• Tidak ada hasil yang ditemukan

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. Penggunaan model oligopolistik dinamik untuk mengestimasi fungsi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IX. KESIMPULAN DAN SARAN. Penggunaan model oligopolistik dinamik untuk mengestimasi fungsi"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

IX. KESIMPULAN DAN SARAN

9.1. Kesimpulan

Penggunaan model oligopolistik dinamik untuk mengestimasi fungsi permintaan dan relasi penawaran gula menghasilkan parameter estimasi yang konsisten dengan teori dan hasil empiris. Model dinamik ini menjadi pilihan yang disukai karena ia memberi informasi dinamika hubungan jangka pendek dari fungsi permintaan dan relasi penawaran gula selain informasi hubungan jangka panjang dengan hasil estimasi parameter yang konsisten. Permintaan gula dalam jangka pendek bersifat inelastik (η = -0.33) namun dalam jangka panjang bersifat elastik (η = -2.45), sementara itu elastisitas penawaran gula bersifat elastik, baik dalam jangka pendek (ε = 1.35) terlebih dalam jangka panjang (ε = 1.64).

Estimasi relasi penawaran gula menghasilkan parameter kekuatan pasar relatif kecil (λ = -0.0005 dan Λ = -0.0004) dibanding tingginya rasio konsentrasi produsen (CR4 = 63.1%), membuktikan bahwa selain keunggulannya yang tidak memerlukan data rinci pada tingkat perusahaan, model yang digunakan cenderung menghasilkan nilai parameter kekuatan pasar yang relatif kecil dibandingkan dengan nilai parameter yang dihasilkan melalui perhitungan langsung dari berbedaan harga dan biaya marginal.

Estimasi parameter penyesuaian (adjustment parameters) untuk fungsi permintaan gula mengindikasikan terjadinya penyesuaian sebesar 13% manakala terjadi deviasi terhadap keseimbangan permintaan jangka panjangnya. Sementara itu estimasi parameter penyesuaian untuk relasi penawaran menunjukkan adanya

(2)

overshooting sebesar 20% menuju kondisi keseimbangan jangka panjang manakala biaya marjinal menyimpang dari penerimaan marjinal.

Hasil penentuan bobot politik kelompok kepentingan menunjukkan bahwa kebijakan pergulaan nasional bias terhadap kepentingan produsen (PG milik negara, PG swasta, dan petani tebu) dan pemerintah. Kebijakan pergulaan protektif yang bias ke produsen tersebut telah menciptakan rente ekonomi yang membebani konsumen. Antara tahun 2003-2009 pembatasan perdagangan melalui tarif dan kuota impor menyebabkan kehilangan surplus konsumen Rp. 7.1 triliun per tahun yang terdiri dari transfer kemakmuran sekitar Rp. 6.9 triliun per tahun yang diterima produsen, importir, pemerintah, dan pedagang perantara sedangkan Rp. 129 milyar hilang dalam bentuk dead weight loss sementara tingkat swasembada yang dicapai relatif tetap pada kisaran 50 persen.

Penerima rente ekonomi terbesar di industri gula Indonesia adalah pemerintah/negara (32.7%), membuktikan bahwa negara merupakan predator utama bagi konsumen yang harus membayar gula dengan harga relatif mahal. Penerima rente berikutnya adalah importir swasta (IP dan IT) yang terdiri dari industri makanan dan minuman serta pabrik gula rafinasi (20.5%), serta pabrik gula swasta berbasis tebu (16.1%). Ironisnya, petani tebu yang harus dilindungi dan menjadi target utama kebijakan pergulaan yang protektif hanya menerima rente ekonomi terkecil (15.4%) karena 15.3% rente yang diterima terkikis dalam bentuk tingginya biaya transaksi. Selain itu aktivitas perburuan rente di industri gula tersebut menyebabkan potensi pemborosan sumberdaya mencapai 34.41 persen dari nilai konsumsi gula yang rata-rata sebesar Rp. 20.8 triliun per tahun.

(3)

Hasil analisis regresi menunjukkan terdapat hubungan positif antara tingginya aktivitas lobi/tekanan politik produsen dengan besarnya biaya sosial perburuan rente dan berhubungan negatif dengan pencapaian swasembada. Hal ini membuktikan aktivitas lobi dan tekanan politik produsen bersifat kontra produktif terhadap pencapaian swasembada. Aktivitas lobi dan tekanan politik ditujukan untuk mempengaruhi proses pembuatan kebijakan sehingga produsen gula mendapatkan rente ekonomi melalui hambatan impor.

