PO N D O K
(Pada Santri Pondok Pesantren Al-Manar Bener Kecamatan
Tengaran Kabupaten Semarang Tahun 2008)
Diajukan Guna Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh
Gelar Saijana Dalam Ilmu Tarbiyah Jurusan Pendidikan Agama Islam
Disusun oleh:
EKA RAHAYU RAKHMANI
NIM. 11104031
JU R U S A N T A R B IY A H
PR O G R A M STU D I P E N D ID IK A N A G A M A ISLA M
SEK O LA H T IN G G I A G A M A IS L A M N E G E R I
(ST A IN )
SA L A T IG A
DEPARTEMEN AGAMA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA
JL Stadion 03 Telp. (0298) 323706,323433 Fax 323433 Salatiga 50721 Website: www.stainsalatiga.ac.id E-mail: administrasi@stainsalatiga.ac.id
DEKLARASI
Bism iU ahirrahm anirrohim
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, peneliti menyatakan bahwa
skripsi ini tidak berisi materi yang pernah ditulis oleh orang lain atau pernah
diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran orang
lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan
rujukan.
Apabila di kemudian hari ternyata terdapat materi atau pikiran-pikiran
orang lain di luar referensi yang peneliti cantumkan, maka peneliti sanggup
mempertanggungjawabkan kembali keaslian skripsi ini di hadapan sidang
munaqoysah skripsi.
Demikian deklarasi ini dibuat oleh peneliti untuk dapat dimaklumi.
Salatiga, 21 Maret 2009
Penulis
EKA RAHAYU RAKHMANI
Website : www.stainsalatiga.ac.id E -m ail: administrasi@ stainsalatiga.ac.id
Yth. Ketua STAIN Salatiga
di Salatiga
Assalamu 'alaikunu Wr. Wb.
Setelah kami meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, maka
bersama ini, kami kirimkan naskah skripsi sau d ari:
Nama : EKA RAHAYU RAKHMANI
NIM : 111 04 031
Jurusan / Progdi : Tarbiyah / Pendidikan Agama Islam
Judul : HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI DENGAN
DEPARTEMEN A G A M A RI
SEKOLAH TIN G G I A G A M A ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA
JL Stadion 03 Telp. (0298) 323706, 323433 Salatiga 50721 Website : www.stainsalatiga.ac.id E -m a il: adm inistrasi@stainsalatiga.ac.id
P E N G E S A H A N
Skripsi Saudari : E K A R A H A Y U R A K H M A N I dengan Nomor Induk Mahasiswa : 111 04 031 yang beijudul : “HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI DENGAN KETAATAN MELAKSANAKAN TATA TERTIB PONDOK (Pada Santri Pondok Pesantren AI-Manar Bener Kecamatan Tengaran Kabupaten Semarang Tahun 2009)*’. Telah dimunaqasahkan dalam sidang panitia ujian Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga pada h a ri: Sabtu
tanggal 27 Juni 2009 yang bertepatan dengan tanggal 04 Rajab 1430 H dan telah diterima sebagai bagian dari syarat-syarat untuk memperoleh gelar Saijana dalam
“Karena Sesungguhnya sesudah hesutitan itu ada
kemudahan
PERSEMBAHAN
Dengan penuh rasa hormatku skripsi ini kupersembahkan kepada:
1. Ayah dan Ibuku tercinta yang telah menyayangi dan mengasihiku dengan
tulus ikhlas juga memberiku kesempatan untuk menuntut ilmu dan selalu
membimbing mendoakan serta memberikan segalanya baik moral maupun
spiritual bagi terselesaikannya skripsi ini.
2. Adikku semoga lulus dengan nilai yang baik
Seiring salam dan doa semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat
dan hidayah-Nya kepada kita semua. Sholawat serta salam senantiasa tercurahkan
kepada Rosul akhir zaman, Muhammad SAW, yang telah memberikan
pencerahan pada dunia.
Syukur Alhamdulillah, akhirnya penulisan skripsi dengan judul
“HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI DENGAN KETAATAN
MELAKSANAKAN TATA TERTIB PONDOK (Studi Kasus pada santri Pondok
Pesantren Al-Manar Bener Kecamatan Tengaran Kabupaten Semarang Tahun
2008)” ini telah selesai. Skripsi ini merupakan salah satu syarat guna memperoleh
gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
(STAIN) Salatiga. Kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
semua pihak yang telah membantu selesainya skripsi ini.
Penulis sadari, bahwa skripsi ini tidak akan pernah terwujud tanpa
pertolongan Allah SWT, dan bantuan berbagai pihak yang terkait, juga orang-
orang yang mendoakan selesainya skripsi ini. Maka kesempatan ini dengan segala
kerendahan hati, penulis ingin mengampaikan terima kasih kepada:
1. Dr. Imam Sutomo, M.Ag selaku Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam
(STAIN) Salatiga
2. Ketua Progdi Pendidikan Agama Islam Bapak Fatchurrohman, M.Pd
3. Drs. H.M. Banany selaku dosen pembimbing yang penuh kesabaran
telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan serta
pengarahan dan penyusunan skripsi sejak awal hingga akhir ini dapat
terselesaikan.
4. Semua dosen yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan yang
menunjang demi tersusunnya skripsi ini.
5. Team perpustakaan STAIN Salatiga, terima kasih atas bantuan
penyediaan buku-buku kepada penulis hingga terselesaikannya skripsi
ini.
6. Ketua Pondok Pesantren Al-Manar
7. Seluruh keluarga besar dewan pendidikan
8. Semua temanku Ema, Ida, Izah, Novi, dan Zizah yang selalu
menyemangatiku
9. Semua teman-temanku PAI angkatan 2004 selalu membantu dan
membelikan motivasi.
Penulis menyadari dan mengakui bahwa penulisan skripsi ini masih jauh
dari kesempurnaan, semua ini karena keterbatasan kemampuan serta pengetahuan
penulis. Oleh karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat penulis
harapkan dalam kesempurnaan skripsi ini.
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini memberikan sumbangan
bagi perkembangan dunia pendidikan khususnya Pendidikan Agama Islam.
Salatiga, 21 Maret 2009
Penulis
Eka Rahayu Rakhmani
11104031
HALAMAN JUDUL... i
DEKLARASI... ii
NOTA PEMBIMBING... iii
PENGESAHAN... iv
MOTTO... v
PERSEMBAHAN... vi
KATA PENGANTAR... viii
DAFTAR ISI... x
BABI PENDAHULUAN A. Pendahuluan... 1
B. Penegasan Istilah... 6
C. Permasalahan... 8
D. Tujuan Penelitian... 8
E. Hipotesis... 8
F. Metode Penelitian... 9
G. Sistematika Skripsi... 14
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Persepsi... 17
1. Pengertian Persepsi... 17
2. Persepsi dan Perilaku... 22
3. Perhatian... 22
4. Menyakiti... 24
5. Ketakutan dan Ketidakberdayaan... 28
6. Komunikasi dan Bahasa... 31
B. Ketaatan... 32
1. Pengertian Ketaatan... 32
2. Macam-macam Ketaatan... 32
3. Kriteria Ketaatan... 34
C. Tata Tertib... 35
1. Pengertian Tata Tertib... 35
2. Tujuan Tata Tertib... 35
3. Urgensi Tata Tertib... 36
4. Macam dan Pembagian Tata Tertib... 37
BAB III LAPORAN HASIL PENELITIAN A. Keadaan Umum Pondok Pesantren Al-Manar... 40
1. Sejarah Berdirinya... 40
2. Letak Geografis... 43
3. Data Keadaan Ustadz... 44
4. Struktur Organisasi... 45
5. Sarana Prasarana... 47
B. Data Khusus Pondok Pesantren Al-Manar... 48
1. Data Persepsi Santri... 48
2. Ketaatan Santri Pondok pesantren Al-Manar... 50
B. Analisis Uji Hipotesis... 56
1. Membuat tabel keija koefisien korelasi antara X dan Y 56 2. Mencari nilai r*y... 59
C. Analisis Lanjut... 60
1. Persepsi Santri di Pondok Pesantren Al-Manar... 60
2. Ketaatan Santri di Pondok Pesantren Al-M anar... 62
3. Persepsi Santri terhadap Ketaatan Santri di Pondok Pesantren Al-Manar... 63
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan... 65
B. Saran... 66
C. Penutup... 67
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
BABI PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam sejarah Islam, kedatangan para nabi selalu disertai dengan
datangnya syariat Islam yang merupakan peraturan dari Allah. Tanpa adanya
peraturan yang mengatur kehidupan manusia, manusia akan masuk ke dalam
jaman jahiliyah seperti yang berulang kali terjadi sepeninggal para nabi.
