• Tidak ada hasil yang ditemukan

JU R U SA N T A R B IY A H PR O G R A M STU D I P E N D ID IK A N A G A M A ISLA M SEK O LA H T IN G G I A G A M A IS L A M N E G E R I (ST A IN ) SA L A T IG A 2008

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "JU R U SA N T A R B IY A H PR O G R A M STU D I P E N D ID IK A N A G A M A ISLA M SEK O LA H T IN G G I A G A M A IS L A M N E G E R I (ST A IN ) SA L A T IG A 2008"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

PO N D O K

(Pada Santri Pondok Pesantren Al-Manar Bener Kecamatan

Tengaran Kabupaten Semarang Tahun 2008)

Diajukan Guna Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh

Gelar Saijana Dalam Ilmu Tarbiyah Jurusan Pendidikan Agama Islam

Disusun oleh:

EKA RAHAYU RAKHMANI

NIM. 11104031

JU R U S A N T A R B IY A H

PR O G R A M STU D I P E N D ID IK A N A G A M A ISLA M

SEK O LA H T IN G G I A G A M A IS L A M N E G E R I

(ST A IN )

SA L A T IG A

(2)

DEPARTEMEN AGAMA

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

JL Stadion 03 Telp. (0298) 323706,323433 Fax 323433 Salatiga 50721 Website: www.stainsalatiga.ac.id E-mail: administrasi@stainsalatiga.ac.id

DEKLARASI

Bism iU ahirrahm anirrohim

Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, peneliti menyatakan bahwa

skripsi ini tidak berisi materi yang pernah ditulis oleh orang lain atau pernah

diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran orang

lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan

rujukan.

Apabila di kemudian hari ternyata terdapat materi atau pikiran-pikiran

orang lain di luar referensi yang peneliti cantumkan, maka peneliti sanggup

mempertanggungjawabkan kembali keaslian skripsi ini di hadapan sidang

munaqoysah skripsi.

Demikian deklarasi ini dibuat oleh peneliti untuk dapat dimaklumi.

Salatiga, 21 Maret 2009

Penulis

EKA RAHAYU RAKHMANI

(3)

Website : www.stainsalatiga.ac.id E -m ail: administrasi@ stainsalatiga.ac.id

Yth. Ketua STAIN Salatiga

di Salatiga

Assalamu 'alaikunu Wr. Wb.

Setelah kami meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, maka

bersama ini, kami kirimkan naskah skripsi sau d ari:

Nama : EKA RAHAYU RAKHMANI

NIM : 111 04 031

Jurusan / Progdi : Tarbiyah / Pendidikan Agama Islam

Judul : HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI DENGAN

(4)

DEPARTEMEN A G A M A RI

SEKOLAH TIN G G I A G A M A ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

JL Stadion 03 Telp. (0298) 323706, 323433 Salatiga 50721 Website : www.stainsalatiga.ac.id E -m a il: adm inistrasi@stainsalatiga.ac.id

P E N G E S A H A N

Skripsi Saudari : E K A R A H A Y U R A K H M A N I dengan Nomor Induk Mahasiswa : 111 04 031 yang beijudul : “HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI DENGAN KETAATAN MELAKSANAKAN TATA TERTIB PONDOK (Pada Santri Pondok Pesantren AI-Manar Bener Kecamatan Tengaran Kabupaten Semarang Tahun 2009)*’. Telah dimunaqasahkan dalam sidang panitia ujian Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga pada h a ri: Sabtu

tanggal 27 Juni 2009 yang bertepatan dengan tanggal 04 Rajab 1430 H dan telah diterima sebagai bagian dari syarat-syarat untuk memperoleh gelar Saijana dalam

(5)

“Karena Sesungguhnya sesudah hesutitan itu ada

kemudahan

(6)

PERSEMBAHAN

Dengan penuh rasa hormatku skripsi ini kupersembahkan kepada:

1. Ayah dan Ibuku tercinta yang telah menyayangi dan mengasihiku dengan

tulus ikhlas juga memberiku kesempatan untuk menuntut ilmu dan selalu

membimbing mendoakan serta memberikan segalanya baik moral maupun

spiritual bagi terselesaikannya skripsi ini.

2. Adikku semoga lulus dengan nilai yang baik

(7)

Seiring salam dan doa semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat

dan hidayah-Nya kepada kita semua. Sholawat serta salam senantiasa tercurahkan

kepada Rosul akhir zaman, Muhammad SAW, yang telah memberikan

pencerahan pada dunia.

Syukur Alhamdulillah, akhirnya penulisan skripsi dengan judul

“HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI DENGAN KETAATAN

MELAKSANAKAN TATA TERTIB PONDOK (Studi Kasus pada santri Pondok

Pesantren Al-Manar Bener Kecamatan Tengaran Kabupaten Semarang Tahun

2008)” ini telah selesai. Skripsi ini merupakan salah satu syarat guna memperoleh

gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri

(STAIN) Salatiga. Kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada

semua pihak yang telah membantu selesainya skripsi ini.

Penulis sadari, bahwa skripsi ini tidak akan pernah terwujud tanpa

pertolongan Allah SWT, dan bantuan berbagai pihak yang terkait, juga orang-

orang yang mendoakan selesainya skripsi ini. Maka kesempatan ini dengan segala

kerendahan hati, penulis ingin mengampaikan terima kasih kepada:

1. Dr. Imam Sutomo, M.Ag selaku Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam

(STAIN) Salatiga

2. Ketua Progdi Pendidikan Agama Islam Bapak Fatchurrohman, M.Pd

3. Drs. H.M. Banany selaku dosen pembimbing yang penuh kesabaran

telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan serta

pengarahan dan penyusunan skripsi sejak awal hingga akhir ini dapat

terselesaikan.

4. Semua dosen yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan yang

menunjang demi tersusunnya skripsi ini.

(8)

5. Team perpustakaan STAIN Salatiga, terima kasih atas bantuan

penyediaan buku-buku kepada penulis hingga terselesaikannya skripsi

ini.

6. Ketua Pondok Pesantren Al-Manar

7. Seluruh keluarga besar dewan pendidikan

8. Semua temanku Ema, Ida, Izah, Novi, dan Zizah yang selalu

menyemangatiku

9. Semua teman-temanku PAI angkatan 2004 selalu membantu dan

membelikan motivasi.

Penulis menyadari dan mengakui bahwa penulisan skripsi ini masih jauh

dari kesempurnaan, semua ini karena keterbatasan kemampuan serta pengetahuan

penulis. Oleh karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat penulis

harapkan dalam kesempurnaan skripsi ini.

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini memberikan sumbangan

bagi perkembangan dunia pendidikan khususnya Pendidikan Agama Islam.

Salatiga, 21 Maret 2009

Penulis

Eka Rahayu Rakhmani

11104031

(9)

HALAMAN JUDUL... i

DEKLARASI... ii

NOTA PEMBIMBING... iii

PENGESAHAN... iv

MOTTO... v

PERSEMBAHAN... vi

KATA PENGANTAR... viii

DAFTAR ISI... x

BABI PENDAHULUAN A. Pendahuluan... 1

B. Penegasan Istilah... 6

C. Permasalahan... 8

D. Tujuan Penelitian... 8

E. Hipotesis... 8

F. Metode Penelitian... 9

G. Sistematika Skripsi... 14

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Persepsi... 17

1. Pengertian Persepsi... 17

2. Persepsi dan Perilaku... 22

3. Perhatian... 22

(10)

4. Menyakiti... 24

5. Ketakutan dan Ketidakberdayaan... 28

6. Komunikasi dan Bahasa... 31

B. Ketaatan... 32

1. Pengertian Ketaatan... 32

2. Macam-macam Ketaatan... 32

3. Kriteria Ketaatan... 34

C. Tata Tertib... 35

1. Pengertian Tata Tertib... 35

2. Tujuan Tata Tertib... 35

3. Urgensi Tata Tertib... 36

4. Macam dan Pembagian Tata Tertib... 37

BAB III LAPORAN HASIL PENELITIAN A. Keadaan Umum Pondok Pesantren Al-Manar... 40

1. Sejarah Berdirinya... 40

2. Letak Geografis... 43

3. Data Keadaan Ustadz... 44

4. Struktur Organisasi... 45

5. Sarana Prasarana... 47

B. Data Khusus Pondok Pesantren Al-Manar... 48

1. Data Persepsi Santri... 48

2. Ketaatan Santri Pondok pesantren Al-Manar... 50

(11)

B. Analisis Uji Hipotesis... 56

1. Membuat tabel keija koefisien korelasi antara X dan Y 56 2. Mencari nilai r*y... 59

C. Analisis Lanjut... 60

1. Persepsi Santri di Pondok Pesantren Al-Manar... 60

2. Ketaatan Santri di Pondok Pesantren Al-M anar... 62

3. Persepsi Santri terhadap Ketaatan Santri di Pondok Pesantren Al-Manar... 63

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan... 65

B. Saran... 66

C. Penutup... 67

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

(12)

BABI PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam sejarah Islam, kedatangan para nabi selalu disertai dengan

datangnya syariat Islam yang merupakan peraturan dari Allah. Tanpa adanya

peraturan yang mengatur kehidupan manusia, manusia akan masuk ke dalam

jaman jahiliyah seperti yang berulang kali terjadi sepeninggal para nabi.

