• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rekayasa Pantai Oleh:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Rekayasa Pantai Oleh:"

Copied!
146
0
0

Teks penuh

(1)

Rekayasa Pantai

Oleh:

Yati Muliati

(2)

2

Cetakan 1, 2020

Hak Cipta dilindungi undang-undang

©2020, Penerbit Itenas

Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.

Hak Cipta pada Penerbit Itenas, 2020

ISBN: 978-623-7525-29-5

Penerbit Itenas,

Jl. PKH. Mustopha No.23 Bandung

Telp.: +62 22 7272215, Fax: +62 22 7202892

Email: penerbit@itenas.ac.id

(3)

i

KATA PENGANTAR

Rekayasa Pantai adalah suatu ilmu yang mempelajari dan mencoba menyelesaikan permasalahan di wilayah pantai seperti misalnya erosi pantai, perencanaan bangunan pantai, perencanaan pelabuhan dan sebagainya.

Selain desain, pembangunan dan pemeliharaan struktur pantai, ahli pantai sering terlibat dalam pengelolaan zona pantai terintegrasi (Integrated Coastal Zone Management, ICZM). Kemampuan mereka tentang hidro dan morfodinamika pantai dapat memberikan masukan dan teknologi untuk misalnya penilaian dampak lingkungan, pengembangan pelabuhan, strategi untuk perlindungan pantai, reklamasi lahan, dan lain-lain.

Untuk menunjang pemahaman tentang pantai bagi mahasiswa, dirasakan perlu menyediakan suatu buku dalam Bahasa Indonesia yang dapat memberikan gambaran umum yang cukup jelas tentang rekayasa pantai, sehingga sumber daya alam di pantai dapat dikelola dan dimanfaatkan untuk kepentingan manusia dengan dampak yang sekecil mungkin terhadap alam dan lingkungan sekitarnya.

Buku ini berawal dari diktat kuliah yang kemudian dikembangkan dengan mengacu pada berbagai sumber pustaka, makalah, laporan teknik, dan lain-lain yang terkait dan mampu memberikan informasi awal tentang pantai.

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Syamsudin, Dipl. HE (alm) yang pada masa lalu telah menginisiasi penyusunan diktat Teknik Pantai untuk mendukung kegiatan kuliah pada tingkat sarjana.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang

telah memberikan dukungan, kesempatan kepada penulis untuk

mempersiapkan buku ini. Semoga bermanfaat.

Bandung, September 2020

(4)

ii

DAFTAR ISI

Kata pengantar ... i

Daftar Isi ... ii

1. Pengantar Rekayasa Pantai ... 1

1.1. Definisi Pantai Secara Teknis ... 1

1.2. Fungsi Pantai ... 2 1.3. Jenis Pantai ... 2 1.3.1. Pantai Berpasir ... 2 1.3.2. Pantai Berlumpur ... 3 1.3.3. Pantai Berawa ... 3 1.3.4. Pantai Berbatu ... 4

1.4. Permasalahan di Wilayah Pantai ... 4

1.5. Lokasi dan Jumlah Kasus Permasalahan di Indonesia ... 5

1.6. Data yang Dibutuhkan untuk Penelitian Wilayah Pantai ... 5

2. Survei Oseanografi ... 11

2.1. Batimetri ... 11

2.1.1. Pengikatan Titik Referensi ke Benchmark ... 12

2.1.2. Pembuatan Titik Tetap (Beacon) ... 13

2.1.3. Pengukuran Kedalaman Sepanjang Jalur Sounding (Sounding Line) ... 13

2.1.4. Pengukuran Kedalaman di Sepanjang Jalur Silang ... 14

2.1.5. Pengukuran Pasang Surut ... 14

2.1.6. Penggambaran ... 14

2.2. Tinggi, Periode, dan Arah Gelombang ... 14

2.3. Pasang Surut ... 15

2.4. Kecepatan dan Arah Arus ... 18

2.5. Salinitas dan Suhu ... 19

2.6. Komposisi Kimia Air Laut ... 19

2.7. Distribusi Butir Sedimen ... 19

3. Teori Gelombang ... 21

3.1. Karakteristik Gelombang ... 21

3.2. Definisi Parameter Gelombang ... 21

3.3. Kecepatan Rambat Gelombang ... 23

3.4. Teori Gelombang Linier ... 23

3.5. Persamaan Gerak Gelombang ... 27

3.6. Energi Gelombang ... 28

3.7. Analisis Statistik Gelombang dan Spektrum Gelombang ... 32

(5)

iii

3.7.2. Spektrum Gelombang ... 33

3.7.3. Tinggi Gelombang Signifikan ... 35

4. Peramalan dan Transformasi Gelombang ... 39

4.1. Peramalan Gelombang ... 39

4.2. Arah Datang Gelombang ... 50

4.3. Transformasi Gelombang ... 51

4.3.1. Hubungan Antara Besaran-besaran Gelombang ... 52

4.3.2. Perubahan Tinggi Gelombang ... 52

4.3.3. Gelombang Pecah ... 54

5. Angkutan Sedimen Menyusur Pantai ... 79

5.1. Proses Terjadinya Angkutan ... 79

5.2. Permasalahan Pantai dan Muara yang Terkait dengan Kejadian Littoral Process ... 80

5.3. Rumus Perhitungan ... 86

6. Pemecah Gelombang dan Kelengkapannya ... 89

6.1. Pemecah Gelombang (PG)/Breakwater ... 89

6.2. Pelindung Kaki (Toe Protection) ... 95

6.3. Puncak/Mercu Pemecah Gelombang dan Tebal Lapisan Pelindung 96 6.4. Rayapan Gelombang (Wave Run Up) ... 101

6.5. Tinggi Muka Air Laut Rencana ... 106

7. Perubahan Garis Pantai ... 109

7.1. Perhitungan Perkembangan Garis Pantai ... 109

7.2. Bentuk Garis Pantai ... 115

8. Transmisi dan Gaya Gelombang ... 125

8.1. Transmisi Gelombang Akibat Adanya Konstruksi ... 125

8.2. Gaya Gelombang Pada Dinding Tegak ... 126

8.2.1. Kondisi Gelombang Tidak Pecah Dengan Metode Miche-Rundgren ... 126

8.2.2. Kondisi Gelombang Pecah Dengan Metode Minikin ... 128

8.3. Gaya Gelombang Pada Pipa Atau Tiang Bulat ... 129

9. Perlindungan Pantai ... 135

9.1. Tanggul Laut ... 135

9.2. Revetment ... 136

9.3. Tembok Laut (Seawall) ... 137

9.4. Dinding Penahan Tanah (Bulkhead atau Turap) ... 137

(6)

iv

9.6. Ambang Tenggelam ... 138 9.7. Groin ... 138 9.8. Jetty ... 139 9.9. Sand Bypassing ... 139 Daftar Pustaka ... 141

(7)

1

1

PENGANTAR REKAYASA

PANTAI

Rekayasa pantai adalah suatu ilmu yang mempelajari dan mencoba menyelesaikan permasalahan di wilayah pantai seperti misalnya erosi pantai, perencanaan bangunan pantai, perencanaan pelabuhan dan sebagainya. Ilmu rekayasa pantai ini merupakan bagian dari ilmu teknik sipil yang mempunyai kaitan erat dengan ilmu-ilmu lainnya, antara lain oseanografi, meteorologi, geofisika, hidrolika, geologi, statistik dan matematika. Mengingat bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki garis pantai sepanjang ± 81.000 km, dengan luas daratan ± 1.900.000 km2 dan laut ±

3.270.000 km2, maka rekayasa pantai sangat penting untuk dipelajari.

Sehubungan dengan wilayah pantai yang merupakan pertemuan antara darat dan laut, maka kawasan ini mempunyai ciri yang khas, karena ke arah laut dibatasi oleh pengaruh fisik laut dan sosial ekonomi bahari, sedangkan ke arah darat dibatasi oleh pengaruh proses alami dan kegiatan manusia terhadap lingkungan darat.

1.1. Definisi Pantai Secara Teknis

Secara teknis, pantai didefinisikan dengan sketsa seperti tergambar pada Gambar 1.1 di bawah ini.

(8)

2 1.2. Fungsi Pantai1

Secara alami pantai berfungsi sebagai : 1) Pembatas antara darat dan laut; 2) Tempat hidup biota pantai; 3) Tempat sungai bermuara;

Dalam perkembangannya, fungsi pantai dapat berubah / bertambah sesuai dengan kebutuhan manusia, antara lain :

4) Tempat saluran bermuara (misal : saluran untuk tambak);

5) Tempat peralihan kegiatan hidup di darat dan di laut (pelabuhan, pelayaran); 6) Tempat hunian nelayan;

7) Tempat wisata; 8) Tempat usaha;

9) Tempat budidaya pantai (antara lain : tambak dan pertanian); 10) Sumber bahan bangunan (antara lain pasir dan batukarang). 1.3. Jenis Pantai2

Jenis pantai di Indonesia secara sederhana dapat dikelompokkan atas pantai berpasir, pantai berlumpur, pantai berawa, dan pantai berbatu.