Dalam sejarah tiap umat, selalu ada seorang nabi yang diutus untuk
mengajarkan mengenai ajaran-ajaran ketuhanan. Ajaran-ajaran tersebut pada
dasarnya merupakan peraturan yang harus dipatuhi oleh umat tersebut. Di
dalamnya terdapat tata tertib yang mengatur kehidupan umat tersebut mulai
dari hal paling sederhana sampai masalah paling kompleks. Setiap nabi
mendapatkan mukjizat berupa peraturan ilahi melalui wahyu Allah
memerintahkan agar umat penerima wahyu tersebut mematuhi syariat
(peraturan) yang diturunkan olehNya. Sebagaimana firman Allah dalam QS.
Al-Jaatsiyah: 18
o j h^
Artinya: Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.1
1 Departemen Agama, A l-Q ur’an dan Terjem ah, Surya Cipta Aksara,! 989, hal. 817.
Demikian pula dengan umat Nabi Muhammad. Umat Muhammad juga
memiliki peraturan-peraturan yang bersumber dari Al-Qur’an sebagai kitab
sucinya dan Al-Hadits yang merupakan perkataan maupun perbuatan nabi
yang menjadi sumber hukum. Sepeninggal nabi Muhammad SAW, umat
Islam seluruh dunia mendapatkan warisan paling agung, yaitu berupa kitab
suci Al-Qur’an dan Al-Hadits dari Nabi Muhammad SAW agar kehidupan
mereka tetap berada dalam jalur yang digariskan oleh Allah SWT. Dalam
kenyataannya, umat Islam sepeninggal nabi menghadapi berbagai macam
persoalan hidup yang harus dipecahkan oleh mereka sendiri dengan cara
berijtihad dengan tetap berpatokan pada Al-Qur’an dan Al-Hadits. Oleh sebab
itu, agar dari waktu ke waktu tetap eksis, maka perlu adanya pendidikan
secara kontinyu mengenai kedua hal peraturan ini.
Di Indonesia, pendidikan mendalam mengenai ilmu agama diterapkan
di dalam sebuah tempat bernama pondok pesantren. Pondok pesantren
merupakan lembaga pendidikan Islam yang telah memiliki partisipasi aktif
dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, secara historis pesantren tidak hanya
identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian
Indonesia, Indigenous menurut istilah yang dipopulerkan oleh Nurcholis
Madjid.2 Pesantren merupakan lembaga pendidikan Indonesia yang tradisinya
telah mengakar kuat pada tingkat grass root masyarakat kita Seiring dengan
bergulirnya waktu pesantren turut andil mewarnai babakan sejarah bangsa,
karena itu, semakin memantapkan posisinya di mata komponen bangsa
3
lainnya. Berbekal kemampuan dalam mengelola warisan tradisi salafi dan
budaya lokal pesantren mampu menjadi kekuatan alternatif. Atas dasar itu
pula, pesantren mengemban tugas mulia “mengamankan” warga bangsa dari
ancaman dan penetrasi budaya manca yang dapat merusak moralitas dan nilai
luhur bangsa3
Sebagai bagian dari fenomena sosial, pesantren senantiasa mengalami
dinamika dan hidup bergumul bersama realitas sosial yang tak pernah berhenti
berubah. Dinamika itu berupa pertarungan antara keyakinan, ide, nilai dan
tradisi yang dianggap luhur dengan tantangan kehidupan dan masalah sosial
yang selalu bergulir yang semua itu mesti dijawab oleh pesantren. Tantangan
baru yang muncul ini antara lain adalah modernitas.4
Dalam proses perubahan tersebut, nampaknya pesantren dihadapkan
pada keharusan merumuskan kembali sistem pendidikan yang
diselenggarakan. Disini pesantren telah ada dalam proses pergumulan antara
identitas dan keterbukaan. Disatu pihak pesantren dituntut untuk menemukan
identitasnya kembali sebagai lembaga pendidikan Islam. Sementara di pihak
lain, ia juga harus bersedia membuka diri terhadap sistem pendidikan modem
yang bersumber dari luar pesantrea
Layaknya sebuah masyarakat kecil, maka pesantren juga memiliki
peraturan dalam bentuk tata tertib. Tata tertib ini mengatur mengenai apa yang
wajib dilakukan oleh penduduk pesantren, dalam hal ini adalah seluruh santri,
3 Samsul Hadi, Pesantren D alam Lintasan Sejarah Bangsa, Majalah Pesantren; Edisi: XII/Th. 1/2003; hlm.31.
dan juga mengatur mengenai apa yang tidak boleh dilakukan oleh santri. Hal
mengenai apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan seluruhnya
diambil dari aturan Islam yang ada di dalam Al-Qur’an dan Al-hadits. Hal ini
agar tercipta masyarakat yang hidup terbiasa dengan peraturan Allah sehingga
nantinya di masyarakat, mereka akan mempraktikkan aturan-aturan tersebut
dengan benar.
Walaupun demikian, adanya tata tertib di pesantren seringkah justru
dianggap sebagai pengekang, penghambat, ataupun penghalang bagi santri
untuk maju. Oleh karena itu, muncullah istilah “penjara suci” yang
dimaksudkan untuk menyebut pondok pesantren. Jika sudah demikian yang
tertanam di benak para santri, maka mereka tidak akan mampu untuk
menciptakan kehidupan yang aman, nyaman dan tenteram di dalamnya
Pesantren akan cenderung menjadi penjara, yang walaupun suci namun tetap
saja penjara Dimana semua penghuninya adalah orang-orang yang “bersalah”.
Tata tertib di pondok bermetamorfosis menjadi hukuman, bukannya didikan.
Padahal, kenyataan bahwa pesantren adalah tempat untuk memperbaiki akhlak
manusia telah diketahui oleh masyarakat umum. Pada akhirnya, tata tertib
yang dibuat di pondok pesantren tidak lagi mampu merubah akhlak para santri
menjadi lebih baik melainkan menjadi semakin buruk.
Sebanyak apapun peraturan dibuat dan disusun, namun jika hanya
dipandang sebagai pengekang, penghambat dan penghalang bagi santri
sendiri, maka ia tidak akan berjalan sebagaimana mestinya Hal ini seringkah
5
membuat peraturan demi tercapainya ketertiban dan keamanan serta
kenyamanan kondisi pondok, namun usaha mereka sia-sia Tetap saja teijadi
banyak pelanggaran. Tetap saja para santri susah diatur. Mereka tidak menjadi
semakin baik, namun sebaliknya menjadi semakin buruk.
Cara pandang atau persepsi santri sendiri sering negatif terhadap tata
tertib atau peraturan pondok. Santri menganggap peraturan yang ada dibuat
untuk menghukum mereka karena mereka masuk ke pondok sebagian besar
karena latar belakang kenakalan mereka saat di rumah. Karena latar belakang
itulah, lantas mereka memiliki persepsi bahwa tata tertib itu justru untuk
menghukum mereka Tata tertib menjadi momok bagi mereka Selain itu
mereka juga memiliki persepsi bahwa peraturan diciptakan untuk dilanggar.
Persepsi inilah yang menyebabkan tingkat pelanggaran cukup tinggi teijadi di
pondok pesantren.
Monty P. Satiadarma memandang bahwa persepsi berperan besar
dalam membentuk perilaku anak. Beliau menjelaskan di dalam bukunya
bahwa “persepsi mendorong seseorang untuk memperoleh apa yang
dipersepsikannya.” 3 Jadi jika santri memiliki persepsi buruk terhadap tata
tertib di pondok, maka tata tertib tersebut akan benar-benar menjadi buruk
baginya, sehingga pada akhirnya tata tertib tersebut tentunya tidak lagi ditaati
sebagai sebuah tata tertib.
Tingkat pelanggaran yang tinggi mengindikasikan bahwa ketaatan
mereka terhadap tata tertib pondok pesantren kurang. Kurang taatnya santri 5
terhadap tata teriib pondok pesantren tersebut merupakan hal lain yang
menyebabkan kurang efektifnya tata tertib yang ditetapkan di pondok
pesantrea Pada akhirnya, rendahnya ketaatan santri terhadap tata tertib
pondok pesantren menyebabkan gagalnya tata tertib yang ditetapkan dalam
mencapai tujuan yang sebenarnya
Dari latar belakang masalah tersebut, penulis tertarik untuk mencoba
mengenai hubungan antara persepsi santri dan ketaatan santri terhadap tata
tertib pondok, dengan mengambil judul skripsi, “HUBUNGAN ANTARA
PERSEPSI DAN KETAATAN TERHADAP TATA TERTIB PONDOK
(Pada Santri Pondok Pesantren Al-Manar Bener Kecamatan Tengaran
Kabupaten Semarang Tahun 2008)”.
B. Penegasan Istilah
Seringkah penafsiran yang tidak sama menjadi pokok permasalahan
terhadap suatu masalah. Penafsiaran yang berbeda tentu menghasilkan
kesimpulan yang berbeda pula Oleh sebab itu, perlu sekali Dijelaskan
mengenai istilah-istilah yang dipakai dalam skripsi ini. Hal ini agar tidak
menimbulkan salah penafsiran dan sebagai pembatasan masalah.