Dalam sejarah tiap umat, selalu ada seorang nabi yang diutus untuk

mengajarkan mengenai ajaran-ajaran ketuhanan. Ajaran-ajaran tersebut pada

dasarnya merupakan peraturan yang harus dipatuhi oleh umat tersebut. Di

dalamnya terdapat tata tertib yang mengatur kehidupan umat tersebut mulai

dari hal paling sederhana sampai masalah paling kompleks. Setiap nabi

mendapatkan mukjizat berupa peraturan ilahi melalui wahyu Allah

memerintahkan agar umat penerima wahyu tersebut mematuhi syariat

(peraturan) yang diturunkan olehNya. Sebagaimana firman Allah dalam QS.

Al-Jaatsiyah: 18

o j h^

Artinya: Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.1

1 Departemen Agama, A l-Q ur’an dan Terjem ah, Surya Cipta Aksara,! 989, hal. 817.

(13)

Demikian pula dengan umat Nabi Muhammad. Umat Muhammad juga

memiliki peraturan-peraturan yang bersumber dari Al-Qur’an sebagai kitab

sucinya dan Al-Hadits yang merupakan perkataan maupun perbuatan nabi

yang menjadi sumber hukum. Sepeninggal nabi Muhammad SAW, umat

Islam seluruh dunia mendapatkan warisan paling agung, yaitu berupa kitab

suci Al-Qur’an dan Al-Hadits dari Nabi Muhammad SAW agar kehidupan

mereka tetap berada dalam jalur yang digariskan oleh Allah SWT. Dalam

kenyataannya, umat Islam sepeninggal nabi menghadapi berbagai macam

persoalan hidup yang harus dipecahkan oleh mereka sendiri dengan cara

berijtihad dengan tetap berpatokan pada Al-Qur’an dan Al-Hadits. Oleh sebab

itu, agar dari waktu ke waktu tetap eksis, maka perlu adanya pendidikan

secara kontinyu mengenai kedua hal peraturan ini.

Di Indonesia, pendidikan mendalam mengenai ilmu agama diterapkan

di dalam sebuah tempat bernama pondok pesantren. Pondok pesantren

merupakan lembaga pendidikan Islam yang telah memiliki partisipasi aktif

dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, secara historis pesantren tidak hanya

identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian

Indonesia, Indigenous menurut istilah yang dipopulerkan oleh Nurcholis

Madjid.2 Pesantren merupakan lembaga pendidikan Indonesia yang tradisinya

telah mengakar kuat pada tingkat grass root masyarakat kita Seiring dengan

bergulirnya waktu pesantren turut andil mewarnai babakan sejarah bangsa,

karena itu, semakin memantapkan posisinya di mata komponen bangsa

(14)

3

lainnya. Berbekal kemampuan dalam mengelola warisan tradisi salafi dan

budaya lokal pesantren mampu menjadi kekuatan alternatif. Atas dasar itu

pula, pesantren mengemban tugas mulia “mengamankan” warga bangsa dari

ancaman dan penetrasi budaya manca yang dapat merusak moralitas dan nilai

luhur bangsa3

Sebagai bagian dari fenomena sosial, pesantren senantiasa mengalami

dinamika dan hidup bergumul bersama realitas sosial yang tak pernah berhenti

berubah. Dinamika itu berupa pertarungan antara keyakinan, ide, nilai dan

tradisi yang dianggap luhur dengan tantangan kehidupan dan masalah sosial

yang selalu bergulir yang semua itu mesti dijawab oleh pesantren. Tantangan

baru yang muncul ini antara lain adalah modernitas.4

Dalam proses perubahan tersebut, nampaknya pesantren dihadapkan

pada keharusan merumuskan kembali sistem pendidikan yang

diselenggarakan. Disini pesantren telah ada dalam proses pergumulan antara

identitas dan keterbukaan. Disatu pihak pesantren dituntut untuk menemukan

identitasnya kembali sebagai lembaga pendidikan Islam. Sementara di pihak

lain, ia juga harus bersedia membuka diri terhadap sistem pendidikan modem

yang bersumber dari luar pesantrea

Layaknya sebuah masyarakat kecil, maka pesantren juga memiliki

peraturan dalam bentuk tata tertib. Tata tertib ini mengatur mengenai apa yang

wajib dilakukan oleh penduduk pesantren, dalam hal ini adalah seluruh santri,

3 Samsul Hadi, Pesantren D alam Lintasan Sejarah Bangsa, Majalah Pesantren; Edisi: XII/Th. 1/2003; hlm.31.

(15)

dan juga mengatur mengenai apa yang tidak boleh dilakukan oleh santri. Hal

mengenai apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan seluruhnya

diambil dari aturan Islam yang ada di dalam Al-Qur’an dan Al-hadits. Hal ini

agar tercipta masyarakat yang hidup terbiasa dengan peraturan Allah sehingga

nantinya di masyarakat, mereka akan mempraktikkan aturan-aturan tersebut

dengan benar.

Walaupun demikian, adanya tata tertib di pesantren seringkah justru

dianggap sebagai pengekang, penghambat, ataupun penghalang bagi santri

untuk maju. Oleh karena itu, muncullah istilah “penjara suci” yang

dimaksudkan untuk menyebut pondok pesantren. Jika sudah demikian yang

tertanam di benak para santri, maka mereka tidak akan mampu untuk

menciptakan kehidupan yang aman, nyaman dan tenteram di dalamnya

Pesantren akan cenderung menjadi penjara, yang walaupun suci namun tetap

saja penjara Dimana semua penghuninya adalah orang-orang yang “bersalah”.

Tata tertib di pondok bermetamorfosis menjadi hukuman, bukannya didikan.

Padahal, kenyataan bahwa pesantren adalah tempat untuk memperbaiki akhlak

manusia telah diketahui oleh masyarakat umum. Pada akhirnya, tata tertib

yang dibuat di pondok pesantren tidak lagi mampu merubah akhlak para santri

menjadi lebih baik melainkan menjadi semakin buruk.

Sebanyak apapun peraturan dibuat dan disusun, namun jika hanya

dipandang sebagai pengekang, penghambat dan penghalang bagi santri

sendiri, maka ia tidak akan berjalan sebagaimana mestinya Hal ini seringkah

(16)

5

membuat peraturan demi tercapainya ketertiban dan keamanan serta

kenyamanan kondisi pondok, namun usaha mereka sia-sia Tetap saja teijadi

banyak pelanggaran. Tetap saja para santri susah diatur. Mereka tidak menjadi

semakin baik, namun sebaliknya menjadi semakin buruk.

Cara pandang atau persepsi santri sendiri sering negatif terhadap tata

tertib atau peraturan pondok. Santri menganggap peraturan yang ada dibuat

untuk menghukum mereka karena mereka masuk ke pondok sebagian besar

karena latar belakang kenakalan mereka saat di rumah. Karena latar belakang

itulah, lantas mereka memiliki persepsi bahwa tata tertib itu justru untuk

menghukum mereka Tata tertib menjadi momok bagi mereka Selain itu

mereka juga memiliki persepsi bahwa peraturan diciptakan untuk dilanggar.

Persepsi inilah yang menyebabkan tingkat pelanggaran cukup tinggi teijadi di

pondok pesantren.

Monty P. Satiadarma memandang bahwa persepsi berperan besar

dalam membentuk perilaku anak. Beliau menjelaskan di dalam bukunya

bahwa “persepsi mendorong seseorang untuk memperoleh apa yang

dipersepsikannya.” 3 Jadi jika santri memiliki persepsi buruk terhadap tata

tertib di pondok, maka tata tertib tersebut akan benar-benar menjadi buruk

baginya, sehingga pada akhirnya tata tertib tersebut tentunya tidak lagi ditaati

sebagai sebuah tata tertib.

Tingkat pelanggaran yang tinggi mengindikasikan bahwa ketaatan

mereka terhadap tata tertib pondok pesantren kurang. Kurang taatnya santri 5

(17)

terhadap tata teriib pondok pesantren tersebut merupakan hal lain yang

menyebabkan kurang efektifnya tata tertib yang ditetapkan di pondok

pesantrea Pada akhirnya, rendahnya ketaatan santri terhadap tata tertib

pondok pesantren menyebabkan gagalnya tata tertib yang ditetapkan dalam

mencapai tujuan yang sebenarnya

Dari latar belakang masalah tersebut, penulis tertarik untuk mencoba

mengenai hubungan antara persepsi santri dan ketaatan santri terhadap tata

tertib pondok, dengan mengambil judul skripsi, “HUBUNGAN ANTARA

PERSEPSI DAN KETAATAN TERHADAP TATA TERTIB PONDOK

(Pada Santri Pondok Pesantren Al-Manar Bener Kecamatan Tengaran

Kabupaten Semarang Tahun 2008)”.

B. Penegasan Istilah

Seringkah penafsiran yang tidak sama menjadi pokok permasalahan

terhadap suatu masalah. Penafsiaran yang berbeda tentu menghasilkan

kesimpulan yang berbeda pula Oleh sebab itu, perlu sekali Dijelaskan

mengenai istilah-istilah yang dipakai dalam skripsi ini. Hal ini agar tidak

menimbulkan salah penafsiran dan sebagai pembatasan masalah.

