PREVALENSI BUTA WARNA PADA SISWA/SISWI
SMU di KECAMATAN MEDAN HELVETIA
SKRIPSI
Oleh
Abdul Muis Situmorang
NIM : 081121057
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul : Prevalensi Buta Warna Pada Siswa-Siswi SMA di Kecamatan
Medan Helvetia
Nama : Abdul Muis Situmorang
NIM : 081121057
Jurusan : Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara
Abstrak
Buta warna adalah penglihatan warna-warna yang tidak sempurna. Biasanya seorang buta warna akan merasa penglihatannya telah betul. Adalah sangat tepat bila seseorang dengan buta warna disebut sebagai cacat atau lemah warna, karena seseorang dengan buta warna masih dapat mengenal warna. Cacat penglihatan yang paling dikenal adalah buta warna bawaan (kongenital). Cacat penglihatan warna dapat juga didapatkan, yang kadang-kadang merupakan gejala dini kerusakan mata.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi buta warna pada siswa-siswi SMA di Kecamatan Medan Helvetia. Desain penelitian adalah Deskriptif Cross Sectional. Pengambilan sampel dengan teknik total sampling. Sampel sebanyak 330 oranganak terdiri dari 131 orang anak berjenis kelamin laki-laki dan 199 orang anak berjenis kelamin perempuan. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 28 Agustus 2009. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan Ishihara test yang berjumlah 14 plate. Kemudian data yang diperoleh diolah dengan menggunakan teknik komputerisasi dan dideskripsikan dalam bentuk distribusi frekuensi dan persentase.
Hasil penelitian menunjukan dari 330 subjek penelitian terdapat 129 (39,09%) orang anak yang mengalami defek penglihatan warna. Dari 129 orang anak yang mengalami defek penglihatan warna diantaranya didapatkan Deuteranopia sebanyak 74 orang anak (57,36%). Protanopia sebanyak 33 orang anak (25,58%),
Red-green deficiency sebanyak 21 orang anak (16,28%). Dan buta warna total
sebanyak 1 orang anak (0,78%). Berdasarkan Jenis Kelamin dari 129 anak dengan defek penglihatan warna didapatkan 53 anak laki-laki (40,1%), dan perempuan 76 anak (37,5%).
Kesimpulan dari 330 subjek penelitian terdapat 129 (39,09%) orang anak yang mengalami defek penglihatan warna.
PRAKATA
Segala puji dan syukur kepada Allah SWT yang atas berkat rahmat dan
hidayahNya memberikan saya motivasi terbesar dalam hidup ini, serta shalawat
beriring salam saya haturkan kepada junjungan umat sepanjang zaman, Nabi
Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabat yang memberikan tauladan
terindah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Prevalensi
Buta Warna Pada Siswa/Siswi SMU di Kecamatan Medan Helvetia
Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapakan bantuan,
bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak dengan memberikan butir-butir
pemikiran yang sangat berharga bagi penulis baik secara langsung maupun tidak
langsung. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Dedi Ardinata, M.Kes sebagai Dekan Fakultas Keperawatan
Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Erniyati, S.Kp, MNS sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Keperawatan
Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Evi Karota Bukit, S.kp, M.KEP sebagai Pembantu Dekan II Fakultas
Keperawatan Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Ikhsannuddin A. Harahap,S.Kp, MNS sebagai Pembantu Dekan III
Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.
5. Bapak Mula Tarigan, S.Kp, M.Kes sebagai dosen pemimbing dalam
pembuatan skripsi yang senantiasa meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran
memberi motivasi, semangat, dan dukungan kepada saya selama proses
penyelesaian skripsi ini.
6. Bapak Iwan Rusdi, S.Kp, MNS, selaku dosen penguji II, dan Bapak Ismayadi,
S.Kep, Ns. sebagai dosen penguji III yang telah banyak memberikan
masukan-masukan yang bermanfaat bagi skripsi ini.
7. Ibu Cholina T Siregar,S.kp,Sp,KMB sebagai penasehat Akademik yang
senantiasa meluangkan waktu, masukan dan saran yang berharga bagi penulis
dalam penulisan skripsi ini dan seluruh staf pengajar beserta staf administrasi
di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.
8. Bapak Kepala Dinas Pendidikan Sumatera Utara dan staf yang telah
memberikan surat izin penelitian ditempat yang saya tuju.
9. Bapak Kepala Sekolah SMU Negri 12 Medan dan beserta staf guru, dan Bapak
Kepala Sekolah Swasta Markus Medan dan beserta staf gurunya yang telah
memberikan izin penelitian skripsi ini.
10. Teristemewa kepada seluruh keluarga saya, Ayahanda dan Ibunda tercinta
yang terus memberikan motivasi dan doa yang tiada henti yang begitu berarti
bagi saya, dan kepada seluruh saudara-saudara saya yang tiada henti
memotivasi agar segera menyelesaikan skripsi ini.
11. Responden yang telah bersedia meluangkan waktu dan berpartisipasi dalam
penelitian ini.
12. Rekan-rekan mahasiswa S1 Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera
13. Semua pihak yang dalam kesempatan ini tidak dapat seluruhnya disebutkan
namanya satu persatu yang telah banyak membantu saya baik dalam
penyelesaian skripsi ini maupun dalam menyelesaikan perkuliahan di Fakultas
Keperawatan USU..
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak terdapat
kekurangan baik dalam penulisan, pengetikan maupun percetakan. Karena itu
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun.
Akhirnya, penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang turut
membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
Medan, Juni 2010
Penulis
(Abdul Muis Situmorang)
DAFTAR ISI
2. Klasifikasi Defek Penglihatan Warna ... 6
2.1. Defek Warna Yang di dapat ... 6
2.2. Defek Warna Yang Diturunkan ... 7
2.2.1. Monokromat ... 7
2.2.2. Dikromat ... 8
2.2.3. Anomali Trikromat ... 9
4. Mekanisme Melihat tiga warna (Tree Colour Mechanism)... 13
4.1. Proses Pengenalan Cahaya ... 13
4.2. Sensitivitas spektrum warna pada sel kerucut ... 13
4.3. Interpretasi warna oleh sistem saraf ... 13
4.4. Persepsi cahaya putih ... 14
5. Diagnosis Defek Penglihatan Warna ... 14
BAB 3. KERANGKA KONSEP PENELITIAN ……... 16
3. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian ………... 19
4. Pertimbangan Etik ………... 20
5. Instrumen Penelitian ………... 21
6. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen ………... 22
7. Pengumpulan Data ………... 22
BAB 5. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……... 24
1. Hasil Penelitian ………... 24
1.1. Karakteristik Subjek Penelitian ………... 24
1.2. Distribusi Defek Penglihatan Warna ... 25
1.2.1. Distribusi Defek Penglihatan Warna Menurut Jenis Kelamin ... 26
2. Pembahasan ... 27
BAB 6. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ……... 30
1. Kesimpulan ………... 30
2. Rekomendasi ………... 30
2.1. Pendidikan Keperawatan ………... 30
2.2. Praktek Keperawatan ………... 31
2.3. Penelitian Keperawatan ………... 31
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
1. Inform Consent
2. Jadwal Tentatif Penelitian 3. Taksasi Dana
DAFTAR SKEMA
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Persamaan nama klasifikasi defek penglihatan warna……. 10
Tabel 2 Karakteristik subjek penelitian ...…... 24
Tabel 3 Distribusi defek penglihatan warna ……….... 26
Judul : Prevalensi Buta Warna Pada Siswa-Siswi SMA di Kecamatan
Medan Helvetia
Nama : Abdul Muis Situmorang
NIM : 081121057
Jurusan : Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara
Abstrak
Buta warna adalah penglihatan warna-warna yang tidak sempurna. Biasanya seorang buta warna akan merasa penglihatannya telah betul. Adalah sangat tepat bila seseorang dengan buta warna disebut sebagai cacat atau lemah warna, karena seseorang dengan buta warna masih dapat mengenal warna. Cacat penglihatan yang paling dikenal adalah buta warna bawaan (kongenital). Cacat penglihatan warna dapat juga didapatkan, yang kadang-kadang merupakan gejala dini kerusakan mata.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi buta warna pada siswa-siswi SMA di Kecamatan Medan Helvetia. Desain penelitian adalah Deskriptif Cross Sectional. Pengambilan sampel dengan teknik total sampling. Sampel sebanyak 330 oranganak terdiri dari 131 orang anak berjenis kelamin laki-laki dan 199 orang anak berjenis kelamin perempuan. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 28 Agustus 2009. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan Ishihara test yang berjumlah 14 plate. Kemudian data yang diperoleh diolah dengan menggunakan teknik komputerisasi dan dideskripsikan dalam bentuk distribusi frekuensi dan persentase.
