut; (3) meningkatkan pertahanan tubuh

terhadap infeksi baik di jaringan rongga mulut maupun infeksi sistemik; dan (4)

mempertahankan fungsi rongga mulut terhadap proses asupan makanan. Oral higiene

buruk dapat menyuburkan perkembangan bakteri di rongga mulut. Bakteri dan

(10)

eksotoksin, endotoksin, dan enzim proteolitik yang mempengaruhi respons imun

tubuh (cit. Gurenlian, 2007).

Plak gigi adalah lapisan kumpulan bakteri pada permukaan gigi yang tidak

dibersihkan. Lapisan plak gigi ini merupakan endapan pelikel saliva yang membentuk

koloni bakteri dan melekat erat sehingga tidak dapat dibersihkan hanya dengan

berkumur-kumur, tetapi harus dengan aksi mekanis. Proses pembentukan plak yaitu

(1) diawali pembentukan pelikel saliva yaitu lapisan bening dan tipis pada permukaan

gigi yang segera terbentuk setelah menyikat gigi; (2) setelah 3–8 jam, terjadi

kolonisasi bakteri gram positif; (3) setelah 24 jam, terbentuk lapisan plak yang

terdeteksi secara klinis; (4) setelah 3 hari, jumlah bakteri gram positif dan bakteri

anaerob meningkat; serta (5) setelah 7 hari, terjadi penurunan persentase bakteri gram

positif yang merupakan fase akhir pematangan plak (Hinrichs, 2012).

Kalkulus adalah endapan plak bakteri terkalsifikasi yang terbentuk dan

melekat erat pada permukaan gigi atau benda padat lainnya di dalam mulut seperti

pada restorasi dan gigi tiruan. Adanya kalkulus menyebabkan efektifitas oral higiene

menjadi buruk dan sukar dihilangkan, sehingga kontrol terhadap inflamasi penyakit

periodontal merupakan hal yang penting. Pembentukan kalkulus diawali oleh

akumulasi plak yang mengeras akibat endapan garam mineral, dimulai 1–14 hari

sejak pembentukan plak. Telah dilaporkan bahwa kalsifikasi dapat terjadi dalam 4–8

jam dan waktu pembentukan kalkulus mencapai jumlah maksimal adalah 10 minggu

hingga 6 bulan. Umumnya kalsifikasi terjadi 50% dalam 2 hari dan 60–90% dalam 12

(11)

2.2.2 Pengukuran Oral Higiene

Pengukuran oral higiene merupakan evaluasi klinis dari adanya plak bakteri,

kalkulus, dan stain. Pengumpulan data selama pengukuran ini membantu dokter gigi

dalam perkembangan rencana perawatan oral higiene pasien, penerapan strategi

edukasi terhadap pasien, dan evaluasi terhadap hasil instruksi pemeliharaan oral

higiene pasien (Perry dan Beemsterboer, 2007). Salah satu indikator yang biasa

digunakan untuk menentukan status oral higiene adalah Oral Hygiene Index yang

dikembangkan oleh Greene dan Vermilion pada tahun 1960 dan tahun 1964

dimodifikasi menjadi Oral Hygiene Index Simplified (OHI-S). OHI-S terdiri atas dua

komponen yakni Debris Index (DI) dan Calculus Index (CI) (Harris dan

Garcia-Godoy, 2004; Perry dan Beemsterboer, 2007).

DI adalah skor yang diperoleh dari endapan lunak pada permukaan gigi yang

berisi plak bakteri, materia alba, dan sisa-sisa makanan. CI adalah skor yang

diperoleh dari endapan keras massa anorganik pada permukaan gigi yang terbentuk

akibat tercampurnya kalsium karbonat dan fosfat dengan sisa-sisa makanan,

mikroorganisme, dan sel epitel yang terlepas. Nilai skor DI dan CI mempunyai

rentangan skor 0-3 dengan kriteria masing-masing seperti yang tertera pada Tabel 2.4.

