• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN - KEKUATAN MENGIKAT SURAT HIBAH MENURUT KUH PERDATA DAN HUKUM ADAT BALI (Studi Di Kecamatan Mataram) - Repository UNRAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN - KEKUATAN MENGIKAT SURAT HIBAH MENURUT KUH PERDATA DAN HUKUM ADAT BALI (Studi Di Kecamatan Mataram) - Repository UNRAM"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masyarakat Indonesia memiliki aneka ragam suku bangsa, adat-istiadat, dan agama serta kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang merupakan potensi adanya keanekaragaman hukum. Oleh karena itu, Indonesia memiliki sistem hukum yang bersifat majemuk yang di dalamnya berlaku berbagai sistem hukum yang memiliki corak dan susunan sendiri, yaitu sistem hukum adat, sistem hukum islam, sistem hukum barat (perdata).

Mengenai adat-istiadat sangat erat kaitannya dengan berbagai masalah yang sering timbul dikalangan masyarakat, seperti permasalahan harta warisan, perkawinan, anak dan yang berkaitan dengan hal tersebut. Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap manusia pasti menghadapi masalah-masalah seperti itu. Hukum di Indonesia biasanya sangat dipengaruhi oleh adat-istiadat, dan budaya setempat terutama dengan agama yang dianut, seperti hukum waris.

(2)

mengangkat seorang anak untuk meneruskan keturunannya. Perbedaan-perbedaan itulah yang menjadi sangat bermasalah dalam kehidupan bermasyarakat, khususnya bagi masyarakat yang masih sangat memegang teguh adat-istiadatnya. Adat-istiadat adalah suatu kaidah atau kebiasaan yang sudah ada sejak turun-temurun dari leluhur dan harus dipatuhi, jika melanggar ketentuan adat-istiadat maka akan diberikan sanksi oleh masyarakat.

Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hukum bagi masyarakat di dalam membangun masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka untuk menyusun hukum nasional yang senantiasa mengikuti dinamika perkembangan zaman diperlukan konsep-konsep dan sumber-sumber dari hukum adat dan dasar-dasar hukum lainnya. Adat-istiadat atau kebiasaan masyarakat kemudian berkembang menjadi hukum adat dimana harus ditaati oleh anggota masyarakatnya dan mempunyai sanksi. Hukum adat merupakan hukum tidak tertulis yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.

Tiap-tiap hukum adalah sesuatu yang berkenaan dengan manusia, yaitu manusia dalam hubungan dengan manusia lainnya. Adanya manusia dalam pergaulan hidup tergantung pada adanya manusia yang hidup bersama dan dengan adanya pergaulan hidup itu terdapatlah hukum.

(3)

tersebut pada orang lain atau orang terdekatnya saat ia masih hidup ataupun setelah ia meninggal dunia.

Para orang tua pasti menginginkan kehidupan yang lebih layak untuk anggota keluarganya terutama kepada anak-anaknya. Setiap orang pasti mempunyai kekayaan dengan hasil kerja keras. Harta kekayaan ataupun harta benda yang diperoleh dari hasil keringatnya digunakan sebagai bekal materiil untuk kelangsungan hidup anak cucunya kelak.1

Ada kalanya seseorang melakukan atau membagi harta miliknya pada masa ia masih hidup kepada anak cucunya dan keluarga lainnya. Tidak jarang orang tua memberikan hibah kepada anak kandungnya karena anaknya bukanlah sebagai ahli waris yang sah atau kepada orang lain yang menurutnya lebih pantas mendapatkan sebagian atau seluruh harta kekayaannya yang didasari dengan rasa kepercayaan.

Memang banyak orang yang ingin sekali mewariskan hartanya kepada orang terdekat seperti suami atau isteri dan anak-anak kandungnya, tetapi di mata keluarga dan menurut adat seseorang itu tidak mempunyai ahli waris yang berhak seperti yang ditentukan dalam adat. Oleh karena itulah, si pewaris dapat memberikan harta kekayaannya kepada orang yang sangat dicintai semasa hidupnya dengan cara menghibahkannya.

1 Dominikus Rato, Hukum Perkawinan dan Waris Adat (Sistem Kekerabatan, Bentuk

(4)

Hibah berkaitan dengan hukum waris dan hukum keluarga karena hibah sangat erat kaitannya dengan masalah harta kekayaan dalam sebuah hubungan keluarga. Hal ini telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Masalah harta merupakan permasalahan yang sangat pelik. Bagi sebagian kalangan persoalan harta ini bahkan dapat menimbulkan peperangan, perpecahan hingga saling fitnah dalam keluarga. Untuk itu perlu pengaturan masalah harta agar terdapat kepastian hukum bagi orang yang akan memberikan hartanya kepada anak dan suami atau isteri.

Bagi sebagian kalangan yang tidak mempunyai keturunan atau pun yang mempunyai keturunan tetapi dalam adat tidak diperbolehkan menjadi ahli waris yang sah, dapat memberikan harta dari hasil jerih payahnya sendiri dengan cara hibah.

Hibah sudah sangat dikenal sejak dulu, namun dalam prakteknya sangat sedikit yang dapat memahami hibah secara lebih mendalam. Hibah tidak dibuat sendiri, melainkan dibuat oleh pejabat yang berwenang yaitu notaris. Oleh karena itu surat hibah yang dibuat oleh notaris dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Hibah diatur dalam Pasal 1666 sampai dengan Pasal 1693 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

(5)

Hibah biasanya terjadi setelah adanya perkawinan. Karena dalam sebuah perkawinan akan menimbulkan suatu hubungan keluarga yang tidak hanya mencakup keluarga kecil melainkan juga dengan keluarga besar dari masing-masing pihak. Tidak hanya itu, dalam perkawinan itu pula akan menimbulkan berbagai hak dan kewajiban serta tidak jarang terjadi konflik dalam keluarga. Konflik-konflik yang biasa terjadi saat ini sebagian besar tidak lain adalah mengenai persoalan kepemilikan harta dan harta peninggalan atau harta warisan.

Harta yang boleh dihibahkan hanya harta yang diperoleh sejak saat perkawinan berlangsung, bukan harta yang diberikan oleh orang tua atau yang dibawa sebelum perkawinan berlangsung. Apabila harta tersebut merupakan harta bawaan sebelum terjadinya perkawinan, maka harta tersebut merupakan harta warisan dari orang tua. Harta warisan tidak dapat dihibahkan, tetapi hanya dapat diwariskan turun-temurun kepada garis keturunan yang paling dekat dengan orang tua.

Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 1 menyebutkan bahwa “perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

(6)

meneruskan hak, kewajiban dan pemilik dari harta kekayaannya kelak? Itulah mengapa hibah saling berkaitan dengan harta, perkawinan dan keluarga.

Berdasarkan pengalaman dan fakta-fakta yang terjadi dalam masyarakat, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang lebih mendalam mengenai hal tersebut khususnya mengenai hibah.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana kekuatan mengikat surat hibah menurut KUH Perdata dan hukum adat Bali?

2. Adakah perbedaan-perbedaan mendasar mengenai hibah menurut KUH Perdata dan hukum adat Bali?

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah untuk menjelaskan dan mendeskripsikan bagaimana kekuatan mengikat dari surat hibah menurut KUH Perdata dan hukum adat Bali serta untuk mengetahui perbedaan-perbedaan mendasar mengenai hibah menurut KUH Perdata dan hukum adat Bali kepada khalayak umum. Dengan dilakukannya penelitian ini penulis juga dapat mengetahui lebih dalam lagi mengenai hibah berdasarkan dari pengalaman orang lain maupun dari berbagai literatur-literatur.

2. Manfaat Penelitian

(7)

1). Sebagai bahan pengetahuan tambahan untuk dapat dibaca oleh masyarakat pada umumnya dan dipelajari lebih lanjut oleh kalangan hukum lainnya.

2). Menjadi suatu sarana dalam memperluas dan mengembangkan ilmu pengetahuan hukum.

b. Manfaat praktis

Dapat menjadi bahan informasi, penjelasan, dan masukan yang lebih mendalam bagi masyarakat yang berkecimpung dalam hal-hal yang berkaitan dengan penelitian ini.