Adapun istilah-istilah yang perlu penulis jelaskan adalah sebagai

berikut.

1. Persepsi

(18)

7

b. Proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca inderanya.6 7 8

2. Ketaatan

Ketaatan adalah: “ 1. Kepatuhan; kesetiaan; 2. Kesalehan; 3. Fungsi untuk

tidak membahayakan atau mengganggu Kedamaian dan keadilan.”/

Sedangkan yang penulis maksudkan dengan kata ketaatan adalah

kepatuhan.

3. Tata Tertib

Tata tertib adalah “Peraturan-peraturan yang harus ditaati atau

s dilaksanakan; disiplin;”.

4. Pondok Pesantren

a. Bangunan untuk tempat sementara (seperti yang didirikan di ladang, di

hutan, dsb); teratak

b. Rumah (sebutan untuk merendahkan diri)

c. Bangunan tempat tinggal yang berpetak-petak yang berdinding bilik

dan beratap rumbia (untuk tempat tinggal beberapa keluarga)

d. Madrasah dan asrama (tempat mengaji, belajar agama Islam).9

e. Pesantren adalah “asrama tempat santri atau tempat murid-murid

belajar mengaji; dsb; pondok.”10

6 Tim Penyusun Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kam us Besar Bahasa Indonesia. Ed.2.-cet.iv. Jakarta: Balai Pustaka. 1999. him. 75?.

(19)

C. Rumusan Masalah

Penulis merumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana persepsi santri terhadap tata tertib Pondok Pesantren Al-manar

Tahun 2008?

2. Bagaimana tingkat ketaatan santri dalam melaksanakan tata tertib Pondok

Pesantren Al-Manar Tahun 2008?

3. Bagaimana hubungan antara persepsi santri dengan ketaatan terhadap tata

tertib Pondok Pesantren Al-Manar Tahun 2008?

D. Tujuan Penelitian

Dari beberapa pokok permasalahan di atas, penulis dapat menyusun

tujuan penelitian sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui persepsi santri terhadap tata tertib Pondok Pesantren

Al-Manar Tahun 2008?

2. Untuk mengetahui ketaatan santri terhadap tata tertib Pondok Pesantren

Al-Manar Tahun 2008?

3. Untuk mengetahui hubungan antara persepsi santri dengan ketaatan

terhadap tata tertib Pondok Pesantren Al-Manar Tahun 2008?

E. Hipotesis

Hipotesis adalah “pernyataan yang mungkin masih lemah

kebenarannya dan masih perlu dibuktikan kebenarannya.” 11 Berdasarkan

(20)

9

permasalahan di atas, maka penulis dapat membuat hipotesis sebagai berikut:

“Ada Pengaruh positif antara persepsi dan ketaatan terhadap tata tertib

pondok.” Apabila hipotesis ini benar, maka makin baik persepsi santri

terhadap tata tertib pondok makin baik pula ketaatan santri terhadap tata tertib

pondok dan demikian pula sebaliknya, makin buruk persepsi santri makin

buruk pula ketaatan santeri terhadap tata tertib pondok.

F. Metode Penelitian

1. Variabel Penelitian

Di dalam penelitian ini, terdapat dua buah variabel yang penulis pakai:

a. Variabel 1

Adapun yang menjadi variabel adalah “Persepsi santri” (X)

yang memiliki beberapa indikator yaitu:

1) Beranggapan bahwa tata tertib yang dibuat adalah untuk kebaikan

santri

2) Beranggapan bahwa tata tertib yang dibuat adalah untuk ditaati

3) Mengucapkan kata-kata yang meremehkan tata tertib

4) Berpikir bahwa tata tertib yang baru tidak akan ditaati para santri

5) Berkeyakinan bahwa tata tertib sekalipun tidak akan mampu

merubah kondisi buruk yang ada

6) Baranggapan bahwa hidup akan lebih baik tanpa adanya tata tertib

7) Beranggapan bahwa pelanggaran yang dilakukan tidak akan

(21)

8) Beranggapan bahwa kewajiban bersekolah tidaklah penting

9) Beranggapan bahwa peraturan kamar adalah khusus untuk santri

tertentu

10) Beranggapan bahwa peraturan pondok adalah khusus untuk santri

tertentu

b. Variabel 2

Variabel dalam penelitian ini yaitu “Ketaatan Santri Terhadap

Tata Tertib Pondok” (Y) yang juga memiliki beberapa indikator yaitu:

1) Tata tertib justru merugikan santri

2) Banyak tata tertib yang tidak ditaati santri

3) Banyak mendengar kata-kata yang meremehkan tata tertib yang

dibuat

4) Tata tertib baru selalu tidak pemah dilanggar

5) Terbukti bahwa kondisi umum pesantren membaik dengan adanya

tata tertib

6) Tanpa adanya tata tertib, kondisi pondok semakin buruk

7) Banyak pelanggaran yang dilakukan santri tidak diketahui

pengurus

8) Sering tidak masuk sekolah

9) Sering melanggar aturan kamar

(22)

11

2. Populasi dan sampel

a. Populasi

Seluruh santri Pondok Pesantren Al-Manar dimaksudkan untuk

diteliti. Adapun populasi yang penulis ambil adalah para santri Pondok

Pesantren Al-Manar Tahun 2008 sejumlah 127 laki-laki dan 111

perempuan (total 238 santri).

b. Sampel

Sampel adalah “sebagian atau wakil populasi yang diteliti”.12

Suharsimi berpendapat bahwa “jika subjeknya besar dapat diambil

antara 10 - 15% atau 20 - 25% sebagai sampelnya atau lebih, tetapi

jika subjeknya kecil dapat diambil seluruhnya” 13 14

Berdasarkan pendapat di atas, maka penulis mengambil 25% dari

jumlah populasi, mengingat jumlah santri pondok pesantren Al-Manar

0 25 . .

adalah 238 santri, jadi —— x238 = 59,5 dan dibulatkan menjadi 60

100

santri. Adapun pengambilan sampel menggunakan cara random

sampling.

Random sampling ialah sampling dimana elemen-elemen

sampelnya ditentukan atau dipilih berdasarkan nilai probabilitas dan

pemilihannya dilakukan secara acak.,4

12 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pengantar P raktis, Bina Aksara, Jakarta, 1989, hal. 104

13 Ibid. hal. 107

(23)

Dalam menentukan sampel dari populasi tersebut, penulis

menggunakan sistem lolere. Cara ini adalah dengan menuliskan nama-

nama seluruh anak dalam populasi, kemudian mengambil satu persatu

secara acak hingga mencapai jumlah sampel (60) anak. Nama yang

telah diambil tidak dikembalikan lagi ke dalam populasi, dan

pengambilan dilakukan secara acak, bukan disengaja

3. Metode Pengumpulan Data

Skripsi ini menggunakan beberapa teknik pengumpulan data sebagai

berikut:

a. Angket / Kuesioner

Yaitu usaha pengumpulan informasi dengan menampilkan

sejumlah pertanyaan tertulis untuk dijawab secara tertulis pula oleh

responden15 Angket ini dibagikan kepada 60 santri yang menjadi

responden untuk mengetahui persepsi santri dan ketaatan

melaksanakan tata tertib pondok.

b. Dokumentasi

Yaitu cara pengumpulan data melalui peninggalan atau data

tertulis, terutama berupa arsip-arsip, agenda, buku legger, dan

sebagainya16 Dokumentasi ini penulis gunakan untuk mengumpulkan

data tentang jumlah santri, jumlah ustadz, sejarah pondok, dan lain

sebagainya

15 Hadari Nawawi, M etode Penelitian B idang Sosial, UGM Press Yogyakarta, 1991, hal. 133

(24)

13

4. Metode Analisis Data

Dalam pengolahan data yang bersifat statistik penulis menggunakan

tiga tahap analitis yaitu sebagai berikut:

a. Analisis Pendahuluan

Pada tahap ini data yang ada dikelompokkan kemudian

dimasukkan dalam distribusi variabel penelitian selanjutnya.

Pengelompokan data tersebut dilakukan dengan menyusun tabel-tabel

distribusi frekuensi atau pembagian kekerapan, keseringan secara

sederhana, untuk setiap variabel yang terdapat dalam penelitian. Perlu

disampaikan disini bahwa untuk merubah data yang bersifat kualitatif

menjadi kuantitatif penulis menggunakan kriteria tertentu, baik dari

segi peijenjangan maupun dari segi alternatif jawaban. Dalam hal ini

digunakan peijenj angan 1 - 5 dengan standar penyekoran sebagai

berikut:

1) Jawaban responden a diberi skor 5

2) Jawaban responden b diberi skor 4

3) Jawaban responden c diberi skor 3

4) Jawaban responden d diberi skor 2

5) Jawaban responden e diberi skor 1

b. Analisis Uji Hipotesis

Dalam analisis ini penulis mengadakan perhitungan lebih lanjut

(25)

Dalam analisis ini penulis menggunakan rumus korelasi product

moment, sebagai berikut:

n Y x y - ( Y x- Y y)

Keterangan:

r*y : korelasi antara xy

xy : product dari x dan y

N : jumlah subyek yang diteliti

X : nilai persepsi santri

Y : nilai ketaatan santri

c. Analisis Lanjut

Yaitu pengolahan lebih lanjut dari uji hipotesis. Dalam hal ini

penulis menginterpretasikan hasil analisisi uji hipotesis, jika rxy > rt

berarti signifikan, yaitu ada pengaruh yang positif antara persepsi

santri dan ketaatan terhadap tata tertib pondok, dengan demikian

hipotesis yang penulis ajukan diterima Tetapi bila r^ < rt berarti tidak

signifikan atau tidak ada hubungan atau pengaruh yang positif antara

persepsi santri dan ketaatan terhadap tata tertib pondok, dengan

demikian hipotesis yang penulis ajukan ditolak atau tidak diterima.