Masing-masing skor dijumlahkan lalu dibagi jumlah gigi yang diperiksa dan total

skor OHI-S diperoleh dari penjumlahan skor debris dan kalkulus. Kategori skor

OHI-S yaitu 0,1-1,2 adalah baik; 1,3-3,0 adalah cukup baik; 3,1-6,0 adalah buruk

(John, 2003; Perry dan Beemsterboer, 2007). Pemeriksaan dilakukan pada 6 gigi

(12)

gigi Insisivus 1 atas kanan dan gigi Insisivus 1 bawah kiri (11, 31), dan permukaan

lingual gigi Molar 1 bawah kiri dan kanan (36, 46) (Harris dan Garcia-Gordoy, 2004).

Tabel 2.3 Kriteria klasifikasi debris dan kalkulus

Skor Kriteria

Debris Kalkulus

0 Tidak dijumpai debris atau stein Tidak ada kalkulus 1 Debris lunak menutupi tidak lebih

dari 1/3 permukaan gigi, atau adanya stein ekstrinsik tanpa debris lain pada daerah tersebut

Kalkulus supragingiva menutupi tidak lebih dari 1/3 permukaan gigi

2 Debris lunak menutupi lebih dari 1/3, tetapi tidak lebih dari 2/3 dari permukaan gigi

Kalkulus supragingiva menutupi lebih dari 1/3, tetapi tidak lebih dari 2/3 permukaan gigi atau adanya kalkulus subgingiva berupa flek di sekeliling leher gigi

3 Debris lunak menutupi lebih dari 2/3 permukaan gigi

Kalkulus supragingiva menutupi lebih dari 2/3 permukaan gigi atau adanya kalkulus subgingiva berupa pita yang tidak terputus di sekeliling leher gigi

Sumber: John J, 2003. Textbook of preventive and community dentistry. 1st ed. New Delhi: CBS Publishers & Distributors. 113; Perry DA, Beemsterboer PL, 2007. Periodontology for the dental hygienist. 3rd ed. St Louis: Saunders Elsevier. 47.

2.3 Status Periodontal 2.3.1 Penyakit Periodontal

Penyakit periodontal adalah penyakit infeksi kronis yang diawali akumulasi

bakteri sehingga menyebabkan peradangan dan kerusakan jaringan pendukung gigi

yaitu gingiva, ligamen periodontal, sementum, dan tulang alveolar (Genco dan

Williams, 2010). Penyakit periodontal umumnya disebabkan bakteri yang ditemukan

pada gigi dan bakteri gram negatif telah diidentifikasi sebagai bakteri patogen utama.

Porphyromonas gingivalis, Aggregatibacter actinomycetemcomitans, Fusobacterium

nucleatum, dan Bacteroides forsythus adalah bakteri gram negatif yang paling sering

(13)

Secara garis besar, penyakit periodontal dibedakan atas gingivitis yang

bersifat reversibel dan periodontitis yang bersifat ireversibel karena adanya migrasi

epitel penyatu ke arah apikal dan kehilangan tulang (Genco dan Williams, 2010).

Gingivitis merupakan hasil penumpukan plak bakteri pada permukaan gigi yang

berkembang akibat proses inflamasi di sekitar gingiva. Secara umum, gambaran

klinis gingivitis ditandai dengan gingiva berwarna kemerahan dan membengkak,

adanya perdarahan, perubahan kontur dari gingiva, dan adanya plak atau kalkulus

tanpa kehilangan puncak tulang alveolar secara radiografik. Periodontitis

didefinisikan sebagai penyakit inflamasi jaringan pendukung gigi yang disebabkan

sekelompok bakteri spesifik sehingga menghasilkan kerusakan ligamen periodontal

dan tulang alveolar berkelanjutan dengan bertambahnya kedalaman saku, dengan atau

tanpa resesi. Periodontitis berkembang sebagai akibat lanjutan dari gingivitis yang

tidak dirawat, biasanya disertai dengan pembentukan saku periodontal serta

perubahan kepadatan dan ketinggian tulang alveolar. Tanda-tanda klinis peradangan,

seperti perubahan warna, kontur, konsistensi, dan perdarahan pada saat pemeriksaan

dengan prob periodontal, menjadi indikator positif terhadap terjadinya kehilangan

perlekatan (Hinrichs dan Novak, 2012).

