BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sampah
2.1.1 Pengertian sampah
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah,
menyebutkan sampah adalah sisa kegiatan sehari hari manusia atau proses alam yang
berbentuk padat atau semi padat berupa zat organik atau anorganik bersifat dapat
terurai atau tidak dapat terurai yang dianggap sudah tidak berguna lagi dan dibuang
kelingkungan.
Sampah ada yang mudah membusuk dan ada pula yang tidak mudah
membusuk. Sampah yang mudah membusuk terdiri dari zat-zat organik seperti
sayuran, sisa daging, daun dan lain sebagainya, sedangkan yang tidak mudah
membusuk berupa plastik, kertas, karet, logam, abu sisa pembakaran dan lain
sebagainya.
2.1.2 Sumber dan jenis sampah
Secara praktis sumber sampah dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu:
a. Sampah dari permukiman atau sampah rumah tangga.
b. Sampah dari non-permukiman yang sejenis sampah rumah tangga, seperti
Sampah dari kedua jenis sumber ini dikenal sebagai sampah domestik. Sedang
sampah non-domestikadalah sampah atau limbah yang bukan sejenis sampah rumah
tangga, misalnya limbah dari proses industri. Bila sampah domestik ini berasal dari
lingkungan perkotaan dalam bahasa inggris disebut municipal solid waste (MSW).
Menurut Gilbert (1996), sumber-sumber timbulan sampah adalah sebagai
berikut:
a. Sampah dari pemukiman penduduk
Pada suatu pemukiman biasanya sampah dihasilkan oleh suatu keluarga
yang tinggal disuatu bangunan atau asrama. Jenis sampah yang dihasilkan
biasanya cendrung organik, seperti sisa makanan atau sampah yang
bersifat basah, kering, abu plastik dan lainnya.
b. Sampah dari tempat-tempat umum dan perdagangan tempat-tempat
umum adalah tempat yang dimungkinkan banyaknya orang berkumpul
dan melakukan kegiatan. Tempat-tempat tersebut mempunyai potensi
yang cukup besar dalam memproduksi sampah termasuk tempat
perdagangan seperti pertokoan dan pasar. Jenis sampah yang dihasilkan
umumnya berupa sisa-sisa makanan, sampah kering, abu, plastik, kertas,
dan kaleng- kaleng serta sampah lainnya.
c. Sampah dari sarana pelayanan masyarakat milik pemerintah yang
sakit, bioskop, perkantoran, dan sarana pemerintah lainnya yang
menghasilkan sampah kering dan sampah basah.
d. Sampah dari industri dalam pengertian ini termasuk pabrik-pabrik sumber
alam perusahaan kayu dan lain-lain, kegiatan industri, baik yang termasuk
distribusi ataupun proses suatu bahan mentah. Sampah yang dihasilkan
dari tempat ini biasanya sampah basah, sampah kering abu, sisa-sisa
makanan, dan sisa bahan bangunan.
Sedangkan jenis sampah yang dihasilkan berdasarkan dari sumber sampah
Tchobanoglos (1993) mengklasifikasikannya seperti pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Jenis Sampah Berdasarakan Fasilitas, Aktivitas dan Lokasi Sumber Sampah
Sumber Sampah Jenis Fasilitas, Aktivitas dan
Lokasi dari Sumber Sampah Jenis Sampah
Tempat Tinggal Tempat tinggal keluarga tunggal dan keluarga banyak dan apartemen kecil, sedang dan besar, dll
Sampah dari makan, sampah kering, sampah
basah, sampah debu/lembut, dan sampah
khusus.
Komersial Toko, restoran, pasar, kantor,
hotel, motel, bengkel, fasilitas kesehatan, kantor, lembaga, dll
Sampah dari makan, sampah kering,sampah debu/lembut, dan sampah khusus, sampah konstruksi
Kota Gabungan tempat tinggal dan
komersial
Gabungan dari sampah yang berasal dari tempat tinggal dan komersial
Tabel 2.1 (Lanjutan) Sumber Sampah Jenis Fasilitas, Aktivitas dan
Lokasi dari Sumber Sampah Jenis Sampah
Industri konstruksi, pabrik, pergudangan Sampah dari makanan,
sampah kering, sampah debu/lembut, sampah hasil
bongkaran, sampah berbahaya, sampah khusus.
Tempat Terbuka Jalan, taman, tempat bermain, tempat rekreasi terbuka, jalan besar, tanah kosong, dll
Sampah khusus dan sampah kering
Lokasi Tempat Pengendalian
Pelabuhan, bandar udara, terminal, tempat pengendalian industri, dll
Sampah hasil proses pengendalian, residu limbah
Pertanian Sampah busuk dari tanaman, sampah pertanian,
sampah kering dan sampah berbahaya.
Sumber: Tchobanoglos 1993
Secara umum pengelompokkan sampah sering dilakukan sesuai dengan jenis,
jumlah, dan sifat sampah yaitu:
1. Sampah anorganik
Sampah anorganik berasal dari sumber daya alam tak terbarui seperti
mineral dan minyak bumi, atau dari proses industri. Beberapa dari bahan
ini tidak terdapat di alam seperti plastik dan aluminium. Sebagai zat
anorganik secara keseluruhan tidak dapat diuraikan oleh alam. Sedangkan
Sampah jenis ini pada tingkat rumah tangga misalnya berupa botol kaca,
botol plastik, tas plastik dan kaleng. Kertas koran dan karton merupakan
pengecualian. Beradasarkan asalnya, kertas koran dan karton termasuk
sampah organik. Tetapi karena kertas, koran dan karton dapat didaur ulang
seperti sampah anorganik lainnya, maka dimasukkan kedalam kelompok
sampah anorganik.
2. Sampah organik
Sampah organik terdiri dari bahan-bahan penyusun tumbuhan dan hewan
yang berasal dari alam atau dihasilkan dari kegiatan pertanian, perikanan,
rumah tangga dan lain sebagainya. Sampah ini dengan mudah diuraikan
dalam proses alami. Sampah rumah tangga sebagian besar merupakan
bahan organik misalnya sampah dari dapur
3. Sampah 3B (bahan berbahaya dan beracun)
Sampah yang terdiri atas bahan atau zat yang karena sifat-sifat kimianya
dapat membahayakan manusia maupun lingkungan seperti: bahan-bahan
beracun, mudah meledak, korosif, mudah terbakar, dan bahan radioaktif.
Dalam kaitannya dengan tema penelitian yang akan dibahas, pengertian
sampah yang dimaksud adalah sampah domestik yaitu sampah yang
dihasilkan oleh perumahan atau rumah tangga dan tidak termasuk dalam
Bila dilihat dari status permukiman, sampah biasanya dapat dibedakan
menjadi:
a. Sampah kota (municipal solid waste), yaitu sampah yang terkumpul di
perkotaan.
b. Sampah perdesaan (rural waste), yaitu sampah yang dihasilkan di
perdesaan.
2.1.3 Timbulan dan komposisi sampah kota
Acuan mengenai timbulan sampah kota di Indonesia adalah SNI
S-04-1993-03 yang ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional (SNI). Dalam SNI, ditetapkan
bahwa timbulan sampah di kota sedang adalah 0,7-0,8 kg/orang hari, sedangkan di
kota kecil sebesar 0,5-0,6 kg/orang hari. Besaran timbulan sampah ini berada pada
kisaran timbulan sampah antara negara berpenghasilan rendah (0,5 kg/orang hari) dan
menengah (0,9 kg/orang hari) dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Meskipun jumlah sampah plastik hanya meliputi 12% saja dari sampah kota,
akibat berat jenisnya yang rendah, volumenya membutuhkan ruang sebesar 25-35%
lebih banyak dari volume total sampah. Akibatnya, apabila komponen sampah plastik
terus meningkat jumlahnya, kebutuhan akan lahan TPA akan lebih meningkat pula.
