• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 LANDASAN TEORI. Pencucian Uang atau yang sering sebut dengan istilah Money Laundering

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 LANDASAN TEORI. Pencucian Uang atau yang sering sebut dengan istilah Money Laundering"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1 Pencucian Uang

2.1.1 Pengertian Pencucian Uang

Pencucian Uang atau yang sering sebut dengan istilah Money Laundering berasal dari bahasa Inggris yaitu Money yang berarti Uang dan Laundering yang berarti Pencucian. Jadi Money Laundering secara harfiah berarti Pencucian Uang atau pemutihan uang hasil kejahatan. Istilah Money Laundering kian hari kian disempurnakan. Di dalam perkembangannya, pengertian Pencucian Uang atau Money Laundering dimuat di dalam berbagai literatur maupun peraturan dan perundang-undangan yang berlaku di suatu negara maupun organisasi internasional.

Salah satu yang menjadi acuan dunia terkait pengertian Pencucian Uang dimuat dalam The United Nation Convention Againts Illcit Traffic in Narcotics, Drugs, and Psycotropic Subtantces of 1988 yang disahkan pada 19 Desember 1988. Dimana pengertian Money Laundering ini untuk yang pertama kali diratifikasi di Indonesia dengan dikeluarkannya Undang-Undang Tahun 1997 yang menghasilkan gambaran secara lengkap mengenai pengertian Pencucian Uang itu sendiri menurut Sutedi (2008) ialah:

The convertion or transfer of property, knowing that such property derived from the purpose of concelling or of assisting any person who is involved in the commision of such an offence to evade the legal consequances of the true nature, sources, location, disposition, momment, rights with respect to, or ownership of property, knowing that such property is derived from a serious

(2)

offence or offences of from an act of partivipation in such an offence of offence.

Pernyataan tersebut berarti konversi atau pemindahan dari properti yang diketahui berasal dari indikasi kegiatan terlarang untuk orang yang diketahui berasal dari kegiatan terlarang, untuk tujuan menyembunyikan atau mengaburkan hal-hal terlarang dari properti tersebut, atau membantu setiap orang yang terkait dalam kegiatan yang ilegal untuk menghindari segala konsekuensi hukum dari tindakannya, atau menyembunyikan dan mengaburkan dari sumber asli, lokasi, grup terkait, pergerakan, hak, kepemilikan properti, dimana diketahui properti tersebut berasal dari konspirasi jahat atau dari partisipasi dalam perbuatan jahat (Husein, 2002). Sedangkan untuk Indonesia sendiri, pengertian Money Laundering atau Pencucian Uang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang menyebutkan bahwa Pencucian Uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dimana di dalam penekanannya tindak pidana Pencucian Uang merupakan suatu kegiatan yang di dalamnya ada kegiatan mentransfer, menempatkan, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil Tindak Pidana dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga menjadi seolah-olah harta kekayaan yang sah.

Beberapa pengertian Pencucian Uang menurut para ahli antara lain:

1) Menurut Sutedi (2008:13) dalam bukunya yang berjudul Tindak Pidana Pencucian Uang, memuat pengertian Pencucian Uang yang disebutkan oleh

(3)

through which “Dirty” money (proceeds of crime), is washed through “Clean” or legitimate sources and entreprises so that the “Bad Guys” may more safely enjoy their ill gotten gains”. Artinya Pencucian Uang adalah suatu proses sederhana melalui uang kotor yang diperoleh dari tindak pidana, dicuci, atau dimasukkan kedalam sumber yang sah/ilegal, sehingga pelaku tindak pidana dapat lebih aman menikmati keuntungan yang didapat dari kejahatan mereka.

2) Menurut Sutedi (2008:14) dalam bukunya yang berjudul Tindak Pidana Pencucian Uang, memuat pengertian Pencucian Uang yang dikemukakan oleh Departement of Justice Kanada bahwa “Money Laundering is the conversion of transfer of property, knowing that such property is derived from criminal activity, for the purpose of concealing the illcit nature and origin of the property from government authorities”. Yang berarti Pencucian Uang adalah suatu metode konversi kekayaan dengan mengetahui bahwa kekayaan tersebut berasal dari tindakan kriminal dengan tujuan untuk menyembunyikan sumber pendapatan tersebut dari pemerintahan.

3) Menurut Suranta (2010:47) dalam bukunya yang berjudul Peranan PPATK Dalam Mencegah Terjadinya Praktek Pencucian Uang, memuat pengertian Pencucian Uang yang dikemukakan oleh Giavanoli (ibid), adalah suatu proses yang mana aset-aset pelaku, terutama aset tunai yang diperoleh dari suatu tindak pidana dimanipulasikan sedemikian rupa sehingga aset tersebut seolah-olah berasal dari sumber yang sah.

Tindak pidana Pencucian Uang merupakan suatu kejahatan yang kerap terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Banyak bentuk atau metode penipuan yang dilakukan oleh pelaku agar terhindar dari tuntutan hukum jika diketahui bahwa uang yang

(4)

diperolehnya bukan dari suatu kegiatan atau transaksi yang legal. Kegiatan Pencucian Uang memiliki dampak negatif pada perekonomian suatu negara karena dapat menghambat stabilitas ekonomi suatu negara. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Money Laundering atau Pencucian Uang adalah suatu upaya yang dilakukan oleh seseorang atau lebih yang dilakukan bertujuan untuk menghapuskan, menyembunyikan, memindahkan, dan menyamarkan sumber-sumber penghasilan yang diperoleh dari transaksi ilegal seperti penjudian, jual-beli obat bius, penggelapan barang, dan transaksi ilegal lainnya yang kemudian diinvestasikan/digunakan ke dalam suatu kekayaan yang legal sehingga diperoleh pendapatan yang seolah-olah sah/legal.

2.1.2 Metode-Metode Pencucian Uang

Menurut Siahaan (2005:21), beberapa metode yang dilakukan dalam tindak pidana Pencucian Uang yaitu:

1) Buy to Sell

Buy to Sell adalah suatu metode yang dilakukan dengan menjual atau membeli suatu barang maupun jasa tertentu menggunakan dana yang diperoleh dari Pencucian Uang. Dengan metode ini setiap aset atau kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana akan dirubah bentuknya menjadi legal serta mempersulit para penegak hukum untuk melakukan penelusuran terkait kekayaan illegal tersebut.

