• Tidak ada hasil yang ditemukan

Membaca dinamika identitas sosial di Pekalongan lewat batik motif buketan (flora motif) - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Membaca dinamika identitas sosial di Pekalongan lewat batik motif buketan (flora motif) - USD Repository"

Copied!
233
0
0

Teks penuh

(1)

MEMBACA DINAMIKA IDENTITAS SOSIAL DI PEKALONGAN LEWAT BATIK MOTIF BUKETAN (FLORAL MOTIF)

TESIS

Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora (M.Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya,

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Oleh:

KARINA RIMA MELATI NIM: 07 6322 001

PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA FAKULTAS PASCA SARJANA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

Lembar Pernyataan

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, Karina Rima Melati, NIM: 07 6322 001, dengan ini menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya yang pernah ditulis oleh orang lain kecuali yang diacu secara tertulis dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Yogyakarta, 7 Oktober 2011

(5)
(6)

KATA PENGANTAR

Batik tulis selalu mengingatkan saya pada sebuah pengalaman akan arti sebuah kesabaran. Kesabaran yang tidak hanya pada lelaku saja, namun kesabaran untuk bisa menikmati setiap jengkal keindahan dan cerita yang termuat dalam selembarnya. Saya teringat, sedari kecil tiap ibu saya memamerkan kain batik koleksinya, ia selalu berkata untuk menciumnya aroma lilin malam, cermati ragam hias dalam motifnya dan membiarkan kulit untuk bersentuhan dengan permukaan batik itu. Maka tiap kali dihadapkan pada batik, saya akan tergugah pada pengalaman yang berbeda-beda akan bentuk cerita dan logika teknik pembuataan batik tulis yang rumit namun menawan.

Demikian dengan batik cap, masih bisa saya temukan pengalaman berkesenian meski dengan keserupaan atau repitisi bentuk-bentuk motif yang diekplorasikan. Maka tetap saja, batik menjadi karya seni yang tidak hanya bercita rasa tinggi, tetapi juga memuat keluhuran bagi pembuatnya maupun penikmatnya.

Untuk itulah, hasrat dan naluri saya untuk mengenal dan mengkaji tentang batik sudah muncul sejak saya menikmati rasa bersentuhan dengan batik. Hal itu jauh sebelum ada sentimen kebangsaan atas klaim batik oleh Malaysia, atau sebelum batik menjadi tren seperti sekarang ini. Dan awal sekali saya di kampus Ilmu Religi dan Budaya (IRB) atau ketika pak Nardi dalam tes wawancara mahasiswa baru menanyakan topik apa yang akan saya angkat untuk penelitian tesis, benak saya langsung terasosiasi dengan batik. Meskipun saat itu, saya yang lulusan Desain Komunikasi Visual atau Desain Grafis belum tahu dengan bentuk kajian yang bagaimana penelitian batik saya.

(7)

motif buketan. Lebih jauh, dengan tema tersebut saya bisa melalang buana untuk sekedar merepresentasikannya pada panel konferensi di Asian Graduate Student Forum di Asian Reseach Institute, National University of Singapore (Singapura) – Juni 2010 dan The Hawaii International Conference on Art and Humanities (Amerika Serikat)- Januari 2011.

Dalam proses pembelajaran saya di IRB sungguh saya berterima kasih kepada Romo Dr. G. Budi Subanar, sebagai dosen pembimbing I sekaligus orang tua kedua yang selalu memberi pencerahan atas kebimbangan serta bagaimana seharusnya menjadi diri yang eksploratif. Ide besar tentang batik dan karya eyang Widayat pasti akan berwujud, Romo! Meski mengajar tetap menjadi passion saya.

Kemudian kepada Bapak Dr. St. Sunardi, selaku dosen pembimbing II yang banyak memberi inspirasi dan arti pada setiap pemikiran, tulisan dan perkataan yang saya hasilkan. Proses penulisan tesis ini sangat terbantu dengan kesabaran Bapak memahami maksud saya dan mengarahkan perlahan-lahan sehingga saya menikmati pengalaman estetis menulis tesis ini.

Terima kasih kepada Prof. A. Supratiknya selalu tim penguji sekaligus Direktur Program Magister Ilmu Religi dan Budaya yang telah memberikan perhatiannya pada setiap halaman tulisan saya dan memberi penyadaran pada detail data serta hal-hal yang sebelumnya belum terangkat pada tesis saya. Kepada Mbak Yustina Devi Ardhiani, M.Hum selaku moderator pendadaran yang juga dengan telili mengkoreksi hal-hal diluar dugaan saya sebelumnya. Matur nuwun.

Tak lupa ucapan beribu terima kasih dan rasa hormat saya kepada dosen-dosen IRB lainnya : Ibu Dr. Katrin Bandel, Romo Dr. Baskara T. Wardaya,

Bapak Dr. Budiawan, Mbak Stefani Haning Swarati, M.Hum, Romo Dr.Budi Susanto, Romo Dr. Haryatmoko, dan Romo Dr. Hari Susanto.

(8)

Febiola. Juga kapada Mbak Hengki, Mbak Melati Anastasya, Mbak Retno, Mbak Yeni, Mbak Budhis, Mbak Dona, mbak-mbak dan mas-mas IRB lainnya.

Rekan di AKINDO: Mbak Hening Budi Prabawati (terima kasih untuk kasihmu sist), Mas Rama Kertamukti, Mas Hardoyo, Ibu Yuni Retnowati, Pak Tjandra Buwana, Heru Poerwadi, Pak Heri Setiawan, Mas Rofiq Anwar, Mas Ayik, Ibu Nur, dan setiap detail yang ada didalamnya.

Para supporter sejati : Ibu dokter Cannia, Ibu rajin Lintang, Ny. Andhi Damas, Pak guru Moi, serta Mas Burhan (thanks for the Roller-coaster moment).

Teman-teman dari lintas pulau, negara dan benua: Ding Lixing, Andy Chang, Hazel, Tara, Zida, Jimmy, Emy, Bang Doni, Ai Boay, Donna, Darlene, Chyntia, Ma Shin, Vivian, Anna (Spain), Kyoko, Mas Hasan Ansori, Rafiudin, Mas Helmy dan semua yang telah berbaik hati ketika saya berada di luar sana.

Dosen, mentor, nara sumber luar biasa: Dr. Kay Mohlman, Dr. Patrick Daly (NUS), Prof. Maznah Mohamad (NUS), Prof. Anjani Raw (NUS), Prof. Jagdish J. Charda (University of Central Florida), Dr. Maria Friend (James Cook University), Dr. Rense Heringa (which i’m so happy can have a chat with you), Brigitte Wellach, Ibu Larasati Sulaiman Suliantoro, Bpk. Apip Syakur (atas bantuan yang tidak diduga sebelumnya), Rudolf G. Smend, Fx. Koskow Widyatmoko, M.Hum (untuk inspirasi tersembunyi yang dikemukakan).

Keluarga : Mama Tien Suhartini (untuk dan karena mama, tesis ini saya persembahkan. Terima kasih untuk segala kemuliaan dan inspirasinya, mama!), Papa Hendo W. Widayat (tuntas janjiku pah, sekarang papa tenang disana ya), Mas Yoke, Mbak Denok, Mbak Rika, Uda Dani, Akbar, Luna, Gendhis, Fania. Serta keluarga besar H. Widayat (Jogja, Magelang, Jakarta) dan H. Edi Efendi (Bandung-Garut).

Last but not least, untuk Tuhan YME yang selalu menjadi tempat peraduan saya dan paling tahu segala proses dan perjuangan saya. Man Jadda Wa Jada.

(9)

ABSTRAK

Buketan yang berasal dari kata bahasa Perancis Bouquet yang berarti rangkaian bunga, merupakan motif yang menjadi esensi dari batik Belanda yang dibuat oleh wanita Indo-Eropa pada akhir abad 19. Karena dibuat dengan menonjolkan keelokan dan kehalusan pada dekorasinya, motif ini cepat mendapatkan pasar. Kelompok-kelompok non-Indo, seperti masyarakat Tionghoa dan pribumi, kemudian membuat dan memadukan motif buketan dengan berbagai elemen kebudayaan mereka masing-masing. Maka motif buketan menunjukkan bentuk-bentuk dari hibrida kebudayaan. Lebih jauh, motif ini juga menjadi yang khas dengan batik Pekalongan karena dibuat dan dikembangkan secara massif oleh masyarakat di Pekalongan dengan berbagai bentuk dan varian sandangan.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana membaca dinamika identitas sosial masyarakat di Pekalongan melalui pembuatan batik motif buketan (floral motif). Lebih lanjut dikembangkan pada kajian bentuk negosiasi budaya antara lokal dan pengaruh asing yang tampak pada motif buketan.

Produksi dan reproduksi batik motif buketan merupakan proses pembentukan taste, yang oleh Pierre Bourdieu dapat dipahami sebagai konsumsi budaya dan dapat dipertukarkan oleh modal simboliknya. Pertukarannya adalah pada bentuk simbol modernitas dan eksklusivitas yang terangkum dalam

craftmanship serta eksotisme motif buketan. Terbentuknya standar-standar baru penciptaan motif buketan, baik secara teknis maupun inovasi motif melalui mekanisme produksi massal dan modern, berimbas pada pengaruh publik dan merebut wilayah proses artistik pembuatan batik yang ada sebelumnya. Proses perubahan mekanisme produksi seni tersebut oleh Walter Benjamin diistilahkan dengan cultural industry. Penelitian ini menggunakan bentuk motode etnografi yang mengamati dengan terbuka pengalaman budaya membatik khususnya motif buketan pada komunitas yang beragam di Pekalongan.