Adapun istilah-istilah yang perlu penulis jelaskan adalah sebagai
berikut.
1. Persepsi
7
b. Proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca inderanya.6 7 8
2. Ketaatan
Ketaatan adalah: “ 1. Kepatuhan; kesetiaan; 2. Kesalehan; 3. Fungsi untuk
tidak membahayakan atau mengganggu Kedamaian dan keadilan.”/
Sedangkan yang penulis maksudkan dengan kata ketaatan adalah
kepatuhan.
3. Tata Tertib
Tata tertib adalah “Peraturan-peraturan yang harus ditaati atau
s dilaksanakan; disiplin;”.
4. Pondok Pesantren
a. Bangunan untuk tempat sementara (seperti yang didirikan di ladang, di
hutan, dsb); teratak
b. Rumah (sebutan untuk merendahkan diri)
c. Bangunan tempat tinggal yang berpetak-petak yang berdinding bilik
dan beratap rumbia (untuk tempat tinggal beberapa keluarga)
d. Madrasah dan asrama (tempat mengaji, belajar agama Islam).9
e. Pesantren adalah “asrama tempat santri atau tempat murid-murid
belajar mengaji; dsb; pondok.”10
6 Tim Penyusun Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kam us Besar Bahasa Indonesia. Ed.2.-cet.iv. Jakarta: Balai Pustaka. 1999. him. 75?.
C. Rumusan Masalah
Penulis merumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana persepsi santri terhadap tata tertib Pondok Pesantren Al-manar
Tahun 2008?
2. Bagaimana tingkat ketaatan santri dalam melaksanakan tata tertib Pondok
Pesantren Al-Manar Tahun 2008?
3. Bagaimana hubungan antara persepsi santri dengan ketaatan terhadap tata
tertib Pondok Pesantren Al-Manar Tahun 2008?
D. Tujuan Penelitian
Dari beberapa pokok permasalahan di atas, penulis dapat menyusun
tujuan penelitian sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui persepsi santri terhadap tata tertib Pondok Pesantren
Al-Manar Tahun 2008?
2. Untuk mengetahui ketaatan santri terhadap tata tertib Pondok Pesantren
Al-Manar Tahun 2008?
3. Untuk mengetahui hubungan antara persepsi santri dengan ketaatan
terhadap tata tertib Pondok Pesantren Al-Manar Tahun 2008?
E. Hipotesis
Hipotesis adalah “pernyataan yang mungkin masih lemah
kebenarannya dan masih perlu dibuktikan kebenarannya.” 11 Berdasarkan
9
permasalahan di atas, maka penulis dapat membuat hipotesis sebagai berikut:
“Ada Pengaruh positif antara persepsi dan ketaatan terhadap tata tertib
pondok.” Apabila hipotesis ini benar, maka makin baik persepsi santri
terhadap tata tertib pondok makin baik pula ketaatan santri terhadap tata tertib
pondok dan demikian pula sebaliknya, makin buruk persepsi santri makin
buruk pula ketaatan santeri terhadap tata tertib pondok.
F. Metode Penelitian
1. Variabel Penelitian
Di dalam penelitian ini, terdapat dua buah variabel yang penulis pakai:
a. Variabel 1
Adapun yang menjadi variabel adalah “Persepsi santri” (X)
yang memiliki beberapa indikator yaitu:
1) Beranggapan bahwa tata tertib yang dibuat adalah untuk kebaikan
santri
2) Beranggapan bahwa tata tertib yang dibuat adalah untuk ditaati
3) Mengucapkan kata-kata yang meremehkan tata tertib
4) Berpikir bahwa tata tertib yang baru tidak akan ditaati para santri
5) Berkeyakinan bahwa tata tertib sekalipun tidak akan mampu
merubah kondisi buruk yang ada
6) Baranggapan bahwa hidup akan lebih baik tanpa adanya tata tertib
7) Beranggapan bahwa pelanggaran yang dilakukan tidak akan
8) Beranggapan bahwa kewajiban bersekolah tidaklah penting
9) Beranggapan bahwa peraturan kamar adalah khusus untuk santri
tertentu
10) Beranggapan bahwa peraturan pondok adalah khusus untuk santri
tertentu
b. Variabel 2
Variabel dalam penelitian ini yaitu “Ketaatan Santri Terhadap
Tata Tertib Pondok” (Y) yang juga memiliki beberapa indikator yaitu:
1) Tata tertib justru merugikan santri
2) Banyak tata tertib yang tidak ditaati santri
3) Banyak mendengar kata-kata yang meremehkan tata tertib yang
dibuat
4) Tata tertib baru selalu tidak pemah dilanggar
5) Terbukti bahwa kondisi umum pesantren membaik dengan adanya
tata tertib
6) Tanpa adanya tata tertib, kondisi pondok semakin buruk
7) Banyak pelanggaran yang dilakukan santri tidak diketahui
pengurus
8) Sering tidak masuk sekolah
9) Sering melanggar aturan kamar
11
2. Populasi dan sampel
a. Populasi
Seluruh santri Pondok Pesantren Al-Manar dimaksudkan untuk
diteliti. Adapun populasi yang penulis ambil adalah para santri Pondok
Pesantren Al-Manar Tahun 2008 sejumlah 127 laki-laki dan 111
perempuan (total 238 santri).
b. Sampel
Sampel adalah “sebagian atau wakil populasi yang diteliti”.12
Suharsimi berpendapat bahwa “jika subjeknya besar dapat diambil
antara 10 - 15% atau 20 - 25% sebagai sampelnya atau lebih, tetapi
jika subjeknya kecil dapat diambil seluruhnya” 13 14
Berdasarkan pendapat di atas, maka penulis mengambil 25% dari
jumlah populasi, mengingat jumlah santri pondok pesantren Al-Manar
0 25 . .
adalah 238 santri, jadi —— x238 = 59,5 dan dibulatkan menjadi 60
100
santri. Adapun pengambilan sampel menggunakan cara random
sampling.
Random sampling ialah sampling dimana elemen-elemen
sampelnya ditentukan atau dipilih berdasarkan nilai probabilitas dan
pemilihannya dilakukan secara acak.,4
12 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pengantar P raktis, Bina Aksara, Jakarta, 1989, hal. 104
13 Ibid. hal. 107
Dalam menentukan sampel dari populasi tersebut, penulis
menggunakan sistem lolere. Cara ini adalah dengan menuliskan nama-
nama seluruh anak dalam populasi, kemudian mengambil satu persatu
secara acak hingga mencapai jumlah sampel (60) anak. Nama yang
telah diambil tidak dikembalikan lagi ke dalam populasi, dan
pengambilan dilakukan secara acak, bukan disengaja
3. Metode Pengumpulan Data
Skripsi ini menggunakan beberapa teknik pengumpulan data sebagai
berikut:
a. Angket / Kuesioner
Yaitu usaha pengumpulan informasi dengan menampilkan
sejumlah pertanyaan tertulis untuk dijawab secara tertulis pula oleh
responden15 Angket ini dibagikan kepada 60 santri yang menjadi
responden untuk mengetahui persepsi santri dan ketaatan
melaksanakan tata tertib pondok.
b. Dokumentasi
Yaitu cara pengumpulan data melalui peninggalan atau data
tertulis, terutama berupa arsip-arsip, agenda, buku legger, dan
sebagainya16 Dokumentasi ini penulis gunakan untuk mengumpulkan
data tentang jumlah santri, jumlah ustadz, sejarah pondok, dan lain
sebagainya
15 Hadari Nawawi, M etode Penelitian B idang Sosial, UGM Press Yogyakarta, 1991, hal. 133
13
4. Metode Analisis Data
Dalam pengolahan data yang bersifat statistik penulis menggunakan
tiga tahap analitis yaitu sebagai berikut:
a. Analisis Pendahuluan
Pada tahap ini data yang ada dikelompokkan kemudian
dimasukkan dalam distribusi variabel penelitian selanjutnya.