D. Ruang Lingkup Penelitian

(8)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Perkawinan dan Harta Perkawinan

Dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Pasal 1 menyebutkan bahwa “perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Perkawinan adalah perjanjian hidup bersama antara dua jenis kelamin yang berbeda untuk membangun kehidupan rumah tangga yang bahagia, tidak hanya semata-mata kepada masalah biologis, melainkan adanya suatu hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang melekat sehingga terciptalah rumah tangga yang harmonis. 2

“Undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata dan tidak ada upacara keagamaan yang boleh diselenggarakan sebelum melakukan perkawinan dihadapan pegawai pencatatan sipil. Menurut perundangan yang tegas dinyatakan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, perkawinan hanya dilihat dari segi keperdataan dan mengabaikan segi keagamaan. Ini jelas bertentangan dengan falsafah Negara Pancasila yang menempatkan ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa diatas segala-galanya. Masalah perkawinan merupakan perbuatan suci (sakramen) yang mempunyai hubungan erat dengan agama/ kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/ jasmani, tetapi juga unsur bathin/rohani.”3

Perkawinan dianggap sah apabila : (1) telah dilangsungkan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing dan (2) dicatat menurut peraturan perundang-undangan. Tujuannya untuk menghindari konflik hukum antara hukum

2Zulfa Djoko Basuki, Kompilasi Bidang Hukum Kekeluargaan, (Jakarta: Badan

Pembinaan Hukum Nasional HAM RI, 2009), hal.19

3 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum

(9)

adat, hukum agama, hukum antar golongan, menjadikan peristiwa perkawinan menjadi jelas, dan terbukti dengan adanya pencatatan tersebut.4

Seperti yang kita ketahui bahwa dalam sebuah perkawinan akan menimbulkan hak-hak dan kewajiban dari masing-masing pihak dan menimbulkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban antara orang tua dan anak, dan hal ini tidak terlepas dari persoalan harta, karena dari perkawinan akan timbul beberapa hukum seperti hukum waris. “Hukum waris merupakan bagian dari hukum kekayaan dan erat kaitannya dengan hukum keluarga.”5

Hak dan kedudukan suami isteri adalah sama di dalam peraturan perundangan. Dalam perkawinan harta dapat dibedakan menjadi dua yaitu harta bersama dan harta bawaan. “Harta bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan, sedangkan harta bawaan adalah harta yang diperoleh masing-masing suami isteri sebagai hadiah atau warisan.”6

Harta bersama meliputi hasil pendapatan suami, hasil pendapatan isteri, serta hasil dan pendapatan dari harta pribadi masing-masing suami-isteri selama perkawinan, meskipun harta pokoknya tidak termasuk dalam harta bersama. Menurut yurisprudensi Mahkamah Agung, suatu harta benda perkawinan dianggap sebagai harta bersama, kecuali dapat dibuktikan lain.7

4 Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Cet. I, (Jakarta : Sinar Grafika,

2002), hal. 64

5 hukum.kompasiana.com , diakses pada tanggal 31 Oktober 2012, jam 18.31 WITA 6 Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Cet. II, (Jakarta: Sinar Grafika,

2002), hal. 75

7 J. Andy Hartanto, Hukum Harta Kekayaan Perkawinan, Cet. I, (Yogyakarta: Laksbang

(10)

Harta bawaan tersebut dapat dibedakan antara harta bawaan suami dan harta bawaan isteri (harta peninggalan, harta warisan, harta hibah/wasiat dan harta pemberian/hadiah) :

a. Harta peninggalan adalah harta atau barang-barang yang dibawa suami atau isteri ke dalam perkawinan yang berasal dari peninggalan orang tua.

b. Harta warisan adalah harta atau barang-barang yang dibawa suami atau isteri ke dalam perkawinan yang berasal dari warisan orang tua.

c. Harta hibah/wasiat adalah harta atau barang-barang yang dibawa oleh suami atau isteri ke dalam perkawinan yang berasal dari hibah/wasiat anggota kerabat.

d. Harta pemberian/hadiah adalah harta atau barang-barang yang dibawa oleh suami atau isteri ke dalam perkawinan yang berasal dari pemberian/hadiah para anggota kerabat atau mungkin juga dari orang lain karena hubungan baik.8

Harta benda pribadi masing-masing suami-isteri yang diperoleh sebagai hadiah atau warisan (Harta Hibahan) adalah tetap berada dibawah kekuasaan masing-masing. Terhadap harta bawaan tersebut masing-masing suami-isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas hartanya tersebut.9

Dalam hal tersebut diatas, si pemberi hibah atau pewaris melalui suatu hibah wasiat, dapat menentukan suatu syarat bahwa harta yang akan diberikan baik sebagai hibah atau warisan tidak boleh menjadi harta bersama, namun tetap harus menjadi harta pribadi si penerima hibah/ warisan. Ketentuan dan syarat demikian adalah wajar dan dibenarkan secara hukum karena selaku pemilik barang si penghibah atau pewaris dapat menentukan bahwa harta yang kelak akan diberikan kepada penerima hibah/warisan adalah untuk kepentingan dan keuntungan pribadi dari si penerima hibah/warisan, bukan untuk orang lain, termasuk tidak

8Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, Cet. VI, (Bandung: PT Citra Aditya

Bakti, 2003) , hal.157

9 J. Andy Hartanto, Hukum Harta Kekayaan Perkawinan, Cet. I, (Yogyakarta: Laksbang

(11)

boleh dimiliki atau diambil keuntungan oleh suami-isteri dari penerima hibah/warisan.10

Sedangkan menurut hukum Hindu ”perkawinan (wiwaha) adalah ikatan antara seorang pria dan wanita sebagai suami isteri untuk mengatur hubungan seks yang layak guna mendapatkan keturunan anak pria yang akan menyelamatkan arwah orang tuanya dari neraka Put, yang dilangsungkan dengan upacara ritual menurut agama Hindu Weda Smrti.”11

Dalam hal ini, keturunan yang paling diutamakan adalah anak laki-laki karena dialah yang akan meneruskan hak dan kewajiban orang tuanya dikala orang tuanya sudah meninggal. Anak laki-laki akan mengantar Pitara dari neraka yang disebut Put, karena itu ia disebut Putra dengan kelahirannya.12

Pelaksanaan perkawinan diwarnai oleh berlakunya hukum adat, disamping antara adat dan agama Hindu sulit dipisahkan, hukum perkawinan juga sangat kuat dipengaruhi oleh hukum keluarga yang masih dikuasai oleh hukum adat.13

Di dalam awig-awig desa pakraman, perkawinan (Pawiwahan) didefinisikan sebagai “…patemoning purusa kelawan pradana melarapan antuk panunggalan kayun suka cita, kadulurin upasaksi sekala niskala”. Konsep sekala niskala merupakan konsepsi yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan masyarakat Bali yang religius, senantiasa menjaga keharmonisan hubungan antara

10Ibid, hal 63

11 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum

Adat, Hukum Agama, Cet. II, (Bandung: Mandar Maju, 2003), hal. 12

12 Wayan P. Windia, Ketut Sudantra, Pengantar Hukum Adat Bali, Cet. I, (Denpasar :

Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas HUkum Universitas Udayana, 2006), hal. 94

13 Ni Nyoman Sukerti, Hak Mewaris Perempuan Dalam Hukum Adat Bali, Cet. I,

(12)

dunia nyata (sekala) dan dunia gaib (niskala) dalam setiap aspek kehidupannya, termasuk dalam perkawinan. Itulah sebabnya, pelaksanaan perkawinan tidak hanya menjadi urusan pribadi calon mempelai, keluarga dan masyarakat (banjar), tetapi juga berurusan dengan roh leluhur yang bersemayam di sanggah atau

merajan, bhuta kala, dan Hyang Widhi.14

Hukum adat Bali mengenal dua bentuk perkawinan yaitu :

a. Perkawinan biasa (nganten biasa), pihak wanita meninggalkan keluarganya dan masuk menjadi anggota keluarga suaminya. Keseluruhan aktivitas perkawinan, menjadi tanggung jawab keluarga laki-laki.

b. Perkawinan nyentana atau nyeburin, dalam bentuk perkawinan nyeburin pihak laki-laki yang meawak luh (berstatus seperti wanita atau predana) dan meninggalkan keluarga istrerinya yang meawak muani (berstatus sebagai laki-laki atau purusa) dan tetap bertempat tinggal dalam keluarganya pada saat perkawinan dilangsungkan. Wanita yang dikawini secara nyeburin berstatus sebagai sentana rajeg, yang melanjutkan keturunan keluarganya.15

Perkawinan yang sah pada masyarakat Hindu adalah perkawinan yang telah diupacarakan menurut adat agama yang sering disebut dengan mewidi wedhana (meperagat) yang merupakan upacara terbesar dalam perkawinan.

Menurut Arthayasa bahwa sahnya perkawinan menurut hukum Hindu harus memenuhi syarat sebagai berikut :

a. Suatu perkawinan menurut Hindu sah jikalau dilakukan menurut ketentuan hukum Hindu.

b. Untuk mengesahkan perkawinan menurut hukum Hindu harus dilakukan oleh Pendeta/Pinandita.

14 Wayan P. Windia, Ketut Sudantra, Pengantar Hukum Adat Bali, Cet. I, (Denpasar :

Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2006), hal. 84

(13)

c. Suatu perkawinan hanya dapat disahkan menurut hokum Hindu jikalau kedua mempelai telah menganut agama Hindu. Ini berarti kalau kedua mempelai atau salah satunya belum beragama Hindu, maka perkawinan tidak dapat disahkan. Untuk mengesahkan seseorang masuk agama Hindu harus di sudhiwadani terlebih dahulu.16

Cara perkawinan yang dilakukan sangat menentukan status hukum suami isteri dan anak-anak dalam keluarga. Ada tiga cara perkawinan yang lumrah dilakukan oleh masyarakat Bali, yaitu :

a. Perkawinan dengan cara memadik (meminang).

b. Perkawinan dengan cara ngrorod (lari bersama).

c. Perkawinan dengan cara melegandang (membawa paksa untuk kawin).17

Memadik (meminang) adalah lamaran yang dilakukan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan setelah melewati masa pengenalan dengan membawa sarana satu stel pakaian perempuan dan perlengkapan lainnya yang diberikan kepada pihak gadis yang disebut dengan istilah basan pupur, penangsek,

paweweh yang semuanya bermakna pemberian.