G. Sistematikan Skripsi

Sistematika yang penulis ketengahkan di sini terdiri dari 5 (lima) bab,

(26)

BAB

BAB

BAB

15

Penulisan skripsi ini terdiri dari 5 (lima) bab yaitu sebagai berikut:

I Pendahuluan

Berisi antara lain: alasan pemilihan judul, penegasan istilah,

permasalahan, tujuan penelitian, hipotesis, metode penelitian dan

sistematika skripsi.

II Persepsi, Ketaatan dan Tata Tertib

Terdiri dari empat bagian meliputi:

Yang berhubungan dengan Persepsi meliputi: pengertian

persepsi, Persepsi Pygmalion, Persepsi dan perilaku, perhatian,

Menyakiti, Ketakutan dan Ketidak berdayaan, Komunikasi dan Bahasa

Yang berhubungan dengan Ketaatan meliputi: pengertian

Ketaatan, Macam-macam ketaatan, Kriteria ketaatan, Fungsi ketaatan

Yang berhubungan dengan Tata Tertib meliputi: pengertian

tata tertib, tujuan tata tertib, urgensi tata tertib serta macam dan

pembagian tata tertib

III Laporan Hasil Penelitian

Yang meliputi dua bagian yaitu:

Keadaan Umum Pondok Pesantren Al-Manar yang meliputi:

sejarah berdirinya, letak geografis, data keadaan ustad z, struktur

organisasi dan sarana prasarana yang ada

Data khusus yang meliputi: data persepsi santri dan data

(27)

BAB IV Analisis Data

Pada bab ini berisi tentang penyajian data dan pengolahannya

BAB V Penutup

Pada bab ini terdiri dari kesimpulan, saran-saran, kata penutup, dan

(28)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Persepsi Tata Tertib

1. Pengertian Persepsi

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, persepsi adalah “tanggapan

(penerimaan) langsung dari sesuatu; serapan; proses seseorang mengetahui

beberapa hal melalui panca inderanya”1 Monty P. Satiadarma dalam

bukunya mengatakan bahwa “persepsi adalah deteksi dan interpretasi

stimulus yang ditangkap oleh penginderaan (Solso, 1995).”2 Persepsi

mengandung pengertian hal-hal yang kita tangkap melalui penginderaan,

kemudian kita transformasikan ke susunan saraf pusat di otak, lalu

diintrepretasikan sehingga mengandung arti tertentu bagi kita. Seringkah

persepsi kita akan sebuah hal didasari pada pengalaman-pengalaman hidup

dan ingatan-ingatan mengenai hal-hal yang berkaitan atau peristiwa-

peristiwa yang mengandung kesamaan.

Secara lebih sederhana, persepsi diartikan sebagai “cara pandang”.

Cara pandang kita terhadap sesuatu pada dasarnya dilatarbelakangi oleh

pengalaman-pengalaman penginderaan kita. Keseringan kita dalam

mengalami sesuatu yang buruk mengakibatkan kita memiliki cara pandang

yang buruk terhadap hal-hal yang mirip atau memiliki kesamaan.

1 Tim Penyusun Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Ifesar Bahasa Indonesia. Ed.2.-cet.iv. Jakarta: Balai Pustaka. 1999. him. 759.

2 Monty P. Satiadarma, Persepsi Orang Tua M em bentuk Perilaku A nk; Dampak Pygm alion dalam Keluarga, Jakarta, Pustak Populer Obor, 2001, hal. 45.

(29)

Cara pandang kita terhadap sebuah masalah yang kita hadapi juga

menentukan bagaimana kita bersikap. Apabila kita memandang diri kita

tidak akan mampu mengatasi masalah tersebut, maka secara tidak sadar,

kita melakukan tindakan-tindakan yang membuat kita tidak mampu

menyelesaikan masalah. Seperti kurang semangat, karena merasa tidak

akan mampu, padahal kita belum benar-benar melakukannya semaksimal

mungkin. Di dalam konteks pesantren, peraturan diciptakan untuk

memperbaiki kondisi dan membentuk kondisi yang kondusif dalam

pendidikan kepesantrenan. Apabila masyarakat yang diikat oleh peraturan

itu memiliki cara pandang negatif dan buruk terhadap peraturan tersebut,

maka peraturan atau tata tertib tersebut tidak akan beijalan maksimal.

Karena pada hakikatnya peraturan atau tata tertib hanyalah alat yang dibuat

oleh manusia Manusialah yang menjadi pelaku aktifnya

Pygmalion adalah nama seorang pemahat bangsa Yunani yang

sangat handal namun hidup sendirian. Suatu saat ia membuat sebuah

patung gadis yang amat indah yang terbuat dari gading. Di dalam legenda

Yunani tersebut, Pygmalion memiliki anggapan bahwa patung tersebut

benar-benar seorang gadis yang menjadi istrinya. Sehingga karena

anggapannya tersebut, akhirnya ia memperlakukannya seperti manusia,

bahkan patung tersebut dibaringkannya di ranjang tempatnya tidur. Akhir

dari legenda ini adalah bahwa patung tersebut diberi nafas kehidupan oleh

(30)

19

Rosenthal, seorang pakai psikologis terkenal pernah mengajukan

padangan yang dikenal dengan “The Pygmalion Effect” yang oleh banyak

pakar pendidikan serta peneliti bidang psikologis dikenal dengan istilah

“The Rosenthal E ffect. Inti dari pandangan ini adalah bahwa ‘‘persepsi

orang tua, baik yang diucapkan dengan menggunakan label tertentu pada

anak atau yang tidak diucapkan tetapi ditanamkan di dalam diri mereka

bisa menjadi kenyataan yang sesungguhnya pada diri anak/'1

Persepsi Pygmalion pada dasarnya menggambarkan kecenderungan

yang terdapat pada diri sebagian besar orang. Cara berpikirnya adalah cara

berpikir yang benar dan tindakannya adalah tindakan yang benar pula. Kita

sering menganggap bahwa jalan pikiran kita adalah jalan pikiran yang

benar. Kita menganggap bahwa persepsi kita terhadap suatu hal merupakan

persepsi yang benar, dan tindakan kita terhadap hal tersebut adalah

tindakan yang benar pula

Hal tersebut tidaklah salah, akan tetapi banyak diantara kita yang

sesungguhnya menyadari akan adanya kesalahan yang dilakukan tetapi

tidak bersedia memperbaikinya, sebaliknya justru mencari pembenaran

akan tindakan yang keliru. Persepsi demikian cenderung membentuk sikap

kaku terhadap perubahan sehingga individu yang bersangkutan akan

mengalami kesulitan menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan. Cara

pandang demikian sesungguhnya didasari oleh sikap tertutup, tidak mau

menerima hal-hal baru. Cara pandang demikian juga biasanya disertai

(31)

sikap tidak bersedia mendengarkan. Dan jika seseorang enggan

mendengarkan orang lain bagaimana mungkin dapat memahami orang lain.

Bila kita mempersepsikan sesuatu maka kita memiliki pandangan

tertentu tentang hal yang kita persepsikan. Bila kita memiliki persepsi

tertentu mengenai perilaku seseorang, maka kita memiliki pandangan

tertentu mengenai apakah hal tersebut pantas dilakukan atau tidak. Dalam

hal ini kita melakukan evaluasi spesifik atas suatu keadaan. Adapun cara

kita mengevaluasi keadaan tertentu sangat terpengaruh oleh pengalaman-

pengalaman masa lalu, “berbagai pengalman masa lalu kita membentuk

suatu sistem organisasi di dalam diri dalam proses berpikir, merasa dan

bertingkah laku.”4 Dalam psikologis kognitif hal ini disebut skema.

Ketika kita menilai suatu keadaan tertentu, kita pun menarik

berbagai kesimpulan sejumlah kemungkinan yang mungkin terjadi tapi

belum tentu juga akan terjadi. Hal tersebut seperti peramalan sehingga

menghasilkan tindakan antisipasi. Dengan skema yang kita miliki kita

memberikan respons tertentu terhadap suatu keadaan tertentu. Selanjutnya

respons tersebut kemudian lebih memperkuat skema yang sudah terbentuk

di dalam diri kita Kemudian kita menyimpulkan atribut khusus misalnya

“berbahaya”, “nakal” dan lain sebagainya Pada kenyataannya pengalaman

itu unik sifatnya, artinya keadaan memiliki spesifikasi tertentu dan tidak

demikian mudah untuk disamakan begitu saja Kita tidak dapat demikian

(32)

21

mudah meng-generaJisasikan pengalaman-pengalaman kita ke dalam

pengalaman-pengalaman orang lain karena sifat spesifik ini.

