• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Stereotip Dang Jolma Oleh Masyarakat Terhadap Efektivitas Komunikasi Antarbudaya Dengan Etnis Nias Di Kelurahan Pasir Bidang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Stereotip Dang Jolma Oleh Masyarakat Terhadap Efektivitas Komunikasi Antarbudaya Dengan Etnis Nias Di Kelurahan Pasir Bidang"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

URAIAN TEORITIS

2.1 Kerangka Teori

Setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan berfikir dalam memecahkan masalah atau menyoroti masalahnya. Untuk itu, perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian akan disoroti (Nawawi, 2001:39). Kerangka teori itu adalah suatu kumpulan teori dan literatur yang menjelakan hubungan dalam masalah tertentu. Dalam kerangka teoritis, secara logis dikembangkann dan dielaborasikan jaringan-jaringan dari asosiasi antara variabel-variabel yang diidentifikasi melalui survei dan telaah literatur (Silalahi, 2009:92). Kerangka teori diperlukan dalam suatu penelitian sebagai landasan kerangka berpikir

penelitian untuk memecahkan masalah secara sistematis. Penyelesaian ini perlu disusun kerangka teori yang sesuai dengan penelitian yang akan memuat inti

pemikiran, dan masalah tersebut dapat tergambarkan dari sudut mana peneliti akan membahasnya. Adapun teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

2.1.1 Komunikasi

Istilah komunikasi atau communication dalam bahasa Inggris berasal dari bahasa Latin communis yang berarti “sama”, communico, communicatio, atau communicare yang berarti “membuat sama”. Carl I. Hovland berpendapat bahwa ilmu komunikasi adalah upaya yang sistematis untuk merumuskan secara tegar asas-asas penyampaian informasi serta pembentukan pendapat dan sikap (Effendy, 2005:10). Singkatnya, komunikasi merupakan proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan dengan menggunakan suatu media dan akan menghasilkan umpan balik dari komunikan, baik berupa bahasa verbal ataupun non verbal.

(2)

a. Sumber

Semua peristiwa komunikasi akan melibatkan sumber sebagai pembuat atau pengirim informasi. Sumber sering disebut pengirim ataupun komunikator.

b. Pesan

Pesan (message, content, atau information) yang dimaksud dalam proses komunikasi adalah sesuatu yang disamppaikan pengirim kepada penerima. Pesan dapat disampaikan melalui tatap muka atau melalui media komunikasi.

c. Media

Media yang dimaksud di sini adalah alat yang digunakan untuk memindahkan pesan dari sumber kepada penerima. Alat itu dapat berupa telepon, surat kabar, buku, stiker, poster, spanduk, dan sebagainya. Dalam komunikasi antarpribadi, pancaindra dianggap sebagai salah satu media komunikasi.

d. Penerima

Penerima adalah pihak yang menjadi sasaran pesan yang dikirim oleh sumber. Penerima bisa terdiri satu orang atau lebih, bisa dalam bentuk kelompok, partai,

atau negara. Penerima biasa disebut dalam berbagai istilah seperti khalayak, sasaran, komunikan, ataupun audiens.

e. Pengaruh

Pengaruh ataupun efek adalah perbedaan antara apa yang dipikirkan, dirasakan, dan dilakukan oleh penerima sebelum dan sesudah menerima pesan. Pengaruh ini bisa terjadi pada pengetahuan, sikap dan tingkah laku seseorang.

f. Tanggapan balik

Ada yang beranggapan bahwa umpan balik sebenarnya adalah salah satu bentuk daripada pengaruh yang berasal dari penerima. Akan tetapi sebenarnya umpan balik bisa juga berasal dari unsur lain seperti pesan dan media, meski pesan belum sampai ada penerima.

g. Lingkungan

(3)

2.1.2 Komunikasi Antarbudaya

Kata “budaya” berasal dari bahasa sansekerta “buddhayah” yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi, yang berarti “budi” atau “akal”. Kebudayaan itu sendiri diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi atau akal. Menurut Alfred G. Smith (dalam Lubis 2012: 12), budaya adalah kode yang dipelajari bersama dan untuk itu dibutuhkan komunikasi. Inti penting dari budaya adalah pandangan yang bertujuan untuk mempermudah hidup dengan “mengajarkan” orang-orang bagaimana cara beradaptasi dengan lingkungan. Seperti yang Triandis tuliskan dalam Samovar (2010:28), budaya “berperan untuk memperbaiki cara anggota kelompok suatu budaya beradaptasi dengan ekologi tertentu dan hal ini melibatkan pengetahuan yang dibutuhkan orang supaya meraka dapat berperan aktif dalam lingkungan sosialnya”.