Pembuatan motif buketan dengan demikian menunjukkan kontestasi masyarakat di Pekalongan dalam mengapropriasi dan mengimajinasikan identitas sosialnya. Terjadi proses negosiasi antara konsumen atau pasar dan hubungannya dengan pembentukan selera yang terdapat pada habitus masyarakat Pekalongan. Sehingga pembentukan selera atas motif buketan menunjukkan terjadinya perubahan pengalaman membatik baik dari penampilan maupun pengalaman pengerjaannya.

(10)

ABSTRACT

‘Buketan’, which originally comes from French or Dutch word meaning ‘bouquets’ refers to batik motive which was an essence of the Dutch Batik

developed and produced by Indo-Europeans women in Netherland East Indies in the end of 19 century. Produced by accentuating beauty and softness in its decoration, customers were interested in this motive with ease quickly. Afterwards, Non-Indo societies such as Chinese and indigenous people created and combined buketan motive with their own various cultural elements. As consequence, the buket motive represented forms of cultural hybrid. Exceedingly, this motive became a special or unique along with Pekalongan Batik because it was produced and developed in an assortment of forms and clothing variants by people of Pekalongan massively.

The subject matter of this research is how to understand social identity dynamics of Pekalongan society through creating batik of buketan motive (floral motive). Furthermore, research perspective is expanded into study about forms of cultural negotiation from local to foreign or outsider influence shown in the

buketan motive.

Production and reproduction of batik with buketan motive are process of forming taste which is stated by Pierre Bourdieu as cultural consumption and it can be exchanged by its symbolic mode. The exchanges are in the forms modernity and exclusive symbols which are enclosed in craftsmanship and exotic of buketan motive. Meanwhile, the emergence of new standards of creating

buketan motive either technical or innovation of motive through mass and modern production mechanism in its turn will affect public pressures and will occupy the existence of artistic process domain of creating batik before. Walter Benjamin named the process of exchange of art production mechanism as cultural industry.

This research applied form of ethnography method by openly observing cultural experiences in creating batik especially buketan motive made by numerous communities in Pekalongan.

(11)

DAFTAR ISI

BAB II BATIK SEBAGAI MANIFESTASI KEBERADAAN

MASYARAKAT PEKALONGAN 35

A. Sejarah Panjang Batik 35

A. 1. Arti dan Perkembangan Batik 36 A.2. Batik Pesisir dan Peralihan Peradaban di Pekalongan 41 B. Kemunculan Industri Batik di Pekalongan 46 B. 1. Batik sebagai Industri 47 B. 2. Usaha Batik Belanda

B. 3. Batik Peranakan Tionghoa

51 58 C. Pengembangan Batik Pekalongan

(12)

BAB III SEJARAH, WACANA DAN DINAMIKA PENGEMBANGAN B. Batik Motif Buketan sebagai Khas Pekalongan 97

B. 1. Motif khas Pekalongan B. 2. Motif Buketan

C. Perubahan Nuansa Batik Pesisiran dengan Motif Buketan

97 101 114

BAB IV MOTIF BUKETAN DAN PEMBENTUKAN KEBUDAYAAN

POPULER DI PEKALONGAN 119 A. Batik dan Permasalahan Identitas Pendukungnya

A.1. Terbentuknya Kebudayaan Membatik dalam Komunitas Indo-Eropa

A.2. Batik Belanda sebagai Momen Menggugat

121

122 126 B. Batik Motif Buketan dan Kerangka Kolonialisme

B.1. Dekonstruksi Kultural-Sosial B. 2. Hibriditas Dalam Motif Buketan C. Logika Praktek Konsumsi Motif Buketan

C. 1. Pemahaman Subjek Dalam Buketan

C. 2. Tanda Tangansebagai Media Komunikasi dan Promosi C. 3. Dinamika Motif Buketan dan Perubahan Sosial Masyarakat

Pekalongan

D. Pembentukan Industri Batik

D. 1. Logika Teknik dan Aplikasi Motif Buketan

D. 2. Apropriasi Motif Buketan dalam Bentukkan Baru E. Pudarnya Penggalan Motif Buketan

E. 1. Meneruskan Tradisi Pendahulunya E. 2. Pengutamaan Pasar

F. Proses Identifikasi Masyarakat Pekalongan melalui Motif Buketan F. 1. Terjadinya Transkultural atas Produksi Batik Motif Buketan F. 2. Kondisi Pencitraan Motif Buketan yang Dibangun Melalui

(13)
(14)

Gambar 28 ...

Gambar 29 ...

Gambar 30 ...

Gambar 31 ...

Gambar 32 ...

Gambar 33 ...

Gambar 34 ...

Gambar 35 ...

Gambar 36a-b ...

Gambar 37 ... 168

169

172

176

180

183

188

188

190

(15)

Daftar Tabel

Tabel 1 ...

Tabel lampiran ... 122

(16)

BAB I

A. Latar Belakang

Batik merupakan kain tradisional yang telah cukup lama berakar di bumi Indonesia, terutama pulau Jawa. Keberadaannya menjadi simbol dari sebuah keluhuran, kompleksitas sikap adati, kreativitas, artistik, serta inovasi. Batik sekaligus juga sebagai artefak hibrida kebudayaan yang dikembangkan tak hanya oleh masyarakat setempat, namun juga oleh pendatang terutama di daerah pesisir utara Jawa. Sifat masyarakat pesisir yang egaliter dan kesiapan masyarakatnya dalam menerima paham budaya asing, memberi ruang bercampurnya berbagai ekspresi budaya di sana. Interaksi dengan kaum pendatang membentuk paradigma masyarakatnya dalam menentukan identitasnya.

(17)

Keberadaan motif buketan sekaligus menjadi kreativitas serta obsesi tersendiri bagi pencipta serta pemakainya. Terjadi proses pergeseran makna dalam memproduksi batik yang tidak lagi dilihat dari lokus atau ritualnya, namun dari pergeseran selera dan bagaimana masyarakat menentukan eksistensi mereka. Penelitian ini dibuat untuk melihat bagaimana produksi dan reproduksi batik motif buketan yang sejalan dengan dinamika proses imajinasi penciptaan identitas sosial yang ada pada masyarakat Pekalongan, Jawa Tengah.

A.1. Pekalongan Sebagai Sentra Batik Pesisir

Berbagai bentuk hibriditas budaya terbentuk seiring dengan semakin maraknya kehadiran kaum pendatang yang mempengaruhi performa motif batik pesisir. Pendatang seperti Eropa (khususnya Belanda), Cina, Arab, dan India tidak hanya memberi pengaruh budaya pada nuansa batik, lebih jauh mereka juga turut ambil bagian dalam mengembangkan dan memproduksi batik pesisir.

Pekalongan, Cirebon, Indramayu, Banyumas, Lasem, Madura, Kudus, Tuban dan Gresik merupakan daerah pesisir pantai utara Jawa yang dikenal sebagai sentra ‘batik pesisir’ dengan motif batik selain motif keraton atau

vorstenlanden. Motif batik pesisir bervariasi dengan ragam hias bersifat naturalis seperti tumbuhan dan hewan dengan warna-warna yang cerah meriah. Hal ini karena di daerah tersebut tidak ada tata cara baku dalam pembuatan batiknya, tidak seperti pada batik keraton yang umumnya berbentuk motif-motif geometri1

1

(18)

dengan filosofi yang kental dengan simbol-simbol adiluhung Jawa; serta warna-warna sogan atau berwarna-warna coklat.

Sangatlah sulit menarik garis tegas antara ciri khas batik dari berbagai daerah (pesisir). Hal ini terjadi karena adanya pengaruh timbal balik antar berbagai daerah di pesisir yang memang memiliki hubungan kekerabatan yang telah dibina sejak lama (Nian Djomena, 1986: 4-5). Adanya ruang negosiasi antara berbagai pembentukan selera oleh para pembuatnya sekaligus menunjukkan berbagai indikasi budaya yang tampak di pesisir utara saat itu.

Kota Pekalongan dikenal sebagai penghasil batik pesisir yang utama. Masyarakat Pekalongan memiliki ketrampilan dan ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM) yang lebih baik, termasuk selalu mencoba memajukan usahanya dalam memenuhi permintaan, keinginan dan kebutuhan pembeli (Hassanuddin, 2001: 203). Pada umumnya motif batik dari Pekalongan berupa ragam hias rakyat (folklore), benda-benda yang mengacu pada modernitas saat itu seperti kapal api, pesawat terbang, kereta kuda, benteng, hingga motif floral seperti bunga dan daun-daunan. Meski demikian, di Pekalongan juga terdapat motif geometri atau berbentuk simbol-simbol, namun hanya merupakan pengembangan dari motif batik keraton.

