• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

10

A. Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia

1. Sejarah Badan Pemeriksa Keuangan

Sejarah berdirinya Badan Pemeriksa Keuangan di dasarkan pada ketentuan pasal 23 ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945 sebelum di amandemen. Berdasarkan amanat Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, diterbitkan Surat Penetapan Pemerintah No.11/OEM tanggal 28 Desember 1946 tentang pembentukan Badan Pemeriksa Keuangan, pada tanggal 1 Januari 1947 yang berkedudukan sementara di kota Magelang. Pada waktu itu Badan Pemeriksa Keuangan hanya mempunyai 9 orang pegawai dan sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan pertama adalah R. Soerasno. Untuk memulai tugasnya, Badan Pemeriksa Keuangan dengan suratnya Nomor 941 tanggal 12 April 1947 telah mengumumkan kepada semua instansi di Wilayah Republik Indonesia mengenai tugas dan kewajibannya dalam memeriksa tanggung jawab tentang Keuangan Negara, untuk sementara masih menggunakan peraturan

perundang-undangan yang dulu berlaku bagi pelaksanaan tugas Algemene

Rekenkamer (Badan Pemeriksa Keuangan Hindia Belanda), yaitu ICW (Indonesian Corruption Watch). Dalam Penetapan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1948 tanggal 6 November 1948 tempat kedudukan Badan

(2)

Pemeriksa Keuangan dipindahkan dari Magelang ke Yogyakarta. Negara Republik Indonesia yang ibukotanya di Yogyakarta tetap mempunyai Badan Pemeriksa Keuangan sesuai ketentuan Pasal 23 ayat (5) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Ketuanya diwakili oleh R. Kasirman yang diangkat berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI tanggal 31 Januari 1950 No.13/A/1950 terhitung mulai 1 Agustus 1949. Dengan dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia Serikat (RIS) berdasarkan Piagam Konstitusi RIS tanggal 14 Desember 1949, maka dibentuk Dewan Pengawas Keuangan (berkedudukan di Bogor) yang merupakan salah satu alat perlengkapan negara RIS (Republik Indonesia Serikat), sebagai Ketua diangkat R. Soerasno mulai tanggal 31 Desember 1949, yang sebelumnya menjabat sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan di Yogyakarta. Dewan Pengawas Keuangan RIS (Republik Indonesia Serikat) berkantor

di Bogor menempati bekas kantor Algemene Rekenkamer pada masa

pemerintah Netherland Indies Civil Administration (NICA). Dengan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1950, maka Dewan Pengawas Keuangan RIS (Republik Indonesia Serikat) yang berada di Bogor sejak tanggal 1 Oktober 1950 digabung dengan Badan Pemeriksa Keuangan berdasarkan Undang-Undang Dasar 1950 dan berkedudukan di Bogor menempati bekas kantor Dewan Pengawas Keuangan RIS(Republik Indonesia Serikat). Personalia Dewan Pengawas Keuangan RIS (Republik Indonesia Serikat) diambil dari unsur

(3)

Rekenkamer di Bogor. Pada Tanggal 5 Juli 1959 dikeluarkan Dekrit Presiden Republik Indonesia yang menyatakan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Dengan demikian Dewan Pengawas Keuangan berdasarkan Undang-Undang Dasar 1950 kembali menjadi Badan Pemeriksa Keuangan berdasarkan Pasal 23 (5) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Meskipun Badan Pemeriksa Keuangan berubah-ubah menjadi Dewan Pengawas Keuangan RIS (Republik Indonesia Serikat) berdasarkan konstitusi RIS (Republik Indonesia Serikat) Dewan Pengawas Keuangan Republik Indonesia Undang-Undang Dasar 1950, kemudian kembali menjadi Badan Pemeriksa Keuangan berdasarkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, namun landasan pelaksanaan kegiatannya masih tetap menggunakan ICW(Indonesian Corruption Watch). Dalam amanat-amanat Presiden yaitu Deklarasi Ekonomi dan Ambeg Parama Arta, dan di dalam Ketetapan MPRS No. 11/MPRS/1960 serta resolusi MPRS No. 1/Res/MPRS/1963 telah dikemukakan keinginan-keinginan untuk menyempurnakan Badan Pemeriksa Keuangan, sehingga dapat menjadi alat kontrol yang efektif. Untuk mencapai tujuan itu maka pada tanggal 12 Oktober 1963, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 7 Tahun 1963 (LN No. 195 Tahun 1963) yang kemudian diganti dengan Undang-Undang (PERPU) Nomor 6 Tahun 1964 tentang Badan Pemeriksa Keuangan Gaya Baru. Untuk mengganti PERPU (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) tersebut, dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 17 Tahun

(4)

Tahun 1965 yang antara lain menetapkan bahwa Presiden, sebagai Pemimpin Besar Revolusi pemegang kekuasaan pemeriksaan dan penelitian tertinggi atas penyusunan dan pengurusan Keuangan Negara. Ketua dan Wakil Ketua BPK RI berkedudukan masing-masing sebagai Menteri Koordinator dan Menteri. Akhirnya oleh MPRS dengan Ketetapan No.X/MPRS/1966 Kedudukan BPK RI (Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia) dikembalikan pada posisi dan fungsi semula sebagai Lembaga Tinggi Negara. Sehingga Undang-Undang yang mendasari tugas BPK RI (Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia) perlu diubah dan akhirnya baru direalisasikan pada Tahun 1973 dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1973 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Dalam era Reformasi sekarang ini, Badan Pemeriksa Keuangan telah

mendapatkan dukungan konstitusional dari MPR RI (Majelis

Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia) dalam Sidang Tahunan Tahun 2002 yang memperkuat kedudukan BPK RI (Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia) sebagai lembaga pemeriksa eksternal di bidang Keuangan Negara, yaitu dengan dikeluarkannya TAP MPR No.VI/MPR/2002 yang antara lain menegaskan kembali kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan sebagai satu-satunya lembaga pemeriksa eksternal keuangan negara dan peranannya perlu lebih dimantapkan sebagai lembaga yang independen dan profesional. Untuk lebih memantapkan tugas BPK RI (Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia), ketentuan yang mengatur BPK RI (Badan Pemeriksa Keuangan Republik

(5)

Indonesia) dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 telah diamandemen. Sebelum amandemen BPK RI (Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia) hanya diatur dalam satu ayat pasal 23 ayat 5 kemudian dalam perubahan Ketiga UUD 1945 dikembangkan menjadi satu bab tersendiri (Bab VIII A) dengan tiga pasal (23E, 23F, dan 23G) dan tujuh ayat yang mendorong lahirnya tiga paket Undang-Undang tentang Keuangan Negara, yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung jawab Negara dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.

2. Pengertian Badan Pemeriksa Keuangan Negara

Badan Pemeriksa Keuangan, yang selanjutnya disingkat BPK, adalah lembaga negara yang bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indoonesia Tahun 1945. BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) merupakan satu lembaga negara yang bebas dan mandiri dalam memeriksa penerlolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang berkedudukan di Ibukota negara dan memiliki perwakilan di setiap propinsi. Keanggotaan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) terdiri dari 9 orang anggota, yang keanggotaannya di resmikan dengan Keputusan Presiden dengan susunan terdiri atas seorang ketua merangkap anggota,

(6)

seorang wakil ketua merangkap anggota, dan 7 orang anggota untuk masa jabatan selama 5 tahun.