Hasil analisis komposisi deposit sampah pada sembilan lokasi sampling di TPA
plastik yang cukup tinggi, yaitu antara 14,3-33,5%, dengan rata-rata 23,5%
(Trihadiningrum dkk, 2005).
(a) (b) (c)
(a) negara industri; (b) negara bepenghasilan menengah; (c) negara berpenghasilan rendah
(d) Indonesia
Gambar 2.1 Perbandingan Timbulan Dan Komposisi Sampah Sumber: Nair, 1993; SNI S-04-1993-03; dan Trihadiningrum, 2006
2.1.4 Metoda perhitungan sampah perkotaan
Menurut SNI 19-3964-1995 [21], bila pengamatan lapangan belum tersedia,
maka untuk menghitung besaran sistem, dapat digunakan angka timbulan sampah
sebagai berikut:
Sampah basah Kertas Plastik Logam
Kayu, karet, kain, kulit
Kaca Lain-lain
Laju timbulan 0,8 kg/orang.hari
a. Satuan timbulan sampah kota besar = 2-2,5 L/orang/hari, atau = 0,4-0,5
kg/orang/hari.
b. Satuan timbulan sampah kota sedang/kecil = 1,5-2 L/orang/hari, atau =
0,3-0,4 kg/orang/hari.
Karena timbulan sampah dari sebuah kota sebagian besar berasal dari rumah
tangga, maka untuk perhitungan secara cepat satuan timbulan sampah tersebut dapat
dianggap sudah meliputi sampah yang ditimbulkan oleh setiap orang dalam berbagai
kegiatan dan berbagai lokasi, baik saat di rumah, jalan, pasar, hotel, taman, kantor.
Namun tambah besar sebuah kota, maka tambah mengecil porsi sampah dari
permukiman, dan tambah membesar porsi sampah non-permukiman, sehingga asumsi
tersebut di atas perlu penyesuaian.
2.2 Pengelolaan Sampah
2.2.1 Teori pengelolaan sampah
Pengelolaan sampah (solid waste management) dalam solid waste
management (Tchobanoglous, 1993) menyatakan pengelolaan sampah merupakan
permasalahan yang kompleks yang memerlukan penanganan dengan teknologi dan
banyak disiplin ilmu, teknologi yang digunakan meliputi pengurangan sampah dari
sumbernya, pewadahan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan dan pembuangan
akhir, dimana keselurahan proses ini harus sesuai dengan hukum yang berlaku, sosial
memenuhi nilai estetika dan secara ekonomi. Untuk merespon perilaku masyarakat
terhadap sampah dan pengelolaan sampah secara terpadu maka disiplin ilmu yang
diperlukan antara lain meliputi: administrasi, keuangan, hukum, arsitektur,
perencanaan kota, ilmu lingkungan, dan teknik rekayasa.
Pengelolaan sampah terpadu (integrated waste management) dapat
didefinisikan sebagai pemilihan dan aplikasi teknik, teknologi dan manajemen yang
tepat untuk mencapai tujuan dari pengelolaan sampah. EPA (Enviromental Protection
Agency) telah mengidentifikasi empat dasar manajemen strategis sebagaimana yang
tercantum pada Gambar 2.2.
a. interactive b. hierarchichal
Gambar 2.2 Empat Aspek Dasar Pengelolaan Sampah
Sumber: US. Enviromental protection Agency, 1995 in Solid waste Management Tchobanoglous 2003
2.2.2 Teori pengelolaan sampah di Indonesia
Secara garis besar teori pengelolan sampah di Indonesia telah tercantum
dalam SNI (Standar Nasional Indonesia) merupakan sebuah standar yang ditetapkan
oleh Badan Standar Indonesia yang berlaku secara nasional, dalam pengelolaan
sampah SNI mengeluarkan standarnya pertambahan jumlah penduduk pada suatu
wilayah secara otomatis akan memperkecil daya dukung sarana prasarana di suatu
wilayah. Dengan analogi yang sama pertambahan penduduk juga akan terkait
langsung terhadap jumlah timbulan di wilayah permukiman atau perkotaan.
Kuantitas dan pemerataan penempatan sarana persampahan sangat
berpengaruh terhadap efektifitas pengelolaan sampah.
Pola pengelolaan sampah dibanyak daerah di Indonesia masih terbagi atas 2
(dua) kelompok pengelolaan yaitu antara pengelolaan yang dilaksanakan oleh
masyarakat dari timbulan, pewadahan, pengangkutan, dan pembuangan akhir atau
pemusnahan atau sampai ke TPS dan pengelolaan yang dilaksanakan oleh pemerintah
yang melayani pengangkutan sampah dari TPS ke TPA.
Pengelolaan secara terpadu terhadap persampahan oleh pemerintah atau pihak
swasta yang ditunjuk oleh pemerintah secara umum belum banyak dilaksanakan,
kecuali dibeberapa kota besar di Indonesia. Keterbatasan anggaran dalam pemenuhan
sarana persampahan adalah alasan pokok pemerintah dan minat swasta yang masih
Dari tinjauan seperti disebutkan sebelumnya bahwa pola pengelolaan sampah
yang laksanakan saat ini belum tercapai pola pengelolaan terpadu dari masyarakat
sebagai penghasil sampah dan pemerintah sebagai penyedia dan pengelola sarana
persampahan. Dari sisi masyarakat masih terbentuk persepsi bahwa sampah adalah
bahan yang sudah tidak terpakai dan telah menjadi kewajiban pihak pemerintah untuk
mengelolanya dan membersihkannya.
Pola pendekatan baru dalam pengelolaan sampah saat ini telah dikonsepkan
dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 21/PRT/M/2006 tentang Kebijakan
dan Strategi Nasional Pengembangan Sistem Pengelolaan Persampahan (KSNP-SPP).
Kebijakan nasional tersebut merupakan reaksi atas pengelolaan sampah di waktu
sebelumnya yang dilaksanakan secara konvensional dan terkesan adanya sekat
pemisah antara masyarakat sebagai produsen sampah dan peran pemerintah sebagai
pengelola persampahan.
Dalam kebijakan dan strategi nasional pengembangan sistem pengelolaan
persampahan yang terkait dengan manajemen pengelolaan sampah antara lain,
kebijakan pengurangan sampah semaksimal mungkin dimulai dari sumbernya dengan
pola meningkatkan pemahaman kepada masyarakat tentang upaya 3R (reduce, reuse,
recycle) dan mengembangkan sistem insentif dan disinsentif. Dalam hal partisipasi
masyarakat kebijakan yang dituangkan adalah meningkatkan pemahaman sejak dini,
menyebarluaskan pemahaman tentang sampah kepada masyaakat tentang pengelolaan
Sampah yang merupakan sisa dari aktifitas kehidupan ternyata saat ini mulai
menimbulkan permasalahan baru bagi manusia itu sendiri, bisa kita bayangkan
bagaimana sampah plastik yang tidak terurai kemudian pencemaran terhadap
lingkungan, konflik sosial, dan korban jiwa telah menjadi fenomena tersendiri bagi
masalah persampahan, oleh karena itu kebijakan pemerintah yang tertuang dalam UU
No 18 Tahun 2008 tentang pengelolaan sampah telah menyikapi paradigma
pengelolaan sampah yang saat ini masih pada paradigma pembuangan sampah
dengan menggunakan TPA dengan metode Open dumping yang rentan terhadap
pencemaran lingkungan dan turunan dari permasalahan sampah menjadi pengelolaan
sampah dengan menggunakan TPA dengan Metode Sanitary Land Fill sehingga
sampah bukan menjadi musuh tetapi dapat dimanfaatkan sebagai energi alternatif, hal
ini memang memerlukan dukungan pemerintah daerah sebagai leading project dalam
membina pengelolaan sampah, disamping tetap mensosialisasikan pengurangan
sampang dengan sistem Zero waste dan 3R (Reuse, Reduce, Recycle).
