BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Asuhan keperawatan ibu post partum dengan luka episiotomi
Asuhan masa nifas adalah asuhan yang diberikan pada pasien mulai dari saat lahirnya plasenta sampai kembalinya tubuh dalam keadaan seperti sebelum hamil (Novita, 2011).
1. Pengkajian
Tujuan anamnesa adalah kumpulan beberapa informasi subyektif yang diperoleh dari apa yang telah dipaparkan oleh pasien terkait dengan masalah kesehatan yang menyebabkan pasien melakukan kunjungan ke pelayanan kesehatan (Niman, 2013). a. Riwayat kesehatan
Riwayat kesehatan bertujuan untuk mendapatkan dan mengenal tentang psikososial, suku, dan latar belakang budaya yang berpengaruh terhadap kondisi kesehatan pasien (Niman, 2013).
Hal-hal yang perlu dikaji dalam riwayat kesehatan ibu adalah : 1) Keluhan yang dirasakan ibu saat ini
2) Kesulitan atau gangguan dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari misalnya buang air kecil atau buang air besar,kebutuhan istirahat, dan mobilisasi.
3) Riwayat persalinan meliputi komplikasi, laserasi atau episiotomy.
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik merupakan bagian dari proses assessment yang dilakukan oleh perawat untuk mendapatkan informasi mengenai gambaran lengkap tentang keadaan fungsi fisiologis (Nimman, 2013).
Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada ibu post partum meliputi : 1) Keadaan umum
2) Tanda-tanda vital : tekanan darah, suhu, respirasi, nadi.
3) Payudara : pembesaran putting susu ( menonjol atau mendatar, adakah bendungan, adakah nyeri, adakah lecet pada areola, asi atau kolostrum sudah keluar atau belum, adakah radang atau benjolan abnormal, adakah pembengkakan).
4) Abdomen : tinggi fundus uteri, kontraksi uterus.
5) Kandung kemih kosong atau penuh apabila penuh tanyakan apakah ibu sudah mampu ke kamar mandi sendiri atau masih takut untuk mobilisasi.
6) Genetalia dan perineum : pengeluaran lochea (jenis, warna, bau, jumlah). Adakah edema, peradangan, keadaan jahitan, tanda-tanda infeksi (rubor, dolor, color, fungsiolaesa). Keadaan perineum dan adakah hemoroid pada
anus(Farrer, 2001).
2. Diagnosa keperawatan
intervensi secara pasti untuk menjaga status kesehatan atau untuk mengurangi, atau mencegah perubahan (Rohman dkk, 2014).
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik (Nanda NIC-NOC, 2013). 2. Resiko infeksi berhubungan dengan trauma jaringan (Nanda NIC-NOC, 2013).
3. Intervensi keperawatan
Intervensi keperawatan adalah pengembangan srategi desain untuk mencegah, mengurangi dan mengatasi masalah-masalah yang telah diidentifikasikan dalam diagnosis keperawatan (Rohman dkk, 2014).
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan : a. Tujuan keperawatan (NOC)
1) kontrol nyeri dengan indicator : 1. mengenal penyebab nyeri 2. tindakan nonfarmakologi 3. melaporkan control nyeri 2) tingkat nyeri dengan indicator :
a) melaporkan nyeri b) ekspresi wajah c) kegelisahan b. perencanaan (NIC) :
1) manajemen nyeri
c) ajarkan teknik non farmakologi dengan kompres dingin
d) kurangi faktor yang dapat mempengaruhi respon pasien terhadap ketidak nyamanan.
e) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgesic. 2. Resiko infeksi berhubungan dengan trauma jaringan.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan : a. Tujuan keperawatan (NOC)
a. Resiko infeksi dengan indicator : a) Mengenal tanda-tanda infeksi b) Edema sekitar luka berkurang c) Luka tidak berbau
b. Perencanaan (NIC) dengan indicator : 1) Control infeksi
2) Ganti peralatan pasien setelah selesai tindakan 3) Anjurkan pasien cuci tangan dengan tepat 4) Lakukan teknik perawatan luka yang tepat
5) Ajarkan pasien dan keluarga tentang tanda-tanda infeksi.
4. Implementasi keperawatan
Implementasi keperawatan adalah tindkan yang dilakukan perawat setelah perencanaan.
