• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PEMBERIAN SENYAWA HUMAT TERHADAP KARAKTERISTIK ERAPAN FOSFOR PADA TANAH DENGAN OKSIDA Fe DAN Al YANG TINGGI SELVI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH PEMBERIAN SENYAWA HUMAT TERHADAP KARAKTERISTIK ERAPAN FOSFOR PADA TANAH DENGAN OKSIDA Fe DAN Al YANG TINGGI SELVI"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PEMBERIAN SENYAWA HUMAT

TERHADAP KARAKTERISTIK ERAPAN FOSFOR

PADA TANAH DENGAN OKSIDA Fe DAN Al YANG TINGGI

SELVI

MAYOR MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

(2)

PENGARUH PEMBERIAN SENYAWA HUMAT

TERHADAP KARAKTERISTIK ERAPAN FOSFOR

PADA TANAH DENGAN OKSIDA Fe DAN Al YANG TINGGI

SELVI A14051514

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Ilmu Tanah dan Manajemen Sumberdaya Lahan

MAYOR MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2010

(3)

Judul Penelitian : Pengaruh Pemberian Senyawa Humat Terhadap Karakteristik Erapan Fosfor Pada Tanah Dengan Oksida Fe dan Al yang Tinggi

Nama : Selvi NRP : A14051514

Menyetujui,

Pembimbing I

Dr. Ir. Lilik Tri Indriyati, M.Sc NIP. 19660315 199103 2 002

Pembimbing II

Dr. Ir. Arief Hartono, M.Sc NIP. 19680628 199303 1 002

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc NIP. 1961113 198703 1 003

(4)

ABSTRAK

SELVI.

Pengaruh Pemberian Senyawa Humat Terhadap Karakteristik

Erapan Fosfor Pada Tanah Dengan Oksida Fe dan Al Yang Tinggi.

Dibimbing Oleh LILIK TRI INDRIYATI dan ARIEF HARTONO.

Indonesia memiliki lahan kering dengan luasan sebesar 102.817.113 ha yang bersifat masam. Tanah masam pada lahan kering umumnya memiliki tingkat kesuburan dan ketersediaan fosfor (P) yang rendah. Rendahnya ketersediaan P di dalam tanah tersebut karena P dierap oleh komponen-komponen tanah antara lain oksida Fe dan Al. Dari penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa oksida Fe dan Al yang tinggi dapat meningkatkan erapan P. Dewasa ini, senyawa humat merupakan bahan yang populer terkait dengan peningkatan tingkat kesuburan tanah-tanah ini.

Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh senyawa humat terhadap karakteristik erapan dan desorpsi P. Tanah yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rhodic Eutrudox dan Typic Paleudult, dari Kuaro, Kalimantan Timur. Contoh tanah yang digunakan dijenuhi dengan senyawa humat dengan perbandingan tanah : senyawa humat 1:5 dan diinkubasi selama dua hari. Data hasil erapan dan desorpsi P disimulasikan dengan menggunakan persamaan Langmuir.

Hasil analisis menunjukkan bahwa pemberian senyawa humat dari Andisol tidak konsisten dalam erapan P maksimum dan energi ikatan, sedangkan senyawa humat dari tanah Gambut secara statistik nyata meningkatkan energi ikatan pada kedua tanah. Kebutuhan standar pemupukan P (P yang dierap pada konsentrasi kesetimbangan 0.2 mg/L) pada Rhodic Eutrudox nyata meningkat dengan pemberian kedua senyawa, sedangkan pada Typic Paleudult nyata meningkat pada pemberian senyawa humat dari tanah Gambut. Pengaruh senyawa humat dari Andisol tidak konsisten terhadap persentase P yang didesorpsi, sedangkan senyawa humat dari tanah Gambut nyata menurunkan persentase P yang didesorpsi pada kedua contoh tanah. Dari hasil ini dapat diduga bahwa karakterisik erapan P tergantung pada karakteristik dari senyawa humat.

(5)

ABSTRACT

SELVI.

The

Effect Of Humic Substanceso on Phosphorus Sorption

Characteristics in High Fe and Al Oxides Contained Soils. Supervised

By

LILIK TRI INDRIYATI

and

ARIEF HARTONO.

Indonesia has upland soil area is about 102.817.113 ha which is generally in acid condition. Acid upland soils generally have low fertility and phosphorus availability (P). P low availability is caused by soil components, e.g. Fe and Al oxides. From previous studies showed that Fe and Al oxides could increase phosphorus sorption (P). Today, the humic substance is a material can increase level of soil fertility in such soils.

The objectives of this study was to determine the effect of humic substances of Andisol and Peat soil on P sorption and desorption characteristic. Soil samples used in this study were Rhodic Eutrudox and Typic Paleudult, from Kuaro, East Kalimantan. Soil samples were mixed with humic substance with ratio of soil : humic substance was 1:5 and incubatedfor two days. The results of P sorption and desorption were satisfactorily described by Langmuir equation.

The results of the analysis showed that application of humic substance from Andisol resulted the inconsistent P sorption maxima and bonding energy, while humic substance from Peat Soil significantly increased bonding energy in both soils. Standard P requirements (P sorbed at 0.2 mg / L) significantly increased in Rhodic Eutrudox by application both of humic substances, while in Typic Paleudult significantly increased by application of humic substance from Peat soil. The effect of humic substance from Andisol was inconsistent on P desorption, while humic substance from Peat soil significantly decreased P desorption in both soils. It could be concluded that P sorption characteristics estimated was depend on characteristic of humic substances.

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 16 Juni 1987. Ayah penulis bernama Hamdan Thalib dan ibu penulis bernama Fadlun Thalib. Penulis merupakan anak keempat dari empat bersaudara.

Penulis memulai studinya di Taman Kanak-Kanak (TK) Semboja Sari, Bogor tahun 1992 dan kemudian melanjutkan sekolah ke Sekolah Dasar (SD) Srikandi, Bogor dan lulus pada tahun 1999. Setelah lulus, penulis melanjutkan studinya ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri (SLTPN) 4 Bogor dan lulus tahun 2002. Setelah itu, penulis melanjutkan studinya ke Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 3 Bogor. Setelah lulus dari SMUN 3 Bogor, penulis melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dengan Program Mayor Manajemen Sumberdaya Lahan, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian.

Selain mengambil program mayor tersebut, penulis pun mengambil Minor

Ekonomi Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas karunia-Nya penelitian dan penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Judul yang dipilih dalam

penelitian ini adalah “Pengaruh Pemberian Senyawa Humat terhadap

Karakteristik Erapan Fosfor pada Tanah Dengan Oksida Fe dan Al yang Tinggi”. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terimakasih sebesar – besarnya, penulis sampaikan kepada : 1. Dr. Ir. Lilik Tri Indriyati, M.Sc selaku pembimbing akademis dan

pembimbing skripsi I yang senantiasa memotivasi dengan sabar setiap kesulitan–kesulitan penulis selama menjalani studi di Ilmu Tanah dan

Sumberdaya Lahan dan senantiasa membimbing penulis dalam mengerjakan penelitian dan penulisan skripsi ini.

2. Dr. Ir. Arief Hartono, M.Sc selaku pembimbing skripsi II yang senantiasa

memberikan perhatian dan bimbingannya dalam mengerjakan penelitian dan penulisan skripsi ini.

3. Dr. Ir. Sri Djuniwati, M.Sc sebagai penguji ujian skripsi yang telah memberikan masukan dalam penulisan skripsi.

4. Orang tua tercinta yaitu Hamdan Thalib dan Fadlun Thalib yang

senantiasa mendoakan tiada henti, memberi semangat, memberi dukungan, selalu mengerti disetiap keadaan, membagi pemikiran dan pengalamannya serta senantiasa mengingatkan penulis demi kesuksesan dan kelancaran dalam penyusunan skripsi ini.

5. Kakak-kakak tersayang, Fanny, SE., Laula, Amd., Dhandy Rizal, SH., yang senantiasa mengingatkan penulis untuk segera menyelesaikan skripsinya dengan baik.

6. Sahabat tersayang Aufa, Nadia, Aghie, dan Romy yang selalu ada dalam keadaan bahagia dan perih, saling medukung, dan saling membantu. Semoga persahabatan selalu terjalin selamanya.