Pengelompokan data tersebut dilakukan dengan menyusun tabel-tabel
distribusi frekuensi atau pembagian kekerapan, keseringan secara
sederhana, untuk setiap variabel yang terdapat dalam penelitian. Perlu
disampaikan disini bahwa untuk merubah data yang bersifat kualitatif
menjadi kuantitatif penulis menggunakan kriteria tertentu, baik dari
segi peijenjangan maupun dari segi alternatif jawaban. Dalam hal ini
digunakan peijenj angan 1 - 5 dengan standar penyekoran sebagai
berikut:
1) Jawaban responden a diberi skor 5
2) Jawaban responden b diberi skor 4
3) Jawaban responden c diberi skor 3
4) Jawaban responden d diberi skor 2
5) Jawaban responden e diberi skor 1
b. Analisis Uji Hipotesis
Dalam analisis ini penulis mengadakan perhitungan lebih lanjut
Dalam analisis ini penulis menggunakan rumus korelasi product
moment, sebagai berikut:
n Y x y - ( Y x- Y y)
Keterangan:
r*y : korelasi antara xy
xy : product dari x dan y
N : jumlah subyek yang diteliti
X : nilai persepsi santri
Y : nilai ketaatan santri
c. Analisis Lanjut
Yaitu pengolahan lebih lanjut dari uji hipotesis. Dalam hal ini
penulis menginterpretasikan hasil analisisi uji hipotesis, jika rxy > rt
berarti signifikan, yaitu ada pengaruh yang positif antara persepsi
santri dan ketaatan terhadap tata tertib pondok, dengan demikian
hipotesis yang penulis ajukan diterima Tetapi bila r^ < rt berarti tidak
signifikan atau tidak ada hubungan atau pengaruh yang positif antara
persepsi santri dan ketaatan terhadap tata tertib pondok, dengan
demikian hipotesis yang penulis ajukan ditolak atau tidak diterima.
G. Sistematikan Skripsi
Sistematika yang penulis ketengahkan di sini terdiri dari 5 (lima) bab,
BAB
BAB
BAB
15
Penulisan skripsi ini terdiri dari 5 (lima) bab yaitu sebagai berikut:
I Pendahuluan
Berisi antara lain: alasan pemilihan judul, penegasan istilah,
permasalahan, tujuan penelitian, hipotesis, metode penelitian dan
sistematika skripsi.
II Persepsi, Ketaatan dan Tata Tertib
Terdiri dari empat bagian meliputi:
Yang berhubungan dengan Persepsi meliputi: pengertian
persepsi, Persepsi Pygmalion, Persepsi dan perilaku, perhatian,
Menyakiti, Ketakutan dan Ketidak berdayaan, Komunikasi dan Bahasa
Yang berhubungan dengan Ketaatan meliputi: pengertian
Ketaatan, Macam-macam ketaatan, Kriteria ketaatan, Fungsi ketaatan
Yang berhubungan dengan Tata Tertib meliputi: pengertian
tata tertib, tujuan tata tertib, urgensi tata tertib serta macam dan
pembagian tata tertib
III Laporan Hasil Penelitian
Yang meliputi dua bagian yaitu:
Keadaan Umum Pondok Pesantren Al-Manar yang meliputi:
sejarah berdirinya, letak geografis, data keadaan ustad z, struktur
organisasi dan sarana prasarana yang ada
Data khusus yang meliputi: data persepsi santri dan data
BAB IV Analisis Data
Pada bab ini berisi tentang penyajian data dan pengolahannya
BAB V Penutup
Pada bab ini terdiri dari kesimpulan, saran-saran, kata penutup, dan
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Persepsi Tata Tertib
1. Pengertian Persepsi
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, persepsi adalah “tanggapan
(penerimaan) langsung dari sesuatu; serapan; proses seseorang mengetahui
beberapa hal melalui panca inderanya”1 Monty P. Satiadarma dalam
bukunya mengatakan bahwa “persepsi adalah deteksi dan interpretasi
stimulus yang ditangkap oleh penginderaan (Solso, 1995).”2 Persepsi
mengandung pengertian hal-hal yang kita tangkap melalui penginderaan,
kemudian kita transformasikan ke susunan saraf pusat di otak, lalu
diintrepretasikan sehingga mengandung arti tertentu bagi kita. Seringkah
persepsi kita akan sebuah hal didasari pada pengalaman-pengalaman hidup
dan ingatan-ingatan mengenai hal-hal yang berkaitan atau peristiwa-
peristiwa yang mengandung kesamaan.
Secara lebih sederhana, persepsi diartikan sebagai “cara pandang”.
Cara pandang kita terhadap sesuatu pada dasarnya dilatarbelakangi oleh
pengalaman-pengalaman penginderaan kita. Keseringan kita dalam
mengalami sesuatu yang buruk mengakibatkan kita memiliki cara pandang
yang buruk terhadap hal-hal yang mirip atau memiliki kesamaan.
1 Tim Penyusun Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Ifesar Bahasa Indonesia. Ed.2.-cet.iv. Jakarta: Balai Pustaka. 1999. him. 759.
2 Monty P. Satiadarma, Persepsi Orang Tua M em bentuk Perilaku A nk; Dampak Pygm alion dalam Keluarga, Jakarta, Pustak Populer Obor, 2001, hal. 45.
Cara pandang kita terhadap sebuah masalah yang kita hadapi juga
menentukan bagaimana kita bersikap. Apabila kita memandang diri kita
tidak akan mampu mengatasi masalah tersebut, maka secara tidak sadar,
kita melakukan tindakan-tindakan yang membuat kita tidak mampu
menyelesaikan masalah. Seperti kurang semangat, karena merasa tidak
akan mampu, padahal kita belum benar-benar melakukannya semaksimal
mungkin. Di dalam konteks pesantren, peraturan diciptakan untuk
memperbaiki kondisi dan membentuk kondisi yang kondusif dalam
pendidikan kepesantrenan. Apabila masyarakat yang diikat oleh peraturan
itu memiliki cara pandang negatif dan buruk terhadap peraturan tersebut,
maka peraturan atau tata tertib tersebut tidak akan beijalan maksimal.
Karena pada hakikatnya peraturan atau tata tertib hanyalah alat yang dibuat
oleh manusia Manusialah yang menjadi pelaku aktifnya
Pygmalion adalah nama seorang pemahat bangsa Yunani yang
sangat handal namun hidup sendirian. Suatu saat ia membuat sebuah
patung gadis yang amat indah yang terbuat dari gading. Di dalam legenda
Yunani tersebut, Pygmalion memiliki anggapan bahwa patung tersebut
benar-benar seorang gadis yang menjadi istrinya. Sehingga karena
anggapannya tersebut, akhirnya ia memperlakukannya seperti manusia,
bahkan patung tersebut dibaringkannya di ranjang tempatnya tidur. Akhir
dari legenda ini adalah bahwa patung tersebut diberi nafas kehidupan oleh
19
Rosenthal, seorang pakai psikologis terkenal pernah mengajukan
padangan yang dikenal dengan “The Pygmalion Effect” yang oleh banyak
pakar pendidikan serta peneliti bidang psikologis dikenal dengan istilah
“The Rosenthal E ffect. Inti dari pandangan ini adalah bahwa ‘‘persepsi
orang tua, baik yang diucapkan dengan menggunakan label tertentu pada
anak atau yang tidak diucapkan tetapi ditanamkan di dalam diri mereka
bisa menjadi kenyataan yang sesungguhnya pada diri anak/'1
Persepsi Pygmalion pada dasarnya menggambarkan kecenderungan
yang terdapat pada diri sebagian besar orang. Cara berpikirnya adalah cara
berpikir yang benar dan tindakannya adalah tindakan yang benar pula. Kita
sering menganggap bahwa jalan pikiran kita adalah jalan pikiran yang
benar. Kita menganggap bahwa persepsi kita terhadap suatu hal merupakan
persepsi yang benar, dan tindakan kita terhadap hal tersebut adalah
tindakan yang benar pula
Hal tersebut tidaklah salah, akan tetapi banyak diantara kita yang
sesungguhnya menyadari akan adanya kesalahan yang dilakukan tetapi
tidak bersedia memperbaikinya, sebaliknya justru mencari pembenaran
akan tindakan yang keliru. Persepsi demikian cenderung membentuk sikap
kaku terhadap perubahan sehingga individu yang bersangkutan akan
mengalami kesulitan menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan. Cara
pandang demikian sesungguhnya didasari oleh sikap tertutup, tidak mau
menerima hal-hal baru. Cara pandang demikian juga biasanya disertai
sikap tidak bersedia mendengarkan. Dan jika seseorang enggan
mendengarkan orang lain bagaimana mungkin dapat memahami orang lain.
Bila kita mempersepsikan sesuatu maka kita memiliki pandangan
tertentu tentang hal yang kita persepsikan. Bila kita memiliki persepsi
tertentu mengenai perilaku seseorang, maka kita memiliki pandangan
tertentu mengenai apakah hal tersebut pantas dilakukan atau tidak. Dalam
hal ini kita melakukan evaluasi spesifik atas suatu keadaan. Adapun cara
kita mengevaluasi keadaan tertentu sangat terpengaruh oleh pengalaman-
pengalaman masa lalu, “berbagai pengalman masa lalu kita membentuk
suatu sistem organisasi di dalam diri dalam proses berpikir, merasa dan
bertingkah laku.”4 Dalam psikologis kognitif hal ini disebut skema.