2) Metode dengan menggunakan Offshore Conversions dilakukan dengan cara menempatkan dana yang diperoleh dari tindak pidana ke suatu wilayah Tax Haven Country yang kemudian disimpan pada Bank atau lembaga keuangan

(5)

negara Tax Haven Country memiliki hukum perpajakan yang lebih longgar, ketentuan kerahasiaan Bank yang cukup ketat, dan prosedur bisnis yang mudah.

3) Legitimate Business Conversion

Legitimate Business Conversion adalah suatu metode yang dilakukan dengan membeli instrumen keuangan yang ada di suatu perusahaan baik aset maupun investasi sehingga diperoleh pendapatan yang legal. Dengan metode tersebut, seorang pelaku tindak pidana dapat menjalankan bisnis maupun investasi yang mana sumber pendanaannya diperoleh dari kegiatan tindak pidana yang akan menghasilkan pendapatan legal/sah.

2.1.3 Penyebab Tindak Pidana Pencucian Uang

Tindak pidana baik yang dilakukan perorangan maupun organisasi seiring perkembangannya semakin mengkhawatirkan. Kebutuhan dan desakan sosial menuntut gaya hidup yang semakin meningkat membuat perorangan maupun organisasi harus berusaha untuk tetap bertahan dalam memenuhi kebutuhan tersebut yang tidak jarang dilakukan melalui transaksi tindak pidana. Transaksi tindak pidana yang kerap terjadi saat ini untuk memenuhi kebutuhan tersebut adalah korupsi, perjudian, jual beli minuman keras, perdagangan gelap, dan tindak pidana lainnya yang semakin berkembang. Beratnya hukuman suatu negara yang membawahi setiap perilaku warga negaranya, hal ini membuat para pelaku tindak pidana semakin berhati-hati dalam menggunakan dana yang diperoleh dari transaksi pidana yang dilakukannya.

(6)

Menurut Philips (2012:21) dalam bukunya yang berjudul “Money Laundering” menyebutkan bahwa ada beberapa faktor penyebab terjadi Money Laundering yaitu:

1) Faktor Globalisasi

Kejahatan dan tindak pidana yang telah mendunia menyebabkan tindakan tersebut menjadi hal yang biasa dilakukan setiap orang. Globalisasi yang semakin berkembang menyebabkan mudahnya pelaku tindak pidana untuk melakukan transaksinya dengan memanfaatkan sistem keuangan dan perbankan disetiap negara tanpa adanya suatu batasan.

2) Perkembangan Teknologi

Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan teknologi dalam mempermudah aktivitas maupun kegiatan seseorang sangat dibutuhkan. Namun, juga terdapat akibat negatif disamping kemudahan yang diperoleh dari perkembangan teknologi tersebut. Salah satu akibat negatif perkembangan teknologi adalah kerahasiaan seseorang menjadi tidak terkendali karena teknologi dapat dimanfaatkan seseorang yang tidak bertanggung jawab untuk mengakses informasi seperti akun rekening Bank yang mengakibatkan banyaknya masalah pembobolan rekening.

3) Ketentuan Kerahasiaan Bank

Terkadang di suatu negara, perbankan memiliki peraturan yang tertutup terkait informasi akun nasabahnya. Hal ini mengakibatkan sulitnya pihak yang berwenang untuk melakukan pemeriksaan terkait akun nasabah yang dianggap mencurigakan. Hal ini biasanya terjadi pada negara beresiko tinggi antara lain yang diidentifikasikan sebagai Tax Haven Country seperti British

(7)

4) Aturan Mengenai Nama Samaran

Yaitu suatu sistem yang memperbolehkan sesorang untuk membuka akun rekening Bank dengan menggunakan nama samaran (inisial). Hal ini mengakibatkan sulitnya mengetahui identitas asli sang pemilik akun rekening karena seolah-olah dimiliki oleh orang lain (nama samaran), yang dapat menghambat proses pemeriksaan.

5) Adanya Sistem Elektronic Money atau E-Money

Elektonic Money atau yang sering disebut dengan E-Money yaitu suatu sistem yang menggunakan fasilitas internet untuk memudahkan kegiatan Pencucian Uang yang sering disebut dengan “CyberLaundering” seperti Internet Banking.

6) Diperkenannya Sistem Layering atau Pelapisan

Dalam sistem layering atau pelapisan, dimana pihak yang mempunyai dana ingin mendepositokan atau membuka akun di suatu rekening Bank, dapat menunjuk orang lain sebagai perwakilan yang telah disetujui. Dengan sistem maupun ketentuan tersebut, pemilik awal atau pemilik sah dari dana tersebut akan sulit untuk diketahui karena dana tersebut seolah-olah adalah milik orang yang telah ditunjuk yang menjadi perwakilan.

7) Sistem Kerahasiaan

Sistem ini biasanya berkenaan adanya ketentuan hukum yang berkenaan dengan kerahasiaan hubungan antara lawyer (pengacara) dengan kliennya, maupun akuntan dengan kliennya.

8) Tidak Adanya Penanganan Hukum yang Tegas

Hal ini terjadi dikarenakan pemerintah dan penegak hukum yang berkaitan dengan tindak pidana kejahatan seperti Money Laundering, tidak menangani

(8)

kejahatan tersebut secara tegas. Hal ini menyebabkan tindak pidana semakin merajalela karena tidak adanya penanganan tegas yang berarti bagi para pelaku sehingga tidak membuat pelaku jera untuk tetap melakukan tindak pidana kejahatannya.

9) Tidak Adanya Undang-Undang Mengenai Pemberantasan Pencucian Uang Hal ini biasanya terjadi di bebeberapa negara yang belum menerapkan undang-undang tentang Pencucian Uang. Hal ini dikarenakan negara tersebut belum menganggap kejahatan Pencucian Uang sebagai suatu tindak kejahatan yang serius. Hal ini mengakibatkan maraknya tindak pidana Pencucian Uang dinegara tersebut. Seperti Indonesia yang baru menerapkan Undang-Undang tentang Pencucian Uang pada Tahun 2002 yang kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010.