Ngerorod (lari bersama) yaitu calon mempelai lari bersama menuju ke suatu tempat yang telah dipersiapkan yang disebut dengan tempat persembunyian tanpa ada paksaan dari kedua calon mempelai. Menurut A.A.Ngurah Kaleran, perkawinan ini harus dilakukan pada malam hari, ini mengandung makna kesungguhan hati dari calon suami isteri dan didasarkan atas kehendak bersama.

16 Ni Nyoman Sukerti, Hak Mewaris Perempuan Dalam Hukum Adat Bali, Cet. I,

(Denpasar : Udayana University Press, 2012), hal. 39

(14)

Melegandang (membawa paksa untuk kawin) adalah suatu cara perkawinan dimana laki-laki dengan cara memaksa sang gadis untuk di ajak kawin. Pada zaman sekarang cara perkawinan ini sudah ditinggalkan karena masyarakat mengalami perkembangan dan ini juga tidak sesuai dengan hukum yang berlaku yakni perturan perundang-undangan tentang perkawinan.18

Pada masyarakat Bali, menurut adat lama yang amat dipengaruhi oleh sistem klen-klen (dadia) dan sistem kasta (wangsa) maka perkawinan sedapat mungkin dilakukan diantara warga seklen atau setidak-tidaknya antara orang-orang yang dianggap sederajat dalam kasta.19

Perkawinan yang dianggap pantang adalah perkawinan antara saudara perempuan suami dengan saudara perempuan istri (maka dengan ngad), karena perkawinan itu dianggap mendatangkan malapetaka (panes). Perkawinan pantang yang dianggap sebagai perbuatan sumbang yang besar (agamiagamena) adalah perkawinan antara seseorang dengan anaknya, antara seseorang dengan saudara sekandung atau saudara tirinya, dan antara seseorang dengan anak dari saudara perempuan maupun laki-laki (keponakannya).20

Dalam adat Bali, perkawinan yang terjadi sangat mempengaruhi kedudukan suami dan isteri yang mengakibatkan hak dan kedudukan suami dan isteri tidak seimbang. Hak dan kedudukan isteri lebih rendah daripada suami.21

18 Ni Nyoman Sukerti, Hak Mewaris Perempuan Dalam Hukum Adat Bali, Cet. 1,

(Denpasar : Udayana University Press, 2012), hal. 24-30

19 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Cet. 2, (Jakarta : PT Raja Grafindo

Persada, 1983), hal. 222

20Ibid

21 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum

(15)

Demikian halnya mengenai kewajiban suami dan isteri baik dalam undang-undang maupun dalam adat Bali adalah berbeda sesuai dengan porsinya masing-masing dalam rumah tangga. Hanya saja suami isteri wajib saling mencintai, saling hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.22

Bagi masyarakat hukum adat Bali, keturunan dari satu pihak, yaitu pihak bapak disebut dengan istilah “tunggal dadia”, “tunggal sanggah”, atau “tunggal kawitan”, maksudnya mempunyai satu atau ketunggalan leluhur yang dilacak tidak hanya dari satu generasi melainkan berpuluh-puluh generasi ke atas yang akan melanjutkan kewajiban-kewajiban keagamaan, persembahyangan tertentu yang dilakukan oleh keturunan laki-laki. Apabila hanya mempunyai anak perempuan, maka harus melakukan perkawinan nyentana agar dapat melaksanakan kewajiban sebagaimana yang dilakukan oleh anak laki-laki dan dapat menjadi ahli waris. Dengan diakuinya perkawinan nyentana, maka sistem kekerabatan patrilineal yang dianut masyarakat Bali adalah tidak murni.23

Pewarisan menurut hukum Hindu adalah salah satu cara untuk memperoleh hak atas harta benda yang disebut dengan warisan.

“Dalam adat Bali yang bersifat patrilineal, semua harta yang masuk dalam ikatan perkawinan menjadi harta bersama yang dikuasai oleh suami sebagai kepala keluarga/rumah tangga. Semua perbuatan hukum yang menyangkut harta perkawinan harus disetujui suami, isteri tidak boleh bertindak sendiri atas harta bawaannya tanpa persetujuan suami, bahkan

22Ibid, hal. 114

23 Ni Nyoman Sukerti, Hak Mewaris Anak Perempuan, Cet. I, (Denpasar : Udayana

(16)

harta bawaan yang bernilai adat bukan hanya suami yang menguasai tetapi juga termasuk kerabat bersangkutan.”24

Dalam masyarakat Bali harta bersama disebut dengan istilah druwe gabro, arok sekaya, yang lazim digunakan dalam awig-awig desa adat adalah

pegunakaya atau gunakaya.25

Harta bawaan dari masing-masing suami atau isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan. Anak wanita bukanlah ahli waris sehingga istri tidak mungkin memperoleh harta karena warisan. Menurut adat Bali wanita hanya mungkin menerima pemberian harta dari orang tuanya berdasarkan pemberian yang sifatnya sukarela yang disebut dengan jiwadana.26

B. Hukum Waris

1. Pengertian Hukum Waris

“Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli warisnya. Harta peninggalan baru terbuka jika si pewaris telah meninggal dunia.”27

24Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum

Adat, Hukum Agama, Cet. II, (Bandung: Mandar Maju, 2003), hal. 124

25 Wayan P. Windia, Ketut Sudantra, Pengantar Hukum Adat Bali, Cet. I, (Denpasar :

Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2006), hal.106

26Ibid

27 Effendi Perangin, Hukum Waris, Cet. 10, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2011),

(17)

Pada asasnya, yang dapat diwariskan hanya hak-hak dan kewajiban dibidang hukum kekayaan saja.28Sifat hukum waris Perdata Barat (BW) yaitu

menganut :

a. Sistem pribadi, ahli waris adalah perseorangan, bukan kelompok ahli waris.

b. Sistem bilateral, mewaris dari pihak ibu maupun bapak.

c. Sistem perderajatan, ahli waris yang derajatnya lebih dekat dengan si pewaris menutup ahli waris yang lebih jauh derajatnya.29

Dalam sebuah perkawinan menurut KUH Perdata, sistem pembagian harta dilakukan dengan sistem pembagian waris berdasarkan individual. Harta warisan dibagi berdasarkan jumlah ahli waris, laki-laki dan perempuan mendapat bagian yang sama.30

Prinsip pembagian waris dalam Pasal 1066 KUH Perdata, yaitu :

a. Dalam hal seorang mempunyai hak atas sebagian dari sekumpulan harta benda, seorang itu tidak dipaksa membiarkan harta bendanya itu tetap dibagi-bagi diantara orang-orang yang bersama-sama berhak atasnya.

b. Pembagian harta benda selalu dituntut meskipun ada suatu perjanjian yang bertentangan dengan itu.

c. Dapat diperjanjikan, bahwa pembagian harta benda itu dipertangguhkan selama waktu tertentu.

d. Perjanjian semacam ini hanya dapat berlaku selama lima tahun tetapi dapat diadakan lagi, jika tenggang waktu lima tahun itu telah lalu.31

Sedangkan prinsip-prinsip pewarisan yang berlaku secara umum, yaitu :

28 Henny Tanuwidjaja, Hukum Waris Menurut BW, Cet. I, (Bandung : PT Refika

Aditama, 2012), hal. 3

29 Efendi Perangin, op.cit, hal. 4

30 NM. Wahyu Kuncoro, Solusi Cerdas Menghadapi Kasus Keluarga, Cet. I, (Jakarta:

Raih Asa Sukses, 2010), hal. 94

(18)

a. Adanya harta peninggalan (kekayaan) pewaris yang disebut warisan.

b. Adanya pewaris, orang yang menguasai atau memiliki harta warisan dan mengalihkan atau meneruskannya.

c. Adanya ahli waris, orang yang menerima harta warisan itu.32

Lain halnya dengan prinsip pewarisan dalam hukum adat, yaitu :

a. Jika pewarisan tidak dapat dilaksanakan secara menurun maka harta warisan dilakukan secara keatas atau ke samping.

b. Tidak selamanya harta peninggalan pewaris dapat langsung dibagi diantara para ahli waris. Atas harta peninggalan, terkadang ada harta yang sifat pembagiannya harus ditangguhkan dan ada kalanya tidak dapat dibagi sebab harta tersebut tidak tetap merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dibagi untuk selamanya.

c. Hukum adat mengenal prinsip ahli waris pengganti. Seorang anak dapt bertindak sebagai ahli waris pengganti dari ayahnya.

d. Hukum adat tidak menentukan waktu harta warisan itu akan dibagi atau waktu diadakannya pembagian.

e. Apabila terjadi konflik (perselisihan), diupayakan terlebih dahulu melalui musyawarah. Apabila gagal, baru meminta bantuan dan campur tangan ketua adat atau pemuka agama.33

Ketika pewaris meninggal dunia maka segala harta benda miliknya langsung dibagi-bagikan kepada para ahli waris. Ahli waris dapat menuntut agar harta peninggalan segera dibagikan, walaupun ada perjanjian yang bertentangan dengan itu. Dimungkinkan untuk menahan atau menangguhkan pembagian harta warisan itu atas kesepakatan para ahli waris, tetapi tidak boleh lewat dari lima tahun kecuali dalam keadaan luar biasa.34

32Ibid, hal.92

33 NM. Wahyu Kuncoro, Solusi Cerdas Menghadapi Kasus Keluarga, Cet. I, (Jakarta :

Raih Asa Sukses, 2010), hal. 96

34 NM. Wahyu Kuncoro, Solusi Cerdas Menghadapi Kasus Keluarga, Cet. I, (Jakarta :

(19)

Dalam hukum waris BW terdapat unsur paksaan, misalnya ketentuan yang memberikan hak mutlak kepada ahli waris tertentu atas sejumlah tertentu dari harta warisan atau ketentuan yang melarang pewaris sewaktu hidupnya untuk membuat ketetapan terhadap sejumlah tertentu dari hartanya.”35

Ada 2 golongan ahli waris dalam hukum waris KUH Perdata, yaitu :

a. Ahli waris menurut UU / ahli waris tanpa wasiat (ahli bwaris ab intestate), yang termasuk dalam golongan ini ialah :

1) Suami atau isteri (duda atau janda) dari si pewaris (almarhum). 2) Keluarga sedarah yang sah dari si pewaris.