2.3 Aspek Pengelolaan Sampah di Indonesia
Sistem Pengolahan sampah adalah proses pengelolaan sampah yang meliputi 5 (lima) aspek/komponen yang saling mendukung dimana antara satu dengan lainnya saling berinteraksi untuk mencapai tujuan (SNI 19-2454-2002).
Kelima aspek tersebut meliputi: 1. Aspek teknis operasional. 2. Aspek kelembagaan.
3. Aspek hukum dan peraturan. 4. Aspek pembiayaan.
5. Aspek peran serta masyarakat.
Kelima aspek tersebut diatas ditunjukkan dengan Gambar 2.3 yang menjelaskan bahwa dalam sistem pengelolaan sampah antara aspek teknis operasional, kelembagaan, hukum, pembiayaan dan peran serta masyarakat saling terkait dan tidak dapat berdiri sendiri.
Gambar 2.3 Skema Manajemen Pengelolaan Sampah Sumber:SNI 19-2454-2002
2.3.1 Aspek teknis operasional
Teknik operasional pengelolaan sampah perkotaan menurut SK SNI
T-13-1990 yang terdiri dari 6 komponen yaitu perwadahan, pengumpulan, pemindahan,
pengangkutan, pengolahan, dan pembuangan akhir. Beberapa permasalahan pada
teknis operasional antara lain tidak terpantaunya kesediaan wadah, masih kurangnya
sarana pengumpul, dan masih kurangnya pengelolaan teknis operasional sehingga
Kelembagaan
Teknik Operasional Hukum dan Peraturan
Peran Serta Masyarakat
Obyek Sampah
diperlukan perencanaan peningkatan jangkauan pelayanan, penambahan armada
angkutan dan pergantian secara periodik sesuai dengan umur ekonomis kendaraan
pengangkut sampah (Wisnu W, 2007). Pola timbulan sampah sampai dengan
pembuangan akhir sampah dijelaskan pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4 Teknik Operasional Pengelolaan Sampah Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, SNI T-13-1990-F
2.3.1.1 Penampungan sampah/pewadahan
Proses awal dalam penampungan sampah terkait langsung dengan sumber
sampah adalah penampungan. Penampungan sampah adalah suatu cara penampungan
sebelum dikumpulkan, dipindahkan, diangkut dan dibuang ke TPA. Tujuannya adalah
menghindari agar sampah tidak berserakan sehingga tidak mengganggu lingkungan
(SNI 19-2454-2002). Bahan wadah yang dipersyaratkan sesuai Standart Nasional TIMBULAN SAMPAH PEWADAHAN/PEMILAHA PENGUMPULAN PEMINDAHAN DAN PENGANGKUTAN PENGOLAHAN PEMBUANGAN AKHIR SAMPAH
Indonesia adalah tidak mudah rusak, ekonomis, mudah diperoleh dan dibuat oleh
masyarakat dan mudah dikosongkan seperti yang dijelaskan pada (Tabel 2.2).
Tabel 2.2 Jenis Pewadahan
No Jenis wadah
Kapasitas
(Liter) Pelayanan Umur Kegiatan
1 Kantong 10-40 1kk 2-3 hari Individual
2 Bin 40 1 kk 2-3 tahun
Maksimal
pengambilan 3 hari sekali
3 Bin 120 2-3 kk 2-3 tahun rumah/toko
4 Bin 240 4-6 kk 2-3 tahun
5 Kontainer 1000 80 kk 2-3 tahun komunal
6 Kontainer 500 2-3 tahun komunal
7 Bin 30-40 Taman 2-3 tahun Taman
Sumber: SK SNI-T-13-1990-F
Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam kegiatan pewadahan atau
penampungan sampah (Tchobanoglous, 1993) adalah:
1. Jenis sarana pewadahan yang digunakan.
2. Lokasi penempatan sarana pewadahan.
3. Kesehatan dan keindahan lingkungan.
4. Metode pengumpulan yang digunakan.
Menurut SK SNI T-13-1990-F, persyaratan bahan untuk pewadahan sampah
adalah sebagai berikut:
2. Mudah untuk diperbaiki.
3. Ekonomis, mudah diperoleh/dibuat oleh masyarakat.
4. Mudah dan cepat dikosongkan.
Sedangkan penentuan ukuran volume ditentukan berdasarkan:
1. Jumlah penghuni tiap rumah.
2. Tingkat hidup masyarakat.
3. Frekuensi pengambilan/pengumpulan sampah.
4. Cara pengambilan sampah.
5. Sistem pelayanan (individual atau komunal).
Wadah sampah hendaknya mendorong terjadinya upaya daur-ulang, yaitu
disesuaikan dengan jenis sampah yang telah terpilah. Di negara maju adalah hal yang
umum dijumpai wadah sampah yang terdiri dari dari beragam jenis sesuai jenis
sampahnya. Namun di Indonesia, yang sampai saat ini masih belum berhasil
menerapkan konsep pemilahan, maka paling tidak hendaknya wadah tersebut
menampung secara terpisah, misalnya:
a. Sampah organik, seperti daun sisa, sayuran, kulit buah lunak, sisa makanan, dengan wadah warna gelap seperti hijau.
b. Sampah anorganik seperti gelas, plastik, logam, dan lain-lainnya, dengan wadah warna terang seperti kuning.
c. Sampah bahan berbahaya beracun dari rumah tangga dengan warna merah, dan dianjurkan diberi lambang (label) khusus.
Gambar 2.5 Pewadahan Sampah Dengan Pemilahan Sumber: BLHKP Kota langsa 2013
2.3.1.2 Pengumpulan sampah
Pengumpulan sampah yaitu cara atau proses pengambilan sampah mulai dari
tempat penampungan/pewadahan sampai ketempat pembuangan sementara. Pola
pengumpulan sampah pada dasarnya dikelompokkan dalam 2 (dua) yaitu:
a. Pola Individual
Proses pengumpulan sampah dimana sumber sampah diangkut oleh
pengumpul secara langsung dari sumber sampahnya, pada pola ini
pengumpulan dan pengangkutan dilakukan secara bersamaan, setelah
dikumpulkan dan diangkut menuju tempat pembuangan akhir sampah atau
pemrosesan sampah, pada Gambar 2.6 pola pengumpulan individual tidak
langsung pengumpulan sampah menggunakan sejenis gerobak sampah atau
Gambar 2.6 Pola Pengumpulan Sampah Individual Tidak Langsung Sumber: SNI 19-2454-2002
b. Pola Komunal
Sampah dari berbagai macam sumber dikumpulkan pada TPS
penampungan sampah komunal yang telah disediakan kemudian diangkut
dengan truk sampah yang menangani titik pengumpulan kemudian
diangkut ke tempat pembuangan (Gambar 2.7).
Gambar 2.7 Pola Pengumpulan Sampah Komunal Sumber : SNI 1-2454-2002
2.3.1.3 Pemindahan sampah
Proses pemindahan sampah adalah memindahkan sampah hasil
pengumpulan ke dalam alat pengangkutan untuk dibawa ke tempat pembuangan
akhir. Tempat yang digunakan untuk pemindahan sampah adalah depo pemindahan
sampah yang dilengkapi dengan kontainer pengangkut (SNI 19-2454- 2002).
Pemindahan sampah merupakan tahapan untuk memindahkan sampah hasil
pengumpulan ke dalam alat pengangkut untuk dibawa ke tempat pemrosesan atau ke
Sumber Wadah Pengangkat Pembuangan Tempat Sumber Pengumpulan Pengangkat TPA
pemrosesan akhir. Lokasi pemindahan sampah hendaknya memudahkan bagi sarana
pengumpul dan pengangkut sampah untuk masuk dan keluar dari lokasi pemindahan,
dan tidak jauh dari sumber sampah. Pemrosesan sampah atau pemilahan sampah
dapat dilakukan di lokasi ini, sehingga sarana ini dapat berfungsi sebagai lokasi
pemrosesan tingkat kawasan. Pemindahan sampah dilakukan oleh petugas
kebersihan, yang dapat dilakukan secara manual atau mekanik atau kombinasi
misalnya pengisian kontainer ke atas truk dilakukan secara mekanis (load haul).