1. Mengobsservasi tanda-tanda infeksi
2.Melakukan vulva hygine
4. Mengkolaborasi dengan dokter untuk pemberian antibiotic.
5. Evaluasi keperawatan
Evaluasi keperawatan adalah penilaian dengan cara membandingkan perubahan keadaan pasien (hasil yang diamati) dengan tujuan dan kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan (Rohman dkk, 2014)
B.Konsep post partum
1). Pengertian
Masa nifas (puerperium) adalah masa yang dimulai setelah plasenta keluar dan berakhir ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan semula (sebelum hamil). Masa nifas berlangsung selama kira-kira 6 minggu (Sulistyawati, 2009).
2). Tahapan masa nifas
Menurut sulistyawati (2009), tahapan masa nifas dibagi menjadi tiga tahapan yaitu : a). Puerperium dini
Puerperium dini merupakan masa kepulihan, yang dalam hal ini ibu telah di perbolehkan berdiri dan berjalan.
b). Puerperium intermedial
Puerperium intermedial merupakan masa kepulihan menyeluruh alat-alat genetalia, yang lamanya sekitar 6-8 minggu.
c). Remote puerperium
komplikasi. Waktu untuk sehat sempurna dapat berlangsung selama berminggu-minggu, bulanan, bahkan tahunan.
3). Perubahan fisiologi pada masa nifas
Perubahan fisiologis pada masa nifas meliputi : 1. Perubahan sistem reproduksi
Selama masa nifas, alat-alat interna maupun eksterna kembali seperti keadaan sebelum hamil. Perubahan keseluruhan alat genetalia ini disebut involusi. Menurut Saleha (2009) pada masa ini terjadi juga perubahan penting lainnya, perubahan-perubahan yang terjadai antara lain sebagai berikut :
a. Uterus
Involusi merupakan suatu proses kembalinya uterus pada kondisi sebelum hamil. Dengan involusi uterus ini, lapisan luar dari desidua yang mengelilingi situs plasenta akan menjadi neurotic (layu atau mati) (Sulistyawati, 2009).
b. Lochea
Lochea adalah eksresi cairan rahim selama masa nifas. Lochea mengandung
darah dan sisa jaringan desidua yang nekrotik dari dalam uterus. Lochea mempunyai reaksi basa/alkalis yang dapat membuat organisme berkembang lebih cepat daripada kondisi asam yang ada pada vagina normal. Lochea berbau amis atau anyir dengan volume yang berbeda-beda pada setiap wanita.
Lochea yang berbau tidak sedap menandakan adanya infeksi. Lochea
c. Perubahan pada serviks
Perubahan yang terjadi pada serviks ialah bentuk serviks agak menganga seperti corong. Bentuk ini disebabkan oleh corpus uteri yang dapat mengadakan kontraksi, sedangkan serviks tidak berkontraksi sehingga seolah-olah pada perbatasan antara korpus dan serviks berbentuk semacam cincin (Sulistyawati, 2009).
d. Vulva dan vagina
Vulva dan vagina mengalami penekanan serta peregangan yang sangat besar selama proses melahirkan. Dalam beberapa hari pertama sesudah proses tersebut, kedua organ ini tetap dalam keadaan kendur setelah 3 minggu vulva dan vagina kembali pada keadaan tidak hamil, sementara labia menjadi lebih menonjol (Sulistyawati, 2009).
2. Adaptasi psikologis pada ibu masa nifas
Adaptasi psikologis menurut Saleha (2009), terjadi pada tiga tahap berikut: a. Taking in period
b. Taking hold period
Berlangsung 3-4 hari post partum, ibu lebih berkonsentrasi pada kemampuannya dalam menerima tanggung jawab sepenuhnya terhadap perawatan bayi. Pada masa ini ibu menjadi sangat sensitive, sehingga membutuhkan bimbingan dan dorongan perawat untuk mengatasi kritikan yang dialami ibu.
c. Letting go period
Dialami setelah ibu dan bayi dirumah. Ibu mulai secara penuh menerima tanggung jawab sebagai seorang ibu dan menyadari atau merasa kebutuhan bayi sangat bergantung pada dirinya.
4). Kebutuhan dasar masa nifas
Menurut Ambarwati (2010), kebutuhan dasar nifas meliputi : 1. Kebutuhan gizi
Kebutuhan gizi pada masa nifas terutama bila menyusui akan meningkat 25% karena berguna untuk proses kesembuhan karena setelah melahirkan dan untuk memproduksi ASI yang cukup untuk kesehatan bayinya. Semua akan meningkat tiga kali dari kebutuhan biasa.