Harapan merupakan sasaran perilaku manusia Harapan awalnya

timbul dari angan-angan yang dipicu oleh persepsi kita sendiri. Harapan

membuat manusia lebih mampu menghadapi kehidupan. Manusia yang

hidup tanpa adanya harapan akan menjalani kehidupan ini tanpa semangat

juang.

Persepsi melahirkan standar tersendiri bagi setiap orang. Standar

tersebut terbentuk selama bertahun-tahun dari pengalaman-pengalaman

pribadinya. Oleh karena pengalaman bersifat spesifik antara satu orang

dengan orang lain, maka standar tersebut juga bersifat spesifik. Pada

akhirnya akan melahirkan harapan spesifik dengan cara spesifik untuk

mewujudkannya Hal ini menimbulkan cara-cara kreatif yang tidak sama

antara satu orang dengan orang lain dalam usahanya mewujudkan harapan

pribadinya

Persepsi dalam diri terbentuk melalui proses yang lama dalam hidup

seseorang. Oleh sebab itu, persepsi yang telah terbentuk tersebut akan

sangat sulit diubah. Namun demikian, bukan berarti persepsi tersebut tidak

dapat diubah. Kita dapat mengubah persepsi kita dengan membuka diri.

Artinya “kesediaan membuka diri, kesediaan mendengarkan berbagai

masukan adalah penting melalui proses ini kita akan lebih memahami

skema yang kita miliki yang menjadi dasar tindakan kita.”3

(33)

2. Persepsi dan PeriJaku

Persepsi seseorang tentang suatu hal melandasi bagaimana cara

orang tersebut menghadapi hal yang dimaksud. Bila seseorang memiliki

persepsi bahwa seorang anak adalah baik, maka orang tersebut akan

memiliki sikap yang baik terhadap anak tersebut. Demikian pula mengenai

hal yang sifatnya abstrak, misalnya mengenai peraturan pemerintah.

Apabila rakyat memiliki persepsi negatif terhadap peraturan pemerintah,

maka rakyat akan berperilaku tidak sesuai dengan peraturan tersebut.

Persepsi mendorong seseorang untuk memperoleh apa yang

dipersepsikannya. Sebagai contoh, jika seseorang mempersepsikan dirinya

tidak akan mampu mengeijakan sesuatu, maka segala tindakannya akan

mengarah pada ketidak mampuannya itu. Apabila seseorang

mempersepsikan dirinya sebagai orang yang mampu mengerjakan sesuatu,

maka demikian pula tindakan-tindakannya.

Bila kita mempersepsikan seorang anak itu baik, maka kita bersikap

baik kepada orang tersebut Demikian pula sebaliknya Persepsi positif

bukan berarti harus menurut tanpa alasan apa pun. Adakalanya hal-hal

tersebut tidak baik, maka dalam hal ini kita harus kritis terhadap segala

sesuatu. 3

3. Perhatian

Jika kita memusatkan perhatian pada suatu hal tertentu, maka kita

(34)

23

dua haJ yang menarik perhatian kita secara bersamaan, maka perhatian kita

akan terpecah dan menimbulkan kebingungan sesaat. Kemampuan kita

untuk membagi perhatian adaJah terbatas, kapasitas untuk memusatkan

perhatian kepada suatu keadaan juga terbatas.

Arah perhatian seseorang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Pertama

adalah kuatnya Stimulus, seperti misalnya tangis anak yang keras lebih

menarik perhatian orang tua daripada suara musik di radio, kedua adalah

ketertarikan atau keterpikatan seseorang akan menentukan proses seleksi

yang dilakukannya dalam memusatkan perhatian ke suatu objek tertentu.

Ketiga adalah kapasitas seseorang, apakah ia mampu memberikan

tanggapan pada suatu stimulus tertentu. Misalnya jika seorang santri telah

sibuk belajar materi-materi pelajaran yang ada di pesantren, maka

kapasitasnya untuk memperhatikan hal-hal lain akan berkurang.

Seorang profesor dari Universitas Hirosima, profesor Sukemune

pernah mengadakan penelitian mengenai dampak keberadaan orang tua

terhadap perkembangan anak. Sukemune membandingkan dua kelompok

keluarga Kelompok pertama adalah keluarga yang ayahnya sering

meninggalkan keluarga untuk bekeija jauh di luar negeri. Kelompok

pembanding adalah kelompok yang sehari-hari pulang ke rumah setelah

bekerja. Hasil penelitiannya, menemukan bahwa anak-anak yang sering

ditinggal oleh ayahnya menunjukkan gejala kecemasan yang lebih tinggi

(35)

Anak-anak yang kurang diperhatikan karena jauh dari orang tua,

seperti hasil penelitian profesor Sukemune tersebut akan memiliki tingkat

kecemasan lebih tinggi. Dalam hal ini, anak-anak yang hidup di pesantren

merupakan anak-anak yang jauh dari orang tua. Memang pada batas

tenentu seiring dengan berlangsungnya proses pematangan dan

pendewasaan, seolah-olah mereka mampu beradaptasi dengan kondisi

tersebut. Hal ini sama sekali tidak menghilangkan kecemasan yang ada

pada dirinya Kecemasan tersebut mungkin akan timbul dalam perilaku

mereka, dalam membina hubungan hidup, dan dalam membuat keputusan.

Dampak kecemasan seolah-olah tidak terlalu terasa tetapi dalam kurun

waktu yang panjang masalah perilaku akibat hal ini akan tampak.

Persepsi dan perhatian memiliki hubungan yang timbal balik.

Persepsi kita akan suatu hal akan mengarahkan kita untuk memperhatikan

hal-hal tertentu. Sebaliknya bila kita menaruh perhatian kepada suatu hal

tertentu maka perhatian kita tersebut akan mempengaruhi persepsi kita.0

4. Menyakiti

Menyakiti merupakan terjemahan umum dari istilah “abuse”,

walaupun keduanya berbeda. Tindakan abusive merupakan tindakan-

tindakan yang menimbulkan rasa sakit.' Hal ini berkaitan dengan adanya

hukuman dalam sebuah tata tertib di pesantren. Hukuman yang ditetapkan

karena adanya tata tertib yang dilanggar oleh para santri seringkah

menyakiti santri itu sendiri baik fisik maupun psikis. Apabila hal ini 6

(36)

25

terjadi, maka fungsi hukuman tersebut lebih cenderung bersifat negatif

daripada bersifat positif yaitu mendidik Di sinilah perlunya dibuat

hukuman yang mendidik.

Hal-hal yang tergolong menyakiti baik secara fisik maupun psikis

tergolong abusive. Sebagai contoh; perlakuan tindak kekerasan terhadap

santri yang melakukan pelanggaran. Karena sistem yang ada di pesantren

merupakan sistem yang dibuat sendiri oleh penghuninya, maka tindakan

main hakim sendiri dapat saja terjadi di pesantren. Tindakan tersebut

merupakan tindakan menyakiti secara fisik yang tergolong tindakan

kekerasan. Di samping aspek fisik, terkait pula aspek verbal. Penggunaan

kata-kata umpatan, atau menyumpahi merupakan tindakan yang tergolong

abusive.

Santri yang merasa kurang diperhatikan oleh lingkungannya

cenderung melakukan tindakan yang menyakiti diri sendiri baik secara

sadar maupun tidak. Tindakan merokok dapat saja timbul karena hal ini.

Walaupun mereka tahu bahwa merokok dapat menyakiti diri mereka

sendiri karena bahaya nikotin yang dikandungnya, sebagian besar santri di

pondok pesantren, terutama yang beraliran salafi merupakan perokok berat.

Hal ini bukan berarti tidak ada larangan merokok di pesantren. Namun

mereka memang sengaja melakukan pelanggaran.

Menyakiti juga dapat dilakukan karena didasari oleh adanya

kecenderungan menunjukkan superioritas. Hal ini merupakan bentuk dari

(37)

Ketidakberdayaan mencari solusi yang layak atas sebuah masalah dapat

menimbulkan tindakan kekerasan yang menyakiti pihak lain. Pada

umumnya tindakan superioritas ini terjadi pada santri yang telah lama

bermukim di pesantren terhadap santri yang relatif tergolong santri baru.

Umumnya dilakukan oleh mereka yang memiliki wewenang mengatur

santri lain, namun karena rasa frustasi akibat ketidakberdayaan membenahi

situasi yang dianggapnya tidak baik, maka ia cenderung melampiaskan

kekesalannya dengan tindakan kekerasan seperti pukulan fisik, maupun

umpatan.

Dampak dari perihal menyakiti ini adalah adanya trauma Trauma

ini teijadi karena sebuah peristiwa negatif yang teijadi padanya membekas

dan selalu teringat sepanjang hidupnya Para santri umumnya adalah anak-

anak SD hingga SMA. Mereka masih membutuhkan perhatian dari orang

tuanya. Mereka membutuhkan perlindungan, bukan justru disakiti. Apabila

hal ini teijadi, maka mereka akan cenderung menyembunyikan informasi

yang seharusnya diketahui orang lain karena takut akan disakiti. Hal ini

justru menimbulkan sikap tidak jujur pada diri anak.