2.3.1.4 Pengangkutan sampah
Pengangkutan adalah kegiatan pengangkutan sampah yang telah
dikumpulkan di tempat penampungan sementara atau dari tempat sumber sampah ke
tempat pembuangan akhir. Berhasil tidaknya penanganan sampah juga tergantung
pada sistem pengangkutan yang diterapkan. Pengangkutan sampah yang ideal adalah
dengan truk kontainer tertentu yang dilengkapi alat pengepres (SNI 19-2454-2002).
Pengangkutan sampah adalah sub-sistem yang bersasaran membawa sampah dari
lokasi pemindahan atau dari sumber sampah secara langsung menuju tempat
pemrosesan akhir, atau TPA. Pengangkutan sampah merupakan salah satu komponen
penting dan membutuhkan perhitungan yang cukup teliti, dengan sasaran
mengoptimalkan waktu angkut yang diperlukan dalam sistem tersebut, khususnya
1. Terdapat sarana pemindahan sampah dalam skala cukup besar yang harus
menangani sampah.
2. Lokasi titik tujuan sampah relatif jauh.
3. Sarana pemindahan merupakan titik pertemuan masuknya sampah dari
berbagai area.
4. Ritasi perlu diperhitungkan secara teliti.
5. Masalah lalu-lintas jalur menuju titik sasaran tujuan sampah.
Persyaratan alat pengangkut sampah antara lain adalah:
1. Alat pengangkut sampah harus dilengkapi dengan penutup sampah,
minimal dengan jaring.
2. Tinggi bak maksimum 1,6 m.
3. Sebaiknya ada alat ungkit.
4. Kapasitas disesuaikan dengan kondisi/kelas jalan yang akan dilalui.
5. Bak truk/dasar kontainer sebaiknya dilengkapi pengaman air sampah.
Alat angkut mekanis yang digunakan pada kawasan perkotaan memiliki
kelebihan dan kekurangan berikut jenis peralatan pengangkutan sampah perkotaan
Tabel 2.3 Jenis Peralatan Pengangkutan Sampah Perkotaan
Jenis Peralatan
Konstruksi/ bahan
Kelebihan Kelemahan Catatan
1 2 3 4 5 Truk biasa terbuka - Bak konstruk si kayu. - Bak konstruk si plat besi
- Harga relatif murah. - Perawatan relatif
lebih mudah dan murah. - Kurang sehat. - Memerlukan waktu pengoperasian le- bih lama. - Estetika kurang. - Banyak dipa kai di Indo nesia. - Diperlukan tenaga le- bih banyak. Dump truk / tipper truk
- Bak plat baja. - Dump truk de ngan ketinggi an bak peng - angkutnya
- Tidak diperlukan- banyak tenaga kerja pada saat pembong karan.
- Pengoperasian lebih efisien dan efektif.
- Perawatan lebih sulit.
- Kurang sehat - Kurang estetis. - Relatif lebih mudah berkarat.
- Sulit untuk pemua tan Perlu modifika si bak. Arm roll truk Truk untuk meng angkut membawa kontainer-kontai ner hidrolis
- Praktis dan cepat da-lam pengoperasian - Tidak diperlukan
te-naga kerja yang ba-nyak.
Lebih bersih dan se -hat.
- Estetika baik. - Penempatan lebih
fleksibel.
- Hidrolis sering rus- ak.
- Harga relatif mahal. - Biaya perawatan lebih mahal. - Diperlukan lokasi (areal) untuk penem patan dan pengang katan.
Cocok pada lokasi-lokasi dengan jum- lah sam pah yang relatif banyak. Compac - tor truk Truk dilengkapi dengan alat pemadat sampah
- Volume sampah te- rang kut lebih ba -nyak
- Lebih bersih dan hygienis
- Estetika baik. - Praktis dalam pengo
perasian.
- Tidak diperlukan ba nyak tenaga kerja
- Harga relatif mahal. - Biaya investasi dan pemeliharaan lebih mahal.
- Waktu pengumpulan Lama, bila untuk sistem door to door.
Cocok untuk pengumpulan dan angkutan secara komu nal.
Tabel 2.3 (Lanjutan)
Jenis Peralatan
Konstruksi/ bahan
Kelebihan Kelemahan Catatan
1 2 3 4 5 Multi loader Truk untuk meng angkat / memba wa kontainer-kontainer secara hidrolis
- Praktis dan cepat da lam pengoperasian. - Tidak diperlukan ba- nyak tenaga kerja.
- Hidrolis sering rusak. - Diperlukan lokasi (areal) untuk penem patan dan pengang katan.
- Cocok pada lokasilokasi dengan pro- duksi sam pah yang relatif banyak. - Pernah digu nakan di Makasar. Truk crane Mobil pe -nyapu jalan (street sweeper Truk dilengka pi dengan alat pengangkat sampah. Truk yang di lengkapi deng an alat penghi sap sam pah.
- Tidak memerlukan ba nyak tenaga untuk menaikan sampah ke truk.
- Cocok untuk meng angkut sampah yang besar (bulky waste).
- Pengoperasian lebih cepat.
- Sesuai untuk jalan – jalan protokol yang memerlukan pekerja
an cepat.
- Estetis dan higienis. - Tidak memerlukan tenaga kerja yang banyak.
- Hidrolis sering rusak. - Sulit digunakan di da erah yang jalannya sempit dan tidak tera tur.
- Harga lebih mahal. Perawatan lebih ma
-hal
- Belum memungkin kan untuk kondisi jalan di Indonesia umumnya Telah diguna kan di DKI Jakarta. Baik untuk jalan–jalan utama yang rata, tidak berbatu dan dengan batas jalan yang baik.
Sumber: Enry Damanhuri, 2003
Pengangkutan sampah menurut UU no 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan
Sampah, merupakan bagian dari penanganan sampah. Pengangkutan didefinisikan
sebagai bentuk membawa sampah dari sumber dan/atau dari tempat penampungan
atau tempat pemrosesan akhir. Beberapa acuan normatif juga mencantumkan tentang
pengaturan pengangkutan sampah, antara lain:
1. Pedoman Standar Pelayanan Minimal, Pedoman Penentuan Standar
Pelayanan Minimal Bidang Penataan Ruang, Perumahan dan Permukiman
dan Pekerjaan Umum (Keputusan Menteri Permukiman Dan Prasarana
Wilayah No. 534/KPTS/M/2001). Pedoman ini mencakup pelayanan
minimal untuk pengelolaan sampah secara umum dalam wilayah
pemukiman perkotaan dimana 80% dari total jumlah penduduk terlayani
terkait dengan pengelolaan sampah. Khusus untuk pengangkutan
dicantumkan bahwa jenis alat angkut mempengaruhi pelayanan, sebagai
berikut:
a. Truk sampah dengan kapasitas 6 m³ dapat melayani pengangkutan
untuk 700 KK-1000 KK sedangkan dengan kapasitas 8m3 untuk 1500
KK–2000 KK (jumlah ritasi 2-3/hari).
b. Arm roll truck dengan kontainer 8 m³ juga dapat melayani 2000
KK-3000 KK (jumlah ritasi 3-5/hari).
c. Compactor truck 8m3 mampu melayani 2500 KK.