Hasil penelitian menunjukan dari 330 subjek penelitian terdapat 129 (39,09%) orang anak yang mengalami defek penglihatan warna. Dari 129 orang anak yang mengalami defek penglihatan warna diantaranya didapatkan Deuteranopia sebanyak 74 orang anak (57,36%). Protanopia sebanyak 33 orang anak (25,58%),
Red-green deficiency sebanyak 21 orang anak (16,28%). Dan buta warna total
sebanyak 1 orang anak (0,78%). Berdasarkan Jenis Kelamin dari 129 anak dengan defek penglihatan warna didapatkan 53 anak laki-laki (40,1%), dan perempuan 76 anak (37,5%).
Kesimpulan dari 330 subjek penelitian terdapat 129 (39,09%) orang anak yang mengalami defek penglihatan warna.
BAB 1 PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Buta warna adalah penglihatan warna-warna yang tidak sempurna. Biasanya
seseorang buta warna akan merasa penglihatannya telah betul. Adalah sangat tepat
bila seseorang dengan buta warna disebut sebagai cacat atau lemah warna, karena
seseorang dengan buta warna masih dapat mengenal warna. Cacat penglihatan
yang paling dikenal adalah buta warna bawaan (kongenital). Cacat penglihatan
warna dapat juga didapatkan, yang kadang-kadang merupakan gejala dini
kerusakan mata. (Ilyas,2004).
Gangguan penglihatan mata herediter, seperti buta warna mempengaruhi
sejumlah signifikan orang, proporsi yang pasti jumlahnya bervariasi. Di Australia
yang terjadi pada 8% laki-laki dan 0,4% wanita. Komunitas yang terisolasi dengan
populasi gen yang terbatas, biasanya memiliki prevalensi yang cukup tinggi,
contohnya di pedesaan Finlandia, Hongaria, dan Skotlandia. Di Amerika serikat
sekitar 7% dari populasi laki-laki, atau sekitar 10,5 juta laki-laki dan 0,4%
populasi wanita tidak bisa membedakan antar warna merah dan hijau. Jarang
dilaporkan laki-laki ataupun wanita mengalami buta warna biru.(Richard,1995).
Hasil studi populasi terhadap defek penglihatan warna atau buta warna pada
anak umur 12-14 di Teheran melaporkan, dari total 2058 siswa yang terdiri dari
1136 laki-laki dan 922 perempuan mendapatkan 97 anak yang mengalami defek
yang mengalami defek penglihatan warna di periksa menggunakan Ishihara
pseudoisochromatic color plates, tidak terdapat riwayat penyakit sistemik,
penyakit mata, dan riwayat penggunaan obat yang kronis, pada pemeriksaan mata
didapatkan visus 20/20 (emmetropia) dan tidak tampak kelainan fundus.
(.Modarres,1996).
Abnormalitas penglihatan warna tidak banyak mempengaruhi kehidupan
awal manusia seperti pada masa kanak-kanak, karena tidak disertai oleh kelainan
tajam penglihatan , abnormalitas penglihatan warna mulai mempengaruhi ketika
anak dihadapkan pada persyaratan untuk masuk jurusan tertentu yang buta warna
menjadi salah satu kriteria seperti kedokteran, teknik, design grafis,dan lain-lain.
Oleh karena hal tersebut, identifikasi dini kelainan buta warna perlu dilakukan
untuk membimbing anak dalam menentukan jenjang pendidikannya kelak.
(Ilyas,2004).
Dengan mengetahui genetik sebagai salah satu penyebabnya, kita dapat
mencegah peningkatan kasus buta warna seperti misalnya dengan melakukan
konseling pranikah. Tidak terbukti bahwa penderita defek penglihatan warna
dapat melihat pada keadaan gelap karena tidak terbukti sel batang akan
menggantikan posisi sel kerucut yang hilang. Kejadian Buta Warna meningkat
pada pool genetik dengan perkawinan diantara satu komunitas terisolir. Hal ini
berpeluang untuk terjadinya peningkatan prevalensi penderita buta warna yang
memiliki kecenderungan herediter. Prevalensi Buta Warna menunjukkan jumlah
penderita buta warna dalam satu populasi dalam satu periode tertentu.
Sebab buta warna atau dikenal cacat penglihatan warna kongenital bersifat
tetap, terdapat sejak lahir, dan biasanya mengenai sama pada kedua mata
.Sedangkan sebab buta warna yang didapat yaitu tidak terlihat waktu
lahir,biasanya berjalan progresif, dan mengenai satu mata lebih dari mata
sebelahnya.(Ilyas,2004).
Dari data latar belakang masalah diatas tersebut,maka peneliti tertarik
meneliti prevalensi buta warna pada siswa-siswi SMA di Kecamatan Medan
Helvetia.
2. Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan yang akan diajukan dalam penelitian ini adalah berapakah
prevalensi buta warna pada siswa-siswi SMA di Kecamatan Medan Helvetia.
3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi buta warna pada
siswa-siswi SMA di Kecamatan Medan Helvetia
4. Manfaat Penelitian
4.1. Pelayanan Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi Sekolah
Menengah Atas agar siswa dapat mengetahui apakah terdapat beberapa aspek buta
tertentu dan untuk mengetahui adanya kelainan cacat penglihatan warna bawaan
atau didapat.
4.2. Penelitian Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data dasar penelitian berikutnya
terutama yang menyangkut prevalensi defek penglihatan warna pada siswa-siswi
SMA.
4.3. Pendidikan Keperawatan
Dengan diketahuinya prevalensi atau tingkat perkembangan defek
penglihatan warna pada siswa-siswi SMA, dapat digunakan sebagai masukan
evaluasi bagi pendidikan keperawatan, selain itu dapat juga di gunakan sebagai
data dasar bagi institusi pendidikan dan pelayanan yang telah berkerja sama untuk
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Defek penglihatan warna atau yang lebih dikenal dengan buta warna adalah
gangguan penglihatan warna, ketidakmampuan untuk membedakan warna yang
orang normal mampu untuk membedakannya. Seseorang dapat melihat normal
apabila fungsi organ mata (makula dan saraf optik) normal, terdapat cukup cahaya
yang dipantulkan ke mata dan sistem penghantaran impuls melalui saraf normal
(Guyton & Hall,1997).
