BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Corporate Governance
GCG ialah suatu sistem (input, proses, output) dan seperangkat
peraturan yang mengatur hubungan antara berbagai pihak yang
berkepentingan (stakeholders) terutama dalam arti sempit hubungan antara
pemegang saham, dewan komisaris, dan dewan direksi demi tercapainya
tujuan perusahaan (Zarkasyi, 2008). Komite Cadbury mendefinisikan
corporate governance adalah sistem yang mengarahkan dan mengendalikan
perusahaan dengan tujuan, agar mencapai keseimbangan antara kekuatan
kewenangan yang diperlukan oleh perusahaan, untuk menjamin kelangsungan
eksistensinya dan pertanggungjawaban kepada stakeholders (Indra dan Ivan,
2006).
Corporate governance didefinisikan oleh Monks dan Minow dalam
Darmawati (2005) adalah sebagai hubungan partisipan dalam menentukan
arah dan kinerja. Corporate governance didefinisikan oleh IICG (Indonesian
Instituteof Corporate Governance) sebagai proses dan struktur yang
diterapkan dalam menjalankan perusahaan, dengan tujuan utama
meningkatkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang, dengan tetap
memperhatikan kepentingan stakeholders yang lain. Corporate governance
juga mensyaratkan adanya struktur perangkat untuk mencapai tujuan dan
Corporate governance (FCGI) didefinisikan sebagai seperangkat
peraturan yang menetapkan hubungan antara pemegang saham, pengurus,
pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan intern
dan ekstern lainnya sehubungan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, atau
dengan kata lain sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan.
Pengertian tentang corporate governance dapat dimasukkan dalam dua
kategori. Kategori pertama, lebih condong pada serangkaian pola perilaku
perusahaan yang diukur melalui kinerja, pertumbuhan, struktur pembiayaan,
perlakuan terhadap para pemegang saham, dan stakeholders. Kategori kedua
lebih melihat pada kerangka secara normatif, yaitu segala ketentuan hukum
baik yang berasal dari sistem hukum, sistem peradilan, pasar keuangan, dan
sebagainya yang mempengaruhi perilaku perusahaan. Corporate governance
merupakan kumpulan hukum, peraturan dan kaidah yang wajib dipenuhi,
yang dapat mendorong kinerja perusahaan bekerja secara efisien,
menghasilkan nilai ekonomi jangka panjang yang berkesinambungan bagi
para pemegang saham maupun masyarakat sekitar secara keseluruhan
(Wardani, 2008).
2.2 Prinsip-prinsip Corporate Governance
Prinsip-prinsip dasar dari good corporate governance (GCG) pada
dasarnya memiliki tujuan untuk memberikan kemajuan terhadap kinerja suatu
perusahaan. Secara umum, penerapan prinsip Good Corporate Governance
1. Memudahkan akses terhadap investasi domestik maupun asing
2. Mendapatkan cost of capital yang lebih murah.
3. Memberikan keputusan yang lebih baik dalam meningkatkan
kinerja ekonomi perusahaan.
4. Meningkatkan keyakinan dan kepercayaan dari stakeholders
terhadap perusahaan.
5. Melindungi direksi dan komisaris dari tuntutan hukum.
Dari berbagai tujuan tersebut, pemenuhan kepentingan seluruh
stakeholders secara seimbang berdasarkan peran dan fungsinya
masing-masing dalam suatu perusahaan, merupakan tujuan utama yang
hendak dicapai. Prinsip-prinsip utama dari good corporate governance
yang menjadi indikator, sebagaimana ditawarkan oleh Organization
for Economic Cooperation andDevelopment (OECD) adalah :
1. Fairness (Keadilan)
Prinsip keadilan (fairness) merupakan prinsip perlakuan yang adil
bagi seluruh pemegang saham. Keadilan yang diartikan sebagai
perlakuan yang sama terhadap para pemegang saham, terutama
kepada pemegang saham minoritas dan pemegang saham asing dari
kecurangan, dan kesalahan perilaku insider. Dalam melaksanakan
kegiatannya, perusahaan harus senantiasa memperhatikan
kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya
2. Disclosure/Transparency (Keterbukaan/Transparansi)
Transparansi adalah adanya pengungkapan yang akurat dan tepat
pada waktunya serta transparansi atas hal penting bagi kinerja
perusahaan, kepemilikan, serta pemegang kepentingan. Untuk
menjaga obyektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus
menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara
yang mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan.
Perusahaan harus mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak
hanya masalah yang disyaratkan oleh peraturan
perundang-undangan, tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan
keputusan oleh pemegang saham, kreditur dan pemangku
kepentingan lainnya.
3. Accountability (Akuntabilitas)
Akuntabilitas menekankan pada pentingnya penciptaan sistem
pengawasan yang efektif berdasarkan pembagian kekuasaan antara
komisaris, direksi, dan pemegang saham yang meliputi monitoring,
evaluasi, dan pengendalian terhadap manajemen untuk meyakinkan
bahwa manajemen bertindak sesuai dengan kepentingan pemegang
saham dan pihak-pihak berkepentingan lainnya. Perusahaan harus
dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan
wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar, terukur
dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap
kepentingan lain. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang
diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan.
4. Responsibility (Responsibilitas)
adalah adanya tanggung jawab pengurus dalam manajemen,
pengawasan manajemen serta pertanggungjawaban kepada
perusahaan dan para pemegang saham. Prinsip ini diwujudkan
dengan kesadaran bahwa tanggungjawab merupakan konsekuensi
logis dari adanya wewenang, menyadari akan adanya
tanggungjawab sosial, menghindari penyalahgunaan wewenang
kekuasaan, menjadi profesional dan menjunjung etika dan
memelihara bisnis yang sehat.