3. Tugas dan Tujuan Badan Pemeriksa Keuangan Negara

BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara Lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah dan lembaga atau badan lainnya yang mengelola keuangan negara berdasarkan undang-undang tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Pemeriksaan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) mencakup pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu sesuai dengan standar pemeriksaan keuangan negara yang hasil pemeriksaannya diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai dengan kewenangannya untuk di tindak lanjuti. Apabila dalam pemeriksaan di temukan unsur pidana, BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan paling lama 1 bulan sejak diketahui adanya unsur pidana tersebut untuk dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat penyidik yang berwenang sesuai peraturan perundang-undangan.

(7)

Dalam melaksanakan tugas pemeriksaan, BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) berwenang:

1. Menentukan objek pemeriksaan, merencanakan dan

melaksanakan pemeriksaan, menentukan waktu dan metode pemeriksaan serta menyusun dan menyajikan leporan pemeriksaan.

2. Meminta keterangan dan/atau dokumen yang wajib di berikan oleh setiap orang, unit organisasi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara.

3. Melakukan pemeriksaan ditempat penyimpanan uang dan

barang milik negara, di tempat pelaksanaan kegiatan, pembukuan dan tata usaha keuangan milik negara serta pemeriksaan terhadap perhitungan-perhitungan, surat-surat, bukti-bukti, rekening koran, pertanggung jawaban, dan daftar lainnya yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara. 4. Menetapkan jenis dokumen, data, serta informasi mengenai

pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang wajib di sampaikan kepada BPK (Badan Pemeriksa Keuangan).

5. Menetapkan standar pemeriksaan keuangan negara setelah

(8)

gunakan dalam pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.

6. Menetapkan kode etik pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.

7. Menggunakan tenaga ahli dan/atau tenaga pemeriksa di luar BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) yang berkerja untuk dan atas nama BPK (Badan Pemeriksa Keuangan).

8. Membina jabatan fungsional pemeriksa

9. Memberi pertimbangan atas Standar Akuntansi Pemerintahan

10.Memberi pertimbangan atas rancangan sistem pengendalian intern Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah sebelum di tetapkan oleh Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah.

4. Dasar Hukum Badan Pemeriksaan Keuangan Republik Indonesia

Republik Indonesia menyadari pentingnya fungsi pemeriksaan dan pengawasan dalam penyelenggaraan negara. Keberadaan badan yang akan yang akan melakukan fungsi pemeriksaan telah dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar yang dinyatakan bahwa untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan, yang peraturannya ditetapkan dengan Undang-Undang Pasal 23 Bab VIII Undang-Undang Dasar 1945. Pengaturan undang-undang yang pertama kali mengikuti amanat Undang-Undang Dasar 1945 baru terbit pada tahun 1973. Kedudukan konstituonal BPK RI (Badan Pemeriksa

(9)

Keuangan Republik Indonesia) dinyatakan sebagai “Lembaga Tinggi Negara yang dalam pelaksanaan tugasnya terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah, akan tetapi tidak berdiri diatas pemerintah” Pasal 1 UU Nomor 5 Tahun 1973. Dalam pelaksanaan tugas dan kewajiban dalam memeriksa tanggung jawab pengelolaan keuangan negara, sejak tanggal 9 November 2001 landasan hukum BPK RI (Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia) sesuai dengan Amandemen Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah Bab VIII A Pasal 23 E, Pasal 23 F, dan Pasal 23 G.

Pasal 23 E.

1. Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan Negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.

2. Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan kewenangannya. 3. Hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga

(10)

Pasal 23 F

1. Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan

Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh Presiden. 2. Pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan dipilih dari dan oleh

anggota.

Pasal 23 G

1. Badan Pemeriksa Keuangan berkedudukan di ibu kota negara dan memiliki perwakilan di setiap provinsi.

2. Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Pemeriksa Keuangan diatur dengan Undang-UndangSelanjutnya Badan Pemeriksa Keuangan Negara Republik Indonesia. Saat ini, telah ditetapkan UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan yang baru, dimana undang-undang ini menjadi landasan struktural dan operasional yang kuat bagi BPK RI dalam melaksanakan tugasnya untuk melakukan pemeriksaan terhadap keuangan negara.

(11)

B. Badan Pemeriksa Keuangan Negara Republik Indonesia Perwakilan Propinsi DKI Jakarta

1. Sejarah Berdirinya Kantor Perwakilan

BPK RI (Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia) Perwakilan Provinsi DKI Jakarta terbentuk berawal dari Satuan Kerja Auditorat IV yang dipimpin oleh Drs. A. Th. Sutedjo, MM., yang kemudian digantikan oleh Drs. Rusmantoyo. Berdasarkan surat keputusan BPK RI (Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia) No. 16/SK/K//1996 tanggal 15 Agustus 1996, Auditorat IV berubah menjadi Perwakilan Khusus Jakarta, yang berkedudukan di Kantor Pusat BPK RI (Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia), Jalan Gatot Subroto No. 31 Jakarta Pusat. Selanjutnya berdasarkan surat keputusan BPK RI (Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia) No. 12/SK/I-VIII.3/2004 tanggal 29 Juli 2004 tentang Organisasi dan Tata Laksana BPK RI (Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia), terbentuklah Perwakilan III BPK RI (Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia) di Jakarta yang berkantor di Jalan MT Haryono Kav. 45-46 Jakarta Selatan. Perwakilan III BPK RI (Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia) di Jakarta membawahi Sekretariat Perwakilan III BPK RI (Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia) di Jakarta, Sub Auditorat Provinsi DKI Jakarta, Sub Auditorat Depdagri dan Jawa Barat IV, dan Sub Auditorat Jawa Barat I, II, dan III. Kemudian berdasarkan surat keputusan BPK RI (Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia) No.

(12)

02/SK/I-VIII.3/1/2006 tanggal 5 Januari 2006, nama Perwakilan III BPK RI (Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia) di Jakarta di ubah menjadi Perwakilan BPK RI (Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia) Provinsi DKI Jakarta, membawahi Sekretariat Perwakilan BPK RI (Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia) Provinsi DKI Jakarta, Sub Auditorat Provinsi Jakarta, Sub Auditorat Depdagri dan Banten. Berdasarkan surat keputusan Ketua BPK RI (Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia) No. 34/K/I-VIII.3/6/2007 tentang Struktur Organisasi Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, Perwakilan BPK RI (Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia) Provinsi DKI Jakarta akan membawahi Sub Auditorat DKI Jakarta I, Sub Auditorat DKI Jakarta II, Sub Auditorat DKI Jakarta IIII, Sub Auditorat DKI Jakarta IV, dan Sekretariat Perwakilan. Peresmian penggunaan gedung kantor Perwakilan III Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Provinsi DKI Jakarta dilakukan oleh Bapak Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, Prof. Dr. Anwar Nasution. pada tanggal 27 September 2005. Dan beralamat di Gedung BPM & PKUD Jl. MT. Haryono kav. 45-46 lantai 3 dan 4 Pancoran – Jakarta Selatan 12770, gedung tersebut

berstatus pinjam pakai dengan perjanjian pinjam pakai no.

7/AK/BP/V/2007 antara BPK RI (Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia) dengan Pemda DKI Jakarta.

(13)

2. Sub Auditorat Badan Pemeriksa Keuangan Perwakilan Propinsi DKI Jakarta.

Sub Auditorat Badan Pemeriksa Keuangan Perwakilan DKI Jakarta mempunyai tugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan daerah pada entitas di lingkungan Pemerintah Daerah DKI Jakarta yang memiliki fungsi Ketertiban dan Keamanan, serta Pelayanan Umum Pemerintahan, dan unit pelaksana teknis daerah terkait di lingkungan entitas tersebut di atas, termasuk melaksanakan pemeriksaan yang di limpahkan oleh AKN (Akuntan Keuangan Negara).

