• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRATEGI PERBIBITAN KAMBING/DOMBA DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STRATEGI PERBIBITAN KAMBING/DOMBA DI INDONESIA"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI PERBIBITAN KAMBING/DOMBA DI INDONESIA

BAMBANG SETIADI

Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002

ABSTRAK

Bahwa kekuatan sumber daya genetik ternak tergantung pada derajat keanekaragaman unsur-unsur yang membentuknya. Oleh karena itu pelestarian plasma nutfah adalah mempertahankan keanekaragaman sumber daya genetiknya. Pelestarian keanekaragaman genetik akan selalu diperlukan dalam pemuliaan, karena tanpa adanya keanekaragaman genetik, pemuliaan tidak mungkin dilaksanakan. Terdapat kecenderungan bahwa beberapa plasma nutfah ternak lokal/asli Indonesia telah mengalami erosi. Punahnya plasma nutfah tersebut dapat berpengaruh negatif pada jangka pendek dan jangka panjang. Oleh karena itu pemahaman pengelolaan berkelanjutan keanekaragaman sumber daya genetik harus dihubungkan dengan pemahaman alam dan kemungkinan perubahan di masa mendatang yang diyakini bahwa plasma nutfah tersebut akan bermanfaat bagi kehidupan manusia. Pola pemuliaan ternak pada dasarnya dapat dilaksanakan melalui tiga cara yakni melalui seleksi antar dan dalam genotipe lokal, introduksi "exotic germ plasm" dan ekploitasi heterosis. Tujuan program pemuliaan usahaternak domba/kambing adalah untuk meningkatkan produktivitas ternak atau komposisi dan kualitas produk yang dihasilkan. Pada prinsipnya strategi perbibitan untuk mengontrol potensi genetik ternak adalah : (1) memilih rumpun atau kombinasi rumpun ternak yang akan dipelihara; dan (2) seleksi dalam kelompok yang dipilih tersebut. Seleksi secara baik yang dilakukan secara teratur dapat meningkatkan produktivitas sekitar 2%/tahun. Namun, peningkatan ini akan terasa manfaatnya apabila program pemuliaan dilaksanakan selama 10 tahun, akan dihasilkan peningkatan produktivitas sebesar 20%. Kendala dalam peningkatan mutu genetik domba/kambing adalah relatif besarnya pengaruh lingkungan mikro dan makro serta kondisi sosial-ekonomik peternak. Besarnya keragaman pengaruh lingkungan mengakibatkan seleksi ternak menjadi kurang efisien, karena kemungkinan ternak yang terpilih bukanlah yang unggul secara genetik tetapi karena pengaruh lingkungan. Di samping itu kendala lainnya dalam peningkatan mutu genetik ternak adalah tidak tersedianya catatan produksi yang teratur dari para peternak. Program pemuliaan inti terbuka (open nucleus breeding scheme) merupakan salah satu strategi perbaikan produktivitas ternak yang cukup baik untuk diterapkan. Pola pemuliaan inti terbuka yang dimaksud adalah membentuk kelompok peternak pembibit domba/kambing unggul/bibit dengan menerapkan program pemuliaan secara baik dan benar. Kemudian keturunan yang dihasilkan didistribusikan ke peternak plasma. disebut pola pemuliaan inti terbuka karena 10 – 25 persen domba/kambing betina pengganti (replacement) untuk kelompok inti dipilih dari peternak plasma.

Kata kunci: Kambing, domba, perbibitan

PENDAHULUAN

Perbibitan ternak adalah suatu sistem yang cakupannya meliputi subsistem plasma nutfah (sumber daya genetik), pemuliaan, perbanyakan/penangkaran, pengembangan, pengawasan mutu bibit dan kelembagaannya. Dari cakupan perbibitan tersebut, subsistem sumberdaya genetik ternak dan pemuliaan ternak menjadi tumpuan utama para pemulia ternak untuk meningkatkan produktivitas ternak. Secara definisi, sumber daya genetik ternak adalah ternak atau material genetiknya yang mengandung unit-unit yang berfungsi sebagai pembawa sifat keturunan, baik yang bernilai aktual maupun potensial, yang dapat dipergunakan untuk membentuk rumpun/galur/

strain baru ternak. Sedang pemuliaan ternak merupakan rangkaian kegiatan untuk merubah komposisi genetik pada sekelompok ternak dari suatu rumpun ternak guna mencapai tujuan tertentu.

Pengertian pengelolaan sumber daya genetik ternak (SDGT) pada dasarnya adalah upaya-upaya yang diperlukan untuk tetap melestarikan dan memanfaatkan secara berkelanjutan (conservation and sustainable use) plasma nutfah untuk tujuan kesejahteraan manusia secara lestari. SDGT yang merupakan wujud keanekaragaman hayati, ialah material genetik, yaitu ternak dan material genetiknya yang mengandung unit-unit fungsional pewarisan sifat (hereditas). Kepentingan dan penggunaan sumberdaya ini untuk kepentingan

(2)

manusia, mencakup informasi yang berkenaan dengan ekspresi genetik untuk menambahkan nilai pemanfaatannya. Nilai pemanfaatan ini terkandung di dalam sifat-sifat yang terdapat pada dan proses-proses yang berlangsung di dalam mahluk hidup. Berdasarkan kandungan ini, sumberdaya genetik mempunyai nilai manfaat, baik secara nyata maupun potensial. Sumberdaya genetik ternak ini digunakan sebagai bahan pangan, tenaga kerja, sandang dan kebutuhan dasar manusia lainnya yang harus selalu tersedia. Oleh karena itu, pengelolaan, akses, dan penanganan selanjutnya harus menjadi kepedulian manusia.

Untuk pemanfaatannya, SDGT telah dikembangkan menjadi beraneka ragam material genetik dalam wujud berbagai macam rumpun (breed), galur atau strain ternak, baik rumpun/galur asli, lokal dan introduksi, maupun kerabat liarnya. Pemanfaatan SDGT telah diterapkan secara langsung dan atau melalui proses pemuliaan. Selain langsung dimanfaatkan, SDGT dapat juga dijadikan cadangan kesesuaian genetik untuk menjadi penyangga terhadap lingkungan yang tidak bersahabat dan terhadap perubahan ekonomi.

Kebutuhan manusia terhadap pangan terus menerus meningkat, sehingga tersedianya SDGT menjadi sangat penting. Kepentingan ini telah mendorong petani dan pemulia ternak untuk menciptakan rumpun/galur baru ternak dengan mutu yang lebih baik dan dengan nilai nyata yang lebih tinggi. Disatu pihak, petani mengembangkan rumpun ternak secara tradisional dengan jangka waktu penggunaan yang relatif lebih lama, sehingga rumpun/galur yang dikembangkan selalu dilestarikan dan dirawat secara turun temurun menjadi ras temurun (landrace). Di pihak lain, pemulia ternak selalu berusaha menciptakan rumpun/galur baru ternak yang lebih produktif, dalam waktu yang relatif lebih singkat dengan menggunakan teknologi pemuliaan. Dalam upayanya ini, tidak jarang rumpun/galur ternak hasil pemuliaan akan menggeser rumpun/galur lama. Perkembangan pembuatan rumpun/galur baru ini berlangsung terus menerus, sehingga rumpun/galur baru lama akan menjadi rumpun/galur lama yang akan tergeser oleh rumpun/galur yang lebih baru, dengan akibat makin menyusutnya keanekaragaman sumberdaya genetik.

Terdapat kecenderungan terjadinya erosi keanekaragaman SDGT lokal akibat kalah bersaing dengan rumpun/galur ternak tertentu yang mempunyai produktivitas tinggi. Indonesia sebagai salah satu negara megabiodiversity di dunia, sebenarnya merupakan salah satu kekuatan tersendiri untuk mewujudkan ketahanan pangan yang lestari. Pilihan pilihan IPTEK ke depan perlu diupayakan tanpa mengorbankan keanekaragaman SDGT, karena dengan melestarikannya kita dapat : (1) memilih jenis ternak yang beradaptasi terhadap timbulnya resiko penyakit yang tidak dapat diduga, (2) mengantisipasi perubahan kondisi lingkungan seperti perubahan iklim; atau (3) mengembangkan IPTEK baru untuk mengatasi kebutuhan nutrisi yang semakin sulit. Kita wajib mempertahankan keanekaragaman SDGT melalui berbagai cara dan kebijakan untuk keberlanjutan ketahanan pangan dan kesejahteraan manusia generasi sekarang dan mendatang.

Pada kondisi lapang, pemuliaan ternak pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan produktivitas melalui perbaikan potensi genetiknya. Peningkatan performa yang disebabkan perubahan genetik pada umumnya bersifat permanen. Kendala dalam peningkatan mutu genetik domba/kambing adalah relatif besarnya pengaruh lingkungan mikro dan makro serta kondisi sosial-ekonomik peternak. Beberapa laporan menunjukkan bahwa proporsi pengaruh lingkungan memberikan keragaman produksi yang cukup besar. Besarnya keragaman pengaruh lingkungan mengakibatkan seleksi ternak menjadi kurang efisien, karena kemungkinan ternak yang terpilih bukanlah yang unggul secara genetik tetapi karena pengaruh lingkungan. Di samping itu kendala lainnya dalam peningkatan mutu genetik ternak adalah tidak tersedianya catatan produksi yang teratur dari para peternak.