2.3.2 Patofisiologi Penyakit Periodontal

Penyakit periodontal dianggap sebagai penyakit infeksi yang disebabkan oleh

bakteri yang mengkolonisasi saku periodontal. Bakteri dan produknya memicu

pelepasan sitokin proinflamasi dan enzim-enzim yang tidak teregulasi sehingga

(14)

matrix metallo proteinase (MMP) dan sitokin proinflamasi pada cairan sulkus gingiva

dan saliva merupakan penanda respons imun tubuh terhadap produk bakteri yaitu

lipopolisakarida (LPS). LPS mengaktifkan berbagai mediator biologis seperti

interleukin-1 beta (IL-1β), interleukin-8 (IL-8), prostaglandin E2 (PGE2), tumor

necrosis factor alpha (TNF-α), dan MMP pada endotelium vaskuler dan otot polos

(Preshaw dan Taylor, 2012).

Menurut Page dan Schroeder bahwa tahapan mekanisme terjadinya penyakit

periodontal adalah (cit. Preshaw dan Taylor, 2012):

1. Tahap awal, terjadi dalam 2–4 hari akumulasi plak. Adanya peningkatan

permeabilitas vaskular secara perlahan dan terjadi vasodilatasi, cairan sulkus gingiva

mengalir ke luar, lalu migrasi lekosit dan netrofil menuju sulkus gingiva sampai

melewati epitel penyatu melalui jaringan ikat gingiva (Gambar 2.2).

2. Tahap dini, terjadi setelah 1 minggu akumulasi plak dan terlihat tanda awal

gingivitis. Gingiva berwarna kemerahan karena adanya proliferasi kapiler, degenerasi

jaringan fibroblas, kerusakan serabut kolagen yang menghasilkan daerah penipisan

jaringan ikat kolagen, lalu terjadi proliferasi sel-sel basal dari epitel menuju daerah

kolagen yang menipis sehingga menyebabkan pembengkakan jaringan gingiva

(Gambar 2.2).

3. Tahap menetap, terlihat sebagai gingivitis kronis. Terjadi infiltrasi sel

radang yang menebal (sel plasma, limfosit, dan netrofil), sel radang pada jaringan ikat

menumpuk, pelepasan MMP dan kandungan lisosom dari netrofil meningkat, serabut

kolagen semakin menipis dan terjadi proliferasi sel epitel, lalu terbentuk saku yang

(15)

4. Tahap lanjut, merupakan tahap transisi gingivitis menjadi periodontitis.

Adanya jumlah netrofil yang berlebih di dalam saku epitel, infiltrasi sel radang yang

semakin menebal pada jaringan ikat terutama sel plasma, migrasi apikal dari epitel

penyatu untuk mempertahankan batas epitel utuh, kerusakan kolagen yang

berkelanjutan sehingga memperluas daerah penipisan serabut jaringan ikat kolagen,

lalu saku semakin dalam dan menyebabkan resorpsi osteoklas pada tulang alveolar

(Gambar 2.2).

Gambar 2.2 Proses penyakit periodontal. (a) Gingiva sehat; (b) Tahap dini; (c) Tahap menetap; dan (d) Periodontitis (Scannapieco, 2004).

2.3.3 Faktor Risiko Penyakit Periodontal

Beberapa faktor-faktor risiko yang dapat mempengaruhi keparahan penyakit

periodontal yaitu:

a b

(16)

a. Usia. Beberapa penelitian menyatakan bahwa tingkat keparahan penyakit

periodontal akan meningkat sejalan dengan pertambahan usia. Penyakit periodontal

lebih banyak dijumpai pada orangtua, meskipun kondisi ini lebih sering dihubungkan

sebagai kerusakan jaringan kumulatif selama hidup (proses penuaan) (Pintauli dan

Hamada, 2012). Meskipun beberapa penelitian klinis menyatakan penuaan tidak

berhubungan dengan keparahan penyakit periodontal, namun proses penyembuhan

alami jaringan periodonsium pada usia lanjut berjalan lebih lambat sehingga efek

kehilangan perlekatan tulang lebih cepat terjadi (Burt dan Eklund, 2005).