Ketika kita menilai suatu keadaan tertentu, kita pun menarik
berbagai kesimpulan sejumlah kemungkinan yang mungkin terjadi tapi
belum tentu juga akan terjadi. Hal tersebut seperti peramalan sehingga
menghasilkan tindakan antisipasi. Dengan skema yang kita miliki kita
memberikan respons tertentu terhadap suatu keadaan tertentu. Selanjutnya
respons tersebut kemudian lebih memperkuat skema yang sudah terbentuk
di dalam diri kita Kemudian kita menyimpulkan atribut khusus misalnya
“berbahaya”, “nakal” dan lain sebagainya Pada kenyataannya pengalaman
itu unik sifatnya, artinya keadaan memiliki spesifikasi tertentu dan tidak
demikian mudah untuk disamakan begitu saja Kita tidak dapat demikian
21
mudah meng-generaJisasikan pengalaman-pengalaman kita ke dalam
pengalaman-pengalaman orang lain karena sifat spesifik ini.
Harapan merupakan sasaran perilaku manusia Harapan awalnya
timbul dari angan-angan yang dipicu oleh persepsi kita sendiri. Harapan
membuat manusia lebih mampu menghadapi kehidupan. Manusia yang
hidup tanpa adanya harapan akan menjalani kehidupan ini tanpa semangat
juang.
Persepsi melahirkan standar tersendiri bagi setiap orang. Standar
tersebut terbentuk selama bertahun-tahun dari pengalaman-pengalaman
pribadinya. Oleh karena pengalaman bersifat spesifik antara satu orang
dengan orang lain, maka standar tersebut juga bersifat spesifik. Pada
akhirnya akan melahirkan harapan spesifik dengan cara spesifik untuk
mewujudkannya Hal ini menimbulkan cara-cara kreatif yang tidak sama
antara satu orang dengan orang lain dalam usahanya mewujudkan harapan
pribadinya
Persepsi dalam diri terbentuk melalui proses yang lama dalam hidup
seseorang. Oleh sebab itu, persepsi yang telah terbentuk tersebut akan
sangat sulit diubah. Namun demikian, bukan berarti persepsi tersebut tidak
dapat diubah. Kita dapat mengubah persepsi kita dengan membuka diri.
Artinya “kesediaan membuka diri, kesediaan mendengarkan berbagai
masukan adalah penting melalui proses ini kita akan lebih memahami
skema yang kita miliki yang menjadi dasar tindakan kita.”3
2. Persepsi dan PeriJaku
Persepsi seseorang tentang suatu hal melandasi bagaimana cara
orang tersebut menghadapi hal yang dimaksud. Bila seseorang memiliki
persepsi bahwa seorang anak adalah baik, maka orang tersebut akan
memiliki sikap yang baik terhadap anak tersebut. Demikian pula mengenai
hal yang sifatnya abstrak, misalnya mengenai peraturan pemerintah.
Apabila rakyat memiliki persepsi negatif terhadap peraturan pemerintah,
maka rakyat akan berperilaku tidak sesuai dengan peraturan tersebut.
Persepsi mendorong seseorang untuk memperoleh apa yang
dipersepsikannya. Sebagai contoh, jika seseorang mempersepsikan dirinya
tidak akan mampu mengeijakan sesuatu, maka segala tindakannya akan
mengarah pada ketidak mampuannya itu. Apabila seseorang
mempersepsikan dirinya sebagai orang yang mampu mengerjakan sesuatu,
maka demikian pula tindakan-tindakannya.
Bila kita mempersepsikan seorang anak itu baik, maka kita bersikap
baik kepada orang tersebut Demikian pula sebaliknya Persepsi positif
bukan berarti harus menurut tanpa alasan apa pun. Adakalanya hal-hal
tersebut tidak baik, maka dalam hal ini kita harus kritis terhadap segala
sesuatu. 3
3. Perhatian
Jika kita memusatkan perhatian pada suatu hal tertentu, maka kita
23
dua haJ yang menarik perhatian kita secara bersamaan, maka perhatian kita
akan terpecah dan menimbulkan kebingungan sesaat. Kemampuan kita
untuk membagi perhatian adaJah terbatas, kapasitas untuk memusatkan
perhatian kepada suatu keadaan juga terbatas.
Arah perhatian seseorang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Pertama
adalah kuatnya Stimulus, seperti misalnya tangis anak yang keras lebih
menarik perhatian orang tua daripada suara musik di radio, kedua adalah
ketertarikan atau keterpikatan seseorang akan menentukan proses seleksi
yang dilakukannya dalam memusatkan perhatian ke suatu objek tertentu.
Ketiga adalah kapasitas seseorang, apakah ia mampu memberikan
tanggapan pada suatu stimulus tertentu. Misalnya jika seorang santri telah
sibuk belajar materi-materi pelajaran yang ada di pesantren, maka
kapasitasnya untuk memperhatikan hal-hal lain akan berkurang.
Seorang profesor dari Universitas Hirosima, profesor Sukemune
pernah mengadakan penelitian mengenai dampak keberadaan orang tua
terhadap perkembangan anak. Sukemune membandingkan dua kelompok
keluarga Kelompok pertama adalah keluarga yang ayahnya sering
meninggalkan keluarga untuk bekeija jauh di luar negeri. Kelompok
pembanding adalah kelompok yang sehari-hari pulang ke rumah setelah
bekerja. Hasil penelitiannya, menemukan bahwa anak-anak yang sering
ditinggal oleh ayahnya menunjukkan gejala kecemasan yang lebih tinggi
Anak-anak yang kurang diperhatikan karena jauh dari orang tua,
seperti hasil penelitian profesor Sukemune tersebut akan memiliki tingkat
kecemasan lebih tinggi. Dalam hal ini, anak-anak yang hidup di pesantren
merupakan anak-anak yang jauh dari orang tua. Memang pada batas
tenentu seiring dengan berlangsungnya proses pematangan dan
pendewasaan, seolah-olah mereka mampu beradaptasi dengan kondisi
tersebut. Hal ini sama sekali tidak menghilangkan kecemasan yang ada
pada dirinya Kecemasan tersebut mungkin akan timbul dalam perilaku
mereka, dalam membina hubungan hidup, dan dalam membuat keputusan.
Dampak kecemasan seolah-olah tidak terlalu terasa tetapi dalam kurun
waktu yang panjang masalah perilaku akibat hal ini akan tampak.
Persepsi dan perhatian memiliki hubungan yang timbal balik.
Persepsi kita akan suatu hal akan mengarahkan kita untuk memperhatikan
hal-hal tertentu. Sebaliknya bila kita menaruh perhatian kepada suatu hal
tertentu maka perhatian kita tersebut akan mempengaruhi persepsi kita.0
4. Menyakiti
Menyakiti merupakan terjemahan umum dari istilah “abuse”,
walaupun keduanya berbeda. Tindakan abusive merupakan tindakan-
tindakan yang menimbulkan rasa sakit.' Hal ini berkaitan dengan adanya
hukuman dalam sebuah tata tertib di pesantren. Hukuman yang ditetapkan
karena adanya tata tertib yang dilanggar oleh para santri seringkah
menyakiti santri itu sendiri baik fisik maupun psikis. Apabila hal ini 6
25
terjadi, maka fungsi hukuman tersebut lebih cenderung bersifat negatif
daripada bersifat positif yaitu mendidik Di sinilah perlunya dibuat
hukuman yang mendidik.
Hal-hal yang tergolong menyakiti baik secara fisik maupun psikis
tergolong abusive. Sebagai contoh; perlakuan tindak kekerasan terhadap
santri yang melakukan pelanggaran. Karena sistem yang ada di pesantren
merupakan sistem yang dibuat sendiri oleh penghuninya, maka tindakan
main hakim sendiri dapat saja terjadi di pesantren. Tindakan tersebut
merupakan tindakan menyakiti secara fisik yang tergolong tindakan
kekerasan. Di samping aspek fisik, terkait pula aspek verbal. Penggunaan
kata-kata umpatan, atau menyumpahi merupakan tindakan yang tergolong
abusive.
Santri yang merasa kurang diperhatikan oleh lingkungannya
cenderung melakukan tindakan yang menyakiti diri sendiri baik secara
sadar maupun tidak. Tindakan merokok dapat saja timbul karena hal ini.
Walaupun mereka tahu bahwa merokok dapat menyakiti diri mereka
sendiri karena bahaya nikotin yang dikandungnya, sebagian besar santri di
pondok pesantren, terutama yang beraliran salafi merupakan perokok berat.
Hal ini bukan berarti tidak ada larangan merokok di pesantren. Namun
mereka memang sengaja melakukan pelanggaran.
Menyakiti juga dapat dilakukan karena didasari oleh adanya
kecenderungan menunjukkan superioritas. Hal ini merupakan bentuk dari
Ketidakberdayaan mencari solusi yang layak atas sebuah masalah dapat
menimbulkan tindakan kekerasan yang menyakiti pihak lain. Pada
umumnya tindakan superioritas ini terjadi pada santri yang telah lama
bermukim di pesantren terhadap santri yang relatif tergolong santri baru.
