• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teologi Al-Baqillani Dan Al-Juwaini

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Teologi Al-Baqillani Dan Al-Juwaini"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

TEOLOGI AL-BĀQILLĀNĪ DAN AL-JUWAINI, NEO LIBERAL? A. Pendahuluan

Ilmu kalam pada mulanya bertujuan untuk mengantisipasi pengaruh-pengaruh ide-ide luar yang dapat merusak akidah Islam sehubungan dengan perubahan lingkungan yang terjadi tatkala meluasnya wilayah Islam sepeninggal Rasulullah SAW.

Kemudian dalam perkembangan selanjutnya, ilmu kalam memasuki persoalan-persoalan yang bersifat filosofis sehingga timbullah arus rasionalisme dalam Islam. Para teolog Islam adalah juga orang-orang yang yang sangat berperan di dalam mengembangkan semangat rasionalisme itu. Oleh karena itu, para teolog Islam seperti Abū Huzail ‘Allaf (w. 235 H), al-Nazhām (w. 2321 H), al-Jāhiz (w. 255 H), al-Jubbā’i (w. 3030 H), dan Abū Hāsyim dari kalangan Mu’tazilah, dan Abū Hasan Asy’ārī (324 H), al-Bāqillānī (403 H), dan al-Juwaini (w. 478 H)1 dari kalangan Asy’āriyyah.

Al-Asy’ārī yah adalah pengikut Abū Hasan Alī ibn Isma'il al-Asy’ārī,2

yang kemudian berkembang menjadi salah satu aliran teologi yang penting dalam Islam, yang selanjutnya dikenal dengan aliran al-Asy’āriyyah, yaitu nama yang dinisbahkan kepada Abū Hasan al-Asy’ārī sebagai peletak dasar-dasar Aliran ini. Al-Asy’ārī pada mulanya termasuk pengikut aliran Mu'tazilah sampai beliau berumur 40 tahun dan pada akhirnya ia membentuk corak pemikiran yang berbeda dari ketiga Alī ran tersebut, ia berusaha memadukan keduanya dengan tetap berpedoman bahwa akal harus tunduk pakda nash. Metode al-Asy’ārī ini, diikuti oleh ulama yang datang setelahnya dan menisbahkan pendapat-pendapat mereka kepada al-Asy’āriyyah, mereka inilah yang berperan dalam mengembangkan pendapat-pendapat al-Asy’ārī dengan menggunakan dalil-dalil logika yang rasional menghampiri kerasionalan Mu'tazilah. Tokoh tersebut ialah al-Bāqillānī, al-Juwaini, dan al-Ghazali.

1 Ahmad Mahmud Subhi, Fi ‘Ilm Kalam Dirasat Falsafiyyat, (tt: Dar Kutub al-Jam’iyyat, 1969), h. 83-84).

2 Al-Syahrastani. Al-Milal wa al-Nihal, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyat, 1992), jilid 1, h. 94.

(2)

Al-Juwaini dan al-Baqilani merupakn dua tokoh penting pengembang aliran asy’ariyyah. Tidaklah mengherankan jika mereka dikategorikan sebaga

Tidak bisa dilepaskan dari perkembangan intelektual Islam, baik yang terjadi pada masa kejayaan Islam seperti digambarkan diatas, maupun pada masa sesudahnya. Dalam konteks seperti inilah, penulis merasa perlu untuk menilik lebih jauh pemikiran al-Bāqillānī dan al-Juwaini secara mendalam.

B. Tokoh-Tokoh 1. Al-Bāqillānī

a. Biografi

Nama lengkap Bāqillānī adalah Abū Bakar Muhammad Ibnu al-Thayyib ibn Muhammad ibn Ja’far ibn al-Qāsim Abū Bakar al-Bāqillānī. Ia lahir di Basrah3 pada 950 (338 H)4 dan wafat pada abad ke-10 (4 H).5 Ia

mendalami ilmu-ilmu keislaman dari banyak ulama, Qādhi Iyadh menceritakan, bahwa al-Khatib al-Baghdadi menyebutkan bahwa al-Bāqillānī juga belajar kepada Abū Bakar al-Abhari (w. 986/375 H) di bidang fikih yang juga pemuka dalam mazhab Maliki6.

Muhammad ibn Abi al-Fawaris al-Hanbali dan Qādhi Abū Ja’far Muhammad ibn Ahmad al-Samanati menyebutkan bahwa al-Bāqillānī juga belajar hadis dari Abū Bakar al-Qāthi’i (w. 982/371 H) ahli hadis dari kalangan Hanbali,7 dan Abū Muhammad ibn Masi dan Abū Ahmad al-Husain

3 ‘Abd al-Rahman al-Badawi, Mazahib al-Islamiyyin, jilid 1, (Dar al-‘Ilm li al-MAlī yyin, Beirut, 1983), h. 569.

4 Al-Bāqillānī, Al-Tamhīd fi Radd ‘ala Mulhidat wa Rafidhat wa Khawarij wa

al-Mu’tazilat, editor oleh Mahmud Muhammad al-Khudri dan Muhammad Abd al-Hadi Abū Raydat,

(Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1974), h. 7.

5 Harun Nasution, dkk, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992), h. 166. 6 Yusuf Ibish, The Political Doctrine of al-Bāqillānī, (Beirut: 1966), h. 6.

7 Al-Baghdadi al-Khatib, Tarikh al-Baghdad, (Kairo: Maktabat al-Khanji, 1921), vol. 5, h. 379.

(3)

ibn ‘Alī al-Naysabūri.8 Al-Bāqillānī juga mendalalmi ilmu Ushul kepada Abū

Bakar ibn Mujāhid dan Abū Bakar al-Abhari dalam bidang fikih, kemudian ia memperdalam ilmu kalam kepada Abū Abdillah al-Thā’i (murid Imam Asy’ārī), dan dari Abū al-Hasan al-Bāhili (w. 981/370 H), (juga murid Imam Asy’ārī).9

Al-Bāqillānī, ketika masih berada di Basrah dan masih dalam usia muda, telah muncul sebagai ulama dan pengajar yang cemerlang, pintar-bicara, mahir berdiskusi, memiliki argumen-argumen yang kokoh, dan kaya dengan informasi serta penjelasan. Ketika Amir Buwaihi ‘Adūd al-Daulat,10

diberitahu tentang kemasyhurannya, ia diundang oleh Amir yang bermadzhab Syi’ah dan berteologi Mu’tazilah itu, agar mau datang ke istanya di Syiraz. Ia penuhi undangan itu dan terjadilah dialog-dialog antara ia dengan para ulama Mu’tazilah yang berada di Syiraz. Karena kecermelangannya berdebat, Amir ‘Adūd al-Daulat, bersimpati dan menunjukkan sikap toleran kepadanya. Ia tetap dirangkul leh Amir itu, diminta untuk menjelaskan paham Ahlussunnah kepada putranya. Al-Bāqillānī ikut menyertai Amir tersebut pada waktu memasuki Bagdad pada 978 (367 H) dan sejak itu menetap di Bagdad. Ia juga pernah dipercaya sebagai ketua perutusan, yang diutus oleh Amir itu, pada tahun 982 (371 H), ke Konstatinopel, untuk suatu perundingan dengan pihak Imperium Romawi Timur. Memang ada upaya dari pihak Mu’tazilah untuk menjatuhkannya atau menyingkirannya dari Amir Buwaihi, tapi tidak berhasil. Ia dibiarkan mengajar, baik ketika bermukim di Syiraz maupun ketika bermukim di Syiraz maupun ketika bermukim di Bagdad.11

Selama hidupnya al-Bāqillānī memiliki beberapa orang murid yang menjadi ulama-ulama besar, diantaranya adalah Qādhi Abū Muhammad al-Bagdadi (ulama MAlī Asy’ārī), Abū Dzar al-Harawī (ulama MAlī ki-Asy’ārī juga), Qādhi Abū Ja’far (ulama Hanafi), Abū Abdul ar-Rahman al-Sulamī (seorang sufi), Qādhi Abū Muhammad al-Asbahānī (ulama Syāfi’ī).12

8 Al-Qādhi Abū Bakar al-Bāqillānī, Al-Insaf, (Kairo: al-Maktabat al-Azhariyyat li al-Turats, 1369 H), h. 7.

9 Ensiklopedi Islam Indonesia, h. 166.

10 ‘Adūd al-Daulat adalah seorang Amir Dinasti Buwaihi yang berkuasa di Bagdad dari tahun 978 sampai tahun 983 Masehi. Lihat, ‘Abd al-Rahman al-Badawi, Mazahib al-Islamiyyin, h. 576.