Untuk melaksanakan tugas sebagaimana tersebut di atas, Sub Auditorat Badan Pemeriksa Keuangan Perwakilan Propinsi DKI Jakarta menyelenggarakan fungsi:

1. Penyusunan program, pelaksanaan dan pengendalian kegiatan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan daerah pada lingkup tugas Sub Auditorat DKI Jakarta.

2. Pemeriksaan atas obyek-obyek pemeriksaan yang di limpahkan

oleh AKN (Akuntan Keuangan Negara).

3. Pengelolaan dan pemantauan database profil entitas

pemeriksaan pada lingkup tugas Sub Auditorat DKI Jakarta. 4. Pemantauan penyelesaian kerugian daerah pada lingkup tugas

(14)

5. Penyiapan bahan penyusunan penjelasan kepada Pemerintah, DPRD tentang hasil pemeriksaan pada lingkup tugas Sub Auditorat DKI Jakarta.

6. Penyiapan bahan evaluasi dalam rangka penyusunan

Sumbangan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester pada lingkup tugas Sub Auditorat DKI Jakarta, baik yang dilaksanakan oleh pemeriksa BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) maupun pemeriksa dari luar BPK (Badan Pemeriksa Keuangan).

7. Penyiapan bahan kajian hasil pemeriksaan pada lingkup tugas Sub Auditorat DKI Jakarta yang mengandung unsur tindak pidana korupsi dan/atau kerugian daerah untuk disampaikan kepada Ditama Binbangkum (Direktorat Utama Pembinaan dan Pengembangan Hukum).

8. Penyiapan laporan hasil pemeriksaan pada lingkup tugas Sub Auditorat DKI Jakarta yang mengandung unsur tindak pidana korupsi untuk disampaikan kepada instansi penegak hukum. 9. Pemantauan pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan pada

lingkup tugas Sub Auditorat DKI Jakarta.

10.Penyiapan bahan perumusan hasil pendapat BPK (Badan

Pemeriksa Keuangan) pada lingkup tugas Sub Auditorat DKI Jakarta yang akan disampaikan kepada pemangku kepentingan yang diperlukan karena sifat pekerjaan pemangku kepentingan di maksud.

(15)

11.Pelaksanaan kegiatan lain yang ditugaskan oleh Kepala Perwakilan BPK RI (Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia) di Jakarta.

12.Pelaporan hasil kegiatan secara berkala kepada Kepala Perwakilan BPK RI di Jakarta.

3. Sekretariat Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia

Perwakilan Propinsi DKI Jakarta.

1. Sub Bagian SDM:

Mempunyai tugas melaksanakan pengurusan sumber daya manusia dilingkungan Perwakilan BPK RI di Jakarta dan melaporkan hasil kegiatannya secara berkala kepada Kepala Sekretariat Perwakilan.

2. Sub Bagian Keuangan:

Mempunyai tugas melaksanakan kebijakan anggaran,

perbendaharaan, penatausahaan, dan pertanggung jawaban keuangan, serta menyiapakan bahan pendukung dalam rangka penyusunan Laporan Keuangan BPK dilingkungan Perwakilan BPK RI di Jakarta dan melaporkan hasil kegiatannya secara berkala kepada Kepala Sekretariat Perwakilan.

3. Sub Bagian Hukum dan Humas:

Mempunyai tugas melaksanakan pemberian layanan di bidang hukum yang meliputi legislasi, konsultasi, bantuan dan

(16)

informasi hukum, serta bidang kehumasan yang terkait dengan tugas dan fungsi Perwakilan BPK RI di Jakarta, dan melaporkan hasil kegiatannya secara berkala kepada Kepala Sekretariat Perwakilan.

4. Sub Bagian Umum:

Mempunyai tugas melaksanakan pemberian layanan

administrasi umum, teknologi informasi, dan keprotokolan, serta melaksanakan pengurusan sarana dan prasarana di lingkungan Perwakilan BPK RI di Jakarta dan melaporkan hasil kegiatannya secara berkala kepada Kepala Sekretariat Perwakilan.

5. Sub Bagian Sekretariat Kepala Perwakilan:

Mempunyai tugas menyelenggarakan kesekretariatan dan

menyiapkan informasi yang dibutuhkan oleh Kepala

Perwakilan melaksanakan kegiatan lain sesuai dengan perintah Kepala Perwakilan, dan melaporkan hasil kegiatannya secara berkala kepada Kepala Sekretariat Perwakilan.

(17)

C. Audit

1. Pengertian audit

Dalam sebuah bisnis maupun perekonomian, suatu audit menjadi sebuah hal yang sangat penting sekali, karena audit ini dapat memberikan kepercayaan yang lebih kepada para pihak yang berkepentingan, misalkan saja didalam suatu perusahaan, suatu audit akan sangat dibutuhkan oleh para pemegang saham untuk melihat kondisi ataupun memantau perkembangan perusahaan yang menjadi hak milik para pemegang saham tanpa intervensi dari pihak-pihak manajemen ataupun karyawan perusahaan.

Pengertian audit menurut para ahli :

a) Menurut (Agoes, 2010) audit adalah :

Suatu pemeriksaan dilakukan secara kritis dan sistematis oleh pihak yang independen, terhadap laporan keuangan yang telah disusun oleh manajemen beserta catatan-catatan pembukuan dan bukti-bukti pendukungnya, dengan tujuan untuk dapat memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut.

b) Menurut (Arens et a., 2008:4 ) audit adalah :

Suatu proses pengumpulan dan pengevaluasian bahan bukti tentang informasi yang dapat diukur mengenai suatu entitas ekonomi yang dilakukan seorang yang kompeten dan independen untuk dapat

(18)

menentukan dan melaporkan kesesuaian informasi dengan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan.

c) Menurut ( Mulyadi, 2010 ) audit adalah :

Suatu proses sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif mengenai pernyataan-pernyataan mengenai kegiatan dan kejadian ekonomi dengan tujuan untuk menetapkan tingkat kesesuaian antara pernyataan-pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan, serta penyampaian hasil-hasilnya kepada pemakai yang berkepentingan.

Menurut ( Mulyadi, 2010 ) berdasarkan beberapa pengertian audit diatas maka audit mengandung unsur-unsur :

1) Suatu proses sistematis, artinya audit merupakan suatu langkah atau prosedur yang logis, berkerangka dan terorganisasi, audit dilakukan dengan suatu urutan langkah yang direncanakan, terorganisasi dan bertujuan.

2) Untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif, artinya proses sistematik ditujukan untuk memperoleh bukti yang mendasari pernyataan yang dibuat oleh individu atau badan usaha serta untuk mengevaluasi tanpa memihak atau berprasangka terhadap bukti-bukti tersebut.

(19)

3) Pernyataan mengenai kegiatan dan kejadian ekonomi, artinya pernyataan mengenai kegiatan dan kejadian ekonomi merupakan hasil proses akuntansi.

4) Menetapkan tingkat kesesuaian, artinya pengumpulan bukti mengenai pernyataan dan evaluasi terhadap hasil pengumpulan bukti tersebut dimaksudkan untuk menetapkan kesesuaian pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan. Tingkat kesesuaian antara pernyataan dengan kriteria tersebut kemungkinan dapat dikuantifikasikan, kemungkinan pula bersifat kualitatif.

