• Tidak ada hasil yang ditemukan

“Kedudukan Rekaman CCTV dalam Pembuktian Tindak Pidana Penggelapan (Studi Putusan Pengadilan Negeri No.94 Pid.B 2015 PN.Mdn dan Putusan Pengadilan Tinggi No.342 PID 2015 PT-MDN)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "“Kedudukan Rekaman CCTV dalam Pembuktian Tindak Pidana Penggelapan (Studi Putusan Pengadilan Negeri No.94 Pid.B 2015 PN.Mdn dan Putusan Pengadilan Tinggi No.342 PID 2015 PT-MDN)"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Zaman sekarang ini perkembangan teknologi informasi sangat mempunyai

andil yang besar dalam setiap aspek kehidupan. Perkembangan yang begitu cepat

tersebut telah membawa era yang lebih cepat dari yang pernah dibayangkan

sebelumnya. Semua perkembangan teknologi informasi dan dengan cepatnya

informasi didapatkan itu semua tidak terlepas dan tidak dapat dipisahkan dari

kehidupan masyarakat Indonesia saat ini. Perkembangan tersebut seakan

merangsang umat manusia untuk selalu menerima dan mengikutinya. Ditinjau dari

berbagai sudut pandang, perkembangan teknologi informasi memberikan dampak

positif maupun negatif dalam berbagai aspek kehidupan. Hal tersebut tentu saja

tidak dapat dihindari sebagai konsekuensi akan tingkat perubahan atmosfir

pergaulan kehidupan yang kini telah berubah dan lebih banyak mengarah kepada

munculnya berbagai tingkat kejahatan dalam rangka mewujudkan pencapaian

yang ingin diraih oleh masing–masing individu yang dihadapkan pada perbedaan

tingkat kualitas dan kuantitas kehidupan yang dimiliki.1

Kejahatan merupakan entitas yang selalu lekat dengan dinamika

perkembangan peradaban umat manusia. Kejahatan yang disebut perilaku

menyimpang selalu ada dan melekat pada tiap bentuk-bentuk masyarakat, tidak

ada masyarakat yang sepi dari kejahatan, oleh karena itu upaya penanggulangan

1

(2)

kejahatan sesungguhnya merupakan upaya yang terus menerus dan

berkesinambungan. Kejahatan merupakan bagian dari kehidupan masyarakat dan

merupakan peristiwa sehari-hari. Seorang filsuf bernama Cicero mengatakan Ubi

Societas, Ibi Ius, Ibi Crime yang artinya ada masyarakat, ada hukum dan ada

kejahatan. Masyarakat saling menilai, berkomunikasi dan menjalin interaksi,

sehingga tidak jarang menimbulkan konflik atau perikatan. Satu kelompok akan

menganggap kelompok lainnya memiliki perilaku yang menyimpang apabila

perilaku kelompok lain tersebut tidak sesuai dengan perilaku kelompoknya.

Perilaku menyimpang ini seringkali dianggap sebagai perilaku yang jahat.

Batasan kejahatan dari sudut pandang masyarakat adalah setiap perbuatan

yang melanggar kaidah-kaidah yang hidup di dalam masyarakat. Kejahatan dapat

dibedakan atas dua sudut pandang yakni kejahatan dari sudut pandang yuridis dan

dari sudut pandang sosiologis. Dari sudut pandang yuridis yakni kejahatan adalah

suatu perbuatan yang tingkah lakunya bertentangan dengan kaidah-kaidah dalam

undang-undang. Lalu kejahatan dari sudut pandang sosiologis, memiliki arti

perbuatan atau tingkah laku yang selain merugikan si penderita juga merugikan

masyarakat, yaitu berupa hilangnya keseimbangan, ketentraman dan

ketertiban, hal ini dimaksudkan bahwa setiap upaya penanggulangan kejahatan

tidak dapat menjanjikan dengan pasti bahwa kejahatan itu tidak akan terulang atau

tidak akan memunculkan kejahatan baru. Namun demikian, upaya itu tetap harus

dilakukan untuk lebih menjamin perlindungan dan kesejahteran manusia.

Dalam pergaulan masyarakat terdapat aneka macam hubungan antar

(3)

masyarakat. Dengan aneka ragamnya hubungan itu, para anggota masyarakat

memerlukan aturan-aturan yang dapat menjamin keseimbangan agar dalam

hubungan-hubungan itu tidak terjadi kekacauan dalam masyarakat.

Peraturan-peraturan hukum yang bersifat mengatur dan memaksa anggota masyarakat untuk

patuh menaatinya, menyebabkan terdapat keseimbangan dalam tiap perhubungan

dalam masyarakat. Setiap hubungan kemasyarakatan tidak boleh bertentangan

dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan hukum yang ada dan berlaku dalam

masyarakat. Untuk menjaga agar peraturan-peraturan hukum itu dapat

berlangsung terus dan diterima oleh seluruh anggota masyarakat, maka peraturan

hukum yang ada harus sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan asas-asas

keadilan dari masyarakat tersebut.2

Hukum adalah suatu sistem yang dibuat manusia untuk membatasi tingkah

laku manusia agar tingkah laku manusia dapat terkontrol, hukum adalah aspek

terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan,

hukum mempunyai tugas untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam

masyarakat. Hukum juga sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas

rangkaian kekuasaan kelembagaan dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam

bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak,

sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat terhadap

kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum pidana yang berupayakan cara negara

dapat menuntut pelaku dalam konstitusi hukum menyediakan kerangka kerja bagi

2

(4)

penciptaan hukum, perlindungan hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan

politik serta cara perwakilan di mana mereka yang akan dipilih. Administratif

hukum digunakan untuk meninjau kembali keputusan dari pemerintah.