3) Keluarga sedarah alami dari si pewaris.

b. Ahli waris menurut surat wasiat (ahli waris testamentair), termasuk kedalam keadaan golongan ini adalah semua orang yang oleh pewaris diangkat dengan surat wasiat untuk menjadi ahli waris.36

2. Syarat Pewarisan

Berbicara tentang hukum waris tidak terlepas dari hal membicarakan orang yang meninggal dunia yaitu orang yang yang meninggalkan harta arisan. Secara umum syarat pokok dari orang yang meninggalkan warisan adalah orang yang bebas, mereka untuk menentukan kemauannya.37

Dari Pasal 895 BW, untuk membuat suatu hibah wasiat haruslah orang yang sehat pikirannya, dengan demikian orang ini bukanlah orang gila dan bukan

35 Anisitus Amanat, Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-Pasal Hukum Perdata BW,

Cet. 3, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 2

36 NM. Wahyu Kuncoro, Loc.cit.,

37 Henny Tanuwidjaja, Hukum Waris Menurut BW, Cet. I, (Bandung : PT Refika

(20)

pula orang yang sedang sakit hingga mengigau (ijlende koorts), dan bukan pula orang yang sedang mabuk karena minuman keras.38

Jika seseorang yang dalam keadaan tidak sehat membuat hibah wasiat dapat ditentang keabsahannya oleh keluarga, maupun orang lain yang berkepentingan.39

Syarat-syarat ahli waris yaitu sebagai berikut :

a. Mempunyai hak atas harta peninggalan si pewaris yang timbul karena : 1) Hubungan darah (Pasal 832 BW)

2) Karena wasiat (Pasal 874 BW).

b. Harus sudah ada dan masih ada ketika si pewaris meninggal dunia (Pasal 836 BW), dengan tetap memperhatikan ketentuan dari Pasal 2 BW, yang menyatakan anak yang masih dalam kandungan dianggap telah lahir jika kepentingan si anak itu menghendaki, jika dilahirkan mati maka dianggap tidak pernah ada.

c. Ahli waris harus patut mewaris atau onwaardig. d. Orang yang menolak harta warisan.40

Namun dalam Pasal 838 KUH Perdata menyebutkan bahwa “yang dianggap tidak patut menjadi waris dan karenanya pun dikecualikan dari pewarisan ialah :

a. Mereka yang telah di hukum karena dipersalahkan telah membunuh, atau, mencoba membunuh si yang meninggal;

b. Mereka yang dengan keputusan Hakim pernah dipersalahkan karena secara fitnah telah mengajukan pengaduan terhadap si yang meninggal, ialah suatu pengaduan telah melakukan sesuatu kejahatan yang terancam dengan hukuman penjara lima tahun lamanya dan hukuman yang lebih berat;

(21)

c. Mereka yang dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah si yang meninggal untuk membuat atau mencabut surat wasiatnya;

d. Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat si yang meninggal.”

Sedangkan menurut hukum adat Bali, ahli waris adalah anak kandung laki-laki yang diatur dalam hukum Hindu, dengan syarat-syarat seorang ahli waris sebagai berikut :

a. Ahli waris harus mempunyai hubungan darah dengan pewaris, baik karena ahli waris merupakan keturunannya, maupun karena berdasarkan undang-undang atau ketentuan lain.

b. Anak itu harus laki-laki.

c. Bila tidak ada anak, barulah jatuh pada anak yang bukan sedarah karena hukum ia berhak mewaris, misalnya anak angkat.

d. Bila tidak ada anak dan juga tidak ada anak angkat, hukum Hindu membuka kemungkinan adanya penggantian melalui penggantinya atau kelompok ahli waris dengan hak keutamaan kepada kelompok dengan hak pengganti lainnya yang memenuhi syarat menurut hukum Hindu.41

3. Wasiat Atau Testamen

Dalam Pasal 875 KUH Perdata menyebutkan bahwa “ada pun yang dinamakan surat wasiat atau testamen ialah suatu akta yang memuat pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia, dan yang olehnya dapat dicabut kembali.” Dari pengertian tersebut maka dapat kita tarik kesimpulan bahwa cirri-ciri surat wasiat adalah :

a. Merupakan perbuatan sepihak yang dapat dicabut kembali.

41 Ni Nyoman Sukerti, Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Hukum Adat Bali, Cet. I,

(22)

b. Merupakan kehendak terakhir dan mempunyai kekuatan hukum setelah pewaris meninggal dunia.42

Hukum waris testamen timbul atas dasar prinsip bahwa setiap orang berhak atau bebas untuk berbuat apa saja terhadap harta bendanya dan bebas untuk mewasiatkan hartanya kepada siapa saja yang di inginkan walaupun masih juga ada batas-batas yang di izinkan oleh undang-undang.43 Dalam pembuatan

surat wasiat diperlukan campur tangan notaris dan dihadapan para saksi.

Syarat-syarat saksi dalam pembuatan surat wasiat :

a. Sudah berumur 21 tahun atau sudah kawin.

b. Penduduk Indonesia.

c. Mengerti bahasa yang digunakan oleh pewaris dan yang digunakan untuk/dalam surat wasiat.44

Menurut Pasal 874 KUH Perdata, dapat disimpulkan bahwa :

a. Dengan surat wasiat si pewaris dapat mengangkat seseorang atau beberapa orang ahli waris.

b. Terdapat suatu kemungkinan bahwa harta warisan tersebut yang merupakan peninggalan seseorang dibagi berdasar undang-undang (sebagian) dan selebihnya berdasar surat wasiat.

c. Ahli waris yang berdasarkan testamen lebih diutamakan daripada ahli waris menurut undang-undang.45

42 Henny Tanuwidjaja, Hukum Waris Menurut BW, Cet. I, (Bandung : PT Refika

Aditama, 2012), hal. 51

43Ibid, hal. 50

44 Henny Tanuwidjaja, Hukum Waris Menurut BW, Cet. 1, (Bandung : PT Refika

Aditama, 2012), hal. 54

(23)

C. Hibah

Dalam KUH Perdata Pasal 1666 menyebutkan bahwa, “hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya, dengan Cuma-Cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu.”

Maksud tidak dapat ditarik kembali adalah bahwa pemberian yang telah diberikan oleh si pemberi hibah tidak dapat ditarik atau dicabut kembali dari penerima hibah, dengan pengecualian yaitu jika si penerima hibah melanggar persyaratan-persyaratan yang telah diberikan oleh pemberi hibah dan melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan.46

Pada dasarnya perjanjian hibah merupakan perjanjian sepihak, karena yang paling aktif untuk melakukan perbuatan hukum adalah si penghibah, sedangkan si penerima hibah adalah pihak yang pasif. Unsur-unsur yang ada dalam perjanjian hibah, yaitu :

a. Adanya pemberi dan penerima hibah,

b. Pemberi hibah menyerahkan barang kepada penerima hibah dengan cuma-cuma, dan

c. Pemberian itu tidak dapat ditarik kembali.47

Harta yang dapat dihibahkan yaitu harta berwujud yang sudah ada. Jika hibah mencakup barang-barang yang belum ada, maka penghibahan menjadi batal hanya sekedar barang-barang yang belum ada.48Didalam hibah tidak ada unsur

46 Salim HS, Hukum Kontrak, Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta : Sinar

grafika, 2003), hal. 75

47 Salim HS, Hukum Kontrak, Teori 7 Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta : Sinar

Grafika, 2003), hal. 75

48www.lbhmawarsaronsemarang.org diakses pada tanggal 31 Oktober 2012, jam 17.50

(24)

kontra prestasi, sehingga pembentuk undang-undang membuat aturan yang mewajibkan penerima hibah untuk memasukkan kembali semua harta yang telah diterimanya itu ke dalam harta warisan pemberi hibah untuk diperhitungkan kembali. Apabila harta yang diterima dari pemberi hibah tidak melanggar hak mutlak ahli waris, penerima hibah tidak berkewajiban mengembalikan harta tersebut kepada ahli waris.49

Dalam pasal 1676 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa “setiap orang diperbolehkan memberi dan menerima sesuatu sebagai hibah kecuali mereka yang oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap untuk itu.” Namun ada pendapat yang mengatakan bahwa tidak semua orang berhak menerima hibah. Artinya ada orang-orang tertentu yang tidak berhak menerima hibah seperti anak zinah atau suami atau isteri yang hidup terlama. Jika ternyata pewaris sewaktu masuh hidup telah memberikan hibah kepada orang-orang tertentu tersebut maka hibah tersebut harus dinyatakan batal.50