2. SNI 19-2454-2002, Tata cara teknik operasional pengelolaan sampah
perkotaan. SNI ini mengatur tentang pola pengangkutan dan operasional
3. SNI 03-3243-2008, Pengelolaan sampah pemukiman. SNI mengatur
tentang kebutuhan sarana untuk pengangkutan sampah yang dipengaruhi
oleh tipe rumah dan tingkat pelayanan serta jenis alat angkut.
Bila mengacu pada metode pengangkutan sampah yang digunakan pada
beberapa negara maju, maka metode pengangkutan sampah dapat dilakukan dengan
dua metode yaitu:
1. Metode Hauled Container System (HCS).
2. Metode Stationery Cuntainer System (SCS).
Metode Hauled Container System adalah sistem pegumpulan sampah yang
wadah pengumpulnya bisa berpindah-pindah dan ikut dibawa ke tempat pembuangan
akhir. HCS merupakan sistem wadah angkut untuk daerah komersil.
Untuk menghitung waktu ritasi dari sumber ke TPS atau TPA:
THCS = ( PHCS+S+h) ... (2.1)
Keterangan:
THCS = waktu per ritasi (jam/rit)
PHCS = waktu pengambilan (jam/rit)
S = waktu di tempat (TPS atau TPA) untuk bongkar muat (jam/rit)
h = waktu pengangkutan dari sumber → TPS atau TPA P dan S relative konstan
h tergantung kecepatan dan jarak dapat di hitung dengan:
h=a+bx ...(2.2)
dimana: a = jam /ritasi
b = Jam /jarak
x = jarak pulang pergi (km)
sehingga:
THCS = PHCS + S + a + bx ...(2.3)
PHCS = pc + uc + dbc ...(2.4)
Keterangan:
PHCS = waktu pengambilan/rit
pc = waktu untuk mengangkut kontainer isi (jam/rit)
uc = waktu untuk mengosongkan kontainer
dbc = waktu untuk menempuh jarak dari kontainer ke kontainer lain (jam/rit)
Catatan: pada pelayanan dengan gerobak lain → PHCS = waktu mengambil sampai mengembalikan bin kosong di TPS.
Jumlah ritasi kendaraan perhari ntuk sistem HCS dapat dihitung dengan:
...(2.5)
[
)
]
. ) ( 1 ( 1 2 HCS T t t w H Nd = − − +Keterangan:
Nd = jumlah ritasi/hari (rit/hari)
H = waktu kerja (jam/hari)
w = off route faktor (waktu hambatan → sebagai friksi)
t1 = waktu dari pool kendaraan (garasi) ke kontainer 1 pada hari kerja
(jam)
t2 = waktu dari kontainer terakhir ke garasi (jam)
THCS = waktu pengambilan/ritasi (jam/rit)
Jumlah ritasi dapat dibandingkan dengan perhitungan atas jumlah sampah
terkumpul/hari.
...(2.6)
Keterangan:
Vd = jumlah sampah terkumpul (volume/hari)
c = ukuran rata-rata kontainer (volume/hari)
f = faktor penggunaan kontainer
Metode Stationery Container System (SCS) adalah sistem pengumpulan
sampah yang wadah pengumpulannya tidak dibawa berpindah-pindah (tetap). Wadah
pengumpulan ini dapat berupa wadah yang dapat diangkat atau yang tidak dapat
. . f c Vd
diangkat. SCS merupakan sistem wadah tinggal ditujukan untuk melayani daerah
pemukiman.
Untuk stationary container system dengan mechanical loaded collection
vehicles, maka:
TSCS = (PSCS + s + a + bx) ...(2.7)
PSCS = CT (Uc) + (np-1)(dbc) ...(2.8)
Keterangan:
CT = jumlah kontainer yang dikosongkan/rit (kontainer/rit).
Uc = waktu pengosongan kontainer (jam/rit).
Np = jumlah lokasi kontainer yang diambil per rit (lokasi/rit).
Dbc = waktu terbuang untuk bergerak dari satu lokasi ke lokasi kontainer
lain (jam/lokasi).
Jumlah kontainer yang dikosongkan per ritasi pengumpulan:
...(2.9)
Keterangan:
CT = jumlah kontainer yang dikosongkan/rit (kontainer/rit).
V = volume mobil pengumpul (m3/rit).
R = rasio kompaksi.
.
.
.
f
c
R
V
C
T=
C = volume kontainer (m3/kontainer).
f = faktor penggunaan kontainer
...(2.10)
Dimana:
Vd = jumlah sampah yang dikumpulkan/hari (m³/hari)
W = waktu yang diperlukan perhari
2.3.1.5 Pembuangan akhir sampah
Tempat pembuangan sampah akhir (TPA) adalah sarana fisik untuk
berlangsungnya kegiatan pembuangan akhir sampah. Tempat menyingkirkan sampah
kota sehingga aman (SK SNI T-11-1991-03). Pembuangan akhir merupakan tempat
yang disediakan untuk membuang sampah dari semua hasil pengangkutan sampah
untuk diolah lebih lanjut. Prinsip pembuangan akhir adalah memusnahkan sampah
domestik di suatu lokasi pembuangan akhir. Jadi tempat pembuangan akhir
merupakan tempat pengolahan sampah. Menurut SNI 19-2454-2002 tentang teknik
operasional pengelolaan sampah perkotaan, secara umum teknologi pengolahan
sampah dibedakan menjadi 3 (tiga) metode yaitu: Open Dumping, Sanitary Landfill,
Controlled Landfill.
.
.
f
c
Vd
Nd
=
a. Metode Open Dumping
Metode open dumping ini merupakan sistem pengolahan sampah dengan
hanya membuang/menimbun sampah disuatu tempat tanpa ada
perlakuan khusus atau sistem pengolahan yang benar, sehingga sistem
open dumping menimbulkan gangguan pencemaran lingkungan. Pada Gambar 2.8 menunjukan pola operasional open dumping di TPA
Keumuning Kota Langsa, pembuangan sampah langsung pada sekitar
kawasan TPA tidak pada tempat pengolahan sampah yang telah
disediakan oleh Pemerintah Kota Langsa.
Gambar 2.8 Sistem Operasional Open Dumping TPA Keumuning Langsa Sumber: BLHKP Kota Langsa 2010
b. Sanitary Landfill
Metode pembuangan akhir sampah yang dilakukan dengan cara sampah
ditimbun dan dipadatkan, kemudian ditutup dengan tanah sebagai
lapisan penutup. Pekerjaan pelapisan tanah penutup dilakukan setiap
hari pada akhir jam operasi. Gambar 2.9 menunjukan metode sanitary
landfill yang sudah ada pada TPA Keumuning Kota Langsa yang belum dimanfatkan dengan optimal akibat kekurangan sarana dan prasarana
pendukung pada TPA.
Gambar 2.9 Sanitary Landfill TPA Keumuning Langsa Sumber: Dokumentasi penulis 2010
c. Controlled Landfill
Metode controlled landfill adalah sistem open dumping yang diperbaiki yang
merupakan sistem pengalihan open dumping dan sanitary landfill yaitu
dengan penutupan sampah dengan lapisan tanah dilakukan setelah TPA penuh
2.3.2 Aspek kelembagaan
Aspek organisasi dan manajemen merupakan suatu kegiatan yang multi
disiplin yang bertumpu pada prinsip teknik dan manajemen yang menyangkut
aspek-aspek ekonomi, sosial, budaya, dan kondisi fisik wilayah kota dan memperhatikan
pihak yang dilayani yaitu masyarakat kota. Perancangan dan pemilihan bentuk
organisasi disesuaikan dengan:
a. Peraturan pemerintah yang membinanya.
b. Pola sistem operasional yang diterapkan.
c. Kapasitas kerja sistem.
d. Lingkup pekerjaan dan tugas yang harus ditangani.