2.1.4 Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang Pada Sektor Perbankan Di Indonesia sendiri khususnya dalam sektor perbankan, telah ditetapkan peraturan untuk mencegah terjadinya tindak pidana Pencucian Uang, yang diatur dalam PBI (Peraturan Bank Indonesia) Nomor 5/21//PBI/2003 yang merupakan perubahan kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001 Tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principle). Namun, sebagaimana diungkapkan dalam pembukaan PBI (Peraturan Bank Indonesia) Nomor 11/28/PBI/2009 huruf d menyatakan bahwa ketentuan tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles) yang selama ini berlaku, perlu disempurnakan. Dari latar belakang tersebut, sehingga BI (Bank Indonesia) mengeluarkan peraturan terbaru Nomor 11/28/PBI/2009 Tentang

(9)

Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi Bank Umum.

Undang-undang ini dikeluarkan mengingat bahwa Bank memiliki banyak resiko usaha seperti Pencucian Uang. Dengan banyaknya resiko tersebut, sehingga perlu untuk menerapkan prinsip dan ketentuan tersendiri dalam sektor perbankan. Salah satu prinsip yang harus diterapkan adalah prinsip kehati-hatian. Salah satu wujud nyata prinsip kehati-hatian adalah dengan mengenali secara lebih mendalam nasabah Penyedia Jasa Keuangan seperti Bank melalui kartu identitas diri nasabah itu sendiri, yang disebut dengan penerapan PMPJ (Prinsip Mengenal Pengguna Jasa).

Prinsip Mengenal Pengguna Jasa merupakan prosedur utama dan yang pertama kali dilakukan dalam setiap transaksi Penyedia Jasa Keuangan seperti perbankan. Seperti pada saat pembukaan rekening baru, Penyedia Jasa Keuangan (Bank) harus meminta data identitas diri nasabah yang bersangkutan. Menurut PBI Nomor 11/28/PBI/2009 pada Pasal 25 ayat (2) huruf d, permintaan identitas diri tersebut paling kurang berupa informasi mengenai nama lengkap sesuai dengan yang tercantum pada kartu identitas, alamat atau tempat dan tanggal lahir, nomor kartu identitas, dan kewarganegaraan calon nasabah. Tujuan diberlakukannya prosedur tersebut untuk melihat aktivitas normal berdasarkan latar belakang (profil) nasabah. Sehingga dengan mengetahui profil nasabah, maka dapat diidentifikasi apakah transaksi nasabah dikemudian hari dapat dianggap wajar atau tidak mengingat banyaknya produk perbankan yang beresiko tinggi antara lain transfer dana, private banking, dan internet banking.

Dalam kegiatan perbankan lainnya, seperti jasa penyetoran tunai, prosedur utama yang harus dilakukan adalah mengisi formulir yang berisikan data diri penyetor yang sesuai. Penerapan PMPJ sangatlah penting mengingat besarnya

(10)

kemungkinan terjadinya Pencucian Uang menggunakan jasa perbankan. Sehingga perlu hubungan yang terlebih terbuka dan tetap memantau setiap perkembangannya melalui catatan transaksi yang dilakukan oleh nasabah itu sendiri. Hal ini untuk meminimalisir tanggungjawab akhir atas identifikasi dan verifikasi calon nasabah sepenuhnya yang menjadi tanggung jawab Bank itu sendiri seperti yang disebutkan dalam PBI Nomor 11/28/PBI/2009 pada Pasal 25 ayat (3).

Sebelum melakukan hubungan usaha dengan calon nasabah, ada beberapa prosedur yang harus dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan dalam hal ini adalah Bank, yang dimuat dalam PBI Nomor 11/28/PBI/2009 pada Pasal 11 yang terdiri dari:

1) Pada ayat (1) menyebutkan bahwa sebelum melakukan hubungan usaha dengan nasabah, Bank wajib meminta informasi yang memungkinkan Bank untuk dapat mengetahui profil calon nasabah;

2) Pada ayat (2) menyebutkan bahwa identitas calon nasabah harus dapat dibuktikan dengan keberadaan dokumen-dokumen pendukung;

3) Pada ayat (3) menyebutkan bahwa Bank wajib meneliti kebenaran dokumen pendukung identitas calon nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (2); 4) Pada ayat (4) menyebutkan bahwa Bank dilarang membuka atau memelihara

rekening anonim atau rekening yang menggunakan nama fiktif;

5) Pada ayat (5) menyebutkan bahwa Bank wajib melakukan pertemuan langsung (face to face) dengan calon nasabah pada awal melakukan hubungan usaha dalam rangka meyakini kebenaran identitas calon nasabah; 6) Pada ayat (6) menyebutkan bahwa Bank wajib mewaspadai transaksi atau

(11)

yang belum memadai dalam melaksanakan rekomendasi FATF (Financial Action Task Force).

Dokumen pendukung bagi calon nasabah perorangan menurut PBI Nomor 28/11/PBI/2009 antara lain KTP (Kartu Tanda Penduduk), SIM (Surat Izin Mengemudi), kartu NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak), atau paspor yang masih berlaku. Sedangkan dokumen pendukung untuk suatu perusahaan/ badan usaha adalah akte pendirian dan/atau anggaran dasar perusahaan, dan izin usaha atau izin lainnya dari instansi berwenang.

2.2 Penyedia Jasa Keuangan 2.2.1 Jenis Penyedia Jasa Keuangan

Yang termasuk Penyedia Jasa Keuangan menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dimuat dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a yaitu

1) Bank;

2) Perusahaan pembiayaan;

3) Perusahaan asuransi dan perusahaan pialang asuransi; 4) Dana pensiunan dan lembaga keuangan;

5) Perusahaan efek; 6) Manajer investasi; 7) Kustodian; 8) Wali amanat;

9) Persposan sebagai penyedia jasa giro; 10)Pedagang valuta asing;

(12)

12)Penyelenggara e-money dan/ atau e-wallet;

13)Koperasi yang melakukan kegiatan simpan pinjam; 14)Pegadaian;

15)Perusahaan yang bergerak dibidang perdagangan berjangka komoditi; dan 16)Penyelenggara kegiatan usaha pengiriman uang.