Sedangkan dalam hukum adat Bali, menurut Gde Pudja, MA,S.H., mengemukakan bahwa “hibah itu adalah penyerahan hak seseorang atas harta benda yang dimiliki sebagai haknya kepada orang lain yang menerima hak itu atas harta benda yang akan dihadiahkan tanpa mempertimbangkan nilainya.”51

Hibah diperuntukkan kepada anak perempuan sebab anak perempuan yang sudah kawin mengikuti suaminya.52 Hibah atau jiwadana (sebutan dalam

49 Anisitus Amanat, Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-Pasal Hukum Perdata BW,

Cet. 2, (Jakarta : Rajawalin Pers, 2001), hal. 70

50Ibid, hal. 72

51 I Ketut Artadi, Hukum Adat Bali Dengan Aneka Masalahnya, Cet.3, (Denpasar :

Pustaka Bali Post, 2003), hal. 138

52 Dominikus Rato, Hukum Perkawinan dan Waris Adat, Cet. I, (Surabaya : Laksbang

(25)

masyarakat Bali) yaitu pemberian harta yang diberikan orang tua semasih hidupnya kepada anak laki-laki atau perempuannya.53

Hibah merupakan perbuatan hukum waris sebagai kebalikan dari ketentuan hukum adat yang mengatur tenteng harta peninggalan yang tidak dapat dibagi-bagi.54Hibah dapat dikatakan sebagai bentuk penyimpangan terhadap

hukum adat waris yang berlaku pada masyarakat Bali (Patrilineal). Harta benda (pusaka) hanya dapat diwariskan kepada anak laki-laki, tetapi dengan hibah si ayah atau ibu dapat memberikan harta bendanya kepada anak perempuannya.55

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini, jenis penelitiannya adalah penelitian hukum normatif empiris, yaitu suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari segi normatif dan empirisnya.

Agar memenuhi kriteria ilmiah dan mendekati kebenaran guna memperoleh bahan hukum dan data mengenai tersebut di atas, maka menggunakan pendekatan yang terdiri dari :

1. Penelitian Yuridis Normatif

53 Gde Panetje, Aneka Catatan Tentang Hukum Adat Bali, Cet.3, (Denpasar : CV.

Kayumas Agung, 2004), hal. 105

(26)

Adalah penelitian yang memandang hukum sebagai doktrin atau seperangkat peraturan yang bersifat normatif (law in book). Pendekatan ini dilakukan melalui upaya pengkajian atau penelitian hukum kepustakaan.56

2. Penelitian Empiris / Sosiologis

Pada pendekatan empiris / sosiologis, mengkaji hukum dalam realitasnya di masyarakat, yang tidak berdiri sendiri tetapi dipengaruhi oleh sub sistem seperti ekonomi, sosial budaya, dan lain-lain.

B. Metode Pendekatan

Dalam penelitian ini, peneliti menganalisis asas-asas hukum, norma-norma hukum dan pendapat para sarjana dengan menggunakan metode pendekatan :

1. Undang-undang (Statute approach)

Yaitu suatu pendekatan yang dilakukan dengan mengkaji perundang-undangan yang terkait dengan permasalahan yang dibahas.

2. Pendekatan konsep (Conceptual approach)

Yaitu pendekatan yang dilakukan dengan mengkaji konsep-konsep dan pandangan para ahli yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas.

3. Pendekatan komparatif (Comparative approach)

Yaitu suatu pendekatan yang dilakukan dengan membandingkan objek penelitian berdasarkan aspek-aspek tertentu sehingga diperoleh persamaan dan perbedaan dari masalah yang dibahas.

C. Sumber dan Jenis Data

1. Sumber Data

(27)

a. Data Kepustakaan

Data kepustakaan, yaitu data yang diperoleh dari analisis berbagai referensi baik peraturan perundang-undangan, buku-buku, hasil penelitian yang berkaitan dengan hal tersebut di atas. Adapun bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari :

1). Bahan Hukum Primer

Yaitu bahan hukum yang terdiri dari peraturan perundang-undangan dan peraturan-peraturan lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini.

2). Bahan Hukum Sekunder

Yaitu bahan hukum yang terdiri atas buku-buku yang ditulis oleh para ahli hukum yang berpengaruh, jurnal-jurnal hukum serta hasil-hasil symposium atau seminar-seminar yang berkaitan dengan penelitian ini. b. Data Lapangan

Data lapangan adalah data yang diperoleh langsung dari para narasumber atau informan, yaitu orang yang karena pengetahuan dan pengalamannya, mengetahui dan memahami tentang masalah dalam penelitian ini, maka alat pengumpul datanya terdiri dari wawancara (interview).

2. Jenis Data

(28)

Adalah data yang diperoleh langsung dari narasumber atau informan sebagai sumber utama, yaitu orang-orang yang memiliki pengalaman atau pengetahuan terkait dengan permaslahan yang dibahas. b. Data Sekunder

Adalah data yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan, literature-literatur, jurnal hasil-hasil penelitian dan lain sebagainya yang ada hubungannya dengan maslah yang diangkat dalam penulisan ini.

D. Teknik Pengumpulan Data

1. Pengumpulan data kepustakaan dilakukan dengan teknik studi dokumen yaitu mengumpulkan data-data melalui bahan-bahan bacaan yang ada relevansinya dengan masalah yang diteliti, literature serta karya-karya tulis yang berhubungan dengan penelitian ini.

2. Pengumpulan data lapangan dilakukan dengan wawancara, yakni situasi antar pribadi dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya untuk memperoleh jawaban yang pasti dengan maslah penelitian kepada narasumber, baik dilakukan secara bertatap muka atau secara langsung maupun melalui via telepon.

E. Analisis Data

(29)

Adapun metode atau cara penyimpulan data dilakukan secara deduktif yaitu menyimpulkan dan mengkaji berbagai referensi baik peraturan perundang-undangan maupun buku-buku / literatur-literatur yang selanjutnya dianalisis kembali secara spesifik dan mendalam guna memperoleh norma-norma hukum yang ada relevansinya dengan permaslahan yang diangkat (kajian dari umum ke khusus).

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kekuatan Mengikat Surat Hibah Dalam KUH Perdata Dan Hukum Adat

Bali

1. Kekuatan Mengikat Surat Hibah Menurut KUH Perdata

Dalam Pasal 1666 KUH Perdata, “hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, diwaktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu.”

(30)

prestasi dari satu pihak saja sedangkan pihak lain tidak perlu memberikan prestasinya sebagai imbalan.

Walaupun penghibahan dilakukan dengan cuma-cuma, akan tetapi penghibahan yang diakui oleh undang-undang adalah penghibahan yang dilakukan antara orang-orang yang masih hidup. Namun pada kenyataannya dalam kehidupan di masyarakat sering terjadi penghibahan melalui surat wasiat. Pada dasarnya ada dua cara pelaksanaan hibah, yakni :

a. Hibah biasa, adalah pemberian atas seluruh atau sebagian harta si pemberi hibah kepada si penerima hibah pada saat masih hidup.

b. Hibah wasiat, adalah suatu penetapan wasiat yang khusus, dimana si pewaris kepada seorang atau lebih memberikan beberapa barang-barangnya dari suatu jenis tertentu, misalnya segala barang-barang-barangnya yang bergerak atau tak bergerak, atau memberikan hak pakai hasil atas seluruh atau sebagian harta peninggalannya.

Menurut ketentuan Pasal 1667, barang-barang yang dapat dihibahkan adalah barang-barang yang telah ada pada saat terjadinya penghibahan tersebut, baik itu barang bergerak maupun barang tidak bergerak. Apabila penghibahan itu dilakukan dengan meliputi barang-barang yang baru akan ada dikemudian hari, maka berdasarkan ketentuan tersebut penghibahan itu harus dibatalkan.

(31)

a. Si pemberi hibah harus dalam keadaan sehat pikirannya,

b. Telah dewasa ( mencapai usia 21 tahun),

c. Apabila si penerima hibah belum mencapai usia 21 tahun tetapi sudah menikah, maka ia diperkenankan melakukan penghibahan dengan dasar didampingi oleh orang tua,

Sedangkan bagi penerima hibah agar dapat dinyatakan sebagai subyek untuk menerima hibah, maka orang tersebut sudah harus ada, maksudnya adalah bahwa orang tersebut sudah dilahirkan saat terjadinya penghibahan tersebut.

Dalam ketentuan Pasal 2 KUH Perdata, “anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya.”