PENGELOLAAN SUMBER DAYA GENETIK TERNAK

Keanekaragaman sumber daya genetik terdiri dari suatu rangkaian sistem berbagai tingkat, seperti keanekaragaman antar spesies, dalam spesies, antar rumpun, dalam rumpun atau galur itu sendiri, keanekaragaman sub

(3)

populasi, perbedaan kombinasi gen suatu individu, sampai keragaman allele dalam individual gen-gen. Keanekaragaman sumber daya genetik ternak domba/kambing merupakan hasil dari aktivitas pertanian pada berbagai kondisi lingkungan, sistem produksi dan kultur/budaya. Terjadinya keanekaragaman sumber daya genetik ternak merupakan hasil simbiosis antara manusia dan spesies/rumpun ternak yang dibudidayakan secara turun temurun sejak dahulu kala, dan dewasa ini; sudah dalam kondisi memerlukan perhatian serius. Keberadaan keanekaragaman sumber daya genetik ternak justru memberikan peluang untuk berbagai kemungkinan memproduksi pangan, keberlanjutan kehidupan manusia pada berbagai ekosistem pertanian (ketersediaan tanah, iklim, air dan pangan) dan kultur pangan yang dikembangkannya. Masing masing beradaptasi secara spesifik pada berbagai ragam lingkungan dimana manusia berada. Ketiadaan keanekaragaman sumber daya genetik ternak dikarenakan tidak diproses, dijual, dikonsumsi, atau dimanfaatkan pada berbagai hal, sehingga keanekaragaman sumber daya genetik ternak tidak dapat membantu mencukupi kebutuhan manusia, dan akhirnya terancam punah. Keberadaan keanekaragaman sumber daya genetik ternak sangat terkait dengan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat serta lingkungan yang membentuk lokasi alam

Beberapa aspek yang perlu diperhatikan terkait dengan pengelolaan keanekaragaman SDGT diantaranya: (1) kurangnya kepedulian masyarakat dan perbedaan interpretasi perlunya mempertahankan keanekaragaman SDGT; (2) berkembangnya ilmu pemuliaan ternak; (3) kebijakan dan atau peraturan perundangan yang kurang mendukung untuk mempertahankan keanekaragaman SDGT; dan (4) alasan ekonomik.

Akibat pemanfaatan teknologi pemuliaan ternak yang salah arah yakni dengan penggunaan beberapa rumpun ternak yang dianggap unggul; walaupun cepat meningkatkan kualitas ternak, tetapi penggunaan secara meluas akan berdampak dengan meningkatnya “tekanan in-breeding” yang akan menurunkan daya hidup, fertilitas dan keragaan produksinya. Berkembangnya pemanfaatan galur ternak unggul dalam skala sangat luas dan tidak terkontrol, dapat

mendorong terkurasnya keanekaragaman SDGT. Pada ternak, kemungkinan manipulasi genom masih jauh tertinggal dibanding pada tanaman. Menurut Global Biodiversity Assesment (HEYWOOD dan WATSON, 1995), sistem pertanian modern yang menerapkan teknik mutakhir dan monokulturisasi secara terus menerus telah mendatangkan dampak negatif terhadap agrobiodiversity, terutama dalam hal: (1) menyempitnya keragaman genetik tanaman yang dibudidayakan; (2) menurunnya kualitas lingkungan setempat; (3) rusaknya ekosistem alami di kawasan tersebut, seperti lahan menjadi “sakit” dan terjadinya erosi. Oleh karena itu pemikiran untuk mengembangkan pertanian ramah lingkungan (ekoteknologi) merupakan hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan sistem agribisnis.

Pertimbangan pemuliaan yang mengutamakan standarisasi produk dan produktivitas jangan sampai terlalu jauh mempengaruhi keanekaragaman sumber daya genetik. Dilain pihak karena alasan untuk mempertahankan keanekaragaman sumber daya genetik ternak lokal, ditanggapi dengan suatu aturan yang mewajibkan ternak impor untuk tujuan produksi harus di kastrasi. Demikian pula misalnya karena alasan pengendalian wabah penyakit menular pada ternak di suatu daerah harus dilaksanakan pemusnahan (stamping-out) seluruh ternak yang berada di daerah tersebut. Kebijakan yang dikeluarkan sebaiknya merupakan alternatif terbaik menjaga kelestarian keanekaragaman SDGT.

Kunci optimal dalam pengelolaan SDGT adalah perbedaan nilai genetik antar spesies, rumpun, kelompok dan individu sehingga memungkinkan bagi produsen untuk memilih gen-gen yang kemungkinan besar mencapai tujuan yang diinginkan pada lingkungan tertentu. Manipulasi gen-gen didalam suatu spesies dengan seleksi, persilangan atau kombinasinya, apabila ada keragaman genetik memungkinkan produsen mencapai tujuan yang diinginkan. Apabila tujuan berubah atau karena berubahnya lingkungan, produsen atau pemulia harus mempunyai akses kembali terhadap keragaman genetik untuk menyesuaikan terjadinya perubahan tersebut.

Jalan pintas yang cepat untuk meningkatkan produktivitas ternak adalah

(4)

melalui introduksi ternak eksotik dari wilayah temperate dan melakukan persilangan yang tidak terarah, namun akibatnya adalah kehilangan gen-gen dari negara-negara yang sedang berkembang, dan hal ini sulit atau bahkan tidak akan dapat diganti. Dengan demikian nilai dari rumpun yang telah beradaptasi amat sangat berharga. Persilangan mungkin menguntungkan, tetapi dapat menghilangkan rumpun asli atau lokal yang telah beradaptasi, apabila tidak disertai dengan evaluasi terhadap ternak persilangan yang dibandingkan dengan ternak lokal, pada lingkungan dimana persilangan tersebut akan dikembangkan. Tujuan pengelolaan sumber daya genetik antara lain untuk:

1. Melestarikan dan memanfaatkan kekayaan sumber daya genetik ternak secara optimal; 2. Memperkaya koleksi sumber daya genetik

ternak dengan mendapatkan koleksi dari berbagai sumber termasuk koleksi asal internasional;

3. Melindungi kekayaan sumber daya genetik terrnak asli Indonesia agar tidak dipatenkan dan dimanfaatkan oleh yang tidak berhak; 4. Menyediakan materi sumber daya genetik,

informasi dan edukasi tentang pentingnya sumber daya genetik bagi masyarakat; 5. Membangkitkan partisipasi masyarakat

dalam kegiatan pelestarian, perlindungan dan pemanfaatan sumber daya genetik ternak;

6. Bertindak sebagai pangkalan untuk pembentukan gene bank nasional sumber daya genetik ternak;

7. Menyusun kebijakan pengelolaan sumber daya genetik ternak secara nasional;

8. Menjamin keragaman sumber daya genetik ternak untuk mencegah setiap ancaman terhadap ketahanan pangan nasional, dan: 9. Mendukung serta mengkoordinasikan

pengelolaan sumber daya genetik ternak di dalam negeri dan bekerjasama dengan negara lain.

Berbagai macam kebutuhan manusia sehari-hari yang dipenuhi oleh spesies ternak, dalam bentuk pangan maupun kebutuhan lainnya. Namun hanya sebagian kecil dari total keragaman genetik ternak dan kerabat liarnya, yakni sekitar 40 spesies, yang memenuhi sebagian besar proporsi dari produksi ternak global. Keragaman genetik didalam spesies

ternak dan beberapa kerabat liarnya telah menjadi sumber keragaman dari rumpun dan populasi ternak. Keragaman genetik ini penting dalam pembentukan rumpun ternak modern dan akan terus berkelanjutan dimasa mendatang. Punahnya keragaman sumber daya genetik ternak tidak akan dapat diganti meskipun dengan kemajuan bioteknologi, paling tidak sampai saat ini. Oleh karena itu merupakan tantangan untuk mengelola keragaman sumber daya genetik yang ada, mempertahankan produktivitasnya, memenuhi permintaan yang meningkat sehubungan dengan semakin bertambahnya populasi penduduk. Akan tetapi fakta menunjukkan bahwa aktivitas manusia mengakibatkan erosi keragaman sumber daya genetik ternak, misalnya mengganti rumpun ternak lokal yang telah beradaptasi dengan lingkungan setempat dengan rumpun ternak impor yang dianggap lebih produktif, tetapi membutuhkan input yang lebih tinggi. Dengan mempertahankan rumpun ternak lokal yang dapat beradaptasi pada lingkungan yang penuh kendala, dengan sistem produksi yang cukup rendah biaya produksinya, yang umum didapat di negara-negara sedang berkembang, akan meningkatkan keamanan pangan jangka panjang secara global. Di samping itu melalui pengembangan rumpun ternak lokal diharapkan dapat meningkatkan pendapatan usahatani, karena pola pemeliharaannya masih bersifat low - medium production input.