1.3.1. Pantai Berpasir 2

Pantai berpasir merupakan pantai yang didominasi oleh hamparan atau dataran pasir, baik yang berupa pasir hitam, abu-abu atau putih. Selain itu terdapat lembah-lembah di antara beting pasir. Tumbuh-tumbuhan yang dominan di hutan pantai berpasir antara lain adalah kelapa dan cemara laut. Pantai berpasir (Gambar 1.2) umumnya dijadikan kawasan pariwisata pantai, karena alamnya yang indah dan menarik. Kawasan pantai berpasir yang sudah berkembang, misalnya pantai Pangandaran, Carita, dan Pelabuhan Ratu (Jawa Barat). Parang Tritis (Yogyakarta), pantai Sanur dan Kuta (Bali), pantai Ancol dan Kepulauan Seribu (Jakarta).

Gambar 1.2 Pantai Berpasir2 Gambar 1.3 Pantai Berlumpur2

1 Syamsudin, Pengantar Teknik Pantai, Bandung, Itenas, 1995 2

(9)

3 1.3.2. Pantai Berlumpur 2

Pantai berlumpur (Gambar 1.3) merupakan hamparan lumpur sepanjang pantai yang dihasilkan dari proses sedimentasi atau pengendapan, umumnya terletak di dekat muara sungai. Tanah pantai ini berasal dari endapan lumpur yang dibawa oleh aliran sungai.

Struktur dan komposisi tumbuhan di kawasan pantai berlumpur Indonesia merupakan formasi hutan mangrove yang didominasi oleh bakau hitam, bakau putih, dll. Selain menghasilkan kayu, hutan mangrove juga menghasilkan bahan penyamak atau bahan pewarna. Tunas-tunas baru selalu tumbuh dalam hutan mangrove, sehingga kawasan hutan menjadi luas. Akibatnya, lambat laun daratan pun makin meluas ke arah laut.

Hutan mangrove memberikan perlindungan terhadap daratan dan ancaman erosi. Hutan mangrove juga berfungsi sebagai tempat pelestarian populasi ikan, kepiting, udang dan kerang-kerangan. Di dalam perairan hutan mangrove banyak terdapat jenis alga dan plankton yang menjadi sumber makanan bagi biota-biota tsb. Daun, dahan, dan pohon-pohon mangrove yang telah tua akan tumbang dan didekomposisi oleh fungsi dan bakteri menjadi bahan organik. Selanjutnya bahan organik ini akan menjadi penyubur tanah, dan menjadi bahan makanan bagi biota lainnya.

1.3.3. Pantai Berawa 2

Pantai berawa (Gambar 1.4) merupakan daerah yang tergenang air, baik secara permanen ataupun temporer. Tanah dan air pantai ini memiliki tingkat keasaman yang tinggi. Hutan pantai berawa umumnya ditumbuhi oleh jenis tumbuhan seperti nipah, sagu, meranti, terentang.

(10)

4 1.3.4. Pantai Berbatu 2

Pantai berbatu (Gambar 1.5) umumnya terdiri dari bongkahan-bongkahan batuan granit. Pantai seperti ini terdapat di kepulauan Natuna, Pulau Buton, dan Pantai selatan Jawa (Pelabuhan Ratu dan Ujung Kulon).

1.4. Permasalahan di Wilayah Pantai 3

Permasalahan yang terjadi di wilayah pantai antara lain, erosi, abrasi, sedimentasi dan pencemaran.

1) Erosi Pantai

Adalah proses mundurnya pantai dari kedudukan semula yang antara lain disebabkan oleh tidak adanya keseimbangan antara pasok dan kapasitas angkutan sedimen. Perubahan pantai jenis ini biasa terjadi pada pantai landai (berpasir, atau berlumpur).

Beberapa faktor penyebab yang sering mengakibatkan tejadinya erosi pantai antara lain :

-Pengaruh adanya bangunan pantai; -Penambangan material pantai dan sungai; -Pemindahan muara sungai;

-Pencemaran perairan pantai (dapat mematikan karang, hutan); -Pengaruh pembuatan waduk di hulu (angkutan sedimen berkurang); -Perusakan oleh bencana alam (misal : gelombang badai, tsunami). 2) Abrasi

Adalah proses erosi diikuti longsoran (runtuhan) pada material yang masif (batu) seperti tebing pantai. Abrasi antara lain disebabkan oleh daya tahan material menurun karena cuaca (pelapukan) dan selanjutnya daya tahan tersebut dilampui oleh kekuatan hidraulik (arus dan gelombang).

3) Sedimentasi (Akresi)

Adalah proses pengendapan material yang terbawa oleh air, angin, maupun gletser. Sedimentasi dapat terjadi di muara sungai dan di pelabuhan. Sedimentasi di muara sungai terdiri atas proses penutupan dan proses pendangkalan muara.

-Penutupan sungai tejadi tepat di mulut sungai pada pantai yang berpasir atau berlumpur, yaitu dengan tejadinya formasi ambang di muara. Proses ini biasanya disebabkan karena debit sungai kecil, terutama di musim kemarau, sehingga aliran air tidak mampu membilas sedimen.

(11)

5

-Pendangkalan muara sungai dapat terjadi mulai dari muara ke udik sampai pada suatu lokasi di sungai dimana pengaruh intrusi air laut (pengaruh pasang surut dan pencapuran air garam) masih ada.

1.5. Lokasi dan Jumlah Kasus Permasalahan di Indonesia3

Kawasan pantai dan muara disebut rusak apabila perubahan morfologi pantai yang terjadi telah menurunkan atau bahkan melenyapkan sama sekali fungsinya. Berdasarkan hal tersebut, maka Puslitbang Sumber Daya Air telah mengadakan inventarisasi tentang kerusakan pantai dan muara di Indonesia sejak ± 30 tahun yang lalu. Dan dari hasil inventarisasi ini tercatat pada tahun 2000 ada 60 lokasi pantai dan muara yang rusak tersebar di 17 Propinsi. Pada Gambar 1.6, 1.7, dan 1.8 disajikan peta lokasi pantai dan muara yang mengalami kerusakan, dilengkapi dengan tingkat kerusakannya. Sampai saat ini sudah banyak dilakukan pengamanan pantai di lokasi-lokasi tersebut.

1.6. Data yang Dibutuhkan untuk Penelitian Wilayah Pantai

Data yang diperlukan untuk menunjang program penelitian dan penyelidikan wilayah pesisir antara lain : data medan, data hidrolis, data angkutan sedimen dan data angin.

1) Data Medan

Data medan berupa data topografi dan hidrografi. Data topografi dengan skala antara 25.000 – 100.000 tersedia di Direktorat Geologi atau Jawatan Topografi A.D. Data tersebut merupakan data pengukuran sebelum perang dunia ke II. Perubahan-perubahan garis pantai yang terjadi setelah perang dunia ke II belum terdeksi. Instansi lain yang mengembangkan perolehan peta saat ini adalah Badan Informasi Geospasial (BIG, dahulu Bakosurtanal) di Cibinong.

Data Hidrografi (peta batimetri) bisa didapat di Dinas Hidro-oseanografi (Dishidros) Angkatan Laut. Data ini pun umumnya merupakan data lama yang perlu diperbaharui. Peta batimetri dapat pula diperoleh dengan cara mengunduh file dari General Bathymetric Chart of The Oceans (GEBCO). Data medan wilayah pesisir yang merupakan wilayah peralihan antara darat dan laut sangat terbatas dan sifatnya setempat-tempat.

2) Data Hidrolis Kelautan3

Data hidrolis kelautan berupa data gelombang, arus dan pasang surut. Data gelombang jangka panjang dapat diperoleh dari US Wether Chart yang

3

(12)

6

didapat berdasarkan data pengamatan secara visual. Data gelombang hasil pengukuran dengan alat pengukur umumnya hanya didapatkan dalam jangka pendek dan belum terorganisasi. Untuk itu nampaknya hal yang sangat penting dan dirasa perlu adalah adanya stasiun pengukuran gelombang. Namun mengingat biaya yang dibutuhkan untuk pengukuran sangat besar, maka umumnya dilakukan peramalan gelombang. Data gelombang hasil peramalan/hindcast ERA-Interim oleh European Centre for Medium-Range Weather Forecasts (ECMWF) dapat diperoleh dengan cara diunduh melalui situs http://ecmwf.int/. Data arus dan pasang surut berdasarkan hasil peramalan dapat diperoleh di Dinas Hidrografi A.L. yang diterbitkan setiap tahun.

3) Data Sedimen3

Data sedimen berupa gradasi sedimen dasar, konsentrasi dan gradasi sedimen suspensi dan besar angkutannya. Data besarnya angkutan pasir sejajar pantai dapat diukur berdasarkan pengendapan yang terjadi di udik (up drift) bangunan-bangunan pantai yang menjorok ke laut. Data angkutan sedimen sangat penting untuk keperluan perhitungan studi kelayakan dalam rangka pemeliharaan bangunan pantai, seperti pelabuhan, struktur pengambilan air tambak dan pengaruh arus muara sungai.