2.2.2 Penerapan PMPJ (Prinsip Mengenali Pengguna Jasa) pada Penyedia Jasa Keuangan

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, memuat ketentuan bagi Penyedia Pengguna Jasa untuk menerapkan PMPJ (Prinsip Mengenali Pengguna Jasa) yang dimuat dalam Pasal 18 yang terdiri dari:

1)Pada ayat (1) menyebutkan bahwa lembaga pengawas dan pengatur menetapkan ketentuan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa.

2)Pada ayat (2) menyebutkan bahwa pihak pelapor wajib menerapkan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa yang ditetapkan oleh setiap lembaga pengawas dan pengatur sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

3)Kewajiban menerapkan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan pada saat:

a)Melakukan hubungan usaha dengan pengguna jasa;

b)Terdapat transaksi keuangan dengan mata uang rupiah dan/ atau mata uang asing yang nilainya paling sedikit atau setara dengan Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah);

(13)

d)Pihak pelapor meragukan kebenaran informasi yang dilaporkan pengguna jasa.

4)Lembaga pengawas dan pengatur wajib melaksanakan pengawasan atas kepatuhan pihak pelapor dalam menerapkan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa.

5)Prinsip Mengenali Pengguna Jasa sekurang-kurangnya memuat: a)Identifikasi pengguna jasa;

b)Verifikasi pengguna jasa; dan c)Pemantauan transaksi pengguna jasa.

6)Dalam hal belum terdapat lembaga pengawas dan pengatur, ketentuan mengenai Prinsip Mengenali Pengguna Jasa dan pengawasannya diatur dengan Peraturan Kepala PPATK.

2.2.3 Transaksi Keuangan Mencurigakan pada Penyedia Jasa Keuangan Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, dalam Pasal 1 ayat (5) mengenai Ketentuan Umum, ada memuat pengertian Transaksi Keuangan Mencurigakan. Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah:

1) Pada huruf a menyebutkan bahwa Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari pengguna jasa yang bersangkutan;

2) Pada huruf b menyebutkan bahwa Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah transaksi keuangan oleh pengguna jasa yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh pihak pelapor sesuai dengan ketentuan undang-undang ini;

(14)

3) Pada huruf c menyebutkan bahwa Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana; atau

4) Pada huruf d menyebutkan bahwa Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah transaksi keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh pihak pelapor karena melibatkan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.

2.2.4 Penyampaian Transaksi Keuangan Mencurigakan oleh Penyedia Jasa Keuangan

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Pasal 23 menyebutkan bahwa: 1) Pada ayat (1) menyebutkan bahwa Penyedia Jasa Keuangan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a, wajib menyampaikan laporan kepada PPATK yang meliputi:

a) Transaksi keuangan mencurigakan

b) Transaksi Keuangan Tunai dalam jumlah paling sedikit Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau setara dengan mata uang asing yang nilainya setara, yang dilakukan baik dalam satu kali transaksi maupun beberapa kali transaksi dalam 1 (satu) hari kerja; dan/ atau c) Transaksi keuangan transfer dana dari dan luar negeri.

2) Dalam ayat (2) menyebutkan bahwa perubahan besarnya jumlah transaksi keuangan tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan berdasarkan Keputusan Kepala PPATK.

(15)

3) Dalam ayat (3) menyebutkan bahwa besarnya jumlah transaksi keuangan transfer dana dari dan ke luar negeri yang wajib dilaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diatur dengan Peraturan Kepala PPATK. 4) Dalam ayat (4) menyebutkan bahwa kewajiban pelaporan atas transaksi

keuangan tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikecualikan terhadap:

a) Transaksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan dengan pemerintah dan bank sentral;

b) Transaksi untuk pembayaran gaji atau pensiun; dan

c) Transaksi lain yang ditetapkan oleh kepala PPATK atau atas permintaan Penyedia Jasa Keuangan yang disetujui oleh PPATK. 5) Ayat (5) menyebutkan bahwa kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) huruf b tidak berlaku untuk transaksi yang dikecualikan.

2.2.5 Sanksi Hukum Penyedia Jasa Keuangan

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, memuat sanksi yang diberikan kepada Penyedia Jasa Keuangan tidak terkecuali pada perbankan jika tidak melaporkan adanya transaksi keuangan mencurigakan. Sanksi tersebut dimuat dalam Pasal 25 yang terdiri dari:

1) Pada ayat (1) menyebutkan penyampaian laporan transaksi keuangan mencurigakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a dilakukan sesegera mungkin paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah Penyedia Jasa Keuangan mengetahui adanya unsur transaksi keuangan mencurigakan. 2) Pada ayat (2) menyebutkan bahwa penyampaian laporan transaksi keuangan

(16)

paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal transaksi dilakukan.

3) Pada ayat (3) menyebutkan bahwa bahwa penyampaian laporan transaksi keuangan transfer dana dari dan keluar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal tanggal transaksi dilakukan.

4) Dalam ayat (4) menyebutkan bahwa penyedia jasa keuangan yang tidak menyampaikan laporan kepada PPATK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), dikenai sanksi administratif.

5) Pada ayat (5) menyebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk, jenis, dan tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan peraturan Kepala PPATK.

2.2.6 Penundaan Pelaporan Transaksi Keuangan Mencurigakan oleh Penyedia Jasa Keuangan

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Penyedia Jasa Keuangan dapat melakukan penundaan pelaporan transaksi keuangan mencurigakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 yang memuat:

1) Pada ayat (1) menyebutkan bahwa Penyedia Jasa Keuangan dapat melakukan penundaan transaksi paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak penundaan transaksi dilakukan.

2) Pada ayat (1) menyebutkan bahwa penundaan transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal pengguna jasa:

(17)

a)Melakukan transaksi yang patut diduga menggunakan harta kekayaan yang berasal dari hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1);

b)Memiliki rekening untuk menampung harta kekayaan yang berasal dari hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1); atau

c)Diketahui dan/ atau patut diduga menggunakan dokumen palsu. 3) Pelaksaan penundaan transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat

dalam berita acara penundaan transaksi.

4) Penyedia Jasa Keuangan memberikan salinan berita acara penundaan transaksi kepada pengguna jasa.