Dari Global Data Bank for Farm Animal Genetic Resources yang dilaporkan oleh World Watch List for Domestic Animal Diversity (FAO, 2000) dilaporkan bahwa telah tercatat 6379 rumpun dari 30 spesies mamalia dan avian. Dari populasi tersebut 1335 rumpun, atau 32% diklasifikasikan sebagai rumpun yang mempunyai resiko untuk punah, atau diklasifikasikan critical atau endangered. Atau secara ringkas kriteria sederhana yang dipakai adalah jumlah ternak betina dewasa (breeding female) kurang dari 1000 ekor dan ternak jantan dewasa (breeding male) kurang dari 20 ekor. Sebagian besar dari rumpun yang mempunyai resiko untuk punah terdapat di negara-negara yang sedang berkembang.

Dari SDGT itu sendiri, keragaman genetik juga memungkinkan ternak beradaptasi terhadap serangan penyakit, parasit, keragaman lingkungan, dan beberapa faktor pembatas

(5)

lainnya. Pada beberapa dekade terakhir, beberapa rumpun dari spesies ternak telah berhasil dikembangkan untuk meningkatkan produktivitas satu atau dua sifat produksi pada kondisi yang terkontrol. Ternak-ternak tersebut menghasilkan lebih banyak daging, susu atau telur sepanjang mereka mendapat lingkungan (pakan, suhu, kontrol penyakit, tatalaksana) yang memadai.

Dengan tingginya produktivitas rumpun ternak yang telah dikembangkan, menyebabkan rumpun/galur ternak tersebut di ekspor ke berbagai negara di dunia, dengan harapan akan cepat beradaptasi dan dapat dibudidayakan dengan lebih efisien. Namun, beberapa kenyataan menunjukkan bahwa rumpun ternak tersebut bukannya lebih efisien, karena memerlukan banyak tambahn pakan dan input-input produksi lain untuk tetap mempertahankan produktivitasnya. Bahkan tidak jarang, ternak impor tersebut tidak dapat berreproduksi atau hidup sebaik rumpun ternak lokal yang sudah beradaptasi dengan lingkungannya. Sebagai hasilnya, siklus produktivitas selama hidup dari ternak impor tersebut, dan bahkan turunan silangnya dengan ternak lokal, ternyata lebih rendah dibanding produktivitas ternak lokal. Akibatnya justru kerugian yang diperoleh.

Komponen utama untuk pelaksanaan program pelestarian dan tatalaksana SDGT secara berkelanjutan adalah: (1) mekanisme antar pemerintahan untuk memastikan keterlibatan dan kontinuitas bantuan dan saran kebijakan dari pemerintah; (2) struktur perencanaan dan pelaksanaan, yang melengkapi jaringan kerja tingkat nasional, regional dan global; (3) program kerja teknis, bertujuan untuk membantu tatalaksana SDGT pada tingkat nasional; dan (4) monitoring dan evaluasi, yakni merupakan komponen untuk melengkapi data dasar dan informasi yang diperlukan sebagai panduan, dan pelaporan status keragaman SDGT dan membantu keberhasilan strategio global.

Persiapan rencana pengelolaan tingkat nasional untuk SDGT merupakan elemen kunci untuk pekerjaan program teknikal. pengelolaan SDGT di suatu negara secara teknis sangat komplek, dan memerlukan partisipasi peternak dan pemulia, penentu kebijakan, ilmuwan, komunitas lokal dan tradisonal, dan berbagai perorangan. Persiapan rencana nasional akan

membantu negara untuk: pemantapan petunjuk pengembangan ternak secara berkelanjutan untuk produksi pangan dan pertanian yang penting; mengkaji kebutuhan dan prioritas; meningkatkan kesadaran akan peran dan nilai SDGT, termasuk sumberdaya genetik yang dapat beradaptasi pada lingkungan lokal; perbaikan target dan meningkatkan keefektifan biaya aktivitas tatalaksana; dan, untuk negara sedang berkembang, dapat mendapatkan bantuan dana dari negara maju.

Sistem pengelolaan SDG pada taraf nasional perlu segera ditindak lanjuti. Mengingat pembicaraan, dan diskusi sudah lama berlangsung, disisi lain erosi genetik makin deras berlangsung. Sementara itu kekhawatiran hilangnya berbagai kekayaan sumber daya genetik milik Indonesia telah menunjukan kenyataan, disebabkan lambannya penanganan. Rancang tindak yang perlu dilaksanakan anatara lain:

a. Mendorong pihak terkait untuk segera mewujudkan UU mengenai Pelestarian dan Pemanfaatan Sumber Daya Genetik; b. Pembagian tugas antar institusi, intansi,

kelembagaan dan para pihak terkait dalam menyiapkan berbagai produk yang dibutuhkan untuk mendorong terbentuknya Sistem Pengelolaan Sumber daya genetik Nasional

c. Sosialisasi bagian-bagian dari bangunan Sistem Pengelolaan Sumber daya genetik Nasional

d. Menata ulang kebijakan yang ada dan mengupayakan terbentuknya kerangka kebijakan dan pengaturan kelembagaan yang mendukung pengelolaan serta konservasi keanekaragaman hayati yang adil dan berkelanjutan, melalui penguatan, revisi maupun penyusunan kebijakan baru jika diperlukan

e. Memulihkan keanekaragaman hayati di kawasan-kawasan konservasi dan produksi prioritas yang telah terdegradasi;

f. Menekan tingkat degradasi habitat dengan menata ulang alokasi tata ruang dan akses terhadap sumber daya hayati, serta pada saat yang sama mengkonservasi sebanyak mungkin habitat, spesies dan sumber daya genetik guna menopang kesejahteraan masyarakat;

(6)

g. Memperkuat jaringan kerja pengelolaan dan konservasi keanekaragaman hayati dengan mewujudkan otonomi daerah yang bersifat partisipatif dan demokratis sebagai sarana pengelolaan keanekaragaman hayati yang bertanggung jawab dan melalui pengembangan sistem insentif dan mekanisme kompensasi lintas wilayah; h. Memperkuat penegakan hukum dalam

pemanfaatan dan pelestarian sumber daya genetik yang adil dan berkelanjutan untuk mendorong terwujudnya pengelolaan yang bertanggung jawab;

i. Mengembangkan pendidikan, penelitian, pelatihan, dan sistem informasi yang mendukung pengelolaan dan konservasi sumber daya genetik yang adil dan berkelanjutan, serta bertumpu pada kearifan lokal, kebijakan nasional maupun kesepakatan internasional dalam pengelolaan dan konservasi sumber daya genetik

j. Mengembangkan basis data, sistem monitoring dan inventarisasi serta jaringan pertukaran informasi (clearing house mechanism) bagi konservasi sumber daya genetik yang dapat diakses oleh masyarakat luas;

k. Mengembangkan dan menerapkan

teknologi yang dapat meningkatkan nilai tambah sumber daya genetik dalam kerangka pengelolaan yang adil dan berkelanjutan dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian dan kreativitas lokal; l. Revitalisasi, penguatan dan penggalian

kembali hukum dan kelembagaan adat/lokal yang mendukung pengelolaan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan dan berkeadilan;

m.Memperluas kerja sama internasional dalam pengelolaan dan konservasi sumber daya genetik nasional dengan penekanan pada kemitraan di bidang pembiayaan, pembagian keuntungan serta alih teknologi tepat guna

PENINGKATAN MUTU GENETIK TERNAK DOMBA/KAMBING Peningkatan mutu genetik pada umumnya dapat dilakukan dengan tiga metoda, yaitu: 1) Seleksi diantara dan didalam rumpun/genotipa

yang ada; 2) Introduksi rumpun baru; dan 3) persilangan untuk memanfaatkan heterosis (SAKUL et al., 1994).

Seleksi diantara rumpun

Seleksi diantara rumpun domba/kambing adalah pemilihan rumpun diantara rumpun domba/kambing yang tersedia. Pemilihan rumpun domba yang sesuai akan menghasilkan suatu produksi yang efisien. Seleksi diantara rumpun domba/kambing harus memperhatikan beberapa sifat antara lain kemampuan beradaptasi, efisiensi reproduksi, dan sifat pertumbuhan.

Sifat kemampuan beradaptasi ditunjukkan oleh kemampuan rumpun domba/kambing untuk hidup pada suatu lingkungan dengan sumberdaya tertentu. Sementara itu efisiensi reproduksi ditunjukkan oleh jumlah anak yang disapih oleh seekor induk pada suatu kelompok domba/kambing. Sifat ini merupakan sifat yang sangat penting diantara sifat-sifat lainnya. Sifat ini merupakan kombinasi umur dewasa kelamin, kemampuan domba/kambing betina untuk bunting, laju ovulasi, kemudahan untuk beranak, daya hidup embrio dan pasca-lahir, kemampuan untuk menghasilkan susu, sifat keindukan dan fertilitas pejantan. Sementara itu sifat pertumbuhan yang cepat menunjukkan efisiensi pakan yang baik serta karkas yang kurang berlemak.