11 Harun Nasution, dkk, Ensiklopedi Islam Indonesia, h. 166. 12 Harun Nasution, dkk, Ensiklopedi Islam Indonesia, h. 166

(4)

Kemudian Abū Muhammad ‘Ab al-Wahab ibn Na r al-MAlī ki, ‘Alī al-ṣ Harbi, Abū Ja’far al-Samnānī, Abū ‘ccc al-Azdi, Abū al-Tahir al-Wa’iz, Abū ‘Umar ibn Sa’id dan Abū Imrān al-Fāsi. Dua yang terakhir disebut berasal dari Maroko. Abū āmengatakan, bahwa ia telah belajar fikih di Maroko dan Andalus kepada Abū al-Hasan al-Qasibi dan Abū Muhammad al-Asili. Keduanya ahlu ushul, tetapi ketika mereka bertemu dengan al-Bāqillānī dan menyaksikan kuliah atau ceramahnya di bidang ushul dan fikih, mereka merasa rendah diri dan mengakui di dalam hatinya betapa rendah dan sedikit ilmu yang dimilikinya. Oleh karena itu mereka belajar kepada al-Bāqillānī kembAlī dari dasar.13

Al-Bāqillānī wafat pada hari Sabtu, tanggal 21 Dzulqa’dah 403 Hijriyah bertepatan dengan tanggal 6 Juni 1013 Masehi. Jenazahnya dishalatkan oleh anaknya al-Hasan dan dikebumikan di daerah Majusi.. kemudian dipindahkan ke pemakaman korban perang. Abū al-Ma’alī mengatakan bahwa al-Bāqillānī dikebumikan di dekat pemakaman Imam Ahmad ibn Hanbal.14

b. Situasi Politik

Al-Bāqillānī hidup pada masa kekuasaan Dinasti Abbasiyah berada di bawah kendAlī kesultanan Buwaihi (945-1055 M). Salah satu karyanya, kitab

al-Tamhīd15 ditulisnya untuk seorang putra ‘Adūd al-Daulat.16 Situasi politik

pada masa itu merupakan perkembangan lebih jauh dari berbagai persoalan yang terjadi sebelumnya. Sejarah mencatat bahwa keadaan politik di dunia Islam setelah Rasulullah SAW wafat mengalami sedikit kegoncangan karena terdapat perbedaan pendapat antara Kaum Anshar dan Muhajirin di Bani Saqifah Sa’idah di dalam menetapkan siapa yang akan menjadi khAlī fah.17

13 Al-Bāqillānī, Al-Tamhīd fi Radd ‘ala Mulhidat wa Rafidhat wa Khawarij wa

al-Mu’tazilat, lihat juga, ‘Abd al-Rahman al-Badawi, Mazahib al-Islamiyyin, jilid 1, h. 571.

14 ‘Abd al-Rahman al-Badawi, Mazahib al-Islamiyyin, jilid 1, h. 574-575.

15Dalam al-Tamhīdnya, al-Bāqillānī, yang tidak henti-hentinya disibukkan dengan

ungkapan-ungkapan apologisnya, mencampur adukkan penyajian tentang kepercayaan dengan diskusi-diskusi panjang melawan sekte-sekte non muslim dan Alī ran-Alī ran Muslim sendiri.

16 Al-Bāqillānī, Al-Tamhīd fi Radd ‘ala Mulhidat wa Rafidhat wa Khawarij wa

al-Mu’tazilat, h. 19.

17 Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam, (Kairo: al-Nahdat al-Mishriyyat, 1964), jilid 1, h. 205.

(5)

Bertitik tolak dari uraian di atas, maka pada waktu itu di dunia Islam telah timbul tiga golongan politik. Pertama, golongan yang setia kepada ‘Ali yang kemudian dikenal dengan kaum Syi’ah. Kedua, golongan yang keluar dari pasukan Alī , yaitu kaum Khawarij. Ketiga, golongan Mu’awiyah yang kemudian berhasil membentuk Dinasti Bani Umayyah.

Kaum Khawarij mendasari kegiatan politiknya atas dua asas. Pertama,

la hukma illa li Allah (tidak ada hukum kecuali Allah),18 artinya

masalah-masalah seperti pemilihan khalifah harus diputuskan sesuai asas-asas al-Qur’an. Dengan kata lain, negara Islam harus berdasarkan asas-asas al-al-Qur’an.

Kedua, bahwa pelaku dosa besar keluar dari Islam. Asas kedua ini

memperlihatkan suatu keprihatinan kualitas moral yang dalam, dan memiliki nilai positif karena menjadikan masyarakat Islam sebagai masyarakat salihīn. Tetapi asas ini mudah pula disalahgunakan, terutama karena dosa besar dapat menghilangnkan semua hak. Salah satu penerapan yang paling ekstrim dari asas kedua ini adalah yang dilakukan oleh sekte Azariqah pimpinan Nāfi’ ibn al-Azrāq. Bagi sekte ini penguasa yang melakukan dosa besar wajib dibunuh dan yang membunuhnya tidak berdosa.19

Berbeda dengan kaum Khawarij, kaum Syi’ah mendasari kegiatan politik mereka pada dua asas. Pertama, keistimewaan ‘Alī ibn Abi Thālib dan keturunannya.20 Asas ini tampaknya berakar dari penghormatan yang meluas

terhadap keluarga Nabi Muhammad SAW. Asas ini juga tampaknya sesuai dengan gagasan tradisional Arab bahwa orang mulia berasal dari bibit yang mulia pula. Dengan kata lain, kapasitas untuk mencapai kualitas menonjol diwariskan oleh suku dan keluarga. Berkaitan dengan ini berkembang anggapan bahwa kualitas istimewa yang ada pada diri Nabi Muhammad SAW akan ditemukan pula di dalam keluarga atau sukunya. Namun kemudian muncul penyempitan pengertian tentang keluarga Muhammad, yaitu dari pengikut Imamiyah belakangan, bahwa kualitas-kualitas istimewa itu hanya terbatas pada keturunan ‘Alī ibn Abi Thalib dan Fatimah.21

18 Al-Syahrastani. Al-Milal wa al-Nihal, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyat, 1992), jilid 1, h. 106-107.

19 Al-Syahrastani. Al-Milal wa al-Nihal, h. 115.

20 Ibn Hajar al-‘Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, (Beirut: Dar Ihya al-Turats, 1991), jilid 4, . 471.