Bentuk kelembagaan pengelolan sampah kota sangat tergantung dengan
jumlah penduduk dan kemampuan kota tersebut dalam mengelola sampahnya, seperti
dijelaskan pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4 Bentuk Kelembagaan Pengelolaan Sampah
No Kategori Kota Jumlah Penduduk
(jiwa) Bentuk Kelembagaan
1. Kota Raya (metropolitan) Kota Besar
> 1.000.000 500.000 - 1.000.000
Perusahaan daerah atau dinas tersendiri 2. Kota Sedang I 250.000 - 500.000 Dinas sendiri
3. Kota Sedang II 100.000 - 250.000 Dinas/suku dinas UPTD/PU Seksi/PU
Tabel 2.4 (Lanjutan)
No Kategori Kota Jumlah Penduduk
(jiwa)
Bentuk Kelembagaan
4. Kota Kecil 20.000 - 100.000 UPTD/PU
Seksi/PU
Sumber: SNI T-13-1990
Kebijakan yang diterapkan di Indonesia dalam mengelola sampah kota secara
formal adalah seperti yang diarahkan oleh Departemen Pekerjaan Umum sebagai
departemen teknis yang membina pengelola persampahan perkotaan di Indonesia.
Bentuk institusi pengelolaan persampahan kota yang dianut di Indonesia:
a. Seksi kebersihan di bawah satu dinas, misalnya Dinas Pekerjaan Umum
(PU) terutama apabila masalah kebersihan kota masih bisa ditanggulangi
oleh suatu seksi di bawah dinas tersebut.
b. Di Kota Langsa sesuai sebagai pelaksana pengelolaan sampah dilakukan
oleh Badan Lingkungan Hidup Kebersihan dan Pertamanan.
2.3.3 Aspek pembiayaan
Manajemen persampahan adalah merupakan suatu public utility yang
seharusnya dibiayai dari publik, tetapi untuk sementara waktu sebagian besar
pembiayaan masih dari pemerintah. Karena pendapatan tidak bisa menutupi biaya
pengelolaan sampah. Sesuai dengan perkembangan pelayanan kota, disarankan untuk
mengembangkan prinsip pembiayaan yang berbasis masyarakat (Jones, 1983 dalam
1991-03) maka biaya pengelolaan persampahan diusahakan diperoleh dari masyarakat
(80%) dan Pemerintah Daerah (20%) yang digunakan untuk pelayanan umum antara
lain: penyapuan jalan, pembersihan saluran dan tempat-tempat umum. Sedangkan
dana pengelolaan persampahan suatu kota besarnya disyaratkan minimal +/- 10% dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Besarnya retribusi sampah
didasarkan pada biaya operasional pengelolaan sampah, di Indonesia besar retribusi
yang dapat ditarik dari masyarakat setiap rumah tangga besarnya +/-0,5% dan
maksimum 1% dari penghasilan per rumah tangga per bulan.
Perbandingan biaya pengelolaan dari biaya total pengelolaan sampah adalah
biaya pengumpulan 20%-40%, biaya pengangkutan 40%-60%, biaya pembuangan
20%-40%. Ada beberapa mekanisme yang bisa diberlakukan dalam upaya
peningkatan pendapatan dan mencapai cost recovery, yaitu:
a. Penetapan perundang-undangan, metode perpajakan yang relatif mudah
dalam pengurusan secara adminitrasi maupun penyelenggaraannya.
b. Penetapan prosedur administrasi yang efektif, dengan menetapkan aturan
pajak dan taksiran pajak yang tidak rumit, didasarkan pada ukuran–
ukuran yang obyektif.
2.3.4 Aspek peraturan/hukum
Aspek peraturan didasarkan atas kenyataan bahwa negara Indonesia adalah
Manajemen persampahan kota di Indonesia membutuhkan kekuatan dan dasar
hukum, seperti dalam pembentukan organisasi, pemungutan retribusi, ketertiban
masyarakat, dan sebagainya. Peraturan yang diperlukan dalam penyelenggaraan
sistem pengelolaan sampah di perkotaan antara lain adalah yang mengatur tentang:
a. Ketertiban umum yang terkait dengan penanganan sampah.
b. Rencana induk pengelolaan sampah kota.
c. Bentuk lembaga dan organisasi pengelola.
d. Tata-cara penyelenggaraan pengelolaan.
e. Besaran tarif jasa pelayanan atau retribusi.
f. Kerjasama dengan berbagai pihak terkait, diantaranya kerjasama antar
daerah, atau kerjasama dengan pihak swasta.
Prinsip aspek peraturan pengelolaan persampahan di daerah berupa
peraturan-peraturan daerah yang merupakan dasar hukum pengelolaan persampahan yaitu:
peraturan daerah mengenai lembaga pengelola persampahan, peraturan daerah
tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah yang berhubungan dengan penentuan
lokasi TPA, dan peraturan daerah tentang retribusi sampah.
2.3.4.1 Pengelolaan sampah dalam Undang-undang No 18 Tahun 2008
Menurut UU-18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, terdapat 2 kelompok
1. Pengurangan sampah (waste minimization), yang terdiri dari pembatasan
terjadinya sampah (R1), guna-ulang (R2) dan daur-ulang (R3)
2. Penanganan sampah (waste handling), yang terdiri dari:
a. Pemilahan: dalam bentuk pengelompokan dan pemisahan sampah sesuai
dengan jenis, jumlah, dan/atau sifat sampah.
b. Pengumpulan: dalam bentuk pengambilan dan pemindahan sampah dari
sumber sampah ke tempat penampungan sementara atau tempat
pengolahan sampah terpadu.
c. Pengangkutan: dalam bentuk membawa sampah dari sumber dan/atau dari
tempat penampungan sampah sementara atau dari tempat pengolahan
sampah terpadu menuju ke tempat pemrosesan akhir.
d. Pengolahan: dalam bentuk mengubah karakteristik, komposisi, dan
jumlah sampah.
UU-18/2008 ini menekankan bahwa prioritas utama yang harus dilakukan
oleh semua pihak adalah bagaimana agar mengurangi sampah semaksimal mungkin.
Bagian sampah atau residu dari kegiatan pengurangan sampah yang masih tersisa
selanjutnya dilakukan pengolahan (treatment) maupun pengurugan (landfilling).
a. Pembatasan (reduce): mengupayakan agar limbah yang dihasilkan
sesedikit mungkin.
b. Guna-ulang (reuse): bila limbah akhirnya terbentuk, maka upayakan
memanfaatkan limbah tersebut secara langsung.
c. Daur-ulang (recycle): residu atau limbah yang tersisa atau tidak dapat
dimanfaatkan secara langsung, kemudian diproses atau diolah untuk dapat
dimanfaatkan, baik sebagai bahan baku maupun sebagai sumber energi.
2.3.4.2 Peraturan menteri
Peraturan menteri pekerjaan umum Nomor: 21/prt/m/2006 Tentang
Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Sistem Pengelolaan Persampahan
(KSNP-SPP) Tahun 2006, digunakan sebagai pedoman untuk pengaturan,
penyelenggaraan, dan pengembangan sistem pengelolaan persampahan yang ramah
lingkungan, baik ditingkat pusat, maupun daerah sesuai dengan kondisi daerah
setempat.
2.3.4.3 SNI (Satuan Standard Indonesia) 19-2454-2002
Salah satu kebijakan pemerintah dalam pengelolaan sampah adalah dengan
diterbitkannya SNI 19-2454-2002 tentang tata cara teknik operasional pengelolaan
sampah kota yang mana bertujuan sebagai dasar dalam pengelolaan teknik
2.3.5 Aspek peran masyarakat
Peran masyarakat sangat penting karena fungsi awalnya adalah produksi
timbulan sampah oleh masyarakat, sehingga apabila produktivitas sampah tinggi
(banyak) akan menuntut proses pengelolaan yang tinggi (mahal) juga.