Sebagai contoh adalah seleksi memanfaatkan gen prolifikasi yang dibawa oleh domba ekor tipis dari Jawa, memberikan kesempatan untuk meningkatkan produktivitas dalam waktu yang singkat dan permanen, tetapi ternak pembawa copy dari gen prolifikasi ini membutuhkan pakan dan manajemen yang memadai. Pada tingkat prolifikasi yang tinggi, dengan jumlah anak dua atau lebih, pakan dan manajemen yang kurang memadai pada umumnya berhubungan dengan tingginya mortalitas pra-sapih. Mortalitas yang tinggi atau daya hidup yang rendah akan mengakibatkan rendahnya tingkat produktivitas ternak domba. Keadaan ini digambarkan oleh hasil penelitian INOUNU et al. (1993). Pada tahun-tahun dimana kondisi pakan jelek maka produktivitas akan rendah sekali. Dengan perbaikan manajemen maka mortalitas berkurang, sehingga

(7)

produktivitas-nya meningkat. Pada kondisi pakan yang baik maka ternak yang membawa satu copy gen prolifikasi atau galur medium dengan litter size tunggal, dua dan tiga masing-masing 24, 56 dan 20% memproduksi 3,1 kg (18%) total bobot sapih anak lebih besar daripada galur rendah yang mempunyai litter size tunggal dan dua masing-masing 76 dan 24%. Sementara itu domba pembawa dua copy gen prolifikasi atau galur tinggi dengan litter size tunggal, dua, tiga, empat dan lima atau lebih masing-masing 14, 33, 34, 17 dan 2% memproduksi 10 kg (59%) lebih tinggi. Peningkatan produktivitas domba pembawa gen prolifikasi ini kemungkinan disebabkan oleh kombinasi bertambah baiknya kondisi induk yang melahirkan, sehingga menghasilkan susu yang tinggi dan anak kelahiran kembar dua, tiga dan empat mempunyai daya hidup dan total bobot sapih yang lebih tinggi. Pada kondisi pakan dan manajemen medium, domba pembawa sebuah copy dari gen prolifikasi terlihat lebih baik dibandingkan dengan dua genotipe homosigot lainnya.

Bahwa optimum prolifikasi dengan genotipe yang sesuai sangat tergantung pada kondisi pakan dan manajemen. Pada sistem produksi semi-ekstensif untuk pengelolaan dengan digembalakan masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut. Sementara itu pada sistem intensif dimana ternak dikandangkan dan pakan diberikan secara potong-angkut, tetapi suplementasi pakan konsentrat tidak dapat disediakan dengan harga yang ekonomis, maka pemanfaatan gen tunggal prolifikasi tidak perlu dilakukan, sehingga lebih menguntungkan apabila dipergunakan domba galur rendah. Pada sistem intensif dimana suplementasi pakan konsentrat tersedia dengan mudah dan dengan harga yang ekonomis, maka pemeliharaan domba dengan genotipe heterosigot atau galur medium akan lebih produktif. Akan tetapi pembentukan galur medium membutuhkan perkawinan antara jantan galur tinggi dan betina galur rendah yang membutuhkan program pemuliaan yang berstruktur/berstrata (SUBANDRIYO dan INIGUEZ, 1992; BRADFORD, 1993).

Seleksi didalam rumpun

Sifat-sifat ekonomi yang penting pada produksi domba/kambing, dipengaruhi oleh

banyak gen. Karenanya peningkatan frekuensi gen-gen yang favorable akan meningkatkan nilai pemuliaan (breeding value) dan performa domba/kambing. Seleksi secara sederhana dalam praktek sehari-hari dapat didefinisikan sebagai penentuan individu yang akan dikawikan dan menghasilkan keturunan pada generasi berikutnya. Ini adalah metoda utama untuk meningkatkan nilai/mutu genetik pada generasi selanjutnya. Seleksi tidak membuat gen baru. Dengan seleksi domba/kambing dimungkinkan untuk memiliki lebih banyak gen-gen yang favorable untuk menghasilkan generasi berikutnya, dengan demikian akan meningkatkan frekuensi gen-gen yang diinginkan pada populasi.

Ada dua macam seleksi, yaitu seleksi alam (natural selection) dan seleksi buatan (artificial selection). Seleksi alam atau yang dikenal dengan "survival atau the fittest" yang memungkinkan domba/kambing beradaptasi terhadap lingkungannya untuk hidup dan menghasilkan jumlah anak sebanyak-banyaknya. Seleksi buatan biasanya dilakukan oleh manusia untuk meningkatkan mutu genetik sifat-sifat ekonomis yang penting, dan dapat bervariasi dari suatu kelompok peternakan domba/kambing dengan yang lain. Kemungkinan beberapa rumpun domba/ kambing mempunyai gen-gen yang favorable lebih banyak dibandingkan dengan rumpun lainnya. Dengan demikian tekanan seleksi terhadap suatu sifat akan berbeda dari suatu rumpun terhadap rumpun yang lain.

Beberapa metoda seleksi dapat dilakukan oleh pemulia domba/kambing, yaitu: 1) Metoda seleksi untuk satu sifat dan 2) metoda seleksi untuk beberapa sifat.

Metoda seleksi untuk satu sifat

Metoda seleksi ini didalam praktek berupa prosedur yang harus dilakukan oleh pemulia didalam menentukan domba/kambing betina dan jantan yang akan digunakan sebagai tetua untuk menghasilkan anak pada generasi selanjutnya. Metoda yang ideal adalah metoda yang memungkinkan konsentrasi gen-gen yang diinginkan didalam suatu flock dengan cara yang praktis dan dengan laju yang dapat dicapai. Ada beberapa metoda seleksi untuk satu sifat yaitu:

(8)

a. Seleksi individu: seleksi individu ini dapat diartikan sebagai seleksi terhadap potensi tetua yang didapat dari catatan atau fenotipanya. Seleksi ini akan memberikan hasil yang cepat apabila nilai heritabilitasnya cukup tinggi. Cara seleksi ini adalah yang paling mudah dilakukan.

b. Seleksi famili: Seleksi famili ini dilakukan berdasarkan nilai rata-rata performa atau fenotipa suatu famili. Nilai performa individu digunakan untuk menentukan nilai rataan dari suatu famili. Seleksi famili ini berguna bila nilai heritabilitas sifat yang diseleksi rendah.

c. Seleksi silsilah (pedigree): Pada seleksi silsilah ini pertimbangan diberikan pada nilai pemuliaan tetua. Seleksi silsilah ini berguna untuk sifat-sifat yang ditunjukkan oleh satu jenis kelamin saja (misalnya jumlah anak sekelahiran), untuk sifat-sifat yang ditunjukkan sampai akhir hidupnya (misalnya longevity), atau sifat yang ditunjukkan setelah ternak tersebut dipotong (komposisi karkas). Nilai dari seleksi silsilah tergantung kedekatan hubungan antara tetua dengan individu yang diseleksi, jumlah catatan dari yang dimiliki tetua, kecermatan nilai pemuliaan untuk tetua serta nilai heritabilitas dari sifat yang diseleksi. d. Uji Zuriat: Uji zuriat adalah bentuk dari

seleksi silsilah dan merupakan metoda untuk menghitung nilai pemuliaan dari keturunannya. Agar uji zuriat ini mempunyai kecermatan yang tinggi, uji zuriat terhadap pejantan domba/kambing harus dikawinkan dengan sejumlah besar ternak betina. Kecermatan perkiraan nilai pemuliaan seekor pejantan akan meningkat bila jumlah anak yang mempunyai informasi performanya meningkat. Uji zuriat ini merupakan metoda yang ideal karena nilai pemuliaan rata-rata dari keturunannya secara individu relatif terhadap pembandingnya diestimasi secara langsung, dengan nilai setengah dari nilai pemuliaan. Akan tetapi uji zuriat sangat mahal dan selang generasinya sangat panjang, karena

seleksi terhadap tetua tidak dapat dilakukan sampai keturunannya dapat diukur sifat yang diuji.