(6)

Sesuai dengan asas di atas, kaum Syi’ah berpendapat, bahwa jabatan kepala Negara bukanlah hak tiap orang Islam. Dalam paham Syi’ah jabatan kepala Negara adalah hak monopoli ‘Alī ibn Abi Thalib dan keturunannya. Gagasan ini sekAlī gus merupakan penolakan terhadap kekhalifahan Abū Bakar, ‘Umar, ‘Utsmān.22

c. Pandangan Teologi al-Bāqillānī

Al-Bāqillānī adalah ulama yang memiliki ilmu yang luas. Ia menguasai tafsir, hadis, ushul fikih, fikih, ia adalah pendukung kuat mazhab Maliki dan dalam lapangan teologi ia merupakan pembela utama teologi Asy’ārī yang dalam sejumlah masalah, seperti tentang zat dan sifat-sifat Tuhan, lebih jelas tersanding dengan apa yang dapat disajikan oleh pendirinya, Imam Asy’ārī . Dibawah ini adalah pemikiran-pemikiran teologi dari al-Bāqillānī:

1. Sifat-sifat Tuhan

Istilah sifat yang disebutkan oleh al-‘Asy’ārī bahwa Tuhan itu memiliki sifat-sifat tertentu. Tuhan itu Mengetahui dengan sifat ilmu-Nya (Allāh ‘Alīm bi ‘ilmih, wa ‘ilmuh sifātuh), bukan dengan zat-Nya. Begitu juga Tuhan itu berkuasa dengan qudrah-Nya, bukan dengan zat-Nya. Oleh al-Bāqillānī dikatakan sebagai hāl. Menurutnya, Allah itu mengetahui karena keadaan-Nya mengetahui. Pengetahuan Allah itu bukanlah sifat dari Allah SWT. Hal ini dilakukannya untuk menghindari pemahaman adanya yang

qadīm (sesuatu yang ada tanpa sebab) selain dari Allah SWT,

karena sifat dalam pengertian al-Asy’ārī adalah sesuatu yang

qadīm .23

Di dalam kitabnya, ia membicarakan hal-hal yang perlu dipelajari sebelum memasuki ilmu kalam, antara lain pembicaraan tentang jauhar fard (atom), ‘arad, yang telah dibicarakan Alī ran Mu’tazilah dan dijadikan dasar penetapan adanya kekuasaan Tuhan 22 Muhib al-Din al-Khatib, al-Khutut al-‘Aridat, (tp., tt., 1986), h. 6.

23 Al-Bāqillānī, Al-Tamhīd fi Radd ‘ala Mulhidat wa Rafidhat wa Khawarij wa

al-Mu’tazilat, h. 242-243. Lihat juga, Abdul Azis Dahlan, dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT.

(7)

yang tidak terbatas. Menurutnya, alam ini terdiri dari atom-atom, kumpulan jauhar (benda tunggal) yaitu bagian yang tidak dapat dibagi-bagi lagi, akan tetapi benda-benda tunggal tersebut tidak terdapat dalam wujud jika atom-atom itu dibubuhi dengan aksiden

(‘arad). Jisim, yaitu benda tersusun, terjadi dari gabungan

benda-benda tunggal jauhar) tersebut. Atom dan aksiden itu diciptakan dan penciptaan ini terus menerus ada, karena ‘arad dan jisim tidak mungkin terdapat lebih dari satu waktu (detik). Jika Tuhan berhenti tidak menciptakan lagi, maka semua yang ada disini akan punah. Penggabungan atom-atom atau perubahan aksiden tidak terjadi dengan sendirinya, tapi karena kehendak Tuhan semata.24

Akibat penting dari pendapat tersebut adalah bahwa dalam alam ini tidak ada hukum yang pasti. Karena penggAbūngan atom dan pergantian ‘arad tidak terjadi karena sendirinya (karena tabiatnya), tetapi karena kehendak Tuhan semata. Jika Tuhan menghendaki perubahan hukum yang kelihatannya menguasai jalannya alam, tentu bisa berubah dengan menggantikan apa yang biasanya ada dan meletakkan ‘arad yang baru sebgai ganti ‘arad yang sudah ada.

2. Perbuatan Manusia (al-Kasab)

Al-Bāqillānī menyatakan bahwa manusia mempunyai sumbangan efektif dalam perbuatannya; Allah SWT hanya menempatkan daya dalam diri manusia, sedangkan bentuk dan sifat dari gerak tersebut dihasilkan oleh manusia sendiri. Katanya, memang Tuhan yang mewujudkan gerak yang terdapat dalam diri manusia, tapi sifat dan bentuk dari gerak itu, seperti duduk, berdiri, berjalan, dan lain sebagainya, bukanlah diwujudkan oleh Tuhan, tapi oleh manusia sendiri.25

Pendapat al-Asy’ārī bahwa kuasa manusia tidak mempunyai pengaruh untuk mewujudkan perbuatannya, karena kuasa dan 24 Harun Nasution, dkk, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992), h. 166-167. 25 Harun Nasution, dkk, Ensiklopedi Islam Indonesia, h. 167.

(8)

kehendaknya adalah ciptaan Allah SWT karena lafaz ‘am dari firman Allah dalam QS. al-Zumar (39): 6226 berarti Allah yang

menciptakan segala sesuatu.

Al-Bāqillānī dengan tetap berpegang pada teori al-Kasab secara umum, yaitu Allah-lah yang menciptakan perbuatan manusia, tapi ia lebih memperjelas bahwa perbuatan manusia tercipta karena pengaruh dua kuasa, yaitu kuasa Allah dan kuasa manusia yang diciptakan, kuasa Allah mempengaruhi pada perbuatan (al-Fi'l) dan kuasa manusia berpengaruh dalam realisasi perbuatan. Perbuatan inilah yang menjadi standar apakah baik atau buruk, mendapat pahala atau siksa. Hal ini berarti bahwa perbedaan antara al-Bāqillānī dan al-Asy’ārī dalam teori al-Kasab adalah bagaimana pengaruh manusia dalam mewujudkan perbuatannya, al-Bāqillānī melihat manusia mempunyai sumbangan yang efektif mewujudkan perbuatannya sedangkan al-Asy'ārī tidak melihat pengaruh manusia yang hakiki.

3. Keadilan Tuhan

Menurut Al-Bāqillānī, Allah memakmurkan orang yang dicintai-Nya dan melindungi orang yang mentaati-Nya. Ia tidak memberi pertolongan terhadap pelaku maksiat. Ia memberikan kebaikan, keburukan, keuntungan, kerugian, kekayaan, kemiskinan dan kesehatan kepada semua hamba-Nya sebagai keadilan-Nya.27

Dalam masalah pahala dan siksa, Al-Bāqillānī masih terikat pada konsep kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Al-Bāqillānī mengatakan bahwa semua yang terjadi di alam ini adalah atas kehendak dan kekuasaan Tuhan. Berbeda pendapat dengan Mu’tazilah yang memandang Allah hanya menghendaki ketaatan

26                 

“ Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.”

(9)

dan keimanan, sementara kufur dan maksiat terjadi bukan atas kehendak-Nya.

Bagi Al-Bāqillānī keadilan Tuhan tidak diukur berdasarkan kepentingan manusia. Semua perbuatanya adalah keadilan-Nya. Baginya Tuhan tidak lazim dalam menghukum orang yang berbuat jahat karena meskipun perbuatan jahat, seperti kufur dan syirik, atas kehendak-Nya tetapi perbuatan-perbuatan jahat tersebut tidak disukai-Nya dan tidak memberikan perintah untuk melakukanya. Berbeda dengan Asy’ārī dalam memahami keadilan Tuhan. Al-Asy’ārī menemukan jalan buntu karena ia hanya berpegang pada konsep kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan, sehingga pandanganya tentang keadilan Tuhan membawa kesan bahwa Allah zalim dalam menghukum orang yang berbuat jahat.

