19
4. Tinjauan Kritis Terhadap Sistem Rekrutmen Pengerja Gereja GKS dan Dampaknya
Bagi Para Vikaris GKS
R.Wayne Mondy mengatakan bahwa rekrutmen adalah salah satu fungsi utama Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) yaitu sebuah proses menarik orang-orang pada waktu yang tepat, dalam jumlah yang tepat dan cukup, dan dengan persyaratan yang layak untuk mengisi lowongan dalam organisasi. Proses rekrutmen yang tepat adalah rekrutmen yang didahului oleh analisis
kebutuhan dan perencanaan yang matang terhadap tenaga kerja sejak awal hingga pensiun guna mencapai tujuan organisasi dan individu. 1
Jika kembali menilik pada sistem rekrutmen GKS di bawah asas prebiterial sinodal, maka dapat dikatakan bahwa: Pertama, Sistem perekrutan seperti yang di laksanakan GKS saat ini bukanlah sebuah sistem yang berlangsung di atas dasar perencanaan yang jelas bagi para pengerja gerejanya sejak awal. Hal ini terlihat ketika pihak sinode sudah selesai merekrut, mengadakan seleksi dan menempatkan para vikaris di Jemaat, mereka dibiarkan tinggal di jemaat dan harus menunggu dikarenakan sistem yang ada memang mengharuskan demikian, yaitu bahwa mereka harus menunggu pemanggilan/perekrutan dari jemaat yang akan mekar atau jemaat yang sudah mekar tetapi masih ingin merekrut pendeta tambahan. Pada kenyataannya, hal ini menemui kendala yaitu: Perekrutan Pendeta tambahan oleh Jemaat masih sangat jarang. Dari 166 jemaat hanya tercatat 17 Jemaat yang memiliki pendeta lebih dari 1 yang artinya, untuk sementara hanya 17 jemaat inilah yang pernah melakukan perekrutan pendeta tambahan. Disisi yang lain, pemekaran jemaatpun tidak mudah terlaksana, mengingat bahwa pemekaran sebuah jemaat harus memenuhi syarat-syarat pemekaran jemaat yaitu harus terdiri dari 500 jiwa anggota sidi, mampu membiayai diri sendiri, membiayai Pendeta yang kelak terpilih dan harus melakukan berbagai persiapan seperti membangun gedung gereja, membangun pastori layak huni, yang dalam pelaksanaannya sering mengalami kendala karena dana ataupun karena ragam persoalan lainnya. Selain itu, jika dilihat pada data yang ada, pemekaran jemaat dari tahun 2010 sampai 2014 hanya sekitar 1-8 Jemaat per tahunnya dimana pemekaran 8 jemaat hanya terjadi pada tahun 2014. Tidak hanya itu, meskipun akan ada pemekaran Jemaat baru ataupun Jemaat yang sudah mekar ingin merekrut calon pendeta, kendala masih belum
selesai, sebab perekrutan selanjutnya ditempuh dengan cara pemilihan langsung oleh jemaat sendiri. Pada saat yang sama, cara ini menuai banyak kendala, manakala budaya kekeluargaan masyarakat sumba sangat kuat. Terpilih atau tidaknya seorang vikaris pada akhirnya tidak hanya semata ditentukan oleh kemampuan intelektual lagi, tetapi lebih banyak didominasi oleh sistem dan budaya kekeluargaan. Tidak mengherankan, apabila masih ada 51 orang vikaris mulai dari tahap 3 (tahun ke-3) hingga pada tahap 10 (tahun ke-10) menunggu untuk direkrut oleh jemaat.
1
20 Hal diatas membawa dampak-dampak tertentu bagi para vikaris yaitu: (a) Para Vikaris mengalami kejenuhan karena menunggu dalam waktu yang sangat lama. Saat ini, ada 51 orang vikaris mulai dari tahap ke- 3 sampai tahap ke-10 yang sedang menunggu untuk direkrut oleh jemaat. (b) Para vikaris cenderung mengalami kepudaran semangat dan komitmen melayani hingga mulai adanya keinginan untuk berpindah alih profesi menjadi PNS. (c) Secara tidak langsung sistem yang ada menyulitkan para vikaris untuk mencapai tujuan-tujuannya, karena tidak terpilihnya para vikaris hingga sekian tahun lamanya juga tidak hanya disebabkan oleh ketidakmampuan mereka dalam
melayani, tetapi juga oleh faktor-faktor lain seperti budaya kekeluargaan yang kuat.