Atribut-atribut negatif dari orang tua atau orang yang lebih tua

kepada anak dapat menyebabkan anak bersifat tertutup dan tidak jujur.

Atribut-atribut seperti “goblok”, “tolol”, dan atribut negatif dari orang tua

karena persepsi yang negatif ini menyebabkan lama kelamaan

(38)

27

tersebut. Ia telah disakiti secara verbal dan berakibat keliru

mempersepsikan dirinya sendiri.

Proses internalisasi juga dapat terjadi akibat tindakan menyakiti dari

orang lain ini. Seperti halnya yang dikatakan Monty S. Satiadarma,

“seorang anak laki-laki yang sering disakiti oleh ibunya mungkin akan

menaruh dendam pada tokoh wanita”. Hal ini mengakibatkan ia tidak

mampu melakukan hubungan mendalam dengan wanita Jika ia sering

disakiti oleh ayahnya, ia akan menjadi pribadi pemberontak terhadap tokoh

otoritas dan menimbulkan banyak konflik dengan mereka Jika tindak

kekerasan ini terjadi pada anak perempuan, maka pada kasus pertama, ia

kelak akan cenderung bertindak menyakiti orang lain. Adapun pada kasus

kedua, maka ia akan memiliki dendam pada tokoh laki-laki, terutama yang

mirip dengan tokoh ayahnya

Dari hal-hal tersebut di atas, maka tata-tertib yang potensial

menimbulkan tindakan yang menyakiti santri harus dihindari. Pembuat tata

tertib harus benar-benar menyadari bahwa hukuman-hukuman yang

ditetapkan haruslah bersifat mendidik dan membuat jera, sekaligus

memiliki muatan perhatian dan kasih sayang. Hal-hal yang dapat memicu

kekerasan, pola pikir memaksakan kehendak, menunjukkan superioritas

dan perilaku defensif harus dihilangkan. Hal ini dapat terjadi apabila

(39)

5. Ketakutan dan Ketidakberdayaan

Tindakan menyakiti mengakibatkan orang yang disakiti memiliki

keiakutan akan suatu hal. Hal ini karena ia memiliki persepsi bahwa jika ia

melakukan hal tertentu, terutama yang serupa, maka besar kemungkinan ia

akan disakiti lagi. Persepsi bahwa jika ia melakukan sesuatu dapat

mengakibatkan ia disakiti kembali, maka kecenderungan yang timbul

adalah meninggalkan hal tersebut. Pada akhirnya ia akan memiliki sifat

takut mengambil keputusan, dan berujung pada ketidakmampuan

mengambil keputusan

Seorang anak mengalami kebuntuan berpikir untuk melakukan

sesuatu disebabkan oleh beberapa hal:

a. Jika ia melakukan sesuatu, ia mendapatkan marah dari orang

tuanya

b. Jika melakukan sesuatu yang baik, tidak mendapatkan pujian

ataupun penghargaan dari orang tuanya

c. Standar nilai yang dimiliki oleh anak merupakan standar nilai yang

negatif; salah atau tidak salah, dihukum atau tidak dihukum, dan

dimarahi atau tidak dimarahi.

d. Hanya melakukan sesuatu agar tidak dihukum, bukan untuk

memperoleh prestasi tertentu.

e. Tidak mengetahui perilaku yang menghasilkan kebaikan karena

tidak pernah memperoleh informasi mengenai hal tersebut.8

(40)

29

HaJ-hal tersebut timbul karena tumbuhnya ketakutan pada diri anak.

Sedangkan ketakutan tersebut ada karena anak sering mendengar atribut

negatif “jangan" dari orang tua atau orang yang lebih tua Sedangkan solusi

yang diharapkan tidak pernah muncul. Jika dilarang, maka “sebaiknya”

harus bagaimana. Oleh karena itu, penggunaan kata “jangan” seharusnya

diganti dengan kata “sebaiknya” untuk mencegah timbulnya ketakutan

pada diri anak.

Rasa takut telah dikenal oleh manusia sejak dalam kandungan.

Melalui rasa takut yang dirasakan oleh ibunya. Kemudian rasa takut akan

situasi yang sama sekali baru saat ia lahir sehingga bayi yang baru lahir

pastilah menangis, dan berhenti saat ia dipeluk oleh ibunya dan kembali

merasa hangat. Dalam perkembangannya, proses belajarnya berlanjut dari

belajar hal-hal negatif seperti rasa tidak nyaman, takut, sakit kepada hal-hal

positif seperti hal-hal yang menimbulkan rasa nyaman, aman, dan tenang.

Menakut-nakuti mungkin merupakan cara termudah untuk membuat

anak menuruti aturan. Namun aturan yang memiliki nilai menakut-nakuti

mendidik anak untuk menjadi pribadi penakut, “benarlah di dalam

beberapa hal memang rasa takut perlu ditumbuhkan, tetapi tujuan untuk

menimbulkan rasa takut ini sebaiknya diarahkan pada pembentukan

kesadaran moral (moral awareness) dan nurani (moral conscience)”*,

bukan pada pembentukan kecemasan (anxiety) serta fobia (phobia) atau

takut pada objek yang sama sekali tidak mengancam. Pada dasarnya

(41)

kesadaran nurani tidak perlu dibentuk melalui rasa takut tetapi melalui

kesadaran akan makna untuk berbuat baik

Selain rasa takut, hal negatif yang perlu diperhatikan adalah

ketidakberdayaan. Secara tidak disadari, anak cenderung belajar untuk

menjadi tidak berdaya karena rasa kasih sayang yang berlebihan dari orang

tua. Pada umumnya, rasa sayang yang berlebihan tersebut menyebabkan

orang tua selalu membantu anak mereka dalam melakukan sesuatu dan

membatasi mereka jika menurut orang tua terlalu berbahaya untuk

dilakukan. Oleh sebab itu, sebaiknya di pesantren, tata-tertib dibuat dengan

memperhatikan aspek pembentukan karakter santri untuk melakukan

sesuatu secara mandiri. Namun demikian, bukan berarti melepaskan begitu

saja, harus tetap ada kontrol seperlunya dari otoritas.

Yang diperlukan untuk menghilangkan sifat tidak berdaya ini adalah

dengan membiasakan mereka agar dapat melakukan segalanya sendiri,

dengan memberikan motivasi dan support, dan apabila melakukan

kesalahan hendaknya tidak ditertawakan atau dimarahi. Disinlah peran

orang-orang dalam posisi yang superior untuk membantu mereka Jika hal

ini berhasil, maka akan tumbuh pribadi-pribadi mandiri yang tidak terlaiu

tergantung pada orang lain. Dampak sederhana yang muncul dalam dunia

pendidikan adalah mereka sadar bahwa menyontek adalah hal yang tidak

baik sehingga mereka enggan untuk menyontek dan lebih mengandalkan

(42)

31

6. Komunikasi dan Bahasa

Komunikasi merupakan aspek sentral dalam hubungan antara

manusia Pendidikan tidak terjadi dengn sendirinya, melainkan merupakan

hasil proses hubungan antarmanusia Karenanya di dalam proses

pendidikan, aspek komunikasi menjadi sangat penting.10 Dalam hal ini,

maka tata-tertib juga harus memiliki komunikasi yang baik antara ia

dengan orang yang dikenainya. Tata-tertib harus memiliki pesan yang

jelas bagi santri. Kejelasan pesan-pesan tersebut ditentukan oleh sejumlah

hal seperti misalnya panjang atau pendeknya pesan tersebut, jelas atau

kaburnya pesan tersebut, apakah ada makna lain di balik pesan tersebut,

dan sebagainya Apabila pesan yang terkandung dalam tata tertib tersebut

tidak jelas, maka tata-tertib tersebut cenderung diabaikan.

Bahasa mengandung berbagai elemen seperti semantik (simbol

bunyi untuk melukiskan sesuatu), sintak yang merupakan salah satu aturan

penyusunan kalimat, dan lain-lain. Teijadi transformasi konsep dari satu

orang ke orang lain. Bahasa yang digunakan di dalam tata-tertib

merupakan transformasi konsep dari pembuat tata-tertib kepada tata-tertib

itu sendiri.

(43)

1. Pengertian ketaatan

Ketaatan berasal dari kata “taat” mendapat imbuhan ke- dan akhiran

-an. Kata taat sendiri memiliki arti “senantiasa tunduk (kepada Tuhan,

pemerintah, dan sebagainya; patuh”11 Nabi Muhammad saw. menyeru

manusia supaya mengenal Allah dan taat kepada-N

3

'a, kata taat dalam

kalimat ini memiliki makna senantiasa tunduk dan patuh. Sedangkan

ketaatan memiliki arti “kepatuhan, kesetiaan, kesalehan”12 13 sedangkan di

bidang hukum, ketaatan berarti fungsi untuk tidak membahayakan atau

mengganggu kedamaian atau keadilan.1'

Dalam banyak tulisan, artikel maupun literatur, kata ketaatan

memiliki korelasi dengan agama Sehingga istilah taat sering diartikan

kepatuhan kepada Tuhan. Walaupun demikian, ketaatan juga memiliki arti

kepatuhan pada hal selain Tuhan, namun tetap berbicara mengenai

peraturan. Skripsi bermaksud mengupas istilah ketaatan dalam konteks

kepatuhan pada peraturan atau tata tertib yang diterapkan di sebuah pondok

pesantren.