b. Jenis Kelamin. Hasil survei menunjukkan bahwa laki-laki memiliki

kesehatan periodontal yang lebih buruk dibandingkan wanita. Wanita biasanya

terlihat lebih baik dalam hal perilaku oral higiene dan kunjungan ke dokter gigi

daripada laki-laki, hal ini terlihat dari lebih sering terjadinya gingivitis dan kerusakan

jaringan periodontal pada laki-laki dibandingkan wanita (Burt dan Eklund, 2005).

c. Oral higiene. Beberapa ahli menyatakan bahwa penyakit periodontal

berhubungan kuat dengan kondisi oral higiene yang buruk. Loe et al. melaporkan

bahwa pada individu yang memiliki gingiva sehat akan segera mengalami gingivitis

apabila tidak melakukan pembersihan rongga mulut selama 2–3 minggu. Peradangan

akan hilang dalam waktu 1 minggu apabila dilakukan pemeliharaan kebersihan

rongga mulut. Hal ini menunjukkan pentingnya kontrol plak agar tidak terjadi

kerusakan pada jaringan periodontal (cit. Pintauli dan Hamada, 2012). Terdapat

penelitian bahwa gingivitis telah menurun selama beberapa tahun terakhir di Amerika

Serikat karena penduduknya menjadikan oral higiene sebagai bagian rutinitas

(17)

d. Kebiasaan Merokok. Hasil penelitian telah menjelaskan bahwa kebiasaan

merokok sudah jelas merupakan faktor risiko penyakit periodontal. Kebiasaan

merokok pertama kali diidentifikasi sebagai faktor risiko penyakit periodontal pada

analisis data National Health and Nutrition Examination Survey I (NHANES I) tahun

1971–1974 di Amerika Serikat, dan terus meningkat sejak saat itu. Merokok

menyebabkan kontriksi pembuluh darah pada gingiva, menghapus efek fungsi lekosit

dan fibroblas akibat penetrasi substansi sitotoksik rokok, menekan kadar serum

antibodi terhadap bakteri periodontal tertentu seperti produksi IgG, dan menurunkan

absorpsi kalsium intestinal yang mempengaruhi fungsi osteoblas tulang alveolar (Burt

dan Eklund, 2005).

e. Penyakit Sistemik. Hubungan penyakit periodontal dan penyakit sistemik

berdasarkan kemampuan bakteri plak subgingiva dan produknya mendapatkan akses

sirkulasi sistemik melalui ulserasi epitel dari saku periodontal. Celah saku periodontal

yang mengandung bakteri gram negatif secara potensial menjadi benih dari bakteri

dan produknya masuk sistem peredaran darah. Beberapa tahun terakhir, penelitian

telah menunjukkan hubungan periodontitis dengan penyakit jantung dan DM.

Meskipun belum ditetapkan secara pasti, namun mekanisme secara biologi yang

menjelaskan beberapa hubungan yang lebih luas telah dipelajari (Gurenlian, 2007).

2.3.4 Pengukuran Penyakit Periodontal

Pengukuran periodontal merupakan evaluasi klinis periodonsium, mencari

tanda-tanda inflamasi, dan kerusakan jaringan periodontal. Pemeriksaan klinis

(18)

diagnosa, rencana perawatan, dan mengawasi efek pengobatan yang telah dilakukan.

Prosedur klinis yang umum dilakukan meliputi pengukuran kedalaman prob

periodontal dan level perlekatan klinis, penilaian perdarahan gingiva dan

keparahannya, identifikasi dan pengukuran furkasi, pengujian mobiliti, dan mengenali

adanya migrasi patologi. Pengukuran ini sebaiknya mengikuti urutan yang telah

ditetapkan dan dikombinasikan dengan pengukuran lain seperti riwayat medis dan

radiografi untuk mendapatkan hasil yang lengkap dan berkesinambungan (Perry dan

Beemsterboer, 2007).

Indikator yang sering digunakan untuk mengukur penyakit periodontal adalah

Periodontal Index (PI) oleh Russel (1956) dan Periodontal Disease Index (PDI) oleh

Ramfjord (1959). Kedua indeks ini mengukur inflamasi gingiva dan kerusakan

jaringan periodontal sampai kehilangan tulang pendukung gigi. PDI adalah

modifikasi dari PI yang menggabungkan evaluasi status gingiva dengan level

perlekatan (Perry dan Beemsterboer, 2007).