(8)

7. Andry Sinar Wahyudianto, S.STP yang selalu memberikan nasihat dan motivasi berlebih untuk menyelesaikan skripsi ini.

8. Seluruh dosen, staff laboran, staff tata usaha, dan staf perpustakaan Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan yang senantiasa memberikan kemudahan sarana dan prasarana akademis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan lancar.

9. Rekan–rekan MSL’42 yang selalu menjadi tim yang solid dan berkualitas

selama penulis melakukan masa studi di MSL.

Semoga tulisan ini bermanfaat.

Bogor, 11 Januari 2010

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sifat Umum Tanah Masam ... 3

2.2 Fosfor dalam Tanah ... 3

2.3 Mekanisme Erapan oleh Komponen-komponen Tanah ... 5

2.3.1 Hidrus Oksida Besi dan Aluminium ... 5

2.3.2 Kadar Liat ... 6

2.3.3 Bahan Organik ... 6

2.4 Metode Ekstraksi Senyawa Humat ... 9

2.5 Persamaan Langmuir ... 10

III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 11

3.2 Bahan dan Alat ... 11

3.3 Percobaan Penelitian ... 11

3.3.1 Ekstraksi Senyawa Humat ... 12

3.3.2 Pemberian Perlakuan Dengan Senyawa Humat ... 12

3.3.3 Erapan dan Desorpsi Fosfor ... 12

3.3.4 Analisis Sifat Kimia TAnah ... 13

3.3.5 Penetapan Fosfor dalam Ekstrak Tanah ... 13

3.4 Analisis Statistik ... 14

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sifat Kimia Tanah ... 15

4.2. Erapan Fosfor ... 16

4.3. Desorpsi Fosfor ... 20

V. KESIMPULAN 5.1. Kesimpulan ... 23

(10)

DAFTAR PUSTAKA ... 24

(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

Teks

1. Sifat Kimia Contoh Tanah ... 10 2. Perlakuan Erapan dan Desorpsi P pada Contoh Tanah ... 12 3. Sifat Kimia Contoh Tanah Sebelum dan Setelah Perlakuan ... 14 4. Erapan P Maksimum, Energi Ikatan, dan Standar Kebutuhan Pemupukan

P pada Rhodic Eutrudox dari Persamaan Langmuir ... 18 5. Erapan P Maksimum, Energi Ikatan, dan Standar Kebutuhan Pemupukan

P pada Typic Paleudult dari Persamaan Langmuir ... 21 6. Persentase Desorpsi P Pada Rhodic Eutrudox dan Typic Paleudult Akibat

(12)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

Teks

1. Ikatan Kimia antara P dengan Senyawa Humat ... 8

2. Diagram Alur Fraksionasi Senyawa Humat ... 9

3. Kurva Erapan P Pada Rhodic Eutrudox ... 17

4. Kurva Erapan P Pada Typic Paleudult ... 17

5. Ikatan Kimia antara P dengan Senyawa Humat ... 19

6. Kurva Desorpsi P Pada Rhodic Eutrudox ... 20

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

Teks

1. Sidik Ragam Nilai Erapan P Maksimum (b) pada Erapan P Terhadap Kontrol, Senyawa Humat dari Andisol, dan Senyawa Humat dari Tanah Gambut pada Rhodic Eutrudox ... xiv 2. Sidik Ragam Nilai Energi Ikatan (k) pada Erapan P Terhadap Kontrol,

Senyawa Humat dari Andisol, dan Senyawa Humat dari Tanah Gambut pada Rhodic Eutrudox ... xiv 3. Sidik Ragam Nilai Erapan P Maksimum (b) pada Erapan P Terhadap

Kontrol, Senyawa Humat dari Andisol, dan Senyawa Humat dari Tanah Gambut Typic Paleudult ... xiv 4. Sidik Ragam Nilai Energi Ikatan (k) pada Erapan P Terhadap Kontrol,

Senyawa Humat dari Andisol, dan Senyawa Humat dari Tanah Gambut Typic Paleudult ... xiv 5. Sidik Ragam Nilai Erapan P Maksimum (b) pada Desorpsi P Terhadap

Kontrol, Senyawa Humat dari Andisol, dan Senyawa Humat dari Tanah Gambut Pada Rhodic Eutrudox... xv 6. Sidik Ragam Nilai Energi Ikatan (k) pada Desorpsi P Terhadap Kontrol,

Senyawa Humat dari Andisol, dan Senyawa Humat dari Tanah Gambut Pada Rhodic Eutrudox ... xv 7. Sidik Ragam Nilai Persentase Desorpsi P Terhadap Kontrol, Senyawa

Humat dari Andisol, dan Senyawa Humat dari Tanah Gambut Pada Rhodic Eutrudox ... xv 8. Sidik Ragam Nilai Erapan P Maksimum (b) Desorpsi P Terhadap

Kontrol, Senyawa Humat dari Andisol, dan Senyawa Humat dari Tanah Gambut Pada Typic Paleudult ... xv 9. Sidik Ragam Nilai Energi Ikatan (k) Desorpsi P Terhadap Kontrol,

Senyawa Humat dari Andisol, dan Senyawa Humat dari Tanah Gambut Pada Typic Paleudult ... xvi 10. Ragam Nilai Persentase Desorpsi P Terhadap Kontrol, Senyawa Humat

dari Andisol, dan Senyawa Humat dari Tanah Gambut Pada Typic Paleudult ... xvi

(14)

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia memiliki lahan kering dengan luasan sebesar 102.817.113 ha yang bersifat masam (Mulyani, 2006). Tanah masam pada lahan kering umumnya memiliki tingkat kesuburan dan ketersediaan fosfor (P) yang rendah. Rendahnya ketersediaan P di dalam tanah tersebut karena P dierap oleh komponen-komponen tanah antara lain oksida Fe dan Al.Erapan P adalah proses interaksi antara tanah dengan P yang berada dalam larutan tanah yang mengakibatkan menurunnya ketersediaan P dalam tanah. Dari penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa oksida Fe dan Al yang tinggi dapat meningkatkan erapan P (Basyaruddin, 1992 ; Borggaard, 1983 ; Hartono et al., 2005 ; Siradz, 2002).

Untuk meningkatkan ketersediaan P dalam tanah perlu adanya proses desorpsi P. Desorpsi P adalah terlepasnya P yang tererap oleh tanah sehingga P menjadi tersedia bagi tanaman. Proses desorpsi P ini tergantung dari beberapa faktor antara lain, jumlah fosfor labil, jumlah fosfor dalam larutan tanah, laju pemindahan fosfor dari fase padat ke fase larutan, dan bahan organik (Peaslee dan Phillips, 1981 dalam Basyaruddin, 1992). Selain itu, desorpsi P berkorelasi terbalik dengan energi ikatan selama proses erapan P (Hartono et al., 2005). Apabila energi ikatan selama proses erapan P tinggi maka P yang didesorpsi akan rendah.

Usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan ketersediaan P dalam tanah selain dengan pemberian pupuk P dan pengapuran, juga dilakukan dengan pemberian bahan organik. Senyawa humat atau humus adalah bahan hasil akhir dari proses dekomposisi bahan organik yang memiliki peranan penting dalam kimia dan kesuburan tanah. Selain sebagai sumber unsur hara bagi tanaman, senyawa humat mampu mempengaruhi proses erapan dan desorpsi P dalam tanah (Tan, 1998). Namun demikian, sumber bahan organik yang berbeda memiliki komposisi kimia yang berbeda dan akan menghasilkan senyawa humat dengan karakteristik kimia yang berbeda pula (Stevenson, 1982). Berdasarkan penjelasan di atas, maka dalam penelitian ini dilakukan percobaan untuk melihat pengaruh

(15)

senyawa humat dari dua sumber yang berbeda terhadap karakteristik erapan P dalam tanah yang memiliki oksida Fe dan Al yang tinggi.

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian senyawa humat terhadap karakteristik erapan dan desorpsi P pada Rhodic Eutrudox dan Typic Paleudult, Kuaro dari Kalimantan Timur.

(16)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sifat Umum Tanah Masam

Tanah – tanah masam di Indonesia sebagian besar termasuk ke dalam ordo Oksisol dan Ultisol. Tanah–tanah masam biasa dijumpai di daerah iklim basah. Dalam keadaan tersebut, basa-basa mudah tercuci dari kompleks jerapan tanah, sehingga konsentrasi ion hidrogen lebih banyak dari ion hidroksil yang disebabkan oleh terhidrolisisnya basa-basa atau ion-ion lain yang terikat lemah pada tanah (Soepardi, 1983) sehingga terbentuklah tingkat kemasaman yang cukup tinggi.