Menurut gaya dan seleranya, serta dilihat dari segi ragam hias maupun tatawarnanya, batik Pekalongan dibagi menjadi 3 golongan (Djoemena, 1986: 59-70):

(19)

2. Batik Encim, yaitu motif dipengaruhi atau memiliki ciri khas kebudayaan Cina.

3. Batik Belanda, yaitu motif dengan gaya dan berselera Belanda.

Pada awalnya, tiap golongan batik tersebut dikembangkan dan diproduksi oleh masing-masing masyarakat pendukungnya sekaligus menjadi identitas bagi kelompoknya. Batik Encim misalnya, dikembangkan oleh masyarakat Tionghoa dan Peranakan yang hadir di Nusantara sebagai masyarakat pedagang dengan etos kerja tinggi. Begitu juga dengan Batik Belanda, diproduksi dan dipakai oleh wanita Indo-Eropa yang tinggal di pesisir utara, sehingga motif dan warnanya memiliki unsur simbolisme budaya Eropa (Harmen Veldhuisen, 1993: 12). Batik Belanda biasa berwujud kain sarung karena lebih memberi kemudahan dalam pemakaiannya terutama bagi para wanita Eropa totok2, juga karena alasan hawa

tropis Hindia. Pekalongan menjadi pusat batik (motif) Belanda sejak paruh akhir abad 19 hingga tahun 1940-an, dan didukung langsung oleh pengrajin wanita Indo-Eropa.

Kehadiran kelompok ‘Indo’ di Hindia semakin meluas, terutama pasca runtuhnya VOC (1799), dimana perusahaan dagang tersebut kemudian dikelola oleh pemerintahan kerajaan Belanda. Setelah itu, banyak warga Belanda dan Eropa berdatangan ke Hindia sebagai pegawai militer, sipil, pengusaha swasta yang mengusahakan industrialisasi terutama di pesisir utara Jawa. Pekalongan yang termasuk dalam wilayah pesisir saat itu terutama dikembangkan usaha pabrik gula dan tebu oleh pengusaha swasta Eropa dan banyak memiliki pegawai

2

(20)

orang Eropa yang kemudian menetap di Pekalongan. Beberapa di antara mereka juga melakukan ‘kontak’ dengan pribumi hingga menghasilkan masyarakat Indo. Indo sendiri dalam kelompok Eropa yang menerapkan sistem stratanisasi kelompoknya, menempati kelas dua atau setelah kelompok totok Eropa. Wanita Indo, terlibat dalam usaha batik di Pekalongan dengan mengembangkan idiom budaya Eropa serta sistem industrialisasi dalam usahanya.

Keterlibatan wanita Indo dalam usah batik terutama disebabkan oleh masalah keluarga diantaranya seperti hancurnya perekonomian pasca kematian suami sebagai sumber pendapatan keluarga, adanya perceraian, kebangkrutan, gaya hidup berstandar tinggi, tunjangan pensiun rendah, dan sebagainya,, sehingga mereka dituntut untuk mencari nafkah guna menyokong keuangan keluarga (Ratna Dwi Nurhajarini, 2005:95). Saat itu kain batik telah digemari oleh masyarakat Eropa di kota besar seperti Batavia, Semarang dan Surabaya.

A.2. Motif Buketan

(21)

buketan sangat kaya warna serta dekorasi berbentuk bunga-bungaan, hewan atau ornamen-ornamen realis-naturalis lainnya yang memang diminati masyarakat Eropa saat itu. Ini mengadopsi gaya Art Nouveau3 yang saat itu menjadi gaya

dekoratif revolusionis di Eropa pada awal abad 20 (Pepin van Roojen, 2001: 23). Batik buketan dibuat dengan tingkat kehalusan, ketelitian dan keserasian yang sangat tinggi sehingga pada perkembangannya banyak peminat dan cepat mendapatkan pasar (Gambar 1). Beberapa pengusaha Indo yang mengembangkan motif ini terutama Ny. L. Metzelar, Ny. A.J.F. Jans, Ny. Elizabeth van Zuylen. Pembuatan motif batik buketan awalnya untuk memenuhi selera masyarakat Eropa di Hindia, namun kemudian penyebarannya mampu mempersuasi masyarakat dari berbagai kelompok lain, yang tak hanya di Pekalongan, namun meluas hingga di derah pesisir.

Gambar 1: Tampilan batik motif buketan (rangkain bunga) ciptaan Nyonya Eliza van Zuylen. (Sumber: Harmen Veldhuisen dalam buku Batik Belanda 1840-1940 Pengaruh Belanda

pada Batik dari Jawa Sejarah dan Kisah-kisah di Sekitarnya)

3

(22)

Kelompok Tionghoa lebih jauh mengapresiasi motif buketan sebagai

custom khas kebudayaan Peranakan Tionghoa yang tak hanya di Jawa saja pengakuannya, namun hingga Semenanjung Malayu dan Singapura. Sarung batik kelompok Tionghoa disebut dengan istilah encim4. Kelompok Tionghoa ini dalam

memproduksi motif buketan juga menggabungkan berbagai unsur budaya Belanda, Cina dan Jawa pada selembar kain batik mereka. Selain juga batiknya memiliki karakter warna yang cerah karena menggunakan pewarna sintetis yang saat itu telah banyak diimport dari Jerman. Jika sebelumnya nuansa bunga pada Batik Belanda adalah khas Eropa, pada desain buketan buatan pengusaha Tionghoa bunga-bunga yang dipakai adalah khas Cina, seperti lotus dan seruni dilengkapi dengan tampilan hewan kupu-kupu, burung, merak dan angsa. Adapun pengusaha batik dari kelompok Tionghoa yang terkenal adalah Oey Soe Tjoen, The Tie Siet, Oey Soen King, Liem Siok Hien, dan Oey Kok Sing (Santoso Doellah, 2002).

Ketika terjadi Perang Dunia II dan diikuti invasi Jepang di Hindia, yang membuat persediaan bahan baku batik menipis, pengusaha batik Tionghoa di Pekalongan menggunakan sisa-sisa persediaan mori yang terbatas, untuk membuat jenis batik yang padat karya. Batik dengan nama “batik Djawa Hokokai” diproduksi lebih kurang tahun 1942-1945 (Santoso Doellah, 2002:202), merupakan batik motif buketan yang dikerjakan secara halus, rumit, dan dengan pewarnaan yang dipengaruhi atau sesuai dengan warna-warni budaya Jepang seperti kuning, hijau, merah, dan merah muda. Bunga-bunga yang diaplikasikan

4

(23)

pada motif ini seperti sakura, krisan, dahlia dan anggrek yang ditempatkan menyebar pada area kain yang tersedia, serta dengan ragam hias kupu-kupu. Selain itu pembuatan batik Hokokai seluruhnya dibuat dalam pola kain panjang

Pagi-sore, yaitu batik dengan penataan dua pola yang berlainan pada sehelai kain. Hal tersebut dimaksudkan agar pemakaiannya dapat dilakukan pada pagi dan sore dengan tampilan motif yang berbeda.

Pada perkembangannya, motif buketan baik dari segi pola, ruang, garis, hingga warna, diaplikasikan secara dinamis menurut selera pasar. Terdapat berbagai perubahan dibentuk dan mengadopsikan motif buketan pada sarung khas pesisir. Kepala5 sarung yang sebelumnya berisi pola tumpal kemudian diganti

buketan utuh. Tak hanya itu, motif buketan juga direpetisikan pada bagian Badan6

sarung yang sebelumnya berisi motif yang berbeda. Pola sarung motif buketan tersebut kemudian banyak diapresiasi oleh pengusaha batik dari berbagai kelompok.

Secara umum motif buketan kemudian diciptakan dan diaplikasikan oleh pengusaha batik yang berada tak hanya di Pekalongan, tapi juga terdapat di daerah sentra batik pesisir lainnya, seperti Semarang, Cirebon, Banyumas, Lasem, Indramayu, Tuban, bahkan hingga Surabaya. Namun Pekalongan menjadi lebih dikenal sebagai penghasil buketan terutama karena ketersediaan Sumber Daya Manusia, serta mengembangkan sistem dagang batik motif buketan yang lebih baik dibanding daerah pesisir lainnya. Sehingga kemudian motif buketan menjadi

trademark motif batik Pekalongan. 5

Kepala adalah bagian sarung terdiri atas suatu persegi panjang tegak dengan warna dan pola yang sama atau berbeda dari badan

6

(24)

A.3. Dinamika Buketan dan Konstruksi Identitas Masyarakat Pekalongan

Batik awalnya memiliki nilai simbolisme tertentu, merupakan ekspresi kultural, serta dipakai pada ritual tradisional Jawa. Namun kemudian berkembang menjadi sebuah teks tentang idealisme dalam hal apropriasi dan imajinasi masyarakat pendukungnya. Kehadiran masyarakat pendatang terutama di wilayah pesisir Jawa memberi nuansa dan nilai yang berbeda pada batik dengan bentuk-bentuk baru sehingga kemudian berasimilasi dengan kebudayaan setempat atau tempat motif batik tersebut dikembangkan.

Setelah kelompok Indo dengan buketan khas Batik Belanda, kelompok Tionghoa dengan motif buketan pada sarung encim-nya, masyarakat pribumi juga mengapropriasi motif buketan dengan bentuk-bentuk yang menyesuaikan selera pasar. Motif buketan berkembang menjadi variasi atau padanan yang menarik ketika digabungkan dengan motif batik lainnya, dengan motif batik daerah pesisir maupun motif geometri khas keraton, bahkan dengan desain-desain kontemporer.

(25)

sederhana namun tetap terasa nuansa motif buketannya. Berbagai teknik batik, baik tulis; cap; maupun kombinasi tulis-cap, semakin mempermudah pengaplikasian motif buketan bahkan kemudian memberi inspirasi bentuk-bentuk motif floral yang lebih kontemporer.