9.2. Implikasi Kebijakan

Swasembada memerlukan prasyarat, yaitu peningkatan efisiensi produksi gula di Pulau Jawa. Tanpa perbaikan efisiensi, program swasembada merupakan arena bagi pemburu rente untuk melakukan kegiatan tidak produktif (directly unproductive profit seeking, DUP) yang bertujuan mendapatkan manfaat transfer dari kebijakan pergulaan. Upaya peningkatan efisiensi melalui berbagai program on farm dan off farm tersebut dalam rangka mencapai swasembada terbukti tidak mudah karena setelah 10 tahun mengejar swasembada (sejak tahun 1999 hingga tahun 2009) tingkat swasembada gula nasional tetap berada pada kisaran 50 persen sementara biaya sosial yang ditimbulkan relatif besar yang merupakan beban bagi konsumen gula. Hal ini seharusnya memberi pelajaran berharga karena memaksakan pencapaian swasembada dengan memperluas areal tanam tebu ke luar Pulau Jawa dan membangun pabrik gula baru tanpa diikuti oleh peningkatan efisiensi produksi di Pulau Jawa hanya mengalihkan rente ekonomi gula dari yang semula diterima importir ke produsen gula namun tetap membebani konsumen. Hal ini dikarenakan penentuan harga gula tidak sepenuhnya ditentukan melalui

(4)

mekanisme pasar tapi sebagian ditentukan melalui proses politik ketika pemerintah melalui Dewan Gula Indonesia (DGI) menetapkan biaya pokok produksi (BPP) gula. Perhitungan BPP tersebut mengacu pada kinerja industri gula yang memberikan bobot lebih besar pada industri gula di Pulau Jawa yang relatif tidak efisien. Ketika BPP tinggi maka harga gula patokan petani (HPP), yang menjadi harga referensi gula, juga semakin tinggi yang selanjutnya membuat harga gula ditingkat produsen dan konsumen menjadi mahal. Lebih dari itu, hasil kajian Kuncoro (2008) menemukan bahwa kebijakan penetapan BPP ini sangat menentukan tingkat laba dan kelangsungan hidup (survival) PG PTPN. Oleh karena itu sudah saatnya pemerintah tidak lagi mengejar swasembada yang hanya menciptakan arena perburuan rente tapi lebih memusatkan perhatian pada peningkatan efisiensi produksi gula. Sebagai catatan, ketika pemerintah mengambil alih kepemilikan pabrik gula dari asing pada tahun 1958, saat itu tingkat swasembada mencapai 110 persen dan Indonesia tercatat sebagai produsen utama gula nomor 2 dunia, produktivitas hablur rata-rata 17.6 ton per hektar dengan tingkat rendemen 12.8 persen. Namun setelah lebih dari 50 tahun dikelola sebagai perusahaan perkebunan negara, produktivitas hablur justru merosot yang saat ini hanya 5.7 ton per hektar dan rendemen sekitar 7.8 persen.

Selain itu, upaya mencapai swasembada gula dengan mengandalkan produksi di Pulau Jawa melalui pendekatan intensifikasi menghadapi persoalan levelling off karena keterbatasan teknologi (lihat Lampiran 1). Pada sisi lain, upaya ekstensifikasi menghadapi kompetisi untuk mendapatkan lahan subur dengan komoditas pangan lainnya terutama padi, jagung dan kedele yang juga merupakan komoditi yang ditargetkan untuk swasembada (lihat Lampiran 2). Oleh karena itu

(5)