4) Data Angin3

Data angin dapat diperoleh di Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Data tersebut umumnya diperoleh dari stasiun pengamatan di darat untuk keperluan penerbangan. Namun karena ketiadaan data angin yang lebih tepat, dimana data tersebut banyak digunakan untuk meramalkan gelombang, sehingga untuk menunjang ramalan gelombang perlu dibuat stasiun angin pada lokasi yang tepat. Selain itu data angin dapat pula diperoleh dengan cara mengunduh file dari ECMWF atau National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA).

(13)

7

Gambar 1.6 Lokasi Muara dan Pantai di Indonesia yang Mengalami Permasalahan (di luar Jawa, Bali, dan Lombok), (Syamsudin, 2000)

(14)

8

(15)

9

(16)
(17)

2

SURVEI OSEANOGRAFI

Survei Oseanografi yang dimaksud termasuk survei penentuan kedalaman dasar permukaan air (batimetri). Untuk kebutuhan perencanaan pelabuhan, survei oseanografi yang diperlukan adalah pengukuran :

1. Batimetri

2. Tinggi, periode, dan arah gelombang 3. Fluktuasi pasang surut

4. Kecepatan dan arah arus 5. Salinitas dan suhu 6. Komposisi kimia air laut 7. Distribusi butir sedimen

Ketelitian dari data ini diperlukan untuk menentukan lay out pelabuhan, perencanaan breakwater, penggunaan jenis material konstruksi, metode pemeliharaan, dan menentukan kelayakan dari pelabuhan dilihat dari biaya pembangunan dan biaya pemeliharaan.

2.1. Batimetri

Tujuan dari pekerjaan batimetri adalah untuk memetakan dasar laut yang hasilnya adalah berupa gambar kontur kedalaman dasar dari permukaan laut, kontur pantai, rintangan-rintangan di laut (jika ada), dan situasi. Untuk itu harus dibuatkan suatu titik referensi yang terdapat di darat.

Pekerjaan survei batimetri ini akan meliputi pekerjaan : -Pengikatan titik referensi ke Bench Mark yang terdekat.

-Pembuatan titik-titik tetap (beacon) di darat ataupun di laut yang kemudian digunakan sebagai pedoman untuk menentukan posisi kapal.

-Pengikatan titik tetap terhadap titik referensi.

-Pengukuran kedalaman sepanjang jalur sounding (sounding lines) -Pengukuran kedalaman sepanjang jalur silang (cross check lines) -Pengukuran pasang surut.

-Penggambaran.

Sebelum pekerjaan–pekerjaan tersebut dilaksanakan, terlebih dahulu harus dilakukan persiapan-persiapan secara seksama.

Pekerjaan persiapan adalah berupa :

-Mengumpulkan peta hidrografi dan topografi yang ada. -Mencari titik Bench Mark.

(18)

-Memperkirakan jalur sounding (pemeruman) dan jalur silang. -Mempersiapkan peralatan yang dibutuhkan.

-Perijinan untuk melakukan survei dari pihak yang berwenang. 2.1.1. Pengikatan Titik Referensi ke Bench Mark

Pada saat pekerjaan persiapan, lokasi dari Bench Mark harus sudah diketahui. Koordinat x,y, dan z harus sudah diperoleh dari instansi yang berwenang, seperti Jawatan Topografi AD, BIG, Dinas Agraria, Balai Besar Wilayah Sungai, dan instansi lainnya. Kemudian titik referensi yang telah diletakkan di lapangan, diikatkan ke titik Bench Mark dengan menggunakan poligon tertutup (lihat Gambar 2.1).

Titik referensi ini merupakan titik dasar dari titik-titik lainnya, dan jumlahnya bergantung pada panjang pantai dan luas permukaan laut yang akan diukur. Jika keadaan pantai penuh dengan hutan bakau, maka perlu dibuatkan titik-titik referensi pembantu.

Gambar 2.1 Pengikatan titik referensi ke Bench Mark

Cara pengikatan ini juga bisa dilakukan tanpa poligon tertutup, tetapi pengukuran dilakukan pulang pergi atau dapat dilakukan sekali jalan dengan pemeriksaan azimuth.

Alat-alat yang dibutuhkan untuk survei ini adalah :

-EDM (Electronic Distance Meter) untuk mengukur jarak. Untuk pekerjaan yang tidak memerlukan ketelitian yang tinggi bisa juga digunakan meet band atau rantai.

-Teodolit T2 digunakan untuk mengukur sudut -Eye Piece untuk menentukan azimuth

(19)

2.1.2. Pembuatan Titik Tetap (Beacon)

Titik tetap (Beacon) digunakan sebagai pedoman dalam mengukur posisi alat pada saat pengukuran kedalam dilakukan. Titik tetap dalam jumlah yang besar dibutuhkan bila menggunakan alat optis (sextan), sedangkan bila menggunakan peralatan akustik seperti trisponder, jumlah beacon ini relatif lebih sedikit. Beacon ini ditempatkan di sepanjang pantai ataupun di tengah laut dengan menggunakan bui/pelampung (buoy).

Kemudian ditentukan koordinat x dan y untuk titik tetap tersebut dengan cara mengikatkannya ke titik referensi.

Alat yang perlukan untuk pekerjaan ini adalah : 1. Teodolit T2

2. Rambu atau Bui

3. Pengukuran jarak meet band atau rantai

2.1.3. Pengukuran Kedalaman Sepanjang Jalur Sounding (Sounding Lines) Pengukuran kedalaman laut sering disebut dengan istilah pemeruman, mengingat pelaksanaannya menggunakan alat perum gema (echosounder).

Pada pekerjaan ini persiapan jalur-jalur yang akan diukur terlebih dahulu ditentukan di peta hidrografi. Jalur Sounding adalah jalur yang tegak lurus pantai, sedangkan jalur silang adalah jalur yang sejajar pantai (lihat Gambar 2.2).

Gambar 2.2 Jalur Pengukuran

Jarak antara jalur sounding ds adalah antara 10 – 20 mm di peta yang berskala, sedangkan jarak antara jalur silang dc adalah antara 5 ds sampai 10 ds. Jadi kalau ingin mendapatkan peta dengan skala 1 : 1000, maka ds = 10 – 20 m dan dc = 50 – 200 m.

Sewaktu pengukuran kedalaman, lintasan kapal (perahu) harus selalu dijaga sesuai dengan jalur yang telah ditentukan. Untuk hal ini setiap saat posisi kapal selalu dicek, misalnya dengan bantuan dua bendera pengarah.

(20)

Posisi kapal dapat ditentukan dengan menggunakan alat Global Position System (GPS). Bersamaan dengan penentuan posisi dilakukan pengukuran kedalaman. Alat-alat dan perlengkapan yang dibutuhkan dalam pekerjaan ini adalah :

- Kapal bermotor,

- GPS untuk menentukan posisi,

- Echosounder untuk mengukur kedalaman, - Walkie Talkie untuk komunikasi ke darat

Setiap saat pengukuran kedalaman harus juga dicatat waktu pengukuran untuk nantinya dilakukan koreksi terhadap fluktuasi pasang surut.

2.1.4. Pengukuran Kedalaman di Sepanjang Jalur Silang

Metode yang digunakan disini sama dengan pengukuran di sepanjang jalur sounding (sounding line).

2.1.5. Pengukuran Pasang Surut

Pengamatan pasang surut dilakukan selama survei. Pengamatan dapat dilakukan dengan menggunakan “automatic tide recording” ataupun dengan menggunakan gage biasa (peilschal).

Fluktuasi dari muka air harus dicatat berdasarkan titik referensi, untuk itu di titik nol pembacaan harus diikatkan ke titik referensi.

2.1.6. Penggambaran

Seluruh data posisi (koordinat x dan y) serta kedalamannya diplot pada suatu peta yang kemudian dari titik-titik posisi yang ada dibuat interpolasinya untuk interval kedalaman yang diinginkan.

Hasil dari penggambaran adalah berupa kontur kedalaman, garis pantai, rintangan, bangunan laut, dan profil melintang sepanjang jalur sounding.

2.2. Tinggi, Periode, dan Arah Gelombang

Pengukuran tinggi gelombang dapat dilakukan secara visual ataupun secara otomatis dengan menggunakan Automatic Wave Recording. Pengukuran secara visual dilakukan dengan menempatkan sebuah peilschal di lokasi yang telah ditentukan posisinya dari darat.

Puncak dan lembah dari gelombang ditentukan dengan membidikkan waterpas ke titik sentuhan muka air dengan peilschal. Periode gelombang ditentukan dengan mengukur waktu antara terjadinya puncak dan puncak.