Maka dinamika pembentukan motif buketan memberi kerangka pada pembentukan taste oleh kelompok masyarakat yang mengapropriasinya. Selain juga untuk melihat bagaimana apresiasi pembatik di Pekalongan dalam memproduksi dan mereproduksi motif buketan sebagai medium yang digunakan untuk berinteraksi dalam menentukan dirinya. Karena itu, perkembangan motif buketan tak terlepas dari proses negosiasi antara lembaga-lembaga penopang industri batik dengan selera yang ditentukan atau diimajinasikan oleh konsumennya.

Oleh karena itu, penelitian ini hendak melakukan analisa stuktural untuk menggali lebih jauh dinamika motif buketan sebagai sebuah teks yang dapat menjelaskan ide kolektif keberadaan budaya berkesenian di Pekalongan, sebagai tempat pengembangan motif tersebut. Dinamika batik buketan menjadi bukti perjalanan kreatif masyarakatnya, yang berbentuk pengembangan intelektual yang estetis sesuai dengan perubahan konteks sosial, ekonomi dan politik sehingga membentuk konstruksi identitas masyarakat Pekalongan.

(26)

mekanisme teknologi reproduksi batik. Sejarah teknik batik oleh beberapa peneliti telah banyak didokumentasikan, namun belum banyak yang mengkaji bentuk-bentuk apropriasi sebuah motif yang dihubungkan dengan dinamika identitas sosial masyarakat tempat motif tersebut dibuat.

B. Permasalahan

Penelitian ini dilakukan untuk menjawab permasalahan:

Bagaimana membaca dinamika identitas sosial masyarakat di Pekalongan

melalui pembuatan batik motif buketan (floral motif)?

Pertanyaan umum di atas, dikembangkan ke dalam tiga pertanyaan:

1. Bagaimana buketan sebagai bentuk hibriditas budaya antara lokal dan pengaruh asing menciptakan kesepahaman pada masyarakat Pekalongan bahwa buketan merupakan ciri khas batik mereka?

2. Bagaimana proses negosiasi antara industri dan selera konsumennya dalam memproduksi atau membentuk performa motif buketan?

3. Bagaimana dinamika motif buketan mempengaruhi perubahan sosial di Pekalongan?

C. Tujuan Penelitian

(27)

2. Mengeksplorasi motif buketan yang berimplikasi pada karakter atau idiom budaya masyarakat yang membuat serta memakainya. Dalam hal ini dibatasi tidak atau bukan pada bentuk semiotikanya, namun simbol-simbol budaya yang terkandung didalamnya.

3. Mengklasifikasikan secara kronologis perubahan-perubahan dalam teknik pembuatan batik yang mendukung kreatifitas pembuatan motif buketan di Pekalongan dengan cara menentukan sampel batik-batik motif buketan yang mewakili teknik pembuatannya.

4. Menganalisis bagaimana dinamika motif buketan dapat dilihat sebagai refleksi dari masyarakat Pekalongan baik dari segi sosial, politik dan ekonomi melalui berbagai teks, data, observasi secara langsung, serta wawancara dengan nara sumber yang terlibat langsung.

D. Relevansi Penelitian

Adapun relevansi dari penelitian ini ialah:

1. Bagi kajian sejarah batik Indonesia, penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi, khususnya mengenai bagaimana pembentukan selera masyarakat pemakai batik motif buketan yang dikaitkan dengan imajinasi tentang identitas sosialnya.

(28)

E. Tinjauan Pustaka

Penelusuran pustaka yang telah dilakukan adalah pada beragam kajian tentang batik oleh para peneliti batik terutama pada bidang budaya. Diantaranya terutama mengkaji batik sebagai keunggulan bentuk kebudayaan yang dihadirkan pada upacara-upacara tradisi seperti khitanan; pernikahan; kehamilan; kematian dan sebagainya, yang hampir secara eksklusif merupakan suatu keahlian orang Jawa. Pepin van Roojen (2001) mengungkapkan bahwa sebagai sebuah karya seni, batik dihubungkan dengan seni tradisi yang memiliki nilai simbolis melalui performa desain atau motifnya.

Meski demikian kajian tentang batik terutama mengeksplorasi bentuk batik yang dikembangkan oleh kelompok diluar atau non-Jawa masih jarang ditemukan. Lebih jarang lagi tema yang spesifik tentang motif batik yang berasal dari perpaduan idiom kebudayaan asing dan lokal yang dihubungkan dengan pembentukan selera masyarakatnya.

Sejauh ini hanya Harmen Veldhuisen, dalam tulisannya “Batik Belanda 1840- 1940, Pengaruh Belanda pada Batik dari Jawa Sejarah dan Kisah-kisah di Sekitarnya” menuturkan secara komprehensif peran wanita Indo-Eropa di pesisir utara sebagai pengusaha batik dengan motif-motif dengan sebutan ‘Batik Belanda’ yang beridiom kebudayaan Eropa. Berbagai motif khas Eropa tersebut diproduksi dalam situasi membangun romantisme-romantisme budaya negara induk Eropa bagi masyarakat Eropa di Hindia.

(29)

sistem badan usaha yang secara langsung menerapkan bentuk atau cara-cara baru pembuatan batik. Hal ini bertentangan dengan teknik tradisional yang sebelumnya dijalankan oleh wanita Jawa. Santoso Doellah (2001) yang salah satunya membahas perkembangan Batik Belanda oleh para wanita Indo-Eropa telah mengubah pola kerajinan batik dari industri rumah tangga menjadi perusahaan dengan tempat kerja yang luas dan tata kerja yang sistematis serta dengan tujuan efisiensi. Ardiyanto Pranata (2000) berpendapat bahwa kelomok Indo tersebut berpengaruh pada pembentukan komersialisasi batik selama 70 tahun di Pekalongan dan daerah pesisir utara lainnya, meski bukan yang terbesar jika dibanding dengan usaha batik yang dikelola orang Jawa secara umum.

M.J. De Raadt-Apell dalam bukunya “De batikkerij Van Zuylen te Pekalongan” atau Usaha Batik Van Zyylen di Pekalongan”, mempertegas pendapat Doellah dengan menjelaskan secara spesifik usaha yang dikembangkan oleh Ny. Eliza van Zuylen sebagai salah satu pengusaha Indo-Eropa terbesar dan berhasil mengembangkan usahanya dari 1890-1946. Eliza juga yang juga dikenal dengan motif buketannya memperkerjakan para pembatik wanita pribumi dengan pengupahan yang sistematis atau dikenal dengan istilah panjar7.

Kelompok Indo-Eropa berkaitan dengan kehadiran pendatang dari Eropa yang kemudian menjalin ‘kontak’ dengan masyarakat setempat. Inger McCabe Elliott (2004) mengungkapkan pendatang Eropa mengubah bentuk-bentuk peradaban, terutama di Jawa yang menjadi dasar bangunan imperium

7

(30)

komersialisasi di Hindia. Dalam penjelasannya, Elliott mengungkapkan bahwa adanya sistem tanam paksa; ditemukannya tambang-tambang minyak bumi; pengembangan industri perkebunan modern; mendorong kedatangan orang dari Eropa ke Hindia, terutama ke Jawa. Terlebih saat itu pemerintah kolonial Belanda telah dengan giat membangun peradaban perkotaan di Jawa, dengan dibangunnya sarana transportasi seperti kereta api, perbaikan dan kemudahan jalan antar kota, pembangunan gedung-gedung perkantoran dan pabrik, dan seterusnya. Masuknya pendatang dan dengan perkembangan peradaban perkotaan, menimbulkan pertambahan penduduk, sehingga menimbulkan gairah berkembangnya perekonomian yang semakin memicu lahirnya industri batik. Maksudnya, dengan banyaknya pekerja, membawa pengaruh pada kenaikan perekonomian yang juga membuat semakin banyak pula orang yang mampu membeli batik.

Terkait dengan pemakaian batik, Robyn Maxwell (2001) menjelaskan selama abad 19 kain sarung dapat diterima oleh kelompok wanita Eropa yang tinggal di perkotaan di sepanjang pesisir utara Jawa. Korset dan gaun panjang Eropa dari pengaruh gaya victorian dan wilhelmina tidak cocok dipakai di daerah tropis, sehingga batik disukai sebagai pakaian informal wanita di Hindia. Sementara kaum lelaki Eropa menggunakan celana batik dimana hal ini jarang dipakai oleh pria dari penduduk lokal.

(31)

Nouveau tersebut mengungkapkan bentuk-bentuk naturalis seperti motif floral yang kemudian disebut dengan buketan.

Buketan sebetulnya merupakan seni merangkai bunga menjadi sebuah kebiasaan yang dilakoni wanita Eropa sebagai ungkapan rasa keindahan juga sebagai tanda kasih kepada yang dihormati atau dicintai. Gaya ini mengacu pada kegemaran untuk mengkoleksi tanaman sebagai salah satu hobi di Eropa, sehingga ilustrasi seni yang berkenaan dengan tumbuh-tumbuhan berkembang. Karya pertama yang paling penting tahun 1608 oleh Le Jardin du tres Christian Henry IV mempengaruhi dan ditiru sebagai acuan penggambaran motif botanikal selama beberapa abad setelahnya (Mary Hunt Kahlenberg, 1980 : 243). Selanjutnya beberapa wanita Indo-Eropa juga mencari penghasilan tambahan dengan menerima pesanan membuat karangan bunga untuk keperluan pesta pernikahan, kebaktian Gereja dan acara di societet. Dari sini kemudian rangkaian bunga tersebut diadaptasi pada batik buatan wanita Indo-Eropa (Harmen Veldhuisen, 1993: 77-82).