Oxisol adalah tanah-tanah yang sudah mengalami pelapukan sangat lanjut, sehingga sifat-sifat kimia tanah buruk atau sangat buruk dan tingkat kesuburannya rendah hingga rendah. Hal ini dicirikan oleh nilai KTK liat yang sangat rendah (<16 me/100 gram liat). Keadaan ini menunjukkan bahwa pembentukkan liat mengarah pada oksida-oksida. Tanah ini menandakan banyak mengandung oksida-oksida, khususnya oksida besi dan aluminium. Fosfor umumnya hara tanaman yang sangat terbatas, terutama karena kecenderungan horison pertukaran yang kaya liat dan oksida memfiksasi sejumlah besar pupuk P dalam bentuk yang tidak tersedia. Sifat penting yang harus dipahami dalam pengelolaan Oxisol adalah fiksasi fosfor yang relatif tinggi oleh oksida besi dan Aluminium. Oxisol dicirikan oleh adanya horison oksik yang batasnya atasnya ada pada kedalaman 150 cm dari permukaan tanah mineral dan tidak memiliki horison kambik atau memiliki kadar liat > 40% pada lapisan setebal 18 cm dari permukaan setelah dicampur. (Rachim, 2007).

Ultisol adalah tanah-tanah yang mempunyai horison argilik atau kandik dengan kejenuhan basa rendah. Kadar alumunium umumnya tinggi pada great group Paleudult (Rachim, 2007).

2.2 Fosfor dalam Tanah

Fosfor (P) merupakan unsur esensial yang dibutuhkan oleh tanaman dalam jumlah yang relatif banyak karena unsur ini secara langsung bertanggung jawab

(17)

baik dalam proses metabolisme maupun sebagai aktivator berbagai enzim (Soepardi, 1983). Oleh karena itu, ketersediaan dan jumlahnya di dalam tanah menjadi perhatian utama dalam kaitannya dengan pertumbuhan dan produksi tanaman. Secara umum, Barber (1984) meringkas bentuk–bentuk fosfor dalam tanah ke dalam empat kategori, yaitu : (1) fosfor sebagai ion dan senyawa dalam larutan tanah, (2) fosfor yang dierap pada permukaan komponen – komponen inorganik penyusun tanah, (3) mineral fosfor, baik yang kristalin maupun yang amorf, dan (4) fosfor sebagai komponen bahan organik tanah.

Sanchez (1976) mengemukakan pada tanah masam terdapat suatu mekanisme fiksasi fosfor, aluminium dapat ditukar bereaksi dengan monokalsium fosfor dan membentuk senyawa yang tidak larut (Al(OH)2H2PO4). Pengaruh tidak

langsung dari mekanisme ini adalah menurunnya ketersediaan P dalam tanah. Makin tinggi kandungan besi dan oksida aluminium, makin besar daya fiksasi fosfor tanah tersebut. Kebanyakan fase padat fosfor berasosiasi dengan Fe dan Al pada tanah masam. Fosfor yang ditambahkan kepada tanah akan tererap dengan cepat dan kemudian terfiksasi (dapat juga mengendap) dalam bentuk sedikit terlarut. Fiksasi fosfor cukup besar dalam tanah kecuali pada tanah yang bertekstur kasar dan sangat tinggi pada tanah yang kaya akan amorf Fe dan oksida aluminium (Bohn et al., 1979).

Pengikatan kuat antara ion Al3+ dan aluminium oksida tanah masam terhadap ion H2PO4- dari pupuk membentuk senyawa Al-P yang tidak larut.

Coleman et al. (1960) menemukan adanya korelasi sangat nyata antara fosfor yang dierap dengan aluminium dapat tukar. Reaksi kimia yang terjadi antara besi dan aluminium dapat larut dengan ion H2PO4- kemungkinan dihasilkan melalui

pembentukan hidroksi fosfor :

Al3+ + H2PO4- + 2H2O- 2H+ + Al(OH)2H2PO4

(larut) (tidak larut)

Bila konsentrasi Al dan Fe dalam tanah lebih besar dari pada ion H2PO4-, maka

reaksi bergerak ke kanan dan terjadi pembentukan senyawa aluminium fosfor yang tidak larut. Pada keadaan seperti itu, sangat sedikit sekali ion H2PO4- yang

segera tersedia bagi tanaman. Secara keseluruhan bentuk-bentuk fosfor yang terdapat dalam tanah digambarkan secara sederhana oleh Widjaja-Adhi dan Sudjadi (1987) dalam bentuk kesetimbangan hara berikut ini :

(18)

1 2 3

P-Larutan ↔ P-Labil ↔ P-Metastabil ↔ P-Stabil

Reaksi 1 merupakan proses erapan yang berlangsung cepat, sedangkan reaksi 2 dan reaksi 3 merupakan proses fiksasi yang berlangsung lambat. Fosfor metastabil dan fosfor stabil disebut juga fosfor non labil, sebagai lawan dari fosfor labil. Fosfor labil cepat mengadakan keseimbangan reaksi dengan fosfor larutan, sedangkan fosfor non labil mengadakan keseimbangan dengan kecepatan sedang sampai lambat. Fosfor labil adalah fosfor yang tererap.

Besarnya erapan fosfor dalam tanah ditentukan antara lain oleh karakteristik tanahnya. Menurut Sanchez (1976), tanah–tanah yang mengandung alofan, seperti Andisol merupakan pengerap fosfor tertinggi dengan besar erapan lebih dari 1000 ppm fosfor. Selanjutnya pengerap tertinggi kedua adalah tanah-tanah kaolinitik termasuk Oksisol dan Ultisol dengan besar erapan antara 500 hingga 1000 ppm fosfor kecuali untuk tanah–tanah bertekstur kasar.

2.3 Mekanisme Erapan oleh Komponen-komponen Tanah

Menurut Tan (1998), fosfor dalam tanah dierap dengan dua mekanisme utama : ko-adsorpsi dan fiksasi. Ko-adsorpsi umum terjadi pada tanah masam, yaitu fosfor dierap pada permukaan koloid oleh ion–ion aluminium, besi, dan mangan yang bertindak sebagai jembatan, sedangkan fiksasi terjadi pada kisaran pH yang lebih luas, yaitu fosfor dierap oleh hidrus oksida besi dan aluminium, mineral silikat, dan hidrus oksida mangan atau liat amorf. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi erapan P di dalam tanah di antaranya adalah : (1) hidrus oksida besi dan aluminium, (2) kadar liat, dan (3) bahan organik (Leiwakabessy et al., 2003).

2.3.1 Hidrus Oksida Besi dan Aluminium

Reaksi erapan dapat terjadi antara fosfor dan hidrus oksida besi dan aluminium, oksida–oksida besi aluminium yang sedikit kristalin dan yang kristalin, juga besi oksida bebas. Semakin tinggi kadar senyawa–senyawa tersebut dalam tanah semakin tinggi pula kapasitas erapan fosfornya (Sanchez, 1976). Besi

(19)

bebas adalah besi yang dapat diekstrak dengan dithionit sitrat. Meskipun pada tanah-tanah tertentu memiliki kandungan besi bebas relatif tinggi, namun karena kelarutannya rendah maka tidak menyebabkan keracunan bagi tanaman. Hanya saja, bentuk besi bebas tersebut sangat reaktif pada keadaan teroksidasi terhadap ion fosfor, sehingga kelarutan ion fosfor menurun (Al-Jabri, 1987).

Oksisol dan Ultisol yang masam dan lapuk biasanya mempunyai daya fiksasi fosfor yang tinggi di dalam sistem oksida atau sistem silikat lapis bersalut oksida. Fiksasi fosfor meningkat dengan peningkatan jumlah mineral liatnya (Sanchez, 1976). Senyawa–senyawa besi dan aluminium dan koloid–koloid kristalin dan amorf yang mempunyai nisbah silikat : seskuioksida rendah menyebabkan terbentuknya senyawa fosfor yang kurang larut setelah fosfor tererap pada permukaanya (Tisdale et al., 1990). Intensitas penambatan menurut susunan mineral adalah sebagai berikut (Sanchez, 1976).:

Oksida amorf (termasuk alofan) > Oksida kristal > Lempung 1:1 > Lempung 2:1

2.3.2 Kadar Liat

Pada tanah, semakin tinggi kadar liat maka semakin besar daya fiksasi fosfor. Salah satu unsur yang berada pada liat adalah aluminium (Soepardi, 1983). Semakin tinggi kadar aluminium dan besi pada tanah, maka akan semakin tinggi erapan fosfor yang dapat terjadi (Tan, 1998).