Retina sebagai salah satu bagian dari mata berperan di dalam proses ini
merupakan bagian yang peka terdapat cahaya, pada retina orang normal
mengandung dua jenis sel yang sensitif terhadap cahaya, yaitu sel batang yang
aktif pada cahaya gelap dan sel kerucut yang aktif pada cahaya terang. Ketika sel
batang dan sel kerucut dirangsang oleh cahaya, sinyal tersebut akan
ditransmisikan melalui neuron yang terkait melalui serat saraf optik menuju
korteks serebral. Normalnya ada tiga jenis sel kerucut yang masing-masing
mengandung pigmen yang berbeda-beda. Sel kerucut aktif ketika menyerap
cahaya, spektrum penyerapan cahayanya berbeda-beda. Sel kerucut yang pertama
cukup sensitif pada gelombang pendek (short wavelengths), yang kedua pada
gelombang medium (medium wavelengths), yang ketiga pada gelombang yang
panjang (long wavelengths), (sensitivitas puncak pada warna biru, kuning
spektrum cahaya yang lebih banyak diserap dari ketiga sistem (merah hijau biru),
perbedaan warna yang terlihat tergantung dari tipe sel kerucut yang distimulasi
dan luasnya . Orang dengan defek penglihatan warna, mengalami kehilangan satu
sel kerucut atau sel kerucut memiliki puncak absorbsi yang berbeda dari normal
(Vaughan,1999).
2. Klasifikasi Defek Penglihatan Warna
Banyak klasifikasi untuk defek penglihatan warna yang ada, para ahli ada
yang mengklasifikasikan defek penglihatan warna menjadi buta warna total, buta
warna parsial, buta warna merah-hijau (penderita tidak dapat membedakan warna
merah dan hijau) dan buta warna biru kuning (penderita tidak dapat membedakan
warna biru dan kuning), dalam penulisan penelitian ini digunakan klasifikasi
berdasarkan penyebabnya dengan penjelasan beberapa istilah yang dibuat di
bawah ini (Vaughan,1999).
Berdasarkan etiologi atau penyebabnya defek penglihatan warna
diklasifikasikan menjadi :
2.1. Defek Warna yang didapat
Defek warna yang didapat lebih sering dari varian biru-hijau, dan mengenai
pria dan wanita sama seringnya, defek ini mengenai salah satu mata lebih dari
yang lain biasanya bervariasi tipe dan keparahannya, yang bergantung dari letak
2.2. Defek Warna yang diturunkan
Defek warna kongenital herediter hampir selalu merah-hijau (red-green
deficiency), defek ini mengenai 2 mata dengan tingkat keparahan yang sama.
Sebagian besar defek warna congenital bersifat resesif terkait X, serta tipe
keparahannya konstan seumur hidup. Ada 3 tipe buta warna yang diturunkan,
yakni : monokromat, dikromat, dan anomali trikromat.
2.2.1. Monokromat
Biasa disebut buta warna total yang disebabkan oleh kerusakan atau
kehilangan sel kerucut (tipe S, L, M), dua dari tiga pigmen warna hilang.
Terdapat dua bentuk monokromatisme, walaupun penderitanya tidak memiliki
diskriminasi warna sama sekali dengan kata lain hanya mampu membedakan
tingkat kecerahan, akantetapi adalah dua entitas yang berbeda. Rod
monochromacy (Monokromatisme Batang), yakni biasa disebut achromatopsia
retina tidak mengandung sel kerucut sama sekali. Tidak adanya sel kerucut
menyebabkan gejala-gejala seperti penurunan ketajaman penglihatan, tidak
adanya penglihatan warna, dan nistagmus. Kelainan ini diperlihatkan secara jelas
oleh elektroretinogram fotopik. Cone Monochromacy, pada keadaan ini
penderita memiliki fotoreseptor kerucut, tetapi semua sel kerucut mengandung
pigmen penglihatan yang sama. Penderita tidak memiliki diskriminasi corak
warna tetapi ketajaman penglihatan yang normal dan tidak terdapat fotophobia
2.2.2. Dikromat
Dikromat adalah orang-orang yang fotoreseptor kerucutnya hanya
mengandung dua dari tiga fotopigmen kerucut. Dikromat juga merupakan
kelainan buta warna tingkat moderate. Kelainan ini meliputi Protanopia,
penderita kehilangan sensitivitas sel kerucut terhadap gelombang panjang (long
wavelength/L-cones), mereka tidak bisa membedakan warna merah, oranye, dan
kuning. Nuetral point berada pada panjang gelombang 492 nm (titik dimana
penderita tidak bisa membedakan warna ini dengan warna putih). Penderita
hanya melihat satu warna yang mendekati warna kuning. Oranye yang
merupakan gabungan warna primer merah dan kuning hanya terlihat kuning oleh
penderita. Warna merah dibingungkan dengan warna hitam atau abu-abu tua.
Bunga warna merah muda yang merupakan kombinasi warna merah dan biru,
terlihat hanya berwarna biru oleh penderita, demikian halnya dengan warna
sekunder lain seperti ungu yang merupakan gabungan warna primer merah dan
biru, hanya terlihat biru oleh penderita dan lampu lalu lintas yang berwarna
merah dilihat padam oleh penderita,
oleh penderita.Seorang protanopia belajar membedakan warna merah dari hijau
dan kuning dari tigkat keterangan dan kecerahannya, bukan dari persepsi
perbedaan warnanya. Hal ini dialami 1 dari 100 laki-laki. Deuteranopia (1% dari
laki-laki), kekurangan sensitivitas sel kerucut terhadap gelombang medium
(medium wavelength/M-cones), juga dikenal sebagi Daltonism. Kelainannya
menyerupai pada protanope. Neutal point berada pada 498 nm, sehingga warna
putih. Warna hijau, kuning dan merah sulit dinilai karena dilihat sama
menyerupai warna merah, warna hijau gelap dilihat hitam, sedangkan warna
violet, ungu dan biru terlihat sama oleh penderita. Warna hijau terlihat abu-abu
oleh penderita. Pada defek penglihatan warna ini, intensitas cahayanya tidak
mengalami perubahan. Tritanopia (kurang dari 1% laki-laki). Berkurangnya sel
kerucut yang sensitive terhadap panjang gelombang pendek (Short
wavelength/S-cones), sehingga penderita tidak bisa membedakan antara warna biru dan kuning.
2.2.3. Anomali Trikromat
Merupakan defisit penglihatan warna yang sering dijumpai. Terdiri dari
Protanomaly (1 % laki-laki dan 0.01% wanita), penderita kurang sensitive
terhadap warna merah. Deuteranomaly (lebih umum pada 6 % laki-laki, 0.4 %
wanita) penderita lemah terhadap warna hijau, warna hijau tua diasumsikan
sebagai warna hitam. Tritanomaly (kejadiannya jarang pada laki-laki dan
wanita). Dua pigmen warna normal akantetapi anomaly pigmen berada dekat
dengan pigmen normal, penderita dapat melihat tiga warna (trichromacy) tapi
tidak mampu untuk membedakan warna. Pada penderita protanomaly tidak ada
spectrum warna yang terlihat abu-abu, warna yang terlihat abu-abu oleh
protanope terlihat keabu-abuan oleh penderita protanomaly, sedangkan warna
yang terlihat abu-abu oleh deuteranope sulit dibedakan oleh penderita
protanomaly.