5) Penyedia Jasa Keuangan wajib melaporkan penundaan transaksi kepada PPATK dengan melampirkan berita acara penundaan transaksi dalam waktu paling lama 24 (dua puluh empat) jam terhitung sejak waktu penundaan transaksi dilakukan.

6) Setelah menerima laporan penundaan transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) PPATK wajib memastikan pelaksanaan penundaan transaksi dilakukan sesuai dengan Undang-Undang ini.

7) Dalam hal penundaan transaksi telah dilakukan sampai dengan hari kerja kelima, penyedia jasa keuangan harus memutuskan akan melaksanakan transaksi atau menolak transaksi tersebut.

(18)

2.3 Tindak Pidana Pencucian Uang

2.3.1 Sanksi Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang Perorangan

Di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 disebutkan mengenai sanksi hukum tindak pidana Pencucian Uang perorangan yaitu:

1) Pasal 3 menyebutkan bahwa setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa keluar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga, atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) 2) Pasal 4 menyebutkan setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan

asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud didalam Pasal 2 ayat (1) dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)

3) Didalam Pasal 5 disebutkan bahwa setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud

(19)

didalam Pasal 2 ayat (1) dipidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

2.3.2 Tindak Pidana Pencucian Uang Korporasi

1) Pasal 6 ayat (1) menyatakan bahwa dalam hal tindak pidana Pencucian Uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 dilakukan oleh Korporasi, pidana dijatuhkan terhadap Korporasi dan/ atau Personil Pengendali Korporasi.

2) Di dalam Pasal 6 ayat (2) kemudian disebutkan bahwa pidana dijatuhkan terhadap Korporasi apabila tindak pidana Pencucian Uang:

a) Dilakukan dan diperintahkan oleh Personil Pengendali Korporasi; b) Dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan Korporasi; c) Dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah;

dan

d) Dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi Korporasi.

2.3.3 Sanksi Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang Korporasi

Di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jelas disebutkan beberapa sanksi hukum tindak pidana Pencucian Uang Korporasi, yaitu:

1) Di dalam Pasal 7 ayat (1), disebutkan bahwa pidana pokok yang dijatuhkan terhadap Korporasi adalah pidana denda paling banyak Rp.100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

(20)

2) Ditambahkan kembali di dalam Pasal 7 ayat (2), selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (1), terhadap korporasi juga dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:

a) Pengumuman putusan hakim;

b) Pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha Korporasi; c) Pencabutan izin usaha;

d) Pembubaran dan atau pelarangan Korporasi; e) Perampasan aset Korporasi untuk negara;dan/atau f) Pengambilalihan Korporasi oleh negara.

3) Di dalam Pasal 8 disebutkan bahwa dalam hal harta terpidana tidak cukup untuk membayar pidana denda sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5, pidana denda tersebut diganti dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun 4 bulan.

4) Di dalam Pasal 9 ayat (1) disebutkan bahwa dalam hal korporasi tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), pidana denda tersebut diganti dengan perampasan harta kekayaan milik Korporasi atau Personil Pengendali Korporasi yang nilainya sama dengan putusan pidana denda yang dijatuhkan.

5) Di dalam Pasal 9 ayat (2) ditambahkan bahwa dalam hal penjualan harta kekayaan milik Korporasi yang dirampas sebagaimana dimaksud di dalam ayat (1) tidak mencukupi, pidana kurungan pengganti denda dijatuhkan terhadap Personil Pengendali Korporasi dengan memperhitungkan denda yang telah dibayar.

(21)

melakukan pencobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana Pencucian Uang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5.

2.3.4 Sanksi Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang Perbankan

Sanksi bagi perbankan terkait dengan tindak pidana Pencucian Uang dimuat dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/28/PBI/2009 Pasal X (sepuluh). Sanksi Bank tersebut antara lain menyebutkan:

1) Bank yang terlambat menyampaikan pedoman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf b yaitu pedoman pelaksanaan program APU (Anti Pencucian Uang) dan PPT (Pencegahan Pendanaan Terorisme) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini, serta laporan transaksi mencurigakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1), yaitu Bank wajib menyampaikan laporan transaksi keuangan mencurigakan, laporan transaksi keuangan tunai, dan laporan lain sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang kepada PPATK, dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari keterlambatan per laporan.

2) Bank yang belum menyampaikan pedoman atau laporan transaksi keuangan mencurigakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam waktu lebih 1 (satu) bulan sejak batas akhir waktu penyampaian, dikenakan sanksi berupa teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

(22)

3) Bank yang:

a) Tidak melaksanakan komitmen penyelesaian hasil temuan pemeriksaan Bank Indonesia dalam kurun waktu 2 (dua) kali pemeriksaan dan/atau;

b) Tidak melaksanakan komitmen yang telah dituangkan dalam rencana kegiatan pengkinian data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) huruf b,

Dikenakan sanksi administratif berupa kewajiban membayar paling banyak sebesar Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

4) Sanksi lainnya yang dapat diterima oleh Bank lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal X (sepuluh) ayat (4) berupa:

a) Teguran tertulis;

b) Penurunan tingkat kesehatan Bank; c) Pembekuan kegiatan usaha tertentu;

d) Pencantuman anggota pengurus, pegawai, dan/atau pemegang saham dalam daftar pihak-pihak yang mendapat predikat tidak lulus dalam penilaian kemampuan dan kepatutan atau dalam catatan administrasi Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku; dan/atau

e) Pemberhentian pengurus Bank.