Pengukuran gelombang otomatis menggunakan beberapa alat seperti Capasitor Gage, atau Pressure Gage. Alat ini secara otomatis mencatat fluktuasi gelombang pada kertas pencatat. Yang sulit dalam pengukuran gelombang ini adalah untuk menentukan arah secara otomatis tanpa menggunakan alat yang mahal. Sebagai perkiraan hal ini dapat dilakukan secara visual.

(21)

Alat pengukur gelombang otomatis secara umum terbagi atas dua type, yaitu a. type alat yang ditenggelamkan ke dasar laut atau digantung di bawah

permukaan air, seperti Wave Rider, Wave Recording, dimana data rekaman fluktuasi muka air disimpan dalam memory pada alat yang ditenggelamkan.

b. type alat yang menggunakan system transmitter-receiver, seperti Marine Weather Buoy dimana alat perekam data diapungkan dengan buoy yang dilengkapi dengan fasilitas sebagai transmitter dan data rekaman fluktuasi muka air disimpan dalam memory pada alat penerima (receiver) yang diletakkan di darat.

2.3. Pasang Surut

Pasang surut adalah fluktuasi muka air laut sebagai fungsi waktu karena adanya gaya tarik benda-benda di langit, terutama matahari dan bulan terhadap massa air laut di bumi. Pasangnya air laut dipengaruhi oleh gaya gravitasi bulan dan matahari terhadap bumi. Tetapi pasang terutama disebabkan oleh gaya gravitasi bulan karena jarak antara bumi dengan bulan jauh lebih dekat daripada jarak antara bumi dengan matahari.

Jika antara gravitasi bulan dan gravitasi matahari bekerja dalam arah yang sama akan terjadi pasang yang sangat besar. Untuk setiap kali bulan melintasi meridian, akan terjadi dua pasang yang utama karena pengaruh gravitasi bulan. dalam satu bulan terdapat dua pasang purnama dan dua pasang perbani. Di mana pasang purnama ditandai dengan pasang terbesar dan pasang perbani ditandai dengan pasang terkecil (Gambar 2.3).

Gambar 2.3 Posisi matahari, bumi, dan bulan saat pasang purnama dan pasang perbani (Sumber: www.bayoffundy.com)

(22)

Metode survai pasang surut seperti telah dijelaskan pada sub-bab 2.1.5, dapat dilakukan dengan interval 30 menit atau 1 jam, tergantung kebutuhannya. Setelah didapatkan data pasang surut dilakukan analisis pasang surut, yaitu menentukan konstanta harmonik/komponen/konstituen pasang surut dengan Least Square Method atau Metoda Admiralthy yang kemudian digunakan untuk peramalan penentuan muka air terendah (LWL dan LLWL), muka air rata-rata (MSL) dan muka air tertinggi (HWL dan HHWL).

Konstituen/komponen pasang surut yang dihasilkan adalah M2, S2, N2, K2, K1, O1,

P1, M4, MS4, di mana:

1. M2 : komponen utama bulan (semi diurnal)

2. S2 : komponen utama matahari (semi diurnal)

3. N2 : komponen eliptis bulan.

4. K2 : komponen bulan.

5. K1 : komponen bulan.

6. O1 : komponen utama bulan (diurnal).

7. P1 : komponen utama matahari.

8. M4 : komponen utama bulan (kuarter diurnal).

9. MS4 : komponen matahari bulan.

Tipe pasang surut ditentukan dengan formula Formzahl (F):

2 2 1 1 S M O K F + + = (2.1) Dari nilai Formzahl, dibagi dalam empat tipe pasang surut:

▪ 0 < F ≤ 0,25 : pasang surut harian ganda (Semi Diurnal)

▪ 0,25 < F < 1,50 : pasang surut campuran cenderung ganda (Mixed Semi Diurnal)

▪ 1,50 < F< 3,00 : pasang surut campuran cenderung tunggal (Mixed Diurnal) ▪ F ≥ 3,00 : pasang surut harian tunggal (Diurnal)

Adapun pengertian dari beberapa elevasi pasang surut adalah sebagai berikut: 1. Muka air tinggi (high water level, HWL), muka air tertinggi yang dicapai

pada saat air pasang dalam satu siklus pasang surut.

2. Muka air rendah (low water level, LWL), kedudukan air terendah yang dicapai pada saat air surut dalam satu siklus pasang surut.

(23)

3. Muka air tinggi rerata (mean high water level, MHWL), adalah rerata dari muka air tinggi selama periode 18,6 tahun.

4. Muka air rendah rerata (mean low water level, MLWL), adalah rerata dari muka air rendah selama periode 18,6 tahun.

5. Muka air tinggi purnama (mean high water spring, MHWS), adalah rerata dari dua muka air tinggi berturut-turut selama periode pasang purnama, yaitu jika tunggang (range) pasut itu tertinggi.

6. Muka air rendah purnama (mean low water spring, MLWS), adalah rerata dari dua muka air rendah berturut-turut selama periode pasang purnama. 7. Muka air laut rerata (mean sea level, MSL), adalah muka air rerata antara

muka air tinggi rerata dan muka air rendah rerata. Elevasi ini digunakan sebagai referensi untuk elevasi di daratan.

8. Muka air tinggi tertinggi (highest high water level, HHWL), adalah air tertinggi pada saat pasang surut purnama atau bulan mati.

9. Muka air rendah terendah (lowest low water level, LLWL), adalah air terendah pada saat pasang surut purnama atau bulan mati.

10. Higher high water level, adalah air tertinggi dari dua air tinggi dalam satu hari, seperti dalam pasang surut tipe campuran.

11. Lower low water level, adalah air terendah dari dua air rendah dalam satu hari.

Dalam perencanaan sering pula digunakan istilah elevasi:

- HWS (High Water Springs, diambil sama dengan elevasi MHWL) dan - LWS (Low Water Springs diambil sama dengan elevasiMLWL).

Namun untuk perencanaan dengan resiko yang lebih tinggi maka HWS menjadi Highest Water Spring (=HHWL) dan LWS menjadi Lowest Water Spring (= LLWL).

Contoh nilai-nilai konstituen/komponen pasang surut dan elevasi pasang surut disajikan pada Tabel 2.1 dan Tabel 2.2:

Tabel 2.1 Contoh Nilai-Nilai Konstituen Pasang Surut

Konstituen Z0 M2 S2 N2 K2 K1 O1 P1 M4 MS4

Amplitudo (cm)

149,73 55,64 10,13 7,63 26,7 28,43 5,84 16,64 3,98 3,8 Phase (o) 66,46 28,32 74,62 114,91 43,44 241,41 39,74 56,36 58,63

(24)

Tabel 2.2 Contoh Nilai-Nilai Elevasi Pasang Surut

No Nama Elevasi Terhadap MSL

(cm)

Terhadap LWS (cm) 1 HHWL Highest High Water Level 124,26 264,94 2 MHWS Mean High Water Spring 100,08 240,76 3 MHWL Mean High Water Level 63,11 203,79

4 MSL Mean Sea Level 0,00 140,68

5 MLWL Mean Low Water Level -60,26 80,42 6 MLWS Mean Low Water Spring -113,42 27,26 7 LLWL Lowest Low Water Level -140,68 0,00

Rentang jarak interval antara HWL dan LWL, atau HWS dan LWS disebut tunggang pasang surut (pasut). Gambar 2.4 menampilkan beberapa elevasi pada grafik pasut.

Gambar 2.4 Contoh grafik pasang surut beserta elevasinya.

2.4. Kecepatan dan Arah Arus

Pengukuran kecepatan permukaan dan arah arus dapat dilakukan dengan menggunakan pelampung, dimana kecepatan adalah jarak lintasan dibagi dengan waktu, sedangkan untuk mendapatkan data yang lebih teliti dan untuk mengetahui distribusi kecepatan vertikal, maka dapat digunakan directional current meter otomatis ataupun bukan otomatis.

Pengukuran arus biasanya dilakukan selama satu siklus pasang surut;

-2 x 25 jam pada saat pasang purnama (pasang besar, spring tide, tgl 1 dan 15 ),

(25)

Data kecepatan dan arah arus dibutuhkan untuk peramalan gerak sedimen dan juga untuk merencanakan pintu masuk kolam pelabuhan, serta alur pelayaran, sehingga tidak mengganggu gerak kapal.

2.5. Salinitas dan Suhu

Pengukuran kadar garam (salinitas) dilakukan dengan menggunakan alat salinometer yang akan mencatat kadar garam yang biasanya dengan standar ukuran ppm (part per million) yang ekivalen dengan 1 mg/liter.

Distribusi suhu menurut kedalaman diukur dengan termometer. Data salinitas dan suhu diperlukan untuk menentukan tingkat korosi dari air laut.

2.6. Komposisi Kimia Air Laut

Contoh air yang diperoleh diperiksakan di laboratorium untuk mengetahui kadar suspensi endapan, kadar zat-zat kimia yang dapat merusak bangunan-bangunan laut dan sebagainya.

2.7. Distribusi Butir Sedimen

Distribusi butir sedimen diperoleh dari analisa ayak dan hidrometer di laboratorium. Disamping itu juga perlu diketahui berat jenis dan porositas dan juga kecepatan jatuh dari butir-butir sedimen. Data ini dibutuhkan untuk analisis angkutan sedimen.