Edwart T. Hall (dalam Syam 2013:84) mengemukakan bahwa “komunikasi adalah budaya, dan budaya adalah komunikasi”. Hal itu membuktikan bahwa hubungan manusia dalam proses komunikasi tidak terlepas dari pengaruh budaya

masing-masing pelaku komunikasi. Adapun Lubis (2012:3,44) pernah menyatakan bahwa komunikasi antarbudaya terjadi apabila terdapat 2 (dua) budaya yang berbeda dan kedua budaya tersebut sedang melaksanakan proses komunikasi. Artinya, bahwa proses komunikasi antarbudaya terjadi bila produsen pesan adalah anggota suatu budaya dan penerima pesannya adalah anggota suatu budaya lainnya. Komunikasi antarbudaya itu sendiri ialah proses pertukaran informasi yang terjalin antara individu-individu yang memiliki latar belakang dan budaya yang berbeda.

Pengaruh budaya atas individu dan masalah-masalah penyandian dan penyandian balik pesan terlukis pada gambar di bawah (lihat gambar 1). Tiga budaya diwakili dalam model ini oleh tiga bentuk geometrik yang berbeda. Budaya A dan budaya B relatif serupa dan masing-masing diwakili oleh suatu segi empat dan suatu segi delapan tak beraturan yang hampir menyerupai segi empat. Budaya C sangat berbeda dari budaya A dan B. Perbedaan yang lebih besar tampak pada bentuk melingkar budaya C dan jarak fisiknya dari budaya A dan budaya B.

(4)

Sumber: Samovar dan Porter (dalam Lubis 2014:20)

Komunikasi yang berlangsung di antara individu yang berbeda budaya selalu mengalami hambatan-hambatan yang disengaja maupun tidak disengaja (tanpa disadari). Hambatan komunikasi atau yang juga dikenal sebagai communication barrier adalah segala sesuatu yang menjadi penghalang untuk terjadinya komunikasi yang efektif (Chaney & Martin, 2004:11). Hambatan komunikasi dalam komunikasi antarbudaya (intercultural communication) mempunyai bentuk seperti sebuah gunung es yang terbenam di dalam air. Dimana hambatan komunikasi yang ada terbagi dua menjadi yang di atas air (above waterline) dan di bawah air (below waterline). Faktor-faktor hambatan komunikasi antarbudaya

yang berada di bawah air adalah faktor-faktor yang membentuk perilaku atau sikap seseorang. Jenis-jenis hambatan semacam ini adalah persepsi (perceptions),

(5)

2.1.3 Masyarakat

Tidak ada definisi tunggal tentang masyarakat. Hal ini dikarenakan sifat manusia dalam sebuah kelompok yang dinamis, selalu berubah dari waktu ke waktu. Akibatnya persepsi para pakar tentang masyarakat juga berbeda satu dengan yang lain. Emile Durkheim mendefinisikan masyarakat sebagai kenyataan objektif individ-individu yang merupakan anggota-anggotanya. Sedangkan Max Weber mengartikan masyarakat sebagai struktur atau aksi yang pada pokoknya ditentukan oleh harapan dan nilai-nilai yang dominan pada warganya. Adapun Selo Seomardjan mengartikan masyarakat sebagai orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan budaya (Setiadi 2011:36).

Dari berbagai pendapat tentang masyarakat, dapat disimpulkan bahwa masyarakat adalah sekelompok manusia yang bertempat tinggl di daerah tertentu dalam waktu yang relatif lama, memiliki norma-norma yang mengatur kehidupannya menuju

tujuan yang dicita-citakan bersama, dan di tempat tersebut anggota-anggotanya melakukan regenerasi/beranak pinak (Setiadi 2011:37).

2.1.4 Stereotip

Berbagai disiplin ilmu memiliki pendapat yang berbeda mengenai asal mula stereotip: psikolog menekankan pada pengalaman dengan suatu kelompok, pola komunikasi tentang kelompok tertentu, dan konflik antarkelompok. Sosiolog menekankan pada hubungan di antara kelompok dan posisi kelompok-kelompok dalam tatanan sosial. Para humanis berorientasi psikoanalisis (misalnya Sander Gilman dalam Lubis 2012:85), menekankan bahwa stereotip secara definisi tidak pernah akurat, namun merupakan penonjolan ketakutan seseorang kepada oranglainnya, tanpa memperdulikan kenyataan yang sebenarnya.