2. Macam-Macam Ketaatan

Di dalam Al-Quran, “pernyataan ketaatan seorang hamba kepada

Allah swt” ditunjukkan dengan penggunaan kata “sujud”. Sujud hanya

merupakan suatu amal, tetapi intinya merendahkan diri untuk

" KBBI Daring, Kamus Besar Bahasa Indonesia Dalam Jaringan, 2008, diakses tanggal: 10 Desember 2008. fhttp://pusatbahas.diknas.ao.id/kbbi/indc\.php]

12Ibid. 13 i u s j

(44)

33

menghormati, meskipun tidak dalam bentuk itu. Kata sujud dalam al-

Quran digunakan untuk:

a Membicarakan tentang ketaatan para malaikat kepada Allah SWT, dan

pembangkangan iblis, misalnya pada S. Al-Hijr ayat 30-33.

^ x c.- r ' t . _ f * j 9 t f f f ' s s

£-* Oy n O' cjJ 0 > * -^ '

£ 4 *^1 vli) 1_4 l)\3

J , #

Artinya: Maka bersujudlah Para Malaikat itu semuanya bersama- sama. kecuali iblis, ia enggan ikut besama-sama (malaikat) yang sujud itu. Allah berfirman: "Hai iblis, apa sebabnya kamu tidak (ikut sujud) bersama-sama mereka yang sujud itu?" Berkata Iblis: "Aku sekali-kali tidak akan sujud kepada manusia yang Engkau telah menciptakannya dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk" (QS: Al-Hijr: 30 - 33)14

b. Uraian tentang ketaatan dan kepatuhan langit, bumi serta benda-benda

alam lainnya yang diciptakan Tuhan, umpamanya pada S. Ar-Ra’d

ayat 15.15

Bentuk-bentuk ketaatan makhluk di dalam Al-Quran ada dua

macam:

a. Ketaatan karena keterpaksaan

b. Ketaatan karena kesadaran atau kerelaan sendiri.

14 Departemen Agama, Al-Q ur’an dan Terjemah. Surya Cipta Aksara,1989, him. 393. 15 Pusat Studi Al-Quran, 2008, diakses tanggal: 10 Desember 2008,

(45)

Ketaalan jenis pertama digambarkan di dalam Surat An-Nahl ayat

49 yang artinya: “Kepada Allah sajalah bersujud segala apa yang berada di

langit dan semua yang melata di bumi dan juga para malaikat. Ketaatan

dan kepatuhan macam ini dilakukan oleh manusia, binatang, tumbuh-

tumbuhan, dan segala benda yang ada di langit dan bumi. Ketaatan di sini

di dalam konteks mengikuti hukum-hukum alam yang diciptakan Tuhan

bagi mereka, misalnya matahari terbit dari timur dan manusia mengikuti

gerak rotasi bumi atau daya gravitasi bumi.

Adapun ketaatan yang kedua adalah ketaatan yang dilakukan karena

menyadari dirinya sebagai hamba atau makhluk ciptaan Tuhan. Ketaatan

jenis inilah yang diperintahkan Allah SWT., seperti yang dikemukakan di

dalam Surat An-Najm ayat 62 yang artinya: “Maka bersujdulah kepada

Allah dan sembahlah Dia”

3. Kriteria Ketaatan

Orang yang memiliki ketaatan memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a Mendengarkan dan memahami perintah dengan sebaik-baiknya,

memohon penjelasan sampai jelas kemudian melaksanakannya dengan

tidak menunda-nunda dan dengan sebaik-baiknya

b. Melipatgandakan kesabaran saat melaksanakan perintah tersebut,

ikhlas, dan tidak menguranginya atau menambahnya sedikit pun.

c. Melaksanakan dengan segera perintah tersebut, walaupun tidak sesuai

dengan pendapatnya atau berbeda dengan keinginannya 6

(46)

35

e. Minta izin dalam setiap urusan pentingnya atau sebelum mengambil

keputusannya.16

C. Tata Tertib

1. Pengertian Tata Tertib

Tata tertib memiliki beberapa definisi. Tata tertib diartikan pula

sebagai disiplin, “menurut Hadari Nawawi (1985) disiplin atau tata tertib

diartikan sebagai kesediaan mematuhi ketentuan berupa peraturan-

peraturan yang secara eksplisit perlu juga mencakup sangsi-sangsi yang

akan diterima jika terjadi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan

tersebut”.17 Dalam tulisan lain diartikan sebagai “norma-norma atau

aturan-aturan yang merupakan kesatuan landas an etik atau filosofis dengan

peraturan sikap dan perilaku”18

2. T ujuan T ata T ertib

a Sebagai acuan, landas an dan batasan yang sifatnya mengikat baik ke

dalam maupun ke luar terhadap segala bentuk aktivitas yang berkaitan

dengan organisasi

b. Menjaga martabat, kehormatan, citra dan kredibil itas19

10 Abi Abdillah. Etika Timbal Balik Antara Pemimpin dan Bawahan, 04 April 2007, iiakses : 11 Desember 2008, Kota Santri. C om-Etika Timbal-balik Antara Pemimpin dan Bawahan, hUp://www.kota.santri.com/mimbar.php?aksi=Cetak&sid=363.

17 Akhmad Sudrajat, Konsep Disiplin Kerja, Let’s Talk About Education, 2008, diakses tanggal: 10 Desember 2008, [http://akhinadsudraiat-wordpress.eom/2008/l 1/05/konscp-disiplin- “ keri a/1

18 Indoskripsi, Skripsi: Pelaksanaan Tata Tertib DPRD dalam meningkatkan Kinerja Anggota DPRD di Kabupaten Rokan hulu, Indoskripsi, diakses tanggal: 11 Desember 2008, fhttp://one. indoskripsi.com/iudul-skripsi/adininistrasi-negara/pelaksanaan-tata-tertib-dprd-dalam- meningkat kan-kineria-anggota-dprd-di-kabupaten-rokan-hul]

(47)

Tata-tertib berperan penting dalam membentuk sikap dan perilaku

disiplin. Di dalam pondok pesantren, kedisiplinan yang dimaksukan adalah

kedisiplinan mengikuti kegiatan-kegiatan yang ada di dalam pesantren,

kedisiplinan dalam menggunakan fasilitas pesantren, kedisiplinan dalam

menggunakan waktu yang ada dan lain sebagainya.

Penyelenggaraan pesantren yang tertib dan baik memiliki ciri-ciri

sebagai berikut:

a Keteladanan

Keteladanan dari atas ke bawah berupa perilaku yang baik

yang dapat dicontoh oleh orang lain. Melalui perilaku atau perbuatan

yang terpuji dan dapat bermanfaat dalam proses perubahan yang

diiginkan.

b. Komitmen

Komitmen untuk bekerja keras dengan kemauan dan

kesepakatan semua komponen untuk bekerja keras menjalani

perubahan ke arah yang positif.

Evaluasi terhadap pelaksanaan tata tertib harus didasarkan

pada target-target yang dapat diukur baik secara kualitatif maupun

kuantitatif, misalnya ukuran waktu, hitungan angka, peningkatan

kualitas sumber daya manusia dan sebagainya.20 3. Urgensi Tata Tertib

(48)

37

Macam-macam tata tertib sangat banyak jenisnya Di pesantren,

tata tertib bisa merupakan tata tertib untuk ustadz, tata tertib santri, tata

tertib kelas, tata tertib kamar dan tata tertib umum pondok pesantren. Bila

melihat kondisi pesantren yang menampung santri putra dan santri putri,

maka tata tertib yang dibuat akan lebih beragam lagi karena tata tertib

untuk santri putra berbeda dengan tata tertib untuk santri putri. Namun

demikian, tata tertib yang luas cakupannya adalah tata tertib umum pondok

pesantren.

Sebagai wujud demokratisasi dalam dunia pendidikan, maka tata

tertib pesantren tidak dapat ditentukan oleh kepala pondok pesantren

sendiri. Tata tertib pesantren pada hakikatnya dibuat dari, oleh, dan untuk

warga pesantren. Kalaupun konsep tata tertib itu dibuat oleh kepala

pondok pesantren atau Kyai, maka konsep itu harus mendapatkan

persetujuan dari semua pemangku kepentingan di pondok pesantren.

Perwakilan santri dimintai pendapatnya dalam penyusunan tata tertib

tersebut.