Umumnya dilakukan oleh mereka yang memiliki wewenang mengatur
santri lain, namun karena rasa frustasi akibat ketidakberdayaan membenahi
situasi yang dianggapnya tidak baik, maka ia cenderung melampiaskan
kekesalannya dengan tindakan kekerasan seperti pukulan fisik, maupun
umpatan.
Dampak dari perihal menyakiti ini adalah adanya trauma Trauma
ini teijadi karena sebuah peristiwa negatif yang teijadi padanya membekas
dan selalu teringat sepanjang hidupnya Para santri umumnya adalah anak-
anak SD hingga SMA. Mereka masih membutuhkan perhatian dari orang
tuanya. Mereka membutuhkan perlindungan, bukan justru disakiti. Apabila
hal ini teijadi, maka mereka akan cenderung menyembunyikan informasi
yang seharusnya diketahui orang lain karena takut akan disakiti. Hal ini
justru menimbulkan sikap tidak jujur pada diri anak.
Atribut-atribut negatif dari orang tua atau orang yang lebih tua
kepada anak dapat menyebabkan anak bersifat tertutup dan tidak jujur.
Atribut-atribut seperti “goblok”, “tolol”, dan atribut negatif dari orang tua
karena persepsi yang negatif ini menyebabkan lama kelamaan
27
tersebut. Ia telah disakiti secara verbal dan berakibat keliru
mempersepsikan dirinya sendiri.
Proses internalisasi juga dapat terjadi akibat tindakan menyakiti dari
orang lain ini. Seperti halnya yang dikatakan Monty S. Satiadarma,
“seorang anak laki-laki yang sering disakiti oleh ibunya mungkin akan
menaruh dendam pada tokoh wanita”. Hal ini mengakibatkan ia tidak
mampu melakukan hubungan mendalam dengan wanita Jika ia sering
disakiti oleh ayahnya, ia akan menjadi pribadi pemberontak terhadap tokoh
otoritas dan menimbulkan banyak konflik dengan mereka Jika tindak
kekerasan ini terjadi pada anak perempuan, maka pada kasus pertama, ia
kelak akan cenderung bertindak menyakiti orang lain. Adapun pada kasus
kedua, maka ia akan memiliki dendam pada tokoh laki-laki, terutama yang
mirip dengan tokoh ayahnya
Dari hal-hal tersebut di atas, maka tata-tertib yang potensial
menimbulkan tindakan yang menyakiti santri harus dihindari. Pembuat tata
tertib harus benar-benar menyadari bahwa hukuman-hukuman yang
ditetapkan haruslah bersifat mendidik dan membuat jera, sekaligus
memiliki muatan perhatian dan kasih sayang. Hal-hal yang dapat memicu
kekerasan, pola pikir memaksakan kehendak, menunjukkan superioritas
dan perilaku defensif harus dihilangkan. Hal ini dapat terjadi apabila
5. Ketakutan dan Ketidakberdayaan
Tindakan menyakiti mengakibatkan orang yang disakiti memiliki
keiakutan akan suatu hal. Hal ini karena ia memiliki persepsi bahwa jika ia
melakukan hal tertentu, terutama yang serupa, maka besar kemungkinan ia
akan disakiti lagi. Persepsi bahwa jika ia melakukan sesuatu dapat
mengakibatkan ia disakiti kembali, maka kecenderungan yang timbul
adalah meninggalkan hal tersebut. Pada akhirnya ia akan memiliki sifat
takut mengambil keputusan, dan berujung pada ketidakmampuan
mengambil keputusan
Seorang anak mengalami kebuntuan berpikir untuk melakukan
sesuatu disebabkan oleh beberapa hal:
a. Jika ia melakukan sesuatu, ia mendapatkan marah dari orang
tuanya
b. Jika melakukan sesuatu yang baik, tidak mendapatkan pujian
ataupun penghargaan dari orang tuanya
c. Standar nilai yang dimiliki oleh anak merupakan standar nilai yang
negatif; salah atau tidak salah, dihukum atau tidak dihukum, dan
dimarahi atau tidak dimarahi.
d. Hanya melakukan sesuatu agar tidak dihukum, bukan untuk
memperoleh prestasi tertentu.
e. Tidak mengetahui perilaku yang menghasilkan kebaikan karena
tidak pernah memperoleh informasi mengenai hal tersebut.8
29
HaJ-hal tersebut timbul karena tumbuhnya ketakutan pada diri anak.
Sedangkan ketakutan tersebut ada karena anak sering mendengar atribut
negatif “jangan" dari orang tua atau orang yang lebih tua Sedangkan solusi
yang diharapkan tidak pernah muncul. Jika dilarang, maka “sebaiknya”
harus bagaimana. Oleh karena itu, penggunaan kata “jangan” seharusnya
diganti dengan kata “sebaiknya” untuk mencegah timbulnya ketakutan
pada diri anak.
Rasa takut telah dikenal oleh manusia sejak dalam kandungan.
Melalui rasa takut yang dirasakan oleh ibunya. Kemudian rasa takut akan
situasi yang sama sekali baru saat ia lahir sehingga bayi yang baru lahir
pastilah menangis, dan berhenti saat ia dipeluk oleh ibunya dan kembali
merasa hangat. Dalam perkembangannya, proses belajarnya berlanjut dari
belajar hal-hal negatif seperti rasa tidak nyaman, takut, sakit kepada hal-hal
positif seperti hal-hal yang menimbulkan rasa nyaman, aman, dan tenang.
Menakut-nakuti mungkin merupakan cara termudah untuk membuat
anak menuruti aturan. Namun aturan yang memiliki nilai menakut-nakuti
mendidik anak untuk menjadi pribadi penakut, “benarlah di dalam
beberapa hal memang rasa takut perlu ditumbuhkan, tetapi tujuan untuk
menimbulkan rasa takut ini sebaiknya diarahkan pada pembentukan
kesadaran moral (moral awareness) dan nurani (moral conscience)”*,
bukan pada pembentukan kecemasan (anxiety) serta fobia (phobia) atau
takut pada objek yang sama sekali tidak mengancam. Pada dasarnya
kesadaran nurani tidak perlu dibentuk melalui rasa takut tetapi melalui
kesadaran akan makna untuk berbuat baik
Selain rasa takut, hal negatif yang perlu diperhatikan adalah
ketidakberdayaan. Secara tidak disadari, anak cenderung belajar untuk
menjadi tidak berdaya karena rasa kasih sayang yang berlebihan dari orang
tua. Pada umumnya, rasa sayang yang berlebihan tersebut menyebabkan
orang tua selalu membantu anak mereka dalam melakukan sesuatu dan
membatasi mereka jika menurut orang tua terlalu berbahaya untuk
dilakukan. Oleh sebab itu, sebaiknya di pesantren, tata-tertib dibuat dengan
memperhatikan aspek pembentukan karakter santri untuk melakukan
sesuatu secara mandiri. Namun demikian, bukan berarti melepaskan begitu
saja, harus tetap ada kontrol seperlunya dari otoritas.
Yang diperlukan untuk menghilangkan sifat tidak berdaya ini adalah
dengan membiasakan mereka agar dapat melakukan segalanya sendiri,
dengan memberikan motivasi dan support, dan apabila melakukan
kesalahan hendaknya tidak ditertawakan atau dimarahi. Disinlah peran
orang-orang dalam posisi yang superior untuk membantu mereka Jika hal
ini berhasil, maka akan tumbuh pribadi-pribadi mandiri yang tidak terlaiu
tergantung pada orang lain. Dampak sederhana yang muncul dalam dunia
pendidikan adalah mereka sadar bahwa menyontek adalah hal yang tidak
baik sehingga mereka enggan untuk menyontek dan lebih mengandalkan
31
6. Komunikasi dan Bahasa
Komunikasi merupakan aspek sentral dalam hubungan antara
manusia Pendidikan tidak terjadi dengn sendirinya, melainkan merupakan
hasil proses hubungan antarmanusia Karenanya di dalam proses
pendidikan, aspek komunikasi menjadi sangat penting.10 Dalam hal ini,
maka tata-tertib juga harus memiliki komunikasi yang baik antara ia
dengan orang yang dikenainya. Tata-tertib harus memiliki pesan yang
jelas bagi santri. Kejelasan pesan-pesan tersebut ditentukan oleh sejumlah
hal seperti misalnya panjang atau pendeknya pesan tersebut, jelas atau
kaburnya pesan tersebut, apakah ada makna lain di balik pesan tersebut,
dan sebagainya Apabila pesan yang terkandung dalam tata tertib tersebut
tidak jelas, maka tata-tertib tersebut cenderung diabaikan.
Bahasa mengandung berbagai elemen seperti semantik (simbol
bunyi untuk melukiskan sesuatu), sintak yang merupakan salah satu aturan
penyusunan kalimat, dan lain-lain. Teijadi transformasi konsep dari satu
orang ke orang lain. Bahasa yang digunakan di dalam tata-tertib
merupakan transformasi konsep dari pembuat tata-tertib kepada tata-tertib
itu sendiri.