2. Ambulasi
3. Eliminasi
Miksi disebut normal bila dapat buang air kecil spontan setiap 3-4 jam. Defekasi biasanya 2-3 hari post partum masih sulit buang air besar.
4. Kebersihan diri
Menurut Anggraini (2009), kebersihan diri meliputi : a. Kebersihan alat genital
Menjaga alat genital dengan mencucinya menggunakan sabun dan air, kemudian daerah vulva sampai anus harus kering sebelum memakai pembalut. Pembalut diganti minimal 3 kali dalam sehari. Cuci tangan dengan sabun dan air mengalir sebelum dan sesudah membersihkan daerah genetalia. Menganjurkan kepada ibu pembersihan dimulai dari depan ke belakang.
b. Pakaian
Sebaiknya pakaian terbuat dari bahan yang mudah menyerap keringat karena produksi keringat juga meningkat menjadi banyak. Produksi keringat yang tinggi berguna untuk menghilangkan ekstra volume saat hamil. Pakaian yang digunakan harus longgar, dalam keadaan kering dan juga terbuat dari bahan yang mudah menyerap keringat.
c. Istirahat
d. Seksualitas
Apabila perdarahan telah berhenti dan episiotomy sudah sembuh maka bisa dilakukan 3-minggu post partum. Secara fisik aman untuk memulai melakukan hubungan suami istri begitu darah merah berhenti dan ibu dapat memasukan satu atau dua jarinya kedalam vagina tanpa rasa nyeri, aman untuk melakukan hubungan suami istri.
C. Luka perineum
1. Perineum
Perineum adalah daerah antara vulva dan anus. Biasanya setelah melahirkan perineum menjadi agak bengkak atau memar dan mungkin ada luka bekas jahitan robekan atau episiotomy (Huliana. M, 2003).
Perineum merupakan bagian yang sangat penting dalam fisiologi. Keutuhan perineum tidak hanya berperan atau menjadi bagian penting dari proses persalinan, tetapi juga diperlukan untuk mengontrol proses buang air kecil, menjaga aktivitas peristaltic normal ( dengan menjaga intra abdomen) dan fungsi seksual yang sehat. Karena itu kerusakan pada perineum harus dihindarkan. Namun hanya sedikit bukti ilmiah yang menunjukan faktor-faktor yang dapat mencegah kerusakan perineum pada proses persalinan (DepKes RI,2015).
2. Rupture perineum
Rupture perineum adalah robekan yang terjadi pada saat bayi lahir secara spontan
cepat. Robekan perineum lebih sering terjadi pada primipara. Rupture perineum terjadi karena rupture spontan maupun episiotomy (Damarini.dkk, 2013).
3. Klasifikasi laserasi rupture perineum
Menurut Farrer 2001 laserasi (robekan) vagina serta perineum insisi episiotomy diklarifikasikan menjadi 4 derajat yaitu :
1. Derajat pertama : mengenai fourchette, kulit perineum dan membran mukosa vagina tetapi tidak mencapai titik fasia dan otot di bawahnya.
2. Derajat kedua : mengenai fasia dan otot perineum, selain kulit dan membran mukosa, tetapi tidak mencapai sfingther anus. Robekan ini biasanya meluas keatas disatu atau kedua sisi vagina membentuk cedera segitiga tidak beraturan. 3. Derajat ketiga : meluas melalui kulit, membran mukosa, dan korpus perineum dan
mengenai sfighter anus.
4. Derajat keempat ; meluas melalui mukosa rectum sehingga lumen rectum terpajan. Robekan di daerah uretra yang mungkin menyebabkan perdarahan hebat juga kemungkinan besar terjadi pada jenis laserasi ini.
D.Luka Episiotomy
a. Definisi
Pelebaran lubang vagina dengan insisi perineum pada kala II persalinan atau kelahiran dimulai sekitar 250 tahun yang lalu melalui proses yang selanjutnya disebut “episiotomi”. Episiotomy adalah suatu tindakan operatif berupa sayatan pada
perineum yang meliputi selaput lendir vagina, cincin selaput dara, jaringan pada septum rektovaginal, otot dan fasia perineum, serta kulit depan peinium. Episiotomy
anus. episiotomy dilakukan selama kala II persalinan tujuannya untuk memperluas pembukaan vagina guna mencegah area perineum robek selama kelahiran (Pratami, 2016).
b. Jenis-jenis pada episiotomy daiantaranya adalah sebagai berikut.