Peningkatan kesadaran hukum masyarakat untuk menjadi anggota

masyarakat mengetahui apa hak yang diberikan hukum atau undang-undang

kepadanya serta apa kewajiban yang dibebankan hukum kepada dirinya. Apabila

setiap orang telah mengahayati hak dan kewajiban yang telah ditentukan hukum

kepada mereka, masing-masing akan berdiri diatas hak yang diberikan hukum

tersebut, serta menaati setiap kewajiban yang hukum yang dibebankan kepada

mereka. Jika demikian rupa penghayatan hak dan kewajiban, akan tercipta suatu

wujud lalu lintas pergaulan masyarakat yang tertib dan tenteram, karena setiap

orang mengerti batas-batas kebebasan dan tanggung jawabnya . Mereka akan

berhenti dan menahan diri pada batas-batas kebebasan yang digariskan hukum

serta akan bertanggung jawab sepanjang apa yang diberikan hukum kepadanya.3

KUHP tentang peraturan umum terdapat dalam pasal-pasal yang hanya

berlaku untuk kejahatan misalnya tentang percobaan dan kejahatan dalam buku

kedua yang pada umumnya diancam dengan hukuman atau pidana yang berat, dan

penyertaan lain-lain tidak berlaku bagi buku ketiga “pelanggaran” yang ancaman

hukumannya masih lebih ringan. Namun ringan dan beratnya setiap ancaman

hukuman menjadi penghalang seseorang untuk tidak melakukan kejahatan

ataupun pelanggaran. Hal ini menjadi masalah dimana arti sebuah aturan hukum

jika kejahatan yang dilakukan oleh masyarakat tidak dapat diikuti oleh aturan

3

(5)

hukum, seperti kejahatan dengan cara penggelapan adalah salah satu dari jenis

kejahatan terhadap harta kekayaan manusia yang diatur dalam Pasal 372 KUHP,

yang merupakan kejahatan yang tidak ada habis-habisnya dan dapat terjadi

disegala bidang dan bahkan pelakunya diberbagai lapisan masyarakat, baik dari

lapisan bawah sampai masyarakat lapisan atas pun dapat melakukan tindak pidana

penggelapan yang merupakan kejahatan yang berawal dari adanya suatu

kepercayaan pada orang lain, karena lemahnya suatu kejujuran.4

Semakin majunya peradaban manusia, sebagai implikasi dari

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dapat dilihat dengan munculnya

berbagai jenis kejahatan yang berdimensi baru. Sejalan dengan itu diperlukannya

upaya penanggulangan untuk menjamin ketertiban dalam masyarakat. Dalam

perspektif hukum, upaya ini direalisasikan dengan hukum pidana. Hukum pidana

diharapkan mampu memenuhi cita ketertiban masyarakat.

Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan dalam proses

pemeriksaan sidang pengadilan. Melalui pembuktian ditentukan nasib terdakwa.

Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang

tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa

dibebaskan dari hukuman. Selain pembuktian yang juga merupakan titik sentral

pemeriksaan perkara di sidang pengadilan. Pembuktian adalah

ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang

4

(6)

dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada

terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti

yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan

kesalahan yang didakwakan. Persidangan pengadilan tidak sesuka hati dan

semena-mena membuktika kesalahan terdakwa.5

Dengan demikian nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan

dalam persengketaan atau perkara di muka hakim atau pengadilan, dan tujuan

sistem pembuktian adalah untuk mengetahui, bagaimana cara meletakkan hasil

pembuktian terhadap perkara pidana yang sedang dalam pemeriksaan, dimana

kekuatan pembuktian yang dapat dianggap cukup memadai membuktikan

kesalahan terdakwa melalui alat-alat bukti, dan keyakinan hakim, maka sistem

pembuktian perlu diketahui dalam upaya memahami sistem pembuktian

sebagaimana yang diatur dalam KUHAP.

Indonesia sebagai negara yang berkembang menempatkan penggunaan

CCTV menjadi sebuah komponen penting dalam segala aspek kehidupan

tentunya. Tidak hanya sebagai aksesoris semata untuk memenuhi standar sebuah

perusahaan ataupun instansi, tetapi penggunaan CCTV ini pun dipandang menjadi

suatu faktor penting dalam suatu tatanan hukum positif di Indonesia berkenaan

dengan pembuktian di dalam acara hukum pidana. Ketika seseorang mengalami

dan menjadi korban dari suatu kasus tindak pidana, akan menimbulkan banyak

spekulasi untuk memecahkan dan menemukan pelaku dari kasus tersebut.

5

(7)

Keterangan saksi tentunya menjadi salah satu jalan yang ditempuh untuk

menemukan suatu kebenaran kasus tersebut, selain itu CCTV juga mempunyai

peranan penting dalam penemuan kebenaran dari suatu kasus pencurian tersebut.

Dalam sebuah rekaman CCTV akan memperlihatkan secara jelas dan detail

mengenai apa saja yang terjadi dalam tempat kejadian perkara tanpa adanya

rekayasa. Hal ini menggambarkan bahwa pemanfaatan CCTV tidak hanya untuk

mengontrol dan mengawasi suatu tempat melalui rekaman yang dihasilkan, akan

tetapi juga dapat menjadi suatu alat bukti dalam sebuah kasus tindak pidana

penggelapan. Realita kehidupan saat ini, tidak dapat diindahkan dari sebuah

kejahatan kasus tindak pidana penggelapan seperti yang akan diurai dalam skripsi

ini, hal ini memicu semakin ketatnya tingkat kewaspadaan masyarakat terhadap

pencegahan menjadi korban dari tindakan kasus-kasus kejahatan tersebut.