4. Janji dan Ancaman

Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa janji dan ancaman Allah pasti terjadi. Dia wajib memberi pahala kepada orang yang berbuat baik dan wajib menyiksa orang yang berbuat dosa besar kelak di akhirat jika tidak bertaubat.28 Hal tersebut erat hubunganya dengan

keadilan. Tuhan bersifat tidak adil jika Ia tidak menepati janji untuk memberi upah kepada yang berbuat baik dan jika tidak menjalankan ancaman untuk memberi hukuman kepada orang-orang yang jahat.

Bagi kaum Asy’āriyyah, paham ini tidak dapat berjalan sejajar dengan keyakinan mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dan tentang tidak adanya kewajiban-kewajiban bagi Tuhan. Tuhan tidak mempunyai kewajiban menepati janji dan melakukan ancaman.29

28 Al-Asy’ārī , Misteri Perbuatan Manusia dan Takdir Tuhan, (Jakarta: Erlangga, 2000), h.

118.

(10)

Al-Asy’ārī dan al-Bāqillānī membedakan antara syirik dan perbuatan-perbuatan maksiat lainya. Menurut mereka Allah mengampuni semua perbuatan maksiat kecuali syirik.

Berbeda dengan Mu’tazilah yang bertitik tolak dari pertimbangan akal, al-Asy’ārī maupun al-Bāqillānī berpandangan bahwa perbuatan baik tidak wajib mendapat pahala dari Allah, dan orang yang berbuat maksiat tidak wajib menerima hukuman.

Selanjutnya al-Bāqillānī mengatakan bahwa pelaku dosa besar meskipun akan mendapat pengampunan dari Allah SWT. Di Akhirat namun mereka tetap menerima hukuman (hudūd) di dunia, sebab hukuman di dunia bukanlah siksaan (‘iqāb) tetapi hanya merupakan ujian dan berlaku bagi orang-orang yang bertaubat.

Dalam memahami janji dan ancaman Allah antara al-Asy’ārī dan al-Bāqillānī tampaknya tidak ada perbedaan pendapat. Mereka sepakat bahwa mukmin pelaku dosa besar tetap sebagai mukmin dan hukumanya terserah kepada Allah. Allah bisa menghukumnya sesuai dengan kesalahannya dan bisa juga mengampuninya. Kemudian Allah memasukkannya ke dalam syurga dengan rahmat-Nya. Al-Asy’ārī dan al-Bāqillānī sependapat bahwa pelaku dosa besar tidak kekal di dalam neraka bersama orang-orang kafir.30

5. Wujud Tuhan

Dalam menetapkan wujud Allah, al-Bāqillānī berangkat dari penetapan akan kebaharuan alam, alam yang terdiri dari jism,

jauhar dan ‘arad, yang bergerak setelah diam, terpisah setelah

terkumpul, berubah keadaaan dan sifat-sifatnya.31 Keduanya adalah

sesuatu yang baharu dan yang baharu pasti ada yang mengadakannya dan yang mengadakannya itu adalah Allah. Dalil al-Bāqillānī antara lain dengan menetapkan bahwa Allah adalah

qadīm dan alam adalah baharu, dan sesuatu yang baharu pasti ada

30 Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta: UI-Press, 1986), h. 118-126. 31 Al-Qādhi Abū Bakar al-Bāqillānī, Al-Insaf, h. 15.

(11)

yang mengadakannya, dan yang mengadakannya tidak mungkin dari sesama jenisnya yang baru, tetapi pasti adalah yang qadīm , yaitu Allah SWT.

6. Melihat Tuhan

Al-Bāqillānī berpendapat bahwa Allah dapat dilihat dengan mata kepala (al-Abshār) sebab sesuatu yang maujūd dapat dilihat. Yang ma’dūm lah yang tidak dapat dilihat dengan penglihatan mata32 Ia mengemukakan ayat (Ya Tuhanku nampakkanlah diri-Mu

kepadaku agar aku melihat-Mu) QS. Al-A’raf: 143.33 Ia menolak

pandangan mayoritas kaum Mu’tazilah yang mengatakan bahwa Allah tidak dapat dilihat dengan mata di akhirat, tetapi hanya akan diketahui melalui hati.34

Bagi al-Bāqillānī pandangan di atas bertentangan dengan QS. Al-Qiyamah: 22-2335, (Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada

hari itu berseri-seri, kepada Tuhannyalah mereka melihat.”)

Menurutnya, ayat tersebut diatas tidaklah menunjukkan bahwa Allah menolak permohonan hamba-Nya yang ingin melihat-Nya dengan terang, sebagaimana pendapat Mu’tazilah. Allah hanya menolak permintaan mereka, karena permintaan itu bertujuan untuk menentang Nabi Musa AS dan Muhammad SAW, meragukan kenabian keduanya dan menolak untuk beriman kepada Allah sampai Allah melakukan keinginan mereka.36

Menurutnya, yang tidak diizinkan melihat Allah di akhirat hanyalah orang-orang kafir sebagai penghinaan kepada mereka dan perbedaan antara mereka dengan orang-orang mukmin, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya,

32 Al-Bāqillānī, Al-Tamhīd fi Radd ‘ala Mulhidat wa Rafidhat wa Khawarij wa

al-Mu’tazilat, h. 304.

33            

34 Zuhdi Jar Allah, al-Mu’tazilat, h. 80.

35              

36 Al-Bāqillānī, Al-Tamhīd fi Radd ‘ala Mulhidat wa Rafidhat wa Khawarij wa

(12)

           

“Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar tertutup dari (rahmat) Tuhan mereka.”37

2. Al-Juwaini a. Biografi

Nama lengkap al-Juwaini adalah Abd al-Malik ibn ‘Abdullāh ibn Yūsuf ibn Muhammad ibn Abdullāh ibn Hayyuwiyah al-Juwaini al-NaisAbūri Imam al-Haramain Abū al-Ma’ālī.38 Ayahnya ‘Abdullāh ibn Yusuf ibn

Muhammad ibn ‘Abdullāh ibn Hayyuwiyah berasal dari daerah Juwain, sebuah tempat yang terletak di Bustam di antara Jajaran dan Baihāq.39

Ayahnya dijuluki Syaikh al-Islām, karena ilmu yang mendalam, pandangan yang kritis, kefasihan bersastra Arab, dan kelihaian beretorika dalam ilmu kalam yang tidak ada duanya.

Al-Juwaini menimba ilmu kepada ayahnya sendiri dan sang ayah sangat bangga dengan kemajuan putranya di bidang ilmu. Selain menimba ilmu kepada ayahnya, ia juga menimba ilmu dan mengenyam pendidikan kepada para alim ulama. Di Nisyapur, ia belajar fikih mazhab Syāfi’iyyah dan teologi pada Qifal Marwazi. Di Isfahan, ia belajar pada ‘Abd Rahman Sulamī dan Muhammad ibn Babawaih. Di Baghdad, ia belajar pada Abū al-Hasan Muhammad ibn Husein ibn Nāzif al-Farrā’. Setelah puas merantau di luar negeri al-Juwaini kembali ke Nisyapur dan menetap di sana sampai akhir hayatnya. Ia kembali ke Nisyapur sekitar 470 H dan wafat di sana sekitar 438 H.40

37 QS. Al-Muthaffiin: 15.

38 Tsuroya Kiswati, Peletak Dasar Teologi Rasional dalam Islam, (t.tp: Penerbit Erlangga, t.t), h. 24.

39 Tsuroya Kiswati, Peletak Dasar Teologi Rasional dalam Islam, h. 24.

40Fauqiyah Husein Mahmud, A’lam al-‘Arab al-Juwaini Imam al-Haramain, (Kairo: Al-Mu’assasah al-Mishriyyah al-‘Ammah li al-Ta’lif wa al-Anba’ wa al-Nasyr, 1964), h. 16.