Menurut Louise et.al dalam Irman (2004:51), peran serta masyarakat adalah
melibatkan masyarakat dalam tindak-tindak administrator yang mempunyai pengaruh
langsung terhadap mereka. Peran serta masyarakat sangat erat kaitannya dengan
kekuatan atau hak masyarakat, terutama dalam pengambilan keputusan dalam tahap
identifikasi masalah, mencari pemecahan masalah sampai dengan pelaksanaan
berbagai kegiatan pembangunan. Peran serta masyarakat dalam pengelolaan sampah
dapat diartikan sebagai keikutsertaan, keterlibatan masyarakat dalam kegiatan
pengelolaan sampah baik langsung maupun tidak langsung.
Dari uraian di atas, pengertian peran serta masyarakat dalam bidang
persampahan adalah keterlibatan masyarakat atau kelompok masyarakat baik pasif
maupun aktif untuk mewujudkan kebersihan baik bagi diri sendiri maupun
lingkungan. Permasalahan sampah perkotaan sudah menjadi masalah/beban seluruh
pengelola kota, sehingga penanganan sampah di kota-kota tidak saja manjadi
tanggung jawab pemerintah daerah yang bersangkutan, tetapi juga merupakan
Peran minimal yang dapat dilakukan oleh masyarakat adalah mereduksi
jumlah sampah dengan penerapan prinsip 4 R (Reduce, Reuse, Recycle, Replace),
menyiapkan wadah sampah sesuai dengan jenis sampah (organik, non organic).
2.3.5.1 Masyarakat dalam pengelolaan persampahan
Di Indonesia keanekaragaman masyarakat tidak saja ditemukan dalam
dimensi ragam budaya, atau kelas-kelas sosial yang berbeda, tetapi juga dalam pola
pemikiran, kepercayaan dan tingkah laku dari kelompok-kelompok dan individu
(Hull, 2006:208).
Dalam pengelolaan persampahan, masyarakat mempunyai posisi yang unik,
sebagai individu masyarakat bersifat private artinya apapun yang dilakukan terhadap
sampah tersebut sepenuhnya terserah pada kehendaknya. Namun ketika sampah
tersebut telah dibuang kearea non private (lingkungan) maka sifatnya berubah
menjadi bersifat publik, sehingga sampah berubah menjadi urusan publik, yang dapat
diartikan sebagai urusan Pemerintah (Teguh,2007).
Masyarakat sebagai sumber sekaligus penerima hasil pengelolaan
persampahan mempunyai peranan yang sangat penting terhadap keberhasilan
pengelolaan sampah. Dimana sebagai sumber mereka berarti dapat menentukan
sampah seperti apa yang mereka hasilkan. Sebagai penerima manfaat berarti dapat
Dalam sistem pengelolaan persampahan, masyarakat yang dimaksud adalah
masyarakat dalam artian sesungguhnya, dan dunia usaha (swasta) yang berada dalam
lingkungan masyarakat, atau dengan kata lain adalah individu maupun kelompok
yang berada diluar posisi pemerintah.
2.4 Kedudukan Sistem Pengelolaan Persampahan dalam Tata Ruang Kota
Kota yang selalu berkembang dari tahun ke tahun dan dengan segala aktivitas
penduduknya memerlukan pelayanan dari pemerintah kota sebagai pengelola
pembangunan kota. Seiring dengan kondisi tata ruang dari waktu ke waktu akan
mengakibatkan tuntutan pemenuhan kebutuhan penduduk akan sarana dan prasarana
semakin meningkat termasuk dalam hal persampahan. Apabila berbicara tentang tata
ruang kota, sebenarnya ialah berbicara tentang alokasi materi di dalam ruang,
sehingga akan menyangkut besaran apa dan dimana. Setiap besaran di dalam ruang
tersebut apa dan dimana selalu bergerak dari penduduk (jumlah penduduk) dan
standar tingkat kesejahteraannya. Pemerintah daerah pada umumnya memiliki garis
kebijakan dasar dalam hal pengelolaan ruang kota yang tertuang di dalam Rencana
Tata Ruang Kota setempat dengan berbagai tingkatan wilayah dan kandungan materi
yang menyertainya. Tata Ruang Kota adalah sebuah sistem besar di dalam kota,
dimana didalamnya terdiri dari beberapa subsistem penyusunnya, yaitu: sub sistem
perumahan, pendidikan, kesehatan, keagamaan, pelayanan umum (perkantoran),
transportasi kota, drainase kota, pariwisata, kelembagaan, dan pembiayaan. Idealnya
tiap subsistem diatas memiliki arahan kebijakan tersendiri (kebijakan sektoral) yang
saling terpadu dan terintegrasi dalam hal alokasi besarannya didalam ruang sesuai
dengan kebutuhan penduduk kota. Wujud keterpaduan tersebut idealnya akan
tertuang di dalam Rencana Tata Ruang Kota (RTRK).
Hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan pengelolaan sampah selain
pengumpulan, pengangkutan, dan pembuangan, termasuk didalamnya adalah
penyediaan peralatan yang digunakan, tehnik pelaksanaan pengelolaan dan
administrasi. Hal ini bertujuan untuk keberhasilan pelaksanaan pengelolaan sampah.
Dalam pengelolaan sampah terpadu sebagai salah satu upaya pengelolaan
sampah perkotaan adalah konsep rencana pengelolaan sampah perlu dibuat dengan
tujuan mengembangkan suatu sistem pengelolaaan sampah yang modern, dapat
diandalkan dan efisien dengan teknologi yang ramah lingkungan. Dalam sistem
tersebut harus dapat melayani seluruh penduduk, meningkatkan standar kesehatan
masyarakat dan memberikan peluang bagi masyarakat dan pihak swasta untuk
berpartisipasi aktif.
Defenisi manajemen untuk pengelolaan sampah di negara-negara maju
diungkapkan oleh Tchobanoglous, yang merupakan gabungan dari kegiatan
pengontrolan jumlah sampah yang dihasilkan, pengumpulan, pemindahan,
kesehatan, ekonomi, teknik, konservasi, dan mempertimbangan lingkungan yang juga
responsif terhadap kondisi masyarakat yang ada.
2.4.1 Konsep pengelolaan sampah 3R
Pengolahan sampah adalah suatu upaya untuk mengurangi volume sampah
atau merubah bentuk sampah menjadi sesuatu yang bermanfaat dengan berbagai
macam cara. Teknik pengolahan sampah yang pada awalnya menggunakan
pendekatan kumpul-angkut-buang, kini telah mulai mengarah pada pengolahan
sampah berupa reduce-reuse-recycle (3R). Reduce berarti mengurangi volume dan
berat sampah, reuse berarti memanfaatkan kembali dan recycle berarti daur ulang
sampah. Teknik pengolahan sampah dengan pola 3R, secara umum adalah sebagai
berikut:
1. Reduce (pengurangan volume)
Ada beberapa cara untuk melakukan pengurangan volume sampah, antara
lain:
a. Incenerator (pembakaran)
Merupakan proses pengolahan sampah dengan proses oksidasi, sehingga
menjadi kurang kadar bahayanya, stabil secara kimiawi serta
memperkecil volume maupu berat sampah yang akan dibuang ke lokasi
b. Balling (pemadatan)
Merupakan sistem pengolahan sampah yang dilakukan dengan pemadatan
terhadap sampah dengan alat pemadat yang bertujuan untuk mengurangi
volume dan efisiensi transportasi sampah.
c. Composting (pengomposan)
Merupakan salah satu sistem pengolahan sampah dengan
mendekomposisikan sampah organik menjadi material kompos, seperti
humus dengan memanfaatkan aktivitas bakteri.
d. Pulverization (penghalusan)
Merupakan suatu cara yang bertujuan untuk mengurangi volume,
memudahkan pekerjaan penimbunan, menekan vektor penyakit serta
memudahkan terjadinya pembusukan dan stabilisasi.