2.4 Bank

2.4.1 Pengertian Bank

(23)

untuk mencari nasabah namun sebaliknya dimana nasabahlah yang berperan untuk mencari Bank. Namun, seiring dengan perkembangannya sekitar tahun 1980-1990 jasa perbankan semakin aktif. Banyak Bank baru berdiri yang disebabkan oleh kemudahan dalam mendirikan lembaga Bank. Seperti dengan modal Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) setiap orang dapat BPR (Bank Perkreditan Rakyat) yang mengakibatkan berdirinya banyak Bank di Indonesia. Hal ini mengakibatkan semakin banyak pesaing-pesaing yang membuat Bank tersebut harus aktif mencari nasabah untuk memperoleh dana yang kemudian akan dipergunakan dalam kegiatan operasionalnya. Pada saat ini jasa perbankan bukan suatu hal yang baru lagi baik di pedesaan maupun di kota karena dengan fasilitas Bank, banyak kemudahan yang didapat seperti jasa menyimpan dana, transfer dana, dan manfaat lainnya. Dalam pengertiannya, menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 menyatakan bahwa Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

2.4.2 Fungsi Bank

Fungsi Bank secara umum terbagi atas 3 yaitu: 1) Agent of Trust

Dalam menjalankan fungsinya yang bergerak di bidang jasa, dan memiliki peranan dan tanggung jawab yang sangat besar yaitu menghimpun dana dari masyarakat yang berarti bahwa Bank berfungsi untuk dapat menjaga dan mengelola dana tersebut dengan baik. Untuk memperoleh dana dari masyarakat, kepercayaan merupakan faktor penting yang harus bisa

(24)

dipertanggungjawabkan oleh Bank. Bank harus dapat meyakinkan para nasabah bahwa dananya tersebut dikelola dan dijaga dengan baik oleh Bank. 2) Agent of Development

Dengan adanya jasa perbankan, masyarakat dapat meminjam dana dari Bank dengan memenuhi persyaratan yang ditentukan. Dana tersebut dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kegiatan perekonomian. Seperti kegiatan investasi, kegiatan distribusi, menciptakan bidang usaha, dan sebagainya. Dengan kegiatan ini akan semakin memudahkan dalam meningkatkan kegiatan pembangunan perekonomian suatu negara.

3) Agent of Services

Bank dalam kegiatannya memiliki banyak fungsi selain menghimpun dana yang kemudian disalurkan kembali ke masyarakat. Disamping itu, Bank juga menawarkan jenis jasa lainnya, seperti jasa pengiriman dana, penitipan barang berharga, dan jasa Bank lainnya.

2.4.3 Kegiatan Bank

Kegiatan Bank secara umum terdiri dari 2 aktivitas yaitu: 1) Menghimpun dana

Dalam kegiatan ini yang biasanya dilakukan oleh Bank adalah menawarkan jasa penyimpanan yang dimiliki oleh Bank kepada masyarakat dan dapat meyakinkan masyarakat bahwa dana yang dimilikinya akan dijaga dan dikelola dengan baik oleh Bank. Contoh jasa simpanan Bank adalah:

a) Simpanan Giro.

(25)

dengan menggunakan cek atau bilyet giro. Simpanan jasa giro juga memberikan bunga kepada nasabah tergantung kepada masing-masing ketentuan Bank.

b) Simpanan Tabungan

Simpanan tabungan adalah jenis tabungan dimana penarikannya dapat dilakukan kapan saja melalui ATM (Anjungan Tunai Mandiri) dimana saja. Untuk simpanan tabungan ini sendiri, akan diberikan bunga atas jasa tabungannya yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan simpanan giro.

c) Simpanan Deposito

Simpanan deposito adalah simpanan yang penarikan atau pencairannya hanya dapat dilakukan sesuai dengan jangka waktu perjanjian yang ditetapkan oleh nasabah dengan Bank. Namun, di beberapa Bank sudah membuat ketentuan bahwa nasabah dapat melakukan penarikan kapan saja sesuai dengan ketentuan yang ada. Untuk tingkat suku bunga, simpanan deposito tergolong lebih besar jika dibandingkan dengan simpanan tabungan.

2) Menyalurkan Dana Kepada Masyarakat

Pada kegiatan ini, yang menjadi kegiatan Bank adalah menyalurkan dana yang telah di himpun dari masyarakat dan disalurkan kepada pihak-pihak yang membutuhkkan dana sesuai dengan ketentuan dan prosedur yang ditetapkan. Jenis dana yang disalurkan oleh Bank dapat berupa:

(26)

Kredit investasi ini biasanya merupakan dana jangka panjang yang biasanya dipergunakan oleh pengusaha untuk menjalankan kegiatan usahanya dengan perjanjian dan prosedur yang ditetapkan.

b) Kredit Modal Kerja

Kredit modal kerja adalah bentuk dana yang sifatnya jangka pendek yang biasanya digunakan untuk membiayai usaha untuk kegiatan perdagangan. c) Kredit Perdagangan Kredit

Kredit perdagangan kredit ini biasanya diberikan kepada pedagang-pedagang yang digunakan untuk membeli barang dagangan dari pemasok guna memperlancar kegiatan usahanya.

d) Kredit Konsumtif

Kredit konsumtif adalah jenis kredit yang diberikan untuk memenuhi kebutuhan seseorang misalnya kebutuhan sandang dan sebagainya. Jadi kredit ini diberikan bukan untuk kegiatan usaha dan sebagainya.

e) Kredit Produktif

Kredit ini diberikan untuk kegiatan usaha seperti investasi. Sehingga diharapkan adanya pengembalian berdasarkan investasi yang ditanamkan.

2.5 Penelitian-Penelitian Sebelumnya

2.5.1 Louis dalam Prinsip Mengenal Nasabah Sebagai Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Praktek Pencucian Uang Melalui Transfer Dana”

Louis (2012) dalam penelitiannya yang berjudul “Prinsip Mengenal Nasabah Sebagai Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Praktek Pencucian Uang Melalui

(27)

Customer) tidak hanya berguna untuk mendeteksi transaksi keuangan yang kemungkinan merupakan tindak pidana Pencucian Uang, tetapi juga melindungi Bank dari berbagai resiko dalam berhubungan dengan nasabah atau Counter-Party. Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa praktek Pencucian Uang mempunyai akibat yang kompleks yaitu merongrong perbankan, merugikan masyarakat, dan negara yang berdampak menghambat pembangunan nasional. Untuk mencegah tindak pidana Pencucian Uang, ada beberapa perangkat hukum yang digunakan antara lain Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Peraturan Bank Indonesia. Namun, dalam pelaksanaannya perangkat hukum tersebut tidak dapat diterapkan seutuhnya karena terdapat beberapa kendala oleh Bank karena adanya pertimbangan akan kehilangan nasabah. Dalam penelitian ini, penulis menyebutkan bahwa upaya yang dilakukan oleh Bank yang pada saat penelitian dilakukan pada Bank Ganesha adalah dengan cara menunjuk Direktur Kepatuhan dan membentuk UKPN untuk melaksanakan prinsip mengenal nasabah, melakukan pembuatan sistem teknologi/software guna memonitor transaksi, dan Monitoring Profile nasabah, serta terus mengadakan pengembangan dari sistem-sistem yang sudah ada dan juga memberikan pelatihan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah baik kepada pejabat maupun staf Bank. Dalam penelitian ini juga disebutkan bahwa terdapat kendala dalam penerapan Prinsip Mengenal Nasabah yang berasal dari masyarakat. Hal ini dikarenakan belum tersosialisasikannya dengan baik kepada masyarakat mengenai Prinsip Mengenal Nasabah sehingga perlu adanya dukungan dari pemerintah, Bank, dan masyarakat.