(6)

mudah menyebar adalah karena manusia memiliki kebutuhan psikologis untuk mengelompokkan dan mengklasifikasikan suatu hal.

Soekanto mengatakan, bahwa stereotip adalah kombinasi dari ciri-ciri yang paling sering diterapkan oleh suatu kelompok terhadap kelompok lain, atau oleh seseorang kepada orang lain (Soekanto, 1993). Sedangkan Matsumoto (1996) menuliskan, stereotip adalah sebagai generalisasi kesan yang kita miliki mengenai seseoran terutama karakter psikologi atau sifat kepribadian. Ketika berhadapan dengan suatu hal yang tidak sama dan tidak kita ketahui, kita cenderung untuk memiliki stereotip. Stereotip bisa terjadi karena kita bertemu dengan banyak orang asing dan terkadang dihadapkan pada kesempatan yang tidak lazim. Problem utama dari stereotip ini adalah meminjam ungkapan Arnett, “komunikasi dari posisi terpolarisasikan” Gudykunst dan Kim, (1992) dalam Sihabudin (2011:120), yakni ketidakmampuan mempercayai atau secara serius menganggap

pandangan sendiri sebagai sesuatu yang keliru dan pendapat orang lain sebagai sesuatu yang benar. Komunikasi ditandai dengan retorika “kami yang benar” dan “mereka yang salah”. Dengan kata lain, setiap kelompok budaya cenderung etnosentrik.

Matsumoto (dalam Lubis 2012:86) memaparkan, ada tiga poin mengenai stereotip, yaitu:

1. Stereotip didasarkan pada penafsiran yang kita hasilkan atas dasar cara pandang dan latar belakang budaya kita. Stereotip juga dihasilkan dari komunikasi kita dengan pihak-pihak lain, bukan dari sumbernya langsung. Karenanya interpretasi kita mungkin salah, didasarkan atas fakta yang keliru atau tanpa dasar fakta.

2. Stereotip seringkali diasosiasikan dengan karakteristik yang bisa diidentifikasi. Ciri-ciri yang kita identifkasii seringkali kita seleksi tanpa alasan apapun. Artinya bisa saja kita dengan begitu saja mengakui suatu ciri tertentu dan mengabaikan ciri yang lain.

(7)

Dalam beberapa kesempatan, stereotip merupakan hasil dari persepsi yang terbatas, malas, dan sesat. Masalah yang timbul dapat serius dan banyak. Adler mengingatkan: Stereotip menjadi masalah ketika kita menempatkan orang di tempat yang salah, ketika kita menggambarkan norma kelompok dengan tidak benar, ketika kita mengevaluasi suatu kelompok dibandingkan menjelaskannya, ketika kita mencampuradukkan stereotip dengan gambaran dari seorang individu, dan ketika kita gagal untuk mengubah stereotip berdasarkan pengamatan dan pengalaman kita yang sebenarnya.

Ada 4 (empat) alasan mengapa stereotip itu menghambat komunikasi antarbudaya:

1) Sejenis penyaring; menyediakan informasi yang konsisten dengan informasi yang dipercayai oleh seseorang. Dengan itu, suatu hal yang benar tidak memiliki kesempatan untuk diketahui.

2) Suatu stereotip menganggap semua orang dalam suatu kelompok memiliki sifat yang sama. Asumsi bahwa semua informasi spesifik mengenai suatu

budaya diterapkan pada semua orang dari kelompok tertentu. Seperti Atkinson, Morten dan Sue tuliskan, “Stereotip merupakan konsep yang kaku tanpa mempertimbangkan keanekaragaman individu”.

3) Penghalang keberhasilan Anda sebagai seorang komunikator, biasanya berlebih-lebihan, terlalu sederhana, dan terlalu menyamaratakan. Stereotip berubah karena didasarkan pada premis dan asumsi yang setengah benar dan kadang tidak benar. Guirdham menegaskan bahwa stereotip mengubah komunikasi antarkelompok, karena mengarahkan orang pada dasar pesan mereka, cara untuk menyampaikannnya, penerimaan kelompok terhadap asumsi yang salah.