5. Independency (Independen)
Untuk melancarkan pelaksanaan asas GCG, perusahaan harus
dikelola secara independen sehingga masing-masing organ
perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi
oleh pihak lain. Independen diperlukan untuk menghindari adanya
potensi konflik kepentingan yang mungkin timbul oleh para
pemegang saham mayoritas. Mekanisme ini menuntut adanya
rentang kekuasaan antara komposisi komisaris, komite dalam
komisaris, dan pihak luar seperti auditor. Keputusan yang dibuat
dan proses yang terjadi harus obyektif tidak dipengaruhi oleh
Prinsip-prinsip transparansi, keadilan, akuntabilitas, responsibilitas
dan independen GCG dalam mengurus perusahaan, sebaiknya diimbangi
dengan good faith (bertindak atas itikad baik) dan kode etik perusahaan serta
pedoman GCG, agar visi dan misi perusahaan yang berwawasan internasional
dapat terwujud. Pedoman GCG yang telah dibuat oleh Komite Nasional
Corporate Governance hendaknya dijadikan kode etik perusahaan yang dapat
memberikan acuan pada pelaku usaha untuk melaksanakan GCG secara
konsisten dan konsekuen. Hal ini penting mengingat kecenderungan aktivitas
usaha yang semakin mengglobal dan dapat dijadikan sebagai ukuran
perusahaan untuk menghasilkan suatu kinerja perusahaan yang lebih baik.
2.3 Struktur Corporate Governance
Pada prinsipnya struktur corporate governance suatu struktur yang
mengatur pola hubungan harmonis tentangan peranan pengelola perusahaan
seperti kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, komisaris
independen dewan direksi dengan pemegang saham dan para stakeholder
lainnya. Struktur corporate governance terdiri dari berbagai pihak yang
mempunyai peran serta fungsi yang berbeda, untuk lebih jelasnya struktur
corporate governance yang akan di bahas dalam penelitian ini adalah:
2.3.1 Kepemilikan Institusional
Kepemilikan institusional adalah kepemilikan saham perusahaan
yang dimiliki institusi atau lembaga seperti perusahaan asuransi, bank,
Kepemilikan institusional dapat menekan kecenderungan manajemen
untuk memanfaatkan discretionary dalam laporan keuangan sehingga
memberikan kualitas laba yang dilaporkan. Prosentase saham tertentu
yang dimiliki oleh institusi dapat mempengaruhi proses penyusunan
laporan keuangan yang tidak menutup kemungkinan terdapat
akrualisasi sesuai pihak manajemen (Jati, 2009).
Kepemilikan ini mempunyai karakteristik yang kuat untuk
melakukan pengawasan pada perusahaan mengingat institusi
mempunyai sumberdaya dan sumberdana yang kuat dibandingkan
kepemilikan perorangan sehingga pengawasan yang lebih kuat tersebut
dapat berpengaruh pada peningkatan kinerja perusahaan. Kepemilikan
institusional dapat diindikasikan dari jumlah kepemilikan saham yang
beredar, dalam hal ini institusi pendiri perusahaan, bukan institusi
pemegang saham publik (Praditya, 2010). Semakin besar kepemilikan
institusional maka semakin efisien pemanfaatan aktiva perusahaan dan
diharapkan juga dapat bertindak sebagai pencegah terhadap
pemborosan yang dilakukan oleh manajemen (Faisal, 2005).
2.3.2 Kepemilikan Manajerial
Kepemilikan manajerial adalah situasi dimana manajer memiliki
saham perusahaan atau dengan kata lain manajer tersebut sekaligus
sebagai pemegang saham perusahaan. Kepemilikan manajerial dapat
dari seluruh modal saham yang dikelola. Kepemilikan manajerial dapat
dihitung dari prosentase jumlah saham yang dimiliki pihak manajemen
dari seluruh modal perusahaan yang beredar (Jati, 2009).
Menurut Morck et el. (1998) dalam Faisal (2005) menyatakan
adanya hubungan positif antara kepemilikana manajerial dengan nilai
perusahaan. Besar kecilnya jumlah saham manajerial dalam perusahaan
dapat mengindikasikan adanya kesamaaan kepentingan antara
manajemen dan pemegang saham. Perusahaan dengan jumlah
kepemilikan saham yang besar seharusnya mempunyai konflik
keagenan yang rendah dapat direflesikan dari tingginya tingkat
perputaran aktiva perusahaan dan rendahnya beban operasi terhadap
penjualan (Faisal, 2005).
Perbedaan kepentingan antara manajer dan pemegang saham ini
mengakibatkan timbulnya konflik yang di sebut agency conflict.
Konflik kepentingan yang sangat potensial ini menyebabkan pentingnya
suatu mekanisme yang di terapkan guna melindungi kepentingan
pemegang saham (Jensen dan Meckling, 1976 dalam Permanasari,
2010). Mekanisme pengawasan terhadap manajemen tersebut
menimbulkan suatu biaya yaitu biaya keagenan, oleh karena itu salah
satu cara untuk mengurangi agency cost adalah dengan adanya
kepemilikan saham oleh pihak manajemen. Dengan adanya
kepemilikan manajemen dalam sebuah perusahaan akan menimbulkan
manajemen yang meningkat. Kepemilikan oleh manajemen yang besar
akan efektif memonitoring aktivitas perusahaan.
2.3.3 Dewan Komisaris Independen
Komisaris independen adalah anggota dewan komisaris yang
tidak memiliki hubungan keuangan, kepengurusan, kepemilikan saham
atau hubungan keluarga dengan anggota dewan komisaris lainnya,
direksi dan atau pemegang saham pengendali atau hubungan lain yang
dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen
(http://.www.fgci.or.id/). Jumlah dewan independen komisaris semakin
banyak menandakan bahwa dewan komisaris yang melakukan
pengawasan dan koordinasi dalam perusahaan semakin baik. Karena
semakin banyak dewan komisaris independen maka tingkat integritas
pengawasan terhadap dewan direksi yang dihasilkan semakin tinggi,
dengan demikian maka akan semakin mewakili kepentingan
stakeholder selain dari pada kepentingan pemegang saham mayoritas
dan dampaknya akan semakin baik terhadap nilai perusahaan (Riezka,
2010). Penelitian dewan komisaris independen telah dilakukan oleh
Herawaty (2008) yang menyatakan bahwa dewan komisaris independen
2.3.4 Dewan Direksi
Komposisi dewan direksi sering digunakan untuk
mengidentifikasi keberadaan kolusi dan dominasi direksi. Jumlah
dewan direksi yang besar kurang efektif dalam memonitor manajemen.