Individu-individu ini memerlukan tiga warna primer untuk mencocokkan
suatu warna yang tidak diketahui tidak seperti orang trikromat normal.
Pada penelitian ini protanomaly diartikan sebagai lemah warna merah,
sedangkan deuteranomaly diartikan sebagai lemah warna hijau, bila keadaan
protanomaly, deuteranomaly, protanopia dan deuteranopia terjadi bersama-sama
disebut sebagai buta warna merah-hijau (red-green deficiency) (Vaughan, 1999).
Tabel 1. Persamaan nama klasifikasi defek penglihatan warna
Tipe sel kerucut
L-cone Protan Protanomaly Protanopia
M-cone Deutan Deuteranomaly Deuteranopia
S-cone Tritan - Tritanopia
3. Etiopatogenesis Defek Penglihatan Warna
Banyak tipe dari buta warna, tipe yang paling sering adalah buta warna
merah-hijau yang bersifat herediter/genetik karena kerusakan pada photoreseptor
oleh karena kehilangan gen pembentuk pigmen warna atau gen tersebut gagal
bekerja. Seseorang tidak mampu membedakan warna ketika kehilangan gen ini
yang bisa saja terjadi pada salah satu kelompok pigmen sel kerucut (warna hijau,
kuning, oranye dan merah), warna – warna ini memiliki panjang gelombang
antara 525–675 nanometer bisa dibedakan apabila memiliki pigmen warna merah
dan hijau, ketika salah satunya hilang, orang ini tidak akan dapat membedakan
Pada laki-laki, gen yang membentuk protein opsin yang bergabung dengan
retinol dalam penentuan pigmen warna biru berada pada kromosom 3, sedangkan
gen penentu untuk pigmen merah hijau terletak pada lengan panjang kromosom
X . Pada penglihatan warna normal pada kromosom X banyak ditemukan gen
yang terkait dengan pigmen warna, oleh karena itu jarang ditemukan penderita
perempuan, karena paling tidak satu dari dua kromosom X nya merupakan gen
normal untuk masing-masing sel kerucut.
Buta warna yang didapat bisa karena pengaruh dari kerusakan retina, saraf
optik, dan daerah otak bagian atas (cranial) karena daerah otak bagian atas
memiliki peran dalam identifikasi warna yang meliputi “parvocellular pathway”
dari nuklei lateral geniculate dari talamus, visual area V4 dari korteks
penglihatan. Buta warna yang didapat tidak sama dengan buta warna karena
pengaruh genetik. Misalnya sangat mungkin mengalami buta warna pada satu
porsi dari daerah penglihatan warna namun daerah lainnya berfungsi normal.
Penurunan penglihatan warna merupakan indikator sensitif untuk beberapa
bentuk dari kelainan makula yang didapat atau penyakit saraf , seperti pada optik
neuritis atau tekanan saraf optik oleh karena adanya massa, kelainan penglihatan
warna lebih awal muncul dibanding penurunan tajam penglihatan. Usia juga
berpengaruh terhadap kejadian buta warna, kejadian buta warna meningkat pada
penderita alzheimer.Tidak ada pengaruh neuroendokrin pada kelainan buta warna
ini.
Jenis yang berbeda dari buta warna yang diturunkan terjadi oleh karena
sistem sel kerucut yang terkena, akan terjadi buta warna dichromacy. Bentuk
yang paling sering dari buta warna terjadi oleh karena masalah pada sistem sel
kerucut yang sensitif terhadap gelombang cahaya sedang dan panjang sehingga
nantinya sulit untuk membedakan warna merah, kuning, hijau. Kelainan ini
disebut buta warna merah-hijau. Bentuk buta warna yang lainnya jarang
ditemukan, dan bentuk yang paling jarang terjadi adalah buta warna komplit atau
buta warna monochromacy, dimana seseorang tidak bisa membedakan warna
dari warna abu-abu, serperti yang terlihat dalam siaran televisi hitam putih.
Penyakit genetik buta warna merah-hijau lebih banyak menyerang laki-laki
dibandingkan perempuan, karena gen yamg mengkodekan pigmen merah dan
hijau berada pada lengan panjang kromosom X, dimana laki-laki hanya punya
satu dan wanita memiliki dua (XX). Wanita yang memiliki genotipe 46 XX akan
menjadi buta warna, apabila kedua kromosom X mengalami kelainan, sedangkan
pada laki-laki 46 XY, akan terjadi buta warna bila satu kromosom X nya
mengalami kelainan.
Gen yang mengkode pigmen merah-hijau diturunkan dari laki-laki yang
buta warna kepada semua anak perempuan mereka yang heterozigot carrier , dan
wanita carrier berkesempatan menurunkan sifat buta warna 50% kepada anak
laki-laki mereka. Jika seorang laki-laki buta warna menikah dengan wanita
carrier buta warna, anak perempuan mereka kemungkinan akan lahir dengan buta
4. Mekanisme melihat tiga warna (Tricolor mechanism) 4.1. Proses pengenalan cahaya
Setelah cahaya melewati lensa mata kemudian melewati vitreous humor
kemudian masuk ke dalam retina dari dalam ke arah luar. Yang pertama
melewati sel ganglion, lalu melewati lapisan plexiform (plexiform layer), lapisan
inti (nuclear layer) dan limiting membran, sebelum akhirnya menuju sel batang
dan sel kerucut. Pigmen warna pada sel kerucut memiliki komposisi kimia yang
sama dengan rhodopsin didalam sel batang, perbedaannya hanya terletak pada
protein yang diberi nama photopsin yang berbeda dengan scotopsin pada sel
batang. Tiga pigmen warna yang berbeda berada pada sel kerucut yang berbeda,
yang membuat sel kerucut sensitif pada warna tertentu, pigmen warna ini
dinamakan (blue-sensitif pigment, green sensitif pigment, dan red-sensitif
pigment) yang menunjukkan puncak absorbsi pada panjang gelombang 445, 535,
570 nanometer.(Guyton & hall,1997).
4.2. Sensitivitas spektrum warna pada sel kerucut
Mata manusia bisa mendeteksi seluruh gradasi warna yang terbentuk dari
kombinasi yang berbeda antara cahaya monokromatik merah, hijau, biru.
Sensitivitas pada ketiga tipe sel kerucut pada manusia sama dengan kurva
penyerapan cahaya dari ketiga tipe pigmen warna pada sel kerucut.(Guyton &
hall,1997)
4.3. Interpretasi warna oleh sistem saraf
Orang bisa melihat cahaya oranye monokromatik dengan panjang
stimulasi panjang gelombang optimal, dan sinar ini juga menstimulasi sel kerucut
pigmen hijau sekitar 42 % tetapi tidak seluruhnya. Jadi perbandingan stimulasi
dari ketiga sel kerucut pada keadaan ini merah : hijau : biru = 99 : 42 : 0, sistem
saraf menginterpretasikan perbandingan ini sebagai sensasi warna oranye. Pada
keadaan lain cahaya biru monokromatik dengan panjang gelombang 450
nanometer tidak menstimulasi pigmen merah sel kerucut dan 97 % menstimulasi
pigmen biru sel kerucut, hal ini memberikan perbandingan 0 : 0 : 97 yang
diinterpretasikan sebagai warna biru oleh sistem saraf.(Guyton & hall,1997).