2.5.2 Afandi dalam “Pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/23/PBI/2003 Mengenai Arti Pentingnya Prinsip Mengenal Nasabah

(28)

Bagi Bank Perkreditan Rakyat dalam Kaitannya dengan Tanggung Jawab Bank sebagai Lembaga Keuangan”

Penelitian yang dilakukan oleh Afandi (2008) dengan judul “Pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/23/PBI/2003 Mengenai Arti Pentingnya Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Bank Perkreditan Rakyat dalam Kaitannya dengan Tanggung Jawab Bank sebagai Lembaga Keuangan” menyebutkan bahwa Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/23/PBI/2003 telah ditetapkan di Jakarta sejak tanggal 23 Oktober 2003 yang berkaitan dengan sistem pengendalian resiko Bank Perkreditan Rakyat. Di dalam penelitian ini juga disimpulkan bahwa di Kabupaten Kudus telah diadakan sosialisasi yang di selenggerakan oleh Bank Indonesia untuk pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia yang berkaitan dengan Prinsip Mengenal Nasabah.

2.5.3 Lisanawati dalam “International Journal of Cyber Society and Education” yang berjudul “Electronic Funds in Money Laundering Crime: Regulation Needed in Response to Meeting of Technology and Crime in Indonesia” Menurut Lisanawati (2010:163-170) dalam judul penelitiannya “International Journal of Cyber Society and Education” yang berjudul “Electronic Funds in Money Laundering Crime: Regulation Needed in Response to Meeting of Technology and Crime in Indonesia” menyebutkan bahwa kemajuan teknologi banyak membawa pengaruh positif dalam berbagai bidang antara lain komunikasi, pendidikan, perdagangan dan sebagainya. Namun, dalam kehidupan sehari-hari tidak jarang kemajuan teknologi banyak yang membawa dampak negatif. Lisanawati juga menyebutkan bahwa salah satu dampak negatif kemajuan teknologi ini adalah meningkatnya kejahatan yang dilakukan seperti transfer dana secara elektronik yang

(29)

Indonesia harus segera membuat peraturan dan perundangan yang berkaitan dengan transfer dana secara elektronik yang berkaitan dengan tindak pidana Pencucian Uang.

2.5.4 Kumar dalam European Journal of Business and Management yang berjudul “Money Laundering: Concept, Significance, and Its Impact” Menurut Kumar (2012), dalam European Journal of Business and Management yang berjudul “Money Laundering: Concept, Significance, and Its Impact” menyebutkan bahwa Pencucian Uang adalah suatu proses dimana jumlah uang yang diperoleh secara ilegal seperti perdagangan narkoba, kejahatan teroris, dan kejahatan lainnya yang dimanipulasi sehingga terlihat dana legal. Pencucian Uang memiliki banyak dampak negatif pada perekonomian dan stabilitas negara yang harus ditangani secara serius. Penulis menyimpulkan bahwa Pencucian Uang adalah masalah global yang harus dikendalikan secara global. Para pelaku kejahatan Pencucian Uang ini menyebarkan kaki tangan mereka ke lembaga atau institusi legal seperti pengacara, banker, akuntan, dan institusi lainnya untuk menyamarkan uang haram tersebut agar terlihat seperti pendapatan yang sah. Dalam hal ini, para pelaku menyisihkan sekitar 10-15% dari jumlah uang haram tersebut untuk membiayai kaki tangan tersebut. Dari semua kaki tangan tersebut, di perkirakan yang paling besar peranannya dalam melancarkan operasi kejahatan ini adalah banker. Kejahatan tindak pidana Pencucian Uang ini merupakan suatu kejahatan yang bersifat internasional dan harus ditangani dengan bersama-sama antar penegak hukum di semua negara di dunia.

2.5.5 Josetta dalam “The Use of Customer Due Diligence to Combat Money Laundering”

(30)

Penelitian yang dilakukan oleh Josetta (2013) dengan judul “The Use of CDD (Customer Due Diligence) to Combat Money Laundering” menjelaskan bahwa penggunaan prinsip CDD berdasarkan KYC (Know Your Customer) dalam perannya melawan Pencucian Uang khususnya yang terjadi pada sektor perbankan. Penelitian ini membahas pembuatan kerangka kerja strategi AML (Anti-Money Laundering) yang menempatkan prinsip CDD dan prosedur lainnya yang terkait fungsi manajemen resiko. Undang-undang dan strategi Amerika untuk mencegah Pencucian Uang menggunakan prinsip KYC diidentifikasi sebagai komponen terpenting dari manajemen resiko AML.

2.5.6 Nasution dalam “Memahami Praktek Pencucian Uang Hasil Kejahatan” Menurut Nasution (2011) dengan judul penelitiannya “Memahami Praktek Pencucian Uang Hasil Kejahatan” menyatakan bahwa meskipun kerjasama global telah berhasil untuk disepakati untuk bersama-sama mencegah dan memberantas tindak pidana Pencucian Uang secara internasional, namun dalam banyak kasus tampaknya para penjahat masih bisa dengan leluasa melakukan tindak pidana. Hal ini disebabkan cara yang dilakukan oleh pelaku lebih fleksibel dan terorganisir dengan tingkat kerjasama yang cukup kuat dan solid. Peneliti juga menekankan walaupun semua negara telah menetapkan undang-undang anti Pencucian Uang yang mengacu kepada International Standard yang dikeluarkan oleh lembaga dan organisasi internasional, tetapi pada kenyataanya masih selalu ada kesempatan yang memungkinkan pelaku tindak pidana Pencucian Uang melakukan aksinya meskipun kejadiannya pasang surut.