2. Reuse
Reuse adalah pemanfaatan kembali atau mengguanakan kembali
bahan-bahan dari hasil pembuangan sampah menjadi bahan-bahan yang dapat di
pergunakan kembali. misalnya sampah konstruksi bangunan.
3. Recycle
Recycle adalah kegiatan pemisahan benda-benda anorganik (misalnya: botol-botol bekas, kaleng, kardus, dan lainnya) dari tumpukan sampah
untuk diproses kembali menjadi bahan baku atau barang yang lebih
2.4.2 Stakeholders pengelola sampah kota
Dalam pengelolaan persampahan skala kota yang rumit, terdapat beragam
stakeholders yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung. Setiap stakeholders berperan sesuai dengan posisinya masing-masing. Dalam skala kota, peran
Pemerintah Kota dalam mengelola sampah sangatlah penting, dan pengelolaan
sampah merupakan salah satu tugas utamanya sebagai bentuk pelayanan yang
merupakan bagian dari infrastruktur kota tersebut. Stakeholders utama yang biasa
terdapat dalam pengelolaan sampah di Indonesia antara lain:
a. Pengelola kota yang biasanya bertindak sebagai pengelola sampah;
b. Institusi swasta (non-pemerintah) yang berkarya dalam pengelolaan sampah;
c. Institusi swasta yang terkait secara langsung dengan persoalan sampah, seperti
produsen yang menggunakan pengemas bagi produknya;
d. Masyarakat atau institusi penghasil sampah yang menggantungkan
penanganan sampahnya pada sistem yang berlaku di sebuah kota;
e. Institusi non-pemerintah yang bergerak dalam pengelolaan sampah, termasuk
aktivitas daur-ulang, seperti swasta, LSM, pengelola real estate, yang
aktivitasnya perlu berkoordinasi dengan pengelola sampah kota;
f. Masyarakat yang bertindak secara individu dalam penanganan sampah, baik
secara langsung maupun tidak langsung, misalnya kelompok pemulung yang
memanfaatkan sampah sebagai sumber penghasil;
2.5 Pengelolaan Sampah Perkotaan Negara Lain
2.5.1 Pengelolaan sampah di Taiwan
Taiwan adalah salah satu negara yang berhasil dalam melibatkatkan peran
masyarakat dalam mengurangi sampah, kesadaran masyarakat ini karena
pemerintahnya menerapkan metode municipal waste (sampah rumah tangga) yaitu
kebijakan pemerintah Taiwan yang tidak menggunakan tempat sampah komunal
sehingga menyebabkan masyarakat secara aktif membuang sampah rumah tangga
dengan menunggu truk sampah yang telah terjadwal baik pada pagi dan malam hari
seperti yang terlihat pada Gambar 2.10.
Gambar 2.10 Aktivitas Warga Taiwan Membuang Sampah Sumber: http//taiwan culture portal.com
Pemandangan warga Taiwan berduyun-duyun menunggu truk sampah yang
dibuat menarik karena diiringi dengan musik sebagai penanda jadwal pembuangan
dari kebijakan penggunan plastik belanjaan yang tidak gratis, sehingga masyarakat
berbelanja membawa kantong plastik sendiri.
Kebanyakan tempat sampah di Taiwan sudah diklasifikasikan menurut
sampahnya: organik, kertas, kaleng, botol, e-waste (sampah elektronik), baterai, dan
general waste. Jika tidak komplit pun, tempat sampah yang paling standar biasanya ada dua: recyclable dan non-recyclable.
Dalam pemprosesan akhir sampah Taiwan memiliki pembakaran
(incineration) adalah metode utama pengolahan municipal waste, terutama yang
padat, sedangkan metode landfill di gunakan tidak sebagai prioritas, Taiwan
memiliki lebih dari 20 incinerator
Curitiba adalah ibukota Provinsi Parana Brazil. Kota ini terletak di Brazil
bagian tenggara, jaraknya sekitar 1.081 km dari ibu kota Brazil. Luas Kota Curitiba
430 kilometer persegi. Sensus tahun 2010 menunjukkan penduduk Kota Curitiba
berjumlah 2.469.489 jiwa
di seluruh penjuru pulau, dan semuanya adalah
tipe waste-to-energy, panas yang dihasilkan dikonversi menjadi listrik dan dijual
kembali, incinerator tersebut terbuka untuk umum dan anak-anak sehingga mereka
bisa belajar tentang pengolahan sampah.
2.5.2 Pengelolaan sampah di Kota Curitiba Brazil
Sebagaimana kota-kota besar lain diseluruh dunia, Kota Curitiba juga
sampah. Jumlah penduduk Kota Curitiba yang besar menghasilkan volume sampah
yang besar pula. Namun demikian Kota Curitiba tidak terpuruk dalam permasalahan
sampah. Pada tahun 1989 Kota Curitiba memulai inovasi pengelolaan sampah yang
ekonomis dan berwawasan lingkungan yang diberi tajuk “Garbage that is not
Garbage” (Sampah yang Bukan Sampah). Inovasi pengelolaan sampah tersebut dapat mendaur ulang 70% sampah Kota Curitiba dan 90% penduduknya berpartisipasi
dalam program daur ulang sampah. Upaya tersebut diapresiasi oleh United Nations
Environment Programme (UNEP) yang pada tahun 1990 memberikan penghargaan
tertinggi bidang lingkungan hidup pada Kota Curitiba (Keuhn 2007, Fazzano &
Weiss 2004). Adapun inovasi tersebut antara lain adalah:
1. Pembelian sampah dari masyarakat (
Pada tahun 1989, Kota Curitiba membutuhkan pabrik daur ulang sampah.
Sayangnya pendirian pabrik tersebut membutuhkan dana 70 juta US
dollar sementara itu pemerintah Kota Curitiba tidak memiliki dana
sebesar itu. Sebagai solusinya, pemerintah melakukan kampanye
pemilahan sampah berdasarkan kategori organik dan non organik.
Pelaksanaan kampanye program tersebut dibantu oleh Institute for Social
Integration. Program ini selain bertujuan untuk memelihara kebersihan kota juga dapat mengurangi pengangguran karena melibatkan 16.000
pengumpul sampah independent yang dibayar setiap akhir pekan atau
akhir bulan setelah mengumpulkan sampah dari 25 area tertentu yang the garbage purchase)
sulit diakses truk pengangkut sampah. Setiap bulan ada 555 ton sampah
yang dibeli melalui program ini. Pengumpul sampah independent
berfungsi untuk membantu 2.000 petugas kebersihan resmi yang
dipekerjakan oleh pemerintah Kota Curitiba. Di Curitiba pengumpul
sampah independent mendapat posisi terhormat karena bekerja keras
menjaga kebersihan kota dan mereka merupakan komponen ekonomi
yang penting (Rabinovitch & Leitman, 1996; Keuhn, 2007).
2. Penukaran sampah (
Program yang dimulai pada tahun 1991 ini ditujukan bagi masyarakat
berpendapatan rendah. Kegiatannya adalah mengumpulkan, memilah dan
menukar sampah rumah tangga dengan barang kebutuhan sehari-hari
seperti tiket bis, buku tulis bagi anak sekolah, dan bahan makanan.
Disediakan 97 lokasi penukaran sampah yang berpindah setiap dua
minggu sekali. Dalam perkembangannya pemerintah Kota Curitiba
mengeluarkan kebijakan menukar sampah dengan buah dan sayuran segar,
terlihat pada Gambar 2.11.
Gambar 2.11 Aktivitas Warga Curitiba Menukar Sampah Sumber http: green kompasiana.com/29 september 2012
Pemerintah Kota Curitiba membeli buah dan sayuran segar dari petani
lokal. Melalui program ini setiap hari ada sekitar 9 ton sampah yang
berhasil dikumpulkan masyarakat Kota Curitiba (Martins 2007 dalam