(8)

2.1.5 Stereotip “Dang Jolma”

Di Indonesia kita masih sering mendengar stereotip-stereotip kesukuan. Misalnya, stereotip etnis yaitu orang-orang Jawa atau Sunda beranggapan bahwa mereka halus dan sopan, dan bahwa orang-orang Batak dianggap nekat, suka berbicara keras, dan suka berkelahi. Akan tetapi, orang Batak sendiri menganggap bahwa mereka pemberani, terbuka, suka berterus terang, pintar, rajin, kuat, dan tegar. Mereka menganggap orang- orang Jawa dan Sunda lebih halus dan sopan, tetapi lemah dan tidak suka berterus terang. Apa yang orang Sunda anggap kekasaran, bagi orang Batak justru kejujuran. Apa yang orang anggap kehalusan, bagi orang Batak adalah kemunafikan dan kelemahan (Sihabudin 2011:121). Lain halnya dengan stereotip gender, misalnya laki-laki harus lebih kuat, dan tidak boleh menangis. Di Indonesia pemimpin yang berhasil selalu identik dengan laki-laki. Sedangkan stereotip pekerjaan, misalnya tugas perempuan adalah melayani suami

dan mengurus rumah, bukan bekerja kantoran. Perempuan dianggap kurang rasional dan lebih sering menggunakan perasaan. Berdasarkan penelitian, kuliah

yang disampaikan oleh dosen berkacamata lebih dapat diterima dibandingkan bila disampaikan oleh dosen yang tak berkacamata.

Bagi penduduk urban terdidik, perbedaan etnik mungkin tidak terlalu penting. Namun, hal itu boleh jadi dianggap peka oleh masyarakat kurang terdidik yang merupakan sebagian besar penduduk Indonesia, seperti di Sambas, antar suku Daya dan suku Madura. Disana, seperti dikemukakan oleh Rachbini (1999), suku Madura dipandang warga setempat berkarakter kasar, tidak sopan, dan tidak mudah beradaptasi dengan lingkungannya.

(9)

2.1.6 Efektivitas Komunikasi Antarbudaya

Komunikasi antarmanusia, termasuk komunikasi antarbudaya, selalu mempunyai tujuan tertentu yakni menciptakan komunikasi yang efektif melalui pemaknaan yang sama atas pesan yang dipertukarkan. Secara umum, sebenarnya tujuan komunikasi antarbudaya antara lain untuk menyatakan identitas sosial dan menjembatani perbedaan antarbudaya melalui perolehan informasi baru, mempelajari sesuatu yang baru yang tidak pernah ada dalam kebudayaan, serta sekedar mendapat hiburan atau melepaskan diri. Komunikasi antarbudaya yang intensif dapat mengubah persepsi dan sikap orang lain, bahkan dapat meningkatkan kreativitas manusia (dalam Lubis, 2014:144).

Kita tidak dapat menilai keefektifan komunikasi yang kita lakukan bila apa yang kita maksudkan tidak jelas, kita harus benar-benar tahu apa yang kita inginkan. Salah satu hal yang membuat definisi awal mengenai komunikasi efektif tidak memadai (“bila orang berhasil menyampaikan apa maksudnya”) adalah bahwa dalam berkomunikasi, mungkin kita menginginkan sebuah hasil atau lebih dari

beberapa kemungkinan hasil yang diperoleh. Ada lima hal yang dapat dijadikan ukuran bagi komunikasi yang efektif, yakni:

1. Pemahaman

Arti pokok pemahaman adalah penerimaan yang cermat atas kandungan rangsangan seperti yang dimaksudkan oleh pengirim pesan. Dalam hal ini, komunikator dikatakan efektif bila penerima memperoleh pemahaman yang cermat atas pesan yang disampaikannya (kadang-kadang, komunikator menyampaikan pesan tanpa disengaja, yang juga dipahami dengan baik). Kegagalan utama dalam berkomunikasi adalah ketidakberhasilan dalam menyampaikan isi pesan secara cermat. Semakin banyak jumlah orang yang terlibat dalam konteks komunikasi, semakin sulit pula menentukan seberapa cermat pesan diterima. Ini merupakan salah satu sebab mengapa diskusi kelompok seringkali berubah menjadi “arena bebas” (Lubis, 2014:148).