Hibah merupakan pemberian harta semasa hidup atas dasar kasih sayang dan kepedulian untuk kepentingan seseorang, badan sosial, kegunaan dana sosial, juga kepada seseorang yang sekiranya menjadi ahli waris maupun yang tidak menjadi ahli waris. Tetapi tidak semua orang berhak menerima hibah. Artinya ada orang-orang tertentu yang tidak berhak menerima hibah, seperti anak zinah atau suami atau isteri yang hidup terlama. Jika ternyata pewaris sewaktu masih hidup telah memberikan hibah kepada orang-orang tertentu tersebut, maka hibah tersebut harus dinyatakan batal.57

Menurut ketentuan-ketentuan dalam KUH Perdata ada beberapa faktor penyebab batalnya suatu penghibahan, yaitu :

57 Anisitus Amanat, Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-Pasal Hukum Perdata BW,

(32)

a. Apabila barang yang dihibahkan meliputi barang-barang yang baru akan ada dikemudian hari (pasal 1667),

b. Si penghibah telah memperjanjikan ia tetap berkuasa untuk menjual atau memberikan kepada orang lain suatu barang termasuk dalam penghibahan (pasal 1668) karena janji tersebut menandakan bahwa hak milik atas barang tersebut tetap berada padanya, sedangkan dalam hak milik hanya seorang pemilik yang dapat menjual atau memberikan barangnya kepada orang lain. Hal tersebut bertentangan dengan sifat dan hakekat penghibahan sehingga dapat menyebabkan batalnya penghibahan.

c. Suatu hibah batal jika dibuat dengan syarat bahwa si penerima hibah akan melunasi hutang-hutang atau beban-beban lain, selain yang dinyatakan tegas dalam akta hibah sendiri atau didalam suatu daftar yang ditempelkan kepadanya (pasal 1670).

Dalam melakukan penghibahan terdapat larangan-larangan yang harus diperhatikan antara lain :

(33)

b. Penghibahan antara suami atau isteri selama perkawinan tidak diperbolehkan, kecuali mengenai benda-benda bergerak dan bertubuh yang harganya tidak terlampau mahal.

Suatu perbuatan hibah harus dilakukan dengan akta otentik yang dibuat oleh notaris. Apabila tidak dilakukan maka penghibahan tersebut menjadi tidak sah. Kekuatan hukum akta hibah terletak pada fungsi akta otentik tersebut yaitu sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang.

2. Kekuatan Mengikat Surat Hibah Menurut Hukum Adat Bali

Pada dasarnya hibah diperuntukkan bagi orang-orang yang bukan menjadi ahli waris atau orang lain yang tidak mempunyai hubungan sedarah. Dalam hal ini kebanyakan diperuntukkan untuk anak perempuan kandung atau dengan kata lain lebih mengutamakan pemberian hibah ini kepada anak perempuan karena dalam sistem pewarisan adat Bali anak perempuan bukanlah sebagai ahli waris. Namun penghibahan tersebut dikatakan sebagai pemberian bekal kepada anak perempuannya saat ia kawin yang disebut jiwadana.

Seperti yang kita ketahui di Indonesia mengenal tiga sistem kekeluargaan atau kekerabatan yaitu :

a. sistem kekeluargaan patrilineal,

(34)

c. sistem kekeluargaan parental.

Dalam sistem kekeluargaan patrilineal keturunan dilacak dari garis bapak. Anak-anak yang lahir mendapatkan garis kekeluargaan dari bapaknya, sedangkan dengan keluarga ibunya hanya mempunyai hubungan sosial dan moral saja, bukan hubungan hukum. Sistem kekeluargaan ini biasanya di anut oleh masyarakat Bali, Batak, Nias, Tapanuli dan Lampung.

Sistem kekeluargaan matrilineal, keturunan dilacak dari garis ibu, sehingga anak yang lahir mendapatkan garis kekeluargaan dari ibunya atau dengan kata lain merupakan suatu masyarakat yang anggota-anggotanya dalam menarik garis keturunan ke atas menghubungkan dirinya pada ibunya,kemudian dari nenek, dan seterusnya ke atas melalui penghubung perempuan sampai kepada seorang perempuan yang mereka anggap sebagai moyang mereka. Sistem kekeluargaan ini di anut oleh masyarakat Sumatra Barat (Minangkabau).

Dan dalam sistem kekeluargaan parental keturunan dilacak dari garis bapak dan ibunya (sistem kekeluargaan keibu-bapaan). Sistem kekeluargaan ini biasanya di anut oleh masyarakat Jawa, Kalimantan dan Sulawesi.

(35)

keluarga ayahnya sebagai kepala keluarga. Dan hanya anak laki-lakilah yang pantas sebagai pemimpin dalam keluarga, yang mengatur kehidupan dalam keluarga.

Hukum adat Bali terdiri atas unsur agama dan kebiasaan. Unsur agama merupakan unsur normatif dan kebiasaan merupakan unsur empirik (kenyataan/ pengalaman).

Dalam sistem kekeluargaan ini kedudukan laki-laki sangat menonjol, dengan dasar Kitab Manawa Dharmasastra IX Pasal 106 yang berbunyi :

“segera setelah lahir anak pertama, orang mulai dipanggil ayah dari seorang putra dan dilunaskan hutangnya kepada arwah orang tuanya yang telah meninggal, oleh karena itu anak laki-laki layak menerima semua harta.”

(36)

kewajiban-kewajiban ayahnya terdahulu sebelum meninggal. Anak laki-laki mempunyai hak penuh di dalam sebuah keluarga, baik itu mengenai hal pewarisan maupun yang berkaitan dengan keluarga dan masyarakat banjar.

Peran anak laki-laki tidak saja dalam kehidupan di dunia nyata, tetapi juga dalam alam kekekalan (suargaloka) yaitu berkaitan dengan kepercayaan bahwa proses seseorang untuk dapat mencapai alam sorga sangat ditentukan oleh adanya seorang anak laki-laki. Dapat dilihat dalam buku IX Kitab Manawadharmacastra,

cloka 138, yang berbunyi :

Pumnamo narakadyas mattraya te pitaram sutah, tasmat putra iti proktah swayamewa swayambhu wa”,

yang artinya “karena anak laki-laki akan mengantar Pitara dari neraka yang disebut Put, karena itu dia disebut Putra dengan kelahirannya”.

Karena itulah anak laki-laki sangat dinanti-nanti dalam sebuah keluarga dan sangat di agung-agungkan sebagai penerus keturunan bapaknya tanpa melihat dan memandang peran seorang wanita dalam sebuah keluarga tertentu.

(37)

“Pada asasnya seorang anak perempuan, seorang wanita dewasa, maupun wanita yang telah tua, mereka tidak bebas berbuat walaupun dirumahnya sendiri.”

Dalam kenyataannya perempuan tidak bebas untuk berbuat sesuatu. Sebagai anak perempuan, ia menjadi tanggung jawab ayahnya, kemudian setelah ia dewasa dan berkeluarga menjadi tanggung jawab suaminya, dan jika suaminya meninggal maka ia akan menjadi tanggung jawab putra-putranya. Seorang wanita tidak boleh bertindak sendiri, dengan kata lain tidak boleh melakukan sesuatu tanpa sepengetahuan dan seijin ayah atau suaminya. Perempuan yang beragama Hindu tidak pernah bebas dan mandiri sehingga dalam hukum adat waris Bali anak perempuan menjadi tidak diperhitungkan dalam pembagian hak karena ia tidak pernah mandiri sebagai manusia bebas.

(38)

”aputro’ nena widhine sutam kurwita putrikam yadpatyam bhawedasyam tanmama syat swadhakara”,

artinya “ia yang tidak mempunyai anak laki dapat menjadikan anaknya yang perempuan menjadi demikian menurut acara penunjukkan anak wanita dengan mengatakan kepada suaminya, anak laki yang lahir daripadanya akan melakukan upacara penguburan saya”.

“Hal ini dibenarkan adanya oleh informan bahwa hal itu disebutkan dalam

awig-awig Desa Adat Lukluk Pawos 76 (1) yang menyebutkan sebagai berikut : Ahli waris adalah pratisentana purusa, sentana rajeg, sentana peperasan, yang artinya : ahli waris adalah keturunan laki-laki, keturunan perempuan yang berstatus laki-laki dan anak angkat.”58

Disebutnya juga bahwa apabila suatu keluarga tidak mempunyai keturunan laki-laki atau hanya memiliki anak perempuan, alangkah lebih baik jika melakukan sentana rajeg untuk melanjutkan keturunan dan terutama untuk meneruskan penyembahan di merajan. Atau dapat dengan mengangkat anak laki-laki (sentana peperasan). Dan ini juga dapat menghindari terjadinya konflik dengan keluarga dari garis kesamping orang tua (bapak) mengenai masalah warisan setelah orang tua meninggal.59Dalam Kitab Manusmriti X.115 berbunyi :

sapta wittagama dharmya daya labhan krayo jayah, prayogah, karmayogacca sat pratigraha ewa ca.”

(39)

Artinya :“Ada tujuh cara yang sah memperoleh hak yaitu pewarisan, penjumpaan atau hadiah persahabatan, pembelian, penaklukan, peminjaman dengan bunga, melakukan pekerjaan dan menerima hadiah-hadiah dari orang lain.”

Hak waris seorang anak perempuan adalah terbatas, maksudnya yaitu hak untuk menghasili saja, karena anak perempuan boleh memegang dan menghasili bagiannya itu selama ia setia tinggal dirumah asalnya (tidak kawin), atau dengan kata lain seorang anak perempuan hanya boleh memegang warisan selama ia belum kawin dan/atau tidak melakukan perbuatan yang bisa mencemarkan nama baiknya, khusunya perbuatan asusila. Dan apabila seorang anak perempuan yang kawin keluar harus melepaskan hak atas warisan orang tuanya untuk keuntungan ahli waris lainnya. Dalam hal ini terbukti bahwa kedudukan perempuan Bali sangat lemah, terutama mengenai hal pewarisan.