(26)
(27)

3

TEORI GELOMBANG

3.1.Karakteristik Gelombang4

Parameter terpenting yang digunakan untuk menjelaskan suatu gelombang adalah tinggi dan panjang gelombang serta kedalaman perairan dimana gelombang tersebut merambat. Kecepatan rambat gelombang secara teoritis dapat ditentukan dari kualitas parameter tersebut.

Gelombang di alam jarang tampak persis sama dari satu gelombang ke gelombang yang lainnya. Juga tidak selalu menyebar ke arah yang sama. Seandainya suatu alat untuk mengukur elevasi muka air,

η

, sebagai fungsi dari waktu ditempatkan pada suatu anjungan di tengah laut, akan diperoleh suatu rekaman data gelombang yang berbentuk acak. Laut tersebut dapat dipandang sebagai superposisi dari banyak sinusoid yang bergerak ke segala arah. Superposisi sinusoid tersebut memberikan kemungkinan penggunaan analisa Fourier dan teknik spektrum untuk digunakan dalam menjelaskan kondisi gelombang laut. Hanya saja banyak keacakan yang terjadi di laut, sehingga dibutuhkan teknik statistik untuk dapat menunjang penyelesaian masalah. Tetapi disamping itu terdapat keuntungan yang dijumpai, yaitu gelombang di perairan dangkal mempunyai bentuk yang lebih teratur dibandingkan dengan gelombang di laut dalam. Oleh karena itu dalam kasus ini setiap gelombang lebih sederhana jika dijabarkan dengan satu sinusoid yang berulang secara periodik.

Dalam hal ini gelombang yang nonlinier dilinierkan dengan menggunakan berbagai asumsi. Teori ini dikenal dengan Teori Gelombang Linier atau Teori Gelombang Amplitudo Kecil. Teori ini biasanya merupakan pendekatan pertama dalam mempelajari masalah gelombang. Teori Gelombang Linier akan dijelaskan lebih rinci pada salah satu sub bab dalam bab ini.

3.2. Definisi Parameter Gelombang4

Tinggi gelombang H adalah jarak vertikal dari puncak gelombang ke lembah gelombang. Periode gelombang T adalah lamanya waktu dua puncak gelombang berturutan melewati suatu titik tertentu. Panjang gelombang L adalah jarak

4 Yati Muliati, Studi Awal Perumusan Karakteristik Gelombang Laut Jawa, Bandung, ITB, 1997.

(28)

horisontal antara dua puncak gelombang berturutan atau jarak horisontal antara dua titik yang bersesuaian pada dua gelombang berturutan.

Pada Gambar 3.1 ditunjukkan skema dua dimensi penyebaran gelombang sederhana dalam arah–x untuk menunjukkan definisi dari parameter gelombang. Parameter

η

menyatakan pergerakan muka air relatif terhadap muka air tenang (SWL) dan merupakan fungsi dari x dan waktu t. Pada puncak gelombang, ղ sama dengan amplitudo gelombang, a atau setengah tinggi gelombang.

Panjang gelombang berkaitan dengan kedalaman perairan. Kedalaman perairan dengan variabel d, diukur dari dasar perairan ke muka air tenang (SWL = Still Water Level).

Gambar 3.1 Definisi parameter gelombang

Dalam hal ini hubungan antara keduanya adalah sebagai berikut:

L = gT2tanh(2πdL ) (3.1) dengan : L = Panjang gelombang (meter)

T = Periode gelombang (detik) d = Kedalaman perairan (meter) g = Percepatan gravitasi (meter/detik2)

(29)

3.3. Kecepatan Rambat Gelombang4

Cepat rambat gelombang disebut kecepatan fasa gelombang C (celerity). Jarak yang ditempuh oleh sebuah gelombang selama satu periode gelombang sama dengan satu panjang gelombang, oleh karena itu kecepatan gelombang dapat dihubungkan dengan periode dan panjang gelombang oleh persamaan :

C = L T (3.2) 3.4. TeoriGelombang Linier5

Teori gelombang dua dimensi dikembangkan dengan melakukan linierisasi persamaan gelombang yang kompleks. Penyederhanaan ini diharapkan akan memudahkan perhitungan-perhitungan yang berhubungan dengan gelombang akan tetapi masih memenuhi persyaratan yang ada. Persamaan gelombang dua dimensi diturunkan dengan mengambil kondisi batas (boundary condition); permukaan air dan dasar laut.

Asumsi yang umumnya digunakan dalam pembuatan teori gelombang ini adalah: 1. Amplitudo gelombang adalah kecil dibandingkan dengan panjang gelombang dan kedalamannya dan bentuk gelombang tidak berubah terhadap waktu dan ruang.

2. Fluida bersifat ideal atau inviscid (kekentalannya rendah)

3. Gerakan partikel fluida adalah tidak berrotasi (irrotational). Tidak ada tegangan geser pada batas air dan udara atau pada dasar laut. Tegangan permukaan (surface tension) dapat diabaikan.

4. Fluida bersifat seragam (homogen) dan tidak mampu mampat (incompressible)

5. Dasar perairan merupakan suatu batas yang impermeabel, horisontal, dan diam/tetap, yang menyebabkan kecepatan vertikal pada dasar adalah nol. 6. Tekanan pada permukaan bebas seragam dan konstan. Tekanan angin tidak

diperhitungkan dan perbedaan tekanan hidrostatis karena perbedaan elevasi diabaikan.

7. Efek coriolis dapat diabaikan (Efek Coriolis adalah pembelokkan arah benda yang bergerak ketika dilihat dari kerangka acuan yang berputar) 8. Gelombang yang sedang diselidiki tidak berinteraksi dengan gerakan air

lainnya.

5 Yati Muliati, Studi Awal Perumusan Karakteristik Gelombang Laut Jawa, Bandung, ITB,

(30)

Teori Gelombang Linier dapat diturunkan dengan menggunakan 5 buah asumsi pertama di atas, dibantu dengan persamaan pengatur serta syarat-syarat batas. Adapun persamaan pengatur yang digunakan adalah Persamaan Laplace, yaitu :

0,

dimana

potensi

kecepatan

dan

V

u

i

ˆ

ˆ

w

k

ˆ

2

=

=

=

+

+

=

v

j

Karena pembahasan dua dimensi dan diambil arah vertikalnya, maka sumbu yang digunakan adalah sumbu arah-x dan arah–z, sehingga Persamaan Laplace yang digunakan adalah menjadi sebagai berikut :

0

2 2 2 2

=

+

z

x

(3.3)

Persamaan pengatur tersebut berlaku pada daerah dengan : - Arah horisontal : - ∞ < x < ∞

- Arah vertikal : d < z <

η

(x,t)

Dengan pengertian : z = -d adalah di dasar dan z =

η

adalah di permukaan.

Syarat batas yang berlaku adalah syarat batas gerak periodik dalam ruang dan waktu, syarat batas kinematis dan syarat batas dinamis. Adapun pengertian dari ketiga syarat batas tersebut diuraikan dibawah ini.

1. Syarat Gerak Periodik dalam ruang dan waktu

Dalam ruang, gelombang berulang dalam jarak L atau Ф(x,z,t) =Φ(x+L, z,t) Dalam waktu, gelombang berulang dalam waktu T atau Φ(x,z,t) = Φ(x,z, t+T).

Syarat batas ini biasa disebut PLBC (Periodic Lateral Boundary Conditions). 2. Syarat Batas Kinematis

Partikel fluida yang berada pada perbatasan antara fluida yang bersangkutan dengan fluida/zat lain akan tetap berada pada perbatasan tersebut. Suatu perbatasan dapat dinyatakan secara matematis, sebagai fungsi dari ruang dan waktu dalam bentuk :

F (x,z,t) = 0. Sebagai contoh untuk bentuk lingkaran dengan jari-jari r, maka: F (x,z,t) = x2 + z2 - r2 = 0. Bila suatu partikel fluida pada perbatasan mengikuti

gerak perbatasan yang bersangkutan, maka geraknya memenuhi persamaan:

0

0

)

,

,

(

=

+

+

=

z

F

w

x

F

u

t

F

Dt

t

z

x

DF

(3.4) dengan :

(31)

u =-

=

x

= kecepatan partikel arah–x dan

w=

-z

= kecepatan partikel arah–z 2.a. Syarat Batas Kinematis pada Dasar Perairan

Pada dasar perairan z = -d, d = konstan, sehingga F = z + d = (-d) + d = 0, maka syarat batas kinematis pada F=0 :

0

=

0

=

0

+

+

=

w

z

F

w

x

F

u

t

F

Dt

DF

atau

=

0

z

di z = -d (3.5) Persamaan 3.5 adalah syarat batas dengan pengertian pada dasar perairan tidak ada aliran arah–z, yang kemudian diterapkan pada persamaan pengatur. Persamaan ini biasa disebut BBC (Bottom Boundary Condition). 2.b Syarat Batas Kinematis pada Permukaan Perairan

Pada permukaan perairan z =

η

(x,t), sehingga F = z -

η

(x,t) =

η

(x,t) -

η

(x,t) = 0, maka syarat batas kinematis pada F=0 disubstitusi ke persamaan (3.4) menjadi : -

+

=

0

w

x

u

t

di z =

η

Persamaan di atas dilinierkan, hingga menjadi

+

=

0

w

t

di z = 0 atau menjadi

t

z

=

di z = 0 (3.6)

Persamaan 3.6 adalah syarat batas yang kemudian diterapkan pada persamaan pengatur dengan pengertian bahwa kecepatan partikel arah–z di permukaan sama dengan besarnya kecepatan naik turun permukaan. Persamaan ini biasa disebut KFSBC (Kinematic Free Surface Boundary Condition).