5) Kriteria yang telah ditetapkan, artinya kriteria atau standar yang dipakai sebagai dasar untuk menilai pernyataan (berupa hasil akuntansi) dapat berupa :

a. Peraturan yang ditetapkan oleh suatu badan legisiatif b. Anggaran atau ukuran prestasi yang ditetapkan oleh

manajemen

6) Penyampaian hasil, dimana penyampaian hasil dilakukan

secara tertulis dalam bentuk laporan audit (audit report)

7) Pemakai yang berkepentingan, pemakai yang berkepentingan terhadap laporan audit adalah para pemakai informasi keuangan, misalnya pemegang saham, manajemen, kreditur, calon investor, organisasi buruh dan kantor pelayanan pajak.

(20)

D. Jenis-Jenis Audit

Menurut Arens, Elder, Beasler dalam buku Jasa Audit dan Assurance (2011), jenis audit dapat dibagi menjadi 3, yaitu:

1) Audit Laporan Keuangan ( Financial Statement audit ) adalah audit yang dilakukan oleh auditor eksternal terhadap laporan keuangan kliennya untuk memberikan pendapat apakah laporan keuangan tersebut disajikan sesuai dengan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan. Hasil audit lalu dibagikan kepada pihak luar perusahaan seperti kreditur, pemegang saham, dan kantor pelayanan pajak.

2) Audit Kepatuhan (compliance audit) audit ini bertujuan untuk menentukan apakah yang diperiksa sesuai dengan kondisi, peraturan, dan undang-undang tertentu. Kriteria-kriteria yang ditetapkan dalam audit kepatuhan berasal dari sumber-sumber yang berbeda. Contohnya ia mungkin bersumber dari manajemen dalam bentuk prosedur-prosedur pengendalian internal. Audit kepatuhan biasanya disebut fungsi audit internal.

3) Audit Operasional (operational audit) merupakan penelahaan secara sistematik aktivitas operasi organisasi dalam hubungannya dengan tujuan tertentu. Dalam audit operasional, auditor diharapkan melakukan pengamatan yang objektif dan analisis yang komprehensif terhadap operasional-operasional tertentu.

(21)

E. Jenis-Jenis Auditor

Menurut Alvin A. Arens, dalam bukunya Jasa Audit dan Assurance Pendekatan terpadu (2011) jenis auditor dapat diklasifikasikan menjadi empat kelompok yaitu :

1) Kantor Akuntan Publik

Kantor akuntan public bertanggung jawab mengaudit laporan keuangan historis yang perusahaan serta dipublikasikan oleh semua perusahaan terbuka, kebanyakan perusahaan lain yang cukup besar, dan banyak perusahaan serta organisasi non komersial yang lebih kecil.

2) Auditor Pemerintah

Auditor pemerintah yang bekerja untuk Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan ( BPKP ) guna melayani kebutuhan pemerintah.

3) Auditor Pajak

Direktorat Jendral Pajak bertanggung jawab untuk memberlakukan peraturan pajak. Salah satu tanggung jawab utama ditjen pajak adalah mengaudit SPT ( Surat Pemberitahuan Pajak ) wajib pajak untuk menentukan apakah SPT ( Surat Pemberitahuan Pajak ) itu sudah mematuhi peraturan pajak yang berlaku. Auditor yang melakukan pemeriksaan ini disebut audit pajak.

(22)

4) Auditor Internal

Auditor yang dipekerjakan oleh perusahaan untuk melakukan audit bagi manajemen, sama seperti BPK mengaudit untuk DPR. Tanggung jawab auditor internal sangat beragam, tergantung pada yang memperkerjakan mereka.

F. Laporan Audit

1. Pengertian Laporan Audit

Menurut Alvin A. Arens dalam bukunya Jasa Audit dan Assurance Pendekatan terpadu ( 2011 ) Laporan Audit adalah “produk utama atau hasil audit yang digunakan auditor dalam mengkonsumsikan kesimpulan tentang laporan keuangan yang diaudit kepada pihak-pihak yang berkepentingan”. Laporan auditor diterbitkan apabila auditor telah memperoleh bukti yang cukup, audit dilakukan dengan standar audit yang berlaku umum dan laporan keuangan sesuai dengan GAPP. Menurut Standar Profesi Akuntan Publik per 1 Januari 2001 ( SA Seksi 508 ) laporan auditor harus menunjukan, jika ada, ketidak konsistenan penerapan prinsi akuntansi dalam penyusunan laporan keuangan periode berjalan dibandingkan tentang penerapan prinsip akuntansi tersebut dalam periode sebelumnya.

Dalam standar pelaporan keempat berbunyi demikian, “Laporan auditor harus memuat suatu pernyataan pendapat atas laporan keuangan secara keseluruhan atau memuat suatu asersi, bahwa

(23)

pernyataan demikian tidak dapat diberikan. Jika pendapat secara

keseluruhan tidak dapat diberikan, maka alasannya harus

dikemukakan. Dalam hal nama auditor dikaitkan dengan laporan keuangan, maka laporan auditor harus memuat petunjuk yang jelas mengenai sifat pekerjaan audit yang dilaksanakan, jika ada, dan tingkat tanggung jawab oleh auditor”.

Laporan auditor bentuk baku memuat suatu pernyataan bahwa laporan keuangan meyajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, posisi keuangan yang entitas, hasil usaha, dan arus kas sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. Laporan auditor bentuk baku harus menyebutkan laporan keuangan audit dalam paragraf pengantar, menggambarkan sifat audit dalam paragraf lingkup audit, dan menyatakan pendapat auditor dalam paragraf pendapat.

G. Audit Kinerja

1. Pengertian Audit Kinerja

Kinerja adalah gambaran pencapaian kegiatan/program/kebijakan dalam mewujudkan sasaran tujuan, visi dan misi organisasi (Indra, 2008:274). Sedangkan Stephen P. Robbins dalam I Gusti Agung Rai (2010:40) mendefinisikan Kinerja merupakan hasil evaluasi terhadap pekerjaan yang telah dilakukan dibandingkan dengan kriteria yang telah ditetapkan bersama.

(24)

Berdasarkan definisi kinerja diatas maka dapat diperoleh pengertian bahwa kinerja adalah ukuran kemampuan atau keberhasilan dalam melaksanakan suatu tugas, kegiatan aktifitas untuk mencapai suatu tujuan tertentu sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan.

Audit kinerja merupakan suatu proses perencanaan, pengumpulan, dan pengevaluasian bukti-bukti yang cukup relevan, material dan kompeten untuk menilai pencapaian penggunaan sumber-sumber secara ekonomis, efisien dan efektif untuk disimpulkan serta merumuskan sasaran-sasaran perbaikan dan melaporkan hasilnya kepada pihak ketiga.

Sedangkan menurut buku I Gusti Agung Rai, Audit Kinerja Pada Sektor Publik (2010) Audit kinerja adalah suatu proses sistematis dalam mendapatkan dan mengevaluasi bukti secara objektif atas kinerja suatu organisasi, program, fungsi atau kegiatan. Evaluasi dilaksanakan berdasarkan aspek ekonomi dan efisiensi operasi, efektifitas dalam mencapai hasil yang di inginkan, serta kepatuhan terhadap peraturan, hukum, dan kibijakan terkait.

Audit kinerja mengikuti pola audit keuangan, tapi mereka juga mencakup pengujian, mengacu pada standar audit, merupakan ukuran keberhasilan pencapaian tujuan manajemen. Tujuan ini di evaluasi dengan di ukur efisiensi dan faktor ekonomis dari penggunaan sumber daya, efektivitas pencapaian sasaran, dan kepatuhan dengan peraturan. Audit kinerja bergantung dengan skope audit keuangan dan teknik dan metode

(25)

yang digunakan. Sebagai hasilnya, laporan audit kinerja akan lebih rinci dibandingkan laporan audit tradisional.