(32)

Tentu ini menarik karena beberapa desain merepresentasikan ide ke-Eropaan oleh pendatang.

Motif buketan kemudian menjadi esensi motif Batik Belanda yang juga diapresiasi tidak hanya kelompok Indo-Eropa tetapi juga dari masyarakat Peranakan Tionghoa. Genevieve Duggan (2001) menguraikan tentang perubahan pola batik yang awalnya berdasarkan pada pola kebudayaan Cina hingga sanggup memenetrasi motif batik daerah pesisir lain. Setelah itu kelompok ini mengembangkan motif batik yang terilhami oleh bentuk motif buketan. Mereka memadukan motif floral tersebut dengan bentuk-bentuk yang lebih mengarah pada nuanasa budaya Cina. Dengan motif ini, konsumen batik Tionghoa juga merasakan hal yang sama dengan yang diwacanakan oleh kelompok Eropa: motifnya naturalis, baik dari desain yang berbeda dengan pola kedaerahan Jawa, sekaligus mengasosiasi dengan kelompok Eropa yang terlebih dahulu mengekplorasinya. Perkembangan motif buketan bahkan menjadi pakaian khas Peranakan Tionghoa, tak hanya di Jawa, namum meluas hingga Semenanjung Malayu.

(33)

baru serta ingin tahu mengenai perkembangan identitas sendiri. Tiap-tiap daerah di pesisir pada dasarnya memiliki karakter batik yang khusus, baik pada motif, ragam hias, pewarnaannya, bahkan teknik pembuatannya. Namun terjadi kontak atau hubungan diantara mereka, tidak mustahil sering terjadi saling pengaruh antara daerah satu dengan lainnya. Oleh karenanya, diperlukan konsistensi serta kolektivitas untuk memahami bentuk-bentuk peradaban di tengah-tengah kondisi yang dinamis tersebut.

Seperti halnya batik Pekalongan yang memiliki performa motif berdasarkan berbagai pengaruh terutama dari pendatang. Bentuk hibriditas pada batik Pekalongan tersebut menunjukkan adanya pengalaman lintas budaya serta adanya pergeseran sejumlah batas-batas sosial yang secara aktif berkembang di ranah yang sebelumnya terintegrasi dalam pengaruh batik keraton yang kuat.

Maraknya pertumbuhan usaha pembatikan di kota Pekalongan hingga memunculkan jargon ‘Pekalongan kota batik’ yang menjadi gambaran bahwa masyarakat Pekalongan tak dapat dipisahkan dengan batik, baik dari sumber daya manusia, sistem kebudayaan maupun sistem perekonomian. Selain itu dalam buku

Batik Pesisiran: Melacak Pengaruh Etos Dagang Santri pada Ragam Hias Batik

(34)

Dengan demikian, pergulatan pemaknaan produksi batik di Pekalongan memang tidak hanya dipandang sebagai sebuah komoditas ekonomi semata tapi juga sebagai tempat dimana batasan-batasan sosial kemasyarakatan berpadu dengan konteks berlangsungnya pembentukan sosiologi rasa dalam kehidupan bermasyarakat disana. Hingga kini hampir sepanjang jalan besar dan pelosok di Pekalongan ditemukan pengrajin batik dengan berbagai motif daerah. Data lain menyebutkan dari 270.000 jiwa penduduk Kota Pekalongan, sekitar 43.000 orang bekerja dalam industri batik. Bila pekerja tersebut menghidupi lima orang, berarti sekitar 200.000 orang yang hidup dari industri batik8. Hampir semua jenis batik, mulai dari kain, pakaian, hingga aksesoris interior yang tersebar di beberapa kota besar Indonesia, seperti di Jakarta, Yogyakarta and Surakarta, dibuat dan berasal dari pengusaha batik di Pekalongan.

Dengan demikian motif buketan menjadi salah satu bukti berbagai kontestasi yang ada di Pekalongan. Perkembangan motif buketan terkait dengan aplikasinya sebagai sandangan yang makin kompleks dari masa ke masa. Belum ditemukan penelitian spesifik tentang motif batik tertentu yang dikaitkan dengan faktor yang melatarbelakangi perkembangan, perubahan dan penetrasi di masyarakat tertentu. Karena dengan menggali motif batik buketan yang dipenetrasi dan menjadi ciri khas batik Pekalongan, besar harapan penulis agar dapat melihat identitas yang dibayangkan dengan berbagai elemen yang mempengaruhinya, seperti sosio-kultural, ekonomi dan politik.

8

(35)

F. Kerangka Pemikiran/Konseptual

Batik Pekalongan, sebagaimana halnya batik pesisir lainnya, merupakan ekspresi pengungkapan keberadaan diri dan komunitas pendukungnya. Ia sekaligus mengembangkan wacana persinggungan antara kebudayaan setempat dengan keterbukaannya pada percampuran budaya pendatang. Keterlibatan pendatang dalam pembuatan batik bahkan kemudian turut melegitimasi motif yang menjadi ciri khas batik Pekalongan. Salah satunya adalah motif buketan yang hadir sebagai sebuah karya estetis bernuansa budaya Eropa yang dikenal sebagai intisari dari batik Pekalongan (Rens Heringa & Harmen Veldhuisen, 2000:118)

Produksi dan reproduksi batik motif buketan oleh wanita Indo-Eropa bahkan kemudian diikuti oleh masyarakat Peranakan Tionghoa dan pribumi, menunjukkan eksistensi motif tersebut sebagai bagian dari bentuk hibriditas budaya antara lokal dan pengaruh asing. Pekalongan dalam hal ini menjadi ‘field’

atau ruang tempat bekerjanya sistem relasi subyektif yang memiliki posisi-posisi sosial yang saling berhubungan antara satu dengan lainnya. Sistem relasi subyektif tersebut mengelola sistem simbolik berupa batik motif buketan.

(36)

mengekspresikan seleranya terhadap motif buketan dengan membuat atau memproduksi, memakai, bahkan mengoleksinya9

Pembentukan selera atas buketan tidak langsung diterima oleh seluruh masyarakat Pekalongan, terlebih bagi masyarakat pribumi. Motif ini terasa ‘berjarak’ dengan kebiasaan membatik mereka. Motif buketan yang dibuat dengan tingkat kehalusan dan ketrampilan tinggi, secara eksklusif dimiliki oleh kelompok Indo-Eropa serta Peranakan Tionghoa yang menjadi masyarakat dari golongan menengah atas di Hindia. Pakaian yang termanifestasi dalam desain motif beridiom Eropa menjadi simbol kedudukan bagi orang Eropa dan Indo-Eropa. Oleh kelompok Tionghoa bentuk-bentuk tersebut dipenetrasi sebagai perwujudan status sosial yang lebih tinggi. Maka motif buketan melambangkan modal budaya yang sifatnya eksklusif karena cenderung hanya diasosiasikan dengan kebudayaan masyarakat tertentu, yaitu bagi mereka yang mampu memberikan nilai lebih pada motif batik buketan ini.

Standarisasi pada kehalusan kain, kerumitan motif serta pilihan warna yang beraneka dari motif buketan buatan wanita Indo-Eropa dan Peranakan Tionghoa menjadi modal yang digunakan untuk merebut pasar. Hal ini juga menegaskan bahwa periode pengembangan batik yang diprakarsai oleh wanita Indo tersebut teknik batik mencapai tingkat tinggi dalam soal warna dan detail motifnya (Robyn Maxwell, 2003: 385).

Oleh Bourdieu, hal tersebut dipandang sebagai basis dominasi yang dapat dipertukarkan dengan jenis modal simbolik lainnya. Pertukarannya adalah pada

9

(37)

bentuk simbol modernitas dan eksklusivitas yang terangkum dalam craftmanship

serta eksotisme motif buketan. Dari titik inilah perubahan karakter motif batik khas Pekalongan mulai diproduksi dan direproduksi, dan menempatkan motif buketan sebagai motif utama yang dikembangkan oleh pengusaha batik dari berbagai kelompok di Pekalongan.

Kemudian motif buketan menjadi semakin popular bagi masyarakat Pekalongan melalui berbagai imitasi. Adanya imitasi desain buketan ini disiasati dengan membubuhkan signature atau tanda tangan pengusaha batik pada kain batik yang mereka hasilkan. Sebuah inovasi yang belum pernah dilakukan oleh pengrajin batik sebelumnya. Hal tersebut selain bertujuan untuk menjaga orisinalitas, menghindari plagiatisme dari pengusaha lain, juga sebagai strategi pemasaran mereka. Semakin banyak memproduksi batik, semakin namanya dikenal melalui tanda tangan mereka.

Selain tanda tangan juga dibubuhi nama ‘Pekalongan’ sebagai penanda asal daerah penghasil batik yang untuk selanjutnya justru melambungkan nama kota Pekalongan sebagai sentra batik motif buketan baik di kalangan pecinta batik Hindia bahkan hingga Eropa.