Dewan direksi sangat berpengaruh diperusahaan karena dewan direksi
adalah eksekutor dalam perusahaan. Dewan direksi diukur dengan
jumlah anggota dewan direksi (Jati, 2009). Direksi sebagai organ
perusahaan bertugas dan bertanggungjawab secara kolegial dalam
mengelola perusahaan. Masing-masing anggota direksi dapat
melaksanakan tugas dan mengambil keputusan sesuai dengan
pembagian tugas dan wewenangnya. Namun pelaksanaan tugas oleh
masing-masing anggota direksi tetap merupakan tanggung jawab
bersama. Kedudukan masing-masing anggota direksi termasuk direktur
utama adalah setara. Tugas direktur utama sebagai primus inter pares
adalah mengkoordinasikan kegiatan direksi (Muthaher, 2010). Dalton et
el.(1999) dalam Darmawanti, dkk. (2005). Menyatakan adanya
hubungan antara ukuran dewan dengan kinerja perusahaan.
Perusahaan yang memiliki ukuran dewan direksi yang besar
tidak bisa melakukan koordinasi, komunikasi dan pengambilan
keputusan yang lebih baik dibandingkan dengan perusahaan yang
memiliki dewan direksi yang kecil sehingga nilai perusahaan yang
perusahaan yang memiliki dewan direksi lebih sedikit (Jensen et al,
1996 dalam Sam’ani, 2008).
2.4 Leverage
Leverage adalah hutang sumber dana yang digunakan perusahaan
untuk membiayai asetnya diluar sumber dana modal atau ekuitas. Leverage
dibagi menjadi dua yaitu leverage operasi (operating leverage) dan leverage
keuangan (financial leverage). Leverage operasi adalah suatu indikator
perubahan laba bersih yang diakibatkan oleh besarnya volume penjualan
sedangkan leverage keuangan menunjukkan kemampuan perusahaan dalam
membayar hutang dengan equity yang dimilikinya.
Leverage merupakan pengukuran besarnya aktiva yang dibiayai
dengan hutang. Dan hutang yang untuk membiayai aktiva dari kreditor bukan
dari pemegang saham ataupun investor. Menurut Faisal (2005) leverage dapat
mempresentasikan sebuah pengendalian eksternal dari corporate governance.
Pemegang utang (debtholders) berkepentingan untuk melindungi investasinya
dalam perusahaan dan akan secara aktif memonitor seberapa besar tingkat
leverage perusahaan tersebut.
2.5 Ukuran Perusahaan
Salah satu tolak ukur yang menunjukan besar kecilnya perusahaan
adalah ukuran perusahaan. Semakin besar aset maka semakin banyak modal
yang ditanam, semakin banyak penjualan maka semakin banyak perputaran
dalam masyarakat (Ningsaptiti, 2010). Ukuran perusahaan menunjukan
pengalaman dan kemampuan suatu perusahaan yang megindikasikan
kemampuan dalam mengelola tingkat resiko investasi yang diberikan para
stakeholder untuk meningkatkan kemakmuran mereka (Daniati, 2006).
Faktor ukuran perusahaan yang mempengaruhi besar kecilnya
perusahaan merupakan faktor penting dalam pembentukan laba. Perusahaan
yang besar yang dianggap telah mencapai tahap kedewasaan merupakaan
suatu gambaran bahwa perusahaan tersebut relatif stabil dan lebih mampu
menghasilkan laba di bandingkan perusahaan kecil. Bagi perusahaan yang
stabil biasanya dapat memprediksi jumlah keuntungan di tahun–tahun
mendatang kaena tingkat kepastian laba sangat tinggi. Sebaliknya bagi
perusahaan yang belum mapan, besar kemungkinan laba yang diperoleh juga
belum stabil karena kepastian laba lebih rendah (Sembiring, 2008).
Banyak penelitian yang merekomendasikan bahwa ukuran perusahaan
(company size) yang di ukur dengan total aset mempengaruhi kinerja
perusahaan. Ukuran adalah variabel yang banyak di gunakan dalam studi
mengenai kinerja perusahaan, karena variabel ini telah diidentifikasikan sejak
lama sebagai variabel penjelas yang cukup signifikan (Zimerman J.L dalam
Setiawan, 2005). Rachmawati dan Hanung (2007) melakukan penelitian
mengenai analisis faktor yang mempengaruhi kualitas laba dan nilai
perusahaan. Hasilnya kepemilikan institusioanal, ukuran perusahaan
2.6 Kinerja Perusahaan
Kinerja perusahaan adalah penentuan ukuran-ukuran tertentu yang
dapat mengukur keberhasilan suatu perusahaan dalam menghasilkan laba
(Dessy, 2008). Kinerja juga merupakan hal penting yang harus dicapai oleh
setiap perusahaan dimanapun, karena kinerja merupakan cerminan dari
kemampuan perusahaan dalam mengalokasikan sumber dayanya. Penilaian
kinerja adalah penentuan secara periodik efektivitas operasional suatu
organisasi, bagian organisasi dan karyawan berdasarkan sasaran, standar dan
kinerja yang telah ditetapkan sebelumnya. Sedangkan Kinerja perusahaan
sendiri adalah kemampuan perusahaan dalam menjelaskan operasionalnya.
Penilaian kinerja perusahaan dapat dilihat dari segi analisis laporan keuangan
dan dari segi perubahan harga saham. Nilai perusahaan akan tercermin dari
harga sahamnyaFama, (1978) dalam Dessy, (2008). Kinerja adalah suatu
tampilan keadaan secara utuh atas perusahaan selama periode waktu tertentu
yang merupakan hasil atau prestasi yang dipengaruhi oleh kegiatan
operasional perusahaan dalam memanfaatkan sumber-sumber daya yang
dimiliki Helfert, (1996) dalam Nuswandari (2009).