(13)

Di Nisyapur, ayahnya membeli budak wanita salihah dan baik hati dengan uang halal yang diperoleh dengan bekerja. Dari umm al-Walad41 inilah lahir Abd al-Malik ibn ‘Abdullāh yang kemudian terkenal dengan sebutan Imam al-Haramain.

Tahun lahir al-Juwaini diperselisihkan para sejarawan. Al-Subki,42

Brockelmann,43 L. Gardet,44 Fauqiyyah,45 Abd al-‘Azim al-Daib,46 Ibn Katsir,47

Ibn Fadhlullāh al-Amri, dan al-Sam’ānī sepakat mengatakan bahwa al-Juwaini dilahirkan pada tanggal 18 Muharram 419 H, atau bertepatan pada bulan Februari tahun 1028 M, sedangkan tanggal umumnya juga diperselisihkan.48

Fauqiyyah mengatakan bahwa tanggalnya 22, Brockelman mengatakan tanggal 12, sedangkan L. Gardet tanggal 17. Walaupun tanggal umumnya diperselisihkan, namun mereka sepakat dalam bulan dan tahun umumnya.

Adapun tempat tumpah darahnya, beberapa sejarawan mengatakan bahwa al-Juwaini dilahirkan di Busytanikan, sebuah desa yang merupakan salah satu tempat rekreasi di Nisyapur. Umumnya para pekerja di Nisyapur memilih bertempat tinggal di desa Busytanikan. Hal itu dilakukan sebab di samping udara dan suasananya sejuk dan nyaman, juga karena airnya bersih dan jernih. Sedangkan di Nisyapur, selain udaranya panas dan pengap, airnya kotor dan tidak segar.

Membaca al-Qur’an , bahasa Arab, hadis, fikih, ilmu usul dan ilmu khilaf (antara beberapa mazhab fikih), ia pelajari di rumah dengan berguru pada ayahnya. Pada usia relatif muda, ia sudah dapat menghafal al-Qur’an dan sudah menguasai beberapa ilmu keislaman lainnya. Kecerdasan akal, kecerdikan, dan kegeniusannya telah tampak sejak muda. Ia tumbuh menjadi 41 Umm al-Walad adalah penyebutan untuk budak wanita yang mempunyai anak dari majikannya.

42 Al-Subki, Thabaqat al-Syafi’iyah al-Kubra, (t.tp: Isa al-Bab al-Halab wa Syirkah, t.th), juz. III, h. 208.

43 “Al-Juwaini”, E.J. Brill’a First Encyclopedia of Islam, (Leiden, New York, Kobenhaven, Koln, Baba Fighani, Dwin: E.J. Brill, 1987), h. 1067. Lihat juga, Tsuroya Kiswati, Peletak Dasar Teolog Rasional dalam Islam, h. 25.

44 Tsuroya Kiswati, Peletak Dasar Teolog Rasional dalam Islam, h. 25. Lihat juga, “Al-Juwaini”, E.J. Brill’a First Encyclopedia of Islam, vol. II, h. 604.

45 Fauqiyah Husein Mahmud, A’lam al-‘Arab al-Juwaini Imam al-Haramain, h. 22. 46 Al-Juwaini, Al-Burhan fi Ushul al-Fiqh li al-Juwaini, (t.t: t.p, t.th), ju. 1, h. 21. 47 Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa al-Nihayah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), juz XII, h. 128. 48 Tsuroya Kiswati, Peletak Dasar Teolog Rasional dalam Islam, h. 25.

(14)

anak yang sangat kritis. Jika ia mendapatkan hal-hal yang dianggapnya kurang tepat atau kurang logis, ia tidak akan segan-segan menkritiknya walaupun hal itu datang dari ayahnya sendiri. Kritikan ini tidak hanya datang sewaktu ayahnya masih hidup, bahkan ketika ayahnya telah wafatpun, al-Juwaini masih juga mengkritiknya, jika kebetulan ia mendapatkan kesalahan dalam tulisan dan karya ayahnya. Ia selalu mengatakan bahwa itu merupakan kesalahan ayahnya al-Marhum.

Dari penjelasan di atas, dapat kita ketahui bahwa al-Juwaini senantiasa menggunakan akalnya dalam menerima segala ilmu pengetahuan. Ia tidak pernah mau menerima segala ilmu informasi yang berbau taklid. Ia selelu mengecek kebenaran informasi yang diterimanya. Ia kemudian mencerna informasi itu menggunakan akal pikirannya. Hal ini pernah ia ungkapkan:49

“Aku pernah membaca lima puluh kali lima puluh ribu kitab, lalu aku mengasingkan diri dari mengambil ilmu pengetahuan pada para pakar ahli Islam. Kemudian ku telaah hal-hal yang dilarang oleh para ahli Islam itu dengan teliti untuk mendapatkan kebenaran yang meyakinkan. Dan aku berusaha lari sejauh-jauhnya dari taklid kepada orang-orang terdahulu.”50

Ketika ayah al-Juwaini wafat pada tahun 438 H, ia menggantikan ayahnya mengajar di majelis ilmiahnya. Meskipun al-Juwaini telah menjadi guru, namun ia tidak berhenti mencari ilmu. Ia belajar fikih dan teologi aliran Asy’āriyyah pada Isfaraini.51 Ia belajar fikih mazhab Syāfi’iyah dan ilmu hadis

pada al-Baihāqi.52 Pada saat yang sama, ia juga turut menghadiri majelis

al-Khabazi untuk belajar ilmu al-Qur’an.

49 Riwayat ini dikisahkan oleh Abū Ja’far Muhammad ibn Abū Alī ibn Muhammad al-Hamazani al-Hafiz langsung dari al-Juwaini. Lihat al-Subki, Thabaqat al-Syafi’iyah al-Kubra, juz. V, h. 185.

50 Al-Subki, Thabaqat al-Syafi’iyah al-Kubra.

51 Nama lengkapnya adalah Abū Qāsim ‘Abd Jabbar ibn Alī Muhammad ibn Hiskan al-Isfaraini al-Iskafi (wafat tahun 452 H), Dia adalah seorang ulama fikih dan teologi mazhab Asy’ārī yah. Kegatannya diisi dengan megajar, mengadakan diskusi ilmiah dan memberi fatwa. Lihat Fauqiyah,

A’lam al-‘Arab, h. 28.

52 Nama lengkapnya ialah Ahmad ibn Husein ibn Alī ibn Abdullāh Baihaqi al-Khasrujardi. Ia seorang ulama fikih mazhab Syafi’iyah yang dipelajari dari al-Marwazi (wafa tahun 458 H). Al-Baihaqi seorang ahli hadis. Konon, ia mencari hadis sampai ke Irak, Jibal, Hijaz dan Khurasan. Lihat Fauqiyah, A’lam al-‘Arab, h. 29.