2. Kesenangan

(10)

semacam ini biasa disebut komunikasi fatik (phatic communication), atau mempertahanlan hubungan insani. Tingkat kesenangan dalam berkomunikasi berkaitan erat dengan perasaan kita terhadap orang yang berinteraksi dengan kita. Sapaan “Hei!”, “Apa kabar?”, adalah contoh komunikasi jenis ini. Berkencan, minum kopi, dan ramah tamah merupakan acara yang sengaja dirancang agar orang dapat memperoleh kesenangan dari perjumpaan dan obrolan-obrolan tersebut.

3. Pengaruh Sikap

Tindakan mempengaruhi orang lain merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari. Dalam berbagai situasi kita berusaha mempengaruhi sikap orang lain, dan berusaha agar orang lain memahami ucapan kita. Proses mengubah dan merumuskan kembali sikap, atau pengaruh sikap (attitude influence), berlangsung terus seumur hidup. Dalam hubungan antara dua orang, pengaruh sikap sering disebut “pengaruh sosial”.

Dalam menentukan tingkat keberhasilan berkomunikasi, ingatlah bahwa anda bisa

saja gagal mengubah sikap oranng lain, namun orang tersebut tetap dapat memahami apa yang anda maksudkan. Dengan perkataan lain, kegagalan dalam mengubah pandangan seseorang jangan disamakan dengan kegagalan dalam meningkatkan pemahaman.

4. Memperbaiki Hubungan

(11)

komunikasi dilakukan bukan untuk menyampaikan informasi atau untuk mengubah sikap seseorang, tapi hanya untuk “dipahami” dalam pengertian yang kedua ini (dalam Lubis, 2014:151).

5. Tindakan

Mendorong orang lain untuk melakukan tindakan sesuai dengan yang kita inginkan, merupakan hasil yang paling sulit dicapai dalam berkomunikasi. Tampaknya lebih mudah mengusahakan agar pesan kita dipahami daripada mengusahakannya agar pesan kita disetujui. Lalu, lebih mudah membuat orang lain setuju daripada membuatnya bertindak (membuatnya melakukan sesuatu). Ada beberapa perilaku muncul bukan karena memerlukan perubahan sikap terlebih dahulu, namun karena paksaan, ataupun tekanan sosial. Biasanya tindakan sukarela muncul lebih dulu sebelum terjadi perubahan sikap.

2.1.7 Gaya Berkomunikasi

Identitas dan citra diri kita di mata orang lain dipengaruhi oleh cara kita

berkomunikasi. Penampilan kita (termasuk busana dan gaya rambut) serta perlengkapang lainnya, seperti arloji, kacamata, sepatu dan tas, akan memberi kesan kuat tentang siapa kita. Begitu juga caraa berbicara kita, termaasuk kata-kata yang kita pilih, kelancaran, kecepatan dan intonasi suara. Gaya berkomunikasi akan mempengaruhi simbol-simbol yang kita gunakan yaitu simbol verbal ataukah non verbal bergantung konteks komunikasi yang sedang berlangsung. Masing-masing negara maupun daerah mempunyai ciri khas tersendiri yang menunjukkan identitas budayanya.

(12)

karena tidak mengikat kelompok. Oleh karena perbedaan ini, orang-orang dalam budaya konteks tinggi cenderung lebih curiga terhadap pendatang atau orang asing. Bahasa yang digunakan langsung dan lugas.

Orang berbudaya konteks rendah dianggap berbicara berlebihan, mengulang-ulang apa yang sudah jelas, sedangkan orang berbudaya konteks tinggi gemar berdiam diri, tidak suka berterus terang dan misterius. Dalam budaya konteks tinggi ekpresi wajah, tensi, gerakan, kecepatan interaksi, dan lokasi interaksi lebih bermakna. Orang dalam budaya konteks tinggi mengharapkan orang lain memahami suasana hati yang tidak terucap.

Sebenarnya gaya komunikasi tidak dapat dikotomikan menjadi komunikasi konteks tinggi dan komunikasi konteks rendah. Namun persepsi budaya dapat menjadi suatu rujukan mengapa hal tersebut menjadi suatu rujukan. Meskipun diakui bahwa kedua gaya komunikasi tersebut bisa jadi ada dalam budaya yang

sama, tetapi biasanya salah satunya mendominasi. Di bawah ini dapat dilihat perbandingan persepsi budaya komunikasi konteks tinggi dan komunikasi konteks

rendah.