Menurut SPKN ( Standar Pemeriksaan Keuangan Negara ) yang dimaksud dengan audit kinerja adalah pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara yang terdiri dari audit atas aspek ekonomi, efisiensi serta efektivitas. Audit kinerja pada sebuah program pemerintah meliputi juga audit atas kepatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan serta pengujian terhadap pengendalian intern. Pemeriksaan kinerja dilakukan secara objektif dan sistematis terhadap berbagai macam bukti, untuk dapat melakukan penilaian secara independen terhadap kinerja entitas atau program/kegiatan yang diperiksa. Pemeriksaan kinerja menghasilkan informasi yang berguna untuk meningkatkan kinerja suatu program dan memudahkan pengambilan keputusan bagi pihak yang bertanggung jawab untuk mengatasi dan mengambil tindakan koreksi serta meningkatkan pertanggung jawaban publik. Pemeriksaan kinerja dapat memiliki lingkup yang luas atau sempit dan menggunakan berbagai meteologi, berbagai

tingkat analisis, penelitian atau evaluasi. Pemeriksaan kinerja

menghasilkan temuan, simpulan dan rekomendasi.

2. Tujuan Audit Kinerja

Menurut undang-undang nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Negara, bahwa tujuan audit kinerja adalah sangat variatif, termasuk penilaian atas efektivitas, ekonomi dan

(26)

efisiensi, penilaian atas internal control , kepatuhan dan analisis yang sifatnya prospektif. Tujuan-tujuan tersebut tidaklah bersifat mutually exclusive. Sedangkan yang dimaksud dengan program audit adalah kerangka dari prosedur-prosedur yang dibutuhkan untuk dapat mencapai tujuan audit dan melakukan penilaian terhadap kriteria.

3. Manfaat Audit Kinerja

Menurut undang-undang nomer 15 tahun 2004 tentang Pemeriksan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Negara, Audit kinerja dilaksanakan dengan dasar pengetahuan yang bersifat multidimensi dan lebih banyak menekankan pada kemampuan analisis dari pada hanya sebatas pengetahuan akuntansi. Audit kinerja bukanlah bentuk audit berdasarkan checklist, kompleksitas dan keragaman pertanyaan. Dalam audit kinerja mensyaratkan agar auditor dibekali dengan kemampuan berkomunikasi yang baik. Berdasarkan pernyataan diatas terdapat banyak manfaat yang di dapat dalam audit kinerja. Diantaranya :

a) Mengidentifikasi permasalahan dan alternatif penyelesaiannya. b) Mengidentifikasi sebab-sebab actual ( tidak hanya gejala atau

perkiraan-perkiraan ) dari suatu permasalahan yang dapat diatasi oleh kebijakan manajemen atau tindakan lainnya.

c) Mengidentifikasi peluang atau kemungkinan untuk mengatasi keborosan atau ketidak efisienan dan mengidentifikasi kriteria untuk mencapai pencapaian umtuk tujuan organisasi.

(27)

d) Melakukan evaluasi atas sistem pengendalian internal.

e) Menyediakan jalur komunikasi antara tataran operasional dan manajemen dalam melaporkan ketidak benaran dalam pemeriksaan.

H. Audit Kepatuhan

1. Pengertian Audit Kepatuhan

Menurut Arens, Elder, Beasler dalam buku Jasa Audit dan Assurance (2008) Audit kepatuhan adalah audit yang bertujuan memberikan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan, tentang kesesuaian antara kondisi/pelaksanaan kegiatan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Definisi ini melihat audit kepatuhan dalam arti sempit. Audit kepatuhan dalam arti sempit hanya menentukan bahwa suatu instansi atau kegiatan telah dilaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku. Misalnya, audit kepatuhan ini hanya menentukan apakah penerimaan pegawai baru telah mengikuti peraturan penerimaan pegawai baru. Kepatuhan tersebut dibatasi pada tidakan-tindakannya, belum sampai pada masalah efektivitas, efisiensi, atau keekonomisan pelaksanaan penerimaan pegawai baru. Beberapa pemikiran dan praktik audit melihat audit kepatuhan dalam arti luas. Hal ini dapat diterapkan jika pelaksanaan Anggaran Berbasis Kinerja (ABK) diterapkan dengan benar. Dalam ABK telah ditetapkan target kinerja. Jika audit kepatuhan tidak dilakukan hanya

(28)

dengan menilai apakah pelaksanaan kegiatan telah sesuai dengan dokumen pelaksanaan anggarannya, tetapi juga menilai apakah pencapaian target dilakukan secara ekonomis, efisien, dan efektif, maka audit tersebut merupakan audit kepatuhan dalam arti luas.

2. Tujuan dan Fungsi Audit Kepatuhan

Tujuan audit kepatuhan adalah menentukan apakah klien audit telah mengikuti prosedur, tata cara, serta peraturan yang dibuat oleh otoritas yang lebih tinggi. Audit kepatuhan pada perusahaan pribadi dapat mencangkup pula penentuan apakah staf akuntansi telah mematuhi aturan upah minimum, atau menuji kontrak perjanjian dengan pihak bank atau pihak kreditur lainnya untuk memastikan bahwa perusahaan itu telah mematuhi peraturan-peraturan hukum yang ada.

Temuan audit kepatuhan umumnya disampaikan pada seseorang didalam unit organisasi yang diaudit dari pada disampaikan pada suatu lingkup pengguna yang luas. Manajemen, kebalikan dari pihak luar, merupakan pihak utama yang paling menaruh perhatian pada prosedur-prosedur serta peraturan-peraturan yang berlaku. Arens, Elder, Beasler, (2008:18-21) dalam buku Jasa Audit dan Assurance.

(29)

I. SPKN ( Standar Pemeriksaan Keuangan Negara )

1. Pengertian SPKN

Standar Pemeriksaan merupakan patokan bagi para pemeriksa dalam melakukan tugas pemeriksaannya. Seiring dengan perkembangan teori pemeriksaan, dinamika masyarakat yang menuntut adanya transparansi dan akuntabilitas, serta kebutuhan akan hasil pemeriksaan yang bernilai tambah menuntut BPK menyempurnakan standar audit pemerintahan (SAP) 1995. SAP 1995 dirasa tidak dapat memenuhi tuntutan dinamika masa kini. Terlebih lagi sejak adanya reformasi konstitusi di bidang pemeriksaan maka untuk memenuhi amanat Pasal 5 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara dan Pasal 9 ayat (1) huruf e Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, BPK harus menyusun standar pemeriksaan yang dapat menampung hal tersebut. Oleh karena itulah, saya sangat berbangga bahwa di awal tahun 2007 ini, BPK telah berhasil menyelesaikan penyusunan standar pemeriksaan yang diberi nama Standar Pemeriksaan Keuangan Negara atau disingkat dengan SPKN.

SPKN ini ditetapkan dengan peraturan BPK Nomor 01 Tahun 2007 sebagaimana amanat Undang-Undang yang ada. Dengan demikian, sejak ditetapkannya peraturan BPK ini dan dimuatnya dalam Lembaran Negara, SPKN ini akan mengikat BPK maupun pihak lain yang melaksanakan pemeriksaan keuanga negara untuk dan atas nama BPK. Inilah tonggak

(30)

sejarah dimulainya reformasi terhadap pemeriksaan yang dilakukan BPK setelah 60 tahun pelaksanaan tuga konstitusionalnya. Dengan demikian, diharapkan hasil pemeriksaan BPK dapa lebih berkualitas yaitu memberikan nilai tambah yang positif bagi pengelolaa dan tanggung jawab keuangan negara. Selanjutnya akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat Indonesia seluruhnya.