(15)

Ketika terjadi fitnah al-Kundūri53 (sekitar antara tahun 443 H dan 447

H), al-Juwaini pergi meninggalkan Nisyapur menuju Mu’askar, Isfahan, Baghdad, Hijaz, dan terakhir ke Mekkah. Ia menetap di Mekkah selama beberapa tahun. Ia pernah menjadi guru agama di dua tempat suci Mekkah dan Madinah. Oleh sebab itu, ia terkenal dengan sebutan Imam al-Haramain, berarti guru agama di dua tempat suci masjid al-Nabawi dan masjid al-Haram di Mekkah.54

b. Pandangan teologi al-Juwaini

Al-Juwaini memiliki pandangan teologi yang unik. Ia memiliki pemikiran ilmu kalam yang berbeda dengan Mu’tazilah, maupun Maturidiyah. Walaupun ia menggunakan term-term yang sering digunakan dalam mazhab Asy’ārī yah (seperti Kasab, Jawaz, Tuhan yang memiliki sifat), namun beliau memiliki kesimpulan yang berbeda dengan mazhab Asy’ārī yah ketika berbicara mengenai ilmu.

Tuhan bersifat metafisika yang tidak bisa ditembus oleh indera manapun juga. Tetapi ia bisa dijadikan objek pemikiran manusia. Manusia adalah makhluk Tuhan yang pAlī ng sempurna. Ia merupakan satu-satunya makhluk Tuhan yang mempunyai akal dan perasaan. Karena kesempurnaannya inilah ia mempunyai kewajiban untuk mengetahui Tuhannya. Untuk mengetahui sesuatu, baik yang metafisika maupun yang fisika, diperlukan adanya ilmu, cara atau proses.

1. Ilmu

Menurut al-Juwaini, ilmu itu ada dua macam:

1. Ilmu Tuhan yang bersifat qadīm (kekal), yakni merupakan sifat Tuhan yang ada pada zat-Nya, senantiasa berkaitan dengan objek pengetahuan tiada henti-hentinya.55

53Fitnah ini dikobarkan oleh ‘Amid al-Mulk al-Kunduri, seorang wazir Tughril Bek, khAlī fah Bani Saljuk. Al-Kunduri mengumumkan bahwa pemerintah anti gerakan Ahl al-Bid’ah dan mengejar serta menankapi pemuka-pemuka Asy’ārī yah dan Rafidah. Bahwa al-Kunduri mengeluarkan perintah agar semua ajaran teologi termasuk Mu’tazilah diberhentikan. Lihat Fauqiyah, A’lam al-‘Arab, h. 35.

54 Fauqiyah, A’lam al-‘Arab, h. 38.

55Al-Juwaini, Irsyad ila Qawa’id Adillah fi Ushul I’tiqad, (Mesir: Maktabah al-Khanji, 1950 M/1369 H), h. 13.

(16)

2. Ilmu Hadis (baharu), yaitu ilmu atau pengetahuan yang dimiliki manusia.56 Menurutnya, ilmu ini terbagi menjadi tiga bagian:

a. Ilmu Dharuri, yakni ilmu atau pengetahuan yang diketahui manusia secara otomatis karena sesuatu yang mendesak atau karena suatu kebutuhan.57 Manusia mengetahui dirinya sendiri

secara otomatis, misalnya ia mengetahui bahwa ia haus, lapar, jengkel, sakit, bahagia, dan lain-lain karena adanya sebab-sebab yang mendesak timbulnya perasan-perasaan itu.

b. Ilmu Badihi, yakni ilmu atau pengetahuan yang di dapat manusia bukan karena terpaksa atau kebutuhan, namun pengetahuan tersebut telah ada di dalam benak seseorang ketika akalnya telah sempurna.58 Seperti manusia mengetahui bahwa

di antara dua hal yang bertentangan tidak mungkin dapat bersatu dalam keadaan dan waktu yang sama, misalnya gerak dan diam tak mungkin terdapat pada satu benda secara bersamaan.

c. Ilmu Nazhari, yakni ilmu atau pengetahuan yang datang karena diusahakan dengan memakai daya baharu manusia. Misalnya, untuk mengetahui Tuhan perlu adanya pemakaian nalar manusia. Penalaran tersebut menggunakan akal, sedangkan akal merupakan bagian dari ilmu dharuri (spontanitas) juga.59 Bukti

bahwa akal merupakan bagian dari ilmu dharuri adalah mustahil ada manusia yang di dalam benaknya tidak mengetahui apa-apa sama sekAlī , demikian menurut al-Juwaini.60

2. Filsafat Alam

56 Al-Juwaini, al-Syamil fi Ushul al-Din, (Iskandariyah: Al-Ma’arif, 1969 M), h. 103. 57 Al-Juwaini, al-Irsyad ila al-Qawa’id al-Adillah fi Ushul al-I’tiqad, h. 14.

58 Al-Irsyad ila al-Qawa’id al-Adillah fi Ushul al-I’tiqad, h. 14. 59 Al-Irsyad ila al-Qawa’id al-Adillah fi Ushul al-I’tiqad, h. 14.

60 Al-Juwaini, al-Irsyad ila al-Qawa’id al-Adillah fi Ushul al-I’tiqad, h. 15. Lihat juga, Tsuroya Kiswati, Peletak Dasar Teolog Rasional dalam Islam, h. 43-44.

(17)

Ketika seseorang ingin melihat implikasi pandangan teologi al-Juwaini, dia harus melihat pandangan filsafat alamnya. Karena di dalam filsafat alamnya, beliau berbicara mengenai hubungan alam dengan Sang KhAlī q, tentunya di dalamnya juga kita bisa lihat hubungan manusia dengan Sang KhAlī q.

Menurut al-Juwaini, Tuhan tidak mungkin memberi beban kepada makhluk-Nya kecuAlī mukallaf (orang yang diberikan beban) itu bisa mengerti perintah dan kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya.61 Kewajiban manusia yang pAlī ng utama

adalah mengadakan penalaran akal untuk mengetahui Tuhannya. Sebagai seorang ulama fikih, al-Juwaini mensyaratkan adanya niat atau maksud untuk mengadakan penalaran akal yang mengacu pada pengetahuan tentang Tuhan. Setiap perbuatan yang disengaja harus didahului oleh niat.62

Untuk mengetahui Tuhan yang immateri, terlebih dahulu harus melihat bukti-bukti inderawi, yaitu alam. Alam merupakan dAlī l adanya Tuhan. Alam merupakan bukti yang pAlī ng otentik akan keberadaan Tuhan. Dengan melihat alam, manusia bisa mengetahui Tuhannya.63

Bagi al-Juwaini, alam adalah setiap maujūd sebagai Tuhan dan sifat zat-Nya. Alam tak ubahnya kumpulan-kumpulan subtansi dan kumpulan dari aksiden.64 Menurutnya, sesuatu yang tidak

terbatas tidak mempunyai permulaan dan sesuatu yang tidak memiliki permulaan itu qadīm . Al-Juwaini mengatakan bahwa mustahil alam itu qadīm , sebab selalu berubah-ubah keadaannya. Segala sesuatu yang berubah-ubah itu adalah baharu.65 Menurutnya

juga, alam itu mempunyai awal dan akhir. Segala sesuatu yang memiliki awal dan akhir itu adalah baharu, dan sesuatu yang 61 Al-Juwaini, al-‘Aqidah al-Nizhamiyah, (t.t: Mathba’ah al-Anwar, 1367 H/1948 M), Muhammad al-Kautsari, ed., h. 42.

62

63 Tsuroya Kiswati, Peletak Dasar Teologi Rasional dalam Islam, h. 52. 64 Al-Irsyad ila al-Qawa’id al-Adillah fi Ushul al-I’tiqad, h. 17.

(18)

baharu itu bersifat mumkin atau ja’iz al-Wujud, artinya boleh ada boleh tiada. Sesuatu yang mumkin al-Wujud harus mempunyai penentu (muqtadi), dan penentunya adalah qadīm yaitu Tuhan.66

Kesimpulan yang didapat al-Juwaini ialah bahwa alam ini nisbi, eksistensi alam selalu bergantung pada eksistensi Tuhan.