Metoda seleksi untuk beberapa sifat

Keputusan untuk melakukan seleksi jarang dilakukan terhadap satu sifat saja. Hal ini dikarenakan keuntungan dalam beternak domba/kambing tidak hanya tergantung dari satu sifat saja melainkan dari beberapa sifat, misalnya pertumbuhan anak, fertilitas induk, dan kemampuan menyusui induk. Oleh sebab itu dalam praktek biasanya dilakukan seleksi beberapa sifat secara bersamaan. Makin meningkat jumlah sifat yang diseleksi, tekanan seleksi terhadap semua sifat akan menjadi berkurang. Oleh karena itu metoda seleksi untuk beberapa sifat harus dilakukan untuk memperoleh peningkatan mutu genetik yang maksimum. Beberapa metoda seleksi terhadap beberapa sifat antara lain adalah:

a. Seleksi tandem: Seleksi tandem

dilakukan dengan memfokuskan seleksi terhadap satu sifat setiap kali sampai mencapai tingkat performa yang diinginkan tercapai, kemudian dilanjutkan seleksi terhadap sifat yang kedua, dan selanjutnya. Efisiensi metoda ini tergantung dari korelasi genetik antara sifat-sifat yang diseleksi. Apabila terdapat korelasi yang negatif antara sifat-sifat yang diseleksi, seleksi yang kedua yang dilakukan dapat menghilangkan peningkatan performa yang telah dicapai pada seleksi yang pertama. Sebaliknya apabila terdapat korelasi genetik yang positif dan kuat, seleksi terhadap satu sifat akan meningkatkan performa sifat lainnya. b. Independent Culling Levels: Dengan

metoda ini, seleksi dapat diaplikasikan untuk dua sifat atau lebih secara simultan. Standar minimum ditentukan untuk setiap sifat, dan semua individu yang ada dibawah standar minimum yang telah ditentukan pada salah satu sifat akan dikeluarkan tanpa mempertimbangkan kontribusi sifat lainnya. Dengan demikian keunggulan salah satu sifat tidak dapat mengkompensasi kelemahan sifat

(9)

lainnya, dan hal ini merupakan kelemahan dari metoda ini.

c. Indek Seleksi: Indek seleksi meranking individu terhadap nilai ekonomi yang didasarkan pada dua sifat atau lebih, dan metoda ini merupakan metoda yang paling efisien dalam menseleksi beberapa sifat secara simultan. Didalam mengembangkan indek seleksi beberapa informasi perlu diperhatikan, antara lain:

(1) kepentingan relatif ekonomi untuk perubahan setiap satu unit pada setiap sifat yang diseleksi (informasi ini menentukan tujuan dari seleksi) (2) nilai heritabilitas atau proporsi

keragaman genetik terhadap fenotipik setiap sifat.

(3) korelasi fenotipik dan genetik diantara sifat-sifat yang ada dalam indek.

Peningkatan mutu genetik. Untuk

menentukan besarnya perkiraan peningkatan mutu genetik per generasi membutuhkan dua faktor, yaitu seleksi diferensial (Sd) dan heritabilitas (h2). Konsep seleksi diferential sangat sederhana yaitu perbedaan performa individu yang diseleksi, dibandingkan dengan seluruh individu dalam kelompok yang memenuhi syarat untuk diseleksi. Sementara itu heritabilitas didefinisikan sebagai proporsi antara keragaman genetik aditif (VA) terhadap keragaman fenotipik (VP), yaitu h2 = VA/VP. Secara sederhana heritabilitas dapat didefinisikan sebagai proporsi keunggulan tetua yang dapat diamati pada keturunannya. Peningkatan mutu genetik per generasi (dG) adalah hasil perkalian antara heritabilitas dengan seleksi diferensial, yaitu dG = h2 x Sd. Oleh karena intensitas seleksi yang didefinisikan sebagai cara standarisasi yang mengekspresikan keunggulan orang tuanya dari kelompok dimana mereka berasal. Intensitas seleksi (i) = Sd/VP. Dengan demikian peningkatan mutu genetik per generasi dapat pula dihitung berdasarkan formula dG = h2 x i x VP, dimana, i adalah intensitas seleksi dan VP adalah keragaman fenotipik sifat yang diseleksi. Dengan demikian peningkatan mutu genetik disamping tergantung besarnya nilai heritabilitas juga tergantung intensitas seleksi dan keragaman fenotipik. Besar kecilnya

intensitas seleksi tergantung dari besar kecilnya ternak pengganti (replacement) yang diperlukan, artinya makin kecil jumlah ternak pengganti yang diperlukan, berarti bahwa makin besar potensi ternak pengganti yang dikeluarkan (culled), makin besar nilai intensitas seleksi. Demikian pula untuk keragaman fenotipik, makin besar keragaman sifat yang akan diseleksi, makin besar kemungkinan peningkatan mutu genetik sifat yang diseleksi. Peningkatan mutu genetik dapat pula diperkirakan per tahun, yaitu dengan membagi dG dengan selang generasi (L). Selang generasi adalah rataan selang waktu antara kelahiran ternak dengan kelahiran penggantinya, atau secara sederhana dapat didefinisikan sebagai rataan umur dari ternak-ternak dalam suatu kelompok (flock) waktu beranak. Dengan demikian makin pendek selang generasi maka diharapkan makin besar nilai peningkatan mutu genetik.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan program seleksi

Didalam melakukan seleksi langkah awal yang terpenting adalah tujuan dari seleksi yang akan dilakukan, serta menentukan sifat-sifat yang akan diseleksi. Tujuan dari program seleksi harus disesuaikan dengan tujuan produksi, misalnya untuk keperluan konsumsi rumah tangga, untuk pasaran dalam negeri ataupun untuk ekspor (TURNER, 1974). Disamping itu juga ditentukan oleh tingkat performa dari sifat-sifat ternak yang akan dikembangkan. Sebagai contoh, rumpun domba yang mempunyai sifat prolifikasi yang tinggi, dalam penentuan sifat yang akan diseleksi, perhatian terhadap sifat ini dapat dikurangi dibandingkan rumpun domba yang kurang prolifik. Pada domba prolifik, sifat pertumbuhan harus mendapat perhatian lebih besar.

Di Indonesia, dimana tujuan produksi peternakan domba/kambing adalah untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan pasar domestik, serta rumpun domba/kambing lokal yang ada di Indonesia pada umumnya relatif prolifik, maka sifat-sifat yang perlu mendapat perhatian didalam melakukan program seleksi adalah sifat-sifat pertumbuhan. Khusus untuk ternak domba yang pada umumnya

(10)

terkonsentrasi di Jawa dan Madura yang pada umumnya adalah tropika basah, produksi wool tidak dimanfaatkan, serta beragamnya luas areal wool pada domba ekor tipis maupun ekor gemuk, seleksi terhadap ternak-ternak bebas dari wool juga perlu mendapat perhatian.

Disamping itu faktor lain yang perlu diperhatikan dalam program pemuliaan atau seleksi domba/kambing adalah fasilitas yang memungkinkan untuk mengatur perkawinan, penyediaan pakan dan tatalaksana yang memungkinkan pengukuran perbedaan potensi genetik diantara ternak. Diantara faktor-faktor tersebut, penyediaan pakan yang memadai sangat penting. Untuk hal tersebut penghitungan kapasitas tampung sangat penting, karena kelebihan jumlah ternak akan mengakibatkan turunnya performa ternak dan mengakibatkan kesulitan didalam menentukan hasil dari program seleksi. Oleh karena itu pencatatan yang akurat terhadap produksi hijauan harus dilakukan secara teratur untuk menghindari masalah kekurangan pakan.

Pertimbangan lain yang harus diperhatikan didalam penyediaan pakan adalah jenis yang digunakan haruslah sesuai dengan pakan yang akan digunakan oleh petani peternak, apabila ternak hasil seleksi tersebut akan didistribusikan untuk petani peternak. Untuk mencapai tujuan ganda, yakni seleksi pada kondisi pakan dan tatalaksana yang sesuai serta memberi peluang kepada ternak untuk menunjukkan potensi genetiknya untuk pertumbuhan, sistem pengelolaan sebagai berikut dapat dilakukan yakni: Ternak-ternak betina induk diberikan pakan yang sesuai dengan kondisi peternak. Ternak-ternak lepas sapih diberikan pakan dengan kualitas yang lebih baik. Misalnya dari umur 3–6 atau 8 bulan dilakukan pengujian pertumbuhan dengan pakan yang memadai, dan seleksi untuk bobot badan dilakukan pada akhir periode tersebut.

Tatalaksana terhadap ternak sedapat mungkin juga sesuai dengan kondisi peternak, tetapi perbedaan potensi genetik diantara ternak harus terlihat, dan laju kematian (mortalitas) tidak tinggi. Sebagai pedoman mortalitas prasapih lebih dari 20% atau mortalitas sesudah sapih dan domba dewasa lebih dari 5% per tahun, menunjukkan kekurangan pakan dan masalah dalam tatalaksana serta kontrol penyakit. Rataan jarak

beranak lebih dari 9 atau 10 bulan juga sebagai akibat masalah didalam pakan dan tatalaksana.

Program pemuliaan ternak membutuhkan identifikasi setiap individu dari seluruh kelompok ternak. Ternak yang baru lahir harus dicatat bapak, induk dan tipe kelahirannya. Identifikasi yang berupa nomor tetap harus diberikan untuk setiap ternak. Cara yang umum dilakukan adalah dengan memberikan nomor telinga ataupun tatoo. Pada domba Garut, dimana banyak dijumpai telinga rumpung, pemberian nomor ternak dileher adalah merupakan alternatif. Didalam pemberian nomor ini suatu cara yang sering digunakan adalah pemberian nomor empat angka, dimana angka pertama merupakan tahun kelahiran, sedangkan tiga angka berikutnya nomor urut ternak. Sebagai contoh no. 6001 adalah ternak pertama yang dilahirkan pada tahun 2006.

Disamping pencatatan informasi tentang bapak dan induk dari ternak yang baru lahir, untuk program pemuliabiakan, minimum dibutuhkan pencatatan sebagai berikut: Tanggal lahir, Jumlah anak sekelahiran (tunggal, kembar dua, dsb) dan jumlah yang dibesarkan, Bobot lahir (pilihan), Tanggal penyapihan. Bobot sapih, Bobot pada umur 6 bulan, 12 bulan dan pada setiap perkawinan, dan Selang beranak.