Dalam Pesamuhan Agung III MUDP Bali dirumuskan bahwa anak perempuan diposisikan sebagai ahli waris terbatas, yakni terbatas hanya berhak terhadap warisan harta guna kaya orang tuanya berdasarkan atas asas ategen asuwun. Artinya, perbandingan hak atas bagian yang diterima anak perempuan setengah dari hak atas bagian anak laki-laki yaitu 2 : 1 setelah dikurangi sepertiga untuk due tengah.

a. Sejarah Perkembangan Hak Mewaris Perempuan Dalam Hukum Adat Bali

(40)

Tahun 1900 digunakan sebagai dasar dalam melihat perkembangan hak mewaris perempuan pada masyarakat Bali, karena pada tahun 1900 dibuat peswara (peraturan) pewarisan oleh pemerintah kolonial Belanda dalam hal ini residen Bali dan Lombok, yang lebih dikenal sebagai Peswara 1900. Peswara tersebut pada awalnya hanya diberlakukan bagi penduduk Hindu Bali dari Kabupaten Buleleng, akan tetapi pada tahun 1915 diberlakukan juga untuk penduduk seluruh Bali Selatan.

Mengenai hal pewarisan menurut hukum adat Bali, tidak hanya menyangkut soal kenyataan (sekala), tetapi juga menyangkut soal keyakinan (niskala). Sebelum tahun 1900, pewarisan pada masyarakat Bali didasarkan atas “kebiasaan” dan ahli waris adalah keturunan atau anak laki-laki dari garis purusa (ayah). Anak perempuan tidak diperhitungkan dalam penerimaan harta. Anak perempuan dan janda hanya mempunyai hak untuk menikmati harta warisan orang tunya selama ia belum kawin atau tidak kawin.

Jadi pewarisan pada masyarakat Bali sebelum tahun 1900, hanya berdasarkan atas kebiasaan-kebiasaan saja, karena belum ada peraturan yang mengatur tentang pewarisan yang dapat dipakai sebagai dasar rujukan, dengan demikian kebiasaan-kebiasaanlah yang digunakan sebagai dasar acuan bagi masyarakat Bali dalam pembagian harta warisan.

(41)

kedudukan anak perempuan adalah tidak sebagai ahli waris sehingga anak perempuan tidak mempunyai hak atas harta warisan orang tuanya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pada masa sebelum tahun 1900 pada kehidupan masyarakat Hindu Bali berlaku sistem purusa secara mutlak yang hanya mengakui bahwa ahli waris adalah anak laki-laki.

2). Sesudah Tahun 1900

Tahun 1900 dikatakan sebagai tonggak penting bagi pewarisan menurut hukum adat Bali, karena saat itu titik terang mengenai pewarisan mulai tampak dengan dikeluarkannya peswara 1900 oleh pemerintah kolonial Belanda dan peswara 1900 ini dibuat tanggal 13 Oktober 1900. Peswara ini berlaku bagi penduduk Hindu Bali dari Kabupaten Buleleng. Ditetapkan oleh Liefrinck selaku Residen Bali dan Lombok ketika itu, bersama-sama pedanda-pedanda (pendeta Hindu) dan punggawa-punggawa.

(42)

Mengenai kedudukan anak perempuan dalam pewarisan dapat diketahui dari ketentuan Pasal 3 Peswara 1900, yakni :

a). Djika terhadap suatu boedel akan diselenggarakan pembagian, maka tjara-tjara untuk itu diserahkan kepada permusjawarahan dari yang berkepentingan. Pembagian jang telah dilakukan mengenai tanah-tanah harus segera dilaporkan kepada pengurus sawah atau pamong desa bagi kepentingan tata usaha.

b). Apabila seseorang atau beberapa orang anak laki-laki yang sudah kawin dalam pembagian itu dimintakan perantara Pemerintah, maka pembagian akan diatur demikian rupa, sehingga si djanda mendapatkan satu bagian, masing-masing anak lelaki dua bagian dan masing-masing anak perempuan setengah bagian. Bila tidak ada anak-anak lelaki, maka semua warisan djatuh kepada wanita-wanita jang masih ada seperti jang disebutkan tadi.

(43)

Ketentuan pewarisan yang terdapat dalam peswara 1900 tersebut yang menjiwai hukum adat waris Bali yang diformulasikan dalam awig-awig tertulis, sedangkan awig-awig-awig-awig tidak tertulis sepanjang mengenai pewarisan pada prinsipnya sama dengan Peswara 1900.

Mengenai awig-awig tertulis mengikat sebagian besar warga masyarakat di Bali dalam wilayah desa pakraman masing-masing dimulai pada tahun 1986. Contoh awig-awig tentang warisan sebagaimana tertuang dalam buku Pediman/Teknis Penyusunan Awig-Awig dan Keputusan Desa Adat yang dikeluarkan oleh Biro Hukum dan HAM Setda Provinsi Bali Tahun 2002. Contoh ini dipilih karena penulisan awig-awig desa pakraman diseluruh Bali menggunakan buku ini sebagai pedoman.

Pawos 55 :

2) Para ahli waris sami polih pahan sangkaning pagunakaya, sejawaning karang/tegal ayahan desa keemong antuk ahli waris kang sinanggah karma ngarep;

3) Sinalih tunggil ahli waris kengin tan polih pahan prade; a. Nilar kawitan lan sesananing agama Hindu

b. Alpaka guru rupaka

c. Sentane rajeg kesah mewiwaha utawi pretisentana nyeburin soang-soang kebawos ninggal kedaton;

4) Boya ahli waris, kengin muponin hasil anut dudonan, luire; a. Sentana luh, salami during kesah mewiwaha

(44)

5) Pewaris kengin meweweh rikala meurip pinaka jiwadana, tadtadan/bekel, makecihna peweweh tetep ring oka sane kesah mewiwaha.

Dalam kaitan hak perempuan dalam Kitab Menawa Dharmasastra

(MDS) relevan dengan teori Receptio In Complexu dari Van Den Berg. Teori ini intinya menyebutkan bahwa hukum adat suatu masyarakat adalah hukum agama yang dipeluknya. Teori ini ditentang oleh Van Vollenhoven bahwa hukum adat tidak menerima secara bulat hukum agama, karena dalam hal-hal tertentu hukum agama tidak dipakai dalam hukum adat.60

Pada kenyataannya dalam kehidupan masyarakat di Bali dalam kaitan dengan hukum adat waris ketentuan Pasal 148 Kitab Menawa Dharmasastra memposisikan anak perempuan sangat lemah, sedangkan dalam Pasal 188 Kitab Menawa Dharmasastra memposisikan anak perempuan kuat. Apa yang dipaparkan di atas adalah tepat dimana dikaitkan dengan hak perempuan dalam hukum adat waris di Bali. Jadi teori Receptio In Complexu tidak berlaku pada kehidupan masyarakat hukum adat di Bali karena tidak semua ketentuan hukum agama yang diresifir ke dalam hukum adat.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sesudah tahun 1900, kedudukan anak perempuan sangatlah lemah. Anak perempuan tidak mendapatkan kedudukan sama sekali dalam hal pewarisan, hanya saja mempunyai hak menikmati warisan orang tuanya. Anak perempuan

60 Ni Nyoman Sukerti, Hak Mewaris Perempuan Dalam Hukum Adat Bali, Cet. 1,

(45)

berhak atas warisan orang tuanya apabila anak perempuan tersebut melakukan perkawinan nyeburin atau nyentane.

b. Kesetaraan Kedudukan Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Dalam Mayarakat Adat Bali

Gender adalah perbedaan jenis kelamin laki-laki dan perempuan berdasarkan konstruksi sosial budaya suatu masyarakat, oleh karena itu setiap kelompok masyarakat mempunyai konstruksi sosial budaya yang berbeda satu dengan yang lainnya.61 Menurut Arief Budiman, gender

sebagai konstruksi sosial budaya menempatkan laki-laki dan perempuan pada perbedaan kelas dimana laki-laki diidentikan kelas borjuis dengan posisi superior dan perempuan sebagai kelas proletar yang imperior.62 Hal

ini terlihat jelas bahwa hubungan laki-laki dan perempuan diibaratkan sebagai kelas, yakni laki-laki sebagai kelas atas dan perempuan sebagai kelas bawah. Dengan ideologi gender, maka menekankan perempuan berada pada sektor domestik dan laki-laki berada pada sektor publik.

Dari berbagai sistem kekeluargaan yang ada di Indonesia, sangat terlihat ideologi patriarkhi masih kuat mengikat kehidupan masyarakatnya dan ketidakadilan gender masih tampak, terutama dalam hal pewarisan. Ketidakadilan gender dalam hukum adat waris yang paling terlihat dan menonjol adalah pada masyarakat Bali yang menganut sistem kekeluargaan patrilineal. Ini memperlihatkan perbedaan posisi perempuan 61 Ni Nyoman Sukerti, Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Hukum Adat Bali, Cet. I,

(Denpasar : Udayana University Press, 2012), hal. 80

(46)

dan laki-laki yang diyakini sebagai kodrat Tuhan yang tidak dapat di ubah. Perbedaan tersebut dapat menimbulkan rasa ketidakadilan antara laki-laki dan perempuan yang mengakibatkan salah satu pihak berada pada kondisi saling tidak diuntungkan. Ini jelas sangat berbeda pada masyarakat yang menganut sistem kekerabatan matrilineal dan parental, dimana anak perempuan diperhitungkan dalam pewarisan sehingga sudah terjadi kesetaraan gender.