Ironisnya, pada saat yang sama ditengah-tengah masa menunggu vikaris yang sangat lama itu, Gereja Kristen Sumba masih mengalami kekurangan bahkan kekosongan pengerja gereja. R.Wayne Mondy2 mengatakan jika kekosongan terlalu lama terjadi dalam organisasi maka produktivitas akan menurun. Kekosongan ini disebabkan karena pasokan calon pengerja gereja tidak bertambah banyak setiap tahunnya, vikaris yang sudah ada dijemaat belum direkrut, dan juga masih lemahnya GKS dalam melakukan perencanaan pengadaan pengerja gereja dan analisis kebutuhan. GKS hanya menerima dan merekrut saja tanpa mengadakan persiapan-persiapan atau tindakan-tindakan proaktif untuk menyediakan pasokan pengerja gereja GKS pada masa yang akan datang. Misalnya saja dengan melakukan penyampaian-penyampaian kritis kepada warga jemaat terkait kondisi GKS yang sebenarnya masih sangat kekurangan pengerja gereja, atau dengan merencanakan dengan jelas misalnya dengan cara mempersiapkan pengerja gereja sejak masih sekolah, sehingga memicu adanya kemungkinan-kemungkinan semakin termotivasinya anak-anak GKS untuk kembali dan melayani di GKS. Data menunjukkan bahwa jumlah seluruh warga GKS saat ini adalah 426.192 jiwa, terbagi atas 166 Jemaat, 32 klasis, 562 cabang, 331 ranting. Jumlah ini sangat tidak berbanding dengan jumlah Pendeta yang hanya 192 orang, Vikaris 98 orang, Guru Injil 155. Pada beberapa wilayah (terbanyak di wilayah Sumba Barat Daya), ada Jemaat yang warga jemaatnya diatas 3000 hanya memiliki 1 Pendeta tanpa vikaris maupun Guru Injil. Seperti yang terjadi di Klasis Nyura Lele WP
Jemaat Ombarade yang memiliki jumlah warga jemaat sebanyak 5642 jiwa, 5 cabang pelayanan dan 1 ranting, dan juga di Jemaat Ngambadeta (masih klasis NyuraLele WP) yang terdiri dari 5446 jiwa, 5 cabang dan 1 ranting. Selain itu, masih ada pula Jemaat Palla dengan jumlah warga jemaat 4590 jiwa, 3 cabang 1 ranting. Jemaat Kori 5136 jiwa, 2 cabang 1 ranting. Bahkan ada diantaranya yang mengalami kekosongan pengerja gereja yaitu di wilayah Sumba Barat Daya Jemaat Kerenapu dengan jumlah warga jemaat 1026 jiwa dengan cabang 2 dan ranting 2 dan Jemaat Waikarara dengan jumlah warga jemaat 3114 jiwa, cabang 12 dan 3 ranting pelayanan. 3
2
R.Wayne Mondy, 2008, hlm 199.
3
21 Menilik kembali pada jumlah warga jemaat, dan pengerja gereja GKS yang cenderung sangat sedikit, dan perencanaan yang masih lemah, maka dampak yang ditimbulkan adalah: (a) Beban pelayanan menjadi berat dimana 1 pendeta rata-rata melayani 2000-2600 jiwa warga jemaat. (b) Terjadinya kekurangefektifan sentuhan pelayanan kepada seluruh warga jemaat mengingat wilayah pelayanan 1 jemaat GKS yang begitu luas, ditambah lagi dengan kondisi geografis sumba yang cukup sulit (berbukit-bukit). (c) Jika hal ini tidak segera diperhatikan dan dibenahi, maka ada kemungkinan dimana suatu saat GKS mengalami krisis pengerja gereja yang sangat kritis.
Kedua, berdasarkan hasil wawancara, diketahui bahwa salah satu kendala GKS adalah karena dana. Kurangnya dana dapat menghambat proses pemekaran jemaat, dan perekrutan calon pendeta sebab keduanya membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk mempersiapkan pemekaran, gedung gereja, gedung pastori untuk pendeta, dan juga untuk gaji pendeta. Hal tersebut disebabkan karena keadaan ekonomi warga jemaat cenderung tidak sama, pemberdayaan ekonomi jemaat masih sangat kurang yang menyebabkan, pintu bagi para vikaris untuk direkrut selanjutnya oleh jemaat menjadi terhalang dan akibatnya mereka harus menunggu dalam waktu yang lama. Hal ini berimbas lebih jauh kepada pengerja gereja, manakala sistem yang berlaku di GKS mengatur bahwa penggajian pengerja gereja dibebankan pada jemaat masing-masing. Susilo4 mengatakan bahwa seseorang harus mendapatkan kompensasi yang seimbang dengan jasa yang telah diberikannya selama ia bekerja agar produktifitas, dan keadilan, serta kebutuhan biaya hidup dapat tercapai. Jika melihat kembali kepada sistem yang berlaku di GKS maka dapat dikatakan bahwa hal diatas tentu tidak membawa keadilan bagi pengerja gereja (vikaris) apalagi tingkat kebutuhan pengerja gereja beragam dan banyak terlebih jika sudah berkeluarga. GKS perlu mengingat bahwa persis seperti apa yang dikatakan oleh Stan Kosen5 bahwa bergabungnya setiap orang dalam organisasi disertai dengan tujuan untuk pemenuhan kebutuhannya baik materi maupun kebutuhan-kebutuhan lainnya demikian pula halnya dengan pengerja gereja. Oleh karena itu, GKS perlu mengadakan sentralisasi keuangan jemaat, pemberdayaan ekonomi jemaat, dan juga perlu mengadakan pelatihan dan pengembangan
peningkatan kualitas pengerja gereja sehingga dapat terampil dalam memberdayakan ekonomi jemaat dan menopang perekonomiannya sendiri. Fakta yang menunjukkan bahwa pengerja gereja juga cenderung bergantung pada penghasilan jemaat.