1. Pengertian ketaatan
Ketaatan berasal dari kata “taat” mendapat imbuhan ke- dan akhiran
-an. Kata taat sendiri memiliki arti “senantiasa tunduk (kepada Tuhan,
pemerintah, dan sebagainya; patuh”11 Nabi Muhammad saw. menyeru
manusia supaya mengenal Allah dan taat kepada-N
3
'a, kata taat dalamkalimat ini memiliki makna senantiasa tunduk dan patuh. Sedangkan
ketaatan memiliki arti “kepatuhan, kesetiaan, kesalehan”12 13 sedangkan di
bidang hukum, ketaatan berarti fungsi untuk tidak membahayakan atau
mengganggu kedamaian atau keadilan.1'
Dalam banyak tulisan, artikel maupun literatur, kata ketaatan
memiliki korelasi dengan agama Sehingga istilah taat sering diartikan
kepatuhan kepada Tuhan. Walaupun demikian, ketaatan juga memiliki arti
kepatuhan pada hal selain Tuhan, namun tetap berbicara mengenai
peraturan. Skripsi bermaksud mengupas istilah ketaatan dalam konteks
kepatuhan pada peraturan atau tata tertib yang diterapkan di sebuah pondok
pesantren.
2. Macam-Macam Ketaatan
Di dalam Al-Quran, “pernyataan ketaatan seorang hamba kepada
Allah swt” ditunjukkan dengan penggunaan kata “sujud”. Sujud hanya
merupakan suatu amal, tetapi intinya merendahkan diri untuk
" KBBI Daring, Kamus Besar Bahasa Indonesia Dalam Jaringan, 2008, diakses tanggal: 10 Desember 2008. fhttp://pusatbahas.diknas.ao.id/kbbi/indc\.php]
12Ibid. 13 i u s j
33
menghormati, meskipun tidak dalam bentuk itu. Kata sujud dalam al-
Quran digunakan untuk:
a Membicarakan tentang ketaatan para malaikat kepada Allah SWT, dan
pembangkangan iblis, misalnya pada S. Al-Hijr ayat 30-33.
^ x c.- r ' t . _ f * j 9 t f f f ' s s
£-* Oy n O' cjJ 0 > * -^ '
£ 4 *^1 vli) 1_4 l)\3
J , #
Artinya: Maka bersujudlah Para Malaikat itu semuanya bersama- sama. kecuali iblis, ia enggan ikut besama-sama (malaikat) yang sujud itu. Allah berfirman: "Hai iblis, apa sebabnya kamu tidak (ikut sujud) bersama-sama mereka yang sujud itu?" Berkata Iblis: "Aku sekali-kali tidak akan sujud kepada manusia yang Engkau telah menciptakannya dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk" (QS: Al-Hijr: 30 - 33)14
b. Uraian tentang ketaatan dan kepatuhan langit, bumi serta benda-benda
alam lainnya yang diciptakan Tuhan, umpamanya pada S. Ar-Ra’d
ayat 15.15
Bentuk-bentuk ketaatan makhluk di dalam Al-Quran ada dua
macam:
a. Ketaatan karena keterpaksaan
b. Ketaatan karena kesadaran atau kerelaan sendiri.
14 Departemen Agama, Al-Q ur’an dan Terjemah. Surya Cipta Aksara,1989, him. 393. 15 Pusat Studi Al-Quran, 2008, diakses tanggal: 10 Desember 2008,
Ketaalan jenis pertama digambarkan di dalam Surat An-Nahl ayat
49 yang artinya: “Kepada Allah sajalah bersujud segala apa yang berada di
langit dan semua yang melata di bumi dan juga para malaikat. Ketaatan
dan kepatuhan macam ini dilakukan oleh manusia, binatang, tumbuh-
tumbuhan, dan segala benda yang ada di langit dan bumi. Ketaatan di sini
di dalam konteks mengikuti hukum-hukum alam yang diciptakan Tuhan
bagi mereka, misalnya matahari terbit dari timur dan manusia mengikuti
gerak rotasi bumi atau daya gravitasi bumi.
Adapun ketaatan yang kedua adalah ketaatan yang dilakukan karena
menyadari dirinya sebagai hamba atau makhluk ciptaan Tuhan. Ketaatan
jenis inilah yang diperintahkan Allah SWT., seperti yang dikemukakan di
dalam Surat An-Najm ayat 62 yang artinya: “Maka bersujdulah kepada
Allah dan sembahlah Dia”
3. Kriteria Ketaatan
Orang yang memiliki ketaatan memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a Mendengarkan dan memahami perintah dengan sebaik-baiknya,
memohon penjelasan sampai jelas kemudian melaksanakannya dengan
tidak menunda-nunda dan dengan sebaik-baiknya
b. Melipatgandakan kesabaran saat melaksanakan perintah tersebut,
ikhlas, dan tidak menguranginya atau menambahnya sedikit pun.
c. Melaksanakan dengan segera perintah tersebut, walaupun tidak sesuai
dengan pendapatnya atau berbeda dengan keinginannya 6
35
e. Minta izin dalam setiap urusan pentingnya atau sebelum mengambil
keputusannya.16
C. Tata Tertib
1. Pengertian Tata Tertib
Tata tertib memiliki beberapa definisi. Tata tertib diartikan pula
sebagai disiplin, “menurut Hadari Nawawi (1985) disiplin atau tata tertib
diartikan sebagai kesediaan mematuhi ketentuan berupa peraturan-
peraturan yang secara eksplisit perlu juga mencakup sangsi-sangsi yang
akan diterima jika terjadi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan
tersebut”.17 Dalam tulisan lain diartikan sebagai “norma-norma atau
aturan-aturan yang merupakan kesatuan landas an etik atau filosofis dengan
peraturan sikap dan perilaku”18
2. T ujuan T ata T ertib
a Sebagai acuan, landas an dan batasan yang sifatnya mengikat baik ke
dalam maupun ke luar terhadap segala bentuk aktivitas yang berkaitan
dengan organisasi
b. Menjaga martabat, kehormatan, citra dan kredibil itas19
10 Abi Abdillah. Etika Timbal Balik Antara Pemimpin dan Bawahan, 04 April 2007, iiakses : 11 Desember 2008, Kota Santri. C om-Etika Timbal-balik Antara Pemimpin dan Bawahan, hUp://www.kota.santri.com/mimbar.php?aksi=Cetak&sid=363.
17 Akhmad Sudrajat, Konsep Disiplin Kerja, Let’s Talk About Education, 2008, diakses tanggal: 10 Desember 2008, [http://akhinadsudraiat-wordpress.eom/2008/l 1/05/konscp-disiplin- “ keri a/1
18 Indoskripsi, Skripsi: Pelaksanaan Tata Tertib DPRD dalam meningkatkan Kinerja Anggota DPRD di Kabupaten Rokan hulu, Indoskripsi, diakses tanggal: 11 Desember 2008, fhttp://one. indoskripsi.com/iudul-skripsi/adininistrasi-negara/pelaksanaan-tata-tertib-dprd-dalam- meningkat kan-kineria-anggota-dprd-di-kabupaten-rokan-hul]
Tata-tertib berperan penting dalam membentuk sikap dan perilaku
disiplin. Di dalam pondok pesantren, kedisiplinan yang dimaksukan adalah
kedisiplinan mengikuti kegiatan-kegiatan yang ada di dalam pesantren,
kedisiplinan dalam menggunakan fasilitas pesantren, kedisiplinan dalam
menggunakan waktu yang ada dan lain sebagainya.
Penyelenggaraan pesantren yang tertib dan baik memiliki ciri-ciri
sebagai berikut:
a Keteladanan
Keteladanan dari atas ke bawah berupa perilaku yang baik
yang dapat dicontoh oleh orang lain. Melalui perilaku atau perbuatan
yang terpuji dan dapat bermanfaat dalam proses perubahan yang
diiginkan.
b. Komitmen
Komitmen untuk bekerja keras dengan kemauan dan
kesepakatan semua komponen untuk bekerja keras menjalani
perubahan ke arah yang positif.
Evaluasi terhadap pelaksanaan tata tertib harus didasarkan
pada target-target yang dapat diukur baik secara kualitatif maupun
kuantitatif, misalnya ukuran waktu, hitungan angka, peningkatan
kualitas sumber daya manusia dan sebagainya.20 3. Urgensi Tata Tertib
37
Macam-macam tata tertib sangat banyak jenisnya Di pesantren,
tata tertib bisa merupakan tata tertib untuk ustadz, tata tertib santri, tata
tertib kelas, tata tertib kamar dan tata tertib umum pondok pesantren. Bila
melihat kondisi pesantren yang menampung santri putra dan santri putri,
maka tata tertib yang dibuat akan lebih beragam lagi karena tata tertib
untuk santri putra berbeda dengan tata tertib untuk santri putri. Namun
demikian, tata tertib yang luas cakupannya adalah tata tertib umum pondok
pesantren.