2.3.3 Bahan Organik

Bahan organik ternyata sangat besar pengaruhnya terhadap peningkatan ketersediaan fosfor bagi tanaman, karena : (1) pembentukan senyawa fosfohumik yang lebih mudah diserap tanaman, (2) reaksi pertukaran dengan ion-ion humat, (3) terbungkusnya partikel Fe2O3 oleh humus sehingga mengurangi kapasitas

fiksasi tanah, dan (4) membentuk senyawa kompleks yang stabil (khelat) dengan besi dan aluminium (Leiwakabessy et al., 2003).

Pada umumnya tanah-tanah di daerah tropika mempunyai kandungan bahan organik rendah. Hal ini disebabkan suhu yang tinggi akan mempercepat proses dekomposisi bahan organik (Al-Jabri, 1987). Fungsi bahan organik pada

(20)

tanah, antara lain : 1) sebagai tempat penyimpanan unsur - unsur yang diperlukan tanaman, 2) meningkatkan kapasitas tukar kation, 3) penyangga terhadap perubahan cepat yang disebabkan kemasaman, alkalinitas, salinitas, dan logam berat beracun (Sanchez, 1976).

Tan (1998) mengemukakan bahwa bahan organik tanah dibedakan menjadi bahan yang terhumifikasi dan tak terhumifikasi. Bahan terhumifikasi inilah yang dikenal sebagai humus atau sekarang disebut sebagai senyawa humat dan dianggap sebagai hasil akhir dekomposisi bahan tanaman di dalam tanah. Asam humat bertanggung jawab atas sejumlah aktivitas kimia dalam tanah. Mereka terlibat dalam reaksi kompleks dan dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman secara langsung dan tidak langsung. Secara tidak langsung, mereka diketahui memperbaiki kesuburan tanah dengan mengubah kondisi fisik, kimia, dan biologi dalam tanah. Secara langsung, asam humat telah dilaporkan merangsang pertumbuhan tanaman melalui pengaruhnya terhadap metabolisme dan terhadap sejumlah proses fisiologi lainnya.

Kelarutan senyawa–senyawa besi dan aluminium dapat diturunkan dengan pembentukan kompleks pengkhelatan besi dan aluminium oleh senyawa humat tanah. Asam humat dan asam fulvat mempunyai afinitas yang tinggi terhadap aluminium, besi, dan kalsium (Tan, 1998). Interaksi dari fosfor dengan asam organik (senyawa humat) merupakan tipe dari suatu proses fiksasi fosfor yang dapat terbentuk sebagai kompleks fosfohumat atau khelat (fosfo-humat khelat) dan fosfo-asam humat ester. Bentuk kompleks fosfohumat dapat terjadi dengan adanya ion logam yang berfungsi sebagai jembatan antara senyawa humat dengan ion fosfor (Al-fosfohumat). Kompleks organofosfor dapat juga terbentuk dari asam organik lainnya seperti asam sitrat. Asam sitrat dilaporkan sebagai pengkhelat yang efektif untuk ion logam (Fe-fosfositrat). Reaksi pembentukan dari fosfo-humat khelat, fosfo-asam humat ester, Al-fosfohumat, dan asam sitrat-logam (Fe-fosfositrat) disajikan pada Gambar 1.

(21)

(a) O R C O O P O O (b) O O R C O P O OH O (c) O R C O O O Al P O O O (d) O C O O O Fe P HOOC CH2 C O O O CH2 COOH

Gambar 1. Ikatan pada senyawa humat (a) asam humat khelat, (b) fosfo-asam humat ester, (c) Al-fosfohumat, (d) Fe-fosfositrat.

2.4 Metode Ekstraksi Senyawa Humat

Sejumlah metode tersedia untuk ekstraksi dan isolasi senyawa humat. Pemilihan ekstraktan yang cocok didasarkan pada dua pertimbangan : (1) reagen seharusnya tidak memiliki pengaruh merubah sifat fisik dan kimia bahan yang

(22)

diekstrak, dan (2) reagen harus secara kuantitatif memisahkan senyawa humat dari tanah. Pengekstrak NaOH adalah pengekstrak yang pertama kali diperkenalkan tahun 1919 oleh Oden dalam suatu prosedur yang diterima secara umum, tampaknya merupakan ekstraktan yang paling efektif dalam pemisahan bahan humat dalam tanah secara kuantitatif (Tan, 1998). Prosedur yang paling umum untuk ekstraksi dan fraksionasi asam humat dengan NaOH ditunjukkan dalam Gambar 2 (Tan, 1998).

Gambar 2. Diagram alur untuk pemisahan senyawa-senyawa humat ke dalam fraksi-fraksi humat yang berbeda (Tan, 1998).

2.5 Persamaan Langmuir

Persamaan Langmuir pada mulanya diturunkan dari erapan gas oleh zat padat. Proses penurunan persamaannya didasarkan atas tiga asumsi. Asumsi

Bahan Organik Tanah

Bahan Humat (Larut)

Bahan Bukan Humat + Humin (Mengendap) Asam Fulvat (Larut) Asam Humat (Tidak Larut) Asan Fulvat (Larut) Humus β (Tidak Larut) Asam Humat (Tidak Larut) Asam Himatomelanik (Larut) Humat Coklat (Larut) Humat Kelabu (Tidak Larut) Dengan Alkali Dengan Alkohol

Dengan Garam netral Dengan Asam

Disesuaikan pH 4.8

(23)

pertama adalah energi jerapan tetap konstan dan tidak tergantung pada penutupan permukaan (permukaan dianggap merupakan suatu permukaan homogen). Asumsi kedua adalah jerapan terjadi pada tapak–tapak spesifik tanpa terjadi interaksi di antara molekul–molekul absorbat. Dan asumsi ketiga adalah jerapan maksimum yang mungkin tercapai berasal dari suatu lapisan molekul tunggal pada seluruh permukaan reaktif absorban (Bohn et al., 1979). Bentuk umum persamaaan Langmuir dalam bentuk linier adalah sebagai berikut :

C/x/m = 1/kb + C/b

Di mana C adalah konsentrasi P dalam tingkat kesetimbangan bahan yang tererap (mg/L), x/m adalah jumlah P tererap per bobot tanah (mg/kg), k adalah konstanta energi ikatan (L/mg), dan b jumlah erapan maksimum (mg/kg).

Menurut Widjaja-adhi dan Sudjadi (1987), kurva erapan menunjukkan hubungan antara fosfor larutan dan fosfor tererap yang merupakan satu subsistem yang penting dalam menentukan ketersediaan fosfor dalam tanah. Kurva erapan dapat digunakan dalam menduga kebutuhan pupuk untuk meningkatkan fosfor larutan ke suatu tingkat yang dikehendaki. Penggunaan ini didasarkan pada anggapan bahwa masing–masing tanaman membutuhkan konsentrasi tertentu dalam larutan tanah untuk mencapai pertumbuhan optimalnya.

(24)

III. BAHAN DAN METODE

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dari bulan April 2009 sampai September 2009.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan yaitu bahan tanah yang memiliki oksida Fe dan Al tinggi yang disajikan pada Tabel 1, Andisol, tanah Gambut, dan bahan-bahan kimia lainnya. Alat yang digunakan adalah alat tulis dan alat-alat untuk analisis di laboratorium.

Tabel 1. Sifat Kimia pada Rhodic Eutrudox dan Typic Paleudult

Tanah

pH P-Bray C-Org KTK Dithionit Oksalat Jumlah

Oksida Liat H2O KCl ppm % me/100 g Fe Al Fe Al . . . % . . . Rhodic Eutrudox 6.10 5.30 12.80 7.80 17.39 8.84 0.77 0.34 0.20 10.15 40.41 Typic Paleudult 5.10 4.40 15.4 4.87 21.83 6.99 1.51 0.28 0.66 9.44 69.91 3.3 Percobaan Penelitian

Percobaan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah ekstraksi senyawa humat, analisis sifat kimia tanah, pemberian perlakuan, analisis erapan dan desorpsi P, dan penetapan P dalam contoh tanah.