Tabel 2.1

Perbandingan Persepsi Budaya Konteks Tinggi dan Budaya Konteks Rendah

High Culture Context (HCC) Low Culture Context (LCC)

 Prosedur pengalihan informasi

sukar

 Prosedur pengalihan informasi

menjadi lebih gampang

Persepsi terhadap isu dan orang yang menyebarkan isu  Tidak memisahkan isu dan

orang yang mengkonsumsikan isu

 Memisahkan isu dan orang yang

mengkonsumsikan isu

Persepsi terhadap tugas dan relasi  Mengutamakan relasi sosial

dalam melaksanakan tugas  Social oriented

Personal relations

 Relasi antarmanusia dalam

tugas berdasarkan relasi tugas  Task oriented

Inpersonal relations

(13)

 Tidak menyukai informasi yang

rasional

 Mengutamakan emosi  Mengutamakan basa-basi

 Menyukai informasi yang

rasional

 Menjauhi sikap emosi

 Tidak mengutamakan basa-basi

Persepsi terhadap gaya komunikasi  Memakai gaya komunikasi tidak

langsung

 Pilihan komunikasi meliputi

pertimbangan rasional

 Mengutamakan otak daripada

hati

Persepsi terhadap informasi tentang individu  Mengutamakan individu dengan

(14)

Memandang in group dan out group  Selalu luwes dalam melihat

perbedaan in group dengan out group

 Selalu memisahkan kepentingan

in group dengan out group

Sifat pertalian antarpribadi  Pertalian antarpribadi sangat

kuat

 Pertalian antarpribadi sangat

lemah Konsep waktu

 Konsep terhadap waktu sangat

terbuka dan luwes

 Konsep terhadap waktu sangat

terorganisir Sumber: Lubis, 2014

2.2 Kerangka Konsep

Variabel penelitian yang terdapat pada judul atau masalah penelitian perlu dibatasi pengertiannya untuk menghindari salah maksud dalam menafsirkan konsep

tersebut antara peneliti dan pembaca hasil penelitian, serta untuk membatasi penelitian itu sendiri. Tidak semua judul atau masalah dibatasi konsepnya secara

harfiah, tetapi hanya konsep yang akan diuji. Pembatasan konsep dalam penelitian tidak saja menghindari salah maksud dalam memahami konsep penelitian dan membatasi penelitian, tetapi batasan konsep sangat diperlukan untuk penjabaran variabel penelitian maupun indikator variabel (Bungin, 2005:92).

Jadi kerangka konsep adalah hasil pemikiran yang rasional dalam menguraikan rumusan hipotesis, yang merupakan jawaban sementara dari masalah yang diuji kebenarannya. Agar konsep-konsep dapat diteliti secara empiris, maka harus dioperasionalkan dengan mengubahnya menjadi variabel.

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Variabel Bebas (X), yakni merupakan variabel yang menjelaskan terjadinya fokus atau topik penelitian (Prasetyo, 2005:67). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah Pengaruh Stereotip “Dang Jolma” oleh Masyarakat Kelurahan Pasir Bidang.

(15)

dijelaskan dalam fokus atau topik penelitian (Prasetyo, 2005:68). Variabel terikat dalam penelitian ini adalah Efektivitas Komunikasi Antarbudaya dengan Masyarakat Suku Nias.

2.3 Variabel Penelitian

Tabel 2.2 Variabel Penelitian

No .

Variabel Teoritis Variabel Operasional

1. Variabel Bebas (X) Stereotip Dang Jolma

1. Pengetahuan 2. Kepercayaan 3. Harapan

2. Variabel Terikat (Y) Efektivitas Komunikasi Antarbudaya

1. Pemahaman 2. Kesenangan 3. Pengaruh sikap 4. Hubungan 5. Tindakan

3 Karakteristik Responden 1. Jenis Kelamin 2. Pekerjaan

3. Tingkat pendidikan 4. Asal suku

(16)

Berdasarkan kerangka teori dan kerangka konsep yang telah diuraikan diatas, maka untuk memudahkan penelitian, perlu dibuat variabel penelitian sebagai berikut:

Tabel 2.3 Model Teoritis

2.4 Definisi Operasional

Definisi operasional merupakan unsut penelitian yang memberitahukan cara untuk mengukur suatu variabel. Adapun yang menjadi definisi operasional pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Variabel Bebas (X)

Stereotip “dang jolma”, yaitu generalisasi kesan yang berarti “tidak manusia” oleh sekelompok tertentu kepada seseorang atau sekelompok orang berdasarkan kategori yang bersifat subjektif.

a) Pengetahuan, yakni hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.