1. Episiotomy medialis
Sayatan episiotomy medialis dimulai pada garis tengah komisura posterior dengan arah lurus kebawah, tetapi tidak mengenai serabut sfingter ani. Manfaat dari episiotomy ini adalah perdarahan akibat episiotomy lebih sedikit karena sayatan dilakukan pada area yang mengandung sedikit pembuluh darah. Sedangkan kerugian dari epis ini adalah resiko perineum III inkomplet, yaitu laserasi meluas ke sfingter ani atau rupture perineum komplet, yaitu laserasi menjangkau dinding rectum.
2. Episiotomy mediolateris
Sayatan episiotomy dimulai dari bagian belakang introitus vagina menuju kebelakang dan samping. Arah sayatan dapat dilakukan ke arah kanan atau kiri bergantung pada kebiasaan individu yang melakukan.panjang sayatan episiotomy ini biasanya sekitar 4cm. Penjahitan dilakukan sedemikian rupa sehingga hasil yang diperoleh harus simetris.
3. Episiotomy lateraris
area yang memiliki pembuluh darah pundedal internal sehingga mengakibatkan perdarahan masif.
4. Episiotomy schuchardt
Episiotomy jenis ini merupakan variasi dari episiotomy mediolateralis,
tetapi dengan sayatan yang melengkung kearah bawah lateral, melingkari rectum, dan sayatan lebih lebar.
c. Manfaat dan resiko episiotomi
Episiotomi memiliki manfaat dan resiko yang tidak proporsional. Episiotomi dilakukan dengan alasan memperluas pembukaan perineal untuk memudahkan bayi lahir lebih cepat ketika terdapat penyulit dan mencegah robekan perineum. Akan tetapi, episiotomi sering kali mengakibatkan inkontinensia urine karena sayatan yang dilakukan memotong jaringan otot dan kulit. Episiotomi juga berkaitan dengan timbulnya trauma pada perineum robek, episiotomi sering dilakukan untuk kenyamanan pemberi asuhan. Ibu yang megalami tindakan episiotomi memerlukan penjahitan untuk menutup sayatan dan waktu yang lebih lama untuk pulih. Sayatan episiotomi juga memberikan juga memberi ketidaknyamanan pada ibu. Anestesi lokal yang diberikan sebelum episiotomi menyebabkan edema, penurunan fleksibelitas dan peningkatan robekan area perineum. Pemulihan area perineum yang robek secara alami menunjukan hasil yang lebih baik dibandingkan episiotomi buatan (Pratami, 2016).
d. Praktik episiotomi yang direkomendasikan adalah sebagai berikut :
2. Episiotomi elektif pada robekan derajat tiga merupakan kontra indikasi dan seharusnya tidak dilanjutkan.
3. Tangan diatas atau teknik tangan siap seharusnya merupakan pilihan bagi ibu dan penerapannya tidak boleh melemahkan ibu untuk melahirkan bayinya.
4. Ibu harus diberi tahu tentang manfaat pijat perineum antenatal.
5. Ibu harus dianjurkan untuk melakukan latihan kegel selama masa kehamilan dan postpartum.
6. Ibu memiliki pilihan untuk tidak menjahit luka perineum derajat dua. 7. Ibu memiliki pilihan untuk tidak menjahit robekan perineum yang kecil. 8. Teknik jahitan subkutikular dilakukan oleh bidan saat menjahit perineum.
9. Penggunaan bahan jahitan sinetik dapat mengganti catgut untuk menjahit perineum
10. Bantalan gel obat anti inflamasi non steroid merupakan penanganan pilihan untuk trauma dan nyeri perineum.
E.Manajemen nyeri
a. Definisi
a. Klasifikasi nyeri ada dua :
1. Nyeri akut
Nyeri akut disebabkan oleh aktivasi nosiseptor, biasanya berlangsung dalam waktu yang singkat (kurang dari 6 bulan), dan memiliki onset yang tiba-tiba, seperti nyeri insisi setelah operasi.
2. Nyeri kronis
Nyeri kronis biasanya dianggap sebagai nyeri yang berlangsung lebih dari 6 bulan dan tidak diketahui kapan akan berakhir kecuali jika terjadi penyembuhan yang lambat.
b. Klasifikasi nyeri berdasarkan asal
1. Nyeri somatic
Nyeri somatic berawal dari ligament, tendon, tulang, pembuluh darah, dan saraf. Nyeri ini di deteksi oleh nosiseptor somatic, namun reseptor ini bersifat langka, sehingga nyeri terasa tumpul dan sulit dialokasi.