Tabel 2.4 Periodontal Disease Index (PDI) oleh Ramfjord

Skor Kriteria

Gingivitis

0 Tidak ada tanda-tanda peradangan

1 Perubahan peradangan gingiva ringan sampai sedang tapi belum mengelilingi gigi 2 Gingivitis ringan sampai sedang yang sudah mengelilingi gigi

3 Gingivitis parah ditandai dengan warna kemerahan, pembengkakan, mudah berdarah dan adanya ulserasi

Penyakit Periodontal

4 Kedalaman poket pada 2 atau lebih permukaan gigi diukur tidak lebih 3 mm dari apikal ke batas sementoenamel (CEJ)

5 Kedalaman poket pada 2 atau lebih permukaan gigi diukur 3–6 mm dari apikal ke batas sementoenamel (CEJ)

6 Kedalaman poket pada 2 atau lebih permukaan gigi diukur lebih 6 mm dari apikal ke batas sementoenamel (CEJ)

(19)

Hanya 6 gigi yang diperiksa yaitu gigi Molar 1 atas kanan dan bawah kiri (16,

36), Insisivus 1 atas kiri dan bawah kanan (21, 41), Premolar 1 atas kiri dan bawah

kanan (24, 44). Skor PDI dijumlahkan lalu dibagi jumlah gigi yang diperiksa sesuai

kriteria yang terlihat pada Tabel 2.5 (Perry dan Beemsterboer, 2007). Penentuan

kriteria diagnosis periodontitis berdasarkan adanya minimal satu gigi yang

mengalami periodontitis atau memperoleh skor ≥4 (Tu et al., 2013).

2.3.5 Penyakit Periodontal pada Pasien Penyakit Jantung Koroner

Penyakit periodontal dapat meningkatkan kejadian bakteremia. Jaringan

periodontal yang terinflamasi bertindak sebagai penyedia endotoksin (LPS) dari

bakteri dan produknya. Endotoksin masuk ke dalam sirkulasi sistemik menyebabkan

bakteremia dan merangsang kerusakan pada endotel pembuluh darah. Akibatnya

susunan epitel dalam saku periodontal menjadi rusak dan terjadi translokasi langsung

bakteri dan bakteremia. Bakteri dan produknya merusak sel endotel pembuluh darah

dengan merangsang sitokin proinflamasi dan faktor pertumbuhan jaringan hingga

menyebabkan proliferasi otot polos dinding pembuluh darah dan mengaktifkan

platelet yang berpotensi terjadinya tromboembolik yang menyebabkan penyumbatan

pembuluh darah, lalu terjadi iskemi dan memicu serangan jantung (Gambar 2.3).

de Stefano et al. dan Beck et al. menyatakan penyakit periodontal dapat menjadi

risiko independen bagi keadaan sistemik khususnya penyakit jantung. Proses

patologis yang mendasari penyakit ini adalah aterosklerosis yang terjadi akibat

adanya penimbunan fibrolipid atau plak ateromatosa pada dinding dalam pembuluh

(20)

merupakan indikator risiko yang cukup kuat terhadap jumlah kematian dan penyakit

jantung serta menyarankan oral higiene dijadikan sebagai indikator gaya hidup yang

mempengaruhi higiene diri keseluruhan dan perawatan kesehatan umum (Mealey dan

Klokkevold, 2012; Preshaw dan Taylor, 2012).

Gambar 2.3 Hubungan penyakit periodontal dengan penyakit jantung (Dave et al., 2004).