3. Perbuatan Manusia

Sebagai seorang pemikir muslim, pendapat al-Juwaini tentang perbuatan manusia ini perlu diketahui. Dalam pandangannya mengenai perbuatan manusia, al-Juwaini mengatakan bahwa, jika dilihat dari satu sisi, manusia harus percaya bahwa tiada pencipta selain Tuhan, tiada pencipta selain Dia. Semua makhluk yang ada di alam semesta ini adalah ciptaan Tuhan belaka. Barang siapa yang berkeyakinan bahwa ada pencipta lain selain Tuhan, maka keyakinannya ini merupakan dosa yang pAlī ng besar, sebab ia menyekutukan Tuhan dengan lain-Nya. Di dalam beberapa nash al-Qur’an banyak disebutkan bahwa hanya Allah yang berhak menjadi pencipta. Demikian juga dengan perbuatan manusia, karena perbuatan manusia adalah makhluk Tuhan, pasti Tuhan yang menciptakannya.67

Lanjut al-Juwaini, bahwa manusia dituntut untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya di akhirat berdasarkan perbuatannya di masa hidupnya. Dari ini bisa diketahui, bahwa manusia pasti mempunyai andil tersendiri di dalam mereAlī sasikan perbuatannya. Tidak adil rasanya, jika Tuhan meminta pertanggungjawaban manusia yang hanya secara terpaksa memperbuat perbuatan-perbuatan yang telah diciptakan Tuhan atasnya.

Dalam hal ini, al-Juwaini berbeda pendapat dengan al-Asy’ārī , yang berpendapat bahwa perbuatan manusia tidak diwujudkan oleh

66 Al-Irsyad ila al-Qawa’id al-Adillah fi Ushul al-I’tiqad, h. 17. 67 Al-Juwaini, al-‘Aqidah al-Nizhamiyah, h. 187-188.

(19)

manusia sendiri dengan istilah kasab,68 dan dalam mewujudkan

perbuatan yang diciptakan itu, daya yang ada pada manusia itu tidak mempunyai efek.69 Sedangkan al-Juwaini mengatakan bahwa

daya manusia diciptakan Tuhan, perbuatan yang diperbuat manusia mempergunakan dayanya yang baharu, terjadi karena terdapatnya daya yang baharu. Tetapi perbuatan itu disandarkan pada Tuhan menurut ukuran (taqdiran) dan penciptaan (khalqan).70 Perbuatan tersebut terjadi karena perbuatan Tuhan yakni penciptaan daya pada manusia. Daya tersebut bukan perbuatan manusia. Daya itu hanya merupakan sifat manusia, daya itu milik Tuhan dan ciptaan-Nya. Tuhan memberikan hak kepada hamba-Nya untuk memilih, maka manusia bebas mempergunakan daya yang diciptakannya itu.71

Tampaknya dalam hal ini al-Juwaini memiliki pandangan yang mirip dengan pandangan Mu’tazilah yang mendasarkan pada persoalan sebab-akibat atau yang lebih dikenal dengan Sunnatullah. Tidak mengherankan kalau Ahmad Amin menilai al-Juwaini dalam uraiannya tentang perbuatan manusia sebagai: “KembAlī dengan jalan berliku-liku kepada ajaran Mu’tazilah”.72

4. Janji dan Ancaman

Bagi al-Juwaini, janji dan ancaman Tuhan adalah benar dan pasti terjadi. Bila Tuhan memberi pahala kepada orang yang telah berbuat baik, itu merupakan kemurahan hati Tuhan. Dan bila Tuhan menyiksa orang yang berbuat dosa, itu merupakan keadilan dan kebijaksanaan Tuhan. Tetapi juga tidak mustahil Tuhan memberikan ampunan dan membatalkan siksa bagi orang mukmin yang berdosa, lalu memasukkannya ke surga. Tuhan sama sekAlī tidak pernah membatalkan member pahala kepada orang yang

68Abū Hasan Alī ibn Isma’il, Kitab al-Luma’, Richard J. McCaarthy, S.J., ed., (Beirut:

Imprimerie Catholique, 1952), hlm. 71-72.

69 Al-Syahrastani. Al-Milal wa al-Nihal, h. 97. 70 Al-Juwaini, al-‘Aqidah al-Nizhamiyah, h. 35. 71 Al-‘Aqidah al-Nizhamiyah, h. 35.

72Ahmad Amin, Zuhr al-Islam, Vol.IV, (Kairo: Maktabah al-Nahdah al-Misriyah, 1964), h.

(20)

berbuat baik dan memasukkannya ke dalam neraka. Tuhan - bagi al-Juwaini bagaikan seorang raja konstitusionil yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang.73

5. Kekuatan Akal

Menurut al-Juwaini, ditinjau dari mengetahui segi syari’at yang terdiri dari ijma’ ulama, manusia wajib mengetahui Tuhannya. Cara memperoleh pengetahuan tentang Tuhan adalah dengan mengadakan penalaran akal. Dengan begitu, cara untuk mencapai sesuatu yang wajib, menjadi wajib pula hukumnya. Artinya, karena mengetahui Tuhan merupakan kewajiban dan kewajiban itu bisa terlaksana bila menggunakan penlaran akal, maka penalaran akal wajib pula hukumnya.74

Kewajiban menggunakan akal yang mengacu pada pengetahuan tentang Tuhan, tidak hanya terbatas pada manusia yang mempunyai akal tertinggi. Kewajiban ini berlaku untuk semua orang yang telah menginjak dewasa atau aqil bAlī gh. Bahkan orang yang telah menginjak masa mukallaf lalu meninggal sebelum pernah mengadakan penalaran akal untuk mengetahui Tuhan, hukumnya sama saja dengan hukum orang kafir dan ia masuk neraka.75

Bagi al-Juwaini, syari’at mewajibkan manusia mengetahui Tuhan. Adapun cara untuk melaksanakan kewajiban itu harus dengan menggunakan penalaran akal. Hal-hal yang berkaitan dengan kewajiban syari’at harus ditetapkan dengan syari’at atau wahyu, sedangkan akal hanya digunakan melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut. Menurutnya, akal itu terbatas. Akal tidak mampu mengethui adanya hal-ha ghaib yang ada di bAlī k kewajiban-kewajiban itu.76 Pendapat seperti ini agaknya ditujukan

al-Juwaini untuk menolak pendapat Mu’tazilah yang mengatakan, 73 Tsuroya Kiswati, Peletak Dasar Teologi Rasional dalam Islam, h. 163.

74 Peletak Dasar Teologi Rasional dalam Islam, h. 163. 75 Al-Juwaini, al-Syamil fi Ushul al-Din, h. 122. 76 Al-Juwaini, al-‘Aqidah al-Nizhamiyah, h. 47.

(21)

bahwa tanpa wahyu, manusia wajib mengetahui Tuhannya. Bila ada orang meninggal sebelum ia mengetahui Tuhannya, meskipun wahyu belum sampai kepadanya, ia dihukum siksa dan masuk neraka, demikian ungkapan Abū al-Huzail.77

C. Kesimpulan

Peran al-Bāqillānī dalam teologi Asy’ārī yah adalah pengembangan metode. Ia mengembangkan metode (thariqah) dan meletakan premis-premis logika yang menjadi dasar pijakan dAlī l-dAlī l dan teori-teori, seperti menetapkan substansi primer (al-Jauhar) dan accident ('Arad) tidak mungkin berdiri di atas accident (Arad), tidak mungkin dua waktu yang bersamaan, dan semisalnya yang menjadi dasar pijakan dAlī l-dAlī l mereka. Dan menjadikan kaidah-kaidah ini sebagai dasar untuk menetapkan kewajiban dalam beraqidah, karena kesalahan atau tidak benarnya suatu dAlī l berarti tidak benar pula apa yang menjadi obyek suatu dAlī l. Maka metode ini merupakan metode yang terbaik dalam ilmu-ilmu teori dan agama.