2. Syarat Batas Dinamis di Permukaan

Digunakan persamaan Bernoulli, yaitu persamaan yang berasal dari persamaan gerak untuk fluida tak kental/inviscid fluid, sebagai berikut :

(32)

(

)

)

(

p

2

1

)

(

p

2

1

2 2 2

t

C

gz

t

t

C

gz

w

u

t

=

+

=

+

=

+

+

+

+

Karena di permukaan air : p = 0 dan z =

η

, maka pers. Bernoulli menjadi :

)

(

2

1

2

t

C

g

t

+

+

=

di z =

η

Dilinierkan menjadi : - g C

( )

t t + =  

atau

g

t

C

t

g

)

(

1

+

=

di z = 0 (3.7) Persamaan 3.7 adalah syarat batas yang biasa disebut DFSBC (Dynamic Free Surface Boundary Condition)

Gambar 3.2 Syarat batas gelombang air 6

Dengan penurunan secara matematis, seluruh persamaan pengatur dan syarat-syarat batas seperti ditunjukkan pada Gambar 3.2 di atas digunakan untuk mendapatkan suatu persamaan, yaitu persamaan gelombang. Persamaan gelombang ini diambil dengan meninjau gelombang yang hanya bergerak ke kanan atau ke arah x positif saja dan dipilih dalam bentuk kosinus.

6 Robert G.Dean dan Robert Dalrymple, Water Wave Mechanics for Engineers and Scientists,

(33)

3.5 Persamaan Gerak Gelombang

Persamaan gerak gelombang yang dihasilkan adalah

)

cos(

kx

t

=

a

(3.8) Dengan :

= pergerakan muka air relatif terhadap muka air tenang (SWL)

a = amplitudo = H/2 ; H = tinggi gelombang k = 2

/L ; L = panjang gelombang

 = 2

/T ; T = periode gelombang

Sehingga persamaan gelombang (3.8) dapat juga dituliskan menjadi :

=

T

t

L

x

a

cos

2

2

(3.9) Gelombang dapat diklasifikasikan menurut kedalaman relatif

L

d

dan nilai batas

tanh

L

d

2

sebagai berikut :

Tabel 3.1 Klasifikasi Kedalaman Perairan

Klasifikasi d/L 2

d/L tanh (2

d/L)

Perairan dalam

(deep water wave)

>1/2 >

≈ 1

Perairan peralihan

(transition)

1/25 – 1/2 1/4 -

tanh (2

d/L)

Perairan dangkal

(shallow water wave)

< 1/25 < 1/4 ≈ 2

d/L

Selain parameter yang telah disebut di atas parameter gelombang lainnya yang penting adalah sudut datang gelombang,

, yaitu besarnya sudut antara arah datang gelombang dan normal kontur. Normal kontur adalah garis yang tegak lurus kontur.

Khusus untuk perairan dalam, parameter-parameter gelombang H, L, C dan ,

diberi notasi “o”, yaitu :

Ho ; Lo ; Co dan ,

o .

Parameter T tidak berubah/tetap, baik untuk perairan dalam maupun dangkal. Dengan memasukan nilai dalam daftar klasifikasi ke persamaan (3.1) dan (3.2) maka untuk perairan dalam didapatkan :

2

2 0

gT

L

=

(3.10)

(34)

Dan dengan nilai percepatan gravitasi, g = 9,81 m/det2 dan

= 3,14 maka

persamaan (3.10) menjadi

Lo = 1,56 T2 (3.11)

dan

Co =1,56 T. (3.12)

Gelombang laut berdasarkan informasi meteorologi kelautan dibedakan atas jenis pembangkitnya meliputi tiga jenis gelombang, yaitu:

- gelombang akibat angin, - gempa bumi (tsunami), dan

- akibat gaya tarik menarik bumi-bulan-matahari atau disebut dengan gelombang tidal atau pasang surut (WMO-No. 741, 2001).

Pond dan Pickard (1983) mengklasifikasikan gelombang berdasarkan periodenya, sebagai berikut:

Tabel 3.2 Klasifikasi Gelombang Berdasarkan Periode (Pond dan Pickard, 1983) Periode Panjang Gelombang Jenis Gelombang 0 – 0,2 detik Beberapa centimeter Riak (Riplles)

0,2 – 0,9 detik Mencapai 130 meter Gelombang angin 0,9 -15 detik Beberapa ratus meter Gelombang besar (Swell) 15 – 30 detik Ribuan meter Long Swell

0,5 menit – 1 jam

Ribuan kilometer Gelombang dengan periode yang panjang (termasuk Tsunami)

5, 12, 25 jam Beberapa kilometer Pasang surut

3.6.Energi Gelombang

Pada dasarnya pergerakan laut yang menghasilkan gelombang laut terjadi akibat dorongan pergerakan angin. Angin timbul akibat perbedaan tekanan pada 2 titik yang diakibatkan oleh respons pemanasan udara oleh matahari yang berbeda di kedua titik tersebut. Mengingat sifat tersebut maka energi gelombang laut dapat dikategorikan sebagai energi terbarukan.

Gelombang laut secara ideal dapat dipandang berbentuk gelombang yang memiliki ketinggian puncak maksimum dan lembah minimum (lihat Gambar 3.1). Pada selang waktu tertentu, ketinggian puncak yang dicapai serangkaian gelombang laut berbeda-beda, bahkan ketinggian puncak ini berbeda-beda untuk lokasi yang sama jika diukur pada hari yang berbeda. Meskipun demikian secara statistik dapat ditentukan ketinggian signifikan gelombang laut pada satu titik lokasi tertentu.

(35)

Bila waktu yang diperlukan untuk terjadi sebuah gelombang laut dihitung dari data jumlah gelombang laut yang teramati pada sebuah selang tertentu, maka dapat diketahui potensi energi gelombang laut di titik lokasi tersebut. Potensi energi gelombang laut pada satu titik pengamatan dalam satuan kw per meter berbanding lurus dengan setengah dari kuadrat ketinggian signifikan dikali waktu yang diperlukan untuk terjadi sebuah gelombang laut. Berdasarkan perhitungan ini dapat diprediksikan berbagai potensi energi dari gelombang laut di berbagai tempat di dunia. Dari data tersebut, diketahui bahwa pantai barat Pulau Sumatera bagian selatan dan pantai selatan Pulau Jawa bagian barat berpotensi memiliki energi gelombang laut sekitar 40 kw/m

Pada dasarnya prinsip kerja teknologi yang mengkonversi energi gelombang laut menjadi energi listrik adalah mengakumulasi energi gelombang laut untuk memutar turbin generator. Karena itu sangat penting memilih lokasi yang secara topografi memungkinkan akumulasi energi. Saat ini banyak penelitian untuk mendapatkan teknologi yang optimal dalam mengkonversi energi gelombang laut.

Energi gelombang terdiri dari energi kinetis akibat dari gerakan partikel air dan energi potensial karena adanya perubahan elevasi muka air (Hang Tuah, 1987).

(

2 2

)

2

2

1

2

1

+

+

=

+

=

w

u

E

E

E

k p

m

(3.13)

Gambar 3.3 Badan air (body water)

Untuk satu siklus selama T maka energi yang terkandung pada badan air (Gambar 3.3) tersebut adalah :

(36)

(

)

) sin( sinh ) ( sinh ) cos( cosh ) ( cosh . . 2 1 2 2 t kx kh z h k w agk z t kx kh z h k w agk x dt dz dx L O T O O h

− + =   − = − + =   = + =

− w -u w u Ek

Dari persamaan dispersi

gk 2 w kh tanh = (3.17) Jadi cos( ) sinh ) ( cosh u kx wt kh z h k aw + − = (3.18)

)

sin(

sinh

)

(

sinh

wt

kx

kh

z

h

k

aw

+

=

w

(3.19) Maka

(

)

(

)

k h z kx wt k h z kx wt

dzdxdt kh aw O h T O L O . . ) ( sin ). ( sinh cos cosh sinh ) ( 2 1 2 2 2 2 2 2

  

− − + + − + =  k E

(

)

O h O h

h

z

h

k

z

dz

z

h

k

− −





+

+

=

+

cosh

2

(

)

2

sinh

2

4

k

kh

h

4

.