2. Nyeri neuropatik
Nyeri neuropatik disebabkan oleh kerusakan atau cedera pada saraf perifer atau cedera .
c. Klarifikasi nyeri berdasarkan lokasi
Klasifikasi nyeri berdasarkan lokasi dibedakan sebagai berikut :
1. Kutaneus
2. Visceral dalam
Nyeri visceral adalah nyeri yang terjadi akibat stimulasi organ-organ internal. Karakteristik nyeri bersifat difus dan dapat menyebar ke beberapa arah. Durasinya bervariasi tetapi berlangsung lebih lam daripada sperfical. Pada nyeri ini juga menimbulkan rasa tidak menyenangkan dan berkaitan dengan mual. 3. Nyeri radiasi
Nyeri radiasi merupakan sensasi nyeri yang meluas dari tempat awal cidera ke bagian tubuh yang lalin. Karakteristiknya nyeri terasa seakan menyebar ke bagian tubuh bawah. Nyeri dapat menjadi intermiten atau konstan.
4. Nyeri persalinan
Nyeri persalinan merupakan pengalaman subjektif tentang sensasi fisik yang terkait dengan kontraksi uterus, dilatasi dan penipisan serviks, serta penurunan janin selama persalinan. Respon fisiologis terhadap nyeri meliputi peningkatan tekanan darah, denyut nadi, pernafasan,keringat, diameter pupil, dan ketegangan otot (Novita, 2011).
5. Nyeri persalinan tanpa komplikasi
Nyeri persalinan biasanya dikaitkan dengan regangan, tekanan, dan robekan struktur-struktur local. Walaupun karakteristik yang berbeda dikaitkan dengan nyeri pada kala persalinan yang berbeda.
6. Nyeri pada persalinan dengan komplikasi
d. Respon fisiologi terhadap nyeri
Perubahan atau respon fisiologi dianggap sebagai indicator nyeri yang lebih akurat dibandingkan laporan variabel pasien. Respon fisiologi harus digunakan sebagai pengganti untuk laporan verbal dari nyeri pada pasien tidak sadar dan jangan digunakan untuk memvalidasi laporan verbal dan nyeri individu.
Tabel 1.1. Respon fisiologis terhadap nyeri
Respon Penyebab atau efek
Stimulasi simpatik
Dilatasi respon dan peningkatan frekuensi pernafasan
Menyebabkan peningkatan asupan oksigen
Peningkatan frekuensi denyut jantung
Menyebabkan transport oksigen
Perifer (pucat,peningkatan tekanan darah)
Meningkatkan tekanan darah disertai perpindahan suplai darah dari perifer dan visera ke otot-otot skeletal dan otak Peningkatan kadar glukosa darah Menghasilkan energy
tambahan
Diaphoresis Mengontrol temperature tubuh
selama stress
Peningkatan ketegangan otot Mempersiapkan otot untuk melakukan aksi
Dilatasi pupil Memungkinkan penglihatan yang lebih baik
Penurunan motilitas saluran cerna Membebaskan energy untuk melakukan aktivitas dengan lebih cepat
Stimulus parasimpatik
Pucat Menyebabkan suplai darah
berpindah ke perifer Ketegangan otot Akibat keletihan Penurunan denyut jajntung dan
tekanan darah
Akibat stimulasi vagal Pernafasan yang cepat dan tidak
teratur
Menyebabkan pertahanan tubuh gagal akibat stress nyeri yang terlalu lama
Mual muntah Mengembangkan saluran cerna Kelemahan atau kelelahan Akibat pengeluaran energy
1. Respon perilaku
Respon perilaku yang dilakukan oleh pasien dapat menjadi indikasi pertama bahwa ada sesuatu yang tidak beres, respon perilaku seharusnya tidak boleh digunakan sebagai pengganti untuk mengukur nyeri kecuali dalam situasi yang tidak lazim dimana pengukuran tidak memungkinkan.