(38)

konsumen batik. Motif buketan telah menjadi obsesi tersendiri bagi para pemakainya.

Pertumbuhan kesenian batik kemudian menjadi populer dengan ditunjang oleh kemajuan teknologi dan organisasi ekonomi. Pada tingkat fungsional batik telah menjadi budaya pop namun sekaligus mengesampingkan nilai tradisi dan ritual-ritual produksi untuk kemudian membentuk standar pakaian batik sebagai sesuatu yang massal. Terjadi kultus fetisisasi batik serta pembentukan trendsetter

dalam menentukan selera konsumen.

Reproduksi batik motif buketan telah menjadi industri yang memenuhi setiap permintaan pasar yang ada. Setelah ditinggalkan wanita Indo-Eropa, pengusaha peranakan Tionghoa melihat kemungkinan berkembangnya perdagangan motif tersebut dengan melakukan pembaruan motif berkarakter khas Eropa yang dipadukan dengan pola ragam hias Jawa dan Cina. Selain itu dari segi pewarnaan mereka menggunakan warna sintetis yang diimpor langsung dari Jerman. Warna sintetis ini memberi lebih banyak pilihan warna untuk diaplikasikan pada kain batik. Pengusaha Peranakan Tionghoa juga lebih dahulu membuat cap motif buketan untuk mempercepat proses produksi.

(39)

menjadi bentuk negosiasi antara industri batik dengan pembentukan selera konsumen pecinta motif buketan. Terbentuknya standar-standar baru penciptaan motif buketan, baik secara teknis maupun inovasi motif, menunjukkan sistem produksi yang lebih modern. Kecenderungan ini berlangsung hingga kini.

Walter Benjamin (1936) dalam ‘The Work of Art in The Age of Mechanical Reproduction’ (Jecica Evans dan Stuart Hall (ed.), 1999) menjelaskan:

In principle a work of art has always been reproducible… Mechanical reproduction of a work of art, however, represents something new. Historically, it advanced intermittently and in leaps at long intervals, but with accelerated intensity…

Artinya bahwa prinsip kerja seni selalu dapat direproduksi kembali. Reproduksi mekanis karya seni merepresentasikan sesuatu yang secara historis melompati jarak waktu dengan intensitas yang dipercepat. Reproduksi mekanis menjadi penyebab perubahan besar pada pengaruh publik dan merebut wilayah yang seharusnya berada pada wilayah proses artistik.

Pada tahun 1947, Max Horkheimer dan Theodore Adorno mengangkat istilah “culture industry” atau industri budaya untuk menyebut produk dan proses budaya massa. Industri budaya merupakan penciptaan budaya yang ditandai dengan pergerakan massa kontemporer yang menempatkan karya seni tradisi pada tataran mekanisme reproduksi massal (John Storey, 1993: 148-153).

(40)

kehadiran identitas kelompoknya. Pengadopsian oleh kelompok lain menjadi bentuk reproduksi lokalitas, atau bisa juga disebut sebagai kekhasan batik lokal, yang mengalami proses materialisasi untuk memperkuat identitas dan pengesahan status sosial masyarakat pembuatnya yaitu di Pekalongan.

Maka dalam sebuah pergulatan budaya, seperti yang diutarakan Stuart Hall (1994) terjadi proses identifikasi yang berjalan terus menerus. Identitas timbul tidak dari kesempurnaan identitas yang telah ada pada individu-individu, namun dari kekurangan atau ketiadaan keseluruhan yang berisi hal-hal dari luar kita, oleh cara-cara yang kita imajinasikan tentang diri kita untuk dilihat oleh orang lain.

Homi Bhabha mengajukan konsep tentang pembongkaran kultur atau dekonstruksi kultural yang dikenal dengan teori liminalitas (Supriyono, 2004: 139-153), di mana kebudayaan dan identitas masyarakat pasca kolonial dilihat sebagai ruang ruang antar budaya di mana strategi-strategi kedirian personal maupun komunal dapat dikembangkan. Terjadi proses gerak dan pertukaran antara status yang berbeda-beda dan terjadi terus-menerus. Antara masyarakat Indo-Eropa sebagai penggagas batik motif buketan dengan kelompok masyarakat lain yang kemudian mereproduksi buketan.

(41)

benda-benda serta simbol-simbol yang mereka konsumsi mencakup perjumpaan dan pertukaran tampilan budaya yang terus menerus yang pada saatnya akan menghasilkan pengakuan timbal balik.

Bhabha juga mengungkapkan bahwa hibridisasi muncul dalam mimikri, yaitu bahwa semua pernyataan-pernyataan dan sistem-sistem budaya dihasilkan dari ruang ambivalensi. Pengaruh Eropa pada batik pesisir diterima sesuai dengan tradisi setempat dimana pengaruh asing diterima dan diasimilasikan ke dalam pola yang sudah ada (Harmen Veldhuisen, 2004: 40).

Dengan konsep hibriditas peneliti tidak mengajukan permasalahan tentang bagaimana motif buketan yang notabenenya bernuansa budaya Eropa mempengaruhi budaya Jawa, dalam hal ini pola motif batik Jawa yang telah stabil. Namun justru melihat bagaimana ruang negosiasi antara pembuat atau pengrajin batik motif buketan dengan konsumen yang kemudian memberikan kecenderungan dinamis atas motif buketan itu sendiri, serta permasalahan kekhasan motif tersebut dalam ranah identitas masyarakat penghasilnya, yaitu Pekalongan. Maka motif buketan dilihat sebagai identitas: dilihat, dipakai, dan divisualkan untuk mengkomunikasikan, mengekplorasi dan mereproduksi tatanan sosial dimana identitas tersebut bekerja.

(42)

tertentu oleh para pemakainya. Terbentuknya pola produksi baru secara massal membuatnya lebih mudah dijangkau oleh masyarakat umum atau masuk pada wilayah apa yang disebut Walter Benjamin dan Theodore Adorno sebagai cultural industry. Kemudian motif buketan semakin melegitimasi dengan menjadi ciri khas batik Pekalongan. Proses materialisasi ini oleh Homi Bhabha disebut sebagai hibriditas budaya masyarakat pendukungnya. Yaitu sebagai perpaduan berbagai elemen budaya yang menunjukkan dinamika proses bekerjanya ruang tempat dimana ia diproduksi, direproduksi dan diatur sebagai bentuk komunikasi aktif yang membentuk identitas sosialnya.

G. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode etnografi yang merupakan sebuah metode untuk mengamati pengalaman budaya dalam komunitas yang beragam. Dalam arti yang lebih mendalam, etnografi khususnya digunakan untuk menempatkan budaya membatik dengan motif buketan sebagai ranah pembelajaran yang dinamis, bersesuaian dengan perubahan pada masyarakat pendukungnya di Pekalongan sehingga dapat dideskripsikan sebagaimana adanya.

(43)

mengenai sosiologi rasa, mekanisme industri serta proses identifikasi yang melatarbelakangi produksi motif buketan.

Peneliti terlibat langsung dalam pengamatan beragam pengalaman hidup masyarakat di Pekalongan dan mefokuskan untuk melihat gejala-gejala dalam proses pembentukan identitas masyarakatnya yang tampak pada dinamika pembuatan batik motif buketan. Dari kerangka besar tersebut dapat dilakukan dengan mengembangkan berbagai wacana, seperti estetisasi motif, mitos yang berlaku dalam masyarakat, struktur sosial kemasyarakatan, pola-pola budaya, peraturan yang berlaku dalam masyarakat, faktor perekonomian, sistem pemasaran, persediaan bahan baku, pameran batik, dan praktek-praktek pengembangan sumber daya manusia yang dilakukan oleh institusi-institusi maupun individu-individu dalam mekanisme produksi maupun reproduksi motif batik buketan.

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa Pekalongan dipilih sebagai daerah penelitian yang dapat merepresentasikan dinamika motif buketan. Hal ini terkait identifikasi sosial masyarakatnya. Cakupannya meliputi, pertama Pekalongan merupakan sentra batik pesisir yang telah ‘berhasil’ menjadikan motif buketan sebagai bagian dari motif khas Pekalongan. Hal ini ditopang oleh sumber daya manusia serta berbagai sistem dagang, sistem kerajinannya serta sistem promosi dalam mengembangkan buketan lebih baik dibanding sentra batik pesisir lainnya.

(44)

penggerak sistem kekerabatan selalu bersinggungan dalam konteks pergulatan dan perpaduan pada nilai-nilai yang dinamis.

Jenis data yang dikumpulkan pada dasarnya terbagi menjadi dua materi, yaitu primer dan sekunder:

1. Primer terdiri dari

a. Batik motif buketan yang dipilih menjadi sampel penelitian harus dapat mewakili perkembangan paradigma konteks material produksi dan reproduksi batik dalam kaitannya dengan faktor pembentukan identitas dan menjadi ruang negosiasi antara industri dan selera konsumennya. Batik motif buketan yang dikumpulkan mulai dari awal penciptaannya (sekitar tahun 1870), hingga yang kini direproduksi dengan berbagai pengembangan motif buketan serta diaplikasi menjadi barang dagangan yang dikomersialisasi seiring dengan tren batik yang terjadi akhir-akhir ini.