Pada domba, data tambahan, seperti penilaian (score) luas areal wool juga dibutuhkan, apabila dipertimbangkan didalam seleksi. Score luas areal wool tubuh dapat ditentukan dengan melakukan modifikasi yang dianjurkan oleh BELL et al. (1983).

Didalam melakukan seleksi, hal-hal yang perlu diperhatikan adalah:

a. Seleksi harus didasarkan pada catatan performa.

b. Pejantan dan betina yang terbaik harus digunakan pada pusat pembibitan, karena laju peningkatan genetik pada semua strata populasi tergantung pada strata yang tertinggi.

c. Selang generasi yang pendek. Selang generasi yang pendek dapat dicapai dengan menggunakan pejantan muda secepatnya, apabila potensi genetik dari sifat yang diseleksi dapat diukur, dan pejantan tersebut dapat digunakan untuk mengawini dengan baik. Pejantan ini segera diganti, apabila pejantan dari kelahiran berikutnya telah tersedia.

(11)

Didalam usaha untuk mencapai tujuan seleksi diatas, tahap pertama dapat dilakukan dengan melakukan screening terhadap populasi yang besar. Sebagai contoh, untuk pemilihan bibit sebanyak 100 ekor, perlu pemilihan (screening) terhadap 5000 – 10000 ekor (1–2% yang terbaik) dari suatu populasi. Dengan jalan screening ini, pada tahap pertama dapat meningkatkan produktivitas sekitar 10 – 15%, dan peningkatan ini akan bertambah apabila diikuti dengan seleksi yang sistimatis (BRADFORD et al., 1986).

Kriteria yang digunakan untuk melakukan screening ini tergantung pada tujuan dari seleksi berikutnya. Akan tetapi oleh karena ternak lokal pada umumnya tidak dicatat keragaannya, pada tahap pertama kriteria pemilihan dapat didasarkan pada: konformasi tubuh yang baik dan bebas dari cacat genetik yang terlihat, untuk domba/kambing betina yang telah beranak, domba/kambing dengan anak kembar merupakan prioritas, disamping kemampuannya yang baik untuk membesarkan anak.

Laju peningkatan genetik setiap ekor domba setiap tahun didalam suatu flock dengan melakukan seleksi pada umumnya lambat. Seleksi yang dilakukan secara sistematis pada umumnya hanyalah meningkat sebesar 1 – 2% per tahun (BRADFORD et al., 1986). Dengan cara screening yang dilakukan pada tahap pertama, dan diikuti dengan seleksi yang sistimatis, dalam waktu lima tahun dapat diharapkan peningkatan produktivitas domba sebesar 30 – 45% dari rataan populasi. Peningkatan produktivitas ini akan lebih besar lagi apabila diimbangi dengan perbaikan pakan dan kontrol penyakit.

Penggunaan bibit domba yang telah terseleksi untuk peningkatan mutu genetik di petani peternak pada umumnya sangat sulit. Hal ini disebabkan karena peternakan domba/kambing di Indonesia merupakan komponen dari suatu sistem usaha tani, yang merupakan sumber tabungan. Peternak akan menjual ternaknya apabila membutuhkan uang, sebaliknya mereka akan membeli ternak apabila mempunyai kelebihan uang. Sebagai akibatnya, tidak ada kelangsungan pemeliharaan ternak didalam satu flock, sehingga pencatatan keragaan, seleksi ataupun evaluasi penggunaan bibit unggul akan mengalami kesulitan.

Kesulitan kedua, kebanyakan petani peternak memelihara beberapa ekor betina saja, sehingga pemeliharaan pejantan tidak menguntungkan, sehingga penggunaan pejantan untuk perkawinan tergantung kepada peternak lainnya yang memiliki pejantan. Keadaan ini mengakibatkan perencanaan perkawinan serta pencatatan silsilah mengalami kesulitan bahkan sering tidak memungkinkan. Kesulitan untuk mendapatkan pejantan, serta didalam teknik mendeteksi berahi, mengakibatkan selang beranak yang panjang (BELL et al., 1983a). Hal ini mempunyai dampak yang sangat besar terhadap turunnya produktivitas, serta mengakibatkan lambatnya kemajuan yang dicapai dalam melakukan seleksi ataupun penggunaan bibit domba jantan.

Salah satu cara untuk mengatasi masalah-masalah tersebut diatas, adalah dengan menggunakan kelompok peternak untuk memanfaatkan pejantan yang telah diseleksi oleh pusat pembibitan. Misalnya satu kelompok peternak yang terdiri dari 8 orang dan memiliki 30 – 40 ekor ternak betina, diberikan 2 ekor pejantan yang telah diseleksi oleh pusat pembibitan dengan bentuk perjanjian yang tertentu. Dengan sistim rotasi yang teratur, setiap peternak mempunyai kesempatan untuk memanfaatkan seekor pejantan selama tiga bulan. Dengan assumsi bahwa fertilitas ternak betina cukup baik, serta dapat dikawinkan kembali 60–90 hari setelah beranak, maka setiap domba betina diharapkan mempunyai selang beranak 8 bulan serta periode kelahiran terkonsentrasi dalam waktu 3 bulan dalam satu tahun. Dengan sistem rotasi yang teratur, terjadinya silang dalam (inbreeding) dapat dikurangi. Oleh sebab itu pemberian nomor yang tetap pada setiap individu dan pencatatan yang teratur merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk keberhasilan program pemuliabiakan pada tingkat kelompok peternak. Pada kelompok peternak ini, catatan minimum yang harus dimiliki adalah: jumlah anak sekelahiran dan tipe pembesaran, tanggal beranak, skor areal wool, bobot sapih, umur sapih dan bobot induk.

Untuk memperoleh laju peningkatan mutu genetik yang tetap pada kelompok peternak, pusat pembibitan diharapkan dapat mengganti bibit pejantan yang lebih baik secara teratur

(12)

kepada kelompok peternak. Pada kelompok peternak, pejantan paling lama digunakan selama 2 tahun.

Dengan menggunakan pejantan yang telah terseleksi dan adanya peningkatan mutu genetik dari pusat pembibitan yang teratur, dalam beberapa tahun diharapkan ternak-ternak yang dipelihara oleh peternak akan mengalami peningkatan mutu genetik yang sama dengan pusat pembibitan.

INTRODUKSI RUMPUN BARU Introduksi rumpun baru kedalam populasi ada dua cara yaitu 1) mengimpor rumpun domba/kambing, dan menggantikan rumpun domba/kambing lokal; dan 2) mengimpor rumpun domba/kambing baru eksotik, untuk dipersilangkan dengan ternak lokal. Pendekatan dalam introduksi rumpun baru pertama yang dilakukan adalah sifat apakah yang dibutuhkan untuk meningkatkan produksi (misalnya, pertumbuhan, meningkatkan produksi susu atau meningkatkan jumlah anak sekelahiran). Selanjutnya yang harus diperhatikan adalah mencari rumpun domba/kambing eksotik yang mempunyai sifat yang dibutuhkan, yang telah beradaptasi terhadap lingkungan yang menyerupai dimana domba/kambing ini akan dikembangkan. Keputusan selanjutnya adalah apakah rumpun domba/kambing baru yang diintroduksi sebagai rumpun murni (purebred), atau digunakan untuk persilangan. Apabila purebreeding adalah cara yang terbaik, maka dalam introduksi perlu impor ternak hidup atau dalam bentuk embrio, dan selanjutnya dievaluasi pada lingkungan baru. Akan tetapi apabila rumpun eksotik ini akan digunakan untuk persilangan, impor mani (semen) akan lebih mudah dibandingkan dengan impor ternak hidup, karena akan mengurangi masalah-masalah birokrasi atau logistik dalam hal impor ternak hidup. Introduksi dengan persilangan mungkin merupakan pilihan yang terbaik didalam beberapa hal karena memungkinkan untuk menggabungkan sifat adaptabilitas rumpun lokal dan keunggulan genetik rumpun eksotik yang diintroduksi.

Untuk kondisi Indonesia, dimana pada umumnya domba/kambing mempunyai potensi reproduksi yang sangat baik, maka introduksi

melalui persilangan akan lebih baik, karena akan menggabungkan sifat adaptabilitas dan keunggulan genetik sifat pertumbuhan rumpun yang diintroduksi. Introduksi sifat pertumbuhan melalui penggantian rumpun lokal dengan rumpun eksotik yang berasal dari daerah sub-tropis, pada umumnya kurang sesuai untuk kondisi Indonesia, karena mempunyai musim reproduksi yang terbatas, mempunyai wool yang mengakibatkan cekaman panas (khusus pada domba), dan kurang beradaptasi terhadap iklim, nutrisi serta penyakit di daerah tropis. Sementara itu untuk introduksi melalui persilangan maka perlu dipertimbangkan untuk semua aspek produksi. Pengkajian pengukuran input dan output pada keseluruhan kelompok berdasarkan siklus hidup adalah penting. Sebagai contoh adalah penelitian FLETCHER et al. (1985) yang menunjukkan bahwa DET dari Jawa membutuhkan pakan lebih sedikit per kg anak yang disapih dibandingkan dengan persilangan antara Suffolk, Wiltshire, atau Dorset yang disilangkan dengan DET dari Jawa, meskipun persilangan ini semua menghasilkan anak sapihan yang lebih besar. Disamping itu perlu diingat bahwa kadang-kadang proporsi dari rumpun eksotik yang diintroduksi melalui persilangan ini hanya sebatas "intermediate optimum".