2.3.6 Penyakit Periodontal pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2

Penyakit DM tipe 2 merupakan faktor risiko penyakit periodontal dan

sebaliknya penyakit periodontal adalah predisposisi dan akan memperburuk kondisi

penyakit DM tipe 2. Penyakit DM tipe 2 sering dihubungkan dengan peningkatan

inflamasi gingiva akibat penumpukan plak bakteri yang juga berkaitan dengan

kontrol glikemik. Penderita DM tipe 2 dengan kontrol glikemik buruk akan

mengalami gingivitis, jika dibiarkan akan berkembang menjadi periodontitis dan

lebih parah dapat menyebabkan kehilangan perlekatan tulang alveolar (Genco dan

Williams, 2010). P. gingivalis merupakan bakteri yang memiliki peranan yang kuat

(21)

endotel dan menjadi penanda untuk aktivasi monosit dan makrofag sehingga

meningkatkan terjadinya komplikasi pada vaskularisasi. Peningkatan sirkulasi dari

penanda inflamasi seperti CRP, IL-1β, IL-6, dan TNF-α bertanggung jawab terhadap

memburuknya resistensi insulin sehingga memperburuk reaksi imun terhadap

kerusakan jaringan periodontal. Meningkatnya kedalaman saku dan infeksi

permukaan akar, adanya invasi bakteri ke jaringan periodontal, kehilangan tulang

alveolar, serta reaksi imun lokal dan sistemik berdampak buruk pada DM tipe 2

(Gambar 2.4). Hubungan antara diabetes dan penyakit periodontal disebabkan adanya

gangguan resistensi, perubahan vaskular, perubahan mikroflora, dan metabolisme

kolagen sehingga mendukung insiden dan tingkat keparahan periodontitis pada pasien

diabetes. Hal ini membuktikan DM tipe 2 dan periodontitis saling memperburuk satu

sama lain (Schulze dan Busse, 2008).

Gambar 2.4 Hubungan penyakit periodontal dengan inflamasi sistemik dan diabetes

(Bascones-Martinez et al., 2011). LPS dari P. gingivalis

(22)

2.4 Perilaku Kesehatan

Perilaku kesehatan merupakan aktivitas seseorang baik dapat diamati maupun

tidak yang berkaitan dengan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan mencakup

pencegahan atau perlindungan diri dari penyakit dan masalah kesehatan, dan mencari

penyembuhan jika sakit atau terkena masalah kesehatan (Notoatmodjo, 2010).

Perilaku kesehatan dibagi dalam 2 kelompok yaitu (Notoatmodjo, 2010):

1. Perilaku sehat adalah perilaku seseorang yang sehat dan meningkatkan

kesehatannya. Perilaku sehat mencakup perilaku dalam mencegah atau menghindari

penyakit dan penyebab penyakit. Contohnya makan makanan dengan gizi seimbang,

olah raga secara teratur, serta menyikat gigi setelah makan dan sebelum tidur.

2. Perilaku sakit adalah perilaku seseorang yang sakit atau telah terkena

masalah kesehatan untuk memperoleh penyembuhan atau pemecahan masalah

kesehatannya, disebut juga perilaku pencarian pelayanan kesehatan. Perilaku ini

mencakup tindakan-tindakan yang diambil seseorang bila terkena masalah kesehatan

untuk memperoleh kesembuhan melalui sarana pelayanan kesehatan, seperti

puskesmas dan rumah sakit.

Faktor utama terbentuknya perilaku kesehatan yaitu: (1) faktor predisposisi,

terdiri dari pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, usia, pendidikan,

pekerjaan, dan status ekonomi keluarga, (2) faktor pendukung, terdiri dari lingkungan

fisik, sarana dan prasarana kesehatan, dan program kesehatan, serta (3) faktor

pendorong, terdiri dari sikap dan perbuatan petugas kesehatan (Budiharto, 2009).

Kegeles menyatakan ada 4 faktor utama agar seseorang mau melakukan pemeliharaan

(23)

(2) percaya bahwa penyakit gigi dan mulut dapat dicegah; (3) pandangan bahwa

penyakit gigi dan mulut dapat berakibat fatal; serta (4) mampu menjangkau dan

memanfaatkan fasilitas kesehatan (cit. Budiharto, 2009).

2.5 Pemeliharaan Kesehatan Gigi dan Mulut

Menurut WHO, kesehatan rongga mulut adalah suatu keadaan seseorang

terbebas dari rasa nyeri mulut dan wajah, kanker mulut dan tenggorokan, infeksi dan

luka di mulut, penyakit gingiva dan periodontal, karies gigi, kehilangan gigi, dan

penyakit lainnya serta gangguan yang dapat membatasi kemampuan seseorang dalam

menggigit, mengunyah, tersenyum, berbicara, dan kesehatan psikososial yang

merupakan hal penting terhadap kesehatan umum dan kualitas hidup (WHO, 2012).