Pemerintah Indonesia telah mengesahkan beberapa peraturan

perundang-undangan yang disesuaikan dengan perkembangan kejahatan di era teknologi

informasi dewasa ini. Salah satunya dengan pengakuan alat bukti elektronik

didalam hukum pidana Indonesia sesuai dengan asas Lex Specialis Derogat Legi

Generalis dimungkinkan walaupun alat bukti elektronik belum terdapat

pengaturannya pada hukum acara pidana Indonesia tetapi terdapat pada beberapa

Undang-Undang yang menyinggung alat bukti elektronik ini dalam proses acara

pidana.

Beberapa perluasan alat bukti yang diatur dalam KUHAP yang sudah

diatur dalam berbagai peraturan perundang-undagan secara tersebar yaitu

(8)

Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang-Undang-Undang No. 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang No.

15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

,Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Pencucian Uang dan

Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan

Orang.6

Meninjau maraknya kasus-kasus kejahatan dan pelanggaran yang terjadi,

maka banyaknya perusahaan, instansi, bahkan sekolah yang mulai menggunakan

CCTV dalam rangka mengontrol, mengawasi maupun menjadi sumber informasi

bagi pihak yang berwenang dalam menangani suatu tindak pidana. Mengenai

CCTV ini menjadi penting jika dikaitkan dengan pembuktian perkara pidana dan

hukum acara pidana Indonesia.

Berdasarkan uraian latar belakang diatas menimbulkan ketertarikan

menulis skripsi dengan judul “Kedudukan Rekaman CCTV dalam

Pembuktian Tindak Pidana Penggelapan (Studi Putusan Pengadilan Negeri

No.94/Pid.B/2015/PN.Mdn dan Putusan Pengadilan Tinggi

No.342/PID/2015/PT-MDN)”

B.Rumusan Masalah

Sesuai dengan latar belakang pemilihan judul yang telah diuraikan

diatas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah :

1. Bagaimana pengaturan alat bukti menurut hukum acara pidana di Indonesia?

6

(9)

2. Bagaimanakah kedudukan hukum rekaman cctv dalam pembuktian tindak

pidana penggelapan dalam putusan Pengadilan Negeri

No.94/Pid.B/2015/PN.Mdn dan Putusan Pengadilan Tinggi

No.342/PID/2015/PT-MDN ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini adalah :

a. Untuk mengetahui pengaturan alat bukti menurut hukum acara pidana di

Indonesia.

b. Untuk mengetahui kedudukan CCTV dalam pembuktian tindak pidana

penggelapan dalam putusan Pengadilan Negeri No.94/Pid.B/2015/PN.Mdn dan

Putusan Pengadilan Tinggi No.342/PID/2015/PT-MDN.

2. Manfaat Penulisan

Disamping tujuan yang hendak dicapai sebagaimana yang dikemukakan

diatas, maka penulisan skripsi ini juga bermanfaat untuk:

a. Manfaat Teoritis

Skripsi ini diharapkan memberikan sumbangan pemikiran bagi kalangan

akademis dan masyarakat khususnya tentang kedudukan CCTV dalam Hukum

Acara Pidana di Indonesia.

b. Manfaat Praktis

Secara praktis diharapkan dapat memberikan bahan masukan bagi masyarakat

umum dan penegak hukum dalam menilai penanganan kasus tindak pidana

(10)

D.Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan

memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh gelar sarjana. Penulis dalam membuat

dan memilih judul skripsi ini berdasarkan penelitian penulis sendiri. “Kedudukan

Rekaman CCTV dalam Pembuktian Tindak Pidana Penggelapan (Studi Putusan

Pengadilan Negeri No.94/Pid.B/2015/PN.Mdn dan Putusan Pengadilan Tinggi

No.342/PID/2015/PT-MDN)” yang diangkat menjadi judul skripsi ini telah

diperiksa dan diteliti secara administratif dan judul tersebut belum pernah ditulis

di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini merupakan hasil karya

sendiri dari penulis dan ditulis sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur,

rasional, objektif dan terbuka. Skripsi ini juga didasarkan pada referensi dari

buku-buku dan informasi dari media elektronik seperti dari internet. Semua ini

merupakan implikasi ciri dan proses menemukan kebenaran ilmiah, sehingga

pengangkatan judul di atas dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Bila

dikemudian hari ternyata terdapat judul yang sama atau telah ditulis oleh orang

lain dalam bentuk skripsi sebelum skripsi ini dibuat, maka hal itu dapat

dimintakan pertanggungjawabannya.

D.Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Rekaman CCTV (Closed Circuit Television)

Salah satu jenis barang bukti yang sering diterima untuk dianalisis lebih

lanjut secara digital forensic adalah barang bukti berupa rekaman video. Rekaman

video tersebut bisa berasal dari kamera Closed Circuit Television (CCTV),

(11)

dengan banyaknya peralatan teknologi tinggi tersebut yang dimiliki oleh

masyarakat, maka sangat memungkinkan jenis barang bukti tersebut akan diterima

oleh para analis digital forensic untuk diperiksa dan dianalisis lebih lanjut secara