Sebagian besar warga masyarakat (termasuk perempuan) masih bersikukuh pada tradisi lama, tetapi sebagian kecil sudah tumbuh kesadaran dan ingin melakukan perubahan yakni perubahan terhadap hukum adat waris yang memberi kedudukan kepada perempuan sebagai ahli waris sehingga berhak atas harta warisan. Sekelompok kecil itu adalah para akademisi, dan juga Lembaga Swadaya Masyarakat baik laki-laki maupun perempuan. Mereka mendesak dilakukannya Pesamuhan Agung III oleh MUDP Bali yang dihadiri oleh seluruh Bendesa (kepala Desa Pekraman) seluruh Bali dan juga para pemerhati perempuan. Ide tersebut terwujud dan Pesamuhan dilaksanakan pada hari jumat tanggal 15 Oktober 2010 di Gedung Wiswa Sabha Utama, Kantor Gubernur Bali, yang membahas dan menyikapi tentang ketidakadilan gender dalam hukum adat waris di Bali.

(47)

kedudukan suami isteri dan anak terhadap harta pusaka dan harta guna kaya yakni sebagai berikut :

1). Suami dan isterinya serta saudara laki-laki suami dan isterinya mempunyai kedudukan yang sama dalam usaha untuk menjamin bahwa harta pusaka dapat diteruskan kepada anak dan cucunya untuk memelihara atau melestarikan warisan immaterial.

2). Selama dalam perkawinan, suami dan isterinya mempunyai kedudukan yang sama terhadap harta guna kaya-nya (harta yang diperoleh selama setatus perkawinan).

3). Anak kandung (laki-laki atau perempuan) serta anak angkat (laki-laki atau perempuan) yang belum kawin pada dasarnya mempunyai kedudukan yang sama terhadap harta guna kaya orang tuanya.

4). Anak kandung serta anak angkat (laki-laki atau perempuan) berhak atas harta guna kaya orang tunya sesudah dikurangi sepertiga sebagai druwe tengah (harta bersama), yang dikuasai (bukan dimiliki) oleh anak yang nguwubang (melanjutkan swadharma atau tanggung jawab) orang tuanya.

(48)

6). Anak yang masih dalam kandungan mempunyai hak yang sama dengan anak yang sudah lahir, sepanjang dia dilahirkan hidup.

7). Anak yang ninggal kedaton penuh tidak berhak atas harta warisan, tetapi dapat diberi bekal (jiwadana) oleh orang tuanya dari harta guna kaya tanpa merugikan ahli waris.

Dalam Pesamuhan Agung III Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Bali tanggal 15 Oktober 2010, No.1/Kep./Psm-3/MDP Bali/X/ 2010 dirumuskan bahwa anak kandung (laki-laki dan perempuan) serta anak angkat (laki-laki dan perempuan) berhak atas guna kaya orang tuanya, sesudah dikurangi sepertiga dari duwe tengah (harta bersama) yang dikuasai (bukan dimiliki) oleh anak yang nguwubang (melanjutkan

swadharma atau tanggung jawab) orang tuanya.

Berdasarkan keputusan tersebut maka anak perempuan di Bali secara normatif berkedudukan sebagai ahli waris dari harta guna kaya orang tuanya, oleh karena itu sudah terjadi pergeseran kedudukan anak perempuan dari tidak berkedudukan sebagai ahli waris menjadi berkedudukan sebagai ahli waris.

(49)

turun-temurun sudah dikikis dan diterobos kekakuannya dalam tataran normatif, tetapi dalam tataran empirik masih membutuhkan perjuangan yang tidak gampang karena berkaitan dengan merubah tradisi masyarakat yang sudah mengakar. Keputusan MUDP Bali setidaknya dapat dipakai sebagai pedoman atau rujukan oleh para penegak hukum (hakim) maupun para penegak hukum adat (prajuru) Desa Pakraman dalam menangani masalah warisan yang menyangkut anak perempuan.

Untuk mewujudkan kesetaraan gender dalam kehidupan masyarakat Bali sangatlah sulit karena pengaruh ideologi patriarkhi yang sangat kuat yakni ideologi yang menempatkan laki-laki yang sangat tinggi, sebagai pemegang kekuasaan dan pengambil keputusan sehingga melahirkan hubungan kekuasaan yang dominatif dan sub-ordinatif. Demikian kuatnya hegemoni patriarkhi dalam kehidupan masyarakat Bali, sehingga tidak disadari dan cenderung dipertahankan sebagai sesuatu yang wajar dan kaum perempuan pun ikut mempertahankan dominasi tersebut dan ini berlangsung secara turun-temurun.63

Tetapi ada beberapa putusan Hakim yang sudah responsif gender yang memposisikan perempuan setara dengan laki-laki dalam pewarisan pada masyarakat patrilineal, yaitu sebagai berikut :

1). Putusan Pengadilan Negeri Singaraja Nomor 30/Pdt.G/1993/PN.SGR, tertanggal 9 Desember 1993 berbunyi “bahwa anak perempuan yang

63 Ni Nyoman Sukerti, Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Hukum Adat Bali, Cet. I,

(50)

merupakan satu-satunya anak, menutup hak waris dari ahli waris lainnya”. Putusan ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Denpasar dalam Putusan Nomor 122/Pdt/1994/PT.Dps, tertanggal 19 Desember 1994.

2). Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar Nomor 87/Pdt/1990/PT.Dps, tertanggal 31 Oktober 1990 mendalilkan sebagai berikut : “dalam hal seseorang dalam perkawinannya hanya menurunkan anak perempuan, walaupun anak-anak perempuan tersebut sudah kawin keluar, harta kekayaan yang didapat selama perkawinannya, patut diterimakan kepada anak-anak perempuan tersebut, yang ada hubungan darah langsung dengannya, karena harta yang dicari ibu-bapaknya adalah untuk anak-anaknya, tidak adil kalu harta itu diterima oleh orang lain yang sama sekali tidak ada hubungan darah langsung dengannya.”

3). Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4766K/Pdt/ 1988, tertanggal 16 November 1999 mendalilkan bahwa “anak perempuan di Bali berhak atas peninggalan dari pewaris”.

4). Putusan Mahkamah Agung RI No. 459K/Sip/1982 tertanggal 15 Agustus 1983 mendalilkan bahwa “anak perempuan adalah ahli waris dari ayahnya”.

(51)

karena hukum adat yang sangat sudah mengakar pada jiwa masyrakat adat Bali, sehingga sangat sulit untuk merubah kebiasaan atau cara berpikir masyarakat adat. Banyak pula yang tidak melaksanakannya dalam praktek pewarisan dalam masyarakat adat di Bali dan Lombok. Namun putusan-putusan tersebut dapat dijadikan pedoman para hakim dalam menghadapi perkara adat waris.

Hukum adat Bali merupakan hukum yang hidup dalam masyarakat dan sebagian besar tidak tertulis. Sebagai hukum yang hidup, hukum adat mempunyai sifat yang dinamis. Hukum adat dapat menyesuaikan diri dengan kemajuan zaman dan dinamika masyarakatnya. Artinya hukum adat berlaku sesuai dengan tempat, waktu dan keadaan (desa, kala, patra). Manakala waktu sudah berubah, keadaan juga sudah berubah, demikian juga masyarakat sudah berubah, maka hukum adat sebagai konstruksi masyarakat (laki-laki) di zaman lampau mestinya menyesuaikan diri dengan keadaan lebih-lebih di zaman globalisasi seperti sekarang ini.

Sebagian besar masyarakat adat di Bali dan Lombok melakukan penghibahan untuk mendapat kepastian hukum. Menurut adat Bali pemberian harta kekayaan semasa pewaris masih hidup dapat berupa :

Referensi

Dokumen terkait

Kurikulum sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 1 Ayat (19) Undang- undang Nomor 20 Tahun 2003 adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi,

Suhu diruang pengering terlihat relatif konstan (gambar 6) berkisar di suhu 37 oC, sedangkan suhu dikontrol pada 45 oC tidak tercapainya suhu ruang pengering sesuai

Hasil penelitian ini adalah para orang tua tidak menyekolahkan anaknya di PAUD FAJAR di karenakan beberapa faktor benyebab yaitu pendidikan orang tua, minat orang tua menyekolahkan

Pendidikan Agama dan Budi Pekerti3. Pendidikan Pancasila

Indikator laut tercemar atau rusak berdasarkan hasil pemantauan kualtias laut dan pengukuran kerusakan pada zona penting ekosistem laut. Sedangkan untuk mengetahui

UPTD Balai Latihan Kerja (BLK) Kabupaten Sumedang adalah suatu lembaga yang berdiri dibawah Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi Kabupaten Sumedang yang bertugas

Simpulan dari pengembangan ini adalah; 1) Dihasilkan sebuah produk berupa termometer berbahan termoelektrik dan disertai petunjuk pengunaan (user manual) yang

Kebutuhan air selama pertumbuhan tanaman kacang tanah tergantung iklim yang umumnya berkisar antara 500 hingga 700 mm (Doorenbos dan Kassam, 1981) yang secara sederhana