3.3.1 Ekstraksi Senyawa Humat

Dalam penelitian ini senyawa humat didapatkan dari dua sumber yaitu Andisol dan tanah gambut. Senyawa humat diperoleh dengan cara mengekstrak Andisol atau tanah Gambut dengan menggunakan 0.5 N NaOH (Stevenson, 1982). Tahap ini diawali dengan pengambilan Andisol atau tanah Gambut sebanyak 100 gram kemudian dikocok dengan 0.5 N NaOH sebanyak 500 mL selama 12 jam (Stevenson, 1982). Setelah itu, dilakukan sentrifus untuk mendapatkan supernatant. Supernatan ini adalah senyawa humat yang akan dipakai untuk perlakuan pada contoh tanah.

(25)

3.3.2 Pemberian Perlakuan Dengan Senyawa Humat

Langkah pertama dalam percobaan ini adalah penjenuhan tanah dengan senyawa humat dari dua sumber yang berbeda, yaitu senyawa humat dari Andisol

dan tanah Gambut.Contoh tanah sebanyak tiga gram Bobot Kering Udara (BKU)

dimasukkan kedalam tabung sentrifus, dan selanjutnyadiberi senyawa humat dari Andisol atau tanah Gambut dengan perbandingan 1:5 (tanah : senyawa humat)

sehingga seluruh kompleks jerapan tanah tertutup oleh senyawa humat

(Setiadji,1997). Selanjutnya campuran tanah-senyawa humat tersebut diinkubasi selama dua hari agar tercapai kesetimbangan. Setelah itu, contoh tanah disentrifus untuk memisahkan tanah dengan senyawa humat. Senyawa humat yang telah terpisah dari contoh tanah dibuang, kemudian contoh tanah dicuci dengan menambahkan aquadest sebanyak 2 x 25 mL, lalu contoh tanah disentrifusi selama 15 menit dengan kecepatan 2500 rpm (Setiadji, 1997). Kemudian tanah dikeringudarakan untuk digunakan percobaan erapan dan desorpsi P.

3.3.3 Erapan dan Desorpsi Fosfor

Percobaan erapan P menggunakan metode Fox and Kamprath (1970). Contoh tanah (duplo) yang telah dijenuhi oleh senyawa humat dari Andisol atau tanah Gambut disetimbangkan dengan 30 mL 0.01 M CaCl2 yang mengandung

larutan seri P dengan berbagai konsentrasi (0-250 mg/L) dalam bentuk KH2PO4

selama enam hari pada suhu kamar. Selama masa inkubasi, contoh tanah tersebut dikocok dua kali dalam sehari, masing–masing 30 menit. Pada akhir inkubasi, contoh tanah disentrifus lalu larutan disaring dan ditampung dalam botol.

Untuk percobaan desorpsi P, tanah setelah analisis erapan P (setelah

larutan supernatan dipisahkan) dikocok dengan 28 mL CaCl2 0.01 M dengan masa

inkubasi sama dengan erapan P. Konsentrasi fosfor dalam larutan hasil percobaan erapan dan desorpsi P ditentukan dengan metode Murphy dan Riley (1962). Absorban pada panjang gelombang 660 nm ditentukan dengan UV Spektrofotometer. Data hasil erapan fosfor dan desorpsi fosfor disimulasikan dengan Persamaan Langmuir dalam bentuk linier :

(26)

C/x/m = 1/kb +C/b

Di mana C adalah konsentrasi fosfor dalam tingkat kesetimbangan (mg/L), x/m adalah jumlah fosfor dierap per bobot tanah (mg/kg), k adalah konstanta energi ikatan (L/mg), dan b adalah jumlah erapan P maksimum (mg/kg).

Tabel 2. Perlakuan Erapan dan Desorpsi Fosfor pada Rhodic Eutrudox dan Typic Paleudult

Contoh Tanah + Senyawa Humat

Erapan Fosfor Desorpsi Fosfor

CaCl2 0.02 M 250 ppm P Aquadest CaCl2 0.01M

. . . mL . . . 1 15 0 15 28 2 15 0 15 28 3 15 1 14 28 4 15 1 14 28 5 15 2 13 28 6 15 2 13 28 7 15 3 12 28 8 15 3 12 28 9 15 5 10 28 10 15 5 10 28 11 15 7 8 28 12 15 7 8 28 13 15 10 5 28 14 15 10 5 28 15 15 12 3 28 16 15 12 3 28 17 15 14 1 28 18 15 14 1 28 19 15 15 0 28 20 15 15 0 28

3.3.4 Analisis Sifat Kimia Tanah

Analisis tanah yang dilakukan pada penelitian ini adalah penetapan Kapasitas Tukar Kation (KTK), Al-dapat dipertukarkan (Al-dd), dan P-Bray. Hal ini dilakukan untuk mengetahui perubahan sifat kimia tersebut pada tanah setelah diberikan perlakuan.

3.3.5 Penetapan Fosfor dalam Ekstrak Tanah

Larutan Murphy dan Riley (1962). Larutan ini diperoleh dengan

(27)

askorbat, dan 5 mL antimony potassium tartrate ke dalam labu takar 100 mL. Jumlah pewarna dapat disesuaikan dengan banyaknya contoh yang akan ditetapkan konsentrasi fosfornya.

Larutan baku fosfor. Larutan baku yang digunakan adalah larutan baku fosfor dengan konsentrasi 0 ; 0.1 ; 0.2 ; 0.4 ; 0.6 ; 0.8 ; dan 1 ppm P.

Prosedur penetapan fosfor. Fosfor ditetapkan dengan prosedur berikut : masukkan 5 mL ekstrak tanah ke dalam kuvet lalu masukkan 1 mL larutan pewarna. Konsentrasi fosfor dalam larutan hasil percobaan erapan fosfor dan desorpsi fosfor ditentukan dengan metode Murphy dan Riley. Absorban pada panjang gelombang 660 nm ditentukan dengan UV Spektrofotometer. Deret larutan baku fosfor juga ditetapkan terlebih dahulu. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan nilai slope yang digunakan dalam perhitungan nilai P. Jumlah P yang dierap adalah selisih dari jumlah P yang ditambahkan dengan jumlah P yang didalam larutan. Jumlah P yang didesorpsi adalah jumlah P yang terdapat dalam larutan.

3.4 Analisis Statistik

Data nilai rata-rata dari percobaan erapan dan desorpsi P dianalisis statistik dengan menggunakan ANOVA (program MINITAB) dan apabila data bersifat nyata dilakukan analisis lanjutannya dengan Tukey Test.

(28)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Sifat Kimia Tanah

Setiap jenis tanah memiliki komposisi kimia yang berbeda. Pada penelitian ini dianalisis beberapa sifat kimia tanah yang terpengaruh dengan adanya pemberian senyawa humat yang diekstrak dari dari Andisol dan tanah gambut.

Tabel 3. Sifat Kimia Tanah Sebelum dan Setelah Pemberian Senyawa Humat dari Andisol dan Tanah Gambut pada Rhodic Eutrudox dan Typic Paleudult

Parameter

Rhodic Eutrudox Typic Paleudult

Kontrol SH. Andisol SH. Gambut Kontrol SH. Andisol SH. Gambut

Al-dd (me/100g tanah) tu tu tu 0.32 tu tu

P-Bray (ppm) 12.80 30.00 31.69 15.4 44.79 33.38 KTK (me/100g tanah) 17.39 21.91 20.34 21.83 25.23 24.26 Oksalat (%) 1. Al 2. Fe 0.20 0.34 - - 0.66 0.28 - - Dithionit (%) 1. Al 2. Fe 0.77 8.84 - - 1.51 6.99 - -

tu : tidak terukur ; SH : Senyawa Humat

Aluminium-dapat ditukar (Al-dd) yang terdapat dalam kedua contoh tanah terdapat dalam konsentrasi yang rendah dan menjadi tidak terukur setelah diberi perlakuan senyawa humat baik dari Andisol dan Tanah Gambut. Penurunan konsentrasi Al-dd ini diduga karena adanya pengkhelatan terhadap Al-dd dalam tanah oleh senyawa humat yang diberikan kepada kedua contoh tanah. Konsentrasi P-Bray yang ditetapkan dalam penelitian mengalami peningkatan yang diduga karena adanya penambahan unsur P yang banyak terkandung oleh

senyawa humat. Kapasitas Tukar Kation (KTK) tanah setelah perlakuan juga

mengalami peningkatan setelah diberikan perlakuan senyawa humat. Peningkatan KTK ini disebabkan oleh adanya senyawa humat yang bersifat amorf yang memiliki luas permukaan tapak pertukaran yang lebih luas. Kandungan oksida besi dan aluminium pada contoh tanah yang digunakan yaitu Rhodic Eutrudox dan Typic Paleudult cukup tinggi masing-masing sebesar 10.15 % dan 9.44 %.