digital forensic. Masyarakat biasanya menggunakan video recorder (misalnya

handycam, handphone ,atau kamera digital) untuk mengabadikan momen-momen

yang dianggapberharga bagi mereka atau bisa juga menggunakan kamera CCTV

untuk kepentingan perlindungan keamanan bisnis mereka.7

Closed Circuit Televicion (CCTV) adalah alat perekaman yang

menggunakan satu atau lebih kamera video dan menghasilkan data video atau

audio. Closed Circuit Television (CCTV) memiliki manfaat sebagai alat untuk

dapat merekam segala aktifitas dari jarak jauh tanpa batasan jarak, serta dapat

memantau dan merekam segala bentuk aktifitas yang terjadi dilokasi pengamatan

dengan menggunakan laptop secara real time dari mana saja, disamping itu juga

dapat merekam seluruh kejadian secara jam, atau dapat merekam ketika terjadi

gerakan dari daerah yang terpantau.8

CCTV dalam kasus tertentu memiliki peranan yang sangat penting untuk

mengungkap kasus atau menunjukan keterlibatan seseorang dengan kasus yang

diinvestigasi. Dari CCTV, perilaku orang dapat terlihat melalui kamera CCTV

selama 24 jam. Dengan prosedur penanganan barang bukti CCTV yang benar

kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan dan analisis hash, istilah ini digunakan

untuk merujuk penggunaan istilah sidik jari dalam dunia olah TKP (Tempat

7

Muhammad Nur Al-Azhar, Digital Forensic: Panduan Praktis Investigasi Komputer. (Jakarta:Salemba Infotek,2012),hlm. 17.

8

http://www.ras-eko.com/2013/04/pengertian-closed-circuit-television.html di akses pada tanggal 30 Mei 2017 pukul 19.15 wib.

(12)

Kejadian Perkara) yang sebenarnya. Selanjutnya menggunakan analisis metadata,

didefinisikan sebagai “data mengenai data”, artinya data kecil yang di-encoded

sedemikian rupa yang berisikan data besar yang lengkap tentang sesuatu.

Dilanjutkan dengan teknik pembesaran, yang diimplementasikan ketika digital

forensic analyst berhubungan dengan rekaman video yang berasal dari kamera

CCTV. Proses pembesaran yang dilakukan terhadap objek yang ada di dalam

rekaman CCTV yang dipengaruhi oleh dimensi objek, jarak objek dengan kamera

CCTV, intensitas cahaya, dan resolusi kamera, maka pembesaran terhadap objek

yang ada didalam rekaman kamera CCTV tersebut dapat dilakukan secara

maksimal. Jika keempat syarat terpenuhi, maka pembesaran terhadap objek yang

ada didalam rekaman kamera CCTV tersebut dapat dilakukan secara maksimal,

proses pembesaran objek, rekaman video harus memiliki kualitas yang bagus. Jika

rekaman tersebut masih kurang cahaya, sedikit jelas (blurred) dan sedikit tidak

stabil, maka rekaman tersebut harus dipertinggi kualitasnya (enhancement). Ada

banyak cara untuk meningkatkan suatu kualitas rekaman, ada salah satu

menggunakan aplikasi V Reveal yang dikembangkan MotionSP, dengan aplikasi

ini suatu rekaman video dapat diproses dengan mudah untuk meningkatkan

kualitasnya mulai dari deinterlace (proses menghilangkan garis-garis gambar

yang bersifat tidak linear), sharpen (memperjelas titik-titik gambar yang blurred,

auto white balance),(merapikan warna-warna yang bersifat tidak natural), fill light

(menambah intensitas cahaya lingkungan), stabilize (membuat video yang

bergoyang menjadi stabil), clean (menghilangkan noise artifacts seperti

(13)

tingkat kontras rekaman, vivid colors (meningkatkan tingkat pewarnaan) dan

lain-lain.9

2. Pengertian Tindak Pidana dan Tindak Pidana Penggelapan

a. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana adalah merupakan kompleksitas unsur-unsur, yang antara

satu dengan yang lain saling berhubungan, dan tidak terpisahkan. Sehingga

membentuk suatu pengertian hukum. Dalam hal sifat melawan hukum

dicantumkan dalam rumusan,menjadi salah satu bagian tindak pidana yang

diartikan sebagai celaan atau larangan hukum.10

Arti luas dari pengertian tindak pidana itu sendiri yakni perbuatan yang

dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang

berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. Dapat juga

dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan

hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa

larangan ditujukan kepada perbuatan.11

Mengenai peristilahan ini, mereka yang memakai istilah:peristiwa pidana,

tindak pidana, dan sebagainya, karena tidak ada keterangan apa-apa, menyamakan

maknanya dengan istilah Belanda straafbar feit, untuk melihat apakah istilah

9

Muhammad Nur Al-Azhar,Op.Cit,hlm. 178-192.

10

Adami Chazawi dan Ardi Ferdinan, Tindak Pidana Informasi dan Transaksi Elektronik, (Malang:Media Nusa Creative,2015),hlm.25

11

(14)

perbuatan pidana dapat disamakan dengan istilah strafbaarfeit perlu diketahui apa

arti strafbaarfeit itu sendiri.12

Menurut Simons, strafbaarfeit dapat diartikan sebagai kelakuan yang

diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan

kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertnggung jawab.

Sementara menurut Van Hammel, strafbaarfeit adalah kelakuan yang dirumuskan

dalam wet yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan

dengan kesalahan, yang dapat disimpulkan sebagai berikut :

a. Bahwa kata feit dalam istilah strafbaarfeit mengandung arti kelakuan atau

tingkah laku.

b. Bahwa pengertian strafbaarfeit dihubungkan dengan kesalahan orang yang

mengadakan kelakuan tersebut.