Kinerja merupakan cerminan dari kemampuan perusahaan dalam
mengelola dan mengalokasikan sumberdayanya. Tujuan dari penilaian kinerja
adalah untuk memotivasi karyawan dalam mencapai sasaran organisasi dan
dalam memenuhi standar perilaku yang telah ditetapkan sebelumnya agar
membedakan hasil dan tindakan yang diinginkan. Standar perilaku dapat
anggaran. Berikut ini adalah beberapa rasio yang digunakan untuk mengukur
kinerja perusahaan Ang, (1997 dalam Sabrina, (2010):
1. Rasio likuiditas
Rasio likuiditas adalah rasio yang menunjukkan kemampuan
perusahaan untuk memenuhi kewajiban finansial yang berjangka pendek
tepat pada waktunya. Likuiditas merupakan suatu indikator mengenai
kemampuan perusahaan untuk membayar semua kewajiban finansial
jangka pendek pada saat jatuh tempo dengan menggunakan aktiva lancar
yang tersedia. Likuiditas tidak hanya berkenaan dengan keadaan
keseluruhan keuangan perusahaan, tetapi juga berkaitan dengan
kemampuannya untuk mengubah aktiva lancar tertentu menjadi uang kas.
Ada tiga cara dalam pengukuran tingkat likuiditas (Syamsuddin, 2009):
1. Net working capital
Net working capital merupakan selisih antara current asset /
aktiva lancar dengan current liabilities/utang lancar (Syamsuddin,
2009). Secara matematis Net Working Capital dirumuskan sebagai
berikut:
Net Working Capital = aktiva lancar-utang lancar
2. Current Ratio
Current Ratio merupakan salah satu rasio finansial yang sering
digunakan. Tingkat Current Ratio dapat ditentukan dengan jalan
(Syamsuddin, 2009). Seraca matematis Current Ratio dirumuskan
sebagai berikut:
Current Rati
=
𝐚𝐚𝐚𝐚𝐚𝐚𝐚𝐚𝐚𝐚𝐚𝐚𝐥𝐥𝐚𝐚𝐥𝐥𝐥𝐥𝐚𝐚𝐥𝐥𝐮𝐮𝐚𝐚𝐚𝐚𝐥𝐥𝐮𝐮𝐥𝐥𝐚𝐚𝐥𝐥𝐥𝐥𝐚𝐚𝐥𝐥
3. Acid-test Ratio/Quick Ratio
Acid-test Ratio hampir sama dengan Current Ratio hanya saja
jumlah persediaan (inventory) sebagai salah satu komponen dari aktiva
lancar harus dikeluarkan. Alasan yang melatarbelakangi hal tersebut
adalah bahwa persediaan merupakan komponen aktiva lancar yang
paling tidak likuid atau sulit untuk diuangkan dengan segera tanpa
menurunkan nilainya, sementara dengan Acid-test Ratio dimaksudkan
untuk membandingkan aktiva yang lebih lancar (Quick Assets) dengan
utang lancar (Syamsuddin, 2009). Secara matematis Acid-test Ratio
dirumuskan sebagai berikut:
Acid-test Ratio
=
𝐚𝐚𝐚𝐚𝐚𝐚𝐚𝐚𝐚𝐚𝐚𝐚𝐥𝐥𝐚𝐚𝐥𝐥𝐥𝐥𝐚𝐚𝐥𝐥−𝐩𝐩𝐩𝐩𝐥𝐥𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩𝐚𝐚𝐚𝐚𝐚𝐚𝐥𝐥 𝐮𝐮𝐚𝐚𝐚𝐚𝐥𝐥𝐮𝐮𝐥𝐥𝐚𝐚𝐥𝐥𝐥𝐥𝐚𝐚𝐥𝐥Penelitian yang dilakukan oleh Kartika (2010), menyatakan bahwa
variabel likuiditas tidak berpengaruh terhadap pengungkapan
tanggungjawab sosial perusahaan. Sedangkan secara bersama-sama
variabel size perusahaan, profitabilitas, basis perusahaan, tipe
perusahaan, likuiditas berpengaruh terhadap pengungkapan
tanggungjawab sosial perusahaan. Likuiditas menunjukan kondisi
keuangan perusahaan. Perusahaan yang mempunyai cukup
perusahaan yang likuid. Suatu perusahaan dikatakan likuid atau
mempunyai posisi keuangan yang kuat apabila mampu:
1. Memenuhi kewajiban-kewajibannya tepat pada waktunya.
2. Memelihara modal kerja yang cukup untuk operasi yang
normal.
3. Membayar bunga dan deviden yang dibutuhkan.
4. Memelihara tingkat kredit yang menguntungkan.
Perusahaan dengan likuiditas yang tinggi akan cenderung untuk
melakukan pengungkapan yang lebih karena ingin menujukkan
kinerja perusahaannya yang kredibel. Tetapi dilain pihak,
likuiditas dapat juga dipandang sebagai kinerja manajemen
dalam mengelola keuangan. Kondisi perusahaan sehat dapat
ditunjukan dari tingkat likuiditas yang berhubungan dengan
tingkat pengungkapan yang lebih Benardi (2007) dalam
Mahmudah (2011).
2. Rasio aktivitas
Rasio aktivitas adalah rasio yang menunjukkan bagaimana sumber
daya telah dimanfaatkan secara optimal, kemudian dengan cara
membandingkan rasio aktivitas dengan sadar industri, maka dapat
diketahui tingkat efisiensi perusahaan dalam industri. Rasio aktivitas
1. Perputaran Piutang (receivable turn over)
Kemampuan dana yang tertanam dalam piutang berputar dalam
periode tertentu
Rumus: receivable turn over= 𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒌𝒌𝒌𝒌𝒑𝒑𝒌𝒌𝒌𝒌𝒌𝒌 𝒑𝒑𝒌𝒌𝒑𝒑𝒌𝒌𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒌𝒌𝒑𝒑𝒌𝒌𝒑𝒑−𝒌𝒌𝒑𝒑𝒌𝒌𝒑𝒑
Semakin tinggi perputaran menunjukan modal kerja yang tertanam
dalam piutang semakin rendah, sebaliknya semakin rendah rasio
berarti ada over invesment dalam piutang.