Respon perilaku nyeri pada klien dapat dilihat pada tabel sebagai berikut : Tabel 1.2. Respon dan perilaku nyeri
Perilaku saat nyeri
Vokalisasi 1.Mengaduh
2. Menangis 3. Sesak nafas 4. mendekur Ekspresi wajah 5. meringis
6. menggelutukan gigi 7. mengeryitkan dahi
8. menuutup mata atau mulut dengan lebar
9. menggigit bibir Gerakan tubuh 10. gelisah
11. imobilisai 12. ketegangan otot
13. peningkatan gerakan jari dan tangan
Interaksi sosial 14. menghindari percakapan 15. focus hanya pada aktivitas 16. menghindari kontak sosial 17. penurunan rentan perhatian
e. Faktor- faktor yang mempengaruhi nyeri
penting dalam pengkajian nyeri yang akurat dan memilih terapi nyeri yang baik. Adapun faktor nyeri diantaranya adalah :
a. Usia
Usia adalah variabel penting yang mempengaruhi nyeri terutama pada anak dan orang dewasa. Perbedaan perkembangan yang ditemukan antara kedua kelompok umur ini dapat mempengaruhi bagaimana anak dan orang dewasa bereaksi terhadap nyeri. Anak-anak cenderung kesulitan dalam mengekspresikan nyeri dan beranggapan kalau apa yang dilakukan perawat dapat menyebabkan nyeri. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi (Potter & Perry, 2006).
b. Budaya
c. Ansietas
Meskipun pada umumnya diyakini bahwa ansietas akan menngkatkan nyeri, mungkin tidak seluruhnya benar dalam semua keadaan. Riset tidak memperlihatkan suatu hubungan yang konsisten antara ansietas dan nyeri juga tidak memperlihatkan bahwa pelatihan pengurangan stres praoperatif menurunkan nyeri saat pascaoperatif. Namun, ansietas yang relevan atau berhubungan demean nyeri dapat meningkatkan persepsi terhadap nyeri (Smeltzer & Bare, 2001). d. Pengalaman masalalu dengan nyeri
Seringkali individu yang lebih berpengalaman dengan nyeri yang dialaminya makin takut individu tersebut terhadap peristiwa menyakitkan yang akan diakibatkan. Individu ini mungkin akan lebih sedikit mentoleransi nyeri, akibatnya ia ingin nyerinya segera reda sebelum nyeri tersebut menjadi. Reaksi ini hampir pasti terjadi jika individu tersebut mengetahui ketakutan dapat meningkatkan nyeri dan pengobatan yang tidak adekuat. Cara seorang berespon terhadap nyeri adalah akibat dari banyak kejadian nyeri selama rentang kehidupannya.
e. Keluarga dan support sosial
f. Tindakan farmakologi
Menangani nyeri yang dialami pasien melalui intervensi farmakologis dilakukan dalam kolaborasi dengan dokter atau pemberian perawatan utama lainnya dan pasien. Obat-obatan tertentu untuk penatalaksanaan nyeri mungkin di resepkan atau kateter epidural dipasang untuk memberikan dosis awal, namun demikian, adalah perawat yang mempertahakan analgesia.
g. Tindakan non farmakologi
1. Stimulasi dan masase kutaneus
Masase adalah stimulasi kutaneus tubuh secara umum, masase dapat membuat pasien lebih nyaman karena masase dapat membuat relaksasi otot.
2. Terapi es
Terapi es (dingin) dapat menjadi strategi pereda nyeri yang efektif pada beberapa keadaan, namun begitu ketidak efektifannya dan mekanisme kerjanya memerlukan studi lebih lanjut. Terapi es bekerja dengan menstimulasi reseptor tidak nyeri (non-farmakologi) dalam bidang reseptor yang sama seperti cidera. 3. kompres dingin
efek dari dingin). Kompres dingin juga megurangi pembengkakan dan menyejukan bagi kulit.
h. Cara kompres dingin yaitu :
1. masukan es kedalam plastic kurang lebih setengah bagian dari kantong plastic tersebut dan tambahkan 2 sendok makan garam, lalu tali sampai kencang.
2. Periksa adakah kebocoran plastic atau tidak. 3. Buka area yang akan dikompres
4. Letakan plastic yang sudah dibungkus handuk/waslap pada bagian yang memerlukan kompres selama 10- 20 menit.
5. Angkat pengompres jika sudah selesai.
i. Indikasi dan kontra indikasi kompres dingin
1. Indikasi kompres dingin yaitu : i. Pasien dengan luka episiotomy.
j. Pasien post partum dengan usia 17- 45 tahun. k. Pasien yang periniumnya di hacting.
2. Tidak dianjurkan kompres dingin apabila :
a. Apabila pasien tidak mampu dengan keadaan dingin.
j.Kerangka teori
Sumber : modifikasi dari Notoatmodjo, 2010. Post partum
Nyeri (Luka perineum)
Pemberian Kompres Dingin
Ada penurunan yang signifikan dalam mengurangi intensitas nyeri
Perubahan fisiologi pada ibu post partum:
Perubahan sistem reproduksi Involusi uterus