Menurut Pompe dalam hukum positif strafbaarfeit tidak lain adalah feit

(tindakan) yang diancam pidana dalam ketentuan undang-undang, namun Pompe

juga mengatakan bahwa dalam hukum positif, sifat melawan hukum dan

kesalahan bukanlah syarat mutlak untuk adanya tindak pidana.13

Van Hammel merumuskan sebagai berikut: strafbaarfeit adalah kelakuan

orang (menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan

hukum yang patut untuk dipidana (strafwarding) dan dilakukan dengan kesalahan.

Namun tindak pidana itu sendiri harus dibedakan dengan pengertian perbuatan

12

Ibid, hlm.61

13

(15)

pidana. Perbuatan adalah kelakuan ditambah dengan kejadian yang ditimbulkan

oleh kelakuan atau kelakuan dengan akibat yang bukan kelakuan saja. Simons

juga mengatakan bahwa strafbaarfeit bukan hanya kelakuan saja pada waktu

tindakan pidana itu membicarakan tempat, beliau berkata strafbaarfeit itu terdiri

atas handeling dan gevolg (kelakuan dan akibat). Adapun mengenai yang kedua,

hal itu berbeda juga dengan perbuatan pidana sebab tidak dihubungkan dengan

kesalahan yang merupakan pertanggungjawaban pidana bagi orang yang

melakukan perbuatan pidana. Perbuatan pidana hanya menunjuk pada sifat

perbuatannya saja, lain halnya dengan tindak pidana atau strafbaarfeit disitu

dicakup perbuatan pidana dan kesalahan. Bahwa untuk pertanggungjawaban

pidana tidak cukup dengan dilakukannya perbuatan pidana saja, akan tetapi

disamping itu harus ada kesalahan, atau sikap batin yang dapat dicela sehingga

pengertian dari tidak pidana tadi atau strafbaarfeit menjadi sempurna, dimana

seperti pada asas hukum yang tidak tertulis menyatakan bahwa geen straf zonder

schuld, ohne schuld keine strafe yang artinya tidak dapat dipidana jika tidak ada

kesalahan.14

Adapun unsur yang terdapat dalam suatu tindak pidana sebagai berikut :

a. Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah :

1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa)

2. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang

dimaksud dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP;

14

(16)

3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya

didalam kejahatan-kejahatan pencurian, pemerasan, pemalsuan, dan

lain-lain;

4. Merencanakan terlebih dahulu atau vorbedachte raad seperti yang

misalnya yang terdapat dalam kejahatan pembunuhan pasal 340 KUHP;

5. Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam

rumusan tindak pidana menurut pasal 308 KUHP.

b. Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana itu adalah:

1. Sifat melanggar hukum wederrechtelijkheid;

2. Kualitas dari sipelaku misalnya “keadaan sebagai seorang pegawai negeri”

di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau “keadaan

sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas” didalam

kejahatan menurut Pasal 398 KUHP.

3. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab

dengan sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesautu kenyataan

sebagai akibat.15

b. Tindak Pidana Penggelapan

Delik penggelapan diatur dalam Pasal 372, Pasal 373, Pasal 374 dan Pasal

375. Pasal 376 mengenai penggelapan antarkeluarga, yang berlaku sama dengan

Pasal 367 KUHP (delik pencurian). Pasal 377 KUHP mengenai pidana tambahan

berupa pengumuman putusan hakim dan pencabutan hak dapat dikenakan bagi

penggelapan Pasal 372 , Pasal 374 dan Pasal 375 KUHP. Menurut Cleiren inti

15

(17)

delik penggelapan ialah penyalahgunaan kepercayaan. Selalu menyangkut secara

melawan hukum memiliki suatu barang yang dipercayakan kepada orang yang

menggelapkan itu. Batas klasik antara pencurian dan penggelapan ialah pada

pencurian mengambil (wegnemen) barang yang belum ada padanya, sedangkan

pada penggelapan barang itu sudah ada didalam kekuasaannya. Delik penggelapan

barang itu sudah ada di dalam kekuasaannya. Delik penggelapan adalah delik

dengan berbuat (gedragsdelicten) atau delik komisi. Waktu dan tempat terjadinya

penggelapan ialah waktu dan tempat dilaksanakan kehendak yang sudah nyata.

Jadi misalnya barang yang sudah ada di tangannya bukan karena kejahatan, itu

dijual atau dihibahkan, maka waktu dan tempat penjualan atau penghibahan itu

lah tempus dan locus delicti dari perbuatan tersebut.16

Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 372 KUHPidana yang berbunyi

sebagai berikut:

“Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang

seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam

kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan

pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak

sembilan ratus rupiah”

Delik yang tercantum di dalam Pasal 372 KUHP adalah delik pokok.

Artinya, semua jenis penggelapan harus memenuhi bagian inti delik Pasal 372

16

(18)

ditambah bagian inti lain. Pada delik penggelapan ada delik berkualifikasi jika

dilakukan sebagai beroep (profesi).17

Tindak pidana penggelapan dalam bentuk pokok mempunyai unsur

sebagai berikut:

a.Unsur-unsur objektif yang terdiri dari:

1.Mengaku sebagai milik sendiri

2.Sesuatu barang

3.Seluruhnya atau sebagian adalah milik orang lain

4.Yang berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan

b.Unsur Subjektif

1.Unsur Kesengajaan

2.Unsur Melawan Hukum18

3. Pengertian Pembuktian dan Sistem Pembuktian menurut Hukum Acara

Pidana di Indonesia

A. Pengertian Pembuktian

Dikaji dari perspektif Sistem Peradilan Pidana pada umumnya dan hukum

acara pidana pada khususnya, aspek pembuktian memegang peranan penting

untuk menentukan dan menyatakan kesalahan seseorang sehingga dijatuhkan

pidana oleh hakim. Apabila dilihat dari visi letaknya dalam kerangka yuridis

17

Ibid,hlm.98

18

(19)

aspek pembuktian dapat diklasifikasikan dalam kelompok hukum pidana formil

dan hukum pidana materil.19

Dalam perkara pidana, pembuktian selalu menjadi hal yang krusial.