Penyusunan SPKN ini telah melalui proses sebagaimana diamanatkan dalam undang-undang maupun dalam kelaziman penyusunan standar profesi. Hal ini tidaklah mudah, oleh karenanya, SPKN ini akan selalu dipantau perkembangannya dan akan selalu dimutakhirkan agar selalu sesuai dengan dinamika yang terjadi di masyarakat.

Hal yang terpenting dari sebuah proses penyusunan SPKN bukanlah terletak pada kualitas SPKN-nya melainkan terletak pada kesuksesan dalam penerapannya. Oleh karenanya segala kegiatan yang dapat memungkinkan terlaksananya SPKN ini secara benar dan konsekuen harus dilakukan. Inilah tugas kita bersama.

Sesuai dengan amanat Pasal 23 ayat (1) e UUD 1945 yang menyatakan untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang Keuangan Negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri, maka kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan sebagai lembaga Negara Pemeriksa Keuangan Negara perlu dimantapkan dengan memperkuat peran dan kinerjanya. Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan

(31)

tentang SPKN ini merupakan pelaksanaan dari Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara Pasal 9 ayat (1) e. Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan yang menyatakan dalam melaksanakan tugasnya Badan Pemeriksa Keuangan berwenang/berkewajiban menetapkan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara setelah berkonsultasi dengan Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah yang wajib digunakan dalam pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab Keuangan Negara. Dalam rangka melaksanakan amanat Undang-undang tersebut, Badan Pemeriksa Keuangan telah menyampaikan surat Nomor 137/S/I-XIV/12/2006 tanggal 8 Desember 2006 perihal Konsep Standar Pemeriksaan Keuangan Negara kepada Presiden dan telah ditanggapi oleh Menteri Keuangan dengan surat Nomor S-553/MK.01/2006 tanggal 22 Desember 2006 perihal Tanggapan atas Konsep Standar Pemeriksaan Keuangan Negara. Agar Badan Pemeriksa Keuangan dapat melaksanakan tugas pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab Keuangan Negara secara efektif, sesuai peraturan perundang-undangan yang mutakhir maka Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan tentang SPKN ini mengatur hal-hal pokok yang memberi landasan operasional sebagai pengganti Standar Audit Pemerintahan atau SAP yang selama ini berlaku. SPKN memuat persyaratan profesional Pemeriksa, mutu pelaksanaan pemeriksaan dan persyaratan laporan pemeriksaan yang profesional bagi para Pemeriksa dan organisasi

(32)

Pemeriksa dalam melaksanakan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab Keuangan Negara.

Pelaksanaan pemeriksaan yang didasarkan pada Standar Pemeriksaan akan meningkatkan kredibilitas informasi yang dilaporkan atau diperoleh dari entitas yang diperiksa melalui pengumpulan dan pengujian bukti secara obyektif. Apabila pemeriksa melaksanakan pemeriksaan dengan cara ini dan melaporkan hasilnya sesuai dengan Standar Pemeriksaan maka hasil pemeriksaan tersebut akan dapat mendukung peningkatan mutu pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara serta pengambilan keputusan Penyelenggara Negara. Pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara juga merupakan salah satu unsur penting dalam rangka terciptanya akuntabilitas publik.

2. Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara

Bahwa untuk melaksanakan pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Dasar nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan dan Pengelolaan Tanggung Jawab Keuangan Negara dan pasal 9 ayat ayat (1) huruf e dan pasal 31 ayat (2) Undang-Undang nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. Memutuskan:

a. Pasal 1

1) Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) adalah

patokan untuk melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.

(33)

2) Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. 3) Pengelolaan Keuangan Negara adalah keseluruhan kegiatan

pejabat pengelola keuangan negara sesuai dengan kedudukan dan kewenangannya, meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pertanggungjawaban.

4) Pemeriksa adalah orang yang melaksanakan tugas pemeriksaan

pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara untuk dan atas nama Badan Pemeriksa Keuangan.

5) Pemeriksaan adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, objektif, dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. 6) Aparat Pengawas Internal Pemerintah adalah unit organisasi di

lingkungan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah,

Kementerian Negara, Lembaga Negara dan Lembaga Pemerintah Non Departemen yang mempunyai tugas dan fungsi melakukan pengawasan dalam lingkup kewenangannya. 7) Satuan Pengawasan Intern adalah unit organisasi pada Badan

(34)

mempunyai tugas dan fungsi melakukan pengawasan dalam lingkup kewenangannya.

b. Pasal 2

SPKN dinyatakan dalam bentuk Pernyataan Standar Pemeriksaan yang selanjutnya disebut PSP.

c. Pasal 3

1) PSP Nomor 01 tentang Standar Umum

2) PSP Nomor 02 tentang Standar Pelaksanaan Pemeriksaan

Keuangan

3) PSP Nomor 03 tentang Standar Pelaporan Pemeriksaan

Keuangan

4) PSP Nomor 04 tentang Standar Pelaksanaan Pemeriksaan

Kinerja

5) PSP Nomor 05 tentang Standar Pelaporan Pemeriksaan Kinerja

6) PSP Nomor 06 tentang Standar Pelaporan Pelaksanaan

Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu

7) PSP Nomor 07 tentang Standar Pelaporan Pemeriksaan Dengan

Tujuan Tertentu d. Pasal 4

Pendahuluan Standar Pemeriksaan dan PSP sebagaimana dimaksud dalam pasal 3, tercantum dan merupakan bagian yang tidak terpisah.

(35)

e. Pasal 5

SPKN ini berlaku untuk semua pemeriksa yang dilaksanakan terhadap entitas, program, kegiatan serta fungsi yang berkaitan dengan pelaksanaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan negara. f. Pasal 6

SPKN ini berlaku bagi:

1) Badan Pemeriksa Keuangan

2) Akuntan publik atau pihak lainnya yang melakukan

pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, untuk dan atas nama Badan Pemeriksa Keuangan. g. Pasal 7

Aparat Pengawas Internal Pemerintah, satuan pengawasan intern atau pihak lainnya dapat menggunakan SPKN sebagai acuan dalam menyusun standar pengawasan sesuai dengan kedudukan, tugas dan fungsinya.

h. Pasal 8

Peraturan pelaksanaan dari SPKN ditetapkan dengan Keputusan Badan Pemeriksa Keuangan.

i. Pasal 9

Badan Pemeriksa Keuangan membentuk suatu Komite yang bertugas memantau penerapan dan pengembangan SPKN, yang ditetapkan dengan Keputusan Badan Pemeriksa Keuangan.

(36)

j. Pasal 10

Dengan berlakunya Peraturan ini maka Standar Audit

Pemerintahan sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 01a/SK/K/1995, dinyatakan tidak berlaku.

k. Pasal 11

Pada saat berlakunya Peraturan BPK ini, semua pemeriksaan yang masih berlangsung pada saat Peraturan BPK ini ditetapkan, dilaksanakan berdasarkan Keputusan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 01a/SK/K/1995 tentang Standar Audit Pemerintahan.

l. Pasal 12

Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan ini dengan penetapan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

3. Jenis Pemeriksaan

Setiap pemeriksaan dimulai dengan penetapan tujuan dan penentuan jenis pemeriksaan yang akan dilaksanakan serta standar yang harus diikuti oleh pemeriksa. Jenis pemeriksaan sebagaimana diuraikan dalam Standar Pemeriksaan ini, adalah: pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu.