(45)

c. Praktek-praktek pengembangan motif batik buketan berupa kegiatan aktif yang mengapropriasi motif buketan sebagai bagian dinamika kreatifitas seni oleh masyarakat di Pekalongan. Hal tersebut bisa diamati berupa praktek mekanisme produksi dan reproduksi motif atau dalam bentuk redesain yang menghasilkan pengembangan motif sesuai dengan selera pengrajin maupun pasarnya.

2. Sekunder terdiri dari

a. Melalui studi pustaka yaitu penggalian informasi atau data-data yang menunjang penelitian dari buku-buku, terutama buku batik maupun buku mengenai kajian sosial dan budaya.

b. Individu-individu dan institusi-institusi yang tidak terlibat secara langsung dengan pengembangan motif batik buketan namun turut mendukung perkembangan batik baik di Pekalongan maupun di luar Pekalongan, seperti distributor Bpk. Tengku, pedagang batik Bpk. Apip Syakur, Ibu Ruhana, pembeli batik motif buketan ibu Kartika, Paguyuban pengusaha batik Pekalongan dan paguyuban pecinta batik Pekalongan (yang mewakili) Ibu Hj. Fathiyah Kadir, Kolektor batik dan pengamat batik Ibu Larasati Suliantoro, Pemerintah daerah Pekalongan Bpk. Taufik.

(46)

1. Data Primer

a. Batik motif buketan dikumpulkan dengan mendatangi langsung berbagai tempat yang memiliki batik motif buketan, maupun pengumpulan dari dokumen dan arsip tertentu, kemudian dianalisa dan dibaca menurut pendekatan nilai estetis maupun unsur desainnya. Selain itu juga dengan menentukan simbol-simbol yang dapat dipertukarkan oleh pemakain motif tersebut hingga kita dapat melihat proses negosiasi antara industri dan selera konsumennya.

b. Individu-individu dan institusi-institusi yang terlibat dalam produksi dan reproduksi batik motif buketan dengan mendatangi atau mewawancari secara langsung untuk mengetahui dan melihat pengembangan serta pemanfaatan batik motif buketan sebagai entitas yang dipertahankan sekaligus menjadi identitas produksi batiknya.

c. Praktek-praktek pengembangan motif batik buketan dikumpulkan melalui observasi secara langsung maupun dari dokumen serta arsip tertentu. Pada tahap selanjutnya melihat proses identifikasi masyarakatnya dengan mengamati dinamika pengembangan motif buketan itu sendiri. Pengembangan juga dapat dilihat melalui pemakaian material dimana teknik dan motif batik buketan diterapkan

2. Data Sekunder:

a. Studi kepustakaan dilakukan di:

(47)

3. Perpustakaan Asian Civilisation Museum, Singapore, 2010

4. Perpustakaan ISEAS (Institute of Southeast Asian Studies), National University of Singapore, 2010

5. Perpustakaan Museum Batik Pekalongan, Kotamadya Pekalongan, 2009

6. Perpustakaan Kolsani, Yogyakarta

7. Perpustakaan Universitas Sanata Dharma dan Ilmu Religi dan Budaya, Yogyakarta

8. Peranakan Museum, Singapore, 2010

9. Baba and Nyonya Heritage Museum, Malaka, Malaysia, 2010

b. Individu-individu dan institusi-institusi yang tidak terlibat secara langsung dengan pengembangan motif batik buketan namun turut mendukung perkembangan batik baik di Pekalongan maupun di luar Pekalongan yaitu dengan mengumpulkan data dari dokumen dan arsip tertentu sehingga didapat pengertian yang ingin dicapai.

H. Sistematika Penulisan

Bab I. Pendahuluan :

(48)

Bab II. Batik dan Manifestasinya Bagi Keberadaan Masyarakat

Pekalongan:

Bab ini menunjukkan data-data empiris terkait dengan sejarah Pekalongan sebagai kota pesisir utara yang memberikan banyak kemungkinan masuknya pendatang dengan berbagai latar belakang untuk kemudian beralkulturasi menghasilkan berbagai simbol-simbol budaya masyarakat pendukungnya. Bab ini juga membahas tentang pengorganisasian kerja industri batik di Pekalongan, serta pengembangan-pengembangan batik yang terus dilakukan hingga saat ini.

Bab III. Motif Buketan: Sejarah, Wacana dan Dinamika

Pengembangannya:

(49)

Bab IV. Motif buketan dan terbetuknya kebudayaan populer di pekalongan:

Menjelaskan terlebih dahulu masyarakat pembentuk motif buketan yaitu kelompok Indo dan bagaimana terbentuknya kebudayaan membatik bagi mereka yang dapat dipahami sebagai sebuah moment yang menggugat keberadaan batik Jawa . Ini berhubungan dengan bentukan-bentukan baru atau dekonstruksi cultural dan sosial di Hindia yang terjembatani oleh konsep hibriditas yang tampak pada motif buketan. Proses produksi motif buketan tidak lagi bertendensi pada kelompok Indo, namun menyebar, terutama kelompok Tionghoa. Dinamika pengapropriasian motif buketan merupakan logika konsumsi dalam membentuk selera masyarakat terutama di Pekalongan. Hal ini juga didukung dengan aplikasi teknik batik yang semakin canggih. Motif buketan dalam kerangka identifikasi pembentukan selera masyarakat Pekalongan masih dipelihara, dikembangkan, hingga pamornya meredup seiring dengan logika pasar yang membuatnya bersaing dengan motif kontemporer. Ini termasuk berbagai ketegangan dan negosiasi dengan berbagai kelompok sosial di Pekalongan dalam menentukan kekhasan motif batik sebagai identitas sosialnya.

Bab V. Kesimpulan dan penutup

(50)

BAB II

BATIK SEBAGAI MANIFESTASI KEBERADAAN

MASYARAKAT PEKALONGAN

Pada bab ini akan digambarkan sejarah batik dalam kerangka batik pesisir, serta bagaimana batik yang awalnya merupakan tradisi yang dijalankan sebagai lelaku, terutama oleh wanita Jawa, kemudian berubah menjadi diproduksi dalam tataran sistem komersial. Selain itu akan dijelaskan bagaimana pola pengorganisasian mekanisme produksi tersebut termasuk masyarakat pendukung yang terutama berasal dari kelompok pendatang di Pekalongan. Pada bagian akhir juga akan dijelaskan bagaimana eksistensi industri batik di Pekalongan yang semakin berkembang dinamis baik performa batik maupun perdagangannya.

A. Sejarah Panjang Batik

(51)

Lalu apakah batik menjadi hak ekslusif orang Jawa karena memuat atau menggunakan bahasa Jawa pada penamaannya? Apakah batik terasosiasi dengan bentuk motif atau dekorasinya? Dan bagaimana latar belakang pembuatannya jika dikaitkan dengan kompleksitas peradaban masyarakat pendukungnya? Pada sub bab ini, penulis akan menguraikan pengertian batik sehingga menjadi kegiatan berkesenian masyarakat pendukungnya, terutama di Pekalongan.

A. 1. Arti dan Perkembangan Batik

Pada dasarnya beberapa penelitian dan kajian mengasosiasikan istilah ‘batik’ dengan asal muasal kebahasaannya dan kebudayaan pendukungnya. Namun beberapa diantaranya bisa dikatakan memiliki pemahaman yang berbeda-beda, terutama jika mengkaitkan dengan teknik membatik yang memang telah dipahami oleh beberapa kebudayaan kuno, yang bahkan sebelum Jawa memilikinya. Teknik yang dimaksud adalah menggambar dengan menuliskan wax

atau lilin batik10 atau biasa disebut dengan istilah lilin malam (selanjutnya disebut lilin-malam) agar bagian yang dituliskan dengan lilin tersebut tidak terkena warna celupan. Proses ini juga dipahami sebagai teknik merintang warna. Tapakan atau goresan lilin yang kemudian tidak terkena warna akan membentuk dekorasi atau dikenal sebagai motif.

Lalu sumber yang menjelaskan istilah ‘batik’ yang dihubungkan dengan padanan bahasa Jawa dilakukan oleh G.P Rouffaer dan H. Juynboll (1914) yang menyebutan bahwa kata batik muncul pada awal abad ke-17 dari bahasa Jawa

10

(52)

‘thika’ yang berarti menulis, menggambar, melukis atau yang berhubungan dengan hal-hal tersebut. Ini diperkuat dengan adanya kata ‘thika' yang berarti menulis dan menggambar dalam Old Javanese English Dictionary karangan P.J. Zoet Mulder & S.O. Robson. Membatik juga biasa disebut mbatik oleh orang Jawa dengan bahasa Jawa Ngoko atau bahasa Jawa kasar yang merujuk pada aktifitas atau kegiatan membatik (Rens Heringa, 1996:32).

Lebih jauh pendapat dari Prof. Dr. R. M. Sutjipto Wirjosuprapto, seperti yang dituliskan Sewan Susanto (1980) mengatakan bahwa bangsa Indonesia sebelum bertemu dengan kebudayaan India telah mengenal teknik untuk membuat batik. Hal tersebut diperkuat oleh pendapat Dr. J.A. Brandes dengan teori “sepuluh unsur kebudayaan” di mana batik menjadi salah satu dari sepuluh kebudayaan yang telah dikenal oleh masyarakat Jawa sejak zaman pra-Hindu. Sektiadi (2008: 2) pada Klasifikasi dan Unsur-unsur Motif dalam Batik Nusantara, dalam makalah Seminar Nasional Kebangkitan Batik Indonesia di Yogyakarta menjelaskan batik telah lama berakar di Jawa dibuktikan pada arca dan percandian yang menampilkan motif-motif yang pada masa sekarang diketahui menjadi motif batik, antara lain dikenal sebagai kawung, lereng, ceplok,

dan cindhen.