Penuruna rasio dapat disebabkan oleh faktor sebagai berikut :
- Turunya penjualan dan naiknya piutang
- Turunya piutang dan diikuti penjualan dalam jumlah lebih
besar
- Naiknya penjualan diikuti naiknya piutang dalam jumlah
yang lebih besar
- Turunya penjuan dengan piutang yang tetap
- Naiknya piutang sedangkan penjualan tidak berubah
2. Days of Receivable
Periode rata-rata diperlukan untuk mengumpulkan piutang
Rumus:Days of Receivable = 𝒑𝒑𝒌𝒌𝒑𝒑𝒌𝒌𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒌𝒌𝒑𝒑𝒌𝒌𝒑𝒑−𝒌𝒌𝒑𝒑𝒌𝒌𝒑𝒑𝒓𝒓𝟑𝟑𝟑𝟑𝟑𝟑𝒉𝒉𝒑𝒑𝒌𝒌𝒌𝒌 𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒌𝒌𝒌𝒌𝒑𝒑𝒌𝒌𝒌𝒌𝒌𝒌
Semakin besar periode rata- rata makan semakin besar resiko
3. Perputaran persediaan(inventory turn over)
Kemampuan dana yang tertanamdalam persediaan berputar dalam
periode tertentu.
Rumus :
inventory turn over = 𝒉𝒉𝒑𝒑𝒌𝒌𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒌𝒌𝒑𝒑𝒌𝒌𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑 𝒑𝒑𝒑𝒑𝒌𝒌𝒑𝒑𝒑𝒑𝒌𝒌𝒌𝒌𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒌𝒌𝒑𝒑𝒌𝒌𝒑𝒑−𝒌𝒌𝒑𝒑𝒌𝒌𝒑𝒑
Semakin tinggi perputaran menunjukan modal kerja yang tertanam
dalam persediaan semakin rendah, sebaliknya rasio semakin
rendah berarti ada over stock dalam persediaan.
4. Days of Inventory
Periode rata-rata persediaan digudang
Rumus :
Days of Inventory = 𝒑𝒑𝒑𝒑𝒌𝒌𝒑𝒑𝒑𝒑𝒌𝒌𝒌𝒌𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒌𝒌𝒑𝒑𝒌𝒌𝒑𝒑−𝒌𝒌𝒑𝒑𝒌𝒌𝒑𝒑𝑿𝑿𝟑𝟑𝟑𝟑𝟑𝟑𝒉𝒉𝒑𝒑𝒌𝒌𝒌𝒌 𝒉𝒉𝒑𝒑𝒌𝒌𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒌𝒌𝒑𝒑𝒌𝒌𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑
Semakin besar rata-rata, maka semakin besar resiko kemungkinan
persediaan berada digudang.
5. Perputaran modal kerja (working capital turn over)
Kemampuan modal kerja netto berputar dalam satu periode
tertentu (siklus kas dari perusahaan).
Rumus :
working capital turn over = 𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑
3. Rasio profitabilitas
Rasio profitabilitas dapat mengukur seberapa besar kemampuan
perusahaan memperoleh laba baik dalam hubungan penjualan, asset
maupun laba bagi modal sendiri. (Sulistiani, 2007). Ada beberapa rumus
yang dapat digunakan dalam menghitung profitabilitas, antara lain:
1. Operating Profit Margin
Operating Profit Margin digunakan untuk mengukur tingkat laba
usaha atau operasional dibagi penjualan bersih (Prihantini,2009).
Secara matemtis Operating Profit Margin dapat dirumuskan
sebagai berikut :
Operating Profit Margin
=
𝐥𝐥𝐚𝐚𝐥𝐥𝐚𝐚𝐮𝐮𝐩𝐩𝐚𝐚𝐮𝐮𝐚𝐚/𝐨𝐨𝐩𝐩𝐩𝐩𝐥𝐥𝐚𝐚𝐩𝐩𝐚𝐚 𝐩𝐩𝐩𝐩𝐥𝐥𝐩𝐩𝐮𝐮𝐚𝐚𝐥𝐥𝐚𝐚𝐥𝐥𝐥𝐥𝐩𝐩𝐥𝐥𝐩𝐩𝐚𝐚𝐮𝐮2. Net Profit Margin (NPM)
Net Profit Margin digunakan untuk mengukur presentase laba
bersih setelah pajak dibagi penjualan bersih (Prihantini,2009).
Secara matematis Net Profit Margin dapat dirumuskan sebagai
berikut :
Net Profit Margin
=
𝐥𝐥𝐚𝐚𝐥𝐥𝐚𝐚𝐮𝐮𝐩𝐩𝐚𝐚𝐮𝐮𝐚𝐚𝐥𝐥𝐩𝐩𝐥𝐥𝐩𝐩𝐚𝐚𝐮𝐮𝐩𝐩𝐩𝐩𝐚𝐚𝐩𝐩𝐥𝐥𝐚𝐚𝐮𝐮𝐩𝐩𝐚𝐚𝐩𝐩𝐚𝐚𝐚𝐚 𝐩𝐩𝐩𝐩𝐥𝐥𝐩𝐩𝐮𝐮𝐚𝐚𝐥𝐥𝐚𝐚𝐥𝐥𝐥𝐥𝐩𝐩𝐥𝐥𝐩𝐩𝐚𝐚𝐮𝐮3. Return on Asset (ROA)
Return on Asset (ROA) digunakan untuk mengukur efektifitas
perusahaan didalam menghasilkan keuntungan dengan
memanfaatkan aktiva yang dimilikinya. Return on Asset (ROA)
aktiva tetap (Prihantini,2009). Secara matematis Return on Asset
(ROA) dirumuskan sebagai berikut :
Return on Asset (ROA)
=
𝐥𝐥𝐚𝐚𝐥𝐥𝐚𝐚𝐥𝐥𝐩𝐩𝐥𝐥𝐩𝐩𝐚𝐚𝐮𝐮𝐩𝐩𝐩𝐩𝐚𝐚𝐩𝐩𝐥𝐥𝐚𝐚𝐮𝐮𝐩𝐩𝐚𝐚𝐩𝐩𝐚𝐚𝐚𝐚𝐥𝐥𝐚𝐚𝐚𝐚𝐚𝐚−𝐥𝐥𝐚𝐚𝐚𝐚𝐚𝐚𝐚𝐚𝐚𝐚𝐚𝐚𝐚𝐚𝐚𝐚𝐚𝐚𝐚𝐚𝐩𝐩𝐚𝐚𝐚𝐚𝐩𝐩
4. Return on Equity (ROE)
Return on Equity (ROE) digunakan untuk mengukur kemampuan
modal sendiri atau ekuitas dalam menghasilkan keuntungan.