2

.

sinh

2

+

=

+

=

kh

kh

kh

h

2

2

.

sinh

2

2

+

=

+

kh

kh

kh

z

h

dz

z

h

k

O h

2

2

.

sinh

2

)

(

sinh

2

(

kx

t

)

dx

dt

(

kx

t

)

dx

dt

L O T O

.

(

2

cos

1

2

1

.

cos

2





=

+

x

kx

t

dt

L O T O

+

=

sin

2

(

)

2

1

(3.14) (3.15) (3.16)

(37)

dt

k

t

k

t

T O

+

=

2

2

sin

2

2

.

sin

2

1

2

LT

=

(3.20)

(

kx

t

)

dx

dt

(

1

cos

2

(

kx

t

)

dx

.

dt

2

1

.

sin

2





=

(

)

dt

k

t

kx

x

L O T O





=

2

2

sin

2

1

2

LT

=

(3.21)

=

h

k

kh

LT

h

kh

w

a

sinh

2

2

2

sinh

2

1

E

2 2 2 k

k

kh

kh

kh

LT

a

2

sinh

cosh

sinh

2 2 2

8

=

kh

gk

LT

a

fg

tanh

2 2

8

=

LT

H

2

16

=

(3.22) Kerapatan Energi :

16

16

1

2

H

2

LT

H

=

 

=

LT

E

k (3.23) Energi Potensial :

dt

dx

L O T O

.

2

1

2

=



p

E

(38)

dt

t

kx

H

)

(

cos

2

2

1

2 2

=

 

LT

H

LT

H

16

2

2 2

=

=

8

(3.24) Kerapatan Energi :

16

16

1

2

H

2

LT

H

LT

=





 

=

p

E

(3.25)

Total kerapatan energi :

2

8

16

16

E

2 2 2 2

a

H

H

H

=

=

+

=

(3.26) Dapat disimpulkan bahwa kerapatan energi per satuan luas permukaan tidak tergantung pada besarnya kedalaman perairan dan periode gelombang, tetapi hanya bergantung dari tinggi gelombang.

3.7.Analisis Statistik Gelombang dan Spektrum Gelombang

Analisis statistik gelombang dan spektrum gelombang adalah cara untuk menggambarkan karakteristik gelombang, yang antara lain menyajikan nilai tinggi gelombang signifikan pada suatu lokasi tinjau.

3.7.1 Analisis Statistik Gelombang6

Berdasarkan tujuannya analisis statistik gelombang dapat dibedakan menjadi empat hal (Yuwono, 1992), yaitu :

1. Evaluasi distribusi probabilitas tinggi gelombang dari suatu hasil pencatatan yang lamanya berkisar antara 10 s/d 20 menit. Analisis ini ditujukan terutama untuk mendapat H100, H33, H10, atau H1/100, H1/10, H1/3,

(short term).

2. Menentukan masa ulang atau kejadian gelombang ekstrim. Data gelombang yang diolah biasanya lebih dari 10 tahun. Analisis ini ditujukan untuk mendapat periode ulang dari gelombang signifikan misal (Hs)20th, (Hs)50th, (H0.01)25th, dan seterusnya. (long term).

3. Menentukan spektrum energi gelombang (short term). Analisis ini ditujukan untuk mendapat informasi mengenai komposisi gelombang,

6 Nur Yuwono, Dasar-dasar Perencanaan Bangunan Pantai, Yogyakarta, KMTSFT-UGM,

(39)

yaitu dengan ditunjukkan dengan lebar dan sempit spektrum. Analisis ini juga dapat dipergunakan untuk menentukan gelombang signifikan (Hs).

4. Menentukan distribusi arah gelombang (medium term)

Analisis ini ditujukan untuk mendapatkan informasi distribusi arah gelombang pada suatu pantai atau laut. Biasanya hasil dari analisis ini berupa mawar gelombang (wave rose) dan hasil ini sangat berguna untuk perhitungan angkutan sedimen termasuk perhitungan perubahan garis pantai. Biasanya diperlukan data selama 5 sampai 10 tahun.

Berdasarkan data tinggi gelombang laut dapat ditentukan fungsi distribusi probabilitas gelombang laut, sedangkan berdasarkan waktu periode dapat ditentukan bentuk spektrum gelombang laut.

3.7.2. Spektrum Gelombang6

Data pencatatan/rekaman gelombang selama 15-20 menit dibutuhkan untuk keperluan analisis spektrum gelombang. Diskusi tentang prosedur untuk mendapatkan spektrum energi ini diberikan oleh Blackman dan Tuckey (1958), Kinsman (1965), dan Harris (1974). Pada tahun 1967, Cooley dan Tuckey memperbaiki prosedur yang sebelumnya telah ia kembangkan dengan prosedure “Fast Fourier Transform, FFT”.

Prinsip analisis spektrum gelombang adalah menguraikan suatu gelombang irreguler (tidak teratur) menjadi suatu susunan dari gelombang teratur dari berbagai frequensi dan tinggi gelombang (lihat Gambar 3.4).

Periode gelombang signifikan adalah periode gelombang yang mempunyai kerapatan energi (energy density) maksimum dari suatu spektrum (lihat Gambar 3.5).

Bretschneider (1959) mengusulkan spektrum yang didasarkan pada periode dan tinggi gelombang rata-rata sbb.:

SH2

(T)= 3,44

(H̅)2T3𝑒−0,675(TF)4

(T̅)4 (3.27) Dengan: H̅ = tinggi gelombang rerata = H100

= periode gelombang rerata

6 Nur Yuwono, Dasar-dasar Perencanaan Bangunan Pantai, Yogyakarta, KMTSFT-UGM, 1992.

(40)

Gambar 3.4 Asumsi penyusunan gelombang irregular 6

Gambar 3.5 Contoh spektrum energi gelombang 6

Pierson dan Moskowitz (1964) mengadakan evaluasi hasil pencatatan gelombang yang dilakukan oleh “British ships” di Atlantic Utara. Dari pencatatan tersebut dipilih gelombang yang ditimbulkan oleh angin dengan kecepatan 20-40 knots (1 knot = 0,514 m/det) (1 knot = 1852/jam = 1 mil/jam). Hasil evaluasi tersebut digunakan Pierson dan Moskowitz untuk membuat spektrum sintetik yang dirumuskan sebagai berikut.: 6

SH2 (T)=

8,1 10−3 g2 T3𝑒−0,74(2πUgT)4

(2𝜋)4 (3.29) U adalah kecepatan angin pada elevasi 19,5 m di atas muka air laut. Spektrum Pierson dan Moskowitz dipakai secara luas sebagai spektrum rencana. Spektrum ini diturunkan berdasar kondisi Fully Developed Sea (FDS). 6

(41)

H33 = 0,0056 U2 (m) (3.30)

T33 = T̅ 0,33 U (detik) (3.31)

Keterangan: U dalam knots

3.7.3. Tinggi Gelombang Signifikan

Tinggi Gelombang Signifikan (Significant Wave Height), Hs adalah parameter yang paling sering digunakan untuk menggambarkan keadaan laut. Secara historis, Hs didefinisikan sebagai berikut: dari seri waktu rekaman tinggi gelombang yang

diambil selama prevalensi satu keadaan laut tertentu, ketiga terbesar dipilih (prevalensi adalah proporsi dari populasi yang memiliki karakteristik tertentu dalam jangka waktu tertentu).

Dengan demikian tinggi gelombang yang signifikan biasanya agak mirip dengan tinggi gelombang yang akan dilaporkan oleh pengamat yang berpengalaman sebagai tinggi gelombang yang berlaku dengan pengamatan visual. 7

Istilah ini awalnya diciptakan oleh Walter Munk selama Perang Dunia II, ketika upaya pertama untuk peramalan gelombang dikembangkan dalam persiapan operasi pendaratan AS dan istilah "tinggi gelombang signifikan" berhubungan dengan ketinggian gelombang yang dirasakan oleh pengemudi pendaratan kapal (the drivers of the landing crafts).7

Jadi mengacu pada seri waktu rekaman tinggi gelombang, maka Hs sama dengan rata-rata tinggi gelombang (dari puncak ke lembah) dari sepertiga gelombang laut tertinggi. Rata-rata dari sepertiga gelombang terbesar (H1/3) ini kemudian disebut

sebagai tinggi gelombang (H) yang signifikan yang mencirikan keadaan laut tertentu.