4
Susilo, 2000, hlm 127.
5
22 Ketiga, R.Wayne Mondy 6 mengatakan bahwa manusia adalah aset penting penggerak utama organisasi, manajemen sumber daya manusia yang baik penting untuk dilaksanakan demi tercapainya tujuan organisasi secara menyeluruh dan tujuan individu. Jika melihat pada sistem rekrutmen yang ada dengan fakta bahwa masih banyaknya para vikaris yang menunggu hingga tahun ke-10 dengan dampak-dampak yang ada karena kendala dana, sistem kekeluargaan, maka dapat dikatakan bahwa terjadi ketidakseimbangan pencapaian antara tujuan GKS sebagai suatu lembaga/institusi dan tujuan pengerja gereja secara individu. Selain karena memang disebabkan oleh kendala-kendala tertentu,
penting untuk kembali melihat bahwa dampak-dampak yang ada juga muncul dari prosedur dan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam sistem rekrutmen pengerja gereja di GKS. Marwansyah 7 mengatakan bahwa setiap organisasi sangat penting untuk melakukan analisis yang mendalam terhadap kinerja pelayanan dan manajemen sumber daya manusia yang ada mengingat bahwa waktu terus berlalu dan banyak hal yang berubah. Hal ini pun semestinya harus dilakukan oleh GKS. Memang tidak dapat di pungkiri bahwa, sistem rekrutmen GKS yang berjalan sesuai dengan asas presbiterial-sinodal juga memiliki muatan-muatan positif diantaranya: (1) Terciptanya pengelolaan pengerja gereja secara proporsional dan teratur dimana sudah ada pembagian-pembagian wewenang antara sinode dan jemaat. Sinode mengurusi hal-hal terkait pendaftaran, seleksi dan penempatan, sedangkan jemaat mengurusi penggajian dan perekrutan pengerja gereja (vikaris) menjadi pendeta. (2) Rekrutmen vikaris menjadi calon pendeta yang di lakukan dengan cara pemilihan langsung oleh jemaat membuat relasi antara jemaat dan pendeta terpilih cenderung lebih aman dan menyenangkan sebab dipilih berdasarkan suara hati jemaat. Tetapi, mengingat fakta dan dampak-dampak yang terjadi, GKS tidak bisa mengatakan bahwa sistem yang berlaku saat ini adalah sistem yang tetap. Hal ini sama saja dengan mengeksklusifkan diri dari perubahan-perubahan dan fakta-fakta sulit yang ada dilapangan. Sistem hanyalah alat yang dibuat untuk lebih memudahkan manusia dalam mencapai tujuan-tujuannya, sistem pada satu sisi bukanlah sesuatu yang statis tetapi juga dinamis. Bilamana jika sistem tersebut lebih banyak menimbulkan kendala-kendala yang serius maka sudah waktunya
untuk melakukan evaluasi dan peninjauan yang kritis terhadap sistem ini. Susilo 8 mengatakan bahwa dalam organisasi penting adanya monitoring yang jelas terhadap segala bentuk pekerjaan yang ada, dan segera melakukan perubahan/penyesuaian bilamana diperlukan. Begitupula dengan sistem yang berlaku didalam GKS. Apalagi jika kembali melihat ke belakang, sistem ini sesungguhnya merupakan sistem yang diwarisi dari tradisi calvinis reformeed Belanda. Jelas sangat jauh berbeda dengan konteks di GKS kini. Memang tidak ada sistem yang sempurna, tetapi mengingat banyak hal yang berubah dan dampak-dampak yang ada, GKS penting untuk melakukan peninjauan secara mendalam terhadap sistem yang berlaku demi keefektifan pelayanan yang lebih baik kedepan.
6
R.Wayne Mondy, 2008, hlm 200.
7
Marwansyah, 2010, hlm 200.
8