Tata tertib khusus untuk kelas masing-masing dapat dibuat oleh

ustadz bersama santri. Bahkan tata tertib itu akan lebih bagus kalau ditulis

sendiri oleh santri. Apalagi dibuat dengan menggunakan gambar-gambar

yang bagus. Sebagai contoh, maka tata tertib di kelas dapat dibuat sebagai 4. Macam dan Pembagian Tata Tertib

(49)

a. Mengikuti petunjuk ustadz/ustadzah

b. Menyayangi dan dapat bekeija sama dengan sesama teman

c. Memelihara kebersihan kelas

d. Mengembalikan barang-barang pinjaman ke tempat semula

e. Mengacungkan tangan jika akan menyampaikan pertanyaan atau

pendapat

f. Menggunakan suara yang rendah di dalam kelas, menyimpan suara

keras untuk di luar kelas

g. Menyerahkan tugas-tugas dari ustadz/ustadzah tepat waktu

Contoh tata tertib di atas apabila disusun sendiri oleh santri akan

therefore more difficult to police”.21 Tata tertib yang jumlahnya terbatas

tetapi dapat dipahami dengan baik mendorong warga pesantren untuk lebih

efektif daripada tata tertib yang rinci dan dengan jumlah dan prosedur

yang sangat banyak karena sulit dilaksanakan.

21 Suparlan, Tata Tertib Sekolah, 2007, diakses tanggal: 11 Desember 2008,

Suparman.com, Artikel-Tata Tertib Sekolah, fhttp://w\vvv.suparlan.coni/paaes/posts/tata-tcrlib- sekolah 101 .phpl

39

Tata tertib bukanlah alat untuk membelenggu. Tata tertib lebih

merupakan petunjuk agar warga dapat melaksanakan suatu pekerjaan

dengan baik, bekerja secara tertib, tidak mengganggu kepentingan orang

lain, dan berlaku santun. Tata tertib akan lebih membuat rasa senang

seseorang jika dibuat tidak dalam kalimat negatif atau menggunakan kata-

kata “tidak”.

Substansi yang sebaiknya ada dalam tata tertib disarankan antara

lain adalah: (1) use indoor voice at all time, (2) listen to others, (3) always

do your best, (4) listen and respect other students, dan (5) do not run in the

(50)

BAB

m

LAPORAN HASIL PENELITIAN

A. Keadaan Umum Pondok Pesantren Al-Manar

1. Sejarah Berdirinya

Dari studi dokumentasi, penulis menemukan data mengenai sejarah

berdirinya Pondok Pesantren Al-Manar sebagai berikut. Nama Al-Manar

sendiri secara resmi baru muncul pada tahun 1982.1 Sedangkan keberadaan

Pondok Pesantren tersebut sebagai “embrio” diakui oleh masyarakat

sekitarnya sejak tahun 19132, didirikan oleh K. Djalal Suyuthi. Dikatakan

sebagai embrio karena dahulu memang K. Djalal Suyuthi tidak

memproklamirkan diri untuk membentuk sebuah pesantren. Pada awalnya

keberadaannya, hanya merupakan usaha beliau untuk menyebarkan syiar

Islam di sebuah desa bernama Petungsari.

Desa Petungsari adalah desa yang sekarang bernama Desa Bener.

Pada masa pra berdirinya pondok pesantren, desa ini berada pada masa

penjajahan baik Jepang maupun Belanda. Oleh karena itu syiar Islam sulit

masuk, dan akibatnya masyarakat desa ini dikenal sebagai masyarakat

yang rusak, jauh dari agama.

Seperti halnya pondok pesantren s a la fiy a h yang lain, pondok

pesantren Al-Manar juga berkembang dari sebuah tempat ibadah yaitu

mushoia. Hai ini uapai uiiihal uari hasil wawancara antara penulis sebuah

1 Team Redaksi, Album Kenangan Wisuda XIIIM A-M AK Al-Manar Tahun Pelajaran 2003/2004, Semarang: MA-MAK Al-Manar, 2004, Hlm.S

2Ibid

(51)

buku dokumentasi pondok pesantren dengan tokoh masyarakat sekitar

yang ditulis dalam bentuk buku.

“Adalah Bapak Juwahir, salah satu warga desa Petungsari yang memimpin sebuah mushola, yang merasa tergugah untuk memperdalam ajaran Agama Islam dengan menjadi santri dari Kyai Nairn, Kyai dari Desa Cabean. Semakin hari jemaah di musholanya semakin bertambah sehingga terjadilah sebuah kesepakatan antara Bapak Juwahir dengan Kyai Nairn untuk mendatangkan seorang Kyai untuk mengasuh jemaah yang semakin bertambah itu. Beberapa bulan kemudian, Kyai Nairn meminta K H Djalal Suyuthi untuk memikul tugas tersebut. Karena mushola sudah tidak mampu menampung jemaah, maka Bapak Juwahir pun mewakafkan sebagian tanahnya untuk dijadikan mesjid. Untuk mensyiarkan Dakwah Islamiyah, beliau mendirikan Pondok Pesantren pada tahun 1926. Pada masa kepemimpinan beliau, kondisi bangsa Indonesia berada pada masa penjajahan. Keadaan paling tragis terjadi tahun 1942-1946 di masa Penjajahan Jepang. Pondok Pesantren mengalami kemacetan total karena tekanan Jepang. Baru pada tahun 1950 kehidupan kembali normal dan pada tahun itu pula K.H. Djalal Suyuthi dipanggil oleh Allah SWT. ”3

Dari informasi tersebut dapat disimpulkan bahwa berdirinya pondok

pesantren adalah pada tahun 1926. Namun embrionya telah ada jauh

sebelum itu. Berawal dari majelis ta’lim di sebuah mushola, dan karena

pengikut majelis tersebut semakin banyak, maka berkembang menjadi

sebuah pondok pesantren. Saat K.H. Djalal Suyuthi diserahi sebidang tanah

wakaf yang memang ditujukan untuk dakwah Islamiyah oleh sang

pewakaf, maka dikatakan bahwa secara resmi telah berdiri sebuah pondok

pesantren. Saat itu, beliau belum begitu memperhatikan sebuah nama

untuk pondok pesantrennya.

(52)

42

Keberadaan sebuah nama untuk pondok pesantren tersebut

kemudian muncul sepeninggal pendirinya. Sepeninggal K.H. Djalal

Suyuthi, pondok tersebut dipimpin oleh putra beliau yaitu K. H Duri. Oleh

Pemimpin kedua ini, pesantren tersebut diberi nama “As-Suyuthiyah”,

diambil dari nama ayah beliau sebagai pendirinya, jumlah santrinya 50-70

orang. K.H. Duri meninggal tahun 1963.4

K. Duri meninggal tahun 1963, pondok pesantren “As-Suyuthiyyah”

dipimpin oleh adik beliau bernama K. H. Suhudi. Pada masa ini, suhu

politik di Indonesia sedang memanas sehingga berimbas pada keadaan

pesantren. Pesantren mengalami banyak goneangan dari luar, puncaknya

pada tahun 1975 yang berakibat pada menurunnya jumlah santri menjadi

hanya 35 orang. Namun pada masa ini juga didirikanlah TK dan

penambahan fasilitas pendidikan untuk anak-anak usia TK. Masa ini

berlangsung hingga tahun 1983 dengan meninggalnya K.H. Suhudi.5

Pengasuh keempat pondok pesantren Al-Manar adalah K.

Fatkhurrohman. Beliau memulai kepemimpinan pesantren pada tahun

1983. Saat ini keadaan telah mulai normal sehingga beliau dapat memulai

berbagaimacam pembenahan dan pembangunan sarana dan prasarana.

Beliaulah yang mengubah nama pesantren menjadi “Al-Manar”, diambil

dari nama sebuah grup orkes gambus lokal yang saat itu telah tenar hingga

ke jawa timur6 dan menciptakan “Mars al-Manar”.7 Beliau juga memugar

4 Tim Penyusun, Album Kenangan Wisuda XIV MA-MAK Al-Manar 2005, Semarang: MA-MAK. Al-Manar, 2005, him. 7-8

Gambar

Tabel 1Keadaan Ustadz dan Ustadzah Pondok Pesantren Al-Manar 2008
Gambar 1Struktur Organisasi Pondok Pesantren Al-Manar Tahun 2008
Tabel 2Sarana dan Prasarana di Pondok Pesantren Al-Manar
tabel. Karena hasil kusioner berupa jawaban huruf, maka penulis perlu
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Standar Tarif Kapitasi di Puskesmas atau fasilitas kesehatan yang setara sebesar Rp.3.000,00 (tiga ribu rupiah) sampai dengan Rp.6.000,00 (enam ribu rupiah) dan

Puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan karunianya jugalah sehingga peneliti dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul

sumber daya yang penting bagi perusahaan, karena karyawan memiliki peran.. penting dalam hal mengoptimalkan bahan baku untuk menjadi suatu

Menurut Richard Paul (Kowiyah, 2012:176) memberikan definisi bahwa: berpikir kritis adalah model berpikir mengenai hal, substansi atau masalah apa saja, dimana si

tangan secara berlahan agar tidak membangunkannya. 6) Buatlah tempat yang tenang untuk tidur pada umumnya, bayi.. dapat membiasakan diri untuk tidak terjaga dengan

Menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul: “ PENGARUH MANAJEMEN KELAS TERHADAP MUTU PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SMP NEGERI 2 KALIBAGOR KELAS VIII C

increase learners' success. This paper hence aims to review whether video project could be supportive to facilitate the teaching of linguistic and non-linguistic skills, to