4.4. Persepsi cahaya putih
Stimulasi yang sama besarnya antara pigmen merah, hijau, biru pada sel
kerucut memberikan sensasi melihat warna putih.(Guyton & hall,1997).
6. Diagnosis Defek Penglihatan Warna
Diagnosis defek penglihatan warna dibuat berdasarkan anamnesis, dan
pemeriksaan penunjang, anamnesis yang sesuai seperti terdapat riwayat buta
warna di dalam keluarga atau terdapat riwayat trauma kranial yang menyebabkan
kelainan saraf atau makula. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan dengan
menggunakan Buku Ishihara. Pada Penelitian ini digunakan Buku Ishihara edisi
38 plate. Plate 1-25 bergambar angka (numeral) yang sebaiknya dijawab dalam
waktu tidak lebih dari 3 detik, jika anak tersebut tidak mampu membaca angka,
digunakan plate 26 – 38 yang diminta untuk menghubungkan menjadi garis
diantara 2 ‘x’ yang harus diselesaikan dalam waktu 10 detik. Pada penelitian
diwakilkan satu plate, plate 6,7,8,9 bisa diwakilkan satu plate, plate 10,11,12,13
bisa diwakilkan satu plate, demikian pula dengan plate 14,15,16,17 dan plate
18,19,20,21. Penggunaan seluruh plate (38 plate) dilakukan bila dtemukan
ketidaksesuaian dengan menggunakan 6 plate tersebut.
Pembacaan plate 1-21 menentukan normal atau anak tersebut mengalami
defek penglihatan warna. Jika anak tersebut mampu membaca 17 plate atau lebih
dengan benar, anak tersebut memiliki penglihatan warna yang normal. Bila
hanya mampu membaca 13 plate atau kurang dari 13 plate dengan benar, anak ini
tergolong mengalami penurunan penglihatan warna (color vision deficiency)
yang di dalam penelitian ini disebut sebagai defek penglihatan warna, keadaan
ini bisa juga dilihat jika anak tersebut lebih mudah membaca plate 18,19,20,dan
21 sebagai 5,2,45,dan 73 dibandingkan dengan plate 14,10,13,17.
Buku ishihara dapat mendiagnosa defek penglihatan warna dengan
klasifikasi red-green deficiency, buta warna total, protanopia atau strong
protanomaly, protanomaly, deuteranopia atau strong deuteranomaly , dan
deuteranomaly. Kelainan tritanomaly tidak dapat dilihat disini. Tes Ishihara
digunakan untuk mendiagnosis defek penglihatan warna congenital, untuk
mengetahui penyebab yang didapat (saraf, kelainan macula, trauma kranial) perlu
BAB 3
KERANGKA PENELITIAN
1. Kerangka Konseptual
Pada buta warna, peranan genetik lebih besar pengaruhnya dibandingkan
peranan lingkungan (biologis, fisik, sosial), tidak ada penyebab langsung yang
berperan dalam buta warna, karena buta warna bukan penyakit infeksi. Peranan
lingkungan biologis menggambarkan kelainan buta warna yang didapat.
Pada penelitian prevalensi buta warna ini, tes yang dilakukan pada setiap
anak, kemudian hasil tes dikonfirmasi dengan lembaran keterangan diagnosis
buta warna (dilampirkan) untuk memudahkan dalam melakukan klasifikasi jenis
defek penglihatan warna yang diderita.
Skema 1. Kerangka konseptual penelitian
Siswa-Siswi SMU
Ishihara Test
Klasifikasi Jenis Buta Warna:
1. Buta Warna Merah (protanopia)
2. Buta Warna Hijau (deuteranopia)
3. Buta Warna Merah-hijau(red-gren deficiencieney)
2. Definisi Operasional 2.1. Siswa-Siswi SMU
Yang dimaksud siswa-siswi SMU dalam penelitian ini adalah siswa-siswi
yang diambil dari kelas 3 IPA dan IPS SMU di Kecamatan Medan Helvetia, yang
usianya berkisar antara 15-18 tahun.
2.2. Ishihara Test
Ishihara test yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tes yang terdiri dari
serangkaian gambar dari titik-titik berwarna, adalah ujian yang paling sering
digunakan untuk mendiagnosa defisiensi warna baik buta warna merah
(protanopia), buta warna hijau (deutranopia), buta warna merah-hijau, maupun
buta warna total.
2.3. Buta Warna
2.3.1. Buta Warna Merah (protanopia)
Klasifikasi buta warna merah (protanopia), dengan diagnosis dibuat
berdasarkan tabel tes konfirmasi Ishihara yang dilampirkan, dimana pada plate
1-14 akan terbaca 12,3,2,70,21,x,x,x,2,x,x,5(3),6(9), ungu/ ungu (merah) yang orang
normal membacanya 12,8,5,29,74,7,45,2,x,16,x,35,96, dapat menelusuri kedua
garis. Tanda x menunjukkan bahwa plate tidak dapat dibaca. Angka-angka dan
garis-garis berliku di dalam tanda kurung menunjukkan bahwa mereka dapat
membaca atau dilacak tetapi mereka relatif tidak jelas.
2.3.2. Buta Warna Hijau (deuteranopia)
14 akan terbaca 12,3,2,70,21,x,x,x,2,x,x,3(5),9(6), merah/ merah(ungu) yang
orang normal membacanya 12,8,5,29,74,7,45,2,x,16,-,35,96, dapat menelusuri
kedua garis.
2.3.3. Buta Warna Merah- hijau (red-gren deficiency)
Klasifikasi buta warna merahihijau (red-green deficiency), dengan
diagnosis dibuat berdasarkan tabel tes konfirmasi Ishihara yang dilampirkan,
dimana pada plate 1-14 akan terbaca 12,x,x,x,x,x,x,x,x,x,x,-,-,x yang orang
normal membacanya 12,8,5,29,74,7,45,2,x,16,-,35,96, dapat menelusuri kedua
garis.
2.3.4. Buta Warna Total (monochromacy)
Klasifikasi buta warna merahihijau (red-green deficiency), dengan
diagnosis dibuat berdasarkan tabel tes konfirmasi Ishihara yang dilampirkan,
dimana pada plate 1-11 akan terbaca 12,x,x,x,x,x,x,x,x,x,x, yang orang normal
membacanya 12,8,5,29,74,7,45,2,x,16,-,35,96, dapat menelusuri kedua garis.
BAB 4
METODE PENELITIAN 1. Desain Penelitian
Desain penelitian ini mengambil bentuk Deskriptif Cross Sectional yang
sepenuhnya menghitung angka prevalensi kejadian buta warna pada anak SMA
dikecamatan Medan Helvetia.
2. Populasi dan sampel
2.1. Populasi
Populasi di dalam penelitian ini adalah anak SMA kelas 3 saja, yang
bersekolah di Kecamatan Medan Helvetia. Yang mana keseluruhan jumlah ini
akan dijadikan sebagai sampel penelitian.
2.2. Sampel
Metode pengambilan sampel dengan cara teknik total sampling, dengan
kriteria yang bersedia mau menjadi sampel penelitian ini.