PERSILANGAN UNTUK MEMANFAATKAN HETEROSIS Persilangan adalah perkawinan antara ternak domba/kambing jantan dengan domba/kambing betina dari rumpun yang berbeda. Hal ini bukan berarti perkawinan asal saja antar rumpun yang berbeda, namun yang diartikan dengan persilangan adalah penggunaan sumberdaya genetik domba/ kambing (rumpun domba/kambing) yang sistematik dengan perencanaan sistem perkawinan untuk menghasilkan anak hasil persilangan yang spesifik. Persilangan ini dilakukan karena hasil persilangannya lebih unggul dibandingkan dengan rumpun murni. Ada beberapa macam persilangan, yaitu grading up, pembentukan rumpun baru dan persilangan spesifik.

(13)

Grading up

Grading up adalah persilangan beruntun ternak betina dan anak betinanya terhadap pejantan dari satu rumpun/breed. Grading up ini mempunyai tujuan akhir agar suatu kelompok/flock merupakan "representative" dari rumpun pejantan, yang akhirnya tidak dapat dibedakan dengan rumpun dari pejantan yang digunakan untuk persilangan. Dengan grading up ini total gen dalam flock akan meningkat dari 50% pada generasi pertama menjadi 75; 87,5; dan 93,75% pada generasi kedua, ketiga dan keempat dari persilangan dengan rumpun yang digunakan. Grading up biasanya digunakan apabila hanya pejantan dari rumpun tertentu yang dikehendaki yang tersedia. Hal tersebut sering terjadi apabila rumpun yang diintroduksikan atau diimpor tidak ada ternak betinanya atau ternak betinanya tersedia dalam jumlah yang terbatas.

Pembentukan rumpun baru

Pembentukan rumpun baru atau rumpun komposit atau sintetik dari hasil persilangan adalah apabila rumpun yang ada tidak memenuhi kebutuhan suatu sistem produksi dan apabila persilangan yang sistematik tidak dapat dilakukan atau tidak memenuhi syarat. Rumpun komposit atau sintetik dibentuk dari dua rumpun atau lebih, dengan perkawinan selanjutnya antara hasil persilangan jantan dan betina (interse mating). Apabila populasi dasar dari hasil persilangan telah terbentuk, selanjutnya pengelolaan flock dikelola seperti pada rumpun murni yaitu menggunakan ternak jantan dan betina pada proporsi gen yang sama. Kelompok rumpun komposit sangat berguna karena menggabungkan beberapa sifat dari beberapa rumpun kedalam satu populasi dan diharapkan akan lebih unggul dari rumpun tetuanya. Populasi rumpun komposit dapat pula memiliki proporsi "hybrid vigor" atau "heterosis" yang cukup besar pada persilangan domba/kambing, karena tingkat keragaman genetiknya yang cukup tinggi maka respon terhadap seleksi cukup besar dibandingkan pada populasi rumpun murni. Contoh pembentukan rumpun baru di Indonesia adalah persilangan tiga rumpun antara domba rambut St.Croix, Barbados Blackbelly dengan domba

ekor tipis Sumatra, dengan komposisi genotipa 50% domba lokal Sumatra, 25% St. Croix, 25% Barbados Blackbelly.

Desain sistem persilangan

Ada dua pertimbangan utama dalam mendesain sistem persilangan yang efisien. Pertama menggunakan pengaruh heterosis sebesar mungkin, dan yang kedua adalah mempertahankan kontribusi rumpun dengan peranan yang sesuai dalam suatu sistem produksi. Heterosis akan maksimum apabila tetua individu hasil persilangan tidak mempunyai tetua rumpun yang sama. Dengan demikian maksimum heterosis akan dicapai dalam sistem persilangan dari 4 rumpun, yang berasal dari perkawinan bapak dan induk yang tidak berhubungan darah.

Meskipun mempertahankan tingkat heterosis yang tinggi adalah yang diinginkan dalam suatu sistem produksi, namun keinginan ini harus diimbangi dengan kebutuhan untuk optimasi komposisi rumpun yang dipakai. Seperti dikemukakan diatas, heterosis didefinisikan sebagai keunggulan persilangan dibandingkan dengan rataan kedua rumpun murni tetuanya. Akan tetapi akan lebih baik lagi apabila persilangan tersebut lebih baik dari rumpun terbaik orang tuanya yang digunakan dalam persilangan. Dengan demikian persilangan akan menguntungkan apabila dibentuk dari rumpun yang telah beradaptasi terhadap lingkungan dimana akan dikembangkan, dengan karakteristik performa yang seimbang atau saling mengisi. Biasanya rumpun yang memberikan kontribusi baik untuk rumpun ternak betina adalah yang beradaptasi terhadap lingkungan setempat, ukuran tubuhnya sedang (untuk mengontrol biaya maintenance), dan sangat fertil. Ternak ini harus menunjukkan sifat keindukan yang baik serta mempunyai tingkat prolifikasi yang sesuai dengan sistem pengelolaan, khususnya penyediaan pakan. Sementara itu untuk rumpun pejantan sebaiknya adalah yang besar, mempunyai pertumbuhan yang cepat dengan kemampuan untuk menghasilkan karkas yang tidak begitu berlemak (lean carcass). Disamping itu juga pejantan ini juga harus yang beradaptasi terhadap lingkungan, sehingga fertilitasnya tetap tinggi dan

(14)

keturunannya mempunyai daya hidup yang tinggi.

Kunci keberhasilan sistem persilangan adalah mempertahankan rumpun sesuai dengan peranannya didalam suatu sistem produksi. Namun hal ini kadang-kadang sulit dicapai karena sistem persilangan dan permintaan pasar kadang-kadang berbeda, khususnya untuk ternak betina pengganti. Oleh karena itu dalam sistem persilangan yang perlu diperhatikan adalah bagaimana menghasilkan atau mendapatkan ternak betina pengganti yang sesuai.

Sistem persilangan sistematis yang sesuai dengan kondisi Indonesia karena terbatasnya rumpun domba/kambing tropis antara lain adalah persilangan terminal (terminal crossing). Sistem persilangan ini didesain untuk menggunakan heterosis secara maksimum dan sifat saling mengisi (complementarity). Biasanya dalam sistem ini digunakan dua, tiga atau empat rumpun domba/kambing. Persilangan terminal yang paling sederhana dan sesuai dengan kondisi Indonesia adalah dengan menggunakan dua rumpun domba, dimana rumpun betina digunakan domba/kambing lokal, sedangkan rumpun jantannya digunakan domba/kambing eksotik yang dapat beradaptasi terhadap lingkungan tropis. Sistem persilangan ini menghasilkan ternak potongan (jantan dan betina).

Sebagai contoh adalah penggunaan domba prolifik yang membawa sebuah copy gen FecJF yang rata-rata dapat menghasilkan anak sekitar dua ekor, yang dikawinkan dengan pejantan yang mempunyai pertumbuhan yang cepat. Dengan sistem ini, dibutuhkan sistem produksi yang berstruktur, yakni penghasil domba betina dan penghasil domba pejantan. Domba pejantan dengan kemajuan teknologi dapat diperoleh dengan inseminasi buatan.

PENUTUP

Bahwa kekuatan SDGT tergantung pada derajat keanekaragaman unsur-unsur yang membentuknya. Oleh karena itu pelestarian plasma nutfah adalah mempertahankan keanekaragaman sumber daya genetiknya. Pelestarian keanekaragaman genetik akan selalu diperlukan dalam pemuliaan, karena

tanpa adanya keragaman genetik, pemuliaan tidak mungkin dilaksanakan.

Terdapat kecenderungan bahwa beberapa plasma nutfah ternak lokal/asli Indonesia telah mengalami ancaman punah. Punahnya plasma nutfah tersebut dapat berpengaruh pada jangka pendek dan jangka panjang. Oleh karena itu pemahaman pengelolaan berkelanjutan (keanekaragaman) plasma nutfah harus dihubungkan dengan pemahaman alam dan kemungkinan perubahan di masa mendatang yang diyakini bahwa plasma nutfah tersebut akan bermanfaat sangat besar bagi kehidupan manusia. Munculnya kesadaran akan potensi sumber daya genetik ternak dan juga permasalahan yang timbul dalam pelestarian dan pemanfaatannya, telah mendasari suatu kebutuhan bagi pengaturan yang mengikat dalam sistem perundang-undangan. Kita ikut bertanggungjawab terhadap “kesulitan” yang dihadapi generasi mendatang karena “menghabiskan” keanekaragaman sumber daya genetik ternak yang telah “dibuat” generasi sebelum kita. Janganlah berpikiran bahwa keanekaragaman plasma nutfah yang ada di Indonesia tidak bermanfaat, karena kita saat kini masih belum tuntas mengetahui potensinya, dan kita percaya bahwa plasma nutfah tersebut akan sangat berguna nantinya

Melestarikan plasma nutfah seyogianya tidak dianggap sebagai bertentangan dengan upaya daerah untuk memperoleh pendapatan; sebaliknya pemanfaatan lestari dan berkeadilan akan menjamin aset yang dapat diperbarui ini tetap lestari. Pemanfaatan dan pelestarian juga menjadi kepentingan masyarakat internasional, karena itu perspektif dan issues global perlu dipahami dalam rangka desentralisasi pengelolaan plasma nutfah.