Pemeliharaan kesehatan rongga mulut untuk pasien rawat inap, terutama

pasien kompromis medis dapat mengurangi risiko infeksi rongga mulut dan sistemik

(Huskinson dan Lloyd, 2009). Tindakan pemeliharaan kesehatan mulut antara lain

memilih sikat gigi, menggunakan pasta gigi, melakukan kontrol plak, menyikat gigi,

mencari upaya menyembuhkan bila ada keluhan seperti gingiva mudah berdarah,

gatal pada gingiva, ngilu atau sakit pada gigi, dan teknik menyikat gigi (Budiharto,

2009). Pemeliharaan kesehatan mulut sehari-hari merupakan hal penting mencegah

dan mengendalikan plak bakteri penyebab penyakit di rongga mulut meliputi

menyikat gigi, pemakaian benang gigi, berkumur-kumur, dan pembersihan lidah

(Perry dan Potter, 2006). British Dental Association merekomendasikan pemeliharaan

kesehatan rongga mulut harus dilakukan setidaknya dua kali sehari untuk mencegah

(24)

2.5.1 Menyikat Gigi

Menyikat gigi dapat membersihkan gigi dari sisa-sisa makanan, plak dan

bakteri, memijat gingiva, serta mengurangi ketidaknyamanan terhadap bau dan rasa

yang tidak enak di rongga mulut (Perry dan Potter, 2006). Menyikat gigi

menggunakan sikat gigi secara manual maupun elektrik bertujuan untuk: (1)

mencegah terjadinya pembentukan plak; (2) membersihkan sisa-sisa makanan, debris

atau stein; (3) merangsang jaringan gingiva; dan (4) melapisi permukaan gigi dengan

fluor. Umumnya, dokter gigi selalu menganjurkan pasien menyikat giginya segera

setelah makan. American Dental Association memodifikasi pernyataan bahwa pasien

harus menyikat gigi secara teratur dengan lama menyikat gigi 2-3 menit, minimal dua

kali sehari yaitu setelah sarapan pagi dan sebelum tidur malam (cit. Pintauli dan

Hamada, 2012; Perry, 2012).

Pasta gigi digunakan sebagai alat bantu berfungsi membersihkan, memoles

permukaan gigi, dan membuat nafas menjadi segar. Saat ini, banyak ditemukan

berbagai macam merek pasta gigi dengan berbagai warna dan rasa, tersedia dalam

bentuk tepung, pasta atau gel dan dijual untuk kebutuhan terapeutik atau kosmetik.

Pasta gigi terapeutik harus mampu mengurangi penyakit gigi seperti karies, gingivitis,

kalkulus atau sensitif, sedangkan pasta gigi kosmetik digunakan untuk

menghilangkan stein ekstrinsik akibat makanan, teh, atau kopi pada permukaan gigi

(25)

Gambar 2.5 Cara menyikat gigi (Perry, 2012).

2.5.2 Pemakaian Benang Gigi

Menyikat gigi hanya membersihkan permukaan bukal, lingual, dan oklusal

sedangkan daerah proksimal dan interdental hampir tidak tersentuh. Padahal daerah

tersebut cenderung mudah mengalami karies dan sering dijumpai lesi gingiva dan

periodontal. Pemakaian pembersih interdental seperti benang gigi dan tusuk gigi

dapat menyingkirkan sisa-sisa makanan, plak, dan kalkulus yang menumpuk pada

interdental gigi (Perry dan Potter, 2006; Pintauli dan Hamada, 2012). Pemakaian

benang gigi efektif untuk (1) menghilangkan plak dan debris yang melekat pada gigi,

gingiva, dan interproksimal gigi; (2) mencegah lesi karies pada interproksimal gigi;

(3) mengurangi perdarahan gingiva; dan (4) sebagai alat bantu untuk aplikasi bahan

polis pada interproksimal gigi (Harris dan Garcia-Godoy, 2004).