Terkadang dalam menangani suatu kasus, saksi-saksi, para korban dan pelaku

diam yang dalam pengertian tidak mau memberikan keterangan, sehingga

membuat pembuktian menjadi hal yang penting. Pembuktian memberikan

landasan dan argumen yang kuat kepada penuntut umum untuk mengajukan

tuntutan. Pembuktian dipandang sebagai sesuatu yang tidak memihak, objektif,

dan memberikan informasi kepada hakim untuk mengambil kesimpulan suatu

kasus yang sedang disidangkan. Terlebih dalam perkara pidana, pembuktian

sangatlah esensial karena yang dicari dalam perkara pidana sudah dimulai dari

tahap pendahuluan tersebut, tata caranya jauh lebih rumit bila dibandingkan

dengan hukum acara lainnya. Penyelesaian perkara pidana meliputi beberapa

tahap, yakni tahap penyelidikan dan penyidikan di tingkat kepolisian, tahap

penuntutan di kejaksaan, tahap pemeriksaan perkara di tingkat pertama di

pengadilan negeri, tahap upaya hukum di pengadilan tinggi serta Mahkamah

Agung, kemudian tahap eksekusi oleh eksekutor jaksa penuntut umum. Dengan

demikian, pembuktian dalam perkara pidana menyangkut beberapa institusi yakni

kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.20

Secara umum, kata pembuktian berasal dari kata “bukti” yang berarti suatu

hal (peristiwa dan sebagainya) yang cukup untuk memperlihatkan kebenaran suatu

19

Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi,(Bandung;PT.Alumni,2007),hlm.83

20

(20)

hal (peristiwa tersebut). Pembuktian adalah perbuatan membuktikan.

Membuktikan sama dengan memberi (memperlihatkan) bukti, melakukan sesuatu

sebagai kebenaran, melaksanakan, menandakan, menyaksikan dan meyakinkan

dalam usaha menunjukkan atau salahnya si terdakwa dalam sidang pengadilan.21

Selain itu, Sudikno Mertokusumo menggunakan istilah membuktikan

dengan memberikan pengertian sebagai berikut:22

1. Kata membuktikan dalam arti logis, artinya memberi kepastian yang bersifat

mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya

bukti-bukti lain.

2. Kata membuktikan dalam arti konvensional, yaitu pembuktian yang

memberikan kepastian, hanya saja bukan kepastian mutlak melainkan

kepastian yang nisbi atau relatif, sifatnya yang mempunyai

tingkatan-tingkatan:

a. Kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka, maka kepastian ini

bersifat intuitif dan disebut conviction intime

b. Kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal, maka disebut

conviction raisonne.

3. Kata membuktikan dalam arti yuridis, yaitu pembuktian yang memberi

kepastian kepada hakim tentang kebenaran suatu peristiwa yang terjadi

21

Lilik Mulyadi ,Op Cit,hlm.84

22

(21)

Pembuktian dalam perkara pidana berbeda dengan pembuktian dalam

perkara perdata, sebab di dalam pembuktian perkara pidana (hukum acara pidana)

adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiel, yaitu kebenaran sejati atau

yang sesungguhnya, yang dalam proses acara pidana hakim dalam mencari

kebenaran materiel suatu peristiwa tersebut harus terbukti (beyond reasonable

doubt). Demikian pula dalam persidangan, hakim dalam perkara pidana adalah

aktif, artinya hakim berkewajiban untuk mendapatkan bukti yang cukup untuk

membuktikan tuduhan kepada tertuduh.23

Masalah pembuktian adalah yang sangat penting dan utama, sebagaimana

menurut pasal 6 ayat (2) KUHAP, bahwa “tidak seorang pun dapat dijatuhi

pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut

undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat

bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan terhadap

dirinya.24

Aspek hukum pembuktian asasnya sudah dimulai sejak tahap penyelidikan

perkara pidana. Pada tahap penyelidikan ketika tindakan penyelidik untuk mencari

dan menemukan sesuatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna dapat

atau tidaknya dilakukan penyidikan, di sini sudah ada tahapan pembuktian. Begitu

pula halnya dengan penyidikan, ditentukan dengan adanya tindakan penyidik

untuk mencari serta mengumpulkan bukti dan dengan bukti tersebut membuat

terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Oleh karena

(22)

itu, ketentuan Pasal 1 angka 2 dan angka 5 KUHAP menegaskan bahwa untuk

dapat dilakukan tindakan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang

pengadilan bermula dilakukan penyelidikan dan penyidikan sehingga sejak tahap

awal diperlukan adanya pembuktian dan alat-alat bukti. Konkretnya, pembuktian

berawal dari penyelidikan dan berakhir sampai adanya penjatuhan pidana (vonnis)

oleh hakim di depan sidang pengadilan baik ditingkat Pengadilan Negeri atau

Pengadilan Tinggi jikalau perkara tersebut dilakukan upaya hukum banding.25

B. Sistem Pembuktian menurut Hukum Acara Pidana di Indonesia

Pembuktian merupakan hal yang terpenting dalam acara pidana.

Pembuktian perlu dilakukan untuk membuktikan bersalah atau tidaknya seseorang

terdakwa melewati pemeriksaan yang dilakukan didepan sidang pengadilan, untuk

melaksanakan suatu pembuktian, haruslah terdapat alat-alat bukti yang sah.