(29)

Rhodic Eutrudox merupakan tanah yang mengalami pembentukan liat mengarah kepada oksida-oksida, khususnya oksida Fe dan Al. Pada Paleudult, oksida Fe dan Alberada pada tingkat yang tinggi. Oksida Fe dan Al adalah senyawa yang reaktif terhadap pengerapan P sehingga ketersediaan P dalam tanah menjadi rendah.

4.2 Erapan Fosfor

Gambar 3 dan 4 adalah kurva erapan P masing-masing pada Rhodic

Eutrudox dan Typic Paleudult tanpa perlakuan (kontrol), perlakuan senyawa humat dari Andisol, dan senyawa humat dari tanah Gambut. Pada Gambar 3 dan 4 dapat dilihat bahwa erapan P pada perlakuan senyawa humat Gambut lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan senyawa humat dari Andisol dan kontrol. Hal ini diduga bahwa terjadi penambahan tapak erapan yang ditimbulkan oleh senyawa humat dari tanah Gambut sehingga P yang dierap pun akan semakin tinggi (Setiadji, 1997). Tetapi perlakuan senyawa humat dari Andisol menunjukkan erapan P yang berbeda pada kedua tanah tersebut (Gambar 3 dan 4). Perbedaan erapan P antara senyawa humat dari Andisol dengan senyawa humat dari tanah Gambut diduga karena adanya perbedaan komposisi kimia dari bahan dasar yang membentuk senyawa humat pada Andisol dan Gambut. Amin (2002) menyatakan bahwa jumlah gugus fungsional pada senyawa humat dari tanah Gambut lebih banyak dibandingkan dengan senyawa humat dari Andisol yang didukung oleh Arsiati (2002) bahwa gugus karboksil pada senyawa humat dari tanah Gambut sebesar 3.65 me/g HA dan pada senyawa humat dari Andisol sebesar 2.67 me/g HA. Dengan demikian, senyawa humat dari tanah Gambut akan mengikat P lebih banyak dibandingkan dengan senyawa humat dari Andisol. Reaksi erapan P ini melibatkan reaksi ligan antara fosfor dengan gugus OH (Bhatti et al., 1998 dalam Siradz, 2002 ; Hartono et al., 2005).

(30)

Gambar 3. Kurva Erapan pada Rhodic Eutrudox dengan Pemberian Senyawa humat dari Andisol dan tanah Gambut.

Gambar 4. Kurva Erapan P pada Typic Paleudult dengan Pemberian Senyawa Humat dari Andisol dan tanah Gambut.

(31)

Tabel 4. Nilai Erapan P Maksimum (b), Energi Ikatan (k), dan Kebutuhan Standar Pemupukan P dari Persamaan Langmuir pada Rhodic Eutrudox dan Typic Paleudult

Perlakuan

Rhodic Eutrudox Typic Paleudult

b k P dierap pada 0.2 mg/L Nilai R2 Persamaan Langmuir b k P dierap pada 0.2 mg/L Nilai R2 Persamaan Langmuir mg/kg L/mg mg/kg mg/kg L/mg mg/kg Kontrol 2109 a 0.18 a 73 a 0.99 1432 a 1.27 a 289 a 0.99

Senyawa Humat Andisol 1683 b 0.41 b 128 b 0.99 1821 a 0.22 b 75 b 0.99 Senyawa Humat Gambut 1712 b 1.10 c 309 c 0.99 1769 a 6.42 c 995 c 0.99

Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom untuk setiap jenis subgroup tanah tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada p < 0.05

Nilai erapan P maksimum (b), energi ikatan (k), kebutuhan standar pemupukan P, dan koefisien regresi persamaan Langmuir dari perlakuan senyawa humat Andisol dan tanah Gambut disajikan pada Tabel 4. Data erapan P ini disimulasikan dengan sangat baik oleh persamaan Langmuir dengan koefisien regresi sebesar 0.99. Perlakuan senyawa humat dari Andisol dan senyawa humat dari tanah Gambut nyata menurunkan erapan P maksimum pada Rhodic Eutrodox tetapi pada Typic Paleudult tidak berbeda nyata terhadap erapan P maksimum.

Nilai k tertinggi pada Rhodic Eutrudox dan Typic Paleudult terdapat pada perlakuan senyawa humat gambut. Tingginya nilai k diduga disebabkan adanya pengikatan fosfo-asam humat khelat, fosfo-asam humat ester, Al-fosfohumat, Fe-fosfositrat (dalam bentuk bidentat atau polidentat sehingga P terikat kuat dan tidak mudah didesoprsi) yang disajikan pada Gambar 5 (Tan, 1998).

(a)

O

R C O O P O O

(32)

(b) O O R C O P O OH O (c) O R C O O O Al P O O O (d) O C O O O Fe P HOOC CH2 C O O O CH2 COOH

Gambar 5. Ikatan pada senyawa humat (a) fosfo-asam humat khelat, (b) fosfo- asam humat ester, (c) Al-fosfohumat, (d) Fe-fosfositrat.

Standar kebutuhan pemupukan P (P yang dierap pada konsentrasi kesetimbangan 0.2 mg/L) disajikan pada Tabel 3. Standar kebutuhan pemupukan P pada Rhodic Eutrudox nyata meningkat dengan adanya pemberian senyawa humat baik dari Andisol maupun dari tanah Gambut. Sementara standar kebutuhan pemupukan P pada Typic Paleudult nyata meningkat pada pemberian senyawa humat dari tanah Gambut tetapi nyata menurun pada pemberian senyawa humat dari Andisol. Hasil ini berkorelasi dengan nilai k erapan P pada kedua tanah.

(33)

4.3 Desorpsi Fosfor

Desorpsi fosfor pada Rhodic Eutrudox dan Typic Paleudult tanpa

perlakuan (kontrol), perlakuan senyawa humat dari Andisol, dan senyawa humat dari tanah Gambut masing-masing disajikan pada Gambar 6 dan Gambar 7. Pada Gambar 6 dan 7dapat dilihat bahwa P yang masih tererap setelah proses desorpsi P pada perlakuan senyawa humat gambut lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan senyawa humat dari Andisol dan kontrol. Hal ini sejalan dengan tingginya nilai k (energi ikatan) pada tanah yang diberi senyawa humat dari tanah

Gambut (Tabel 4). Tingginya jumlah P yang masih tererap diduga karena adanya

ikatan fosfo-humik khelat, Al-fosfohumat, Fe-fosfositrat, dan Fosfo-asam humat ester (Gambar 5) dalam bentuk bidentat atau polidentat yang kuat dalam pengikatan P (Tan,1998).

Gambar 6. Kurva Desorpsi P pada Rhodic Eutrudox dengan Pemberian Senyawa Humat dari Andisol dan tanah Gambut.

(34)

Gambar 7. Kurva Desorpsi P pada Typic Paleudult dengan Pemberian Senyawa Humat dari Andisol dan tanah Gambut.