Return on Equity (ROE) yaitu membagi laba bersih setelah pajak
(earning after tax) dengan modal sendiri atau ekuitas (Simanjuntak
dan Widiastuti,2004). Secara matematis Return on Equity (ROE)
dirumuskan sebagai berikut :
Return on Equity (ROE)
=
𝐥𝐥𝐚𝐚𝐥𝐥𝐚𝐚𝐥𝐥𝐩𝐩𝐥𝐥𝐩𝐩𝐚𝐚𝐮𝐮𝐩𝐩𝐩𝐩𝐚𝐚𝐩𝐩𝐥𝐥𝐚𝐚𝐮𝐮𝐩𝐩𝐚𝐚𝐩𝐩𝐚𝐚𝐚𝐚𝐚𝐚𝐨𝐨𝐚𝐚𝐚𝐚𝐥𝐥𝐩𝐩𝐚𝐚𝐮𝐮𝐚𝐚𝐚𝐚𝐚𝐚𝐩𝐩
5. Gross Profit Margin(GPM)
Gross Profit Margin digunakan untuk mengukur tingkat laba kotor
terhadap penjualan bersih perusahaan (Prihantini,2009). Secara
matematis Gross Profit Margin dirumuskan sebagai berikut :
Gross Profit Margin
=
𝐋𝐋𝐚𝐚𝐥𝐥𝐚𝐚𝐥𝐥𝐥𝐥𝐮𝐮𝐚𝐚𝐨𝐨𝐏𝐏𝐩𝐩𝐥𝐥𝐩𝐩𝐮𝐮𝐚𝐚𝐥𝐥𝐚𝐚𝐥𝐥𝐥𝐥𝐩𝐩𝐥𝐥𝐩𝐩𝐚𝐚𝐮𝐮
4. Rasio solvabilitas (Leverage)
Financial leverage menunjukkan proporsi atas penggunaan utang
untuk membiayai investasinya. Perusahaan yang tidak mempunyai
leverage berarti menggunakan modal sendiri 100%. Ada beberapa rumus
1. Debt to Equity Ratio (DER)
Debt to Equity Ratio (DER) mencerminkan kemampuan
perusahaan dalam memenuhi kewajibannya yang ditunjukkan oleh
beberapa bagian dari modal sendiri atau ekuitas yang digunakan
untuk membayar hutang. Debt to Equity Ratio (DER) merupakan
perbandingan antara total hutang yang dimiliki oleh perusahaan
dengan ekuitasnya (Prihantini,2009). Secara matematis Debt to
Equity Ratio (DER) dapat diformulisasikan sebagai berikut:
Debt to Equity Ratio (DER)
=
𝐓𝐓𝐨𝐨𝐚𝐚𝐚𝐚𝐥𝐥𝐩𝐩𝐩𝐩𝐥𝐥𝐚𝐚𝐓𝐓𝐨𝐨𝐚𝐚𝐚𝐚𝐥𝐥𝐩𝐩𝐞𝐞𝐮𝐮𝐚𝐚𝐚𝐚𝐞𝐞
2. Debt to Total Asset (DTA)
Debt to Total Asset (DTA) merupakan rasio antara total hutang
(total debt) baik hutang jangka pendek dan hutang jangka panjang
terhadap total aktiva (total assets) baik aktiva tetap, aktiva lancar
dan aktiv lainnya. Debt to Total Asset (DTA) menunjukkan
besarnya hutang yang digunakan untuk membiayai aktiva yang
digunakan oleh perusahaan dalam menjalankan aktivitas
operasionalnya (Risaptoko, 2007). Secara matematis Debt to Total
Asset (DTA) dapat dirumuskan sebagai berikut :
Debt to Total Asset (DTA)
=
𝐓𝐓𝐨𝐨𝐚𝐚𝐚𝐚𝐥𝐥𝐇𝐇𝐮𝐮𝐚𝐚𝐚𝐚𝐥𝐥𝐮𝐮3. Long Term Debt to Equity Ratio
Long Term Debt to Equity Ratio yaitu membandingkan sumber
pembiayaan jangka panjang terhadap modal pemegang saham
(Prihantini,2009). Secara Long Term Debt to Equity Ratio
matematis dapat dirumuskan sebagai berikut :
Long Term Debt to Equity Ratio
=
𝐓𝐓𝐨𝐨𝐚𝐚𝐚𝐚𝐥𝐥𝐊𝐊𝐩𝐩𝐊𝐊𝐚𝐚𝐩𝐩𝐚𝐚𝐥𝐥𝐚𝐚𝐥𝐥𝐉𝐉𝐚𝐚𝐥𝐥𝐮𝐮𝐚𝐚𝐚𝐚𝐏𝐏𝐚𝐚𝐥𝐥𝐩𝐩𝐚𝐚𝐥𝐥𝐮𝐮 𝐓𝐓𝐨𝐨𝐚𝐚𝐚𝐚𝐥𝐥𝐦𝐦𝐨𝐨𝐩𝐩𝐚𝐚𝐥𝐥𝐩𝐩𝐩𝐩𝐦𝐦𝐩𝐩𝐮𝐮𝐚𝐚𝐥𝐥𝐮𝐮𝐩𝐩𝐚𝐚𝐮𝐮𝐚𝐚𝐦𝐦Penelitian yang dilakukan oleh Untari (2010) menunjukan bahwa rasio leverage tidak berpengaruh terhadap pengungkapan
tanggungjawab sosial perusahaan. Sedangkan secara simultan
variabel size perusahaan, profitabilitas, leverage, umur perusahaan
berpengaruh terhadap pengungkapan tanggungjawab sosial.