Alat-alat bukti pada akhirnya akan meyakinkan hakim dalam menemukan kebenaran

materiil. Dalam sistem atau teori pembuktian terbagi atas empat sistem

pembuktian, sebagai berikut :26

1. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang

Secara Positif (Positive Wettelijk Bewijstheorie) Dikatakan secara positif,

karena hanya didasarkan kepada undang-undang melulu . Artinya jika telah

terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh

undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem

ini juga disebut dengan sistem formal. Teori inisudah tidak mendapat penganut

25

Lilik Mulyadi, Op Cit,hlm.85

26

(23)

lagi, dikarenakan terlalu banyak mengandalkan kekuatan pembuktian yang

disebutdengan undang-undang.

2. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu

Teori ini juga disebut dengan conviction intime. Teori tersebut didasarkan pada

keyakinan hati nuraninya sendiri ditetapkan bahwa terdakwa telah melakukan

perbuatan yang didakwakan. Dengan sistem ini, pemidanaan dimungkinkan

tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti dalam undang-undang. Sistem ini

dianut oleh peradilan di Prancis. Sistem ini memberikan kebebasan kepada

hakin terlalu besar, sehingga sulit diawasi. Disamping itu, terdakwa atau

penasihat hukumnya sulit untuk melakukan pembelaan.

3. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas Alasan yang

Logis (Laconviction Raisonne).

Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seorang bersalah berdasarkan

keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian

disertai dengan suatu kesimpulan yang berlandaskan kepada

peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Jadi, putusan hakim dijatuhkan dengan suatu

motivasi. Teori ini juga disebut dengan pembuktian bebas untuk menyebutkan

alsan-alasan keyakinannya. Teori tersebut terpecah menjadi dua, yaitu

pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis dan yang kedua

adalah teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif.

Persamaan antara keduanya yaitu sama-sama berdasar atas keyakinan hakim,

artinya terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa adanya keyakinan hakim

(24)

keyakinan hakim, tetapi keyakinan itu harus didasarkan kepada suatu

kesimpulan yang logis, yang tidak didasarkan pada undang-undang tetapi

berdasarkan pada ilmu pengetahuan hakim sendiri. Sedangkan yang kedua

yaitu berpangkal pada aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan secara

limitatif oleh undang-undang, tetapi hal itu harus diikuti dengan keyakinan

hakim.

4. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Negatif (Negatief

Wettelijk)27

Teori pembuktian menurut undang-undang secara negative merupakan teori

antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan

sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction-in time. Sistem

pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan keseimbangan

antara kedua sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrem. Dari

keseimbangan tersebut, sistem pembuktian menurut undang-undang secara

negative “menggabungkan” kedalam dirinya secara terpadu sistem

pembuktian menurut keyakinan dengan sistem pembuktian menurut

undang-undang secara positif. Dari hasil penggabungan kedua sistem dari yang saling

bertolak belakang itu, terwujudlah suatu sistem “sistem pembuktian menurut

undang-undang secara negatif” yang rumusannya berbunyi : salah tidaknya

seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada

cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.

27

(25)

Setelah dijelaskan beberapa sistem pembuktian sebagai bahan

perbandingan, selanjutnya pembahasan menuju pada sistem pembuktian yang

dianut dan diatur dalam KUHAP. Pada Pasal 183 KUHAP, yang berbunyi :

“hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan

sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa

suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah

melakukannya”. Kalau dibandingkan bunyi Pasal 183 KUHAP dengan Pasal 294

HIR, hampir bersamaan bunyi dan maksud yang terkandung di dalamnya, yang

berbunyi : “Tidak akan dijatuhkan hukuman kepada seorang pun jika hakim tidak

yakin kesalahan terdakwa dengan upaya bukti menurut undang-undang bahwa

benar telah terjadi perbuatan pidana dan bahwa tertuduhlah yang salah melakukan

perbuatan itu”. Perbedaan diantara keduanya hanya pada penekanan saja.28

Menurut Wirjono Prodjodikoro bahwa: sistem pembuktian berdasar

undang-undang secara negative (negatief wettelijk) sebaiknya dipertahankan

berdasarkan dua alasan :

1. Memang selayaknya harus ada keyakinan tentang kesalahan terdakwa

untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa

memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa;

2. Berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun

keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus di turut oleh

hakim dalam melakukan peradilan.29

(26)

1. Jenis Penelitian

Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian

hukum normatif. Metode penelitian hukum normatif atau metode penelitian

hukum kepustakaan adalah metode atau cara yang dipergunakan di dalam

penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada.30

Sehingga dalam penelitian hukum normatif ini mencakup terhadap

beberapa hal yaitu :

a. Penelitian terhadap azas –azas hukum;

b. Penelitian terhadap sistematika hukum;

Perundang-undangan di bidang hukum yang mengikat, antara lain Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana(KUHAP), Undang-Undang No 11 tahun 2008 tentang Informasi

dan Transaksi Eleketronik, Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi dan keseluruhan Peraturan Perundang-undangan yang

berkaitan dengan penulisan skripsi ini.

30

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum,(Jakarta:Universitas Indonesia (UI Press),1986),hlm 10.

31

(27)

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan

terhadap bahan hukum primer, yaitu hasil karya para ahli hukum berupa

buku-buku, pendapat-pendapat para sarjana yang dimuatkan dalam artikel yang

berhubungan dengan skripsi ini.

c. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum penunjang, yaitu bahan hukum yang

memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer

dan/atau hukum sekunder, yaitu kamus hukum dan lain-lain.32

3. Teknik pengumpulan data

Untuk melengkapi penulisan skripsi ini agar tujuan dapat lebih terarah dan

dapat dipertanggungjawabkan digunakan metode penelitian hukum normative

yakni dengan menggunakan suatu penelitian kepustakaan (Library Reseach).