(37)

Dalam beberapa pemeriksaan, standar yang digunakan untuk mencapai tujuan pemeriksaan sudah sangat jelas. Misalnya, jika tujuan pemeriksaan adalah untuk memberikan opini terhadap suatu laporan keuangan, maka standar yang berlaku adalah Standar pemeriksaan keuangan. Namun demikian, untuk beberapa pemeriksaan lainnya, mungkin terjadi tumpang-tindih tujuan pemeriksaan. Misalnya, jika tujuan pemeriksaan adalah untuk menentukan keandalan ukuran-ukuran kinerja, maka pemeriksaan tersebut bisa dilakukan melalui pemeriksaan kinerja maupun pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Apabila terdapat pilihan

diantara standar-standar yang berlaku, pemeriksa harus

mempertimbangkan kebutuhan pengguna dan pengetahuan pemeriksa, keahlian, dan pengalaman dalam menentukan standar yang akan diikuti.

Menurut Standar Pemeriksaan Keuangan Negara Pemeriksa harus mengikuti standar yang berlaku bagi suatu jenis pemeriksaan (Standar Pemeriksaan Keuangan, Standar Pemeriksaan Kinerja, atau Standar Pemeriksaan DenganTujuan Tertentu).

a. Pemeriksaan Keuangan

Pemeriksaan keuangan adalah pemeriksaan atas laporan keuangan. Pemeriksaan keuangan tersebut bertujuan untuk memberikan keyakinan yang memadai (reasonable assurance) apakah laporan keuangan telah disajikan secara wajar, dalam semua hal yang material sesuai dengan prinsip akuntansi yang

(38)

berlaku umum di Indonesia atau basis akuntansi komprehensif selain prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.

b. Pemeriksaan Kinerja

Pemeriksaan kinerja adalah pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara yang terdiri atas pemeriksaan aspek ekonomi dan efisiensi serta pemeriksaan aspek efektivitas. Dalam melakukan pemeriksaan kinerja, pemeriksa juga menguji kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan serta pengendalian intern. Pemeriksaan kinerja dilakukan secara obyektif dan sistematik terhadap berbagai macam bukti, untuk dapat melakukan penilaian secara independen atas kinerja entitas atau program/kegiatan yang diperiksa. Pemeriksaan kinerja menghasilkan informasi yang berguna untuk meningkatkan kinerja suatu program dan memudahkan pengambilan keputusan bagi pihak yang bertanggung jawab untuk mengawasi dan mengambil tindakan koreksi serta

meningkatkan pertanggungjawaban publik. Pemeriksaan

kinerja dapat memiliki lingkup yang luas atau sempit dan menggunakan berbagai metodologi; berbagai tingkat analisis, penelitian atau evaluasi. Pemeriksaan kinerja menghasilkan temuan, simpulan, dan rekomendasi.

Tujuan pemeriksaan yang menilai hasil dan efektivitas suatu program adalah mengukur sejauh mana suatu program

(39)

mencapai tujuannya. Tujuan pemeriksaan yang menilai ekonomi dan efisiensi berkaitan dengan apakah suatu entitas telah menggunakan sumber dayanya dengan cara yang paling produktif di dalam mencapai tujuan program. Kedua tujuan pemeriksaan ini dapat berhubungan satu sama lain dan dapat dilaksanakan secara bersamaan dalam suatu pemeriksaan kinerja. Contoh tujuan pemeriksaan atas hasil dan efektivitas program serta pemeriksaan atas ekonomi dan efisiensi menurut Standar pemeriksaan Keuangan Negara adalah penilaian atas:

1) Sejauhmana tujuan peraturan perundang-undangan dan

organisasi dapat dicapai.

2) Kemungkinan alternatif lain yang dapat meningkatkan

kinerja program atau menghilangkan faktor-faktor yang menghambat efektivitas program.

3) Perbandingan antara biaya dan manfaat atau efektivitas biaya suatu program.

4) Sejauhmana suatu program mencapai hasil yang diharapkan

atau menimbulkan dampak yang tidak diharapkan.

5) Sejauhmana program berduplikasi, bertumpang tindih, atau bertentangan dengan program lain yang sejenis.

6) Sejauhmana entitas yang diperiksa telah mengikuti

(40)

7) Validitas dan keandalan ukuran-ukuran hasil dan efektivitas program, atau ekonomi dan efisiensi.

8) Keandalan, validitas, dan relevansi informasi keuangan yang berkaitan dengan kinerja suatu program.

c. Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu

Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu bertujuan untuk memberikan simpulan atas suatu hal yang diperiksa. Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu dapat bersifat: eksaminasi (examination), reviu (review), atau prosedur yang disepakati (agreed-upon procedures). Pemeriksaan dengan tujuan tertentu meliputi antara lain pemeriksaan atas hal-hal lain di bidang keuangan, pemeriksaan investigatif, dan pemeriksaan atas sistem pengendalian intern. Apabila pemeriksa melakukan pemeriksaan dengan tujuan tertentu berdasarkan permintaan, maka BPK harus memastikan melalui komunikasi tertulis yang memadai bahwa sifat pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah telah sesuai dengan permintaan.

4. Tanggung Jawab Pemeriksa

Menurut Standar Pemeriksaan Keuangan Negara, Pemeriksa secara profesional bertanggung jawab merencanakan dan melaksanakan pemeriksaan untuk memenuhi tujuan pemeriksaan. Dalam melaksanakan tanggung jawab profesionalnya, pemeriksa harus memahami

(41)

prinsip-prinsip pelayanan kepentingan publik serta menjunjung tinggi integritas, obyektivitas, dan independensi. Pemeriksa harus memiliki sikap untuk melayani kepentingan publik, menghargai dan memelihara kepercayaan publik, dan mempertahankan profesionalisme. Tanggung jawab ini sangat penting dalam pelaksanaan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Untuk itulah Standar Pemeriksaan ini memuat konsep akuntabilitas yang merupakan landasan dalam pelayanan kepentingan publik.

Pemeriksa harus mengambil keputusan yang konsisten dengan kepentingan publik dalam melakukan pemeriksaan. Dalam melaksanakan tanggung jawab profesionalnya, pemeriksa mungkin menghadapi tekanan dan atau konflik dari manajemen entitas yang diperiksa, berbagai tingkat jabatan pemerintah, dan pihak lainnya yang dapat mempengaruhi obyektivitas dan independensi pemeriksa. Dalam menghadapi tekanan dan atau konflik tersebut, pemeriksa harus menjaga integritas dan menjunjung tinggi tanggung jawab kepada publik.

Untuk mempertahankan dan memperluas kepercayaan publik, pemeriksa harus melaksanakan seluruh tanggung jawab profesionalnya dengan derajat integritas yang tertinggi. Pemeriksa harus profesional, obyektif, berdasarkan fakta, dan tidak berpihak. Pemeriksa harus bersikap jujur dan terbuka kepada entitas yang diperiksa dan para pengguna laporan hasil pemeriksaan dalam melaksanakan pemeriksaannya dengan tetap memperhatikan batasan kerahasiaan yang dimuat dalam ketentuan

(42)

peraturan perundang-undangan. Pemeriksa harus berhati-hati dalam

menggunakan informasi yang diperoleh selama melaksanakan

pemeriksaan. Pemeriksa tidak boleh menggunakan informasi tersebut diluar pelaksanaan pemeriksaan kecuali ditentukan lain.

Pelayanan dan kepercayaan publik harus lebih diutamakan di atas kepentingan pribadi. Integritas dapat mencegah kebohongan dan pelanggaran prinsip tetapi tidak dapat menghilangkan kecerobohan dan

perbedaan pendapat. Integritas mensyaratkan pemeriksa untuk

memperhatikan jenis dan nilai-nilai yang terkandung dalam standar teknis dan etika. Integritas juga mensyaratkan agar pemeriksa memperhatikan prinsip-prinsip obyektivitas dan independensi.