Salah satu pandangannya yang relevan adalah upayanya untuk mengembangkan voluntarisme kasab Asy’ārī yah dengan ide kebebasan

qudrah manusia Mu’tazilah dengan menyatakan adanya qudrah yang

diberikan kepada hamba.

Begitu juga dengan al-Juwaini, secara sistematis ia mengklarifikasi antar ilmu-ilmu filsafat dan ilmu-ilmu logika serta menjadikan metode berpikir logika sebagai standar untuk menetapkan kebenaran suatu dAlī l. Ia sangat mengandalkan akal untuk mencapai keinginannya.

Jelas tampak pemikiran kalam keduanya banyak yang hampir sama dengan Mu’tazilah namun eksistensinya berbeda. Walaupun ia banyak menggunakan istilah-istilah yang digunakan oleh al-Asy’ārī , karena titik

(22)

tolaknya berangkat dari ajaran-ajaran Asy’ārī yah, namun pemikiran al-Juwaini membuahkan kesimpulan yang berbeda dari konsep al-Asy’ārī .

Keduanya juga bisa dianggap sebagai para tokoh pemikir dan merupakan pintu gerbang masuknya paham neo liberal, sebab pemikiran-pemikiran atau tindakan-tindakan keduanya dapat dikatakan telah merekonstruksi pemikiran-pemikiran liberal masa lalu, dalam hal ini adalah Mu’tazilah yang menggunakan paham rasional dan menjunjung tinggi penalaran akal. Juga di dalam paham-paham keduanya memiliki kemiripan substansi dan isi dari paham-paham yang ada sebelumnya, namun dikemas dan diramu dalam bentuk yang berbeda.

Daftar Pustaka

Abduh, Muhammad, Risalat al-Tauhid, Kairo: Dar al-Manar, 1366 H. Abd. Al-Razi, Mustafa. Tamhīd li Tarikh al-Filsafat al-Islamiyat, Kairo:

Matba’at Lajnah al-Ta’lif wa al-Tarjamat wa al-Nasyr, 1959. Ahmad al-Iji, ‘Abd al-Rahman ibn. Al-Mawqaif fi ‘Ilm al-Kalam, Beirut:

(23)

Alī ibn Isma’il, Abū Hasan. Kitab al-Luma’, Richard J. McCaarthy, S.J., ed., Beirut: Imprimerie Catholique, 1952.

Amin, Ahmad. Zuhr al-Islam, Kairo: Maktabah al-Nahdah al-Misriyah, 1964.

Asqalani, Ibnu Hajar. Tahdzib al-Tahdzib, (Beirut: Dar Ihya al-Turats, 1991.

Azis Dahlan, Abdul dkk. Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999.

Badawi, ‘Abd Rahman. Mazahib Islamiyin, Beirut: Dar ‘Ilm li al-MAlī yin, 1983.

Bāqillānī. Al-Insaf, Kairo: al-Maktabat al-Azhariyyat li al-Turats, 1369. Bāqillānī. Al-Tamhīd fi Radd ‘ala Mulhidat wa Rafidhat wa

al-Khawarij wa al-Mu’tazilat, editor oleh Mahmud Muhammad

al-Khudri dan Muhammad Abd al-Hadi Abū Raydat, Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1974.

Husein Mahmud, Fauqiyah. A’lam ‘Arab. Kairo: Al-Mu’assasah al-Mishriyyah al-‘Ammah li al-Ta’lif wa al-Anba’ wa al-Nasyr, 1964.

Ibish, Yusuf. The Political Doctrine of al-Bāqillānī, Beirut: 1966. Ibrahim, Hasan. Tarikh al-Islam, Kairo: Al-Nahdat al-Mishriyyat, 1964. Jar Allah, Zuhdi, Al-Mu’tazilat.

Juwaini. Al-‘Aqidah al-Nizhamiyah, t.t: Mathba’ah al-Anwar, 1367 H/1948 M.

Juwaini. Al-Syamil fi Ushul al-Din, Iskandariyah: Al-Ma’arif, 1969 M. Juwaini. Al-Burhan fi Ushul al-Fiqh li al-Juwaini, t.t: t.p, t.th.

Juwaini. E.J. Brill’a First Encyclopedia of Islam, Leiden, New York, Kobenhaven, Koln, Baba Fighani, Dwin: E.J. Brill, 1987.

Juwaini. Al-Irsyad ila al-Qawa’id al-Adillah fi Ushul al-I’tiqad, Mesir: Maktabah al-Khanji, 1950 M/1369 H.

Katsir, Ibnu. Al-Bidayah wa al-Nihayah, Beirut: Dar al-Fikr, 1988.

Khatib, al-Baghdadi. Tarikh al-Baghdad, Kairo: Maktabat al-Khanji, 1921. Khatib, Muhib al-Din. Al-Khutut al-‘Aridat, tp., tt., 1986.

(24)

Khaldun Ibnu. Muqaddimah al-‘Allamah Ibn Khaldun, Beirut: Dar al-Fikr, 1981.

Kiswati, Tsuroya. Peletak Dasar Teologi Rasional dalam Islam, t.tp: Penerbit Erlangga, t.t.

Mahmud al-Subhi, Ahmad. Fi ‘Ilm al-Kalam Dirasat Falsafiyyat, tt: Dar al-Kutub al-Jam’iyat, 1969.

Nasution, Harun, dkk. Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992.

Nasution, Harun. Teologi Islam, Jakarta: UI Press, 1986.

Subki, Thabaqat al-Syafi’iyah al-Kubra, t.tp: Isa al-Bab al-Halab wa Syirkah, t.th.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertitik tolak pada permasalahan pokok tentang bagaimana peran tokoh wanita dalam pengelolaan program PAUD Al-Bidayah. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian

Segala perbuatan yang dilakukan manusia memerlukan etika dan adab untuk melakukannya, apalagi membaca Al- Qur‟an yang memiliki nilai yang sangat sakral dan beribadah agar

Sebagaimana tindak pidana lain, keharaman perbuatan mencuri yang diberi sanksi di dunia karena ada pertimbangan syara` yang membawa kemaslahatan masyarakat luas. al-

Shafwah al-Tafasir dalam ayat ini, al-Shabuni mengutip pendapatnya ibn Jazzi yang mengatakan bahwa Allah menciptakan kalian dan perbuatan kalian. Serta dalam konteks

Alasan adanya pembinaan yang dilakukan oleh Jama’ah Sholawat al Huda bertitik tolak dari realitas kondisi remaja Desa Pucanglaban yang cukup menghawatirkan. Meski

Dari keterangan di atas ini dapat dipahami bahwa menurut Al-Juwaini perbuatan manusia adalah dilakukan oleh manusia sendiri, dengan kehendaknya sendiri, dengan

Bertitik tolak daripada hal ini, lafaz tanah merupakan salah satu lafaz dalam al-Quran yang banyak ditemui dengan pelbagai lafaz yang menceritakan aspek kehidupan

Bertitik tolak daripada itu, kajian ini dilakukan untuk menganalisis penterjemahan eufemisme al-Quran ke bahasa Melayu dari sudut klasifikasi semantik dan jenis permasalahan dalam karya