Dalam hal ini penelitian hukum dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan

atau disebut dengan penelitian normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan

cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka yang lebih dikenal

dengan nama bahan acuan dalam bidang hukum atau rujukan bidang hukum.33

Metode library research adalah mempelajari sumber-sumber atau

bahan-bahan tertulis yang dapat dijadikan bahan-bahan dalam penulisan skripsi ini. Berupa

rujukan beberapa buku, wacana yang dikemukakan oleh pendapat para sarjana

hukum yang sudah mempunyai nama besar dibidangnya, koran dan majalah.34

4. Analisis data

32

Burhan Bungin, analisis data dan penelitian kualitatif; pemahaman filosofis dan metodologis ke arah model aplikasi,(Jakarta,PT.Raja Grafindo Persada,2003),hlm, 68-69

33

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum,(Jakarta:Ghalia Indonesia,1983),hlm.24.

34

(28)

Pengolahan data pada hakekatnya merupakan kegiatan untuk melakukan

analisa terhadap permasalahan yang akan di bahas. Analisis data dilakukan

dengan:

a. Mengumpulkan bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan yang

di teliti.

b. Memilih kaidah-kaidah hukum atau doktrin yang sesuai dengan penelitian.

c. Mensistematiskan kaidah-kaidah hukum, azas atau doktrin.

d. Menjelaskan hubungan-hubungan antara berbagai konsep, pasal atau doktrin

yang ada.

e. Menarik kesimpulan dengan pendekatan dedukatif sehingga akan dapat

merangkum dari jawaban terhadap permasalahan yang telah disusun35

Data sekunder yang telah diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif

untuk menjawab rumusan masalah yang diangkat dalam skripsi ini.

H.Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah penulisan dan penjabaran penulisan, maka diperlukan

adanya sistematika penulisan yang teratur yang terbagi dalam bab perbab yang

saling berangkaian satu dengan lain. Adapun sistematika penulisan skripsi ini

adalah :

BAB I: PENDAHULUAN

35

(29)

Pada bab ini penulis menguraikan tentang latar belakang, rumusan

permasalahan, keaslian penulisan, tujuan penulisan, manfaat

penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan

sistematika penulisan.

BAB II: PENGATURAN ALAT BUKTI MENURUT HUKUM ACARA

PIDANA DI INDONESIA

Pada bab ini penulis menguraikan tentang apa yang dimaksud

dengan rekaman CCTV, dan penjelasan mengenai arti tindak

pidana beserta tindak pidana penggelapan. Penulis dalam bab ini

juga akan membahas mengenai pembuktian dan sistem pembuktian

menurut hukum acara pidana di Indonesia

BAB III: KEDUDUKAN HUKUM REKAMAN CCTV DALAM

PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PENGGELAPAN DALAM

PUTUSAN PENGADILAN NEGERI No.94/Pid.B/2015/PN.MDN

DAN PUTUSAN PENGADILA TINGGI

No.342/PID/2015/PT-MDN)

Bab ini menjelaskan tentang apa yang dimaksud mengenai analisa

kasus terhadap putusan hakimm dalam perkara pidana

No.94/Pid.B/2015/PN.MDN dan putusan pengadilan tinggi

no.342/PID/2015/PT-MDN, tentang hal-hal yang terjadi

dipersidangan.

Baik kronologis kasus, dakwaan, fakta hukum, tuntutan pidana,

(30)

dianalisis oleh penulis untuk mendapatkan data yang valid

mengenai putusan yang tepat dalam perkara ini.

BAB IV: KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini berisi kesimpulan dan saran-saran atas bagaimana

seharusnya kedudukan rekaman CCTV dapat memberikan

pembuktian dan pertimbangan bagi hakim dalam menjatuhkan

putusan bagi pelaku tindak pidana, dan dalam bab ini juga saran

yang disampaikan oleh penulis mengenai sistem pembuktian acara

pidana di Indonesia sebagai media utama dalam pembuktian

perbuatan tindak pidana tersebut yang dimana kesimpulan dan

saran-saran itu melihat dari uraian yang ada pada bab-bab

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil analisis data diketahui rhitung lebih besar dari r tabel (0,461 > 0,456) yang artinya terdapat hubungan yang signifikan antara konsentrasi siswa dengan

Sedangkan nilai pengujian kemunculan jeda singkat dan panjang menghasilkan nilai akurasi yang rendah, karena frasa jeda singkat menghasilkan pola ucapan berbeda pada setiap

menemukan buku seperti ini, yang mengggambarkan relung-relung kehidupan kemanusiaan yang paling dalam dari kehidupan Nabi Muhammad Sallā Allāh „alayhi

Hasil penelitian menunjukkan adanya sikap, nilai dan minat dalam karakteristik individu pegawai yang dapat mendorong peningkatan kinerja pegawai pada Inspektorat Daerah

Penelitian ini bertujuan untuk menguji nilai-nilai hukum lokal terhadap hutan, pada enam komunitas adat daerah Bengkulu, darinya akan diperoleh ide dalam menemukan contoh

Sebaiknya sistem ini dapat berguna untuk membuat. laporan keuangan sehingga tidak harus

Pada halaman ini berisi tentang data mobil yang. ada, Terdapat tiga action yang dapat di klik

Teknik yang digunakan ialah dengan cara menempatkan sebuah pencatu ( feed ) pada salah satu patch hingga pada posisi pencatu tersebut didapatkan lebih dari satu