5. Rasio Pasar (Market ratio)
Rasio ini menunjukkan informasi penting perusahaan yang
diungkapkan dalam basis per saham. Rasio nilai pasar perusahaan
memberikan indikasi bagi manajemen mengenai penilaian investor
terhadap kinerja perusahaan dimasa lampau dan prospeknya dimasa yang
akan mendatang. Informasi kinerja bermanfaat untuk mempredeksi
kapasitas perusahaan dalam arus kas dari sumber daya yang ada dan juga
untuk perumusan perimbangan tentang efektifitas perusahaan dalam
memanfaatkan sumber daya alam (Nuraeni, 2010 ). Adapun rumus yang
1. Price earning ratio
Harga pasar per saham terhadap laba per saham
Rumus : Price earning ratio = 𝒉𝒉𝒑𝒑𝒌𝒌𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒌𝒌𝒑𝒑𝒑𝒑𝒌𝒌𝒑𝒑𝒑𝒑𝒉𝒉𝒑𝒑𝒔𝒔 𝒑𝒑𝒑𝒑𝒍𝒍𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒌𝒌𝒑𝒑𝒑𝒑𝒉𝒉𝒑𝒑𝒔𝒔
Semakin tinggi risiko tinggi faktor diskonto dan semakin rendah
rasio P/E, semakin tinggi P/E, maka semakin bagus sebuah
perusahaan.
2. Rasio Harga Pasar terhadap nilai Buku (Market book value ratio)
Rumus : Market book value ratio = 𝒑𝒑𝒌𝒌𝒑𝒑𝒑𝒑𝒌𝒌𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒌𝒌𝒑𝒑𝒑𝒑𝒌𝒌𝒑𝒑𝒑𝒑𝒉𝒉𝒑𝒑𝒔𝒔 𝒑𝒑𝒌𝒌𝒑𝒑𝒑𝒑𝒌𝒌𝒍𝒍𝒑𝒑𝒌𝒌𝒑𝒑
Mengukur nilai yang diberikan pasar keuangan kepada manajemen
dan organisasi perusahaan sebagai sebuah perusahaan yang terus
tumbuh.
Suatu pengukuran adalah nilai kuantitatif yang dapat digunakan untuk
menjadi skala dan tujuan-tujuan perbandingan. Pengukuran kinerja dapat
berupa keuangan dan bukan keuangan. Pengukuran keuangan dinyatakan
dalam ketentuan moneter. Sedangkan pengukuran bukan keuangan adalah
data kuantitatif yang diciptakan diluar sistem akuntansi yang formal.
Pengukuran kinerja keuangan perusahaan dengan ROA menunjukkan
kemampuan atas modal yang diinvestasikan dalam keseluruhan aktiva yang
dimiliki perusahaan untuk menghasilkan laba. ROA yang negatif disebabkan
laba perusahaan dalam kondisi negatif pula atau rugi. Hal ini menunjukkan
kemampuan dari modal yang diinvestasikan secara keseluruhan belum
2.7 Kerangka Pemikiran
Corporate governance atau tata kelola perusahaan merupakan
mekanisme pengendalian untuk mengatur dan mengelola bisnis dengan
maksud untuk meningkatkan kemampuan dan akuntabilitas perusahaan guna
mempertimbangkan kepentingan pihak-pihak yang berkaitan dengan
perusahaan (stakeholder), tidak hanya para pemegang saham (shareholder).
Dengan praktek tata kelola perusahaan yang baik akan meningkatkan nilai
perusahaan diantaranya kinerja keuangan perusahaan. Tata kelola perusahaan
yang mereka miliki tersebut diterapkan melalui good corporate governance
sehingga membantu terciptanya hubungan yang kondusif dan dapat
dipertanggungjawabkan diantara elemen dalam perusahaan (kepemilikan
institusional, kepemilikan manajerial, dewan komisaris independen, dewan
direksi), Jati (2009).
Kinerja perusahaan dapat ditentukan dari sejauh mana keseriusannya
dalam menerapkan corporate governance. Perusahaan yang terdaftar dalam
skor pemeringkatan corporate governance yang dilakukan oleh IICG terbukti
telah menerapkan corporate governance dengan baik dan secara langsung
menaikkan nilai sahamnya, semakin tinggi penerapan corporate governance
yang diukur oleh Corporate Governance Perception Indeks (CGPI) maka
semakin tinggi pula tingkat ketaatan perusahaan dan menghasilkan kinerja
Perusahaan Sebaiknya mengaplikasikan corporate governance dengan
baik, agar kinerja perusahaan dapat di tingkatkan serta mempertimbangnya
besar proporsi kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional, agar
dapat merasakan manfaat dari kepemilikan saham tersebut. Serta dewan
komisaris independen dan dewan direksi agar lebih berfungsi secara optimal,
tidak hanya sebagai pemenuhan regulasi semata karena good corporate
governance dapat terwujud apabila fungi kontrol dapat berjalan dengan baik (
Darwis, 2007)
Kepemilikan institusional adalah jumlah persentase hak suara yang
dimiliki oleh institusi. Kepemilikan institusional memiliki kemampuan untuk
mengurangi insentif para manajer yang mementingkan diri sendiri melalui
tingkat pengawasan yang intens (Jati, 2009). Kepemilikan perusahaan oleh
institusi akan mendorong pengawasan yang lebih efektif, karena institusi
merupakan profesional yang memiliki kemampuan dalam mengevaluasi
kinerja perusahaan (Nur’aeni, 2010).
Kepemilikan saham manajerial dapat membantu penyatuan kepentingan
antara pemegang saham dan manajer. Semakin meningkatnya proporsi
kepemilikan saham manajerial maka kinerja perusahaan juga semakin baik.