3. Lokasi dan Tanggal waktu penelitian
Penelitian dilakukan di SMU Negeri 12 Medan, SMU Swasta Markus,
Kekecamatan Medan Helvetia, Kabupaten Deli Serdang. Pengumpulan data
4. Pertimbangan Etik
Karena objek penelitian ini adalah manusia maka pertimbangan etik sangat
penting. Penelitian ini dilakukan setelah proposal disetujui oleh institusi
pendidikan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan izin
pengumpulan data diperoleh dari kepala sekolah SMU Negeri12 MEDAN, SMU
Swasta Markus Kecamatan Medan Helvetia, Kabupaten Deli Serdang. Peneliti
mengakui hak-hak responden dalam menyatakan kesediaan untuk dijadikan objek
penelitian. Lembar persetujuan (informed concent) ditandatangani berdasarkan
keinginan objek penelitian. Peneliti akan menjelaskan tujuan, sifat dan manfaat
penelitian. Kerahasian informasi yang diberikan oleh responden dijamin oleh
peneliti(Nursalam, 2003).Untuk menjaga kerahasiaan maka lembar observasi atau
kuisioner yang diberikan akan diberi kode tertentu tanpa nama dan hanya peneliti
yang mempunyai akses terhadap informasi tersebut.
5. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini dalam bentuk lembar
observasi kuisioner. Bagian pertama instrument penelitian tentang pengumpulan
data demografi anak sekolah yang meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama
dan suku responden.
Bagian kedua tentang kebiasaan atau prilaku sehari-hari anak sekolah yang
alat bantu penerangan lampu listrik atau lampum minyak tanah, apakah adik
pernah memakai kacamata, berapa kali makan dalam sehari, kebiasaan makan
sayur dan kebiasaan menonton televisi (berapa lama jam/ hari).
5.1. Alat dan Cara Pengumpulan Data
5.1.1. Alat
Alat ukur yang digunakan secara umum adalah dengan lembaran observasi
(kuisioner) yang diisi oleh peneliti berdasarkan hasil pemeriksaan pasien oleh
residen mata di Kecamatan Medan Helvetia
5.1.2. Cara Pengumpulan Data
Data dikumpulkan dengan mengisi lembaran observasi oleh peneliti dengan
di bantu oleh seorang asistennya. Anak-anak yang memenuhi kriteria, diminta
kesediaannya untuk dijadikan subjek penelitian. Setelah anak tersebut menjawab
pertanyaan kuisioner data demografi, kemudian anak tersebut diminta untuk
membaca angka-anaka pada buku Isihara (Plate Isihara), untuk masing-masing
plate ditampilkan selama 3 detik. Jika anak tersebut mengalami kesulitan atau
salah dalam membaca angka yang tertera pada plate, dicatat dalam lembaran
diagnosa buta warna (dilampirkan), setelah itu peneliti akan mengolah dan
6. Uji Validitas dan Reliabilitas
Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan
atau kesahihan sesuatu instrumen. Suatu instrumen yang valid atau mampu
mengukur apa yang diinginkan dan memiliki validitas tinggi. Tinggi rendahnya
validitas instrumen menunjukkan sejauh mana data yang terkumpul tidak
menyimpang dari gambaran validitas tersebut (Arikunto, 2006).
Instrumen yang reliable akan dapat menghasilkan data yang dapat dipercaya
atau benar sesuai kenyataannya sehingga walaupun data diambil berulang-ulang,
hasilnya akan tetap sama.
Uji reliabilitas pada instrumen penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
SPSS versi 16 untuk analisis cronbach alpha terhadap 30 orang dengan hasil
koefisien reliabilitas untuk Ishihara test yaitu 0,735. Hal ini sesuai dengan
pendapat Arikunto (2006), bahwa suatu instrumen dikatakan reliabel jika
memiliki nilai reliabilitas lebih dari 0,600.
7. Prosedur pengambilan dan pengumpulan data
Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan cara:
1. Mengajukan permohonan izin pelaksanaan penelitian pada institusi
Pendidikan (Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran USU).
2. Mengirimkan permohonan izin yang di peroleh ke kepala dinas pendidikan
3. Mengirimkan permohonan izin yang di peroleh dari kepala dinas pendidikan
ke tempat penelitian (SMU Negeri12 MEDAN, SMU Swasta Markus
Kecamatan Medan Helvetia, Kabupaten Deli Serdang).
4. Setelah mendapat izin dari SMU Negeri 12 MEDAN, SMU Swasta Markus,
Kecamatan Medan Helvetia, Kabupaten Deli Serdang, peneliti melaksanakan
pengumpulan data penelitian.
5. Menjelaskan pada anak sekolah yang calon sampel tentang tujuan, menfaat
dan proses pengisian kuesioner.
6. Anak sekolah yang bersedia diminta untuk mendatangani informed
consent(surat persetujuan) sebagai tanda persetujuan menjadi sampel
penelitian.
7. Setelah diisi, lembaran observasi (kuesioner) dikumpulkan kembali oleh
peneliti dan diperiksa kelengkapannya.
8. Analisa data
Semua data yang terkumpul, maka analisa data akan dilakukan melalui
beberapa tahapan, antara lain tahap pertama editing yaitu mengecek nama dan
kelengkapan identitas serta memastikan bahwa semua jawaban telah diisi sesuai
petunjuk, tahap kedua coding yaitu memberi kode atau angka tertentu pada
kuesioner untuk mempermudah waktu mengadakan tabulasi dan analisa, tahap
ketiga processing yaitu memasukkan data dari kuesioner ke dalam program
komputer, tahap keempat adalah melakukan cleaning yaitu mengecek kembali
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Hasil Penelitian
1.1. Karakteristik Subjek Penelitian
Dari 330 subjek penelitian didapatkan 131 anak laki-laki (39,7%) dan 199
anak perempuan (60,3%).
Menurut usia subjek penelitian, didapatkan 1 orang anak usia 15 tahun
(0,3%), 42 orang anak usia 16 tahun (12,7%), 254 orang anak usia 17 tahun
(77%), dan 33 orang anak usia 18 tahun (10%) dengan M = 16,97, SD = 0,489,
Min-Max = 15-18. Karakteristik subjek penelitian dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2 Karakteristik subjek penelitian
Karakteristik Subjek Penelitian Frekuensi Persentase (%)
Jenis Kelamin
Laki-laki 131 39,7
Perempuan 199 60,3
Usia
Tabel 2 (lanjutan)
Karakteristik Subjek Penelitian Frekuensi Persentase (%)
16 Tahun 42 12,7
17 Tahun 254 77,0
18 Tahun 33 10,0
(M = 16,97, SD = 0,489, Min-Max = 15-18)
Riwayat Keluarga Buta warna
Tidak ada 245 74,3
Ada 4 1,2
Tidak tahu 81 24,5
1.2. Distribusi Defek Penglihatan Warna
Dari 330 subjek penelitian terdapat 129 (39,09%) orang anak yang
mengalami defek penglihatan warna.
Dari 129 orang anak yang mengalami defek penglihatan warna diantaranya
didapatkan Deuteranopia sebanyak 74 orang anak (57,36%). Protanopia sebanyak
33 orang anak (25,58%), Red-green deficiency sebanyak 21 orang anak (16,28%).
Dan buta warna total sebanyak 1 orang anak (0,78%). Seperti tampak jelas pada
Tabel 3 Distribusi defek penglihatan warna
Defek Penglihatan Warna Frekuensi Prosentase (%)
Deuteranopia 74 57,36
Protanopia 33 25,58
Red-Green Deficiency 21 16,28
Buta Warna Total 1 0,78
Total 129 100
1.2.1. Distribusi Defek Penglihatan Warna Menurut Jenis Kelamin
Berdasarkan Jenis Kelamin dari 129 anak dengan defek penglihatan
warna didapatkan 53 anak laki-laki (40,1%), dan perempuan 76 anak (37,5%).