Keanekaragaman SDGT merupakan salah satu faktor utama untuk meningkatkan ketahanan pangan. Kita perlu menjaga keanekaragaman ternak sebagai warisan leluhur, karena, punahnya berbagai jenis ternak serta hilangnya pengetahuan tradisional terkait dengan pengelolaan keanekaragaman pertanian sama saja artinya hilangnya kultur yang diperlukan generasi sekarang dan yang akan datang dengan implikasi serius terhadap ekologi dan ekonomi. Pilihan-pilihan IPTEK kedepan perlu diupayakan tanpa mengorbankan keanekaragaman SDG, karena dengan melestarikan keanekaragaman tersebut,

(15)

kita dapat: (1) memilih jenis ternak yang beradaptasi terhadap timbulnya resiko penyakit yang tidak dapat diduga, (2) mengantisipasi perubahan kondisi lingkungan seperti perubahan iklim; atau (3) mengembangkan IPTEK baru untuk mengatasi kebutuhan nutrisi yang semakin sulit. Pelestarian sumberdaya genetik dalam bentuk gene banks, in-situ, dan ex-situ termasuk koordinasi jaringan informasi dan jaringan kerja perlu terus diupayakan. Namun demikian, resiko berkurangnya agrobiodiversity tidak dapat diselesaikan dengan pelestarian secara ex-situ dan harus dikaitkan dengan upaya pemanfaatan secara aktif. Kita wajib mempertahankan keanekaragaman pertanian untuk keberlanjutan dan kesejahteraan manusia generasi sekarang dan yang akan datang.

Sistem produksi domba/kambing yang berkelanjutan dipengaruhi oleh faktor biofisik dan sosial ekonomik. Faktor biofisik diantaranya iklim, biologik dan tanah, sementara faktor sosial-ekonomik dipengaruhi oleh faktor internal (seperti keterbatasan lahan, tenaga kerja, modal, keterampilan dan pengetahuan peternak) dan faktor eksternal (seperti pemasaran, kelembagaan dan kebijakan pemerintah). Tanpa adanya kepedulian untuk meningkatkan efisiensi usaha, upaya menjadikan peternak kambing domba yang berwawasan keberlanjutan akan sulit terlaksana.

Peningkatan mutu genetik ternak dan perbaikan tatalaksana secara langsung akan menghasilkan peningkatan produktivitas, sehingga keseimbangan antara peningkatan jumlah atau populasi ternak dengan produktivitas, menjadi sangat strategis. Pertimbangan sosial ekonomi untuk masing-masing wilayah mungkin menghendaki pemerataan ternak di atas peningkatan produktivitasnya. Dilain pihak rancangan program pemuliaan akan lebih berarti pada wilayah yang daya dukung lingkungannya memungkinkan untuk peningkatan produktivitas (peningkatan efisiensi produksi per unit ternak). Perbaikan mutu genetik ternak untuk meningkatkan produktivitas ternak akan menyangkut aspek produksi dan reproduksi. Oleh karena itu pembahasan tidak terlepas dari perbaikan produktivitas bibit.

Kendala dalam peningkatan mutu genetik ternak adalah relatif besarnya pengaruh

lingkungan mikro dan makro serta kondisi sosial-ekonomik peternak. Beberapa laporan menunjukkan bahwa proporsi pengaruh lingkungan memberikan keragaman produksi yang cukup besar. Besarnya keragaman pengaruh lingkungan mengakibatkan seleksi ternak menjadi kurang efisien, karena kemungkinan ternak yang terpilih bukanlah yang unggul secara genetik tetapi karena pengaruh lingkungan. Di samping itu kendala lainnya dalam peningkatan mutu genetik ternak adalah tidak tersedianya catatan produksi yang teratur dari para peternak.

Beberapa faktor yang diperlukan dalam memperbaiki populasi ternak bibit antara lain: (1) prosedur seleksi yang tepat dan terperinci, (2) catatan dan analisis yang terperinci untuk mengarahkan program perkawinan, (3) pengawasan perkawinan yang cermat untuk meyakinkan bahwa rencana perkawinan telah dilaksanakan, (4) program pengendalian penyakit dan (5) mempunyai pengetahuan tentang metode pemuliaan ternak. Pada dasarnya aktivitas perbaikan kelompok ternak bibit menyangkut penetapan sasaran dan pengembangan program seleksi untuk mengubah rataan populasi ke arah sasaran yang dikehendaki. Pemuliaan ternak merupakan usaha jangka panjang dan dapat memperkirakan apa yang menjadi permintaan masa mendatang. Pertanyaan apakah susu kambing akan menjadi populer ataukah semua perhatian dalam pemuliaan kambing harus ditunjukkan pada sifat produksi daging, apakah permintaan konsumen untuk daging akan sama besarnya untuk semua jenis ternak? Suatu daftar pertanyaan tersebut tidak ada akhirnya.

Program pemuliaan inti terbuka (open nucleus breeding scheme) merupakan salah satu strategi perbaikan produktivitas ternak yang cukup baik untuk diterapkan. Pola pemuliaan inti terbuka yang dimaksud adalah membentuk kelompok peternak pemelihara domba/kambing "kelas A" dengan menerapkan program pemuliaan secara baik dan benar. Kemudian keturunan yang dihasilkan didistribusikan ke peternak plasma. disebut pola pemuliaan inti terbuka karena 10 – 25 persen kambing betina pengganti (replacement) untuk kelompok inti dipilih dari peternak plasma. Peningkatan mutu genetik kambing dari peternak plasma di dapat melalui introduksi pejantan hasil seleksi kelompok inti.

(16)

DAFTAR PUSTAKA

BELL, M., ISMETH INOUNU, SUBANDRIYO, B. SETIADI, BESS TIESNAMURTI, G.E. BRADFORD and P. SITORUS. 1983. A monitoring program for village sheep and goat farms in Indonesia. I. Breeding/Reproduction. Working Paper No.23, October, 1983. Small Ruminant– CRSP, Balai Penelitian Ternak, Bogor. BRADFORD, G.E., SUBANDRIYO and L. C. INIGUEZ.

1986. Breeding strategies for small ruminants in integrated crop-livestock production systems, pp 318 – 331. In: Proc. Small Ruminant Production in South and Southeast Asia, Bogor, Indonesia, 6 – 10 October 1986. IDRC, Ottawa, Canada.

FAO. 2000. World Watch List for Domestic Animal Diversity, SCHERF, B.D. (Ed). Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome, Italy.

FLETCHER, I. C., B. GUNAWAN, D.J.S. HETZEL, B. BAKRIE, N.G. YATES, and T.D. CHANIAGO. 1985. Comparison of lamb production from indigenous and exotic x indigenous ewes in Indonesia. Tropical Animal Health 17:127. HEYWOOD, V.H. dan R.T. WATSON. 1995. Dalam

UNTUNG, K. 1998. Perkembangan implementasi CBD di Indonesia. Makalah disampaikan dalam Sarasehan dan Studium Generale di Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Komisi Nasional Plasma Nutfah, 2 – 3 September 1998.

INOUNU, I., L. INIGUEZ, G.E. BRADFORD, SUBANDRIYO dan B. TIESNAMURTI. 1993. Production performance of prolific Javanese ewes. Small Ruminant Research 12:243.

Referensi

Dokumen terkait

Sehubungan hal tersebut sesuai dengan Keputusan Badan Musyawarah DPRD Kabupaten Grobogan Nomor 8 Tahun 2021 tentang rencana jadwal kegiatan DPRD Kabupaten Grobogan untuk

Fenomena upheaval buckling pada pipa yang dikubur di dalam tanah buried pipeline dapat dihindari dengan meningkatkan tahanan terhadap gaya ke atas seperti dengan menambah berat

waktu bekerja dalam suatu jabatan Pemerintah Pusat/ Swatantra/Swapraja dengan tidak menerima penghargaan yang berupa gaji atau penghasilan lain yang memberkatkan anggaran

Pada pasal 74 ayat 2 dikatakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan

Kuesioner (angket) dalam penelitian ini berupa sejumlah pertanyaan yang akan diajukan kepada responden untuk menjawab variabel – variabel penelitian yang meliputi

Persamaan Unsur-unsur garis pada ke 3 Rumah Adat ini adalah pada susunan lantainya yang memanjang mempunyai arti luas dan lebar, di karenakan pada Rumah Adat

Hasil perhitungan dan perbandingan dengan konfigurasi penjadwalan lainnya memperlihatkan bahwa dengan menggunakan perhitungan operasi ekonomis dalam penjadwalan pembangkit,

Sentuhan mata : Gejala yang teruk boleh termasuk yang berikut: kesakitan atau kerengsaan..