besar kemungkinan terjadinya trade off untuk mencapai swasembada diantara komoditas pangan strategis tersebut jika masih mengandalkan pada ketersediaan lahan di Pulau Jawa. Implikasinya adalah jika pemerintah bertekad mengejar swasembada maka itu harus dilakukan di luar Pulau Jawa sehingga memungkinkan untuk mendapatkan sistem yang terintegrasi antara kegiatan usahatani tebu dengan pabrik gula seperti yang terjadi pada PG swasta di Propinsi Lampung. Alternatif ini tentu saja akan di tolak oleh berbagai kelompok kepentingan yang mendapatkan manfaat dari inefisiensi PG di Jawa tersebut, terlebih jika dikaitkan dengan UU Perkebunan Nomor 18/2004 yang menegaskan bahwa perkebunan memiliki fungsi sosial budaya dan lingkungan hidup selain fungsi ekonomi semata. Lebih dari itu fungsi sosial budaya dari industri gula ditempatkan sebagai “pemersatu bangsa”. Sementara itu alternatif konsolidasi lahan tebu rakyat dengan PG melalui sebuah mekanisme pembagian saham antara petani dan PG dimana petani menyerahkan lahan untuk dikelola PG seperti disarankan IPB (2002), Sawit, et al., (2004) dan Sawit, (2010) merupakan solusi jangka pendek mengatasi persoalan tidak terintegrasinya manajemen on farm dengan off farm namun itu bukanlah solusi untuk menghindari terjadinya trade off tersebut.

Alternatif lain untuk mempercepat peningkatan efisiensi PG BUMN secara keseluruhan adalah dengan melakukan privatisasi. Hal ini dikarenakan proses peningkatan efisiensi BUMN Perkebunan termasuk PTPN yang menangani gula telah dilakukan sejak tahun 1996 melalui berbagai proses konsolidasi dan restrukturisasi. Pada tahun 1996 pemerintah menggabungkan 36 PTP yang mengusahakan komoditi tunggal menjadi 14 PTPN yang mengusahakan multi

(6)

komoditi. Namun hasil yang didapat dari proses konsolidasi tersebut tetap tidak memadai dalam meningkatkan efisiensi produksi termasuk produksi gula. Menurut Pakpahan (2010), hal ini dikarenakan manajemen PTPN seringkali dihadapkan pada berbagai persoalan struktural yang menghambat pencapaian best management practice.10 Membandingkan dengan komoditi minyak goreng yang telah mampu berswasembada, maka pelajaran yang dapat diambil adalah perusahaan perkebunan swasta lebih cepat dalam merespon sinyal pasar karena manajemen perusahaan lebih fokus dalam menjalankan perusahaan tanpa kuatir dengan adanya intervensi dari berbagai kepentingan yang mengatasnamakan negara. Jika pada awal tahun1980an kontribusi minyak sawit yang dihasilkan perusahaan BUMN mencapai 80 persen dari produksi nasional, maka saat ini --sekitar 30 tahun kemudian-- kontribusinya tinggal 10 persen karena 90 persen produksi minyak sawit dilakukan oleh perusahaan swasta. Hal ini mengindikasikan bahwa menyerahkan produksi pertanian pada swasta bukan saja dapat mempercepat peningkatan efisiensi tapi lebih dari itu ia merupakan cara untuk mengurangi aktivitas perburuan rente.

Selain itu dalam kerangka mewujudkan perdagangan bebas ASEAN melalui skema Common Effective Preferential Tariff for AFTA (CEPT-AFTA) dan ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) pemerintah memasukkan gula, bersama beras, kedalam komoditi pertanian yang sensitif (sensitive agricultural product) yang dikecualikan dari keharusan untuk menghapus tarif impornya. Hal ini memberikan peluang bagi industri gula dan pemerintah untuk memusatkan perhatian pada upaya meningkatkan efisiensi PG BUMN bukan mengejar

10 Menyoal Holding BUMN Perkebunan, http://www.suarakarya‐ online.com/news.html?id=249476 

(7)

swasembada dengan kebijakan yang protektif. Jika yang terakhir ini yang dilakukan, maka industri gula nasional telah menyia-nyiakan waktu yang sangat berharga untuk berbenah karena industri gula tidak dapat menahan gempuran gula impor yang lebih murah pada saat pengecualian penghapusan tarif impor tersebut tidak diberlakukan lagi.

Akhirnya kebijakan pergulaan selain telah menimbulkan ketidakadilan antar kelompok masyarakat (konsumen mensubsidi produsen), ia juga mengakibatkan ketidakadilan antar wilayah. Untuk mengurangi ketidakadilan yang terakhir ini, maka revisi terbatas terhadap SK Menperindag 527/2004 perlu dilakukan dengan menghilangkan segmentsi pasar GKR dan GKP di daerah bukan penghasil gula (terutama di luar Pulau Jawa). Kebijakan ini tidak mengorbankan petani tebu sebagai kelompok yang harus dilindungi karena instrumen untuk melindungi petani tebu dilakukan melalui penetapan HPP. Petani tebu yang menolak revisi adalah mereka yang merangkap dan memiliki penghasilan utama sebagai pedagang yang mendapatkan keuntungan besar dari segmentasi pasar gula tersebut.