Tabel 5. Nilai Erapan P Maksimum (b) dan Energi Ikatan (k) dari Persamaan Langmuir pada Rhodic Eutrudox dan Typic Paleudult

Perlakuan

Rhodic Eutrudox Typic Paleudult

b k Nilai R2 Persamaan Langmuir b k Nilai R2 Persamaan Langmuir mg/kg L/mg mg/kg L/mg Kontrol 1821 a 1.07 a 0.99 1390 a 1.37 a 0.99

Senyawa Humat Andisol 1552 a 1.34 a 0.99 1512 a 1.08 a 0.99

Senyawa Humat Gambut 1751 a 5.71 b 0.99 1639 a 9.53 b 0.99

Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom untuk setiap jenis subgroup tanah tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada p < 0.05

Nilai erapan P maksimum (b) dan energi ikatan (k) masing-masing perlakuan pada kedua contoh tanah disajikan pada Tabel 5 dengan koefisien regresi sebesar 0.99. Tabel 5 menunjukkan bahwa pemberian kedua senyawa humat tidak berpengaruh nyata terhadap nilai b (erapan P maksimum) pada Rhodic Eutrudox dan Typic Paleudult. Nilai k pada pemberian senyawa humat dari tanah Gambut nyata lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol maupun senyawa humat dari Andisol. Nilai k yang tinggi pada senyawa humat dari tanah Gambut diduga oleh gugus fungsional dari senyawa humat dari tanah Gambut

(35)

yang jumlahnya lebih banyak dibandingkan senyawa humat dari Andisol. Kadar lignin yang tinggi pada tanah Gambut menyebabkan kaya akan gugus fungsional (Tan, 1998) sehingga mempengaruhi jumlah gugus fungsional pada senyawa humat yang terbentuk dari tanah Gambut. Dugaanlain dari nilai k (energi ikatan) yang tinggi adalah adanya pengikatan fosfo-asam humat khelat, fosfo-asam humat ester, Al-fosfohumat, Fe-fosfositrat dalam bentuk bidentat atau polidentat yang disajikan pada Gambar 5 (Tan, 1998). Nilai k pada saat desorpsi P lebih besar

dibandingkan pada saat erapan P. Hal ini mengindikasikan bahwa terjadi

perubahan bentuk menuju ikatan P yang lebih kuat (Hartono et al., 2005).

Tabel 6. Desorpsi P Akibat Pemberian Senyawa Humat dari Andisol dan Tanah Gambut pada Rhodic Eutrudox dan Typic Paleudult dari persamaan Langmuir Perlakuan P yang ditambahkan P yang Dierap Total Desorpsi P Persentase Desorpsi P . . . mg/kg . . . % Rhodic Eutrudox Kontrol 1382 1263 a 35.20 a 2.79 a

Senyawa Humat Andisol 1382 1281 a 40.56 a 3.17 a

Senyawa Humat Gambut 1382 1337 b 7.56 b 0.57 b

Typic Paleudult

Kontrol 1372 1281 a 61.68 a 4.81 a

Senyawa Humat Andisol 1372 1241 b 44.44 b 3.57 b

Senyawa Humat Gambut 1372 1364 c 5.76 c 0.42 c

Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom untuk setiap jenis subgroup tanah tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada p < 0.05

Persentase desorpsi P pada Rhodic Eutrudox dan Typic Paleudult disajikan pada Tabel 6. Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa persentase desorpsi P pada Rhodic

Eutrudox nyatalebih rendah dengan perlakuan senyawa humat dari tanah Gambut

dibandingkan dengan perlakuan senyawa humat dari Andisol dan kontrol. Persentase desorpsi P pada Typic Paleudult pada pemberian senyawa humat dari Andisol maupun dari tanah Gambut nyata lebih rendah daripada kontrol.

Rendahnya persentase desorpsi P pada pemberian senyawa humat dari tanah Gambut diduga oleh adanya pengikatan asam humat khelat, fosfo-asam humat ester, Al-fosfohumat, Fe-fosfositrat dengan ikatan bidentat atau polidentat yang disajikan pada Gambar 5 (Tan, 1998). Menurut Amin (2002), gugus fungsional pada senyawa humat dari tanah Gambut jumlahnya lebih banyak

(36)

(karboksilat, hidroksil, maupun metoksi) pada senyawa humat dapat mengikat Fe dan Al yang menjadi jembatan pengikatan antara senyawa humat dengan P. Banyaknya gugus fungsional pada senyawa humat menyebabkan tersedianya tapak pengerapan yang lebih banyak (Tan, 1998).

(37)

V. KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan

Hasil analisis menunjukkan bahwa pemberian senyawa humat dari Andisol tidak konsisten dalam erapan P maksimum dan energi ikatan, sementara senyawa humat dari tanah Gambut secara statistik nyata meningkatkan energi ikatan pada kedua tanah. Kebutuhan standar pemupukan P (P yang dierap pada konsentrasi kesetimbangan 0.2 mg/L) pada Rhodic Eutrudox nyata meningkat dengan pemberian kedua senyawa humat sementara pada Typic Paleudult nyata meningkat pada pemberian senyawa humat dari tanah Gambut. Pengaruh senyawa humat dari Andisol tidak konsisten terhadap persentase P yang didesorpsi sementara senyawa humat dari tanah Gambut nyata menurunkan persentase P yang didesorpsi pada kedua contoh tanah. Dari hasil ini dapat dikatakan bahwa karakteristik dari masing-masing senyawa humat memberikan pengaruh yang berbeda terhadap karakteristik erapan P dalam tanah.

5.2 Saran

Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh komposisi kimia

senyawa humat dari beberapa sumber yang berbeda terhadap erapan dan desorpsi

(38)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Jabri, M. 1987. Keterkaitan antara parameter uji fosfor dan sifat-sifat tanah dalam mempengaruhi nilai uji fosfor pada tanah-tanah masam. Tesis. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.

Amin, C. 2002. Pengaruh pemberian asam humat terhadap konsentrasi unsur Al dan Fe. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Arsiani, A. 2002. Sifat-sifat asam humat hasil ekstraksi dari berbagai jenis bahan dan pengekstrak. Skripsi. Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Barber, S. A. 1984. Soil Nutrient Bioavailability – A Mechanistic Approach. John Wiley and Sons. New York.

Basyaruddin. 1992. Penelaahan erapan dan pelepasan fosfor dalam hubungannya dengan kebutuhan fosfor tanaman jagung (Zea Mays L.) pada tanah Ultisol dan Andisol. Tesis. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Borggaard, O. K. 1983. The influence of iron oxides on phosphate adsorption by

soil. Soil Sci J. 34 : 333-341.

Bohn, H. L., B. L. McNeal, and G. A. O’Connor. 1979. Soil Chemistry. John Willey and Sons. New York.

Fox, R. L. and E. J. Kamprath. 1970. Phosphate sorption isotherm for evaluating the phosphate requirement of soil. Soil Sci. Soc. Am. Proc., 34 : 902-907. Hartono, A., S. Funakawa, and T. Kosaki. 2005. Phosphorus sorption-desorption

characteristics of selected acid upland soils in Indonesia. Soil Sci and Plant Nutr. 51(6) : 787-799.

Leiwakabessy, F. M., U. M. Wahjudin, dan Suwarno. 2003. Kesuburan Tanah. Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Mulyani, A. 2006. Perkembangan potensi lahan kering masam. Sinar Tani edisi 24-30 Mei.

Murphy, J., and J. P. Riley. 1962. A modified single solution method for determination of phosphate in natural waters. Anal. Chim. Acta. 27 : 31-36.

Peaslee, D. E. and R. E. Phillips. 1981. Phosphorus dissolution-desorption in relationship bioavailability an environment pollution. In Stally (ed)

Chemistry In Soil Environment. Proc. Symp. Publ. by Am Soc. Agron. And

Soil Sci. Soc. Am. P. 241-259.

Rachim, D. A. 2007. Dasar-Dasar Genesis Tanah. Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

(39)

Sanchez, P. A. 1976. Properties and Management of soils in The Tropics. John Willey and Sons. New York.

Sato, S. and N. B. Comerford. 2005. Influence of soil pH inorganic phosphorus sorption and desorption in humid Brazilian ultisol. R. Bras. Ci. Solo,

29:685-694.

Setiadji, B. 1997. Studi erapan fosfor dengan persamaan Langmuir pada beberapa tanah masam Jawa Barat yang diberi senyawa humat dan kalsit. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Siradz, S. A. 2002. Peranan keragaman mineralogi lempung dalam strategi pemupukan P pada tanah-tanah mineral masam. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan.,3:1-9.

Stevenson, F. J. 1982. Humus Chemistry : Genesis, Composition, and Reaction. A Willey-Interscience. Jhon Wiley and Sons, Inc.

Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Tan, K. H. 1998. Principle of Soil Chemistry. 3rd ed. Marcel Dekker, Inc. New York.

Tisdale, S. L., W. L. Nelson., and J. D. Beaton. 1990. Soil Fertility and Fertilizers.

4th ed. MacMillan Publishing Company. New York.