Dari 53 orang anak laki-laki yang mengalami buta warna diantaranya:
Deuteranopia terjadi pada 25 orang anak laki-laki (19%), dan 49 pada anak
perempuan (24%), Protanopia terjadi pada 16 orang anak laki-laki (12%), dan 17
orang anak perempuan (8,5%), Red-green deficiency terjadi pada 11 anak
laki-laki (8,3%), dan 10 anak perempuan (5%), dan buta warna total terjadi pada 1
orang anak laki-laki (0,8%), dan 0 pada anak perempuan (0%). Selanjutnya
Tabel 4. Distribusi defek penglihatan warna menurut jenis kelamin
Defek Penglihatan Warna
Jenis Kelamin
Laki-Laki (%) Perempuan (%)
Deuteranopia 25 (19%) 49 (24%)
Protanopia 16 (12%) 17 (8,5%)
Red-Green Deficiency 11 (8,3%) 10 (5%)
Buta Warna Total 1 (0,8%) 0 (0%)
Total 53(40,1%) 76(37,5%)
2. Pembahasan
Pemilihan subjek penelitian yang diambil dari kelas 3 IPA dan IPS SMU di
Kecamatan Medan Helvetia, yang usianya berkis arantara 15-18 tahun
dikarenakan dari kemampuan membaca serta pengenalan huruf dan angka, dimana
anak dalam usia tersebut diasumsikan mampu untuk membaca dan mengenal
huruf yang digunakan dalam tes defek penglihatan warna. Usia subjek penelitian
ini didominasi oleh usia 17 tahun (77%, n = 254).
Dari hasil penelitian ini jumlah distribusi defek penglihatan pada anak
laki-laki lebih besar dibandingkan dengan jumlah anak perempuan, yaitu terdapat
ada di Australia misalnya, terjadi pada sekitar 8 persen laki-laki dan hanya sekitar
0,4 persen dari perempuan. Di Amerika Serikat, sekitar 7 persen dari penduduk
laki-laki atau sekitar 10,5 juta orang dan 0,4 persen dari populasi wanita baik tidak
dapat membedakan warna merah, warna hijau, atau melihat merah- hijau (Howard
Hughes Medical Institute, 2006).
Berdasarkan hasil sensus yang dilakukan US Census Bureau (2004)
prevalensi buta warna di Mongolia sampai dengan 35,76%, 37,93% di Mongolia
dan 38,97% di Kongo Brazzaville. Pada penelitian ini, dari 330 subjek penelitian
terdapat 129 (39,09%) orang anak yang mengalami defek penglihatan warna. Dari
129 orang anak yang mengalami defek penglihatan warna, Deuteranopia
merupakan defek penglihatan warna yang mendominasi defek penglihatan warna
yaitu sebanyak 74 orang anak (57,36%). Namun, hal ini tidak sesuai dengan data
yang diperoleh Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) (2007) yang menyatakan
bahwa prevalensi nasional buta warna adalah 0,7% (berdasarkan keluhan
responden). Sebanyak 6 provinsi mempunyai prevalensi buta warna diatas
prevalensi nasional, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Sumatera
Selatan, Bangka Belitung, DKI Jakarta, dan Nusa Tenggara Barat. Prevalensi buta
warna di Indonesia sebesar 7,4‰, tertinggi terdapat di Provinsi DKI Jakarta
(24,3‰) yang diikuti berturut-turut oleh Provinsi Kep. Riau (21,5‰), Sumatera
Barat (19,0‰), Gorontalo (15,9‰), Nanggroe Aceh Darussalam (15,2‰).
Prevalensi terendah terdapat di Sumatera Utara(1,5‰).
anak laki-laki lebih besar dari pada anak perempuan hal ini sesuai dengan data
prevalensi buta warna merah di Dunia yaitua terjadi 1% pada laki-laki dan 0,01%
pada wanita (Wikipedia.org, 2009).
Pada penelitian ini tedapat 19 % anak laki-laki yang mengalami buta warna
hijau dan terdapat 24% pada wanita. Hal ini tidak sesuai dengan data prevalensi
buta warna hijau (Deutranopia) di Dunia yaitu terjadi 1% pada laki-laki dan 0,4%
pada wanita (Wikipedia .org, 2009).
Pada penelitian ini terdapat 8,3% anak laki-laki yang mengalami buta warna
merah-hijau (Red green deficiency) dan 5% pada anak perempuan. Hal ini Sesuai
dengan penelitian Balasundaran & Reddy (2006) yang menemukan angka
kejadian buta warna merah-hijau (Red green deficiency) dari 1214 sampel
penelitian terdapat 4,8% pada laki-laki dan 0,2% pada wanita. Hal ini menunjukan
bahwa angka kejadian butawarna merah-hijau (Red green deficiency) didominasi
BAB 6
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
1. Kesimpulan
Dari 330 subjek penelitian terdapat 129 (39,09%) orang anak yang
mengalami defek penglihatan warna.
Dari 129 orang anak yang mengalami defek penglihatan warna
diantaranya didapatkan Deuteranopia sebanyak 74 orang anak (57,36%).
Protanopia sebanyak 33 orang anak (25,58%), Red-green deficiency sebanyak 21
orang anak (16,28%).
Berdasarkan Jenis Kelamin dari 129 anak dengan defek penglihatan
warna didapatkan 53 anak laki-laki (40,1%), dan perempuan 76 anak (37,5%).
2. Rekomendasi
2.1. Pendidikan Keperawatan
Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa prevalensi buta warna pada
siswa-siswi SMA di Kecamatan Medan Helvetia. Terjadi sampai dengan 39,09% (129
orang anak dari 330 subjek penelitian). Oleh karena itu, data prevalensi buta
warna ini dapat juga dijadikan sebagai bahan pengajaran tambahan di mata kuliah
medikal bedah untuk menambah pengetahuan peserta didik keperawatan dalam
2.2. Praktek Keperawatan
Hasil penelitian ini memperoleh bukti bahwa prevalensi buta warna pada
siswa-siswi SMA di Kecamatan Medan Helvetia sangat tinggi sehingga perlu
dilakukan perawatan-perawatn yang berkaitan dengan masalah deficiency warna.
sehingga dapat menanbah variasi dan intervensi keperawatan yang dilakukan oleh
perawat sebagai upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan pasien, khususnya
pasien yang mengalami buta warna.