Lain lagi pendapat dari seorang Profesor Jagdish J. Charda dari University of Central Florida, Amerika Serikat11 yang menyatakan bahwa kata batik merupakan adopsi dari bahasa India untuk ‘bhatik’ yang artinya menggambar

11

(53)

motif12. Hal ini dapat didukung bahwa pada awal abad 17 telah bermunculan kain Patola dari India yang dibuat dengan teknik chintz yang berarti suatu sisi kain yang digambari dengan teknik pelilinan malam dan diberi warna dengan bahan kimia sekaligus pewarna alam indigo berwarna biru (Harmen Veldhuisen, 1993: 19).

Kemudian Dr. Maria Friend dari James Cook University, Australia13 mengatakan jika ada pendapat bahwa batik di Jawa berasal dari India memang tidak sepenuhnya salah. Ini mengacu pada tekniknya dan bukan pada motifnya, karena tiap kebudayaan memiliki imajinasi atau simbol-simbol kebudayaan yang telah berakar dalam kehidupan masyarakatnya hingga kemudian menjadi motif yang diaplikasiakan pada kain. Namun, masih menurut pendapat Friend, kemudian orang Jawa lebih maju dalam mengembangkan teknik serta motifnya hingga menjadi peradaban yang mengakar di Jawa: digunakan untuk kebutuhan ritual, diajarkan secara meluas dari generasi ke generasi, menjadi pakaian khas kedaerahan serta merupakan barang komoditas utama yang diperdagangkan kepada khalayak dalam jumlah masif.

Adanya sensifisitas masyarakat Indonesia akan klaim batik dari negara tetangga beberapa waktu lalu sebetulnya dapat dijelaskan dengan bagaimana korelasi batik Jawa dengan teknik merintang warna yang telah ada di negara atau kebudayaan lain. Jika ditarik kebelakang, sejarah teknik merintangi lilin, seperti diterapkan di Jawa, beberapa peradaban kuno seperti di Mesir, Cina, Jepang, India, Peru dan di beberapa wilayah benua Eropa. Evolusi batik Jawa juga

12

Lebih lanjut Charda berasumsi bahwa di beberapa kota di India masih melestarikan pembuatan kain bermotif dengan pewarnaan alam.

13

(54)

merupakan proses berabad-abad dimana (berbagai tampilan) desain (motif) dan teknik pada kebudayaan Nusantara telah bercampur dengan teknik dasar merintang dengan lilin malam seperti dibuat oleh masyarakat Austronesia (Rens Heringa, 2000: 31). Namun pada masing-masing kebudayaan menciptakan kreasi pada pengembangannya. Termasuk di Jawa yang menemukan media atau alat untuk membuat batik yang berbeda dengan pembuatan dekorasi kain pada tempat atau kebudayaan lainnya. Masyarakat Jawa menciptakan alat berupa ‘canting’ untuk mempermudah pengerjaan menggambaran motif dengan lilin-malam. Canting ini merupakan sebentuk wadah, cawan atau tempat menampung lilin malam dan memiliki lubang tempat keluar lilin yang telah dilelehkan sebelumnya. Dari lubang atau carat yang memiliki beberapa ukuran inilah akan dihasilkan tapakan batik atau gambar pada kain sesuai usapan yang dikehendaki pembuatnya.

(55)

berbagai bentuk ukuran lubang tempat keluar lilin untuk memberikan kedalaman interpretasi simbol.

Membatik dengan canting menunjukkan kerja manual yang menempatkan olah rasa sebagai bagian yang utama. Diperlukan konsentrasi, kesabaran, ketepatan serta kepandaian membentuk gambar, simbol maupun bentuk yang diinginkan. Pembatik tulis membutuhkan kehalusan raga dan rasa agar dapat berdedikasi pada hasil kreasinya. Fokus inilah yang kemudian tampak pada ritual seni yang mengekpresikan nilai penempatan kebenaran kerja, karakter psikis dan khususnya, yang menimbulkan sikap hormat, kagum, dan penghormatan (Philip Kitley, 1992: 8).

(56)

A.2. Batik Pesisir dan Peralihan Peradaban di Pekalongan

Kekhasan batik merupakan manifestasi pemikiran masyarakat dengan lingkungannya yang menggerakkan aktivitas kesenian yang estetis dan etis di sebuah kawasan tertentu. Keragaman etnis budaya di pesisir pantai utara Jawa, turut membentuk karakter motif batik atau yang biasa disebut ‘batik pesisir’. Batik pesisir ini membedakan dari batik Keraton yang memiliki karakter geometri atau simbol-simbol keluhuran budaya Jawa serta dibuat dengan patron atau etika tertentu.

Pekalongan, Cirebon, Indramayu, Banyumas, Garut, Semarang, Lasem, Madura, Kudus, Tuban, Banyumas dan Gresik merupakan daerah-daerah pantai utara Jawa yang mengembangkan motif batik pesisiran. Motif batiknya bersifat naturalis dengan warna-warna cerah dan beragam, seperti tumbuh-tumbuhan, hewan bahkan kejadian atau peristiwa yang menjadi inspirasi pembatik untuk diwujudkan dalam motif batik. Nuansa batik pesisiran umumnya juga cepat berubah karena memenuhi tuntutan keragaman segmen pembelinya yang selalu

up-date dengan perkembangan mode atau tren yang ada.

Motif batik pesisir sangat dipengaruhi oleh masyarakat pendukungnya yang terutama adalah para pendatang asing. Dengan demikian bentuk hibriditas budaya tergambarkan dalam nuansa menggabungkan antara motif lokal dengan motif Eropa (Belanda), Tionghoa, India hingga Arab. Para pendatang ini bahkan terlibat langsung dalam produksi batik pesisir.

(57)

berakulturasi dengan penduduk setempat hingga menghasilkan Peranakan14, dalam pembuatan motif batik terinspirasi oleh pemahaman atas ikatan budaya leluhur mereka, juga oleh berbagai barang-barang yang mereka bawa atau berasal daru negeri asal : seperti keramik, guci, permadani, kitab dan bahkan motif kain tenun. Masyarakat Tionghoa dan Peranakan misalnya terinspirasi keramik Cina yang oleh beberapa kalangan dianggap menggambarkan status sosial yang tinggi, sehingga keramik patut untuk diadopsikan pada batik. Begitu juga dengan pendatang dari Timur Asia atau masyarakat Arab yang mengembangkan budaya asli mereka agar selain diapresiasi oleh kelompok mereka juga oleh masyarakat pribumi yang dapat atau cenderung mengasosiasi kebudayaan Arab dengan sesuatu yang berhubungan dengan Islam, agama yang menjadi mayoritas di Nusantara.

Pekalongan misalnya merupakan salah sentra batik pesisir yang dikenal dengan motif batik yang terinspirasi dari kebudayaan Eropa dan Tionghoa (Vuldy dalam Hitchcock dan Nuryanti, 2000: introduction). Kehadiran kelompok Eropa, Tionghoa serta dari Arab di Pekalongan ditandai dengan berakhirnya kejayaan Majapahit pada abad 16 dan masuknya kolonial Belanda ditopang dari pedagangan internasional di mana dihubungkan dengan perdagangan India Selatan, Cina dan Laut Hindia (Dale Carolyn Gluckman, 2000; 17). Hal ini membawa dampak pada perubahan sosial, politik, ekonomi di wilayah pesisir

14

Gambar

Tabel 1   .............................................................................................................
Gambar 1: Tampilan batik motif buketan (rangkain bunga) ciptaan Nyonya Eliza van
Gambar 2: Suasana kota dan pembatikan Pekalongan (Sumber: gambar kiri atas Inger McCabe
Gambar 4a-f (searah jarum jam): Motif batik dari beberapa daerah  pesisir.  (Sumber: gambar 4a
+7

Referensi

Dokumen terkait

Jika dirasa sudah mampu untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler orkestra, siswa dapat diterima untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler orkestra tersebut dan

[r]

Terkait dengan kewajaran penyajian Laporan keuangan yang disusun terdiri dari Neraca, Laporan Perubahan Ekuitas, Laporan arus kas, Laporan Pembagian Hasil Usaha di

Pada saat tahap peralihan penulis menjelaskan kembali maksud serta tujuan diadakanya pelaksanaan konseling kelompok, penulis membangun raport (hubungan yang baik)

pesisir. b) Memelihara keseimbangan alamiah antara pertambahan tanah erosi dan sedimentasi. c) Menjaga batas maksimum untuk seluruh hasil panen yang dapat.. Rencana

Untuk program pembangunan fisik, yang termasuk pada pengembangan infrastruktur Bidang Cipta Karya entitas regional antara lain adalah:.. Sistem Pengembangan Air Minum

1 tahun 1997 perusahaan berubah menjadi Perseroan Terbatas (PT) yang selanjutnya dikenal denagn PT. Bio Farma sebagai Badan Usaha Milik Negara Republik Indonesia. Di

Subjek Pajak atau Wajib Pajak dapat mendaftarkan atau memutakhirkan sendiri data Objek Pajak dan/atau Subjek Pajak atau Wajib Pajak, tanpa menunggu penyampaian