Hal tersebut akan mensejajarkan kedudukan manajer dengan pemegang
saham sehingga manajer termotivasi untuk meningkatkan kinerja perusahaan
dibawah pengawasan dewan direksi (Nur’aeni, 2010).
perusahaan dapat menimbulkan konflik keagenan. Konflik keagenan
disebabkan prinsipal dan agen mempunyai kepentingan sendiri-sendiri yang
saling bertentangan karena agen dan prinsipal berusaha memaksimalkan
kualitasnya masing-masing. Menurut Tendi Haruman (2008), perbedaan
kepentingan antara manajemen dan pemegang saham mengakibatkan
manajemen berperilaku curang dan tidak etis sehingga merugikan pemegang
saham. Oleh karena itu diperlukan suatu mekanisme pengendalian yang dapat
mensejajarkan perbedaan kepentingan antara manajemen dengan saham.
Manajer yang sekaligus pemegang saham akan meningkatkan nilai
perusahaan karena dengan meningkatkan nilai perusahaan, maka nilai
kekayaannya sebagai pemegang saham akan meningkat juga. Penelitian yang
mengkaitkan kepemilikan manajemen dengan nilai perusahaan telah banyak
dilakukan namun dengan hasil yang berbeda-beda pula. Penelitian (Solihan
dan Taswon dalam Permanasari, 2010) menemukan hubungan yang
signifikan dan positif antara kepemilikan manajemen dan nilai perusahaan.
Wahyudi dan Prawesti (2006) dan Etty Murwaningsih (2009), yang
menemukan bahwa kepemilikan manajemen berpengaruh positif dan
signifikan terhadap nilai perusahaan. Hal tersebut disebabkan karena
timbulnya hubungan non-monotonic yaitu adanya insentif yang dimiliki
manajer dan mereka berusaha untuk melakukan pensejajaran kepentingan
dengan outsider ownership dengan cara meningkatkan kepemilikan saham
Komisaris independen adalah komisaris yang bukan merupakan
anggota manajemen, pemegang saham mayoritas dari suatu perusahaan yang
mengawasi pengelolaan perusahaan. Keberadaan komisaris independen dapat
meningkatkan kinerja perusahaan melalui pengawasan atau masukan yang
diberikannya demi kepentingan perusahaan.
Rachmawati dan Triatmoko (2007), membuktikan bahwa komisaris
independen mempunyai hubungan positif terhadap kinerja perusahaan.
Peranan komisaris independen dalam menjalankan fungsi pengawasaan,
komposisi dewan dapat mempengaruhi pihak manajemen dalam menyusun
laporan keuangan sehingga dapat di peroleh suatu laporan laba yang
berkualitas yang nantinya akan berdampak pada semakin tingginya nilai
perusahaan karena perilaku kecurangan antara pihak intern yang mungkin
terjadi dalam perusahaan mungkin akan berkurang.
Dewan direksi sangat berpengaruh diperusahaan karena dewan direksi
adalah eksekutor dalam perusahaan. Tugas dewan direksi yaitu mengelola
dan mewakili perusahaan dan juga memberikan informasi dibawah
pengarahan dan pengawasan dewan komisaris. Kedudukan masing-masing
anggota direksi termasuk direktur utama adalah setara.
Setiawan (2005) dan Sam’ani (2008) menyatakan hasil penelitiannya
bahwa dewan direksi berpengaruh signifikan terhadap kinerja perusahaan.
Karena fungsi atau peran komisaris dan direksi dalam proses peningkatan
kinerja perusahaan sangat diperlukan untuk menjalankan perusahaan secara
berpengaruh pada peningkatan kinerja perusahaan sehingga dengan
meningkatnya kinerja perusahaan diharapkan juga dapat meningkatkan harga
saham perusahaan sehingga nilai perusahaan akan tercapai.
Leverage keuangan (ratio leverage) adalah perbandingan antara
dana-dana yang dipakai untuk membelanjai/membiayai perusahaan atau
perbandingan antara dana yang diperoleh dari ekstern perusahaan (dari
kreditur-kreditur) dengan dana yang disediakan pemilik perusahaan.Leverage
menggambarkan sumber dana operasi yang digunakan operasi perusahaan
oleh perusahaan. Rasio leverage juga menunjukan resiko yang di hadapi
perusahaan. Semakin besar resiko yang dihadapi perusahaan maka ketidak
pastian untuk memperoleh laba di masa yang akan datang juga akan
meningkat. Penelitian Hery dan Hemin dalam Tarjo, (2008) menunjukan
bahwa leverage berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan.
Hasil penelitian Sujoko dan Soebiantoro (2007) menyatakan bahwa
ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan. Temuan
penelitian ini konsisten dengan temuan penelitian Jati (2009). Temuan
penelitian ini menunjukkan bahwa investor mempertimbangkan ukuran
perusahaan dalam membeli saham. Ukuran perusahaan dijadikan patokan
Gambar 2.1 Model Pemikiran
H2
H3
H4
H5
H6
H7
Kinerja Perusahaan ( Y )
Kepemilikan institusional
H1
Kepemilikan Manajerial
Dewan Komisaris Independen
Dewan direksi
Leverage
2.8 Hipotesis
Sesuai dengan kerangka pemikiran diatas, maka hipotesis dalam
penelitian ini sebagai berikut :
H1 : Pepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, dewan
komisaris independen, dewan direksi, leverage dan ukuran
perusahaan secara simultan berpengaruh signifikan
terhadap kinerja peruahaan.
H2 : Kepemilikan institusional secara parsial berpengaruh
signifikan terhadap kinerja perusahaan.
H3 : Kepemilikan manajerial secara parsial berpengaruh
signifikan terhadap kinerja perusahaan.
H4 : Dewan komisaris independen secara parsial berpengaruh
signifikan terhadap kinerja perusahaan.
H5 : Dewan direksi secara parsial berpengaruh signifikan
terhadap kinerja perusahaan.
H6 : Leverage secara parsial berpengaruh signifikan terhadap
kinerja perusahaan.
H7 : Ukuran Perusahaan secara parsial berpengaruh signifikan