Sebagai wujud demokratisasi dalam dunia pendidikan, maka tata
tertib pesantren tidak dapat ditentukan oleh kepala pondok pesantren
sendiri. Tata tertib pesantren pada hakikatnya dibuat dari, oleh, dan untuk
warga pesantren. Kalaupun konsep tata tertib itu dibuat oleh kepala
pondok pesantren atau Kyai, maka konsep itu harus mendapatkan
persetujuan dari semua pemangku kepentingan di pondok pesantren.
Perwakilan santri dimintai pendapatnya dalam penyusunan tata tertib
tersebut.
Tata tertib khusus untuk kelas masing-masing dapat dibuat oleh
ustadz bersama santri. Bahkan tata tertib itu akan lebih bagus kalau ditulis
sendiri oleh santri. Apalagi dibuat dengan menggunakan gambar-gambar
yang bagus. Sebagai contoh, maka tata tertib di kelas dapat dibuat sebagai 4. Macam dan Pembagian Tata Tertib
a. Mengikuti petunjuk ustadz/ustadzah
b. Menyayangi dan dapat bekeija sama dengan sesama teman
c. Memelihara kebersihan kelas
d. Mengembalikan barang-barang pinjaman ke tempat semula
e. Mengacungkan tangan jika akan menyampaikan pertanyaan atau
pendapat
f. Menggunakan suara yang rendah di dalam kelas, menyimpan suara
keras untuk di luar kelas
g. Menyerahkan tugas-tugas dari ustadz/ustadzah tepat waktu
Contoh tata tertib di atas apabila disusun sendiri oleh santri akan
therefore more difficult to police”.21 Tata tertib yang jumlahnya terbatas
tetapi dapat dipahami dengan baik mendorong warga pesantren untuk lebih
efektif daripada tata tertib yang rinci dan dengan jumlah dan prosedur
yang sangat banyak karena sulit dilaksanakan.
21 Suparlan, Tata Tertib Sekolah, 2007, diakses tanggal: 11 Desember 2008,
Suparman.com, Artikel-Tata Tertib Sekolah, fhttp://w\vvv.suparlan.coni/paaes/posts/tata-tcrlib- sekolah 101 .phpl
39
Tata tertib bukanlah alat untuk membelenggu. Tata tertib lebih
merupakan petunjuk agar warga dapat melaksanakan suatu pekerjaan
dengan baik, bekerja secara tertib, tidak mengganggu kepentingan orang
lain, dan berlaku santun. Tata tertib akan lebih membuat rasa senang
seseorang jika dibuat tidak dalam kalimat negatif atau menggunakan kata-
kata “tidak”.
Substansi yang sebaiknya ada dalam tata tertib disarankan antara
lain adalah: (1) use indoor voice at all time, (2) listen to others, (3) always
do your best, (4) listen and respect other students, dan (5) do not run in the
BAB
m
LAPORAN HASIL PENELITIAN
A. Keadaan Umum Pondok Pesantren Al-Manar
1. Sejarah Berdirinya
Dari studi dokumentasi, penulis menemukan data mengenai sejarah
berdirinya Pondok Pesantren Al-Manar sebagai berikut. Nama Al-Manar
sendiri secara resmi baru muncul pada tahun 1982.1 Sedangkan keberadaan
Pondok Pesantren tersebut sebagai “embrio” diakui oleh masyarakat
sekitarnya sejak tahun 19132, didirikan oleh K. Djalal Suyuthi. Dikatakan
sebagai embrio karena dahulu memang K. Djalal Suyuthi tidak
memproklamirkan diri untuk membentuk sebuah pesantren. Pada awalnya
keberadaannya, hanya merupakan usaha beliau untuk menyebarkan syiar
Islam di sebuah desa bernama Petungsari.
Desa Petungsari adalah desa yang sekarang bernama Desa Bener.
Pada masa pra berdirinya pondok pesantren, desa ini berada pada masa
penjajahan baik Jepang maupun Belanda. Oleh karena itu syiar Islam sulit
masuk, dan akibatnya masyarakat desa ini dikenal sebagai masyarakat
yang rusak, jauh dari agama.
Seperti halnya pondok pesantren s a la fiy a h yang lain, pondok
pesantren Al-Manar juga berkembang dari sebuah tempat ibadah yaitu
mushoia. Hai ini uapai uiiihal uari hasil wawancara antara penulis sebuah
1 Team Redaksi, Album Kenangan Wisuda XIIIM A-M AK Al-Manar Tahun Pelajaran 2003/2004, Semarang: MA-MAK Al-Manar, 2004, Hlm.S
2Ibid
buku dokumentasi pondok pesantren dengan tokoh masyarakat sekitar
yang ditulis dalam bentuk buku.
“Adalah Bapak Juwahir, salah satu warga desa Petungsari yang memimpin sebuah mushola, yang merasa tergugah untuk memperdalam ajaran Agama Islam dengan menjadi santri dari Kyai Nairn, Kyai dari Desa Cabean. Semakin hari jemaah di musholanya semakin bertambah sehingga terjadilah sebuah kesepakatan antara Bapak Juwahir dengan Kyai Nairn untuk mendatangkan seorang Kyai untuk mengasuh jemaah yang semakin bertambah itu. Beberapa bulan kemudian, Kyai Nairn meminta K H Djalal Suyuthi untuk memikul tugas tersebut. Karena mushola sudah tidak mampu menampung jemaah, maka Bapak Juwahir pun mewakafkan sebagian tanahnya untuk dijadikan mesjid. Untuk mensyiarkan Dakwah Islamiyah, beliau mendirikan Pondok Pesantren pada tahun 1926. Pada masa kepemimpinan beliau, kondisi bangsa Indonesia berada pada masa penjajahan. Keadaan paling tragis terjadi tahun 1942-1946 di masa Penjajahan Jepang. Pondok Pesantren mengalami kemacetan total karena tekanan Jepang. Baru pada tahun 1950 kehidupan kembali normal dan pada tahun itu pula K.H. Djalal Suyuthi dipanggil oleh Allah SWT. ”3
Dari informasi tersebut dapat disimpulkan bahwa berdirinya pondok
pesantren adalah pada tahun 1926. Namun embrionya telah ada jauh
sebelum itu. Berawal dari majelis ta’lim di sebuah mushola, dan karena
pengikut majelis tersebut semakin banyak, maka berkembang menjadi
sebuah pondok pesantren. Saat K.H. Djalal Suyuthi diserahi sebidang tanah
wakaf yang memang ditujukan untuk dakwah Islamiyah oleh sang
pewakaf, maka dikatakan bahwa secara resmi telah berdiri sebuah pondok
pesantren. Saat itu, beliau belum begitu memperhatikan sebuah nama
untuk pondok pesantrennya.
42
Keberadaan sebuah nama untuk pondok pesantren tersebut
kemudian muncul sepeninggal pendirinya. Sepeninggal K.H. Djalal
Suyuthi, pondok tersebut dipimpin oleh putra beliau yaitu K. H Duri. Oleh
Pemimpin kedua ini, pesantren tersebut diberi nama “As-Suyuthiyah”,
diambil dari nama ayah beliau sebagai pendirinya, jumlah santrinya 50-70
orang. K.H. Duri meninggal tahun 1963.4
K. Duri meninggal tahun 1963, pondok pesantren “As-Suyuthiyyah”
dipimpin oleh adik beliau bernama K. H. Suhudi. Pada masa ini, suhu
politik di Indonesia sedang memanas sehingga berimbas pada keadaan
pesantren. Pesantren mengalami banyak goneangan dari luar, puncaknya
pada tahun 1975 yang berakibat pada menurunnya jumlah santri menjadi
hanya 35 orang. Namun pada masa ini juga didirikanlah TK dan
penambahan fasilitas pendidikan untuk anak-anak usia TK. Masa ini
berlangsung hingga tahun 1983 dengan meninggalnya K.H. Suhudi.5
Pengasuh keempat pondok pesantren Al-Manar adalah K.
Fatkhurrohman. Beliau memulai kepemimpinan pesantren pada tahun
1983. Saat ini keadaan telah mulai normal sehingga beliau dapat memulai
berbagaimacam pembenahan dan pembangunan sarana dan prasarana.
Beliaulah yang mengubah nama pesantren menjadi “Al-Manar”, diambil
dari nama sebuah grup orkes gambus lokal yang saat itu telah tenar hingga
ke jawa timur6 dan menciptakan “Mars al-Manar”.7 Beliau juga memugar
4 Tim Penyusun, Album Kenangan Wisuda XIV MA-MAK Al-Manar 2005, Semarang: MA-MAK. Al-Manar, 2005, him. 7-8