(31)

2.5.7 Waluyo dalam “Upaya Memerangi Tindakan Pencucian Uang (Money Laundering) Di Indonesia”

Waluyo (2009) dalam penelitiannya yang berjudul “Upaya Memerangi Tindakan Pencucian Uang (Money Laundering) Di Indonesia” menyebutkan bahwa pencegahan tindak pidana Pencucian Uang bukan suatu masalah yang mudah dan sederhana meskipun semua negara diseluruh dunia sudah menerapkan peraturan terkait rezim anti Pencucian Uang. Pada masa globalisasi saat ini, fenomena untuk mencegah tindak pidana Pencucian Uang sudah dilakukan baik secara nasional maupun internasional. Di Indonesia sendiri, untuk mencegah tindak pidana Pencucian Uang sudah dilakukan melalui 2 (dua) kebijakan hukum yang mana pendekatan pencegahan pada hukum perbankan seperti menerapkan prinsip mengenal nasabah dan kebijakan hukum yang bersifat menghukum yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002.

Tabel 2.1

Ikhtisar Penelitian Terdahulu

No. Nama, Judul Masalah Hasil

1. Go Lisanawati, “Electronic

Funds Transfer in Money Laundering Crime: Regulation Needed in Response to Meeting of Technology and Crime in Indonesia” (2010)

Meneliti masalah seberapa penting peraturan mengenai transfer dana elektronik dalam mencegah pencucian uang.

Indonesia perlu mengatur aktivitas transfer dana elektronik ke dalam hukum, tidak hanya dalam Peraturan internal seperti Bank Indonesia.

2. Vandana Ajay Kumar,

“Money Laundering: Concept, Significance and its Impact” (2012)

Menjelaskan mengenai konsep, signifikansi dan dampak dari pencucian uang.

Pencucian uang adalah masalah global dan harus menarik perhatian masyarakat dunia.

3. Louis, “Prinsip Mengenal

Nasabah Sebagai Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Praktek Pencucian Uang Melalui Transfer Dana” (2012)

Mencoba meneliti seberapa penting penerapan Prinsip Mengenal Nasabah untuk mencegah praktek tindak pidana Pencucian Uang.

Pencucian Uang mempunyai akibat yang kompleks yaitu merongrong perbankan, merugikan masyarakat, dan negara yang berdampak menghambat pembangunan nasional.

4. Afandi, “Pelaksanaan

Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/23/PBI/2003 Mengenai Arti Pentingnya Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Bank Perkreditan

Mencoba peneliti bagaimana peranan Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/23/PBI/2003 mengenai arti pentingnya penerapan prinsip mengenal

Kabupaten Kudus telah diadakan sosialisasi yang di selenggerakan oleh Bank Indonesia untuk pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia yang berkaitan dengan Prinsip

(32)

Tabel 2.1

Ikhtisar Penelitian Terdahulu

No. Nama, Judul Masalah Hasil

Rakyat dalam Kaitannya dengan Tanggung Jawab Bank sebagai Lembaga Keuangan” (2008)

nasabah oleh Bank Perkreditan Rakyat pada Kabupaten Kudus.

Mengenal Nasabah.

5. Josetta, “The Use of

Customer Due Diligence to Combat Money Laundering” (2013)

Meneliti peran penggunaan prinsip Customer Due Dilitgence (CDD) berdasarkan Know Your Customer (KYC) dalam memerangi Pencucian Uang khususnya di area

perbankan.

Hasil penelitian yang dilakukan menyebutkan arti pentingnya untuk menerapkan CDD berdasarkan prinsip KYC. Dalam hal ini, peneliti juga menyimpulkan bahwa penggunaan prinsip KYC di identifikasi sebagai komponen terpenting untuk AML (Anty Money Laundering)

6. Nasution, “Memahami

Praktek Pencucian Uang Hasil Kejahatan” (2011)

Memahami Praktek Pencucian Uang Hasil Kejahatan

Meskipun semua negara telah menetapkan Undang-undang anti Pencucian Uang, tetapi pada kenyataanya masih selalu ada kesempatan yang

memungkinkan pelaku tindak pidana Pencucian Uang melakukan aksinya meskipun kejadiannya pasang surut.

7. Waluyo, “Upaya Memerangi

Tindakan Pencucian Uang (Money Laundering) Di Indonesia” (2009)

Membahas permasalahan yang muncul sehubungan dengan perihal pencucian uang.

Agar aparat penegak hukum di Indonesia, dalam hal ini Kepolisian dan Kejaksaan, tidak lagi menggunakan peraturan-peraturan hukum uang menjerat predicate offense, melainkan

menggunakan undang-undang anti pencucian uang

(UUTPPU), sebagai bentuk penanggulangan dan pemberantasan kejahatan pencucian uang.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian tentang Pola Asuh Anak Dalam Keluarga Di Lingkungan Lokalisasi Padang Bulan ini, menggunakan 7 (tujuh) informan pokok orang tua yaitu para mucikari yang memiliki anak

Selain menghadirkan Xpander dan melakukan peluncuran kepada masyarakat Semarang dan Jawa Tengah, dalam pameran ini PT MMKSI juga menghadirkan 9 unit display dan 4 unit

jelas. serta didukung oleh komitmen vang kuat dari semua Guru dan staf di SMKTI Negeri 6 dan BLPT Bandung, maka tidak mustahil UP SMK akan menjelma menjadi perusahaan dalam sekolah

Pada Gambar 8 terlihat ada tiga variasi pengukuran kecepatan linier solution shaker yaitu pengukuran kecepatan ketika tanpa beban, pengukuran kecepatan dengan beban 50 g dan

1) SK Menkes No. 262/Menkes/Per/VII/1979, tentang perhitungan kebutuhan tenaga berdasarkan perbandingan antara jumlah tempat tidur yang tersedia di kelas rumah sakit tertentu

Tavip Tria Candra,

Dari hasil observasi, pembagian angket, dan dilanjutkan dengan wawancara diperoleh beberapa informasi berkaitan dengan kondisi siswa SMA Negeri 2 Seulimum dalam proses

Apabila setelah dilakukan perhitungan analisis korelasi diperoleh koefisien korelasi (r) >0, maka berarti terdapat hubungan positif antara variabel bebas dan variabel