(26)

2.5.3 Berkumur-kumur

Berkumur-kumur dapat menyingkirkan sisa-sisa makanan yang tertinggal dan

sisa pasta gigi yang berlebih. Penelitian Bauroth et al. menyatakan berkumur 2 kali

sehari dengan obat kumur yang mengandung minyak esensial sama efektifnya dengan

pemakaian benang gigi untuk mengurangi plak (cit. Perry dan Potter, 2006). Schiott

menyatakan penggunaan obat kumur setiap hari secara terus menerus dapat

mengurangi bakteri dalam saliva sebanyak 30-50% dan dalam plak sebanyak 55-97%.

Obat kumur anti plak dengan kandungan aktifnya minyak esensial yang terdiri atas

thymol, eucaliptol, dan menthol dapat mencegah atau membunuh kuman penyebab

halitosis sampai 95% dan menurunkan plak sampai 50% (cit. Pintauli dan Hamada,

2012; Boyle et al., 2014).

Gambar 2.7 Cara berkumur-kumur (Oral Health, 2014).

2.5.4 Pembersihan Lidah

Perkembangan terbaru memelihara kesehatan rongga mulut yaitu menyikat

lidah dengan perangkat yang telah tersedia di pasaran bertujuan untuk mengurangi

debris, plak, dan sejumlah bakteri yang menumpuk pada papila lidah (Huskinson dan

(27)

menghilangkan debris dalam mulut pasien yang menerima perawatan intensif.

Pembersih lidah digunakan dengan menempatkan di bagian tengah lidah dan

menariknya perlahan-lahan ke arah depan dengan sedikit tekanan pada permukaan

lidah (cit. Huskinson dan Lloyd, 2009; Pintauli dan Hamada, 2012).

(28)

2.6Kerangka Teori

Diabetes melitus Penyakit Jantung

Perilaku Pemeliharaan Kesehatan Gigi dan Mulut

Pemakaian benang gigi

Menyikat gigi Berkumur-kumur Pembersihan lidah

(29)

2.7Kerangka Konsep

2.8 Hipotesis Penelitian

1. Tidak ada hubungan perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut

dengan status oral higiene pasien kompromis medis rawat inap di rumah sakit.

2. Tidak ada hubungan perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut

dengan status periodontal pasien kompromis medis rawat inap di rumah sakit.

3. Tidak ada hubungan perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut

dengan status oral higiene pasien non kompromis medis rawat inap di rumah sakit.

4. Tidak ada hubungan perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut

Gambar

Tabel 2.1 Klasifikasi tekanan darah untuk dewasa menurut JNC VII
Gambar 2.1  Tahap perkembangan plak aterosklerosis. (a) Fatty streak; (b) Fibrous plaque; (c) Complicated plaque; dan (d) Rupture plaque (WHO, 2011)
Tabel 2.3  Kriteria klasifikasi debris dan kalkulus
Gambar 2.2  Proses penyakit periodontal. (a) Gingiva sehat; (b) Tahap dini; (c) Tahap
+6

Referensi

Dokumen terkait

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH..

PERANGKAT PENGOLAH DATA DAN KOMUNIKASI SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI

Sedangkan untuk kelas kontrol yang tidak diberikan layanan bimbingan kelompok, hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa tingkat kemampuan interaksi sosial tidak mengalami

Pada saat ini ikatan emosional menjadi berkurang dan remaja sangat membutuhkan kebebasan emosional dari orang tua.Sifat remaja yang ingin memperoleh

Seorang anak yang berdiri diam meniup peluit pada frekuensi 490 Hz kea rah mobil yang sedang bergerak mendekati anak tersebut seperti pada gambar.. Pelayangan yang terdengar

Puncak keemasan Nanggroe Aceh Darussalam tersebut tidak dapat dilepaskan dari pemberlakuan Syariat Islam secara k É ffah sebagai pedoman hidup rakyat Nanggroe

19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Bab I Pasal 1, Proses yang dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik secara berkelanjutan dalam

Media penyampaian informasi dan pelayanan melalui situs WAP inilah yang tepat diterapkan pada Hotel Santika Jakarta berbagai fitur yaitu informasi dan pelayanan pemesanan kamar