Hs juga dapat ditentukan dari spektrum gelombang. Untuk hal ini, spektrum

biasanya dinyatakan dalam bentuk momen-momen spektrum (distribusi), dimana momen-urutan ke-n mn dari spektrum didefinisikan oleh persamaan 3.32 berikut: 7

𝑚𝑛= ∫ ∫ 𝜔𝑛 ∞

0 𝐹2(𝜔, Φ)𝑑𝜔 𝑑Φ ∞

0 (3.32) Dalam definisi ini momen urutan nol m0 mewakili varians dari bidang gelombang

(wave field). Oleh karena itu digunakan untuk definisi parameter tinggi gelombang yang berasal dari spektrum. Dapat ditunjukkan bahwa parameter tinggi gelombang

7 Ralf Weisse dan Hans Von Storch, Marine Climate and Climate Change. Storms, Wind Waves,

(42)

yang sesuai/sedekat mungkin dengan tinggi gelombang signifikan Hs yang berasal

dari rekaman gelombang dapat diperoleh dengan persamaan 3.33. 7

H𝑚0 = 4 √∫𝜔,Φ𝐹2 (ω, Φ)dωdΦ = 4 √𝑚0 (3.33) Dalam teori korespondensi antara Hmo dan H1/3 hanya berlaku untuk spektrum yang

sangat sempit, tetapi dalam banyak kasus perbedaannya hanya 5% (WMO, 1998). Karena kedua definisi tinggi gelombang signifikan menghasilkan hasil yang sedikit berbeda, tinggi gelombang signifikan yang ditentukan dari spektrum umumnya disebut sebagai Hmo untuk membedakannya dari H1/3 yang berasal dari

rekaman gelombang.

Parameter berikut ini juga sering digunakan: frekuensi gelombang puncak fp (the

peak wave frequency) adalah frekuensi yang sesuai dengan puncak spektrum; yaitu, frekuensi dimana ∫ 𝐹2(𝜔, Φ)dΦ = max. Periode puncak Tp (the peak

period) adalah periode yang sesuai dengan fp.

Periode Tm01 didefinisikan oleh Tm01 = 𝑚0

𝑚1

dan mewakili periode gelombang yang sesuai dengan frekuensi rata-rata dari spektrum.

Periode Tm02 didefinisikan oleh Tm02 = √ 𝑚0

𝑚2 . Secara teoritis, ini setara dengan periode zero-downcrossing rata-rata yang diperoleh dari rekaman gelombang. Periode Tm02 peka terhadap frekuensi tinggi terputus (cut-off) dalam integrasi

persamaan 3.32. Untuk data buoy, batas ini biasanya terjadi pada sekitar 0,5 Hz. 7

LATIHAN 1 PERSAMAAN GERAK GELOMBANG

Gambarkan gelombang (fluktuasi muka air laut, ɳ) dari persamaan gerak gelombang sebagai berikut: ɳ =a cos(2𝜋𝑥𝐿 −2𝜋𝑡𝑇 ) ; dimana a= 𝐻

2 dan 𝜋 = 180 ° untuk t = 0, 1 4 T, 2 4T , ¾ T danT serta x = 0, 1 4L , 2 4 L , ¾L , danL. Data tinggi gelombang, H tergantung angka akhir dari NRP/NIM anda (NRP=Nomor Registrasi Pokok, NIM=Nomor Induk Mahasiswa), sbb.:

NRP ... 1 sampai ... 5 , H = 1,5 m ... 6 sampai ... 0 , H = 1,9 m

(43)

39

4

PERAMALAN DAN

TRANSFORMASI GELOMBANG

4.1.Peramalan Gelombang (Wave Hindcasting)

Karakteristik gelombang (H=tinggi gelombang dan T=periode gelombang) di laut dapat diperoleh dari peramalan dan pengamatan. Peramalan gelombang dari data angin (wind wave hindcasting) meliputi:

a. Peramalan gelombang pada satu titik koordinat lokasi, dengan metoda a.l.: grafik Groen and Dorrestein, grafik atau persamaan dari Shore Protection Manual (SPM) US Army.

Data yang dibutuhkan: kecepatan dan arah datang angin, durasi angin bertiup, dan peta lokasi untuk menghitung fetch.

b. Peramalan gelombang pada suatu kawasan, dengan pemodelan numerik a.l.:

Simulating WAves Nearshore (SWAN), Wavewatch III, Windwave-5, WAve Model (WAM).

Data yang dibutuhkan: kecepatan dan arah datang angin untuk rentang waktu tertentu, peta lokasi, peta bathimetri yang telah didigitasi.

Contoh hasil peramalan gelombang dengan SWAN pada perairan antara Pulau Sumatera, Jawa, dan Kalimantan seperti ditampilkan pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1Contoh hasil peramalan gelombang dengan SWAN pada perairan antara Pulau Sumatera, Jawa, dan Kalimantan(Muliati, 2018)

Samudera Hindia

(44)

40

Data angin dapat diperoleh di Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) di Jakarta, maupun di semua stasiun BMKG di bandara se-Indonesia. Selain itu dapat pula dengan mengunduh (download) dari lembaga klimatologi di Eropa atau negara lain, seperti European Centre for Medium-Range Weather Forecasts (ECMWF), dan National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) dari Amerika Serikat.

Pembangkitan Gelombang oleh Angin

Gaya pembangkit yang paling umum untuk gelombang air adalah angin. Saat angin bertiup melintasi permukaan air, gesekan atau tarikan antara udara dan air cenderung membentur permukaan air, sehingga permukaan yang semula tenang, akan tampak gangguan pada permukaan tersebut, dengan timbulnya riak gelombang kecil (ripples). Apabila kecepatan angin bertambah, maka riak tersebut menjadi semakin besar, dan jika angin bertiup/berhembus lebih lama di atas air, maka akan terbentuk gelombang. Semakin lama durasi angin bertiup, semakin kuat angin berhembus, dan semakin panjang daerah pembangkitan gelombang, maka gelombang yang terbentuk menjadi semakin besar. Oleh karena itu pembangkitan gelombang oleh angin sangat tergantung pada parameter berikut ini:

1. Kecepatan angin rata-rata di permukaan air (W atau U) 2. Arah datang angin

3. Panjang daerah pembangkitan gelombang, dengan kecepatan dan arah angin yang konstan (fetch, F)

4. Lama hembus angin atau durasi angin bertiup pada fetch (t)

Kecepatan angin rata-rata di permukaan air diperoleh setelah terlebih dahulu melakukan analisis distribusi arah datang angin, yaitu meninjau angin yang terjadi pada suatu tempat dari berbagai arah. Arah yang ditinjau umumnya mengacu pada 8 arah mata angin, yaitu dengan interval 450 dengan batasan sebagai berikut:

1. Utara (337,5 ≤ x < 3600 atau 00 x < 22,5) 2. Timur Laut (22,50 x < 67,50) 3. Timur (67,50 x < 112,50) 4. Tenggara (112,50 x < 157,50) 5. Selatan (157,50 x < 202,5,50) 6. Barat Daya (202,50 x < 247,50) 7. Barat (247,50 x < 292,50) 8. Barat Laut (292,50 x < 337,50)

Satuan kecepatan angin dalam knot atau dalam m/s, dimana 1 knot = 1 nautical mile/hour = 1 nm/hr = 0,5148 m/s.

Secara visual, hasil analisis distribusi angin umumnya ditampilkan dalam bentuk mawar angin (windrose) seperti contoh pada Gambar 4.2.

Gambar

Gambar 1.6 Lokasi Muara dan Pantai di Indonesia yang Mengalami Permasalahan (di luar Jawa, Bali, dan Lombok), (Syamsudin, 2000)
Gambar 1.7 Lokasi Muara dan Pantai di Jawa yang Mengalami Permasalahan (Syamsudin, 2000)
Gambar 1.8 Lokasi Muara dan Pantai di Bali dan Lombok yang Mengalami Permasalahan  (Syamsudin, 2000)
Gambar 2.3 Posisi matahari, bumi, dan bulan saat pasang purnama dan pasang perbani  (Sumber: www.bayoffundy.com)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Formula yang paling cocok untuk perhitungan perubahan garis pantai di sekitar muara kali Porong adalah formula transpor sedimen sepanjang pantai dari Komar,

Untuk lebih menggali preferensi wisatawan terkait perubahan iklim yang mungkin terjadi pada masa yang akan datang di Kawasan Pantai Pangandaran maka dilakukan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Analisa Perubahan Garis Pantai Manggar Baru mengalami perubahan garis pantai jika tidak diberi penangganan, perubahan garis pantai ini

Penelitian ini memiliki tujuan untuk menegetahui perubahan garis pantai yang terjadi di kawasan kepesisiran Kabupaten Tuban bagian barat, yaitu Kecamatan Bancar, Tambakboyo, dan

dalam selang waktu pengamatan. Hasil perhitungan perubahan garis pantai menggunakan rumus BILKO, secara keseluruhan hasil perubahan garis pantai di kawasan pesisir

Penelitian ini memiliki tujuan untuk menegetahui perubahan garis pantai yang terjadi di kawasan kepesisiran Kabupaten Tuban bagian barat, yaitu Kecamatan Bancar, Tambakboyo, dan

Berdasarkan hasil output baik dari data lapangan maupun hasil interpratasi citra, diketahui bahwa morfologi pantai di pantai slamaran memiliki satu jenis bentuk

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui : 1 perpindahan garis pantai dengan integrasi citra landsat, 2 perubahan morfologi pantai dengan integrasi citra berkualitas high