9.3. Saran

Berdasarkan hasil analisis dan implikasi kebijakan maka diajukan dua rekomendasi penting. Pertama adalah rekomendasi yang berkaitan dengan kebijakan untuk mencapai swasembada gula yang efisien. Dalam konteks ini, keputusan pemerintah memasukkan gula sebagai komoditi pertanian yang sensitif pada berbagai organisasi perdagangan dunia sudah tepat. Namun keputusan tersebut harus disertai dengan kebijakan pergulaan yang lebih radikal jika

(8)

pemerintah tetap menginginkan pencapaian swasembada. Langkah radikal tersebut termasuk menutup PG milik negara yang tidak efisien, terutama di Pulau Jawa yang menghadapi kompetisi mendapatkan lahan subur dan tenaga kerja dengan komoditi pangan lain yang juga ditargetkan mencapai swasembada (padi, jagung, kedele), disertai pemberian insentif bagi swasta untuk membangun PG serta menyediakan areal HGU di luar Jawa. Saran ini senada dengan rekomendasi yang diberikan oleh Tim Khusus Pengkajian Kebijakan Komprehensif Agribisnis Gula Nasional untuk menutup PG yang tidak sehat (lihat Sawit, et al., 2004). Dengan demikian industri gula nasional ke depan memiliki struktur yang lebih kokoh karena perkebunan tebu menjadi terintegrasi dengan PG baru dengan peralatan modern, sekaligus menciptakan distribusi pembangunan yang lebih merata antara Jawa dan luar Jawa.

Rekomendasi kedua berkaitan dengan penelitian lanjutan karena sejumlah penelitian mengindikasikan adanya hubungan positif antara tingginya aktivitas perburuan rente dengan banyaknya insiden korupsi (Abdullah, 2008; Ngo, 2008). Perburuan rente yang dilakukan melalui tariff-quota seeking lobbying umumnya terjadi karena adanya diskresi besar yang dimiliki birokrat yang memberikan lisensi impor dan penetapan alokasi quota yang rentan terhadap penyuapan. Hal ini dikarenakan penentuan kuota impor gula terutama untuk gula mentah dan rafinasi tidak dilakukan melalui lelang (auction) tapi berdasarkan permohonan yang disampaikan oleh importir produsen sesuai “kebutuhan”. Oleh karena itu terbuka peluang untuk dilakukan penelitian lanjutan mengenai keterkaitan antara tingginya tingkat proteksi dan besarnya rente ekonomi gula dengan korupsi, yang sampai sekarang masih menjadi persoalan serius di negeri ini.

Referensi

Dokumen terkait

Pengertian sosial ekonomi jarang dibahas secara bersamaan. Penegertian sosial dan pengertian ekonomi sering dibahas secara terpisah. Pengertian sosial dalam ilmu

IV.4.7.8 Analisis Tabulasi Silang Antara yang Pernah Mengakses website emosijiwaku.com dengan Motif kegunaan

Berdasarkan hasil temuan data pada motif dan kepuasan sosial, diketahui bahwa keinginan dan kepuasan yang didapatkan dalam mengakses akun infia_fact adalah untuk

Sebagai pembanding tingkat akurasi teleskop Vixen Sphinx, parameter yang digunakan untuk menilai akurasi optik teodolit Nikon NE-202 antara lain lubang lensa

Substansi dari Program Kerja Pemerintah Kota Depok Tahun 2016 tersebut merupakan penjabaran dari Visi, Misi dan program unggulan serta program andalan Kota Depok yang

Perencanaan dan penganggaran responsif gender merupakan instrumen untuk mengatasi adanya kesenjangan akses, partisipasi, kontrol dan manfaat dalam

Sub Rekening Efek Syariah yang selanjutnya disebut “Sub Rekening Efek 009” adalah Sub Rekening Efek yang digunakan oleh nasabah Pemegang Rekening untuk menyimpan Efek dan

Manakala pada tahun 2007 pula, nilai pelaburan asing mencatatkan sebanyak RM13737.1j dalam sektor industri elektronik di Malaysia iaitu sebanyak 61.5% daripada jumlah