Variabel Bebas (X) Stereotip “Dang Jolma”:

1. Pengetahuan 2. Kepercayaan 3. Harapan

Variabel Terikat (Y) Efektivitas Komunikasi

Antarbudaya:

1. Pemahaman 2. Kesenangan 3. Pengaruh Sikap 4. Hubungan 5. Tindakan

Karakteristik Responden:

1. Jenis Kelamin 2. Pekerjaan

3. Tingkat pendidikan 4. Asal suku

(17)

b) Kepercayaan, yakni kemauan seseorang untuk bertumpu pada orang lain dimana kita memiliki keyakinan padanya.

c) Harapan, adalah bentuk dasar dari kepercayaan akan sesuatu yang diinginkan akan didapatkan atau suatu kejadian akan berbuah kebaikan di waktu yang akan datang.

2. Variabel Terikat (Y)

a) Pemahaman, yakni penerimaan yang cermat atas kandungan rangsangan seperti yang dimaksudkan oleh pengirim pesan.

b) Kesenangan, yakni perasaan yang didapatkan diwaktu sekedar berkomunikasi dengan orang lain untuk menimbulkan kesejahteraan bersama.

c) Pengaruh sikap, yakni hasil yang didapatkan ketika seseorang berkomunikasi untuk mempengaruhi sikap orang lain.

d) Hubungan, yakni salah satu indikator untuk menentukan keefektifan komunikasi antarbudaya. Dalam hal ini hubungan yang dimaksud

adalah hubungan insani. Dimana gangguan hubungan insani dipengaruhi dari rasa frustasi, kemarahan atau kebingungan sebagai akibat kegagalan awal dalam pemahaman.

e) Tindakan, yakni hasil yang diharapkan ketika seseorang tersebut telah paham dan setuju terhadap pesan yang disampaikan oleh komunikator. 3. Karakteristik responden terdiri dari:

a. Jenis Kelamin, yakni dilihat dari jenis kelamin masyarakat Kelurahan Pasir Bidang, apakah laki-laki atau perempuan.

b. Pekerjaan, yakni dilihat dari jenis pekerjaan masyarakat Kelurahan Pasir Bidang, apakah guru, wirausaha, dan lain-lain.

c. Tingkat Pendidikan, yakni jenjang pendidikan masyarakat Kelurahan Pasir Bidang. Baik mahasiswa, SMA, SMP, SD, bahkan masyarakat yang tidak sekolah.

(18)

2.5 Hipotesis

Hipotesis merupakan suatu pernyataan yang masih harus diuji kebenarannya secara empiris. Adapun hipotesa dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

: Tidak terdapat pengaruh antara stereotip “dang jolma” oleh masyarakat Kelurahan Pasir Bidang terhadap efektivitas komunikasi antarbudaya dengan

masyarakat suku Nias di Kelurahan Pasir Bidang.

Gambar

Tabel 2.1
Tabel 2.2 Variabel  Penelitian
Tabel 2.3 Model Teoritis

Referensi

Dokumen terkait

Pokja Pengadaan Barang/Jasa ULP Universitas Mataram akan melaksanakan Seleksi Sederhana dengan pascakualifikasi untuk paket pekerjaan jasa konsultansi secara

Pada hari ini Senin tanggal delapan bulan Oktober tahun dua ribu dua belas, kami Kelompok Kerja (Pokja) Pengadaan Barang Tim 6 Unit Layanan Pengadaan

secara berkelompok untuk menjawab pertanyaan tentang pengertian, jenis, karakteristik, lingkup usaha jasa wisata; serta hubungan antara berbagai usaha jasa wisata guna

MEDIA : KEDAULATAN RAKYAT TANGGAL : 23

Terdapat hubungan yang tidak signifikan antara luas lahan dengan tingkat penerapan model pengelolaan tanaman terpadu padi sawah pada taraf kepercayaan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa persepsi cara mengajar guru dengan motivasi belajar terdapat korelasi yang rendah namun

Hasil simulasi yang dihasilkan menunjukkan kualitas estetika pohon dan perdu yang berbeda dan sangat beragam untuk setiap lanskap, beberapa lanskap mempunyai nilai

karena belum begitu mengenal. Dari tabel 6 dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa kendala yang dihadapi oleh guru dan siswa dalam penggunaan bahan ajar yang