Pemeriksa harus obyektif dan bebas dari benturan kepentingan (conflict of interest) dalam menjalankan tanggung jawab profesionalnya. Pemeriksa juga bertanggung jawab untuk mempertahankan independensi dalam sikap mental (independent in fact) dan independensi dalam penampilan perilaku (independent in appearance) pada saat melaksanakan pemeriksaan. Bersikap obyektif merupakan cara berpikir yang tidak memihak, jujur secara intelektual, dan bebas dari benturan kepentingan. Bersikap independen berarti menghindarkan hubungan yang dapat mengganggu sikap mental dan penampilan obyektif pemeriksa dalam melaksanakan pemeriksaan. Untuk mempertahankan obyektivitas dan independensi maka diperlukan penilaian secara terus-menerus terhadap hubungan pemeriksa dengan entitas yang diperiksa.

(43)

Pemeriksa bertanggung jawab untuk menggunakan pertimbangan profesional dalam menetapkan lingkup dan metodologi, menentukan pengujian dan prosedur yang akan dilaksanakan, melaksanakan pemeriksaan, dan melaporkan hasilnya. Pemeriksa harus mempertahankan integritas dan obyektivitas pada saat melaksanakan pemeriksaan untuk mengambil keputusan yang konsisten dengan kepentingan publik. Dalam melaporkan hasil pemeriksaannya, pemeriksa bertanggung jawab untuk mengungkapkan semua hal yang material atau signifikan yang diketahuinya, yang apabila tidak diungkapkan dapat mengakibatkan kesalahpahaman para pengguna laporan hasil pemeriksaan, kesalahan dalam penyajian hasilnya, atau menutupi praktik-praktik yang tidak patut atau tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pemeriksa bertanggung jawab untuk membantu manajemen dan para pengguna laporan hasil pemeriksaan lainnya untuk memahami tanggung jawab pemeriksa berdasarkan Standar Pemeriksaan dan cakupan pemeriksaan yang ditentukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam rangka membantu pihak manajemen dan para pengguna laporan hasil pemeriksaan lainnya memahami tujuan, jangka waktu dan

data yang diperlukan dalam pemeriksaan, pemeriksa harus

mengkomunikasikan informasi yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan pemeriksaan tersebut kepada pihak-pihak yang terkait selama tahap perencanaan pemeriksaan.

(44)

J. Penelitian Terdahulu

2.1 Tabel Penelitian Terdahulu

No Nama Tahun Judul Hasil Penelitian

1 Oktarika Ayoe Sandha 2008 Program Audit

Kinerja Berbasis SPKN

Dapat disimpulkan bahwa

terdapat perbedaan antara praktik penyusunan program audit kinerja oleh auditor dengan aturan yang ada dalam SPKN. Perbedaan yang terjadi di sini adalah lebih ketatnya aturan yang dimuat SPKN daripada yang dijalankan oleh auditor dalam menyusun program audit kinerja.

2 Yulli Fithri Yanna Hs 2012 Evaluasi

Terhadap Audit Kinerja Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Perwakilan

1. Penentuan area kunci pada

pelaksanaan audit kinerja di Dinas Pendidikan Kota

Pekanbaru Tahun

Anggaran 2009 yang

dilakukan BPK RI

Perwakilan Provinsi Riau

(45)

Propinsi Riau dilakukan sesuai dengan standar pelaksanaan audit

kinerja yaitu SPKN.

Namun, terdapat satu

tahap yaitu pengujian

peraturan

perundang-undangan yang signifikan

yang belum dilakukan

secara optimal, karena

dalam mengidentifikasi

area 18 kunci auditor

belum sepenuhnya

melakukan pengujian

sesuai standar

pelaksanaan.

2. Pengumpulan dan

pengujian bukti audit pada pelaksanaan audit kinerja di Dinas Pendidikan Kota

Pekanbaru Tahun

Anggaran 2009 yang

dilakukan BPK RI

(46)

telah diterapkan dengan baik sesuai dengan standar pelaksanaan audit kinerja.

3 Nur Samsi 2013 Pengaruh

Pengalaman Kerja, Independensi, dan Kompetensi Terhadap Kualitas Audit.

Hasil analisis menunjukkan

bahwa variabel pengalaman kerja,

independensi, interaksi

pengalaman kerja dan kepatuhan

etika auditor, dan interaksi

independensi dan kepatuhan etika

auditor berpengaruh terhadap

kualitas hasil pemeriksaan.

Sedangkan variabel kompetensi dan interaksi kompetensi dan kepatuhan etika auditor tidak

berpengaruh terhadap kualitas

hasil

pemeriksaan.

4 Ni Made Suratmi, Nyoman

Trisna Heriawati, Nyoman Ari Surya Darmawan

2014 Pengaruh Audit Kinerja, Penyajian Laporan Keuangan, dan Aksesibilitas

Hasil penelitian menunjukan

bahwa variabel audit kinerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap akuntabilitas publik,

penyajian laporan keuangan

(47)

Laporan Keuangan Terhadap Akuntabilitas Publik.

terhadap akuntabilitas publik, aksesibilitas laporan keuangan berpengaruh positif dan signifikan terhadap akuntabilitas publik, dan secara simultan audit kinerja, penyajian laporan keuangan, dan

aksesiblitas laporan keuangan

berpengaruh signifikan terhadap akuntabilitas publik.

5 Eka Noviana Sari 2013 Pengaruh Audit

Internal Terhadap kinerja Keuangan Perbankan (Studi Kasus : Perbankan Di Kota Gorontalo)

bahwa audit internal

berpengaruh signifikan terhadap

kinerja keuangan di Kota

Gorontalo dan pengaruhnya

bersifat positif.

(48)

K. Kerangka Konseptual

Uraian dibawah ini menggambarkan pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen, dikemukakan suatu kerangka pemikiran teoritis, yaitu Penerapan SPKN terhadap Audit Kinerja dan Audit Kepatuhan dapat dilihat pada gambar 2.2

Sumber : Data diolah 2013

Gambar 2.2 Kerangka Konseptual Audit Kinerja (Y1)

Audit Kepatuhan (Y2)

Gambar

Gambar 2.2 Kerangka Konseptual  Audit Kinerja (Y 1 )

Referensi

Dokumen terkait

It's also important to know about self-harm alternatives and to gain some insight into why you self- harm or what triggers your self-injury behaviors. This self-injury test can

Siswa dapat menyelesaikan soal cerita yang berkaitan dengan volume bangun ruang sisi lengkung. *

Menjalani profesi sebagai guru selama pelaksanaan PPL, telah memberikan gambaran yang cukup jelas bahwa untuk menjadi seorang guru tidak hanya cukup dalam

Untuk mengatasi masalah yang diuraikan di atas, maka dapat diambil kesimpulan hipotesis tindakan berupa : Pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran

Telkom tanpa setahu dan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu telah menaikkan Biaya IndiHome Triple Play menjadi Rp.600.000,- dari yang diperjanjikan semula sebesar

Melihat dari potensi wisata, perpaduan antara wisata alam dan wisata kuliner mampu menunjang bertambahnya wisatawan yang datang di Kabupaten Enrekang.Lokasi kawasan

Dalam skala pe- mungutan suara pemili- han serentak tahun 2020 di Provinsi Sulawesi Tengah, ada 7 (tujuh) kabupaten/kota dan 1 pemilihan Gubernur yang menyelenggarakan

The depth of our investment resources and diversity of our asset base, coupled with the long-standing governance and risk management culture of a capital based publicly owned