Widjaja-Adhi, I. P. G. dan M. Sudjadi. 1987. Status dan Kelakuan Fosfor Tanah-Tanah di Indonesia. Hal.223-242. Dalam Prosiding Lokakarya Nasional Penggunaan Pupuk Fosfor. Pusat Penelitian Tanah. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.

(40)
(41)

Lampiran 1. Sidik Ragam Nilai Erapan P Maksimum (b) pada Erapan P Terhadap Kontrol, Senyawa Humat dari Andisol, dan Senyawa Humat dari Tanah Gambut pada Rhodic Eutrudox

Sumber Keragaman Derajat Bebas (DB) Jumlah Kuadrat (JK) Kudrat Tengah Galat (KGT) F-Hitung F-Tabel Perlakuan 2 369577 184789 79.58 0.003* Galat 3 6966 2322 Total 5 376543 S = 48.19 R-Sq = 98.15% R-Sq(adj) = 96.92%

Lampiran 2. Sidik Ragam Nilai Energi Ikatan (k) pada Erapan P Terhadap Kontrol, Senyawa Humat dari Andisol, dan Senyawa Humat dari Tanah Gambut pada Rhodic Eutrudox

Sumber Keragaman Derajat Bebas (DB) Jumlah Kuadrat (JK) Kudrat Tengah Galat (KGT) F-Hitung F-Tabel Perlakuan 2 5.35946 2.67973 311.61 0.000* Galat 3 0.02580 0.00860 Total 5 5.38526 S = 0.09273 R-Sq = 99.52% R-Sq(adj) = 99.20%

Lampiran 3. Sidik Ragam Nilai Erapan P Maksimum (b) pada Erapan P Terhadap Kontrol, Senyawa Humat dari Andisol, dan Senyawa Humat dari Tanah Gambut Typic Paleudult

Sumber Keragaman Derajat Bebas (DB) Jumlah Kuadrat (JK) Kudrat Tengah Galat (KGT) F-Hitung F-Tabel Perlakuan 2 129333 64667 5.02 0.110 Galat 3 38677 12892 Total 5 168010 S = 113.5 R-Sq = 76.98% R-Sq(adj) = 61.63%

Lampiran 4. Sidik Ragam Nilai Energi Ikatan (k) pada Erapan P Terhadap Kontrol, Senyawa Humat dari Andisol, dan Senyawa Humat dari Tanah Gambut Typic Paleudult

Sumber Keragaman Derajat Bebas (DB) Jumlah Kuadrat (JK) Kudrat Tengah Galat (KGT) F-Hitung F-Tabel Perlakuan 2 44.3813 22.1907 823.64 0.000* Galat 3 0.0808 0.0269 Total 5 44.4621 S = 0.1641 R-Sq = 99.82% R-Sq(adj) = 99.70%

(42)

Lampiran 5. Sidik Ragam Nilai Erapan P Maksimum (b) pada Desorpsi P Terhadap Kontrol, Senyawa Humat dari Andisol, dan Senyawa Humat dari Tanah Gambut Pada Rhodic Eutrudox

Sumber Keragaman Derajat Bebas (DB) Jumlah Kuadrat (JK) Kudrat Tengah Galat (KGT) F-Hitung F-Tabel Perlakuan 2 123937 61969 6.83 0.076 Galat 3 27210 9070 Total 5 151147 S = 95.24 R-Sq = 82.00% R-Sq(adj) = 70.00%

Lampiran 6. Sidik Ragam Nilai Energi Ikatan (k) pada Desorpsi P Terhadap Kontrol, Senyawa Humat dari Andisol, dan Senyawa Humat dari Tanah Gambut Pada Rhodic Eutrudox

Sumber Keragaman Derajat Bebas (DB) Jumlah Kuadrat (JK) Kudrat Tengah Galat (KGT) F-Hitung F-Tabel Perlakuan 2 38.1915 19.0957 204.90 0.001* Galat 3 0.2796 0.0932 Total 5 38.4710 S = 0.3053 R-Sq = 99.27% R-Sq(adj) = 98.79%

Lampiran 7. Sidik Ragam Nilai Persentase Desorpsi P Terhadap Kontrol, Senyawa Humat dari Andisol, dan Senyawa Humat dari Tanah Gambut Pada Rhodic Eutrudox

Sumber Keragaman Derajat Bebas (DB) Jumlah Kuadrat (JK) Kudrat Tengah Galat (KGT) F-Hitung F-Tabel Perlakuan 2 7.8977 3.9489 65.50 0.003* Galat 3 0.1809 0.0603 Total 5 8.0786 S = 0.2455 R-Sq = 97.76% R-Sq(adj) = 96.27%

Lampiran 8. Sidik Ragam Nilai Erapan P Maksimum (b) Desorpsi P Terhadap Kontrol, Senyawa Humat dari Andisol, dan Senyawa Humat dari Tanah Gambut Pada Typic Paleudult

Sumber Keragaman Derajat Bebas (DB) Jumlah Kuadrat (JK) Kudrat Tengah Galat (KGT) F-Hitung F-Tabel Perlakuan 2 58620 29310 4.36 0.129 Galat 3 20151 6717 Total 5 78771 S = 81.96 R-Sq = 74.42% R-Sq(adj) = 57.36%

(43)

Lampiran 9. Sidik Ragam Nilai Energi Ikatan (k) Desorpsi P Terhadap Kontrol, Senyawa Humat dari Andisol, dan Senyawa Humat dari Tanah Gambut Pada Typic Paleudult

Sumber Keragaman Derajat Bebas (DB) Jumlah Kuadrat (JK) Kudrat Tengah Galat (KGT) F-Hitung F-Tabel Perlakuan 2 84.359 42.179 66.66 0.003* Galat 3 1.898 0.633 Total 5 86.257 S = 0.7955 R-Sq = 97.80% R-Sq(adj) = 96.33%

Lampiran 10. Sidik Ragam Nilai Persentase Desorpsi P Terhadap Kontrol, Senyawa Humat dari Andisol, dan Senyawa Humat dari Tanah Gambut Pada Typic Paleudult

Sumber Keragaman Derajat Bebas (DB) Jumlah Kuadrat (JK) Kudrat Tengah Galat (KGT) F-Hitung F-Tabel Perlakuan 2 20.4943 10.2471 956.17 0.000* Galat 3 0.0322 0.0107 Total 5 20.5264 S = 0.1035 R-Sq = 99.84% R-Sq(adj) = 99.74%

Gambar

Gambar 1.   Ikatan pada senyawa humat  (a)  fosfo-asam  humat khelat, (b) fosfo-
Gambar 2.   Diagram alur untuk pemisahan senyawa-senyawa humat ke dalam
Tabel 1.   Sifat Kimia pada Rhodic Eutrudox dan Typic Paleudult
Tabel 2.  Perlakuan Erapan dan Desorpsi Fosfor pada Rhodic Eutrudox dan Typic
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian mengidentifikasi bahwa DER, size, age dan kepemilikan pihak luar ( outsider ownership ) secara signifikan berpengaruh pada ketepatan waktu

mengurangi beban mati ( dead load ) yang dipikul oleh pondasi sehingga dimensi pondasi yang digunakan lebih kecil. Pada dasarnya beton ringan diperoleh dengan cara

TINJAUAN YURIDIS TANGGUNG JAWAB HUKUM TERHADAP PENJAMINAN BILYET GIRO (BG) KOSONG SEBAGAI ALAT..

Melakukan penelitian pada cabang Cafe Roti Gempol dan Kopi Anjis yang lain atau pada Cafe dengan usaha sejenis, sehingga hasil penelitian tersebut dapat dijadikan

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar IPS menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Student Tea m Achievement Devision (STAD) pada kelas V SD

Sumber : AISC – 2005, 13 th Editon, Steel Construction Manual.. Gambar : Balok memikul beban terbagi rata, tanpa bracing ditengah bentang.. Gambar : Balok memikul beban

• Tidak menyerahkan Surat Keterangan Penerimaan Kerja Praktek dari tempat Kerja Praktek hingga batas waktu yang telah ditentukan. • Melakukan tindakan plagiat untuk materi dan

Sehubungan dengan dilaksanakannya proses evaluasi dokumen penawaran dan dokumen kualifikasi, Kami selaku Panitia Pengadaan Barang dan Jasa APBD-P T. A 2012 Dinas Bina Marga