2.3. Penelitian Keperawatan
Peneliti menyadari bahwa penelitian ini masih memiliki keterbatasan-
keterbatasan, sehingga untuk peneliti yang akan datang peneliti mengharapkan: 1)
Jumlah subjek penelitian yang kecil dan terbatas, sehingga kurang mewakili
gambaran populasi yang sebenarnya, 2) Data kuisioner yang tidak lengkap,
sehingga kurang memberikan gambaran sebenarnya pada keadaan populasi, 3)
Tidak dilakukan uji validitas pada instrument penelitian sehingga data yang
diperoleh kurang memberikan gambaran sebenarnya pada populasi, 4)
Pengambilan data melalui quisioner hendaknya disertai pertanyaan yang lebih
spesifik dan dengan disertai wawancara yang lebih mendalam serta alangkah
baiknya pemeriksaan dilakukan atau dilihat sendiri pelaksanaan oleh peneliti dan
semua kuisioner diisi oleh peneliti, 5) Sebelum pengambilan data hendaknya
dilakukan penyamaan persepsi dari maksud pertanyaan kuisioner, sehingga
penelitian lebih lanjut, dimana jumlah subjek penelitian yang lebih banyak dan di
tempat yang berbeda untuk memperkaya data prevalensi kasus buta warna, 7)
Faktor trauma pada retina misalnya akibat kecelakaan dapat menyebabkan defek
penglihatan warna, sehingga perlu ditanyakan tentang riwayat tersebut, sehingga
dapat diketahui jumlah dari penyebab yang idiopatik selain dari penyebab
herediter, 8) Perlu dilakukann penelitian lebih lanjut untuk meneliti keterkaitan
defisiensi vitamin A terhadap kejadian buta warna, untuk melanjutkan data
kecenderungan kasus defek penglihatan warna terjadi pada anak yang memiliki
status gizi yang kurang, 9) Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk
mengetahui apakah letak geografis mempengaruhi kecenderungan terjadinya jenis
DAFTAR PUSTAKA
Balasundaram R & Reddy SC. (2006). PREVALENCE OF COLOUR VISION DEFICIENCY AMONG MEDICAL STUDENTS AND HEALTH
PERSONNEL. Diambil tanggal 16 april 2010 dari:
Fernandes, Costa Marcelo et al. (2007). Red-Green Color Vision Impairment in Duchenne Muscular Dystrophy. Diambil tanggal 12 april 2010 dari:
Fluck, Daniel. (2009) 28 Maret 2010 dari: http://www.colblindor.com/2009/01/30/red-green-color-blindness-doesnt-exist/.
GUYTON,A.C & HALL, J.E (1997) Human Phsygology and Mechanism od
Diases, Philadelphia Elsevier Sauders.
ILYAS,SIDARTA (2004) Ilmu Penyakit Mata, Fakultas Kedokteran Indonesia,Jakarta
ISHIHARA,SHINOBU. The Series of Plates Designed as a test for colour
Deficiency. 14 Plates Edition.Kanehara Trading Inc.Tokyo Japan
LIPKIN, RICHARD (1995) Documen View (News) : Additional Genesmay Affect Color Vision. Science News. Washinton. Available from :
M. MODARRES, M. MIRSAMADI, & G.A PEYMAN. Prevalence of congenital color deficience in secondary school student in Teheran. Int Ophthalmal, January 1, 1996. Available from: hhtp://www.nejim.org. Accested July 17, 2008.
NURSALAM (2001) Metodologi Riset Keperawatan, Jakarta: Sagung Seto
VAUGHAN, DANIEL (1999) Lange Book Generad ophthalmolog, Edisi 15. Appleton and lange.
_______(2004). US Census Bureau: Prevalance of Color blindness. Diambil
tanggal 16 april 2010 dari:
_______(2007). Riskesdas 2007. Diambil tanggal 28 Maret 2010 dari:
______(2007). Buta Warna. Diambil tanggal 12 april 2010 dari:
______(2009). Color Blindness or Color Vision Deficiency. Diambil tanggal 12 april 2010 dari:
______(2009). KUMPULAN ARTIKEL MENGENAI BUTA WARNA. Diambil
tanggal 12 april 2010 dari:
Lampiran 1
LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN PENELITIAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini merasa tidak keberatan untuk
menjadi responden dalam peneliian yang dilakukan oleh mahasiswa Fakultas
Keperawatan Universitas Sumatera Utara atas nama Abdul Muis Situmorang
dengan judul “Prevalensi Buta Warna Pada Siswa/Siswi SMU di Kecamatan
Medan Helvetia”
Dimana sebelumnya saya telah mendapatkan penjelasan akan peroses
penelitian, manfaat dan tujuan penelitian serta jaminan tidak akan ada pengaruh
negatif bagi diri saya selama peroses penelitian. Peneliti juga menjamin
kerahasiaan identitas saya dan data-data yang didapat dari saya hanya digunakan
untuk perkembangan ilmu pengetahuan dan kesehatan, dan saya telah mengerti
dan mengizinkan peneliti menjadikan saya sebagai responden dalam
penelitiannya.
Demikianlah persetujuan ini saya buat dengan sejujurnya dan tanpa
paksaan dari pihak manapun.
Medan,……….200…
Responden
Lampiran 3
TAKSASI DANA
PROPOSAL
− Biaya rental dan print proposal Rp. 70.000
− Biaya internet Rp. 45.000
− Fotocopy sumber-sumber tinjauan pustaka Rp. 60.000
− Fotocopy perbanyak proposal Rp. 36.000
− CD Rp. 5.000
PENGUMPULAN DATA
− Izin penelitian Rp. 50.000
− Transportasi Rp. 150.000
− Fotocopy kuisioner dan persetujuan penelitian Rp. 30.000
ANALISA DATA DAN PENYUSUNAN LAPORAN
− Biaya rental dan print Rp. 100.000
− CD Rp. 5.000
− Penjilidan Rp. 160.000
− Fotocopy laporan penelitian Rp. 30.000
BIAYA TAK TERDUGA Rp. 100.000
Lampiran 4
II. Formulir Pemeriksaan Buta Warna
Nomor (angka) pada plates
Penglihatan
normal Orang dengan Red-Green deficiency
7 45 X
Tanda x menunjukkan bahwa pelat tidak dapat dibaca. Angka-angka dan
garis-garis berliku di dalam tanda kurung menunjukkan bahwa mereka dapat membaca atau
dilacak tetapi mereka relatif tidak jelas.
Diagnosis :
1. Normal : ( )
2. Buta Warna Hijau : ( )
3. Buta Warna Merah : ( )
Lampiran 5
HASIL ANALISA DATA
1. Analisa Data Demografi
Frequencies
Statistics
usia jeniskelamin anakke suku riwayatkeluarga observasi usia2 anakke2
N Valid 330 330 330 330 330 330 330 330
Frequency Percent Valid Percent
jeniskelamin
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid laki-laki 131 39.7 39.7 39.7
perempuan 199 60.3 60.3 100.0
Total 330 100.0 100.0
anakke
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 1 144 43.6 43.6 43.6
2 63 19.1 19.1 62.7
3 52 15.8 15.8 78.5
4 39 11.8 11.8 90.3
5 18 5.5 5.5 95.8
6 9 2.7 2.7 98.5
7 4 1.2 1.2 99.7
8 1 .3 .3 100.0
suku
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent
observasi
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 1 201 60.9 60.9 60.9
2 21 6.4 6.4 67.3
3 74 22.4 22.4 89.7
4 33 10.0 10.0 99.7
5 1 .3 .3 100.0
Total 330 100.0 100.0
usia2
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 15 1 .3 .3 .3
16 42 12.7 12.7 13.0
17 254 77.0 77.0 90.0
18 33 10.0 10.0 100.0
anakke2
Frequency Percent Valid Percent
Reliabilitas Instrumen
a. Listwise deletion based on all variables in the
Scale Statistics
Mean Variance Std. Deviation N of Items
Lampiran 7
Daftar Riwayat Hidup
Nama : Abdul Muis Situmorang
Tempat tanggal lahir : Medan, 28 April 1984
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Jln.Karya II No.3 Helvetia Medan
Riwayat Pendidikan :
1. SD Negeri 06984 Medan (1991 - 1997)
2. SLTP Negeri 18 Medan (1997 - 2000)
3. SMU Swst Amir hamzah Medan (2000-2003)
4. DIII Keperawatan Kesdam 1/BB Medan (2003-2006)